reservedsalvia
reservedsalvia
her reserved salvia
308 posts
her personal sanctuarium. Where her sanity stored. Elsewhere, they went ashtray. It is a blue kind of Salvia, anyway.
Don't wanna be here? Send us removal request.
reservedsalvia · 7 months ago
Text
Iman kepada Takdir
Kamu lagi resah nggak sama masa depanmu sendiri? Bingung sebenarnya nanti akan seperti apa, sehingga sekarang hati dan pikiran diliputi sama kekhawatiran dan ketakutan akan hari esok. Apakah akan menikah dengan psangan yang baik? Atau bahkan, apakah akan menikah? Apakah nanti bisa punya rezeki buat beli rumah, bayar anak sekolah? Nanti kerja jadi apa, sesuai passion apa enggak? Dan semua pertanyaan yang muncul secara sekilas di kepala.
Dewasa ini semakin sadar, karena beriman kepada Takdir Allah itu ternyata nggak mudah sama sekali. Dulu waktu kecil, aku bertanya-tanya kenapa harus ada iman kepada takdir?
Kini setelah dewasa dengan segala shick-shack-shock nya baru tersadar dan tertampar. Hidup ini ternyata memang rumus dasarnya adalah uncertainty kecuali beberapa hal yang udah dijamin sama Allah. Dan kita sebagai manusia selalu ingin bisa mengendalikan sesuatu, bahkan kalau bisa mengendalikan masa depan sendiri. Sayangnya tidak.
Untuk bisa memahami dan meresapi dengan bersungguh-sungguh bahwa ini adalah takdir yang terbaik juga tidak mudah. Sama sekali bukan hal yang mudah. Kita menjalaninya tertatih-tatih, menangis dalam sunyi, susah tidur, susah makan. Bagaimana caranya melihat itu sebagai takdir terbaik? Jawabannya cuma satu, iman. Lihatlah dengan keimanan.
436 notes · View notes
reservedsalvia · 7 months ago
Text
Kübler-Ross said there are five stages of grief following an abrupt realization go through: denial, anger, bargaining, depression and acceptance. Strolling in between those phases, I hardly thought a lot of “what-ifs” and “if-only” scenarios in my head. I thought I’ve been giving my all but to be dismissed as “not working hard and fast enough” felt like a punch in the gut.
Anger comes kicking in when some passerby armed with silver spoon, said that this isn’t a big deal, “Gitu aja loh. Koyok opo wae” I hope their corrupt behaviour over year one day will haunt them back. Then comes, the bargaining phases. Perhaps, no matter how inadvertently, I was hurt, whether it felt like I was coming out of the worst war with open-flesh wounds all over me or not. Whether it was somehow true or not, nothing was matter. It is what it is. On a calm day when I wake up just fine, the fourh phases come barging in. The fault is within me by being unreasonably dilligent over years, being on a bad side of someone’s personal bias. As much as it that wasn’t true, as much as nobody ever want to know the truth at all.
Then it comes. The fifth stages. Knowing that what they thought wasn’t a reflection of my true worth, whether or not what I’ve been doing wasn’t truly seen or appreciated by those making decision, whether anything smells like a foul play. My efforts over years, that’s real, and me, above anyone else should’ve never doubt it ever again. What could be helping was moments when people I didn’t really close with nor gaining anything with it, telling me some genuine words of comfort in their own way or actions. I thought, after all, I was loved by people more over than my mention tabs could handle. I was loved, in a most delicate and genuine way one could ever felt. And It was enough. Period.
0 notes
reservedsalvia · 7 months ago
Text
tanggal empat februari
pagi itu, tidak banyak yang aku pikirkan, selain memang akhir-akhir ini merasa ada yang tidak nyaman, rasa cemas akan keluaran esok hari.
Aku berangkat kerja, seperti biasa. Tidak merasa sedih maupun gembira yang berlebihan. Masih sempat menyapa kekasihku pagi itu.
Pukul 10.00 WIB, tiba-tiba saat Ketua Tim Kerja-ku masuk ke ruangan setelah menghadiri Pelantikan, raut wajahnya pucat. Ia menyampaikan di sela nafasnya yang masih tersengal-sengal,"Nama kamu kenapa tidak ada dalam lembaran penetapan Tim Kerja ini?"
Ia membuka cepat, berusaha membaca lebih teliti, barangkali ia salah lihat. Barangkali hanya kesalahan ketik saja.
Tapi tidak ada. Tetap tidak ada namaku dari daftar 3 nama orang yang berada dibawah namanya.
Ia kemudian menyerahkan Surat Keputusan itu, membiarkan aku menerima realitaku terlebih dahulu. Aku dipindah, dikembalikan kepada atasan lamaku di divisi lain, dengan beban kerja yang lebih berat, anggaran lebih terbatas dan aku sendirian.
Apakah ini hukuman? Aliran air dingin rasanya jatuh mengaliri setiap pembuluh darahku. Bibirku gemetar menahan air mata, aku ingin lari, ingin rasanya sembunyi. Tidak lama beberapa pesan masuk, menanyakan apakah aku baik-baik saja, menanyakan apakah aku sudah menerima kabar buruk ini. Gemetar tanganku menjawab satu persatu pesan-pesan itu.
Aku tidak sampai menangis, aku hanya ingin sembunyi, dari semua prasangka, tuduhan maupun sorot mata belas kasihan.
Tapi akhirnya diantara sujud solat Dhuhur hari itu, aku tidak kuasa menahan air mata.
Ada yang pecah, berantakan.
Enam menuju tujuh tahun, dedikasiku kuberikan penuh. Tiga tahun pertamaku, berada dibawah pimpinan lamaku, aku harus menemui 3 orang Psikolog karena kondisi mentalku dihajar dengan gaya kepemimpinannya serta tuntutan pekerjaanku. Sering, sahabatku saat pulang, menengok ruanganku diatas jam pulang, aku masih duduk sendiri di ruangan, mengerjakan tugas-tugasku sambil menangis. Tetap kuselesaikan, walau kugadaikan kesehatan jiwaku.
Penghujung tahun 2021, aku mendapatkan atasan baru, atasanku saat ini dan barulah kurasakan musim semi saat aku bekerja. Dinas keluar kota, bukan lagi momok bagiku.
Setelah cukup tenang, menyusuri jalanan Surabaya sambil menangis. Menumpahkan kekecewaanku pada kekasihku yang tak henti mengelus kepalaku lembut, menenangkan sepanjang siang itu, aku kembali ke ruanganku. Sudah bisa berkomunikasi dengan lebih baik tanpa harus menangis.
Tapi kemudian aku dipatahkan sekali lagi. Alasanku dipindah, pimpinan tertinggi beranggapan bahwa kerjaku lambat, menyuruhku pindah ke atasan lama dengan harapan aku akan dimentori lebih dalam lagi.
Tidak ada satu orang pun yang tidak terkejut mendengar alasan ini disampaikan, karena memang se-ngarang itu alasan ini disampaikan. Se-ngarang itu untuk melabeli kinerjaku lambat. Bahkan WA masuk ke HP ku jam berapapun, pasti akan aku balas secepatnya, aku tindaklanjuti seoptimal mungkin. Mungkin memang ada pertanyaan konsultasi yang masuk malam akan aku jawab kurang lebih jam 7 pagi, begitu aku sampai kantor.
Aku menyampaikan ini ke beberapa orang teman dekatku, ada yang satu divisi denganku ada yang bukan. Dan semua orang tidak percaya.
Pertama, kinerjaku tidak seperti itu. Kedua, penggantiku pun tidak punya reputasi kerja yang cepat. Ketiga, mengembalikanku pada atasan lama yang reputasi kerjanya lambat pada tahun 2024, bukanlah solusi yang baik kalau memang memerlukan seseorang untuk mendongkrak kecepatan kerjaku.
Hingga kemudian, salah satu sahabatku yang tahun lalu juga mengalami posisiku, satu-satunya yang dipindah tanpa ada catatan merah, punya kinerja dan juga reputasi yang baik, disebutkan alasan kepindahannya sama: Kinerjanya lambat.
Sampailah aku pada kesimpulan bahwa alasan itu hanyalah alasan formalitas, disampaikan untuk menutupi hal-hal yang perlu ditutupi.
Apa yang ditutupi? Bisikan kebencian personal dari Ketua Tim urusan Kepegawaian kepada pimpinan tertinggi.
Ibu itu secara pribadi membenciku, berkas pelantikanku sengaja dihilangkan, tidak di tanda tanganku kepada Ibu Kepala, berita terkait tes maupun ujian untukku, tidak pernah ia sampaikan. Permohonan administrasi kepegawaianku, pernah sengaja ditolak berkali-kali, bahkan hingga aku menggunakan kata hingga huruf sama persis dengan teman-teman satu divisiku, aku tetap ditolak. Sampai aku menunggu ia satu jam di luar ruangannya untuk kemudian ia tidak mau menemuiku dengan alasan sibuk, tapi kemudian ia menyetujui berkasku di aplikasi, tanpa ada koreksi apapun tanpa aku mengubah apapun. Yang paling membuatku takut dari apa yang sudah ia lakukan padaku, adalah saat ia dua kali menghapus akun pegawaiku pada aplikasi perjalanan dinas. Padahal aplikasi itu untuk mendata administrasi perjalanan dinas tak hanya aku, tapi juga dua pimpinan di divisiku, apabila data itu hilang, bisa-bisa dua pimpinanku itu dianggap melakukan perjalanan fiktif maupun tidak hadir di kantor secara sengaja, dengan konsekuensi pemotongan tunjangan yang nilainya tidak kecil. Ia melakukannya dua kali, yang artinya ketika akun-ku berhasil dikembalikan oleh administrator pusat, ia menghapusnya sekali lagi.
Tidak pernah ada kata maaf darinya maupun penjelasan kenapa ia melakukan semua itu.
Semua orang bertanya-tanya kenapa Pimpinan tertinggiku bisa berpendapat seperti itu. Siapakah yang membisikinya? Dan memang hanya Ibu itu saja yang bisa menyampaikan ini padanya.
Setelah itu, aku sudah mulai bisa memahami, sudah tidak lagi menyalahkan diriku sendiri atas kinerjaku yang dianggap lambat. Kinerjaku tidak lambat, dan aku jauh lebih kuat, berani dan tangguh untuk menghadapi semua ini.
Untuk hari-hari esok dan seluruh kejutannya, aku siap berjuang sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
0 notes
reservedsalvia · 8 months ago
Text
Pesan Untukmu
Tulisan ini mungkin akan segera menemukanmu, atau mungkin membutuhkan beberapa waktu, entah sehari, seminggu, sebulan, bahkan mungkin beberapa tahun kemudian.
Tulisan ini dibuat di 23 Januari 2025, sebuah penanda waktu yang mungkin bagimu adalah hari yang membahagiakan atau mungkin hari yang membuat sedih. Setiap orang punya ceritanya sendiri di tanggal yang sama.
Aku hanya ingin mengatakan kepadamu bahwa kamu telah berjalan sejauh ini, masih bertahan hingga saat ini. Meski pikiranmu berkecamuk, beberapa kali ingin menyerah, banyak sekali pertanyaan di kepalamu yang membuatmu sulit tidur, serta bingung menerka kemana dan seperti apa ujung dari jalan yang lagi kamu lalui. Bahkan beberapa di antaranya, ada yang sempat kepikiran untuk mengakhiri hidup tapi itu tidak dilakukan hingga saat ini. Bukankah itu hebat? * * * * *
Saat orang lain mungkin telah memiliki apa yang kita inginkan, mencapai apa yang kita harapkan. Sering kita bertanya-tanya, mengapa bagi kita jalan ke sana itu terasa sulit. Ada banyak hambatan, bahkan harus muter-muter. Kadang kita juga berpikir, kenapa untuk memahami sesuatu butuh waktu yang lama. Saat belajar hal baru, aku butuh waktu setahun, mereka sebulan sudah bisa. Kenapa semuanya terasa sulit buat kita? Bahkan saat mereka memiliki impian-impian, hal-hal di sekitarnya tak memberatkan. Mereka mendapatkan dukungan tanpa harus memikirkan tanggungan lain, seperti kita yang mungkin harus banyak berkorban untuk keluarga, saudara, bahkan diri sendiri.
Saat malam menjelang, pelan kita tutup pintu kamar dan sendirian. Pikiran kita terasa rumit, terasa sulit untuk melihat kenyataan bahwa menurut kita, kita belum mencapai apapun. Hal-hal yang jadi impian kita rasanya seperti khayalan saja.
Itu adalah pikiran yang membuat kita sulit bahagia.
Sementara di lain waktu, saat kita berkendara, saat kita bertemu dengan banyak orang di luar sana. Hidup kita yang menurut kita merana ini, ternyata adalah hidup yang begitu nyaman. Kita masih bisa berteduh saat hujan, masih bisa menikmati makan setiap hari, masih ada waktu untuk berselancar di dunia maya, masih memilik pakaian yang bisa berganti-ganti, masih punya waktu untuk mengaji, dan banyak hal lainnya.
Ahhh kadang hidup yang kita jalani ini, terasa sesak bukan karena apa yang kita miliki, tapi kita terlalu banyak memikirkan apa yang tidak kita miliki.
Rasanya, kita sebenarnya sedang diuji dengan ketakutan diri. Takut akan penilaian orang, takut akan kemiskinan, takut akan hilangnya kesempatan, takut akan umur yang semakin bertambah, takut salah memilih pasangan. Semua rasa takut itu seolah menjadi pemutus jalan antara kita dan masa depan. Sehingga kita terus menerus hidup di hari ini, dengan keadaan yang seolah tak pernah beranjak karena kita tidak pernah berani.
Tidak berani untuk kelelahan nmemperjuangkan impian, tidak berani untuk membuat kesalahan, tidak berani untuk membuat keputusan, tidak berani untuk menghadapi kenyataan, tidak berani untuk bertemu dengan hal-hal yang tidak sesuai ekspektasi.
Jangan-jangan jarak kita dengan tujuan hanya sejengkal, hanya saja butuh keberanian. Sementara kita terus menerus hidup dalam rasa takut seolah tidak punya Tuhan? * * * * *
Tulisan ini mungkin akan kamu temukan suatu hari nanti, entah kapanpun itu ditemukan dan kamu sedang tidak nyaman menjalani hidupmu sendiri? Coba lihat lagi, ada berapa banyak pilihan yang kamu miliki jika kamu berani? Sesuatu yang selama ini kamu berpikir bahwa kamu tidak punya pilihan. (c)kurniawangunadi
346 notes · View notes
reservedsalvia · 1 year ago
Text
ruang tunggu
seperti namanya, semua hal tiba – tiba dalam posisi menunggu, ketika beranjak dari situ barulah pecah sudah. Semuanya. Tapi bukan segalanya.
“Kamu kok mau?” tiba – tiba aku tak tahan untuk menanyakannya.
Mas Raka menatapku bingung,”Mau apa?”
Aku menarik nafas mencoba menata kata – kataku,”Kok mau nunggu nggak selesai – selesai? Nunggu waktu kita untuk akhirnya sama – sama”
“Kan sekarang juga lagi sama – sama” Dia tersenyum jahil. Antara sudah tahu maksud pertanyaanku atau sedang mencoba membuat udara di antara kami jadi berat. Dengan dialog – dialog yang tidak membawa kami kemana – mana.
Aku diam, mungkin sebaiknya kuikuti saja maksudnya.
“Harusnya aku yang nanya ke kamu, kenapa mau menunggu aku” Mas Raka mendekatkan kursinya kepadaku,”Kamu selalu ada pilihan yang menghampiri” Tak lama ia sebutkan nama – nama yang memang mendekatiku selama aku duduk di ruang tunggunya.
“Kalo ada cowok liat aku dengan pandangan mesum, guyonan mesum, masa iya aku minta dia nikahin aku? Wong pikirannya cuman kawin doang” Mas Raka tertawa.
“Iya ya. Jadi kenapa dong, masih di ruang tunggunya kang mas?” Masih dengan senyum jenakanya ia mencari jawaban dari sorot mataku.
“Ye, orang aku nanya Mas duluan lho” aku mengibaskan wajahnya sambil tertawa
“Layak ditunggu.” Jawabnya pendek dan tegas,”Layak ditungguin nyalon padahal belum juga jadian. Layak dikejar walau beda kota. Layak diajak saban alam walau banyak jeda istirahat karena sudah pasti ngos – ngosan.” Ia meringis sesaat karena aku mencubit ringan lengannya saat ia mengatakan itu, “Hehe. Layak untuk dicari, diluangkan waktu untuk jalan – jalan, untuk sekedar ngobrol. Layak untuk dikasi jokes bapak – bapak karena pasti ketawa.” Ia tertawa
“Layak ditunggu, karena aku sayang sama kamu” aku selalu tidak bisa merespon kalau tiba – tiba dia mengucapkannya. Padahal diantara interaksi kami lewat pesan singkat, aku sering merajuk bak anak kecil, menanyakan apakah ia masih sayang padaku.
“..Makasih” jawabku pelan, malu
“Kalau malu gak usah dijawab pertanyaanku tadi. Gak jawab pun tetep cantik kok” Mas Raka tertawa sambil mengelus – elus kepalaku
“Karena selama di ruang tunggu Mas, selalu bikin aku berpikir, apakah aku selayak itu disayangi? Apa yang membuat pria ini tetap disini setelah melihat banyak banget kekuranganku. Dalam proses bertanya – tanya itu, aku pelan – pelan jadi bisa menyayangi diriku sendiri, Mas. Sesuatu yang nggak mudah, bagiku” Mas Raka tidak menyela, ia hanya mengenggam tanganku pelan sambil tersenyum teduh.
“..Makanya tetep nungguin, aku ingin ngasih apa yang udah kamu kasih selama ada di ruang tungguku. Jadi kalaupun suatu hari ruang tunggu ini selesai, kita ternyata harus beranjak ke ruangan lain yang berbeda, aku masih menyayangi diriku sendiri. Kuharap Mas pun begitu.”
“Udah kepala tiga kok gembeng” Mas Raka mengelap air mataku sambil tertawa.
“Belajar ya, kalau aku bilang sayang, jawabnya jangan makasih aja” Ia mencubit pipiku gemas.
“Akusayangkamu” bisikku pelan dan cepat sebelum buru – buru beranjak, melarikan diri ke toilet agar raut wajahku yang merah padam ini tak sempat dilihatnya.
untuk satu jam perjalananmu, terimakasih.
0 notes
reservedsalvia · 1 year ago
Text
23.13 thoughts
About 10 minutes ago I turned off my lights, trying to get a sleep. But something went wrong with my head and suddenly my thoughts went astray. So as my therapist suggest, I should write down my thoughts so I can get rid of this worthless and unlovable feeling about me.
I just did a whole cleaning session at my room. Getting rid a few things I don't need anymore, clothes I couldn't seem able to wear due my increasing weight, hehe. Re arranging my cupboard, wiping clean my floor and even my wall, washing my doormat and even changing my bed sheet. What I've been delayed for too long.
I chatted with a few friends, catching up about life. One of them is my dearest one, been friends with me since primary school. Fought with her a lot even when we were in college. But still, the only wedding of my friends when I cried a lot, was only hers.
She talked to me about her children, talked about 2nd generation of K-Pop that we loved so much, laughing our heads off about us getting older. She was telling me her bad situation that she hid so well from public. I felt so content just because I felt like I actually have a friend I can talk to after my day ended, told her my worries and she also told me her worries.
Life just keeps getting busier and harder. I am now 31 but I still get lost. Some friends is already moving with their life. Though I have a few friends I can hanging out with from office, I don't feel close enough because they were all saying to separate friends and work-related people.
Back in college, it was so easy to stay with some friends. Classmates can go to movie together. Hometown mates we can call and meet up at holiday. Friends we knew from seminar, competition or organization, we can sometimes meet for lunch and dinner. Or sometimes we just walking around aimlessly and found people we knew sitting at the park and we can just sit down and talk for a few hours.
That kind of blessing, that kind of friends, that kind of presences.. I thought they'd be staying forever.
I miss them. I miss myself when I was with them.
0 notes
reservedsalvia · 2 years ago
Text
pertemanan
saat SD, saya tidak punya geng main tetap, selalu berganti-ganti. Teman pertama, dari TK yang sama, pindah ke Surabaya setelah naik kelas 2 SD. Pada saat itu, geng-geng main sudah terbentuk tetap. Bagian lucunya, setelah dewasa, dia sama sekali tidak ingat dengan saya :D
Maka kadang, saya hanya duduk di depan kelas, mengamati mereka main, jajan di kantin sendiri, atau memilih membaca buku di dalam kelas.
Kemudian, setelah beberapa minggu, jadi kenal banyak teman, kadang nimbrung saat Geng A sedang jajan sambil cerita ini dan itu. Kadang join Geng B saat main basket, atau ikut Geng C main Benteng-Bentengan.
Tidak menetap, tapi setidaknya saya bahagia secukupnya, pada saat itu. Kemudian saat kelas 4 atau 5 SD akhirnya bertemu teman yang cukup baik, sering main ke rumahnya. Makan Indomie yang jadi menu terlarang di rumah saya. Cukup lama duduk sebangku dan kemana-mana sama dia. Tidak sedikit foto-foto kami abadikan lewat tustel, yang harus dicetak di toko cetak foto.
Tapi itu ternyata tidak lama, dia didekati oleh geng lain, dan mereka dengan konyolnya memutuskan bahwa saya tidak cukup layak bergabung dengan mereka, meminta saya tidak lagi berteman dengan teman saya itu.
Anehnya, saya tidak merasa marah. Pada usia tersebut, saya tidak merasa marah diminta tidak boleh berteman dengan seseorang. Karena saya merasa, toh teman memang datang dan pergi. Mungkin teman saya itu pergi, tapi saya pasti masih punya teman sebangku yang lain saat duduk kami diacak oleh Bapak/Ibu Wali Kelas.
Setelah dewasa, barulah saya merasa marah. Kok bisa ada anak masih kecil mengotak-kotakkan orang lain seenak hati? Kok bisa ada yang melarang pertemanan? Lucunya, kehidupan anak-anak itu sekarang tampak baik-baik saja, semua sudah berkeluarga dan selalu pasang postingan Masyaallah Tabarakallah. Alhamdulillah ya kalau memang hati mereka sudah dibukakan Allah, sudah dikembalikan ke jalan yang benar.
Kembali ke kehidupan kantor, saat satu persatu teman yang saya sayangi di mutasi, dan ada juga yang berpulang mendahului kami. Berteman dengan yang terdekat di lingkungan ruangan. Tapi akhirnya pun, pertemanan di kantor tidak bisa diandalkan juga. Saya kehilangan juga, kehilangan waktu untuk berbaikan karena pertemanan di kantor sepertinya selalu penuh asumsi masing-masing.
1 note · View note
reservedsalvia · 2 years ago
Text
jatuh hati pada sebuah gagasan
Senyumnya manis merekah saat ia berbicara dengan teman – temannya, siang terik di sudut kota yang kadang masih terasa asing untukku. Tidak ada satu patah kata yang saling kami ucapkan, tak juga aku mampu menanyakan nama perempuan itu. Hari itu, Raka telah jatuh hati.
Binar matanya tampak menyala saat ia mulai menceritakan tentang apa yang ia sayangi. Aku bertanya tentang keluarganya, saat ia duduk di depanku. Baru kali itu, aku berharap bel pulang, berdenting lebih lambat, agar lama bisa kutatap sinar teduhnya. Kuharap ia, mulai jatuh hati pada waktu yang ia habiskan bersamaku.
Senyumnya hilang saat ia menceritakan sisi kelam yang rapat ia coba sembunyikan. Aku lebih banyak diam saat mendengarnya, sambal kutekan kuat – kuat, keinginan untuk mendekapnya dan menyampaikan bahwa sungguh semua itu tak mengapa, bahwa sungguh dia dan segala ketidaksempurnannya buatku sudah lebih cukup bagiku untuk jatuh hati.
Setelah kuantarkan ia pulang, perlu waktu cukup lama kuhabiskan untuk sendirian. Meratapi kepayahanku dalam menyampaikan apa yang kurasakan tentang dia. Bahwa aku sudah jatuh hati pada sebuah gagasan bahwa kami adalah sepasang kekasih yang akhirnya menemukan satu sama lain.
Saat akhirnya tak mampu lagi kupendam, kusampaikan gagasan itu padanya. Perlu waktu lama baginya untuk akhirnya mengakui, bahwa ia pun telah jatuh hati, pada sebuah gagasan bahwa aku dan rasa sayangku adalah doa yang diam – diam dia mintakan diantara sunyi sujudnya.
Apakah yang mungkin dapat menyudahi perasaan bahagia yang tidak pernah kurasakan sebelumnya? Pagi itu kutemui ia, saat petang tiba, aku sudah ingin berjumpa lagi dengannya. Sampai nanti, sampai tiba batas waktu, saat ada gagasan lain yang mendapatkan ruang lebih di hati kami. Sebuah gagasan bahwa melepaskan satu sama lain, akan membebaskan kami dari perasaan ingin terus memiliki satu sama lain yang belum nampak akan terjadi untuk beberapa puluh puluh musim penghujan kedepan.
-empat menuju lima, kamu satu, tetap yang aku cinta-
0 notes
reservedsalvia · 2 years ago
Text
those ordinary hours
talking to you about my cringey childhood mistakes while eating a huge portion of Mie Goreng at second floor of your usual Chinese food stall near your college. An ordinary hour last Saturday.
Hearing you badmouthing your supervisor while typing your last-call assignment. I kept grinning watching you mumble like an old man. An ordinary hour that Monday.
Enjoying the clear air while holding hands at a Bamboo Forest, away from our crowded city. A surprise date from you. A bit extraordinary hour that Sunday.
An impromptu coffee date where I came a bit late because I spent 10 minutes doing my makeup and you were annoyed. I spent less time than 75% woman out there, If I may add. You said I should’ve come bare-faced next time because you still love me either way. It’s probably a 5th common lie any man ever said, right? An ordinary hour at 8 PM.
Debating about your worn-out clothes and my too-short skirt which we both hate from each other. And how we made up over a bowl of Bakso? Giggling silently because of how salty it was for us. I wasn’t mad, I just hate their evil stare over you wearing that outfit. I bet you weren’t mad at me too; you probably hate them for gossiping about my outfit. An ordinary hour last Tuesday.
Those ordinary hours were my favorite. Oh, and a few more ordinary hours with you that I’d like to keep for myself. Can’t let you know that I fall harder now.
0 notes
reservedsalvia · 2 years ago
Text
Orang-orang yang pernah kukenal dalam hidup ini tidak semuanya harus menjadi karib. Ada yang cukup untuk kenal, cukup untuk bekerja, cukup untuk hal-hal tertentu saja. Karena memang kehadirannya untuk bersinggungan takdir, mungkin sehari, seminggu, atau beberapa saat. Maka dari itu, tidak perlu terlalu mengambil hati apa-apa yang hanya lewat itu. Apalagi jika yang hanya lewat sebentar itu, membuatmu tidak nyaman sepanjang waktu dan kamu memeliharanya dalam pikiranmu bertahun-tahun.
Jangan sampai, sesuatu yang hanya sebentar, mengganggumu seumur hidup. Perasaan kagum, cinta, kasihan, marah, dan semua hal yang naik turun di dalam hatimu. Tidak perlu terlalu diambil hati. Lain kali, lebih hati-hati. Lain kali, lebih mawas diri.
951 notes · View notes
reservedsalvia · 2 years ago
Text
satu petang keduanya berbagi wedang
Senyum Renjana merekah, melihat sosok yang ditunggunya muncul, ia melambai dengan semangat.
Danar tersenyum,”Lama, Na?” Renjana menggeleng,”Kamu pakai parfum ini lagi” senyumnya penuh makna,”Parfum kamu yang paling aku suka” Danar tersenyum,”Dipakai karena mau ketemu Rena” ada yang jatuh dalam dada Renjana saat Danar memanggil nama itu. Nama panggilan khusus untuk Renjana. Tiga tahun lalu saat Danar mulai memanggilnya nama itu, Renjana tidak suka.
“Kenapa disingkat? Namaku tuh maknanya bagus kalau disebut lengkap, Renjana” Danar tersenyum,”Iya tau aku.” Renjana masih menatapnya kesal,”Terus kenapa jadi Rena? Nama mantan pacar yang belum bisa dilupain? Nama pacar lain di kota lain?” Danar tertawa,”Rena, yang di depan dan di akhir kata Renjana. Aku mau jadi itu, yang pertama dan terakhir, buat Renjana”
Tiga tahun lalu Renjana salah tingkah-malu-bahagia-gemas saat mendengar jawaban Danar.
Petang itu, Renjana hanya merasakan getir.
Keduanya memesan wedang, bertukar kata tentang rencana, dan yang kemarin terlewat belum sempat disampaikan lewat telepon.
“Dan, aku itu berisik ya?” tanya Renjana, tanpa peringatan.
“..Tiba – tiba?” Danar tersenyum,”Ada apa, Na?”
“..Aku batal menikah bulan depan. Orang itu bilang kalau aku terlalu berisik buatnya”
Hati Danar mencelos. Ini alasannya. Alasan Renjana muncul di hadapannya petang itu.
Danar membelai tangan Renjana perlahan,”Menurutku, bukan berisik. Tapi kamu memang cukup riuh, Na” Renjana diam, bergetar menahan tangis.
“Kamu cukup riuh, karena sejatinya kamu rapuh. Kamu berusaha mengisinya dengan keriuhan. Yang tidak cukup memahami, tentunya akan memilih pergi. Karena keriuhan bukan hal yang disukai semua orang”
Hati Danar ikut terbelah melihat Renjana hanya mematung, menahan air matanya.
“Ada apa Na? Apa yang membuat kamu lebih rapuh dari kamu yang kukenal dulu – dulu?” Renjana membekap wajahnya, menangis tanpa suara.
Danar ganti diam mematung saat Renjana menyampaikan 3 tahunnya yang terlewat sejak Danar pergi. Pertemuannya dengan lelaki yang salah, kehamilan yang tidak pernah ia inginkan dan keputusan keji yang ia ambil setelahnya. Renjana kehilangan sebagian besar dari dirinya dalam waktu sesingkat itu.
Hening cukup lama sampai Renjana sudah berhenti terisak, dan rasa marah serta kehilangan padam dari mata Danar.
“Yang seharusnya bulan depan meminangku, bukan pria itu, Dan. Pria itu pergi tanpa pernah menoleh lagi. Kupikir, aku juga akan mampu sepertinya. Tapi ternyata tidak bisa. Tidak ada yang bisa menerimaku dengan baik setelah masa – masa itu, walaupun aku tidak pernah menyampaikannya. Karena, aku sendiri tidak bisa menerima diriku sendiri. Aku selalu memberi ruang untuk membenci diriku sendiri.” Hati Danar patah melihat senyuman Renjana di ujung pengakuannya. Tatapan Renjana seperti seseorang yang sudah kalah di ujung perjalanan.
Danar masih membeku di tempatnya, tidak berhasil menemukan kata – kata yang cukup untuk sekedar membuat Renjana merasa didengarkan.
“Kamu.. kaget sekali ya?” Renjana tersenyum. “Maafkan aku” senyum Renjana hilang,”Hari ini, aku pun kehilangan kamu” air matanya menetes. Renjana berdiri dan pergi dari tempat itu.
Danar diam, duduk terisak kehilangan kemampuannya berbicara. Kehilangan waktu untuk meyakinkan Renjana, bahwa perjalanannya masih panjang, dan Danar tetap ingin menemaninya.
Malam itu Danar pulang dan tidak punya rasa kantuk. Ia hanya mengirimkan pesan singkat untuk Renjana.
Rena, maaf saya tidak cukup bijaksana untuk mampu sekedar mengucapkan satu kata saat mendengarkan kamu. Tapi sungguh kamu harus percaya, rasa sayang saya kepada kamu lebih dari cukup untuk mampu minum wedang bareng kamu lagi. Rena tidak perlu minta maaf. Rena tidak kehilangan saya. Saya tetap disini. Rena tidak perlu kemana - mana. Saya tetap memanggil Rena, masih dengan alasan yang sama. Karena mau jadi yang pertama dan terakhir buat Renjana. Boleh ya, Na?
1 note · View note
reservedsalvia · 2 years ago
Text
tentang perayaan dan pencapaian
satu siang pukul dua, tumpukan berkas di meja Chika masih belum berkurang. Jemarinya masih berirama mengetik laporan yang harus ia selesaikan hari itu. Jumat terakhir sebelum liburan tiba.
Satu pesan masuk. Perempuan favoritnya.
Bapak sehat nak, sekarang tiap hari sholat. Semoga istiqomah ya.
Pandangan Chika kabur. Penuh sesak air mata. Bahagia. Alasannya lari dari rumah, tiba – tiba telah tiada.
Tiga puluh tahun lamanya. Chika menangis. Untuk doa itu, pada akhirnya menemukan muaranya.
Malam itu, ia membeli kopi favorit Bapak. Menyesapi semua rasa pahitnya perlahan. Mencoba mengingat hal – hal kecil yang membuat pelariannya tak pernah berjalan lama. Mencoba menghapus hal – hal besar yang ingin lupakan, rasa takut, rasa marah rasa jengah yang selama ini menjadi alasannya untuk pergi.
Mas Raka tiba – tiba menelpon.
“Kamu menangis?” Chika tertawa,”Bukan karena sesuatu yang cliché kali ini”
“Bukan karena dimarahin?” tanya Mas Raka setengah bercanda
“Bukan”
“Lalu?”
Chika menyampaikan isi pesan Ibu siang tadi, diantara suara seraknya.
“Lalu kamu dimana sekarang?”
“Balkon, lihat langit sambal minum kopi hitam. Merayakan doaku yang sudah bermuara”
“Senang?”
“..Iya. Aku salah ya, Mas? Merayakan awal yang belum tentu akan bertahan?”
“Bagi orang yang hanya menerka, sepertinya itu hanya hal yang kecil, Chika. Tidak patut dirayakan. Bagi orang yang mengetahui ceritamu, sepertinya itu hal yang besar, membuat kamu, pantas merayakan.”
Chika diam. Mas Raka dan kata – kata bijaknya yang kadang perlu didengar lebih lama untuk mampu menyampaikan maknanya.
“Tapi keduanya tidak penting. Karena yang terpenting bagi kamu, bagi mereka yang mengalaminya.”
Chika nyengir. Ia bisa merasakan Mas Raka tersenyum di ujung sana.
“Tidak pernah ada hal yang terlalu kecil untuk dirayakan, tak ada yang kurang besar untuk dapat disebut sebagai pencapaian. Dan selama kamu yang mengalaminya mengetahui hal itu, itu sudah cukup.”
“Aku rasanya capek nangis terus seharian ini, Mas jangan bikin mewek lagi. Sejak kapan sih jadi punya stok kata – kata baik” Chika terisak
“Ini pencapaian saya, tidak menggerutu saat kamu sedang menangis.”
Chika tertawa
“Boleh saya rayakan pencapaian ini?” tanya Mas Raka
“Dirayakan gimana?”
“Saya dibawah. Air matamu dihapus ya, gelas kopi yang kosong dicuci. Lalu turun, kita cari wedang jahe, untuk merayakan hal – hal kecil yang bisa kita rayakan hari ini”
6 notes · View notes
reservedsalvia · 2 years ago
Text
If there was a list about you.
If there was a list about you, I’d writing down everything down to the bone about how you trample my life these last few years.
Starting from how you give me a cold shoulder, blocking any way for me to communicate to more evil act such as tearing down my legal documents, putting a hold for no reason to my process at the annual assignment, deleting my office-related accounts that was accountable for all my direct supervisor’s schedules. What I couldn’t ever imagine was you being deliberately obstructive, didn’t even pass a legitimate vote when I was one of the final participant in that national competition.
You hold the power yet you deliberately being obstructive. You have the power yet you choose to crush instead of empowering those beneath you.
If there was a list about you, you probably challenge me to head on if I ever have a complete evidences about it.
You know very well that I don’t have any. You know, being rude and evil ruthlessly would only make you a bad guy in this story. So, you chose a safer way. Using a super tiny sharp blade, poking my body from this and that side, making it bled a little here and there, slowly. The blood was never gushed out, so my pretty white dress won’t be stained in a bloody way. No one would ever notice how many scars you’ve made all over my body.
You know, when you get poked by a tiny bits of wood stalk, you feel the pain but you couldn’t see what was the cause. You can scream in pain, but anyone would thought that you were being ridiculous liar.  
Yesterday, I saw a sign in front of your door. About your vow to always giving the best services.
That. THAT THING. That brought me to tears.
It feels like a blatant act of lie being held openly, like every bad sarcasm jokes being said and we have to laugh out loud. It makes every scar you left in my body starting to ache and slowly bleeding. Perhaps this is what they feel when they see their bully being a respectful figure without even made a proper apology for making their school life feels like hell.
I didn’t even remember how this all started nor how should it ends.
If the cause of this mess was your unreasonable jealousy because you lost one of your favorite people to me, then have you ever thought to venting a few of your anger to that person instead of me?
At the end of the day, I stopped crying, the pain was vanishing over time. I was embraced by those who loved me here in this earth and beyond.
So, I thought, at the end of the day, if there was a list about you, that was none of my business anyway.
0 notes
reservedsalvia · 3 years ago
Text
a point of view: about you
I wasn’t a fan of your favorite U.S. series. So, I couldn’t talk about it with you.
It’s 2023 and you still thought The Heirs was the best Korean drama you’ve ever watched. I still laugh about it, anyway.
Well, we clicked about Signal, we both loved it. We both were waiting for its sequel.
Just like me, waiting for our sequel.
I yawned when I tried to read self-improvement books that you read. So how can I possibly discussed about Sapiens: A Brief History of Humankind with you in between our casual conversations?
You hate poetry or pretty words written with hidden meaning. And I still loved to write pretty things about you which you never read.
Years passed, I had to accept that we are no longer in each other life.
That’s fine. Truly fine. I do not have any plan to holding you back, or I guess, I never had that courage at the first place.
This is awful, but let me tell you, actually I couldn’t remember why I liked you back then. Was it your nerd awkwardness? Was it your quiet presence in the bus? How did I gain this super skill to spot you when I went to that crowded cafeteria every night?
Perhaps, those reasons weren’t important enough for me, and for you, obviously.
I still remember that afternoon though, vividly. There, in front of my high school gate. You were apparently going to the west. And he was waiting for me apparently going to the east. I was standing for about 3 seconds if I may exaggerate a little, pfft. That day, I went to the east with him. Simply because my house was in the east direction.
Perhaps that day, I lost my chance. Once and for all. Could things have been different if I chose you that day?
So, let me thank you in advance. For letting me stay as a viewer. You’ll lead a good life. Please, have a good life.
The audiences were stopped breathing. The silence was too loud when I finished my speech. I smiled. He smiled back at me with a kind of bitter smile. His tears were rolling quietly.
I stepped down from the platform. It’s time for me to going back, I thought, as I was walking away quietly from his wedding banquet.
1 note · View note
reservedsalvia · 3 years ago
Text
hak dan kewajiban
“Tidak ada yang benar-benar lepas, Chika” ujar Mas Raka pelan,”Antara hak dan kewajiban seseorang.”
“Kamu berhak menuntut seseorang untuk menyelesaikannya sesuai panduan. Tapi dia pun berhak menerjemahkan panduan itu selama hasil akhirnya sama. Bukankah kewajibannya akan terpenuhi juga bila hasilnya sama?”
Chika diam, mencoba mencerna kata – kata Mas Raka.
“Aku punya kewajiban untuk ngelurusin dia kan, Mas. Sebagai seseorang yang lebih memahami mesin itu luar dalam.”
“Dan dia juga punya hak untuk tidak sepenuhnya mendengarkan kamu. Semuanya, serba beririsan”
“Kenapa hak dia jadi diatas kewajibanku?” Mas Raka tersenyum melihat kekasihnya itu tampak acak – acakan.
“Coba kafe ini gak rame, aku pengen peluk kamu, biarin kamu mending nangis aja biar gak terus-terusan bahas hal yang bikin kamu stress seperti ini”
Chika mencubit tangannya,”Mas ih, lagi serius gini. Kamu belain terus – terusan aja tu pegawai yang konon katanya berakhlak”
Mas Raka tertawa.
“Aku ga bilang kalau salah satu menjadi nomer satu kan, Chika. Kamu dan pegawai berakhlak itu, ga ada yang lebih diprioritaskan satu sama lain. Sama – sama penting, sama – sama punya kewajiban menyelesaikan pekerjaan itu sesuai target pimpinan. Sama – sama punya hak untuk menginterpretasikan perintah untuk kelak bisa dikonversi menjadi target yang diinginkan”
Cemberut Chika mulai turun, Mas Raka tersenyum.
“Aku punya kewajiban memastikan kamu selamat sampai rumah saat kita pergi berdua. Kamu, punya hak untuk memilih moda transportasi yang aman untuk mengantarkan kamu sampai rumah. Kamu boleh memilih naik ojek mobil online, saat hari hujan, karena menyulitkan aku mengantarkan kamu naik motorku tanpa jas hujan. Kewajibanku mungkin tidak bisa terpenuhi karena seharusnya aku-lah yang nganterin kamu pulang, bukan?”
“Tapi Mas Raka selalu nelpon untuk memastikan aku udah sampai kalau aku naik ojek mobil.” Chika meneruskan
“Nah. Kewajibanku tetap terselesaikan karena aku sudah memastikan kamu sampai. Kalau hari sudah malam banget, pasti aku anterin daripada kamu naik moda umum yang membahayakan kamu.”
Chika sudah tidak cemberut. Ia mulai memahami maksud Mas Raka.
“Ga ada yang lebih penting antara kewajiban atau hak aku dan kamu pada saat itu, bukan?”
“Gak ada kewajiban buat kita bertemu selalu. Tapi kita sama – sama punya hak untuk menuntaskan rasa rindu, bukan? Kita gak pernah memaksa harus ketemu, tapi entah akua tau kamu pasti memulai dengan bertanya apa bisa ketemu. Kenapa, karena kita punya kewajiban – kewajiban lain. Misalnya kamu pas harus dinas luar kota, maka aku harus berpikir bijak, ya sudah next time saja. Atau aku cukup telepon kamu. Begitupun kamu, iya kan?”
“Iya” Chika sepakat.
“Maka gak usah kamu pikir sampai tiga hari tiga malam jalan pikiran pegawai berakhlak yang menurutmu tidak kooperatif itu. Dia punya hak, kamu juga. Kewajibannya searah, jalan sendiri – sendiri saja, gak masalah.”
“Inget Chika, ga boleh jumawa menyuruh orang berpikir dan bersikap seperti pola pikir dan sikap kita. Satu kamu akan Lelah sendiri kalau ketemu batu dan Kedua, tidak pernah ada faedahnya terus menerus memberi makan ego pribadi dengan mengunggulkan diri sendiri.”
Chika manggut – manggut, tersenyum.
“Sejak kapan Mas Raka jadi semakin dewasa gini sih?” canda Chika
“Sejak kamu jadi semakin kayak anak kecil” Mas Raka mencubit hidung gadis itu gemas, “Yang masih saja tetap yang paling saya sayang”
“Aduh kalau tiba – tiba romantis gitu gak baik buat jantungku, Mas”
“Hmm, gimana ya. Bagian dari hak dan kewajiban seorang kekasih?”
Mereka tertawa.
0 notes
reservedsalvia · 3 years ago
Text
akhirnya engkau pun hilang
Pada sore-sore dimana bukan engkau lagi yang mengantarkan aku pulang.
Pada jam sepuluh malam yang bagimu sudah terlalu malam untuk menjemputku kembali, dan terucap dari seseorang yang rela menunggu sampai jam setengah dua belas malam hanya untuk menjemputku.
Pada lima menit setelah Jamaah Sholat Isya’ selesai dan tidak ada lagi ajakanmu mencari Jahe.
Pada pembicaraan-pembicaraan random yang sering mengisi tiap malamku. Yang sudah tidak ada lagi.
Pada doa-doa yang kau panjatkan yang sudah tak ada namaku lagi.
Pada akhirnya engkau pun hilang. 
Ada, tapi menghilang. Bertahan, tapi tidak menetap. Menemani tanpa ada lagi niatan mengiringi. Menggenggam tanpa ada tujuan untuk menahan.
Pada akhirnya engkau pun hilang. Dan aku kembali mematut luka, mengambil kepingan harapan akhir cerita kita yang sudah pecah berserakan di tanah. Terus mengambilnya, berusaha menyusunnya kembali walaupun setiap usahaku selalu menggores darah di genggamanku.
Pada akhirnya, luka ini pun akan menghilang bukan?
0 notes
reservedsalvia · 3 years ago
Text
sua tanpa rencana
selasa kedua, pukul sembilan lewat empat.
Mas Raka muncul mengetuk notifikasi HP Chika.
“Cari wedang yuk?” 
Chika tertawa,”Mas sudah selesai potong rambut?” 
“Udah, habis ini selesai sih. Setengah jam lagi gak apa-apa? Kamu belum ngantuk”
“Iya, aku siap-siap juga dulu. Belum ngantuk, ini tadi santai aja nonton”
Telepon ditutup. Chika langsung bangkit dan buru-buru menyelesaikan rendaman cuciannya yang terbengkalai sejak Isya’ tadi. 
“Coba dari tadi direncanain, kan aku gak buru-buru jemur baju sama dandannya bisa proper, Mas” Mas Raka mencubit pipinya gemas
“Kadang yang tanpa rencana malah terlaksana, Chika. Sama seperti kamu”
“Aku?”
“Jatuh cinta sama kamu itu tidak ada dalam rencana awal saya. Tapi selanjutnya, selalu ada kamu dalam hari - hari saya. Gak semua hal terencana tapi ternyata malah membuat kita lebih bahagia”
“Berarti, sama aku buat Mas lebih bahagia?”
Mas Raka membelai kepala gadis itu,”Kalau engga bahagia, kenapa selalu menyempatkan ketemu kamu diantara kesibukan saya?”
Pipi Chika memerah.
“Deg-degan ya saya ngomong seperti ini?” Mas Raka tersenyum melihatnya.
“Enggak ih pede banget, wedang uwuhnya kepanasan” elak Chika.
Tidak ada yang spesial malam itu. Angkringan langganan yang teduh, bakaran sate yang sederhana namun mengenyangkan dan wedang uwuh hangat yang menghangatkan mereka. Pembicaraan tentang esok hari atau kemarin, tentang hari - hari Mas Raka dan Chika.
ada yang diam-diam pergi malam itu diantara pembicaraaan keduanya. rasa ragu dan rindu temu, tidak pernah sesepakat itu untuk sama - sama pamit mundur.
00.17
0 notes