here lies the story to tell from a hysterical organ called brain. this is ave avery, any pronouns - masculine or feminine you name it, over twenty-five, mostly post in bahasa indonesia.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Sang Penyembuh

Riwayat milik Park Sunghoon, Sang Penyembuh.
* * *
Sunghoon tahu jika jantung tidak lagi berdetak di dadanya. Namun kala sepasang mata rusa itu tertuju padanya, perasaan asing hinggap di benak.
“Sejak kapan?” Jungwon mendadak bertanya.
Park Sunghoon seketika mengerjap sebelum memberikan respons terhadap pertanyaan Jungwon. Vampir muda itu saling bertatap, yang lebih tua hanya mendesah pelan. Lupa bahwa Jungwon bisa merasakan emosi yang lain.
“Entah,” bisiknya lirih sambil menggenggam tangan Jungwon.
Meski kegiatan berkumpul dalam satu ruangan yang sama tampak biasa saja, para vampir itu bergantian menerima energi tambahan dari Sunghoon. Atau mungkin penyembuhan kilat seperti yang Nishimura Riki butuhkan saat ini.
Yang termuda dari tujuh vampir itu terluka karena terlibat duel dengan pasukan separatis pemburu bangsanya. Meski kedua bangsa menyatakan damai di atas kertas, tetap saja ada pihak yang ingin melenyapkan para makhluk penghisap darah seperti mereka. Padahal, semesta ini sejatinya milik bangsa vampir.
Begitu Jungwon selesai dengannya, Sunghoon meminta Ni-Ki mendekat. “Riki giliranmu,” panggilnya.
* * *
Rasanya seperti berada di ambang kematian.
Daya seolah terserap habis dari raga, Sunghoon letih. Suaranya serak akibat terlalu banyak berteriak. Pakaian yang melekat di tubuhnya luar biasa lembab; menyerap keringat juga darahnya sendiri.
Kesadaran sedikit demi sedikit mulai menghampirinya. Ketika Sunghoon menatap langit di atasnya, hanya biru dengan garis-garis awan yang ia lihat. Raganya sudah berpindah dari semesta berlangit jingga kemerahan dengan matahari terbakar begitu dekat di atas kepala mereka.
Semua ini terasa asing bagi Sunghoon, seolah baru pertama kali menghirup udara segar dan memandang asrinya alam sekitar. Ingatan Sunghoon kosong, selain namanya sendiri.
Jelas Sunghoon melewatkan sejumlah bagian dari imigrasi besar-besaran manusia ke semesta baru. Pemuda itu nyaris mati saat dibawa kemari, harus diubah terlebih dulu alhasil ia meronta sepanjang perjalanan hingga hilang kesadaran.
“Sudah sadar?” Sebuah suara cukup mengejutkan Sunghoon.
Seorang pemuda pucat dengan boneka beruang di pelukannya duduk tak jauh dari tempat Sunghoon berbaring. Sepasang mata itu membentuk bulan sabit ketika empunya tersenyum.
Sunghoon mengangguk sebelum berkata, “Kau siapa? Boleh aku minta air?”
“Aku Sunoo,” jawab pemuda yang pertama kali dilihatnya.
Begitu Sunghoon mengangkat punggungnya, sebuah tangan menghalau gerakannya lalu membimbingnya agar duduk tegak. Tak tahu apa yang terjadi, Sunghoon merasa semua tulangnya bak remuk menjadi serpihan tajam menusuk membran ototnya.
“Terima kasih,” gumam Sunghoon sebelum menoleh hanya untuk mendapati wajah seorang lagi. Yang satu ini lebih tua daripada dirinya, punya sepasang mata jernih serupa milik rusa.
“Heeseung. Lee Heeseung.” Pemuda itu membantunya minum.
Meski hanya air yang didapat, pedih di tenggorokan Sunghoon sudah sedikit teratasi. Temperatur tubuh dan sekitarnya perlahan namun pasti menurun. Sunghoon berangsur membaik, apalagi tangan Heeseung kini tengah membelai punggungnya.
“Selamat datang, Sunghoon.” Sunoo tersenyum semakin lebar.
* * *
“Malam ini cukup banyak, ya?” Jake berkacak pinggang usai membuang sarung tangannya.
Sunghoon tersenyum tipis sebelum ikut melepas sarung tangan serta lapisan pelindung tubuhnya. “Kau dengar apa kata mereka tadi?” tanyanya.
Setelah membuang napas pendek, Jake mengangguk. Vampir itu kemudian merenggangkan tubuhnya. “Perburuan vampir bahkan di kawasan netral,” gumam Jake muram.
“Semakin banyak korban. Kita memang tidak akan mati, tapi…”
“Tapi tidak banyak vampir dengan kemampuan sepertimu.” Jake menyela ucapan Sunghoon sebelum melanjutkan, “ Akan segera berakhir. Semua ini.”
Seraya memperhatikan ekspresi Jake, Sunghoon mengangguk. Mafhum jika Jake, seperti sebagian besar dari mereka, menyadari bahwa dulunya mereka juga manusia. Namun entah bagaimana, Sunghoon tidak punya perasaan terikat dengan spesiesnya terdahulu sejak terbangun kala itu.
“Park Sunghoon, kemarilah!” seru sebuah suara dari ara pintu. “Seseorang kritis.”
* * *
Sinar mentari di tempat ini hampir selalu ramah. Bahkan saat hari masih siang, Sunghoon bisa berbaring di atas rerumputan sambil memejamkan mata tanpa takut terbakar.
Sunghoon berada di padang rumput dekat dengan danau. Lokasinya cukup jauh dari bangunan utama, sekiranya Sunghoon membutuhkan waktu sendiri untuk memulihkan daya yang nyaris terkuras karena berada di kamp semalaman.
Vampir muda itu terlanjur dibuai nyaman dengan suhu rendah di area ini. Mansion milik Sunoo berada di sekitar pegunungan dingin, jika malam kabut turun menyelimuti sekitar. Suasana yang disukai oleh para vampir semurni Sunoo, begitu juga dirinya.
Sambil memejamkan mata, Sunghoon menangkap sayup-sayup percakapan antara Jay dan Heeseung. Keduanya berdebat, namun Sunghoon tahu jika diskusi itu tidak akan berujung pada konfrontasi seperti saat Sunoo terlibat.
Selama ini Sunghoon hanya bertugas menyembuhkan, sehingga ia memilih menjaga jarak dari diskusi Heeseung dan Jay yang sarat akan politik. Sunoo pernah berkata tentang pembagian tugas supaya mereka tidak kewalahan.
Sepengetahuan Sunghoon, hari ini kedua rekannya itu kembali melakukan pertemuan dengan perwakilan manusia. Dari nada bicara keduanya, Sunghoon menangkap getar tidak puas terutama pada suara Heeseung.
Jay dan Heeseung semakin mendekat. Namun tidak cukup dekat untuk didengar lebih jelas.
Sunghoon menegakkan punggungnya lalu duduk menghadap danau. Segerombol angsa berbulu putih sedang berada di atas air, satu di antaranya tampak mencelupkan kepala ke dalam air.
Saat memutuskan untuk menoleh ke arah sumber suara, Sunghoon mendapati keduanya berdiri terlalu dekat satu sama lain di bawah rindangnya daun pohon dedalu. Percakapan mereka memudar, karena Sunghoon tak lagi mendengar apa-apa. Namun penglihatannya merekam dengan jelas saat wajah Jay mendekat kepada Heeseung.
Seketika, Sunghoon memalingkan pandangan dan kembali merebah. Tangannya terangkat pada jantung yang hening. Sengat pedih menyergap sanubarinya hingga Sunghoon tidak kuasa untuk tetap terjaga.
Bukan pertama kalinya, namun Sunghoon tetap saja merasa terusik.
* * *
Jerit tangis memenuhi udara. Sunghoon berdiri di sana, di tengah kekacauan saat semua orang berlarian mencari perlindungan. Api membakar pepohonan juga rumah-rumah sepanjang mata Sunghoon memandang.
Mimpinya selalu seperti ini; menggambarkan kekacauan yang tidak pernah tinggal di ingatannya.
Kemudian, sekelompok makhluk pucat tanpa bekas luka maupun keringat dari kulit yang terbakar sinar ultraviolet muncul dari sebuah pintu besar. Di balik pintu tersebut, sekilas terlihat suatu tempat dengan padang rumput hijau dan langit teduh.
Lalu apa yang Sunghoon lakukan di sini?
Atensi Sunghoon tertarik pada sejumlah makhluk pucat tersebut mengerubungi tubuh yang terkulai lemah di tanah. Tanpa diketahui sebabnya, darah menggenang di sekitar tubuh pemuda tersebut. Namun ia masih bernapas, seorang dengan tampilan paling berwibawa meminta makhluk pucat itu membawa tubuh si pemuda terluka untuk diselamatkan.
Ketika Sunghoon melangkah mendekat dan mulai mengenali wajah sosok itu, tubuhnya merosot ke tanah. Di depan matanya, Heeseung terbaring bersimbah darah yang mengucur dari bagian belakang kepala.
* * *
Sunghoon seketika bangun dari tidurnya. Kepalanya berdenyut sakit usai mendapatkan mimpi buruk; pemandangan Heeseung terluka tidak bisa ditanggung olehnya. Keringat dingin mengucur dari setiap pori Sunghoon, pemuda itu menggigil sambil menahan gejolak diri untuk berteriak.
“Heeseung, apa kau baik-baik saja?” Pemikiran itu melintas begitu saja di kepala Sunghoon.
Vampir itu melompat turun dari ranjang sambil memakai jubah tidur menutupi dada telanjangnya. Segera ia menghambur ke luar pintu menyusuri selasar. Langkahnya berhenti di depan pintu Heeseung yang tertutup rapat.
Hanya ingin memastikan keadaan yang lebih tua, Sunghoon berlari keluar menuju balkon. Ia sudah hafal tempat di mana jendela kamar Heeseung, yang kini membiaskan pendar cahaya lampu dari dalam.
“Apa yang membuatmu terjaga?” Sunghoon mengambil satu langkah mendekat agar bisa mencuri lihat lebih jelas.
Tangan Sunghoon seketika terkepal begitu menyaksikan Heeseung tampak tidak berdaya di pelukan Jay. Sesuatu, barangkali mimpi buruk, telah dialami Lee Heeseung.
Secara refleks, Sunghoon mengambil langkah mundur. Sambil meyakinkan diri bahwa Heeseung sudah berada di bawah penanganan yang tepat, Park Sunghoon kembali ke kamarnya.
* * *
Heeseung duduk di samping Sunghoon, tangannya menengadah ke atas.
Setelah menggenggam tangan Heeseung, Sunghoon memberanikan diri bertanya, “Kau baik-baik saja?”
Ditanya demikian, Heeseung membalas tatapannya penuh minat. Sunghoon berusaha mati-matian agar sikapnya tetap terkendali.
“Energimu. Tampaknya terkuras habis,” imbuh Sunghoon seraya mengangkat bahu.
“Banyak yang harus dilakukan. Benar, ‘kan, Sunoo?” jawab Heeseung.
Yang bernama Sunoo hanya mengangguk, mengerling sejenak sebelum tenggelam dalam bacaannya.
“Kau selalu bisa bertanya padaku, tapi aku selalu jadi yang terakhir tahu,” batin Sunghoon sementara ia tengah mentransfer energinya selambat mungkin. Pandangannya jatuh pada genggam tangan mereka.
“Sunghoon, kau punya sesuatu untuk dibicarakan?” Heeseung memiringkan wajah, mengamati Sunghoon.
Sejurus kemudian, Sunghoon menggeleng. “Aku hanya berpikir tentang meletakkan cermin dengan bingkai sama besar di depan cermin milik semesta kita,” gumamnya.
Sunoo yang semula acuh tak acuh kini mulai berminat, “Sunghoon, bukankah kau belum pernah melihat Aula Cermin?”
Tidak satupun dari mereka pernah melihatnya. Aula Cermin selama ini khusus diakses oleh Sunoo, yang menjadi penanggung jawab tempat itu sejak para vampir tua menyatukan diri dengan angin.
“Memang belum,” ujar Sunghoon, “Tapi bukan berarti aku tidak memahami cara kerja semesta kita dan bagaimana manusia bisa sampai di tempat ini.”
Kata-kata Sunghoon disusul hening oleh seisi ruangan. Namun semua mata tertuju padanya.
“Sunghoon, maksudku semuanya, kita perlu bicara makan malam nanti,” kata Jay memecah kesunyian.
* * *
“Akhirnya keluar dari cangkang juga, eh?” Sunoo mengusap rambut Sunghoon yang kini tengah berbaring dengan kepala di pangkuan si vampir murni.
“Karena diam bukan berarti aku berlagak tidak tahu, Sunoo.”
Ketujuh vampir saat ini tengah berada di padang rumput pinggir danau dengan aktivitas mereka masing-masing. Ni-ki dan Jake seolah tidak ada habisnya berkejar-kejaran. Sementara Jay, Heeseung dan Jungwon terlibat percakapan sambil berlomba melempar batu ke danau.
Sedangkan Sunghoon, terlalu lelah untuk menggerakkan ototnya. Sesuatu terjadi di kamp semalam, itulah mengapa ketujuh vampir berkumpul dengan suasana tak ubahnya sekelompok remaja yang tengah bermain-main seperti itu.
“Waktu itu kau jatuh dari ketinggian, kepala membentur batu,” ucap Sunoo tiba-tiba, “Kehilangan banyak darah. Menyelamatkan salah satu dari mereka.”
Meski terkejut dengan kalimat Sunoo, Sunghoon tidak beranjak dari posisinya. Sudah lama ia menanyakan tentang asal usulnya dan mengapa dirinya jadi manusia pertama yang diubah Sunoo sebelum Heeseung. Namun baru kali ini Sunoo mau menjawab pertanyaan Sunghoon.
“Terima kasih, Sunoo. Aku mungkin sudah mati sejak itu,” gumam Sunghoon sebelum kembali memejamkan mata.
0 notes
Text
Sang Hakim

Riwayat milik Park Jongseong, yang diberi judul “Sang Hakim”.
* * *
"Aku.”
Suara beku Jongseong terdengar di tengah riuh redam manusia. Tatapan mereka seketika mengarah padanya yang masih gemetar.
Badai matahari menghancurkan rumahnya. Lantak, hingga jadi abu. Sorot mata nanar Jongseong ditujukan kepada Kim Sunoo yang kini bersimpuh tak jauh dari tubuh Park Sunghoon yang bersimbah darah.
Air mata Jongseong menggenang di pelupuk mata, napasnya masih berat kendati kini sudah menyeberang dari semesta asalnya. Selanjutnya, usai Sunoo mengangguk, ia Jongseong dengan mantap berkata, “Aku ingin ikut denganmu.”
* * *
Dengan dua tangan saling bertaut, Jongseong yang kini lebih dikenal dengan nama Jay, memperhatikan pemandangan di hadapan.
Makan malam biasa dengan enam vampir lain. Jay bukannya tidak berselera, hanya saja ketegangan Sunoo dan Heeseung barusan mengubah suasana meja makan. Masing-masing duduk di ujung meja, Sunoo dan Heeseung kini menghindari tatapan satu sama lain.
“Dewasalah sedikit.”
Sebaris kalimat itu keluar dari bibir Jay. Sembari menegakkan punggung, ia melanjutkan, “Perbedan pendapat bukan untuk diperdebatkan, melainkan dicari jalan tengahnya. Mengingat situasi kita saat ini. Kita tidak perlu saling menghancurkan. Biarlah itu jadi sifat manusia.”
Dari sudut matanya, Jay mampu menangkap senyum tipis Sunoo dan geram halus Heeseung. Memang benar jika masa remaja belum meninggalkan mereka sepenuhnya, sebagaimana menyesuaikan desain Kim Sunoo yang tiada pernah menua. Sifat-sifat umum remaja dalam diri mereka juga tak lantas luntur.
Akan tetapi menurut Jay, dengan durasi hidup dan situasi saat ini banyak hal yang harus dikesampingkan. Termasuk ego.
Perjamuan makan pun semakin sunyi. Tetapi ketegangan yang semula mencekik ini berubah kendur. Jay mengangkat gelasnya kemudian mulai meneguk isinya; darah segar.
* * *
Park Jongseong kehilangan segalanya ketika meninggalkan rumah. Namun ia membawa serta segunung rasa bersalah terhadap keluarganya, yang kini tiada.
“Benar katamu jika setelah ini aku tidak bisa mengingat apa-apa lagi?” Jongseong bertanya pada Kim Sunoo.
Vampir itu tak ubahnya bocah yang sedang sibuk dengan mainannya. Namun semua citra kenakan Sunoo sirna saat mulai bicara, “Jadi kau memang buru-buru lari dari perasaanmu, ya?”
Jongseong terdiam mendengar ucapan Sunoo. Makhluk ini konon bisa menyusup masuk ke dalam alam pikir siapapun, ia tidak seharusnya terlalu tersinggung dengan perkataan barusan. Karena Sunoo hanya mengatakan kebenaran dari apa yang dibaca dari dalam dirinya.
“Sayangnya, aku hanya bisa menghapus ingatanmu.”
Dikatakan Sunoo sebelum vampir itu mencampakkan boneka beruang di tangan dan mulai melangkah ke arah Jongseong.
Menit berikutnya, Park Jongseong berakhir di lantai ruangan; tersiksa.
* * *
“Aku tidak bisa menyanggupi pasal ini.”
Jay memungut lembaran kertas berhamburan yang barusan dilempar Heeseung. Dibacanya aksara demi aksara hingga ia mendesah pelan.
“Kau mau aku mengusulkan pembaruannya?” sebelah alis Jay terangkat kala menatap Heeseung. “Mereka jelas ingin menekan kembang biak kaum kita, dilihat dari ide kamp konsentrasi untuk… manusia benar mengembangkan teknologi semacam ini?”
“Konyol memang,” dengus Heeseung sambil meminum airnya.
“Jika sudah menjadi vampir tidak ada jalan kembali. Atau, mereka dipaksa untuk haus seumur hidup. Masih baik jika kekurangan darah membuat kita mati.”
“Sayangnya tidak, kita mati jika….,” ucapan Heeseung terputus karena merasa tidak ada perlunya membawa sesuatu yang belum pernah ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.
Jay memilih untuk mengabaikan bahasan barusan lalu berkata, “Manusia menyukai konspirasi, bukan? Mari manfaatkan sifat itu.”
Tampang Jay tampak serius sementara tangannya sedang memainkan bidak catur di tangan sebelum mengambil dua langkah ke depan. Heeseung menatap gerak bidak catur dari tangan Jay, kemudian mengerjap sebagai tanda menangkap maksud dari sang lawan bicara.
“Apa yang kau pikirkan?” Heeseung bertanya usai berdeham, mencoba mencari tahu makna dari ekspresi Jay, Jongseong-nya.
“Karena kita membutuhkanmu dan manipulasimu, kita harus membuat manusia percaya bahwa kita, bangsa vampir sudah musnah,” kata Jay berhati-hati. Sorot matanya tertuju kepada Heeseung tanpa berkedip sedikit pun.
Hening sejenak, Heeseung lantas menggeleng sambil mengenyakkan punggung pada sandaran kursi. Kedua alisnya terangkat, tak percaya dengan usul Jay yang berbahaya; setidaknya untuk kelangsungan hidupnya sendiri.
“Memanipulasi miliaran jiwa, pikirmu aku punya energi sebesar itu?” Heeseung melipat tangan di depan dada.
“Dengar, kita bisa menggunakan kecanggihan teknologi dan media untuk itu. Kau, tentunya tidak perlu bekerja sendiri. Kita hanya perlu strategi yang matang, tentu aku harus membicarakan denganmu terlebih dulu. Kau dan yang lainnya,” jelas Jay, tubuhnya kini tampak condong ke arah Heeseung yang masih memandanginya dengan sangsi.
Jay melanjutkan, “Jika mereka sudah percaya kita makhluk fantasi, barulah kita mengendalikan manusia untuk saling menghancurkan dan menemui kiamat mereka. Perlahan, namun pasti.”
Sebuah senyuman disungging Lee Heeseung sebelum melontar sebuah komentar, “Kau tahu, Jay? Sunoo akan bangga sekali padamu. Kau mengadaptasi cara kerjanya mengendalikan kita, bukan?”
“Oh, jadi ini alasanmu sulit menerima gagasanku?” Jay terkekeh di sela gurauannya.
“Sedikit, tapi aku bukan tidak sadar seberapa efektifnya cara itu,” gumam Heeseung sebelum meneguk air dari gelasnya hingga tandas.
Berikutnya, Jay meminta Heeseung berjanji untuk tidak banyak mendebat saat mereka membicarakan rencana ini di hadapan yang lain saat makan malam.
* * *
Sedikit banyak, Jongseong punya kesamaan dengan Heeseung. Keduanya sama-sama mengemban dilema yang mengakar di sudut jiwa sejak terbangun sebagai makhluk pengisap darah.
Jay, hingga detik ini masih bertanya-tanya apa yang membuatnya dibayangi perasaan asing sekaligus membebani. Kadang kala rasa sakit tanpa alasan mendera batinnya hingga ke tahap memuakkan. Konon meski Jay kehilangan semua ingatannya sejak terbangun, perasaan yang hidup dalam dirinya tidak akan benar-benar mati.
Diam-diam, Jay penasaran apakah vampir lain mengalami hal serupa seperti dirinya dan Heeseung. Karena selama ini, ia tidak pernah benar-benar tahu apa yang disimpan fasad makhluk-makhluk dengan masa muda abadi ini.
0 notes
Text
Tulang Belakang

Riwayat Milik Yang Jungwon, yang diberi judul “Tulang Belakang”
* * *
Darah menguap dari tubuhnya.
Jungwon gemetar hebat, giginya bergelemetuk menimbulkan suara ketukan bertempo cepat. Napasnya memburu, kuku-kuku Jungwon kini tengah menancap pada permukaan kulit sedingin porselen. Erang tertahan lolos dari kerongkongannya yang kering.
Air. Jungwon butuh air.
Belum sempat bibir keringnya mengucapkan keinginan itu, kepala Jungwon mengalami sengatan menyakitkan. Tubuhnya yang semula dalam posisi duduk, kini ditahan oleh sosok lain agar merebah. Tak lama kemudian ia kejang.
Setiap lini pembuluh darah Jungwon seolah terbakar. Bahkan hingga pembuluh kapiler di ujung-ujung jarinya kini seolah melawan dirinya. Hingga ia tancapkan lagi kukunya di permukaan kulit sedingin porselen itu, dengan harapan panas dapat segera pergi dari tubuhnya.
Jungwon meronta. Dengan segenap kekuatan ia mencoba mendorong tubuh yang kini mengungkungnya. Vampir sialan. Bekas gigitan di lehernya terasa meleleh, menyisakan pedih luar biasa, berdenyut di bawah kulitnya yang kini membara.
Mata Jungwon memejam, kalah dengan rasa panas membara yang membuat lelehan air matanya terasa hangat. Tubuh Jungwon kembali mengejang sebelum kemudian kaku. Sekarang tulang belulangnya serasa dipatahkan, persendian seolah dihantam benda tumpul.
Rasa sakit mengakar pada dirinya. Sehingga mulutnya tak lagi tahan mengeluarkan raungan marah kepada seisi alam semesta.
Sejurus kemudian, Jungwon dapat merasakan tubuhnya didekap oleh Sunoo. Kini hanya tinggal rasa sakit yang menyerang inti sel, Jungwon sudah tidak bisa bereaksi apa-apa lagi selain terisak.
“Mestinya kau bunuh aku saja, Kim Sunoo.”
“Aku memang membunuhmu.”
—
Jungwon memaku tatapannya pada sosok itu. Kim Sunoo, mahligainya tampak tak emban barang secuil dosa. Namun siapa yang sangka jika vampir murni itu memang tidak pernah punya hati?
Sunoo meletakkan telapak tangan Jungwon ke dadanya sendiri. Dekapan itu terurai, perlahan-lahan sengatan kesakitan pada setiap inti sel tubuh Jungwon memudar. Tenang. Tidak berdetak. Jungwon mendongak menatap Sunoo, sambil terbata ia mengatakan, “Aku sudah mati, ya kan?”
Yang ditanya hanya menghela napas lantas menarik Jungwon ke dalam pelukannya. Tangan dingin itu mengusap punggungnya pelan. “Jungwon, sebagai manusia kau memang sudah mati. Selamat datang, Tulang Belakang kami,” bisik Sunoo.
Akan tetapi, Jungwon tahu bahwa dirinya tidak akan pernah menghakimi Kim Sunoo. Karenanya, kini peradaban manusia selamat. Kendati Jungwon tidak pernah lagi mampu mengingat bagaimana rasanya menjadi manusia dan hidup di seberang Semesta.
Jika Jungwon mampu membaca dersik kerinduan di benak teman-teman vampirnya yang lain, ia sendiri tak punya semua itu. Jungwon dan satu lagi, Sunghoon, tidak pernah dihantui sifat manusia atau kerinduan pada masa lalu di belakang mereka.
Jungwon menyadari bahwa masing-masing dari mereka memiliki satu sama lain, kecuali si vampir murni. Dari sosoknya derak kesepian layaknya karat yang menggerogoti besi. Tidak pernah ada kedamaian di balik perangainya yang selalu tenang dan terkendali.
“Kesampingkan kekuatanmu itu dariku, Jungwon,” kata Sunoo sambil menyeringai ke arahnya.
Tanpa diminta, Jungwon memang tidak pernah membongkar getar perasaan mereka meski menyadari dengan jelas. Namun ia lupa bahwa yang satu ini punya akses ke dalam kepalanya.
“Jadi, kapan perburuannya, Sunoo?” tanya Jungwon usai berdeham, melegakan tenggorokannya.
“Perburuan yang mana, maksudmu? Untuk makan atau prajurit?” Sunoo bertanya balik. Sejurus kemudian vampir dengan helaian rambut putih keperakan itu menyeka darah dari bibirnya.
Yang Mulia sedang makan siang. Jungwon sendiri tidak selera, ia menginginkan darah yang masih hangat akan tetapi masih sanggup menahannya.
“Dua-duanya.” Jungwon mengedikkan bahu sambil memainkan apel di atas meja dengan gestur santai.
Sunoo mencondongkan tubuh ke depan, menopang dagu. “Ajaklah Riki, sudah waktunya kalian makan. Orang-orangku sudah menemukan beberapa,” ucapnya kemudian menarik badannya ke belakang untuk bersandar.
“Lalu, kau?” Jungwon membulatkan mata, bertanya-tanya mengapa Sunoo tidak ingin darah “yang sesungguhnya”.
“Aku sudah makan, kau lihat.”
Secercah getar kasih sayang terpancar dari Sunoo, demikian yang dapat dirasakan Jungwon. Seketika ia paham bahwa vampir tertua itu ingin memanjakan mereka.
“Demi Pemimpin Agung, Yang Jungwon, berhenti mencari tahu isi hatiku,” gerutu Kim Sunoo.
Yang diajak bicara pun hanya bisa meringis mendengar teguran Sunoo.
—
Semilir angin menerpa rambut depan Jungwon. Memaksanya memejamkan mata.
Hari mulai gelap dan kabut dari atas gunung perlahan-lahan merayap turun. Kedua tangan Jungwon berpegangan erat pada rantai besi ayunan yang sedang dinaiki.
Jungwon membiarkan tubuhnya berayun perlahan.
Penglihatannya menangkap pemandangan mansion milik Kim Sunoo yang berlatar belakang pegunungan. Tempat ini tersembunyi, jauh dari hawa manusia. Sekaligus dingin.
“Bagaimana Riki?” Tiba-tiba saja terdengar suara Jay - atau Jongseong yang kini sudah duduk di ayunan satunya.
“Lahap, seperti biasa,” sebuah tawa singkat lolos dari bibir Jungwon kala mengingat Riki beberapa waktu lalu. Saat mereka makan.
“Yah, barangkali itu membuatnya bahagia.” Jay kini mulai berayun.
“Memang benar. Riki, marah dan bahagia. Terkadang aku benci harus mengambil sedikit energinya, atau dia akan terbakar,” kata Jungwon sembari menempelkan sisi kepalanya ke rantai ayunan.
“Kau sudah melakukan yang benar, Jungwon. Jangan benci apapun.”
Tanpa sadar senyuman mengembang di wajah Jeongwon. Bukan hanya dari kata-kata Jay, melainkan getaran yang ia tangkap saat mengatakan kalimat itu. Meski kini tubuhnya sedingin porselen, ia merasa jiwanya hangat.
“Yah, kau juga, Jongseong,” ujar Jungwon sebelum menjeda sejenak. “Jangan khawatir atas apapun tentang kami.”
Sepersekian detik kemudian, tatapan mereka bersirobok. Jungwon dan Jay saling bertukar senyum. Berikutnya, kaki-kaki mereka menyentuh tanah kemudian berayun lebih kencang ke arah berlawanan.
Meski telah melalui beberapa masa kehidupan dalam ukuran manusia, mereka semua sejatinya tak ubahnya pemuda biasa. Sunoo mengubah keenam pemuda itu ketika masa remaja belum meninggalkan fase hidup mereka.
“Apa aku harus membicarakan ini dengan Heeseung?” tanya Jay tiba-tiba, memecah suasana yang beberapa menit terakhir diisi oleh suara hembusan angin dan derit ayunan.
“Soal apa? Peraturan hubungan manusia dengan vampir? Atau justru pertemuannya?”
Jay lantas mengangkat pundaknya lalu menjawab, “Yah, aku mendapat masukan baru dari dewan pagi ini.”
“Bukankah kau harusnya membicarakan itu dengan kami semua?” Jungwon memperlambat ayunannya.
“Memang, aku yakin Sunoo sudah tahu. Tapi dia akan membiarkanku mengambil keputusan. Heeseung, aku membutuhkannya,” terang Jay, ikut melambat.
Tanpa penjelasan lebih lanjut, Jungwon mengangguk. “Aku mengerti, kau memang harus berbicara dengannya tentang ini,” katanya.
—
Jungwon duduk di ruangan gelap sambil memeluk lututnya. Pandangannya yang kosong, kedua tangan saling bertaut. Desau napasnya teratur, begitu juga detak jantungnya.
Ada Sunoo di sisinya, duduk dengan boneka beruang di pangkuan. Jungwon bukan tidak menyadari pergerakan tangan vampir itu pada boneka beruangnya.
Jungwon, kenapa kamu membiarkan dirimu berbagi ruangan dengan sesosok vampir?
Diam-diam, Jungwon membayangkan apa yang mungkin dikatakan orangtuanya jika mengetahui posisinya saat ini. Tetapi ia tahu, tidak ada orangtua. Tidak ada sanak saudara. Jungwon sebatang kara di dunia yang dingin ini sejak migrasi besar-besaran mereka dari seberang Semesta.
Karena aku dipilih untuk hidup bersama dengan mereka, di keabadian.
Ketika merasakan napas Sunoo di lehernya, Jungwon tahu ia tidak akan pernah sama lagi.
0 notes
Text
Saksi

Riwayat ini diberi judul “Saksi”, milik Kim Sunoo. Bagian Pertama.
Kim Sunoo menyaksikan segalanya. Segalanya. Segala-gilanya.
Vampir tidak berbohong, termasuk saat Sunoo mengatakan bahwa ia bukan terbangun melainkan lahir. Benar, dari sepasang vampir. Ironisnya Sunoo tidak mengenal mereka yang membawanya ke dunia ini.
“Tapi memang demikian, kau harus dipisahkan dari segalanya yang mampu mengikatmu. Karena pada dasarnya, kau berbeda.”
Takdir menunjuk Sunoo sebagai pemimpin. Alhasil, ia mampu melihat dan mendengar apapun tentang kaumnya tanpa diminta. Bahkan saat ia memilih untuk menutup mata.
Konon, saat penglihatanmu dihalangi maka batin yang akan bekerja.
Namun Sunoo mafhum jika sebelum dirinya memegang kendali Aula Cermin, satu dari vampir tua itu memegang kendali atas dirinya. Sampai pada akhirnya si vampir tua terakhir memilih menyatukan diri dengan angin. Figurnya tinggi, dengan rambut kecoklatan dan fitur wajah tegas - sosok paling berwibawa daripada yang lain.
Di tengah padang sabana luas dengan semak rendah, mereka berdua berhadapan. Ialah yang terakhir, namanya pun diawali dengan Kim- sama seperti Sunoo sendiri. Enam vampir tua yang lain telah pergi.
“Kau sudah punya enam lagi, kini waktuku pergi.”
Bibir si vampir tua terkatup, percakapan itu dilakukan dalam alam pikiran. Sunoo, dengan segala kelancangannya melemparkan tatapan tajam dan ekspresi keras. Rahangnya menegang, giginya nyaris bergemeretak.
“Kau melimpahkan semua ini padaku?”
“Tidak ada yang lebih mencintai manusia daripada kau, Sunoo. Pelajari cara mereka hidup, lalu selamatkan diri kalian. Bertahanlah.”
Sebelum Sunoo sempat mendebat, sosok itu memudar perlahan. Bagai benih dandelion yang ditiup angin, kemudian lenyap.
Sunoo dapat merasakan lututnya gemetar. Tangannya meremas boneka beruang yang ditenteng pada sisi kanan tubuh. Emosi berkecamuk dari kepala dibiarkan mengendap begitu saja di dalam jiwa.
Kini Sunoo bebas, tanpa suara di dalam kepala yang membisikkan perintah. Seketika, pundak Sunoo terasa berat. Nasib bangsanya lah yang kini ia emban.
—
“Seburuk apa?” tanya Kim Sunoo, yang saat itu masih sekadar kaki tangan.
Ketujuh tetuanya saling bertukar tatap. “Mereka semua akan lenyap,” jawab salah satu vampir tua dengan paras menawan namun aura dingin menyelimutinya.
Berikutnya, Sunoo didorong masuk ke dalam dimensi di balik cermin seukuran tubuh vampir dewasa. Bingkainya perunggu dengan ulir bunga lili dan telapak tangan sebagai motif pahat.
Raksasa Merah. Satu hal yang menyita perhatiannya saat itu.
Konon dua semesta ini mirip namun mentari tak lagi tampak bersahaja. Jerit dan tangis menggema dari seluruh mata angin. Sunoo tidak ingin mengingat bagaimana ia menyaksikan kulit manusia-manusia itu tersengat hantaman sinar ultraviolet membabi buta.
“Selamatkan.”
“Jika banyak jantung berdetak di antara kita…”
“...kelaparan hanya akan menjadi mitos.”
“Kau gila.”
Menurut informasi yang didapat Sunoo, semesta ini baru saja dihantam badai matahari. Tanaman mengering, hingga nyaris mati. Oh, atau justru sudah? Air?
Tanah yang dipijak Sunoo kala itu hanya sedikit dari sejumlah kecil wilayah terselamatkan. Sekelompok manusia itu pun sedikit dari yang mampu bertahan.
Keputusan ini ditanggungkan kepadanya sebagai jembatan. Di hadapan Metushelah, Sunoo membuka suara, “Kami punya syarat.”
—
“Aku meminta enam pemuda untuk dibangkitkan.”
“Kami.” Suara Heeseung terdengar, ia berdiri tak jauh dari tempatnya duduk.
“Terutama kau, Lee Heeseung,” ujar Sunoo seraya mengedikkan bahu.
Benar adanya, Sunoo meminta enam orang pemuda untuk ia bangkitkan. Sebagai vampir.
Para tetua menyebutnya gila, namun hipotesis Sunoo terbukti tepat. Adalah ketika ia melihat Heeseung, yang paling rasional dan “manusia” daripada lainnya, bangkit dan mampu hidup tanpa meninggalkan fitrah sementara identitas baru tersemat padanya.
Secara bertahap, Sunoo membangkitkan keempat pemuda yang lain. Benar, empat orang. Pemuda pertama yang harus tersiksa oleh gigitannya bernama Sunghoon.
Kala itu Sunghoon ditemukan hampir mati, namun masih bernapas. Tidak ada yang mengaku berkerabat dengannya. Sehingga Sunoo dengan instingnya membawa pemuda itu kembali ke dimensinya. Tanpa pernah membiarkan Sunghoon mengingat kapan pertama kali rasakan taring Sunoo menancap ke pembuluh darahnya.
Selepas dari Aula Cermin, Sunoo menghapus ingatan semua manusia yang mampu diselamatkan. Karena keputusan ini berada di tangannya, begitu pula tanggung jawab yang mengikutinya.
Namun jika ditinjau kembali, Sunoo agaknya terlalu murah hati. Vampir dibiarkan kelaparan sampai manusia dapat memulihkan peradaban sedikit demi sedikit. Manusia memang tidak melawan sampai beberapa masa, hingga kini keberadaan vampir lah yang terancam.
Pemuda pilihannya yang terakhir, Ni-ki atau Riki telah merasakan tahun-tahun awal hidup sebagai manusia di rumah yang baru. Sehingga perubahan dalam dirinya tidak serta merta diterima dan memaksa Sunoo sedikit lebih ketat dengan mengurung dan mengerahkan lebih banyak tangan.
Adalah Jake dan Heeseung yang punya tugas khusus untuk mengawasi Riki.
—
Enam bulan sekali, terdapat pertemuan antara perwakilan manusia dan bangsa vampir. Kali ini Sunoo bukannya tidak tahu jika Heeseung menghadapi manusia seorang diri. Lewat semua ucapan Heeseung, mereka setidaknya akan sedikit jinak.
Jauh lebih baik daripada cara yang digunakan Sunoo untuk memenangkan argumen.
Namun ada yang tidak beres. Upaya Heeseung untuk mengajaknya berkomunikasi memaksa Sunoo untuk membuka mata. Beberapa detik sebelumnya ia sempat menyelami alam pikiran, mendengar suara-suara bangsanya yang menggema di bilik kalbu masing-masing.
“Jay, datanglah pada Heeseung,” titah Sunoo kepada Jay atau dikenal sebagai Jeongseong semasa menjadi manusia yang berada di salah satu sayap kediamannya. Sekejap, ia sudah tahu bahwa yang diberi perintah sudah bertolak menuju tempat Lee Heeseung berada.
Sebelah tangan Sunoo mendarat di puncak kepala Sunghoon, vampir dari bangsa manusia pertama itu meletakkan kepalanya di pangkuan. Terlelap dalam damai yang Sunoo enggan usik.
Jemarinya menyusuri helai-helai rambut legam Sunghoon. Setidaknya pemuda ini pantas dapatkan tidur setelah semalaman menguras energinya di pusat penampungan.
Kau sudah punya enam yang lain.
Benar adanya jika Sunoo dan keenam vampir muda itu kini membagi kehidupan bersama. Bukan lagi manusia, maka Heesung, Jake, Jay, Sunghoon, Jungwon dan Riki harus memastikan kelangsungan hidup bangsa vampir.
Perjalanan ini tidaklah mudah. Namun, Sunoo hanya punya sedikit pilihan.Jika Sunoo sudah lama mengabaikan rasa lapar, belum tentu enam yang lain juga demikian. Sebersit pemikiran hinggap di kepalanya, apakah ini saatnya untuk berburu?
0 notes
Text
am i really safe?

Related works here
Bae Yubin as Pingkan Radita Kaunang. Joshua Hong as Agah Martana Kaunang.
Special Appearance: Choi Seungcheol as Clinton, Xu Minghao as Paris.
Special Mention: Yoon Jeonghan as Arial. Kim Mingyu as Nicholas. Jung Chaeyeon as Arabella Alamsyah.
⋆
Sejak lama Pingkan berpikir rasa aman adalah ilusi, atau sekadar cara untuk lari.
===
Ada sebuah rumah kaca di salah satu sudut taman kediaman keluarga Kaunang. Sebuah ruang penuh rasa aman ciptaan Pingkan sendiri.
Sudah jadi impian mendiang kedua orang tua Agah dan Pingkan memiliki rumah dengan halaman belakang luas. Alhasil, kini kedua saudara itu tinggal di sebuah rumah megah dengan halaman belakang berupa arena golf lengkap dengan danaunya.
Rumah kaca selalu menjadi tempat spesial untuk Pingkan. Terutama sejak kedua orangtuanya berpulang. Sebagaimana kemegahan rumah ditinggalkan untuk dua bersaudara ini, rahasia besar juga bersarang di sana. Pingkan terlalu punya banyak minat untuk tidak memahami apa yang ditanam pada bagian paling dalam rumah kaca.
Opium.
Meski tidak pernah dibicarakan secara langsung, ia langsung tahu ketika pertama kali melihat karakteristik tanaman yang tumbuh rimbun jauh dari pintu masuk. Pula, Pingkan tidak pernah bertanya hanya belajar dari buku-buku yang dipetakan oleh Anthony Kaunang.
Sepeninggal papa, Pingkan masih merawat tanaman kesayangan sang empunya meski tidak pernah digunakan. Meski begitu, Pingkan tahu cara mengolah tanaman-tanaman yang ada di sana. Bukan hanya opium, beberapa menanam tumbuhan beracun rupanya juga menjadi hobi sang ayah.
Rumah kaca dikelilingi kolam alami di sekitarnya, Pingkan meminta dibuatkan teras kecil di salah satu sisinya yang menghadap kolam teratai. Di sana lah Pingkan Radita Kaunang menenangkan sarafnya.
Sambil menyesap teh peppermint, Pingkan menanti kakak laki-lakinya dengan sabar. Karena kebetulan cuaca sedang bagus dan tidak banyak kegiatan hari itu, Pingkan membawa sejilid buku dan meminta pelayan rumahnya menyediakan satu set afternoon tea. Lengkap dengan scones yang sudah hampir habis.
Sengaja Pingkan menyisakan roti lapis untuk Agah. Perempuan itu tahu kakaknya terlalu sibuk untuk memperhatikan makanan, atau memang tidak peduli.
Pingkan meletakkan cangkir tehnya ke atas tatakan saat mendengar langkah kaki semakin mendekat. Benar saja, Agah lantas muncul dengan rentetan keluhan kepada Pingkan.
“HP lo nggak guna ya, Dik,” komentar Agah.
“Tadi gue udah bales kalau mau ngomongin ini langsung,” jawab Pingkan sebelum meletakkan roti lapis daging asap dan coleslaw ke atas piring Agah. “Lo mau teh peppermint atau barley, gue cuma bawa itu. Kita bisa minta kalau lo mau yang lain.”
“Samain lo aja, tambah gula jangan lupa.” Agah menyandarkan punggungnya ke kursi sambil memejamkan mata sejenak.
“Lo bisa mulai, by the way,” gumam Pingkan.
Sembari adiknya meracik teh untuknya, Agah kembali membuka mata dan mulai mengutarakan maksudnya.
“Ada yang minta dikenalin. Tapi gue baru akan jawab semisal lo setuju.”
“Temen lo?” Pingkan mengangkat alisnya.
Agah menerima cangkir seraya mengedikkan bahu. Ia mengerling ke arah adiknya saat menjawab, “Temen, nggak seakrab itu. Tapi gue selidiki lumayan juga.”
“Lo mau gue sama orang yang cuma ‘lumayan’?” tanya Pingkan diikuti gelak tawa.
“Gue mencoba berpikiran terbuka, dan lo juga bisa mulai lihat potensi lain.”
Pingkan menggeleng lalu menghela napas. “Kak Agah, lo bebas kasih kontak gue ke siapapun itu selama dia lebih dari Arial,” ujarnya.
Tawa pun terdengar sebelum Agah menimpali, “...Kalo begitu lupain aja.”
Perempuan itu menyeringai kemudian mengurai sikap duduk tegak. “Gue sama Arial belum ada apa-apa tapi lo udah segitu khawatirnya,” ujarnya sebelum mengulas senyum kemenangan.
“Udahlah. Nggak usah berurusan sama orang-orang di Tim Arcs.” Agah separo mengeluh, selebihnya serius.
“Selama ini Tim Arcs yang selalu memastikan gue nyaman. Harusnya nggak apa-apa.”
---
Ketakutan Agah sangat beralasan. Hari-hari liar di Amerika Serikat kala itu, sayangnya, amat berdarah.
Pingkan menyusul Agah dua tahun sejak kakaknya itu berangkat ke Princeton. Sumpah demi Tuhan, Pingkan hanya ingin belajar dan segera kembali ke Indonesia dan dekat dengan sahabatnya sejak sekolah dasar, Arabella. Namun sayangnya banyak hal terjadi di luar rencana.
Sumpah darah kakaknya dan kedua temannya sungguh konyol, pikir Pingkan. Karena itu semua, hari-hari Pingkan di Princeton selalu berada di bawah pengawasan. Sebenci apapun Pingkan beramah-tamah dengan pelajar Indonesia lain, ia tak pernah nyaman jika tiga pasang mata lain tertuju padanya acap kali terlibat interaksi dengan orang baru. Punya satu kakak macam Agah saja sudah menyesakkan, dua laki-laki yang lain juga sama rewelnya.
Di antara kekangan kakaknya, Pingkan menemukan celah untuk sedikit bernapas. Terutama jika Agah menitipkan Pingkan di bawah pengawasan Paris atau Nicholas. Kedua con-artists itu tidak akan terlalu cerewet soal keselamatannya. Bahkan Pingkan juga mengenal Svana, kekasih Paris.
Atas pengaturannya dengan Paris dan Nicholas, Pingkan bisa pergi ke mana saja.
Malapetaka pun dimulai sejak ia mendatangi acara kumpul-kumpul seorang teman, Isabelle Hasibuan. Kehadiran Pingkan kala itu mewujudkan mitos-mitos yang selama ini berporos pada namanya. Sekalinya muncul, Pingkan seketika menjadi makhluk eksotis yang menarik keingintahuan sekumpulan pelajar kaya dari Indonesia ini.
Berkat hubungannya dengan Clinton dan Arial pula, Pingkan bisa seketika tahu siapa di antara mereka yang berafiliasi dengan si begundal Julius Wangsa. Kebetulan, Pingkan menjerat Romario Pangalila, seorang dari lingkar dalam pergaulan Jules yang entah bagaimana menjadi musuh abadi Clinton.
Meski bergelar “perawan suci” di antara teman-temannya, Pingkan cukup peka dengan gestur manusia. Terutama terkait mereka yang menaruh minat padanya.
“Agah ikut?” tanya Roma seraya menyerahkan sebotol bir, lalu duduk di sisi Pingkan.
Sebagai jawaban, perempuan itu menggeleng dan menempelkan bibirnya pada mulut botol; membuat gerakan seolah sedang meneguk minuman di dalamnya. Sedetik saja, Pingkan merasakan jarak Roma pada tubuhnya kian dekat.
“Kalian deket?” tanya Pingkan, bergeming di tempatnya ketika dada Roma menyentuh pundaknya.
Roma mengangkat bahu kemudian menyeringai. “Sekadar kenal, kebetulan bar langganan kami sama,” jawabnya.
“Aku jarang liat Kak Roma sama Kak Agah.”
Lekat, Roma mengamati Pingkan dari wajah kemudian turun pada tubuhnya yang erat dipeluk gaun musim panas. Meski sepanjang lutut, kain itu hanya menutupi tubuh pingkan bagian depan dan sedikit kakinya. Punggung Pingkan terbuka, dihiasi simpul-simpul dari gaunnya. Sedangkan mulusnya paha hingga betisnya ke bawah mengintip di balik katun berbobot ringan.
Dipandangi demikian, Pingkan lantas menyilangkan kakinya. Sehingga mau tak mau pahanya saling tumpang tindih terlihat dari belahan roknya.
“Agah nggak tahu kamu di sini, ya?” tebakan Roma lantas membuat Pingkan mengerjap.
“Well..,” sebelah tangan Pingkan mendarat di atas paha Roma. “Apa bedanya ada kakakku atau nggak?”
Sejurus kemudian, sebelah tangan Romario meraih tengkuk Pingkan. Tatapan mereka bersirobok, Pingkan seolah berada dalam cengkeraman pemangsa. Namun Pingkan tidak mudah terintimidasi dan justru mendekatkan wajahnya.
“Kalau Kak Roma bersikeras ini lanjut, seseorang bisa rekam kita dan kirim ke kakakku. Kak Roma nggak mau kan di aku diseret orangnya Kak Agah pas kita belum selesai?” tanya perempuan itu tanpa terbata.
Seringai tergambar di wajah Romario. “You’re such a lucky lass, aku cukup sabar sampai dapat menu utama.”
Meski mengulas senyum, Pingkan mengumpat dalam hati mendengar dirinya disamakan dengan kudapan. Romario serius menginginkan Pingkan, paling tidak untuk ditiduri Selebihnya, Pingkan enggan menerka.
---
“Padahal Romario yang naksir lo waktu itu lumayan oke, Ping. Meskipun penilaian gue sebagai kakak lu tetep aja bias,” kenang Agah sambil menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi.
“Kalau penilaian lo aja bias, gimana gue menerima orang itu?” balas Pingkan santai.
Bibir Agah terkatup. Sudah pernah Pingkan ceritakan alasan Romario tidak bisa diterima begitu saja. Sesama keturunan Minahasa menurut Pingkan tidaklah cukup. Agah pun tahu, mendengar alasan Pingkan enggan berurusan lebih jauh. Pria itu berada di tengah kelompok yang gemar adu kuasa atas diri perempuan.
Beberapa bulan setelah Pingkan selamat dari peristiwa penyekapan itu, ia berkata “Gue mau dijadiin Natyara kedua. Lo gila kalau membiarkan gue membiarkan orang seperti itu tetap hidup tenang.”
Tentu saja, Agah dibiarkan mempercayai apa yang sudah didengar dari mulut Pingkan. Upayanya membuat kakak laki-lakinya itu tidak lagi mengorek lebih dalam. Banyak bab ditutup paksa oleh Pingkan. Pikirnya, akan banyak orang terluka jika ia bicara kebenaran. Saat ini, membuat kehidupan orang-orang itu tidak tenang begitu mendengar namanya sudah cukup bagi Pingkan meski sebenarnya ia sangat ingin menghabisi orang yang menodainya.
“Lagian, kenapa gue dilarang sama Arial? Yang sumpah darah kan kalian, gue nggak termasuk. Nggak ada orang yang bener-bener bersih di dunia kita, tapi lo berharap gue dapat jodoh orang baik sama aja naif, tau nggak?”
Agah mengerjapkan mata mendengar penuturan adiknya. Mengapa jadi ia yang disceramahi?
"Ngomong-ngomong, lo nggak perlu protes karena keamanan lo sekarang gue tambah. Lo beneran nggak boleh lepas dari pengawasan Banyu, paham?”
“Emang ada apa?”
“Lo bisa tanya temen lo, Arabella. Calon tunangannya itu tiba-tiba penasaran sedekat apa kalian.”
---
Di antara Tritunggal Arctics, Pingkan paling nyaman berbicara dengan Clinton alih-alih kakak kandungnya sendiri. Sejak jam kerja Banyu ditambah dan pengamanan ditingkatkan, Pingkan bertanya-tanya mengapa kakaknya itu semakin protektif. Semua itu bermula sejak orang-orang kakaknya mulai mencurahkan perhatian pada Arabella yang semakin sulit ditemui sejak dikenalkan pada keluarga Wangsa.
Dari sang sahabat, Pingkan tahu sudah sejauh pada Nicholas mengintervensi perjodohan keluarga Alamsyah dan Wangsa. Mereka bisa jadi lebih jarang bersua, namun komunikasi antara kedua sahabat itu tidak terputus.
Sementara Arabella disibukkan dengan urusan keluarga dan masa depannya, Pingkan menghabiskan lebih banyak waktu di laboratorium Arctics. Jauh di pulau yang letaknya disembunyikan dari peta, Pingkan berkutat dengan senyawa-senyawa kimia yang bisa diubah menjadi zat lain.
Sore itu kebetulan Clinton berkunjung ke pulau markas dan Pingkan menjeda pekerjaan di laboratorium. Dari sekadar bercakap-cakap mengenai kemungkinan produksi obat tanpa harus diimpor dari Hong Kong, obrolan itu berubah menjadi sederet keluhan Pingkan atas keputusan Agah.
“Buat Agah kayaknya nggak ada hal yang penting selain lo,” komentar Clinton usai mendengar repetan Pingkan.
“Kamu gitu juga, Ko?” tanya Pingkan, masih bersungut-sungut.
Alih-alih menjawab, Clinton tergelak, “Respons lo persis kayak Cissy pula. Ngomel-ngomel terus kalau diawasi.”
“Ish, malah diketawain.” Pingkan memutar bola matanya.
“Gue yakin satu hal. Agah bakal gila kalau sesuatu terjadi sama lo. Lo pasti udah tau my sister’s infamous affair, kan?”
Perempuan itu terdiam sejenak sebelum mengambil napas dalam. “It was killing you,” gumam Pingkan.
“Toh gue bukan satu-satunya orang yang akan gila kalau saudara perempuan mereka celaka. Agah begitu, Arial begitu, kami semua tumbuh sama perempuan. Termasuk sumpah darah, kami ingin melindungi kalian dari orang seperti ini, dari dunia ini," ujar Clinton panjang lebar.
Pingkan tersenyum, dagunya tersandar pada teralis tempat mereka bisa memandang Laut Utara Pulau Jawa. Obrolan ringan sore ini dilakukan di balkon kafetaria yang menghadap lautan. Angin sore yang cukup kencang membuat Pingkan menyingkirkan beberapa helai rambutnya yang bandel.
"Orang-orang seperti kalian juga manusia," komentarnya. "Aku nggak tahu dunia di luar ini. Setiap hari, nyawaku, kehormatanku terancam. Kayaknya udah terlambat buat hidup normal."
Clinton mendaratkan tangan di atas kepala Pingkan lalu mengusapnya. Bagaimana pun juga, adik Agah ini sudah seperti adiknya sendiri. Selain kakak dan adik perempuannya, Clinton melihat sendiri bagaimana Pingkan sama terancamnya hanya karena berhubungan darah dengan salah satu dari mereka. Semua itu karena Pingkan dianggap berbahaya seperti perempuan-perempuan di hidup mereka bertiga.
"Pingkan, lo nggak mungkin dilindungi segitunya kalau nggak punya potensi besar. Persoalan lo bukan lagi semata-mata karena hak istimewa. Kira-kira lo juga udah paham kenapa kita mau Arabella berpihak ke kita daripada masuk ke sarang penyamun itu. Be good, life your fullest, nanti gue bantu biar kakak lo itu sedikit lebih relaks."
Senyum Pingkan semakin lebar, "Makasih Koko."
"Satu lagi," jeda Clinton.
"Apa?" Pingkan membelalak penasaran.
"Gue nggak paham seperti apa hubungan lo sama Arial. Kalau Arial sayang sama lo, nggak akan ada yang bikin dia berhenti. Sekalipun itu gue atau Agah,” ucap Clinton seraya menarik tangannya dari kepala Pingkan.
“I don’t wanna think about it at the moment,” aku Pingkan.
“Udahan? Jadi sia-sia dong sekap Arial waktu itu?”
“Ko, jangan buat gue mikir ulang…”
---
Pekan demi pekan berlalu sejak Pingkan mengobrol dengan Clinton di balkon kantin markas Arctis. Kini perempuan itu terdampar di Hotel Earls Regency Kandy, bersama dengan Paris. Niatnya menyusul Arabella yang kabur ke Sri Lanka membuat Pingkan urung menyusul di kota yang sama dengan sang sahabat.
Alhasil, Pingkan dan Paris mengambil kereta dari Colombo ke Kandy. Setelah debat yang cukup panjang, Paris dan Pingkan memesan satu kamar dan merencanakan perjalanan dadakan. Argumen Paris cukup kuat, Pingkan diikuti oleh orang-orang Julius Wangsa sehingga mereka harus memberikan kesan berlibur berdua untuk mengaburkan keberadaan Arabella.
Tak cukup dibuat tidak tenang oleh orang suruhan Julius Wangsa, Pingkan menemukan surat kaleng yang diselipkan dari bawah pintu saat ia ditinggal di kamar hotel seorang diri. Walaupun banyak kejutan telah dialami Pingkan sepanjang hidup, surat kaleng tidak pernah gagal membuat bulu kuduknya meremang.
Secarik kertas di tangan Pingkan itu perlahan-lahan dibuka lipatannya. Apa yang tertulis di sana sontak membuat tubuh Pingkan lunglai, terduduk di tepi ranjang.
Long time no see, PingPing. Thank you for taking care of our BELOVED Paris. - Yours, S.
Terakhir kali Pingkan didera syok seperti ini adalah saat kedua orangtuanya terbunuh saat ia mewakili Indonesia dalam ajang Miss Universe di Thailand beberapa tahun silam.
Tak membiarkan dirinya berlarut-larut dikuasai syok, Pingkan segera menyimpan surat itu di suatu tempat di dalam tasnya. Usai menenggak banyak air, perempuan itu berusaha mengatur emosinya.
Pintu kamar dibuka, sosok Paris dengan bungkusan makanan pun muncul.
“Pas gue pergi… aman?” tanya Paris sambil mengamati wajah Pingkan.
Perempuan itu mengangguk sebagai jawaban, Pingkan menatap Paris dengan sorot mata tak terbaca. Saat menoleh ke arah balkon yang menghadap alam bebas, Pingkan kembali pada Paris.
“Ris, inget waktu gue tendang selangkangan lo?” tanya Pingkan.
Setelah meletakkan bawaanya di atas meja, Paris mengambil tempat untuk duduk di kursi terdekat sebelum balik bertanya, “Inget, kenapa? Lo mikirin apa?”
“Semisal gue waktu itu kasih lo izin, lo beneran will take a chance?”
“Perasaan gue nggak enak. Lo kenapa?”
“Jawab aja!”
Setelah membuang napas pendek, Paris berkata, “Ya. Gue nggak bisa menyia-nyiakan pemandangan macem lukisan Konstantin Razumov.”
Pingkan terdiam sesaaat, isi kepalanya berkecamuk, berusaha menemukan cara menangani surat kaleng yang berusan ia terima. Sebelum tingkahnya menjadi kian mencurigakan, Pingkan bergumam, “I see.”
– tbc.
1 note
·
View note
Text
Arial's Pandora Box

Tangan itu mencengkeram pakaian Arial erat. Napas tertahan, rintih kesakitan tertangkap pendengaran. Cengkeram itu berubah menjadi genggam yang diayunkan pada tubuh Arial dengan gemetar.
Sorot mata Arial bersirobok dengan Arimbi, kemudian terpaku di sana. Nanar tatapan Arial terperangkap pada mata Arimbi yang terbelalak tak percaya dan digenangi air mata. Sinar kehidupan perlahan-lahan mulai pergi, seiring perempuan itu terbatuk darah; nyaris menyembur.
Arial menarik bilah pisau di tangannya, tubuh Arimbi menegang sebelum akhirnya terdiam. Tusukan baru bersarang pada titik vital di perut Arimbi. Tangan kanan Arial hangat dialiri darah segar.
“Aku sayang kamu, Rim.” Arial menggumam sembari mendorong pisaunya lebih dalam.
Arimbi yang kian lunglai di pangkuan Arial tidak lagi berkata-kata. Air mata menetes dari iris gelap yang memantulkan bayangan Arial, di mana kehidupan tidak lagi singgah di sana. Sebelum tubuh Arimbi terjatuh ke belakang, Arial menarik tubuh tak bernyawa itu ke pelukannya.
Tanpa suara, Arial mengusap tangannya yang bebas pada punggung Arimbi. Perempuan yang dicintainya itu kini berakhir sebagai jasad kaku di atas pangkuan Arial. Butuh beberapa jam sampai akhirnya Arial sadar, Arimbi dan bayinya kini sudah tak lagi menjadi jagal antara hubungan si bungsu Hakim dengan orangtuanya.
Meski peristiwa itu sudah terlalu lampau, tiada hari Arial berhasil mengenyahkan perasaan saat tarikan napas Arimbi terhenti di usia 17 tahun.
===
Suatu hari, di tahun 2011.
“Den, udah saya bilang jangan ke sini.” Perempuan setengah baya yang akrab disapa Bu Basuki itu menolak memberikan izin untuk Arial masuk.
“Saya cuma numpang mau istirahat. Bu Basuki ini kayak nggak pernah ngasuh saya aja,” kata Arial dengan nada persuasif.
“Tapi Tuan larang Aden ke sini. Den Iyal tau kan Bapak gimana kalau marah?”
“Ada apa toh, Bu?” Pak Basuki muncul dari dalam rumah menghampiri istrinya, kemudian segera menunduk saat melihat Tuan Muda ada di ambang pintu, “Den Arial..”
Sambil tersenyum lebar, Arial berkata, “Permisi, Pak. Saya mau istirahat di sini tapi nggak dikasih masuk.”
“Bu, uwis. Ben aku sing matur Ndoro.” Pak Basuki menepuk pundak sang istri setelah keduanya saling bertatapan.
Setelah menarik napas dalam, Bu Basuki membuka pintu gerbang rumahnya untuk Arial. Mantan pengasuh Titan itu bertanya, “Den Arial mau sekalian makan siang?”
Arial menggeleng. “Saya cuma mau numpang di tidur siang.”
“Ya sudah, pakai kamarnya Panji aja. Mari. Den.”
Sementara Pak Basuki mengajak Arial masuk ke dalam rumah, menuju kamar yang dimaksud, sang istri undur diri, “Saya buatkan minum dulu.”
“Panji nggak di rumah, Pak?” tanya Arial.
“Ada les sama kegiatan di sekolah sampai sore, Den. Nanti kalau pulang bisa istirahat di tempat mbaknya,” terang Pak Basuki.
Percakapan bergulir begitu saja, sebagaimana komunikasi Arial dengan pasangan Basuki selama ini. Daripada ayahnya, Arial lebih sering berkomunikasi dengan keluarga Basuki yang sudah puluhan tahun mengabdi kepada keluarganya.
Sejak Titan dewasa dan Pak Basuki dianggap terlalu tua untuk menjadi sopir pribadi Zainal Hakim, keluarga ini punya tugas lain. Apapun tugas mereka, semua itu ada hubungannya dengan larangan Arial masuk ke kediaman Basuki.
Jika tampak dari luar kediaman keluarga Basuki seperti rumah keluarga kelas menengah atas pada umumnya. Selain pasangan Basuki dan kedua anak mereka, Arimbi dan Panji, beberapa perempuan juga tinggal di sana. Pasangan Basuki dikenal sebagai pemilik indekos untuk para siswi yang bersekolah di sekitar sini, mengingat lokasinya dekat dengan sekolah menengah bergengsi (termasuk sekolah Arial).
Tanpa banyak penjelasan, Arial sebenarnya sudah tahu rumah itu dihuni calon simpanan ayahnya. Arial juga mengetahui perempuan-perempuan itu punya rentang usia tak jauh darinya atau hanya setahun-dua tahun lebih tua. Arial dengar mereka sudah dirawat keluarga Basuki sejak masih anak-anak, kemudian dipersiapkan untuk melayani ayahnya.
“Ari pulang,” seruan perempuan diikuti suara pintu tertutup membuat Arial menoleh.
“Arimbi?” bibir Arial tanpa sadar melafalkan nama itu.
Siapa yang akan mengira pertemuan itu akan berujung bencana?
---
Semasa hidupnya, Zainal Hakim dikenal dengan tangan besi.Di antara tiga kepala keluarga Arctics, Ayah Titan dan Arial Hakim itu berpulang paling awal.
Sudah jadi rahasia umum Arial sedikit banyak meniru kebiasaan ayahnya memelihara banyak wanita bahkan saat ibu mereka masih ada. Sepanjang hidupnya, Arial hanya mengenal sisi ayahnya yang satu itu; penguasa lalim dan tukang main wanita.
Zainal Hakim mengadaptasi cara mengangkat selir di keluarga kerajaan tempo dulu. Perempuan-perempuan itu sudah dirawat sejak muda oleh orang terpercaya keluarga. Hingga akhirnya saat cukup umur mereka akan masuk ke harem dan melayani sang tuan. Perempuan-perempuan itu masuk ke rumah mereka dengan cara beragam.
Dihadapkan pada gaya hidup demikian, Arial sudah mengenal kesenangan sejak masih sangat muda. Bahkan ia tidak bisa mengingat kapan kehilangan perjaka karena ulahnya sendiri. Dengan tampilan serius, eksentrik sekaligus berpendidikan seperti sekarang, tidak banyak orang mengira apa yang terjadi di masa lalunya.
Karena tergolong nakal, Arial remaja sering kali merasakan cambuk dan pukulan sang ayah. Namun semua kekerasan fisik tidak membuatnya berhenti melakukan apa yang digemarinya. Termasuk ikut merayu calon perempuan ayahnya, terutama Arimbi.
---
Zainal Hakim mengira keputusannya tidak memberikan fasilitas homeschooling untuk Arial adalah benar. Awalnya langkah itu tidak menimbulkan masalah karena Arial belajar tanpa banyak keluhan di sekolah dan bergaul sebagaimana mestinya.
Namun siapa mengira bahwa kebebasan Arial menjadi tiket malapetaka bagi keluarga Hakim.
Arial bertemu lagi dengan Arimbi sejak duduk di bangku SMA. Mereka sempat saling mengenal sebelumnya karena anak perempuan itu lahir di tengah keluarga Hakim beberapa bulan lebih awal daripada Arial.
Kedekatan Arial dengan Arimbi diikuti tumbuhnya perasaan di antara keduanya. Cinta remaja, bahagia, penuh harap, bergejolak, segalanya dirasa Arial dan Arimbi. Hingga pada usia mereka yang ke-17, Arial harus merasakan fase yang belum pernah dialami teman sebayanya.
“Aku tanggung jawab.” Arial meraih tangan Arimbi, seolah melupakan test-pack bergaris dua yang tadi membuatnya terpaku selama beberapa menit.
Alih-alih merespons Arial, Arimbi menghindari tatapan pemuda itu. Hela napas berat terdengar setelahnya, mengundang tanya di kepala Arial. Bukankah itu yang harus dilakukan? Pikirnya.
“Andai segampang itu, Yal,” gumam Arimbi. “Aku… belum bilang sesuatu ke kamu.”
Genggam tangan Arial pada Arimbi kan ketat, sorot matanya mencari mata perempuan di depannya. Asal tahu saja, Arial Hakim belum pernah seyakin ini untuk bertanggung jawab atas tindakannya tanpa keberatan menerima amuk sang ayah. Namun respons Arimbi telak membuatnya kebingungan.
“Apa yang aku nggak tahu?” tanya Arial.
Arimbi menggigit bibirnya lalu menatap Arial sebelum terbata-bata mengakui tentang Zainal Hakim yang sudah lama memintanya menjadi simpanan begitu akil baligh. Atas negosiasi alot, Arimbi dibiarkan tak tersentuh hingga lulus SMA.
“...aku minta maaf, Yal,” tutup Arimbi.
Sebagai refleks atas pengakuan itu, Arial mengendurkan genggamannya pada tangan Arimbi. Sambil membuang napas pendek, Arial menyibakkan rambutnya ke belakang kepala.
“Orangtua itu pasti murka.” kekeh Arial. “Kita mungkin akan hidup susah, Rim.”
“Kamu keberatan? Seengaknya, pikirku, kalau aku sama kamu dia bakal batalin niatnya.”
Mendengar penuturan Arimbi, Arial sedikit takjub. Pikirannya yang kusut mulai menyatukan keping asumsi yang tak ia sukai. Arial tidak suka dijadikan alat untuk tujuan yang tidak ia sadari sebelumnya. Apalagi seumur hidup berurusan dengan Zainal Hakim, situasi semacam ini tidak akan lolos dari hukuman berat. Entah, Arial enggan membayangkan.
"Dia bukan Maha Pemberi Ampun. Kita diusir, itu udah pasti,” ujar Arial. “Kamu nggak kenal ayahku, Rim. Aku udah makan sesuatu yang dia tunggu masaknya.”
Hati Arimbi mencelos usai nilainya sebagai manusia diobjektifikasi. Maka dari itu, ia memutuskan, “Apapun keputusan ayah kamu, anak ini harus hidup dengan atau tanpa ayahnya.”
“Oke, aku bilang ke ayah. Kamu jaga diri, jaga bayi kita,” kata Arial sebelum mengecup punggung tangan Arimbi dan pergi.
---
Tebakan Arial sesuai prediksi. Hanya butuh dua kalimat sebelum akhirnya Zainal memukuli Arial habis-habisan. Sesaat usai kepalanya dihantam botol air mineral yang terbuat dari kaca, Arial tidak mampu menopang tubuhnya. Darah mengucur dari luka di kepala, sementara tubuhnya tergeletak di lantai menahan dera kesakitan.
“Sekarang tinggal pilih. Mending orangnya Ayah atau pakai tangan kamu sendiri?” Zainal Hakim melayangkan ultimatum, kakinya bertumpu pada kepala putranya.
“Yah….”
“Jawab!” desis Zainal, yang kemudian menendang ulu hati Arial.
Kaki pria tua itu kini menginjak selangkangan Arial seraya berkata, “Jadi ini yang udah bisa keluyuran? Anak tak tahu diuntung.”
Erang keras lolos begitu saja dari mulut Arial, hingga akhirnya terucap, “Aku, Yah… aku yang beresin.”
Zainal melangkah mundur, ditendangnya tubuh putra bungsu yang baru saja berubah meringkuk kesakitan. Arial dalam mode bertahan membiarkan ayahnya melampiaskan emosi.
“Memang seharusnya gitu. Kamu yang cicipi, kamu juga yang harus habisin.”
– fin?
0 notes
Text
Surya Belum Tenggelam #1

Min Yoongi as Tubagus Dion Tjahjadi. Son Seungwan as Swastika Mia Rustam.
Special Appearance: Jung Hoseok as Mat Pandi. Song Mino as Ardiansyah. Kang Seulgi as Raisa. Jeon Jungkook as Gabriel. Kim Mingyu as Akar. Cha Eunwoo as Altair.
Special Mention: Bae Joohyun as Irina. Lee Jihoon as Satria. Lee Chaerin as Mamah Ratu.
===
Hampir sepuluh tahun berselang, Agus masih mengingat debar di dadanya ketika pertama kali mendapatkan senyuman Swastika Mia Rustam.
Seperti saat ini, ketika Agus tidak mempercayai matanya saat menemukan sosok Mia di antara pengunjung Little Verona. Anggapan sedang berhalusinasi dengan segera dipatahkan oleh keberadaan seseorang yang juga ia kenal, Raisa, duduk di seberang Mia.
Namun lamunan Agus segera buyar kala Ahmad Affandi menarik dirinya ke arah tangga menuju lantai dua. "Ngapain sih?" tanya pemuda itu.
Agus tidak menjawab, setelah menatap Pandi sorot matanya kembali tertuju pada meja yang letaknya tak jauh dari pintu ke arah taman. Sejurus kemudian Pandi mengikuti arah pandang sang karib, sontak ia membulatkan mata dan berseru cukup keras.
"Woi, Mia, Raisa!"
Dipanggil sedemikian rupa, Mia yang semula asyik mengobrol dengan Raisa menoleh ke arah Agus dan Pandi. Raut wajah Mia luar biasa sumringah begitu menyadari siapa yang memanggil namanya.
Sepersekian detik berikutnya, segalanya berlangsung begitu cepat untuk dicerna Agus.
===
OSPEK tahun 2012 silam jatuh pada Bulan Ramadan hingga mewajibkan para panitia memutar otak menentukan kegiatan yang tidak menguras tenaga. Meski mahasiswa baru yang merasakan, panitia tidak kalah menderita saat mempersiapkan orientasi.
Seperti apa yang dirasakan Tubagus Dion Tjahjadi. Mahasiswa tahun kedua itu terpaksa menuruti permintaan teman karibnya mengisi posisi kepanitiaan yang kosong. Seolah melupakan fakta Agus sudah keluar dari HIMA sebelum kepanitiaan dibentuk. Untung saja tugasnya tidak seberapa berat sebagai korlap.
Entah apa yang membuatnya dengan cepat mengindahkan permintaan Pandi dan Ardi, Agus bahkan tidak banyak menggerutu sejak didapuk jadi panitia.
Hari pertama OSPEK, setelah upacara singkat pukul tujuh pagi para maba dikumpulkan di auditorium. Mereka hanya duduk, mendengarkan kuliah umum yang disampaikan para pejabat kampus silih berganti.
Meski ada waktu istirahat yang digunakan untuk beribadah, agaknya penyakit kantuk sudah terlalu akut untuk pergi. Wajah Agus sudah dibasuh air wudhu, ia masih saja sibuk menguap.
Agus berdiri di undakan teratas bagian tribun Auditorium dengan punggung bersandar di dinding. Sementara materi dari pembicara mampir sambil lalu di telinganya, matanya mengawasi ratusan manusia yang berkumpul di dalam ruangan tersebut.
Lelaki itu terlalu mengantuk ketika menyadari bobot kepala seseorang bersandar di pinggangnya. Sedikit terperanjat, Agus melirik ke arah maba yang tertidur dan bersandar padanya. Kedua tangannya yang terlipat di depan dada lantas diurai.
Sorot mata Agus jatuh pada sang puan, mengamati wajahnya sejenak meski dalam posisi terbalik. Sambil memiringkan kepalanya sendiri, Agus bergumam sembari mengeja nama "MIA" yang tercetak dengan font besar di bagian name tag.
Enggan menegur, Agus sadar bahwa hal ini tidak bisa dibiarkan lama-lama. Setelah memberikan kelonggaran selama 10 menit, sebelah tangan Agus menepuk pundak si Mia Mia ini. Ia tidak ingin gadis itu ditegur oleh panitia lain jika ada yang kebetulan melihat.
"Bangun, cuci muka gih," bisik Agus cukup keras.
Perlahan-lahan, gadis itu mengangkat kepala. Saat tatapan Mia bersirobok dengannya, Agus menahan napas.
"Maaf, Kak." Mahasiswi baru bernama Mia itu menggumam lalu buru-buru menundukkan wajah.
"Santai, daripada ditegur panitia lain." Agus balas bergumam, sebelum akhirnya menambahkan, "Dion, semester 3."
Mia yang semula tertunduk dan tengah sibuk mengatur rambutnya kini kembali mendongak. "Saya Mia," ujarnya sambil tersenyum.
Meski senyuman Mia begitu singkat, Agus sadar betul darahnya berdesir. Detak jantungnya bertalu lebih kencang daripada biasanya. Hingga pada akhirnya, Agus membalas senyuman Mia sebelum keduanya berpaling dari satu sama lain.
===
Akhir-akhir ini Agus lebih sering melamun. Melodi-melodi yang dihasilkan dari tangannya terdengar lebih mendayu daripada biasanya. Kadang kala Agus sampai harus membasuh muka dengan gerakan kasar. Frustrasi.
Bahkan saat Agus mengisi kelas, murid-muridnya sering kali berkomentar tentang sikapnya. Agus barangkali bukan yang paling cerah, namun ia salah satu guru kesayangan. Banyak yang bilang belajar bersamanya membuat musik jadi lebih mudah dipahami. Saat tiba-tiba ia tidak bisa menyusun pembicaraan sebagaimana mestinya, muridnya akan dengan mudah menyadari.
Agus sangat mengenali diri, sadar betul perubahan sikapnya disebabkan pertemuan mendadak dengan Mia. Meski rindu merajam, sua tidak lantas membuat segalanya mereda. Justru, Agus semakin sering ingin menemui Mia untuk bertanya apapun yang harus diluruskan.
"Temuin aja." Suara Ardi terdengar.
Saat ini mereka ada di studio pribadi Agus, seperti yang selalu terjadi ketika kelas senggang, Orang-orang terdekat Agus selain Satria selalu diizinkan masuk dan beristirahat di sana.
"Ngomong doang emang gampang," sahut Agus.
"Istri gue sering cerita, dia akhir-akhir ini ketemu Mia. Kayaknya dia selalu available."
Menghela napas, Agus akhirnya bertanya, "Gue harus bilang apa ya?"
"Closure, itu yang selalu mengganggu tidur malam lo." Kali ini Pandi ikut urun rembug, setelah sempat terlelap di sofa panjang di sudut studio Agus.
Sulung keluarga Tjahjadi itu tercenung. Bagaimana bisa seseorang bisa lebih memahaminya? Pasalnya, selama ini Agus tidak pernah membicarakan perasaannya tentang Mia.
"Di, gue boleh minta tolong istri lo?"
===
Pertemuan Agus dan Mia tidak jauh-jauh, mengambil tempat di Daylight & Moonshine bar yang siangnya adalah kafe biasa.
Atas saran Gabriel, Agus dan Mia duduk di sudut yang jarang disambangi manusia lain. Pada waktu seperti ini bar hanya dikunjungi orang-orang muda sekitar Jalan Sentosa. Mereka yang lebih tua akan berada di Warung Penitipan Suami dengan jerangan teh pekat alih-alih menikmati alkohol.
Gabriel pula hanya akan melayani teman-teman terdekat jika malam semakin larut di hari kerja seperti ini.
Selain Agus, tamu Moonshine Bar hanya terdiri dari Akar dan Altair yang baru akan berisik jika waktu merangkak naik ke atas pukul 22:00 WIB. Untuk saat ini, kedua karib itu sibuk menatap ponsel.
Kala suara derit pintu terdengar, sosok mungil Mia muncul dari balik pintu. Agus boleh jadi bergeming di tempat duduk, namun sorot matanya terpaku pada perempuan berambut cokelat terang itu. Mia, sepertinya baru pulang kerja dari sebuah kantor konsultan di pusat bisnis dekat sini.
"Kak...?"
Panggilan Mia barusan menyadarkan Agus tentang seberapa jauh jarak tercipta akibat perpisahan mereka.
"Hai, Mi," sapa Agus sebelum bangkit dan menarik kursi untuk Mia.
Gestur kecil itu disambut senyuman dari Mia, diikuti bisikan mengucap terima kasih. Yang secara otomatis dibalas Agus tak kalah ramah. Padahal selama ini, Agus selalu merasa senyumannya canggung. Namun bersama Mia, kedua sudut bibirnya mudah terangkat begitu saja. Masih belum berubah.
Setelah memesan minuman dan bertukar sedikit kata dengan Gabriel, kedua insan yang sempat saling cinta itu kembali dikuasai hening. Satu dekade berlalu tidaklah mudah untuk mereka kembali merajut percakapan seperti yang dulu kala.
"Kamu... apa kabar, Mi?" tanya Agus. "Orangtua... gimana?"
Raut wajah Mia melembut usai mendengar pertanyaan Agus. "Syukurlah, sehat. Papa-Mama sibuk siapin nikah emas buat tahun depan."
Memikirkan ucapan Mia, Agus menerawang, "Whoa... nikah emas berarti... 50 tahun? Hebat, ya, Mi."
Sebuah tawa lolos dari bibir Mia sebelum bertanya, "Kak Dion sendiri apa kabar? Tante Ratu masih cantik? Satria?
Sejenak, Agus mengulum bibir. "Aku gini aja, sehat tapi masih suka bikin Ibu Ratu ngomel. Satria kayak aku cuma lolos dari omelan aja," ujarnya.
"Masa? Perasaan dulu Kak Dion jarang diomelin."
Agus menyentuh tengkuknya, "Yah, ada yang menurut Mamah belum kesampaian. Makanya begitu."
Tanpa perlu dijabarkan lebih mendetail, orang-orang seusia Agus maupun Mia sudah bisa menerka apa yang menjadi tuntutan orangtua mereka. Apalagi jika mereka masih lajang dan belum menunjukkan tengah bersinggungan dengan asmara.
Saat Mia mulai mencondongkan tubuh ke depan, Agus berusaha diam di tempatnya. Pertanyaan yang terdengar selanjutnya pun memaksa mereka siap menghadapi benang kusut di masa lalu.
"Kak Dion minta diatur ketemu begini lewat Kak Irina bukan cuma buat tukeran kabar, kan?"
Sejenak, Dion menatap Mia sebelum mulai menata setiap kata demi kata, "Oke, Mia aku minta maaf udah bikin malu sampai kamu dulu menjauh, terus... hilang."
Sebelah alis Mia terangkat, Agus menggigit bibir bawahnya.
"Bikin malu?" tanya Mia lirih. "Tunggu, Kak. Kak Dion mikir aku menjauh karena apa?"
"Bukan karena panggungku sama Pandi? Yang nyanyi 'Pangeran Dangdut' sampai out of tune?"
"Err... Kak, bahkan aku nggak dateng di acara itu. Tapi Kak Dion sama Kak Fandi ngapain sampai ngira aku bakal malu?"
Agus merespons penuturan Mia dalam diam, terperangah. Jika Mia bukan tiba-tiba menjauh darinya karena bertingkah konyol di atas panggung usai mabuk-mabukan, lantas apa?
- tbc.
1 note
·
View note
Text
Wild Nymphs

in case you missed the previous part, it's here.
Kim Mingyu as Nicholas Wangsa. Xu Minghao as Paris Prabangkara. Bae Yubin as Pingkan Radita Kaunang. Jung Chaeyeon as Arabella Alamsyah.
Special Appearance: Lee Seokmin as Kalantara.
Special Mention: Choi Seungcheol as Clinton Zhao. Chae Hyungwon as Xavier Wangsa. Ju Jingyi as Natyara Zhao.
===
Ruangan yang biasanya tenang kini berubah ribut karena tindak-tanduk Nicholas Wangsa. Jika biasanya ruang kerja Paris dipenuhi suara musik menenangkan, dentingan sendok pada cangkir teh hingga suara perempuan Arctis yang ditidurinya, sekarang jadi saksi tantrumnya si teman seperjuangan.
“Sebenernya lo kalau mau ngamuk bisa di ruangan sendiri, Nick,” tegur Paris dari balik meja kerjanya.
Meja persegi panjang di depan Paris penuh dengan berkas dan banyak pekerjaan lain. Sebelumnya, hal seperti ini merupakan tanggung jawab Nicholas. Setelah menjatuhkan samsak milik Paris, barusan membanting map dokumen ke lantai.
“Bajingan. Even the old hags agree, tolol banget,” geram Nicho sebelum menjatuhkan diri ke sofa.
Mau tak mau Paris menghampiri Nicholas sambil membawa air minum. Bersiap, jika rekan kerjanya ini butuh disiram. Konon, terpapar air bisa meredakan amarah.
“Persetujuan? Lo lagi bahas siapa?” Paris mengernyitkan dahi seraya membuka tutup botol air mineral sebelum diletakkan di atas meja lagi.
“Si sulung Wangsa. Dia minta Tsarina dipastikan keperawanannya. Bener-bener nggak tahu diri, setelah semua yang dilakuin ke Natyara.”
Penuturan Nicholas membuat Paris Prabangkara tertegun sesaat. “Tunggu, Arabella perawan?” tanya Paris, suaranya sarat keraguan.
“Ya, I’ve seen hers.” Volume suara Nicholas mengecil, ikut heran dengan reaksi Paris.
“Spare me the detail, Nicholas,” desis Paris. “Tapi, masa iya Rosa Nera perawan?”
“Lo background check dia sampai apaan, Ris?”
“Hubungan pribadi, paling deket sampai mirip orang pacaran ada satu, kepala keamanan Wangsa yang sekarang.”
“Prayoga? Gue pernah danger ini juga. Cuma karena ini lo nggak percaya? Cewek itu pertahanan dirinya gila.”
Momen langka, Paris menyesal dengan reaksi spontannya. Pikirnya, ini akibat terlalu banyak bergaul dengan Nicholas dan kini dilimpahi tugasnya. Percuma berkilah, Nicholas akan terus bertanya tiada henti sebelum mendapatkan jawaban memuaskan.
“Masalahnya gue saksi dia sama Pingkan telanjang di taman. Jadi gue pikir…”
“Tsarina? Sama Pingkan?”
---
Dari percakapan acak dengan Nicholas di ruang kerjanya, Paris seolah ditarik ke masa lalu. Mengingat sesuatu yang rasanya mustahil enyah dari kepalanya. Paris Prabangkara bukanlah orang yang mudah melupakan keindahan.
Pada suatu sore beberapa tahun yang lalu, Paris mengunjungi rumah Agah untuk suatu kepentingan. Seperti diketahui, Agah Martana Kaunang hanya tinggal bersama adik perempuannya, Pingkan.
Selama dua bulan terkurung di markas Tim Arctics yang letaknya di Kepulauan Seribu, Paris didera stres setelah menyingkap jalanan Jakarta. Beruntung kediaman Kaunang berada di lokasi yang tenang dan asri. Jadi ia mengambil kesempatan untuk bernapas sejenak di sana.
Paris bisa mengerti jika sore seteduh itu mendorong orang untuk menghabiskan waktu di luar ruangan. Namun apa yang dilihatnya dari dalam rumah kaca kediaman Kaunang sore itu jauh dari kata beradab meski sesungguhnya amatlah indah. Mengingatkan Paris pada nuansa lukisan-lukisan Konstantin Razumov.
Dari dalam rumah kaca, Paris seolah menyaksikan dua nymph jelita keluar dari dalam air. Pakaian mereka yang tipis nyaris tidak menutupi lekuk tubuh masing-masing. Baik Pingkan maupun Arabella sama-sama kurus, namun tubuh mereka memiliki lekuk erotis pada tempat yang seharusnya. Sungguh disayangkan, selama ini kemolekan mereka selalu disamarkan busana yang terlalu sopan.
Mereka setengah rebah di atas alas piknik yang terbentang di atas lantai batu. Arabella yang lazim ditemui dengan pakaian berpotongan sopan dan rok mencapai bawah lututnya, telanjang di balik kain tipis yang melekat bak kulit kedua. Kulitnya merona, kuku pada tangan dan kaki dihiasi warna merah menambahkan kesan kenes dari sosoknya.
Pingkan tak kalah lezat, renda dari baju tidurnya seakan terukir di atas kulit sewarna gading, tanpa cela. Keseharian Pingkan tak jauh berbeda dari Arabella, kesan ningrat yang selama ini lekat padanya tak tersisa. Sosok peri penggoda, penguasa tanah ini, percaya diri memamerkan tubuh polosnya yang didominasi warna pucat. Berbeda dari sahabatnya, Pingkan hanya mewarnai kuku jari kakinya dengan warna pastel.
Untuk sejenak, Paris mengamati sekitar hingga menyadari konsep mereka berdua. Dari buku sketsa yang terbuka lengkap dengan kotak pensilnya dan dua buku, Pingkan dan Arabella sebelum ini berpiknik sambil melakukan hobi masing0masing. Mereka minum cukup banyak hingga entah bagaimana kisahnya bisa sampai ke dalam kolam.
Paris menarik kursi, berniat menyaksikan laku tak senonoh dua gadis yang di luar sana dielu-elukan khalayak. Bagian bahu jubah tidur Pingkan yang basah melorot, garis pundaknya yang agung dicumbu Arabella.
“Ra, why are your boobs rounder than mine?” Sebelah tangan Pingkan menangkup payudara Arabella sebelum menyerang lehernya.
“Work out? Entah… dari dulu segitu,” gumam Arabella seraya melucuti pakaiannya yang basah.
Menyadari situasi semakin erotis, Paris menoleh ke sekitar. Apakah ada yang mengawasi atau kedua nona ini dibiarkan saja berlaku sesukanya.
Melihat temannya telanjang bulat, Pingkan menekan tubuhnya pada Arabella hingga keduanya berguling di atas alas piknik. “Careful, kalo Zeus lihat lo bisa diperkosa,” gumam Pingkan.
“Gue udah nggak seberapa mabuk, gue bisa hajar dia,” ucapan Arabella diikuti tawa.
Pingkan menindih Arabella, keduanya terlihat nyaman dengan posisi semacam itu. Dari kacamata Paris, tangan dua gadis itu luar biasa nakal. Bagaimana bisa Arabella menelanjangi Pingkan sambil membelai kulitnya yang lembab habis terkena air. Sesekali tangan mungil Ara meremas pantat Pingkan hingga gadis di atasnya itu menggeliat, memudahkan untuk dilucuti.
Begitu keduanya telanjang, Arabella mendorong Pingkan agar telentang seperti dirinya barusan. Untuk beberapa menit, keduanya hanya menengadah ke langit sambil memamerkan tubuh polos mereka pada alam bebas. Di balik gaun berkilauan dan sikap yang harus selalu terjaga, rupanya ada sisi yang harus dipuaskan.
Manusiawi, pikir Paris ketika matanya menangkap Pingkan dan Arabella mengangkat punggung mereka sebelum akhirnya berciuman. Keduanya lapar, saling desak saat mulut mereka mencoba mereguk nikmat satu sama lain.
Desah mulai terdengar ketika Pingkan mulai menopang tubuh dengan lututnya, sementara Arabella memposisikan dirinya di antara paha sang karib. Sebagai penonton, darah Paris berdesir saat melihat ruas jari Arabella terbenam di celah vagina Pingkan.
Pingkan memejamkan mata ketika membasahi jemarinya sendiri sebelum diusapkan pada selangkangan Arabella di bawahnya. Desahan kedua gadis itu bersahutan, mengikuti liuk tubuh mereka yang dikuasai gairah.
---
“Gue nggak percaya lo cuma liatin,” komentar Nicholas bersungut-sungut.
Suasana hatinya berkecamuk mengetahui fakta Paris melihat tubuh telanjang perempuannya lebih dulu. Meski begitu, Nicholas mengatur dirinya agar Paris bisa membeberkan detail lebih lanjut.
“Memang nggak.” Paris menambahkan dalam hati, “Gue bahkan masih inget setiap detail fisik mereka dan gerakan mereka.”
“.....”
Memandang tampang Nicholas, Paris mendesah, “Lo pasti gila kalau berharap gue diem aja liat pemandangan macem lukisan Konstantin Razumov di depan mata.”
Nicholas mengangkat bahu, “Ya, nggak salah. Gue yang pertama bawa bahasan ini.”
---
Sebagai penonton, Paris sulit menahan ereksinya ketika Pingkan dan Arabella membenturkan vagina mereka. Posisi kedua gadis itu tampak terlalu erotis, didukung suara gemericik air dan gemersik daun yang ditiup angin. Semilirnya cukup kencang, membawa suhu dingin dari daerah hujan.
Pingkan dan Arabella saling menyilang, dari tempat Paris tubuh kedua gadis itu makin terlihat jelas. Semula, vagina mereka sekadar menempel kemudian bergesekan begitu lembut. Dari air wajah keduanya, mereka menikmati benturan yang tercipta.
Seiring berjalannya waktu, frekuensi gerakan mereka kian intens. Bahkan dada keduanya ikut terguncang setiap kali lipat vagina mereka bertemu. Hingga akhirnya mereka tidak menarik diri dan justru menekan selangkangan satu sama lain sambil merintih.
Tak butuh waktu lama hingga tubuh kedua peri itu bergetar hingga saling berpelukan. Tubuh Pingkan dan Arabella lekat, bibir mereka saling pagut.
“Kan, you’re so wet,” bisik Arabella sambil memegangi leher sahabatnya.
“You too,” bisik Pingkan sebelum mencium perempuan di depannya lagi.
Paris, yang sedari tadi menyaksikan aktivitas Pingkan dan Arabella, akhirnya mengambil beberapa langkah keluar dari rumah kaca. Tentu saja, Paris disambut oleh sorot mata terganggu, tangan yang segera menutupi tubuh nyaris telanjang, dan tubuh yang saling merapat.
“Disuruh Agah?” tanya Pingkan. Nada suaranya ketus.
“Kamu sih ngomongin Zeus…” bisik Arabella sebelum terputus oleh tatapan tajam Pingkan.
“Tadi emang dipanggil. Tapi kayaknya di sini lebih seru,” jawab Paris. “Boleh gabung? Kalian perlu bantuan?”
Usai membuang napas, Pingkan menggigit bibirnya dan mulai bangkit dari duduknya. Dari sudut mata Paris, Arabella tidak terlihat seberapa gusar dengan keberadaan laki-laki di sini. Sedangkan Pingkan masih ada upaya menutupi dadanya yang semula terekspos.
Berdiri di depan Paris, perempuan itu menggulung bagian bawah rok berendanya yang nyaris transparan. Memperlihatkan paha bersih dengan kilat akibat lendir dari kewanitaannya, salah satu alasan mengapa Paris mendekat. Sebagai pecinta keindahan, Paris membenarkan tindakannya maju barang meminta izin untuk menjamah adik perempuan atasannya itu; atas segala risikonya.
Gulungan kain itu terangat, memperlihatkan selangkangan telanjang Pingkan yang kemerahan. Sebelum tangan Paris terayun ke arah selangkangan Pingkan, perempuan itu menahannya. Sepersekian detik kemudian, lutut sang puan menghantam selangkangan Paris.
---
“Gue nggak salah denger, Ris? Pingkan nendang kontol lo?” tanya Kalantara yang baru saja membuka pintu kantornya.
Setelah sejenak mengulum bibirnya, Nicholas membiarkan tawa lolos karena insiden itu diceritakan tepat saat Kalantara muncul. Sambil memegangi perutnya, Nicho memandang Paris dan Kala bergantian, “Hahahahaha. Paris, Paris.”
Kalantara menutup pintu, menghampiri meja kerja Paris yang penuh tumpukan berkas dan gulungan blueprint. Kala datang untuk memberikan daftar nama prajurit Arctics.
“Lagian lo ngapain godain adiknya Agah,” komentar Kala. “Itu gue atur Naradia ikut keluar mereka tanggal 19 nanti. Misinya nggak seberapa berat.”
“Naradia? Misi? Lo nggak cari masalah sama Clinton, kan?” tanya Nicholas.
“Dia cuma liat apa yang sekiranya bisa dikerjain anak-anak sini. Kita nggak ada pilihan selain nurutin,” jawab Paris.
“Yah, daripada selangkangan Paris yang jadi korban lagi,” sahut Kalantara.
“Sialan,” gerutu Paris sebelum meletakkan kertas dari Kala di dekat layar komputer. “Pada intinya, gue cerita karena nggak percaya keperawanan Rosa Nera harus dipastikan segala. Apa yang dilakuin sama Pingkan jelas nunjukin dia sexually active.”
Kalantara yang menyadari obrolan ini mengarah pada tugas Nicholas mendekati Arabella lantas berkomentar, “Daripada berasumsi karena kita nggak punya organ yang dimaksud, kenapa nggak bahas aja sama yang bersangkutan. Besides, organisasi kita nggak kekurangan cewek.”
“Nggak sopan nanya cewek, terutama bawahan, soal hal pribadi begitu,” jawab Nicholas. “Entah kalau Paris.”
Sambil mengangkat alisnya, Kalantara berkata, “Sebenernya concern lo khawatir Arabella terbukti sebaliknya dan kenapa-napa atau lo yang akan kenapa-napa karena fakta itu? Lo hampir mirip Lintang. Padahal itu badan-badan mereka.”
“Maksudnya?”
Paris berdeham, “Dengan kata lain, Kala mengira lo udah catching feelings sama Rosa Nera. Sedangkan pertanyaan gue, apa lo tetep mau lanjut misi ini dengan perasaan?”
Tawa Kala terdengar. “Ris, misi ini jauh lebih berhasil kalo Nicholas udah mulai jatuh cinta. Rencana Clinton makin sukses. Masa gitu aja lo harus dijelasin?”
“Kal, gue ngomong sebagai temen Nicholas yang udah liat dia tumbuh selama ini. Makanya gue nanya.”
“Wow, kalian masih mikirin perasaan juga ternyata.”
Kali ini, Nicholas angkat bicara, “Kala, gue tahu lo nggak puas dengan banyak hal di antara kita. Tapi soal kepedulian Paris bukan cuma buat gue, ke kalian juga.”
“Ada baiknya kalian buktiin omongan itu. Gue cabut.” Sejurus kemudian, Kalantara berbalik dan meninggalkan ruangan Paris.
Dua orang yang ditinggalkan hanya saling bertukar pandang, mengerti sepenuhnya cacat dari pekerjaan mereka selama ini. Ada kalanya, kesalahan tidak bisa diatasi dengan sekadar permintaan maaf.
“Jadi, haruskah lo gue panggil hubby?” tanya Nicholas tiba-tiba.
“Mendadak?”
“Seperti yang lo tahu, Tsarina sama Pingping manggil satu sama lain wifey lah, istri lah.”
Mendengar ucapan Nicholas, Paris memutar bola matanya.
“Alih-alih di sini dan sibuk sama asumsi lo sendiri, gue minta lo segera pergi dan lakuin tugas lo. Create the drama or else as part of it."
“Tunggu, Ris. Gue belom kasih tau lo hasil gue ketemu sama Xavier tempo hari.”
“Akan lebih baik lo kasih tau gue segera, jadi gue bisa balik kerja lagi. Jadi, apa?”
( to be continued )
1 note
·
View note
Text
so, there are you, nicholas.

read the previous part here
Kim Mingyu as Nicholas Wangsa. Jung Chaeyeon as Arabella Alamsyah.
Special Apperance: Choi Seungcheol as Nayaka Clinton Zhao, Joshua Hong as Agah Martana Kaunang.
Special Mention: Bae Yubin as Pingkan Radita Kaunang. Chae Hyungwon as Xavier Wang.
---
Skandal masih menjadi momok meski dunia sudah banyak bergeser. Perempuan muda seperti Arabella harus mengendalikan caranya membawa diri di hadapan khalayak, sekalipun kala menghadiri acara non-formal yang diadakan teman sepermainannya.
Selama ini Arabella dikenal dengan kemurniannya. Jangankan bertahan di pesta hingga pagi menjelang, kepergok bergandengan tangan dengan lawan jenis saja tidak pernah. Daftarnya bersih, hingga belum pernah ada desas-desus tentang tubuhnya.
Menghindari sumber skandal selama ini amat mudah, sebelum akhirnya Arabella bertemu Nicholas Wangsa.
Sejak membiarkan lelaki itu mengecup bibirnya di lift Hotel Shangri-La Paris beberapa bulan lalu, Arabella merasa terbakar dorongan untuk merasakan dekapannya sekali lagi. Ilmu yang dipelajarinya selama ini mendadak sia-sia, hanya dengan tatapan Nicholas.
Arabella diajari mengendalikan tubuhnya hingga pada titik bisa menguasai suatu permainan gairah. Prayoga, mantan bintara sekaligus pentolan Salvatore, adalah contoh konkret Arabella Alamsyah mampu menerapkan apa yang dipelajari dari mentor-mentornya kala itu.
Jika bukan karena keintiman mereka malam itu, kebenaran soal riwayat Prayoga menjadi agen ganda tidak akan terungkap. Meski menjadi penghujung dari hubungan mereka, Arabella tidak pernah menyesal menyingkirkan perasaannya untuk kelangsungan keluarga dan orang-orang mereka.
Sejak saat itu pula, Arabella menganggap keintiman tidak akan menjatuhkannya. Selama ia tidak menyerahkan diri sepenuhnya, merentangkan kaki sedikit mampu membalikkan keadaan.
“Sayang sekali,” pikir Arabella. “Nicholas terlalu punya kuasa.”
—
Merentangkan kaki sedikit. Rupanya Arabella dikhianati raganya sendiri.
Seolah tangannya bergerak menarik Nicholas ke atas ranjang bersamanya tanpa diminta. Mungkinkah kerinduan yang bicara?
Sejak Nicholas masuk ke kamar Arabella. Sejak Rakka pamit undur diri, mereka tidak bertukar kata-kata. Tatapan keduanya terkunci pada sosok satu sama lain seiring tubuh keduanya saling mendekat.
Kali ini bisa jadi pertemuan kedua mereka, jika peristiwa di meja makan keluarga Wangsa tadi tidak dihitung.
Bagi Nicholas, Arabella serupa boneka porselen yang amat disayang pemiliknya sebagai hadiah hidup mereka untuk pertama dan terakhir. Takut sentuhannya akan membuat kulit gadis itu retak, Nicholas menyusurkan tangannya perlahan dari pipi ke leher Arabella. Seolah memastikan apa yang bisa dijangkau Nicholas adalah hangatnya kulit perempuan alih-alih permukaan dingin.
Perempuan itu mendongak, menyentuh pergelangan tangan Nicholas. Denyut nadi lelaki itu normal meski tubuh mereka hampir bersentuhan. Sejuta tanya di kepala sengaja Arabella sampingkan hanya dengan satu langkah ke depan. Sejurus kemudian, perempuan itu memeluk tubuh Nicholas yang dibalas dibalas rengkuh erat.
“I saw you first,” bisik Nicholas, kepalanya tertunduk, bibirnya sekilas menyentuh milik Arabella ketika bicara.
Napas perempuan itu tercekat seiring pelukannya kian erat. “I saw you first,” lirih suara Arabella terdengar.
“I tasted you first,”
Nicholas tidak membiarkan perempuan itu menjawab hingga akhirnya bibirnya membungkam Arabella yang tengah melangkah mundur. Arabella menyambut ciuman itu dalam diam, pasrah dalam dekapan sang adam.
Mata Arabella terpejam kala membalas lumat demi lumat Nicholas. Lelaki itu menyibak luaran berbahan kasmir yang melapisi gaun viscose putih bertekstur yang memeluk setiap lekuk tubuh Arabella. Kala busana buatan tangan pengrajin Italia itu jatuh ke lantai, Nicholas mendaratkan tangan pada kulit punggung Ara yang sedikit terekspos pada bagian atasnya.
Seketika, Arabella gemetar dan kian menekan dirinya ke arah Nicholas yang juga mendesaknya mundur. Bibir Nicholas kian menuntut, mengundang Arabella agar berikan lebih banyak yang kemudian diindahkan dengan patuh.
Bukan hanya sedikit, tubuh Nicholas terlalu besar jika harus berada di antara selangkangannya. Untuk beberapa saat, pergerakan mereka terhenti. Sedikit saja Nicholas bergeser, maka tubuh mereka di balik lapisan pakaian itu bergesekan, menyebabkan Arabella tersengat gairah.
Perempuan itu melingkarkan lengan pada tubuh Nicholas yang ada di atasnya. Ranjang di bawah punggungnya menyadarkan bahwa situasi ini akan terlampau berbahaya jika Arabella semakin terbawa suasana.
Ketika tatapan mereka akhirnya bersirobok, desah tertahan terdengar. Meski masih berpakaian, namun pinggul keduanya saling singgung menciptakan kenikmatan.
“Rose Nera,” gumam Nicholas sembari menyapukan punggung telunjuk pada garis pipi Arabella. “Dari semua tempat… kenapa kamar tidurmu?”
Alih-alih memberikan jawaban yang sesungguhnya, Arabella mengatakan, “Di bengkel lukis kamu nggak bisa tindih aku kayak gini.”
Tawa kemudian terdengar, sebelum diikuti decap keras Nicholas ketika melumat habis bibir Arabella. Meski berlangsung sejenak, Arabella nyaris kehabisan napas, dadanya berkecamuk tanpa mampu dikendalikan. Apalagi benda yang menempel dengan denyut kewanitaannya kian mengeras setiap kali Arabella beri sentuhan atau sekadar mendesah pelan.
“Di sini bebas pengawasan, kita harus bicara tanpa harus didengar orang lain,” jawab Arabella sambil memejamkan mata.
Nicholas berusaha mencerna segala situasi mereka sambil menekan ereksinya pada selangkangan Arabella. Titik itu panas, namun mengundang erangan dan desahan Arabella acap kali Nicholas mendorong dirinya ke depan. Respons Arabella juga tidak lantas diam, melainkan menggesekkan pinggul mungilnya ke arah Nicholas.
“Semua pertanyaanmu bisa nunggu. Kita harus selesaikan ini dulu.”
Nicholas mengangkat punggungnya sejenak sambil memaku tatapan pada perempuan yang rebah dengan gurat cemas di wajah. Dengan satu tarikan, Nicholas melepas dasi dari kerahnya. Menit berikutnya, lelaki itu menanggalkan semua kancingnya dan memperlihatkan dadanya yang kecoklatan.
Terpana, Arabella mengangkat sebelah tangannya sebelum menyentuh dada Nicholas. Ujung jari-jarinya ditarik turun, kemudian telapak tangannya mengusap permukaan kulit lelaki di atasnya yang kini kian menghimpit Arabella.
“Angh…” keluh perempuan itu begitu ereksi Nicholas menumbuk selangkangannya lagi.
Gaun puluhan juta keluaran Kiton itu tetap dibiarkan melekat pada tubuh Arabella. Begitu juga lapisan dalam lainnya. Akan tetapi Nicholas membatasi pergerakannya dengan membuat simpul sederhana pada pergelangan tangan Arabella.
“Desah lagi, Rosa Nera,” titah Nicholas sambil memegangi sisi tubuh Arabella, sedikit mengangkatnya.
Menurut, perempuan itu mendesah acap kali disergap kenikmatan yang bersarang pada pusat tubuhnya. Dua tiga lapis kain tidak menghalangi nikmat yang ditimbulkan dari gerakannya dan Nicholas. Kedua tangan Arabella terkepal seiring nikmat berusaha mengambil alih dirinya.
“More…,” pinta Arabella. Pinggulnya terdorong ke atas, berusaha menemukan setiap kesempatan dihantam ereksi Nicholas.
Mereka memutuskan untuk tidak lagi bicara dengan kembali berciuman. Arabella dan Nicholas memiringkan wajah ke arah berlawanan, lidah mereka bertemu lantas menari bersama. Sementara Nicholas menikmati hangat selangkangan Arabella yang basah hingga menembus celana bahannya.
Dengan keintiman yang semakin menjadi begini, Nicholas semakin mendesak Arabella ke atas ranjang dan mencium bibirnya habis-habisan. Arabella kian mengangkat kakinya, direntangkan lebar-lebar hingga lipat vaginanya ikut tergesek kain dan tekanan tubuh Nicholas.
Nicholas mengurai ciuman mereka, mengganti bibirnya dengan ibu jari masuk ke mulut Arabella. Tanpa instruksi, Ara menghisap ibu jari Nicholas sambil mengerjapkan mata sementara bagian bawah tubuhnya digosok begitu keras hingga membuatnya nyaris gila.
Tubuh Arabella menegang ditindih sedemikian rupa dan digagahi meski tanpa harus melakukan kontak kulit secara langsung. Gerah, Arabella ingin melucuti pakaiannya sendiri sementara izin tidak didapat dan dirinya justru semakin mendamba.
“Nicholas…”
Rintih Arabella yang setengah sadar disambut gerakan lebih intens Nicholas. Didekapnya tubuh perempuan itu hingga gelinjang datang bersama desah panjang sembari menyebut namanya terdengar, diikuti cairan yang meleleh di bawah sana; ikut membasahi selangkangan Nicholas.
Perempuan itu gemetar di puncak gairah, ketika Nicholas tak lagi menahan diri. Dihimpit sesak sedemikian rupa, Nicholas buru-buru menurunkan resleting dan celananya, hingga penisnya bebas.
Tangan Arabella dibebaskan sebelum dituntun untuk menggenggam benda milik Nicholas. Perempuan itu terlalu dikuasai gairah untuk terkejut, justru memompanya gerak lambat namun penuh tekanan. Nicholas menyibak rok Arabella, menampilkan paha telanjangnya dan selangkangannya yang basah.
Melihat perempuan itu berantakan, hasrat Nicholas kian membara hingga akhirnya cairannya menyembur; mengenai pakaian, paha, selangkangan dan utamanya tangan Arabella sendiri.
“And, you taste me first.” Nicholas mengarahkan tangan Arabella yang berlumuran mani ke mulutnya.
Meski ragu, Arabella menjulurkan lidah untuk membersihkan jarinya sambil melihat ke arah Nicholas dan menggenggam pergelangan tangan lelaki itu. “And you shall clean me first.”
“Which one, Tsarina?”
“My pussy, Sir.” Tak percaya apa yang dikatakannya, Arabella menelan ludahnya sendiri.
Oh, tidak malam ini akan jadi panjang, batin Arabella semakin berkecamuk meski pada akhirnya ia menyibak celana dalamnya yang bernoda mani dan cairannya sendiri ke samping, agar Nicholas bisa melihat dengan jelas miliknya; merah muda dan merona.
—
Nicholas selesai dengan dirinya. Kini yang bisa Arabella lakukan hanyalah rebah, sementara kakinya yang gemetar enggan merapat.
Entah apa yang membuatnya demikian, Ara menyukai sensasi ketika sorot mata Nicholas menyisir tubuhnya baik dengan atau tanpa busana. Jujur saja, yang terakhir ingin sekali Ara wujudkan secepatnya. Sekalipun kini celana dalamnya koyak dan gaunnya tersingkap, kala tubuhnya dipandangi Nicholas, perempuan itu merasa menang.
“Nicholas, mau bocoran?” tanya Arabella tiba-tiba, menghentikan Nicho yang mulai merapikan pakaiannya. Perempuan itu menahan tangan Nicholas.
Lelaki itu duduk di tepi ranjang, sebelum akhirnya bergeser dekat dengan kaki Arabella. Nicholas urung mengancingkan kemejanya.
Arabella mengangkat punggung, kemudian beringsut mendekat ke arah Nicholas. Penampilannya sudah ada pada nomor kesekian. Yang penting, lelaki itu bisa melihat bagian bawah tubuh Arabella yang dimiliki Nicho beberapa saat tadi.
“Kakakmu mau bayar perawanku mahal. Kukira kalian sekeluarga cuma mau mengincar aset Alamsyah. Siapa yang mengira dia tertarik sama badanku,” gumam Arabella sebelum menempelkan pipi pada bahu Nicholas.
“Kakakku… tau dari mana?” Nicholas mengernyitkan dahi.
"Melihat caramu diperlakukan tadi. Kalian nggak mungkin baik-baik aja," ujar Arabella sementara dua jarinya berjalan-jalan di lengan Nicholas. "Apa mungkin kamu sengaja ke Paris waktu itu agar dia kesal? Gimana bisa kamu manfaatin aku begitu?"
Lelaki itu mendengus lalu berbalik hingga benar-benar menghadap Arabella. "Aku cuma mau lihat calon istri kakakku. Toh, di keluarga kami saling lirik calon ipar udah macam tradisi. Kenapa aku nggak boleh?"
Dahi Arabella berkerut sejenak, bertanya-tanya maksud dari informasi barusan, "Lalu, dapat apa?"
"Siapa sangka calon iparku ini lebih cantik daripada foto-fotonya? Lebih cerdas dari yang kukira. Sama… lebih ramah?"
Tanpa pikir panjang, ia naik ke atas pangkuan Nicholas sembari mendengarkan lelaki itu bicara. Sementara yang pangkuannya kini dikuasai perempuan penuh rasa ingin tahu itu akhirnya meletakkan tangan di kedua sisi pinggang Arabella.
"Ramah?"
"Ini baru pertemuan kedua, siapa sangka aku sudah dibawa ke kamarmu? Let's be real, Rosa Nera. Cewek The S nggak akan buka selangkangan mereka tanpa ada motif apa-apa. Aku tahu kamu butuh segala penjelasan kenapa aku mengincarmu. Tapi kamar sendiri?"
Arabella tersenyum, "Karena kupikir kamu akan segera jadi keluarga. Karena 50 persen tujuanku kontak fisik sama kamu, memang karena aku butuh kepuasan dan penasaran. Aku…"
Menyadari akan membuka banyak kartu, perempuan itu menggigit bibir. Sejak Arabella memberikan jawaban, tatapan Nicholas melembut.
"Kamu…?" Nicholas bertanya sambil membelai pinggang Arabella.
"Aku nggak bisa lupa ciuman kita di lift Shangri-La. Nicholas, kita sama-sama bisa membedakan mana keintiman natural dan yang sengaja diciptakan. Do you think about your mission when you hump me or kiss my pussy?"
Ucapan Arabella ada benarnya. Nicholas menyadari ketertarikan mereka lebih dari sekadar tujuan di baliknya. Bukankah ini yang diinginkan? Namun mengapa Nicholas sedikit marah dengan fakta ini?
Segala yang dipikirkan Nicholas hanyalah pemujaan, hanyut dalam permainan mereka dan seketika lupa pada apa yang diinginkan Clinton. Mengapa Nicholas tidak boleh hanya menikmati tubuh perempuan itu dengan jujur? Mengapa harus ada sebab dan akibat dari semua lakunya, terutama yang terpusat pada Arabella?
"Sekarang kamu nggak bisa lupa rasanya to be sucked to your death, no?"
Rona merah kembali menjalar di pipi Arabella begitu Nicholas mengulang desahannya ketika dirajai. Alih-alih menjawab, Arabella menggelengkan kepala.
"Berhubung kamu udah tau jalan rahasia ke sini, feel free to come whenever you thirsty."
Nicholas seketika tertawa, Arabella tahu cara membalasnya. Sekali lagi, lelaki itu bergerak untuk mengungkung sang puan di atas ranjang.
"Tapi kamu sadar suatu hari mungkin bukan cuma bibirku? Suatu hari, aku akan… tidurin kamu?"
Setelah menggigit bibirnya sekilas, Arabella mengangguk, "Nggak perlu sesopan itu, Nicholas. I know you like your girl wild. Ya, aku sadar mungkin suatu hari kita berakhir ngewe."
"Such a strong words from this pretty lips of yours," komentar Nicholas. "Kalau aku nggak menahan diri, mungkin aku udah gagahi kamu luar dalam bahkan sekarang."
Nicholas menekan lututnya pada selangkangan Arabella. Perempuan itu mengerang begitu lirih, "Bukannya ini kamu lagi gagahin aku?"
"Yah, kamu suka digagahi ternyata,” komentar Nicholas. “Arabella Alamsyah, semua orang mengira kamu polos."
"Tapi aku nggak pernah ngaku-ngaku polos, Nicholas Wangsa. Itu ekspektasi mereka, termasuk kamu."
"Ekspektasiku ke kamu lain, memang aku nggak berharap liat kamu yang polos. Tapi kamu, seorang pewaris Salvatore, masih bisa menikmati tanpa harus jadi robot seks. Jujur, kamu pasti menikmati semua ini."
Sementara mendengar ucapan Nicholas, Arabella tidak bisa berkata-kata tatkala lelaki itu sudah membuatnya berubah telanjang bulat dengan lutut lelaki itu bergesekan dengan vaginanya.
"Can I stay over?"
"If only you kiss me more."
“Gadis nakal.”
Sebelum aktivitas berlanjut, Arabella yang teringat suatu hal bertanya, “Ngomong-ngomong, kamu tahu apa hubungan Julius sama Pingkan? Waktu itu dia tiba-tiba nanya. Aku juga lupa nanya ini ke Pingkan.”
—
Sejujurnya, Nicholas enggan meninggalkan kamar Arabella meski pagi menjelang. Meski terbangun sebelum fajar merekah, lelaki itu sama sekali tidak menyesal. Si bungsu Wangsa itu bisa menyaksikan transisi cantiknya Arabella dibuai cahaya lampu hingga diterpa sinar mentari pagi. Dinding kamar dengan banyak bukaan membuat cahaya matahari dengan mudah masuk ke dalam kamar.
Begitu Arabella bangun dari tidurnya, Nicholas berpamitan sebelum ada yang mengetuk pintu kamar gadisnya. Perempuan itu sempat menahannya dengan ciuman dan tawaran mandi bersama, terpaksa Nicholas menolaknya karena punya sesuatu untuk dikerjakan. Saat Nicholas hendak pergi dari kamar Arabella, ia sempat tertarik untuk bertahan lebih lama lantaran selimut perempuan itu melorot dan memperlihatkan lebih dari seharusnya. .
Selebihnya hari itu dihabiskan Nicholas dengan bayang-bayang kejadian semalam. Termasuk tentang pembahasan mengenai Pingkan, teman Arabella sekaligus seseorang yang juga Nicholas kenal. Alhasil, lelaki itu bergegas ke lounge pribadi Clinton di Tranquiloft untuk mendiskusikan masalah ini.
“Aman nggak gue bilang kalau Pingkan mulai sekarang juga harus lebih ekstra diawasi?” Nicholas bertanya kepada Clinton dan Agah yang sedang menikmati sore mereka.
“Setuju, tapi anaknya dikasih penjelasan dulu kenapa sampai harus begitu,” jawab Agah. “Biar nanti gue yang bilang.”
Clinton melihat ke arah temannya sejenak sebelum berkata, “Nanti gue coba korek sesuatu dari Cece atau dari pertemuan keluarga. Karena bokap absen, gue yang akan sering ke tempat Wangsa buat urus pernikahan kakak gue.”
Mendengar usulan itu, Agah yang masih tercenung mengangguk sambil menggumamkan terima kasih. Hanya Pingkan anggota keluarga yang tersisa bagi Agah, sehingga segala kekhawatirannya dimaklumi.
Sementara lounge berubah hening dan manusia-manusia di dalamnya sibuk dengan pikiran sendiri, ponsel Nicholas bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal sukses membuatnya mengerutkan dahi, turut mengundang rasa penasaran Clinton dan Agah.
Yang berikutnya sama sekali tidak terduga, “Xavier hubungin gue, dia minta ketemu. Setelah semalem yang keluarga itu lakuin ke gue?”
( to be continued )
0 notes
Text
nicholas wasn't there

read the previous part here.
Kim Mingyu as Nicholas Wangsa. Jung Chaeyeon as Arabella Alamsyah.
Special Apperance: Cha Hakyeon as Julius Wangsa. Choi Seungcheol as Nayaka Clinton Zhao, Joshua Hong as Agah Martana Kaunang, Xu Minghao as Paris Prabangkara, Chae Hyungwon as Xavier Wangsa.
Special Mention: Bae Yubin as Pingkan Radita Kaunang, Ju Jingyi as Natyara Cordelia Zhao.
---
Hari yang paling ingin dihindari Arabella tiba. Meski berat baginya bangun dari rebah pagi ini, segalanya harus dilewati tanpa cela barang sedikit pun.
"Ingat, kasih kesan baik ke mereka," kata Jadug Alamsyah sebelum meninggalkan ruang rias.
Sambil menarik napas, perempuan itu menyaksikan ayahnya berbalik kemudian menghilang dari pantulan cermin. Setelah mengulas senyum sejenak pada penata rambutnya, Ara menatap pantulan dirinya.
Arabella tumbuh dengan frasa "harus sempurna" terpatri di kepala. Seumur hidup Ara disetir oleh kesempurnaan, baik untuk dirinya maupun keluarga. Sehingga hanya kalimat pujian dan kebanggaan yang ditujukan pada Ara.
Sepanjang hidupnya, Ara memahami bahwa pernikahannya akan berdasarkan perjanjian yang sama-sama menguntungkan. Mengingat apa yang akan diwarisi namanya kelak, perempuan itu telah berhati-hati untuk tidak terjebak hubungan tanpa arah. Setelah sebuah kesalahan, Ara memutuskan diam setidaknya sampai saat Jadug menyebutkan nama calon suaminya.
Perjodohan di kalangan atas bukanlah hal aneh. Keluarga Wangsa mengincar putri Alamsyah satu-satunya pastinya bukan tanpa alasan. Ada perjanjian di belakang punggung Arabella yang hanya diketahui setan dan dua kepala keluarga terkait. Perempuan itu hanya diberi tahu bahwa perjodohannya telah diatur dengan Julius Wangsa dan mereka diminta saling mengenal. Apapun itu, Ara memastikan bahwa yang ditawarkan keluarga calon suaminya tidak main-main.
Dengan kepala penuh asumsi, Ara memilih mengambil ponselnya kemudian melakukan pencarian untuk “Keluarga Wangsa WE Group”. Hasilnya? Tidak banyak terlihat. Hanya putra kedua mereka, Xavier Wangsa yang kerap muncul di artikel-artikel dunia maya.
Siapapun dari keluarga konglomerat tahu bahwa Xavier berhubungan dekat dengan violinist sekaligus sosialita Natyara Oetomo. Mereka berdua dijodohkan sejak lahir dan pertunangan mereka akan digelar dalam waktu dekat. Keluarga Alamsyah mendapat undangan dari Keluarga Wangsa.
Menurut yang Arabella dengar, Julius memutuskan tertarik pada perjodohan dan mulai mencari perempuan yang cocok karena pertunangan adiknya. Kabar burung menyebutkan bahwa Julius tidak ingin Xavier menghasilkan penerus lebih dulu. Membayangkan pria asing itu menginginkan seorang anak laki-laki darinya membuat Ara bergidik.
“Kak, boleh minta yang minimalis aja?” pinta Ara pada penata rias.
“Non Ara bisa telepati ya?” penata rias yang dikenalnya dengan nama Mbak Jamila itu tertawa. “Muka Non Ara memang nggak perlu lebih banyak permak. Dijamin calonnya nanti kelepek-kelepek.”
Mendengar jawaban semacam itu, Arabella tersenyum kikuk. Saat melihat pantulan dirinya di cermin, sanggul sederhananya tampak begitu cantik dan mempertegas garis lehernya. Arabella ingat, Nicholas bilang dia punya leher indah.
“Nicholas…,” batin Arabella. “Apa dia akan datang juga malam ini?”
---
“Pertemuan resminya malam ini.” Suara Clinton seketika terdengar begitu Nicholas memasuki lounge sambil menenteng map berisi laporan.
“Apa?” Nicholas menyerahkan map di tangannya kepada Clinton sebelum duduk di sofa terdekat.
“Mawar hitam lo segera dipetik, malam ini mau ketemu pembelinya,” gumam Clinton seraya membuka laporan dari Nicholas.
“Oh…, calon kakak ipar gue,” kekeh Nicholas.
“Bawa ke rapat kita lusa.” Clinton meletakkan map terbuka di atas meja sebelum mengentuk kertas laporannya dengan telunjuk, “Semuanya harus tau. Perbanyak.”
Titah Clinton membuat Mega, satu-satunya asisten Tritunggal Arctics bergerak. Perempuan muda itu mengabdi pada Agah, namun jasanya kerap diperlukan yang lain pula.
“Ada pesen dari adik gue,” yang satu ini Agah berbicara. “Arabella memang harus diamankan dari si sulung Wangsa, dia setuju.”
Sebelum melanjutkan ucapannya, Agah menatap Clinton sebelum melanjutkan, “Tapi tolong jangan bikin dia terluka. Selain gue, Pingkan cuma punya dia. Dan adik kecil gue itu bisa melakukan segalanya demi Arabella.”
Nicholas menanggapi ucapan Agah Kaunang dengan tawa lirih. “Seperti gue yang akan melakukan apapun demi Clinton,” ujarnya.
---
Acap kali mendengar nama keluarga Wangsa, Nicholas selalu menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Sebagai anak yang lahir di luar pernikahan, ia sudah kenyang dengan perlakuan tidak adil hingga cenderung semena-mena.
Berbeda dengan Julius dan Xavier, Nicholas lahir dari rahim seorang sekretaris pribadi. Hanya karena jenis kelaminnya laki-laki, Benedict mengambilnya dan membesarkan Nicholas bersama kedua kakak tirinya, Namun semua orang tahu, anak simpanan tidak akan sepenuhnya diterima.
Sama halnya keluarga konglomerat lain, Wangsa cenderung menjaga lingkar pergaulan terdalamnya tetap kecil. Anak-anak mereka hanya diizinkan bergaul dengan sesamanya. Mereka bahkan mengenyam pendidikan di kelompok belajar yang diciptakan Wangsa turun temurun.
Anak-anak Zhao, Natyara dan Clinton mulai dikirim ke kediaman Wangsa sejak mereka masih begitu kecil. Saat Nicholas datang, kakak beradik Zhao sudah ada di sana. Yang lebih tua tampak mudah membaur dengan anak-anak lainnya, bisa dibilang Natyara adalah favorit dari kedua bocah lelaki Wang. Sedangkan Clinton menjaga jarak.
Di mata Nicholas kecil, Clinton adalah sosok kakak sesungguhnya. Meski tidak pernah mengatakannya, Clinton jelas kentara tidak menyukai bocah tertua Wangsa. Bagi orang di luar konflik samar mereka, Nicholas menyadari Julius menemukan sosok pesaing dari diri Clinton yang lima tahun lebih muda daripada dirinya.
Sama-sama terasing, Nicholas menjadi dekat begitu saja dengan Clinton. Mereka mulai membangun ikatan ketika Clinton menghalangi pukulan bat baseball Julius padanya hingga dahinya bocor. Meski selisih paham dan baku hantam sering kali terjadi, tampaknya Julius menganggap sikap Clinton membangkang. Namun, siapa yang akan tetap bersikap baik terhadap otak di balik pemerkosaan terhadap kakak perempuannya?
Benar, Nicholas ada di sana ketika para lelaki dewasa itu menjadikan Natyara budak nafsu bejat mereka. Nicholas menyaksikan Clinton dengan putus asa menggedor pintu di mana kakak perempuannya dipermalukan. Bukan iba, Nicholas sama marahnya dengan Clinton kala itu.
Salah satu alasan Nicholas masih belum ditendang ayahnya karena Natyara juga menyukainya. Selama Yara memperlakukan Nicho dengan baik dan menaruh minat padanya, baik Julius maupun Xavier tidak akan menyentuhnya. Jika ditanya siapa cinta pertama Nicholas, jawabannya adalah Natyara Cordelia Zhao.
Itulah mengapa Clinton menitahkan Nicholas, bahwa harus dirinya yang mengacaukan perjodohan Julius dan Arabella.
Salah satunya karena… “Nick, Rosa Nera mirip Cece gue, ya?”
Tatkala mendengar ucapan Clinton, Nicholas hampir saja tersedak. Suatu malam di akhir minggu setelah Nicholas pulang dari Paris, mereka membicarakan kemungkinan Arabella bisa direnggut dari cengkeraman Julius.
“Powerful woman, indeed,” jawab Nicholas enggan.
“Gue nggak semata-mata nugasin elo karena balas dendam. Kayaknya lo bisa have fun sama yang satu ini sekalian kurangin beban lo dari urusan Arctics. We are bigger now.”
Senyum samar menghiasi wajah Nicholas. Hanya sedikit yang paham mengapa Nicholas setia kepada Clinton, salah satunya karena perhatian seperti barusan.
“Ya. kita memang makin besar,” gumam Nicholas. “Apalagi Kalantara, he formed his own soldiers.”
“You’re remarkable, Nicholas. Nggak akan ada yang ragu meskipun lo nambah kaki tangan baru. Paris bisa, lebih dari mampu. Tapi rencana kita panjang, lo semua harus ada di sana saat kita berhasil. Just recruit more people and train them. Lebih banyak yang seperti Megatruh, lebih baik.”
Clinton berbicara panjang lebar sementara lawannya mendengarkan dengan seksama.
“Ton, setelah ketemu Arabella in person, gue udah memutuskan lanjut tanpa harus lo yakinin ulang. Cuma, gue akan melakukannya pakai cara gue sendiri.”
---
Meski penyandang nama Alamsyah hanya tinggal dirinya dan sang ayah, kediaman mereka jauh dari kata sepi. Tanpa acara khusus seperti ini saja, si kepala keluarga gemar mengundang koleganya untuk makan malam atau sekadar kumpul-kumpul jika sedang senggang. Malam seperti ini hanyalah salah satunya, walau punya maksud berbeda.
Hubungan antara orangtua dan anak sudah lama sekali renggang. Arabella bahkan lupa kapan terakhir kali bertukar obrolan dari hati ke hati dengan ibunya. Ara sendiri disibukkan dengan kegiatan peagant begitu juga dengan urusan agensi milik keluarganya.Yang kedua sering kali dibuat samar dengan “mengurus pusat pendidikan keluarga”.
Maka perempuan itu bungkam sementara tinggal menunggu waktu saja dipamerkan di hadapan pria yang ingin mempersuntingnya. Saat memasuki ruang makan kediaman Alamsyah, Arabella senantiasa memamerkan senyuman. Lengkung bibirnya tak jua hilang kala anggota keluarga Wangsa satu per satu diperkenalkan padanya.
Benedict Wangsa, Harlina Wangsa, Xavier Wangsa, kemudian...
"Arabella, ini Julius. Julius, Arabella."
Keduanya berjabat tangan sambil bertukar senyum ramah di depan orangtua mereka.
“Julius.”
“Arabella.”
Berikutnya, Arabella membalas tatapan langsung Julius dengan ekspresi bersahaja. Detik-detik itu mereka gunakan untuk saling mengamati fitur dan garis wajah satu sama lain. Lebih tepatnya menggali maksud tersembunyi di balik senyuman mereka. Agaknya, keduanya menyadari intensi satu sama lain.
Arabella bukan tidak menyadari Julius mengubah persepsinya terhadap si gadis kecil Alamsyah. Dari pegangan tangannya, sorot mata, dan garis senyuman Julius kini menunjukkan sedikit kewaspadaan dari semula yang memancarkan kelembutan.
Sedangkan di mata Julius, Arabella memperlihatkan aura tanpa gentar. Si sulung Wangsa itu tidak melihat sedikit saja tanda terintimidasi. Perempuan ini cukup percaya diri, sosok bunga tangguh yang lama tidak akan merangkak padanya.
Setelah suasana di sekitar terasa hening dan sorot mata semua orang mengamati mereka, Julius menarik tangan Arabella mendekat ke wajah. Sejurus kemudian, Julius mengecup punggung tangan Arabella.
“Nah, makasih. Akhirnya kita nggak harus kelaparan malam ini,” suara Xavier mendadak memecah keheningan yang kemudian disambut tawa seluruh anggota keluarga.
---
Alamsyah menyambut Wangsa dengan jamuan Rijsttafel, sebagaimana tradisi gastronomi mereka selama ini. Sementara seluruh anggota keluarga duduk, pelayan silih berganti berjaga di dalam ruang yang sama dan menjalankan tugas.
Sepanjang makan malam, Arabella menyisir wajah satu per satu keluarga Wangsa. Hanya ada empat orang. Arabella tidak salah dengar, ‘kan? Nama pria yang dijumpainya di Paris adalah Nicholas Wangsa. Namun malam ini, wajah yang dikenalnya tidak ada di sana.
“Anak saya ini dulu pada nggak mau dijodohkan. Kaget dong saya, habis Xavier bilang mau menikah sama Natyara, nggak lama si sulung minta dicarikan jodoh.”
Benedict bercerita tentang perjodohan yang kini kebanyakan ditentang anak muda, termasuk Julius.Disebutkan juga mereka kesulitan menentukan kandidat yang dikehendaki Julius sebelum mengambil langkah selanjutnya.
Obrolan dua keluarga bergulir begitu saja. Meski tidak seceria Xavier, Julius juga banyak bicara. Belum banyak hal pribadi yang dipertukarkan. Percakapan di tengah Rijsttafel tidak perlu melibatkan hal yang terlampau pribadi. Alih-alih, mereka membicarakan tentang bisnis keluarga.
“Papaku kebiasaan.” Julius yang duduk di depan Arabella mengatakannya dengan gerak mulut.
Perempuan itu mengangkat kedua bahunya sebelum lanjut bersantap. Saat ini pikiran Arabella terbagi, bertanya-tanya di mana salah satu keluarga Wangsa lainnya dan mengenai kesannya terhadap Julius begitu juga dengan keluarganya.
Seseorang yang mengincar Arabella Alamsyah lewat jalur keluarga seperti ini sudah pasti memahami seluk beluk sisi dunia yang tidak banyak dibicarakan. Jika dilihat dari luarnya, Alamsyah bukan hanya bergelut pada perkembangan teknologi, melainkan juga upaya mereka memeratakan pendidikan. Keluarga ini memiliki jaringan lembaga pendidikan swasta yang tersebar di pulau-pulau besar di Indonesia.
Selebihnya, di balik itu semua ada Salvatore, sebuah badan sekaligus pelatihan intelijen swasta berbasis Singapura dengan Asia Tenggara sebagai cakupannya. Melatih ribuan agen bekerja di bawahnya, banyak di antara alumni Salvatore telah menyusup ke pemerintah. Agensi, seperti yang dibahasakan keluarga Alamsyah, menerapkan sexpionage untuk pertukaran informasi. Klien mereka beragam, mulai dari pejabat, konglomerat hingga organisasi kriminal.
Karena yang satu ini tidak boleh lepas dari genggaman garis keturunan Alamsyah, Arabella dibentuk untuk meneruskannya. Karena hak istimewanya, Arabella tidak harus berkelana menebar jebakan madu seperti para agennya. Sambil menerapkan ilmu yang dipelajari, ia hanya perlu mengangkat citra keluarga sambil melakukan hal-hal yang disukainya.
Arabella menduga jika seorang pria sudah diterima ayahnya sampai ke jamuan makan malam pribadi seperti ini, Julius tahu banyak tentangnya. Hal itu bukan tidak mungkin, Nicholas saja bisa menemukan dan menjebaknya di belahan bumi lain. Padahal sepanjang waktu ia selalu berusaha menghindari orang-orang kiriman entah siapa.
“Arabella, habis makan malam temani Julius jalan-jalan, ya?” Jadug mengusulkan di depan semua orang, mustahil untuk ditolak.
Sambil mengangguk dan mengulas senyum, Arabella setuju, “Boleh. Ara juga mau tunjukin sesuatu ke Julius.”
Perempuan itu mampu menangkap kilat antusias di mata Julius. “Jadi nggak sabar,” pria itu berkata.
“Hmm, kamu suka labirin?”
---
Pertanyaan Arabella rupanya bukanlah basa-basi semata. Kediaman Alamsyah punya taman labirin dengan kolam dangkal dan gazebo di atasnya pada bagian tengah. Salah satu tempat favorit Arabella, meskipun ia lebih menyukai kamarnya atau bengkel seni pribadinya si salah satu paviliun.
Tempat yang punya arti personal ini akhirnya Arabella bagi bersama sosok tak terpikirkan sebelumnya. Saat mendengar Julius menyukai teka-teki termasuk labirin, maka rencana Arabella berakhir sempurna. Perempuan itu hanya ingin menghindari tatapan mata ingin tahu ketika berinteraksi dengan Julius. Baginya, seorang pria akan terlihat aslinya jika ada berdua saja.
Khusus malam ini, taman labirin diterangi lentera-lentera pada sudut tertentu sehingga memungkinkan mereka untuk tetap menemukan jalan dalam gelap malam. Peraturannya sederhana, siapa yang tiba lebih dulu maka akan mendapat hadiah dari lawannya. Karena Arabella tuan rumah, ia mulai lima menit lebih lambat. Lagipula ada banyak cara untuk tiba di tengah taman, namun jalur utama berupa satu garis lurus sudah ditutup oleh pengurus rumah.
Baik Julius maupun Arabella akhirnya tiba nyaris bersamaan. Sehingga diputuskan kali berikutnya bertemu, mereka akan bertukar hadiah.
“Seru juga ya, jadi pengin punya satu di rumah,” komentar Julius ketika mereka tiba di gazebo.
Mereka duduk berhadapan, tempat ini rupanya sudah dipersiapkan lengkap dengan sampanye, jus, air hingga camilan. Semua orang di rumah ini agaknya paham menemukan jalan keluar labirin cukup menguras tenaga.
Julius menuang air ke dalam gelas bersih di hadapan Arabella. Perempuan itu tengah mengatur napas sambil mengamati sikap Julius.
“Ya, aku cukup sering main-main di sini. Makasih.” Arabella mengambil gelas yang bagian luarnya sudah berembun.
“Are you okay to bring me here? Siapa tahu tempat ini terlalu pribadi.”
“Private, indeed. Cuma aku mulai merinding, semua orang mau tau apa yang kita obrolin.”
Mendengar jawaban Arabella, Julius terkekeh. “Oke, kalau gitu aku kasih kesempatan tanya dua kali,” ujarnya.
Arabella mengangkat sebelah alis sebelum balas tertawa, “Irit banget?”
“Disimpen buat ketemu lain kali. Karena, Arabella, kita bakal sering ketemu.”
Ucapan Julius lantas membuat bulu kuduk Arabella meremang. Jika didengar sekilas, kata-kata lawan bicaranya memang tidak terdengar berbahaya. Namun perempuan itu menangkap sedikit getar ancaman dari intonasi Julius. Sengaja ia loloskan tawa untuk mencairkan perasaannya sendiri; mau bagaimana pun ia tidak boleh membiarkan dirinya dengan mudah terbaca.
“Oke, silakan Julius tanya duluan. Sebagai tamu.” Arabella masih mencoba membangun obrolan mereka.
Berikutnya, pertanyaan Julius benar-benar jauh di luar perkiraan. Lelaki itu menanyakan, “Taruhan, tempat ini bukan sudut rumah paling favorit kamu?”
Sementara tangannya mengambil gelas sampanye dari meja yang sudah terisi, Arabella tersenyum tipis. “Katamu, kita masih banyak waktu buat ketemu. Pelan-pelan, kalau kita beruntung ada ruang-ruang lain yang menunggu.”
“Gadis pintar,” ujar Julius sebelum menyodorkan gelas sampanyenya ke arah Arabella.
“Makasih,” sahut Arabella disusul dengan denting kaca yang beradu. “Giliranku. Kamu bisa aja nggak menjanjikan pertemuan lain, jadi apa aku sesuai bayanganmu saat kamu minta semua ini diatur?”
Julius menyesap minumannya dengan tatapan terpaku pada Arabella. “Bayanganku…” sengaja ia memberi jeda sambil mengernyit.
“Biar kita baru dikenalkan, lingkungan ini sempit. Aku selalu bisa dengar, banyak yang bilang Arabella Alamsyah trophy wife material. Bukan berarti kamu nggak pernah berpikir begitu.”
Atas ucapan Arabella, Julius seketika menyadari bahwa perempuan di hadapannya ini tidak akan memakan umpan berupa rayuan. Permainan pikiran dengannya akan jadi sempurna, pikir si sulung Wangsa.
“Waktu aku minta papa atur pertunangan kita, aku memang butuh istri pajangan. Kurasa seenggaknya penerus Salvatore bukan orang tanpa otak. Sekarang bisa dipahami, reputasimu berbanding lurus dengan nilai dirimu,” terang Julius tenang.
Saat menyimak ucapan Julius, Arabella mengulum bibirnya sambil mengangguk. Pertanda lelaki di hadapannya ini murni tertarik padanya. Hanya sekejap Julius memahami Arabella dan preferensinya saat berkomunikasi.
“Besides, ada satu rumor lagi tentang kamu yang harus kucari kebenarannya sendiri.”
Mendengar “rumor”, Arabella sontak terbelalak sebelum menanggapinya dengan tawa. “Kurasa aku bisa tebak,” gumamnya.
“Kita lihat nanti.” Julius mengerling usai menjawab.
“Satu pertanyaan lagi, Julius,” Arabella mengingatkan.
“Seberapa dekat kamu dengan Pingkan Radita Kaunang?”
Begitu nama sahabatnya disebut, Arabella hening sejenak. “Kami panggil satu sama lain ‘istriku’, kami gede bareng kayak kamu dan teman-temanmu. Hanya saja, kami cuma berdua dan kadang ada kakaknya Pingkan.”
Sejujurnya, Arabella penasaran mengapa Julius menyeret nama Pingkan dalam percakapan mereka. Namun tanda tanya yang muncul dibiarkan mengendap di kepala tanpa dilisankan.
“Menarik,” ujar Julius.
Saat tiba di pertanyaan terakhir, Arabella rupanya mampu membuat suasana hangat di sekitar mereka menguap.
“Di antara Wangsa, siapa itu Nicholas?”
Satu saja pertanyaan, Arabella berani sumpah jika senyuman Julius memudar seketika perempuan itu menutup mulut.
Julius mencondongkan tubuhnya ke depan, menghujam Arabella dengan tatapan tajam. “Jadi, adik kecilku itu memperlakukanmu dengan baik, ‘kan, Arabella?”
Perempuan itu membuang napas pendek lalu memamerkan senyum kemenangan. “Gotcha! Keluar juga aslinya,” batinnya.
“Dia ramah.” Arabella mengangguk, sebelum kemudian menuang sampanye ke dalam gelas Julius.
Entah apa yang ada di kepala Julius, hingga tangannya meraih pipi Arabella hingga tubuhnya terlalu condong ke depan. Lelaki itu mendekatkan wajah mereka, hingga tinggal beberapa senti saja.
“Aku janji, pertemuan kita setelah ini, dia akan ada di sana,” ikrar Julius.
( to be continued )
5 notes
·
View notes
Text
am i what your heart desire?
Yeonjun as Lintang Kemukus, Doyeon as Megatruh. Special Appearance: Joshua Hong as Agah Kaunang, Mingi as Arjuna. Special Mention: Dokyeom as Kalantara, Minghao as Paris, Chungha as Lili.
===
Aula utama Zero Eight Jakarta semakin liar. Konon malam ini lebih banyak penari telanjang berada di atas panggung, sehingga pengunjung yang mayoritas kaum adam memadati depan panggung.
Dari meja bar Megatruh memandangi panggung tanpa minat, tangannya menimang gelas wiski sebelum membawanya ke mulut. Sepersekian detik berikutnya, gelas itu tinggal berisi es batu.
"Thanks udah nemenin gue," gumam Mega pada sosok Lintang di sebelahnya.
Alih-alih menjawab, Lintang menatap Mega sambil bertopang dagu. "Lo nggak mendadak ingin jadi pusat perhatian kan?" tanya si pemuda.
Setelah turun dari kursinya, Megatruh menyandarkan dagu pada bahu Lintang. Dengan segera, Lintang meraih pinggang Mega ketika perempuan itu berkutat dengan sesuatu. Sambil menghisap rokoknya, Lintang menatap lurus ke depan.
"Dia nggak akan gelap mata kayak kemarin kan?" tanya bartender yang akrab disapa Jack pada Lintang.
Yang ditanya hanya tertawa pelan sebelum merespons, "Tenang, ada gue."
Maksud dari gelap mata adalah peristiwa Mega mengamuk di tengah pesta. Lintang tahu persis penyebab Mega hilang akal malam itu, bahkan bercinta tidak membuat perempuan itu tenang keesokan harinya. Malam ini, intuisi Lintang tidak mengarah pada aksi gila Mega.
Pemikiran Lintang rupanya hanya bertahan sesaat. Mega meletakkan celana dalamnya di dekat gelas Lintang, perempuan itu tersenyum saat merasakan Lintang menariknya kian dekat.
"Hari ini pakai yang ada pita," komentar Lintang singkat.
Mega mengangguk, lalu memeluk Lintang dan meletakkan dagu pada pundak sang adam. "Stuff that inside of me, please? Orang-orang ini butuh tontonan yang menghibur. Ya, kan, Jack?" kata Mega sambil mengulas senyuman pada Mega bergantian dengan Jack.
"Sayang, nggak baik ganggu orang kerja," desis Lintang sambil mendekatkan mulut pada telinga Mega, "Angkat roknya, gue kobel dulu memek lacur lo itu, Megatruh."
Jika kalimat merendahkan sudah dirapal Lintang Kemukus, seketika Mega yang melambung segera mengindahkan.
---
Tiada hari tenang di Arctics, istilah yang acap kali didengar Megatruh kini jadi kenyataan. Kendati hidupnya sudah nyaris terlepas dari kegiatan markas yang jauh letaknya di salah satu pulau di utara Jakarta, desas-desus mengenai organisasi ini selalu sampai di telinganya.
Nama Mega barangkali paling sering dipertukarkan dalam obrolan orang-orang Arcs, terutama para laki-laki. Jauh dari kehidupan normal membuat laki-laki yang mengemban pelatihan bersama Mega menggunakan tubuhnya untuk mencari kesenangan. Sehingga Mega dan hubungan seks transaksional sudah diwajarkan di tengah organisasi.
Sampai tempo hari, ketika Mega kepergok berhubungan badan dengan Lintang di tengah pekerjaan. Misi kala itu dilakukan untuk merekayasa kematian pejabat lintah yang memanfaatkan pasokan dana keluarga Hakim, salah satu yang dilayani Tim Arcs. Mega diutus karena kemampuan membunuhnya yang rapi dan efisien.
Setelah korban tidak bernyawa, maka giliran Lintang dan yang lain untuk menempatkan situasi seolah-olah terjadi kecelakaan karena minum-minum.
Jika sudah terlaksana, yang mereka harus lakukan adalah membakar barang bukti. Nanti akan ada yang menghubungi ahli forensik untuk bekerja sama dengan mereka.
Megatruh cenderung lebih maju daripada trainee perempuan seusianya. Semua itu bukan tanpa alasan, Mega telah ditempa habis-habisan sebagai mesin pembunuh. Nuraninya dipaksa mati sejak belia, hingga masa remajanya habis di dalam kurungan. Sejak menghirup kebebasan, Mega tak lagi merasa pantas memakai nama lahirnya; Sekartaji terlalu luhur untuk semua dosa yang terukir lewat lakunya.
Semua orang tahu apabila Mega cukup mudah merentangkan paha untuk laki-laki, dan perempuan jika mereka ingin. Tapi untuk tertangkap basah sedang disetubuhi laki-laki, rekan kerja pula, di tengah misi bukanlah hal biasa. Semua akan jadi aman apabila Lili yang melihatnya, namun ada Paris dan Nicho di ruang kendali; mendengar Lintang dan Mega saling desah.
Megatruh tidak masalah dijuluki pelacur Arcs, karena dirinya memang mencari keuntungan menggunakan selangkangan. Sebagai asisten Agah Kaunang pun, Mega harus mengandalkan tubuhnya demi mendapatkan informasi penting dan memperlancar urusan bosnya. Entah apa yang membuat anggota Tim Arcs lain menganggap hubungannya dan Lintang tidak biasa.
Jika biasanya Mega akan menulikan telinga, lain soal apabila Agah sudah ikut bicara. Seperti apa yang menjadi percakapan mereka siang hari ini.
"Lintang bukan anak sembarangan. Dosa terbesar Arial Hakim. Dia nggak dibunuh agar Arial inget, dia pernah melakukan kesalahan fatal. Gue tahu lo pasti paham apa itu, Mega."
Megatruh yang semula berkutat pada berkas kini menoleh ke arah Agah. Atasannya itu tengah menyandarkan kepala dengan posisi jok turun, hampir rebah. Mereka terjebak kemacetan menuju jantung Jakarta.
Perempuan itu tidak menjawab, tahu betul dosa apa yang disinggung Agah. Anggota Tim Arcs seringnya punya latar belakang mengejutkan, seperti Mega sendiri maupun Lintang.
"Gue nggak mau cuma gara-gara perasaan, lo nggak bisa lakuin tugas. And... just don't get killed, okay?" pesan Agah. "Informasi orang-orang ini tergantung selangkangan lo."
Meski posisinya sebagai manusia dikesampingkan dalam pembicaraan ini, Mega betul-betul memahami maksud Agah. Tim Arcs tidak pernah secara terang-terangan menentang hubungan asmara, namun rupanya fungsi Mega sebagai pelacur bersama cukup krusial. Maka ia mengangguk dan kembali memusatkan atensi pada tugasnya.
"Copy that, Pak Agah."
---
Selebihnya, hari yang panjang berlalu begitu saja. Akhirnya jam kerja Megatruh sebagai penggoda ulung usai. Kini waktunya ia pulang ke apartemen yang disediakan Agah untuknya menerima tamu, atau ke rumah Kalantara.
Setelah berbagai pertimbangan, Megatruh memilih pulang ke rumah Kalantara. Setidaknya, ia akan punya hari libur yang tenang besok selama berada di rumah sosok yang sudah seperti abangnya itu.
Tinggal di rumah Kala tidak rumit. Selain diminta tenang, Viktor kekasih Kala mengharuskan semua orang duduk di meja makan ketika sudah masuk waktu bersantap. Biasanya tidak sulit bagi Mega untuk patuh pada peraturan-peraturan dari si pemilik rumah.
Namun kali ini keinginannya pulang didorong pada kebutuhan bertemu Lintang untuk memuaskan dirinya. Padahal jelas-jelas Kala melarang Mega mengajak siapapun berhubungan badan di rumah itu.
Setelah membersihkan diri di kamar mandi bawah yang sudah disediakan, Mega segera naik ke lantai yang dibagi bersama Micah, Arjuna dan tentunya Lintang. Mega punya satu kamar, yang beberapa waktu lalu sempat dipakai Arjuna dan Lintang karena renovasi rumah. Dari sana lah mereka saling mengenal dan bicara, Mega sadar betul Lintang tak segitu terkesan padanya.
Alih-alih masuk ke kamarnya sendiri, Lintang meletakkan bawaan di ruang tengah dan bertolak ke kamar Arjuna juga Lintang. Berusaha tidak membuat suara ketika melangkah, Mega akhirnya bisa mencapai ranjang.
Lintang tertidur membelakangi arah Mega datang. Perlahan-lahan, Mega menyelipkan diri ke bawah selimut dan merapatkan diri pada tubuh Lintang. Lelaki itu tidur bertelanjang dada dengan boxer, di sebelahnya ada Arjuna berbaring.
Tangan Mega bergerilya, menyelip ke bagian boxer Lintang dan meraih kejantanannya. Bibir Mega mendarat di bahu hingga leher Lintang.
"Mega sayangku..." serak suara Lintang yang separo terbangun terdengar. "...ada Arjuna."
"Good morning," bisik Mega.
Sejurus kemudian, jemari Mega menyusuri sepanjang batang penis Lintang. Diusapnya benda itu hingga terasa semakin keras di tangan. Kemudian Mega menggenggamnya erat-erat dan mulai mengocoknya. Lintang yang setengah sadar pun terkesiap.
"You slut never listen," keluh Lintang lirih.
Lelaki itu berusaha menahan napasnya, mendadak dirangsang jari lentik Mega bukanlah yang diharapkan dalam tidur. Tapi sentuhan Mega tidak pernah gagal membuatnya mendambakan lebih. Terlebih lagi, Lintang terlalu lelah untuk mengelak.
Sambil memompa penis Lintang yang mengeras, Mega mengulum telinga lelaki itu. Selesai dengan telinganya, Mega berbisik, "Am I what your heart desire?"
Ditanya sedemikian rupa, Lintang menoleh lalu bergerak hingga bisa menangkap tubuh Mega. Lelaki itu sudah sepenuhnya sadar, kini nyala hasrat terpancar dari sorot matanya. Sebelum Mega bisa mendorongnya pada pelepasan, Lintang meraih tangan mega yang menggenggam penisnya.
"Fuck it, lo harus dihabisin." Lintang mengangkat tubuh Mega sebelum turun dari ranjang.
Walau kesiap tidak bisa ditahan, Mega tidak lantas gentar. Justru ia mengalungkan lengannya pada leher Lintang, menanti lelaki itu bergerak lebih lanjut.
"Nah, gitu kek. Jangan ngewe di depan gue kalian. Go get a room." Yang barusan terdengar suara Arjuna.
Atas ucapan Arjuna, Mega terkikik. Sementara Lintang dengan air wajah seriusnya tidak terhibur dengan kelakuan Mega.
"Coba lihat apa gue bisa bikin lo jadi lonte yang lebih disiplin," diucapkan Lintang sebelum mengecup bibir Mega.
Sejurus kemudian, Mega diturunkan dari gendongannya dan segera diseret keluar kamar.
4 notes
·
View notes
Text
Between Her Legs
Yeonjun as Lintang Kemukus, Doyeon as Megatruh. Special Appearance: Dino as Micah, Mingi as Arjuna. Special Mention: Dokyeom as Kalantara, Joshua Hong as Agah.
===
Lintang lebih suka tidak menyebutkan nama aslinya. Panji kecil telah lama mati dan digantikan oleh Lintang Kemukus, si perlambang bencana.
Lintang juga lebih suka Megatruh terikat daripada harus dijamah oleh tangan bedebah lain. Kendati ia tahu, Mega sejak awal adalah milik bersama. Maka di "dapur" ini, di tengah aroma daging terpanggang, Lintang menyetubuhi Mega; rekan kerjanya di Arctics.
Setibanya di tempat pembersihan korban ini, mereka menyelesaikan tugas. Sebelum akhirnya buru-buru menyatukan diri di atas kursi, dengan Lintang memangku Mega. Keduanya berada di depan tungku yang nyalanya sanggup mengubah tubuh manusia menjadi abu. Ruangan yang sudah pengap semakin membara karena percintaan Lintang dan Mega.
Mata perempuan yang tengah menyatukan diri dengan Lintang itu pejam, usai mencapai klimaks pertamanya. Tanpa banyak bicara Lintang mengayunkan tangan kanannya ke arah pipi Mega, suara tamparan keras lantas terdengar.
"Ngelonte lagi kamu?" Sebelah tangan Lintang mencengkeram leher Mega.
Setelah ditampar, Mega mengangkat kepalanya untuk menatap Lintang lurus-lurus. Sudut bibir Mega berdarah sementara rona kemerahan mewarnai pipinya. Perempuan itu menyunggingkan senyum, terhibur.
Pinggul Mega tidak dibiarkan bergeming, memompa penis Lintang yang sedari tadi bersarang di sana. Tubuh perempuan itu terguncang di hadapannya. Sepenuhnya telanjang, berpeluh, menggairahkan, terangsang hanya untuknya.
"Sekarang juga lagi ngelonte," gumam Mega sebelum tertawa. "Ngelonte sama yang nggak pernah kasih imbalan."
Diberi sindiran sedemikian rupa tak lantas membuat Lintang goyah. Hanya setan yang tahu, hanya Lintang yang bisa menikmati tubuh Megatruh secara cuma-cuma. Sudah jadi rahasia umum apabila perempuan itu menjajakan selangkangannya kepada siapapun yang ada di dalam organisasi.
Namun hanya dengan Lintang, Mega tidak pernah sungguh-sungguh meminta imbalan. Selain meminta ditiduri lagi dan lagi.
Tangan Lintang semakin mencekik, "Tadi, di ruangan Paris, buat apa?"
Binar mata Megatruh semakin menyala, luar biasa senang mendapati keresahan Lintang yang jelas kentara. Bukan Mega namanya jika membiarkan Lintang segera tenang. Semakin marah lelaki ini, maka kian nikmat Mega dibuat.
"Minta libur. Aku selalu libur tiap Mei. Karena tadi... aku dapat.. ugh, empat hari," sedikit terbata, Mega menjelaskan. Tangannya menyentuh jemari Lintang, memohon agar dirinya dibiarkan bernapas.
"Pantes, memek kamu lumayan lower hari ini." Kata-kata kasar yang dilantun Lintang sarat akan emosinya sendiri, tapi vagina Mega justru semakin ketat meyelubunginya usai dicela demikian.
"Nggak seburuk waktu aku dipake rame-rame, kan? Waktu itu kamu jadinya minta anal," kenang Mega.
Keduanya terdiam, hanya Lintang menahan tubuh Mega erat sedangkan pinggulnya berusaha mendorong penisnya sedalam mungkin. Mega menahan napas, merasakan sesak di bawah sana begitu juga dengan cengkeraman Lintang yang kian menyakitkan. Mega yakin, pinggulnya akan berbekas kuku Lintang.
"Ntang, kamu marah memekku jadi tempat umum? Bukannya kamu yang bilang gitu? Kamu tau aku dipake terlalu banyak orang." Mega menatap lintang, ujung jemarinya menekuri bibir bawah lelaki itu.
"Karena...." mendadak Lintang tercekat, tak bisa menemukan kalimat yang tepat..
Alih-alih-alih menjawab Mega, Lintang meraup bibir Mega kemudian mendekapnya. Selanjutnya, kaki Mega kian rapat memeluk pinggang Lintang sementara tubuhnya dihimpit ke dinding. Lintang menyetubuhi Mega tanpa ampun, di hadapan tungku kremasi.
---
Beberapa bulan lalu,
Ruang tengah rumah Kalantara rupanya masih ada kehidupan. Lintang dan Arjuna yang terengah langsung merosot di foyer kemudian mengatur napas. Tanpa kata-kata keduanya melepas sepatu sebelum bergantian menggunakan kamar kecil. Sekadar untuk membersihkan bercak darah atau debu dari tubuh mereka.
Lintang membiarkan Arjuna menggunakan kamar kecil terlebih dulu. Dari tempatnya duduk, ia bisa mendengar suara dua orang mengobrol dari lantai atas.
"Tang, udah. Gue ke atas duluan ya?"
Yang diajak bicara hanya mengangguk sebelum masuk ke kamar kecil untuk berbasuh. Misi malam ini lebih berat untuk Arjuna, sehingga rekannya itu dibiarkan selesai terlebih dulu.
Karena rumah Kalantara sedang direnovasi, Lintang dan Arjuna diminta mandi di tempat Micah sejak beberapa hari yang lalu. Betapa Lintang terkejut ketika mendapati ranjang Micah diisi oleh sesosok perempuan yang lelap di bawah selimut. Hanya terlihat wajah tidur yang tampak begitu serius dibingkai rambut hitam tebal. Cantik, Megatruh harus diakui nyaris tanpa cela.
Sambil mengeringkan rambut, Lintang berdiri di belakang Micah yang tengah bermain game bola klasik dari televisi di ruang tengah khusus untuk para mantan trainee Arcs. Sang empunya rumah sudah membedakan area pribadinya dan milik para anak didik.
"Cewek di kamar lo siapa?" tanya Lintang, matanya tertuju pada layar televisi.
"Mega. Megatruh. Lo belum pernah ketemu dia? Yang sering diomongin anak-anak. Tapi dia udah jarang ke markas sejak lo masuk," jawab Micah tanpa memalingkan pandangan.
Arjuna yang ada di sana memilih meringkuk di sofa, nyaris memejamkan mata saat bertanya, "Cakep, ya, Ntang?"
Lintang memutar bola matanya sebelum mengangkat bahu. Lewat kisah-kisah yang ia dengar selama tinggal di asrama Arcs saat masa pelatihan, Mega memang populer. Namanya selalu disandingkan dengan tindakan tidak senonoh.
"Lontenya anak-anak ya," gumam Lintang. "Lo pake dia? Nggak nyangka lo doyan juga selangkangan tempat umum begitu."
Mendengar ucapan Lintang, Micah meletakkan stik PS di pangkuan dan menoleh ke arah rekannya. Arjuna yang semula nyaris tertidur memandang kedua orang itu bergantian, memprediksi perselisihan bakal segera pecah.
"Kayaknya selama kemampuan dia mumpuni, apa yang dia lakuin di luaran ataupun markas bukan urusan kita. Atau lo unconsciously udah intimidated karena dia punya pussy power to get what she wants sedangkan lo harus keluar tenaga thinking it isn't fair? Agak lucu kalau bener, karena di field kita semua cara nggak ada salahnya," kata Micah seraya membuang napas pendek di akhir.
"Wow, chill. Kenapa jadi lo yang sewot?" Lintang membalas defensif.
"Omongan lo merendahkan dia, begitu juga gue. Kalau ada yang suka tidur sama dia ya udah? Kalau pun gue tertarik juga lo nggak berhak bilang hal buruk soal itu."
"Sama kayak lo, nggak berhak menyimpulkan gue intimidated."
Setelah hening sesaat, terdengar suara pintu kamar Micah yang dibuka. Seorang perempuan dengan kaki telanjang, dicurigai hanya memakai kaus kebesaran keluar muncul dari balik pintu.
"Suasana apaan ini? Kalian berantem karena main?" Langkah Mega begitu ringan sebelum berhenti dan duduk di sebelah Micah, di atas karpet, bersandar pada sofa.
"Yah, kalah taruhan." Itu suara Arjuna, lantas ia bertanya, "Tumben keliatan di sini, Meg?"
"Kebetulan klien Pak Agah minta session di hotel deket sini. Gue mampir aja, enakan tidur di sini dan dapet sarapan gratisnya Viktor." Sambil menjawab, Mega menyandarkan tubuhnya pada Micah.
Daripada memelihara situasi canggung, Lintang duduk di karpet lalu menyandarkan punggung sofa tempat Arjuna berda. Dari lokasinya duduk, mata Lintang menyadari bahwa Mega memang tidak mengenakan apa-apa di balik kaus tipis itu. Bahkan pantatnya tersingkap, nyaris memperlihatkan selangkangan yang dipangkas polos.
"Hey new guy, do you see something you like?" dikatakan Mega pada lintang sambil menyunggingkan senyum dan mengangkat bagian bawah kausnya.
Aksi Mega lantas buru-buru dicegah Micah. "Stop, jangan sampai lo bikin Kala ngamuk karena flirting di rumahnya. Apalagi sampe ngajakin Lintang tidur," geram Micah.
Tawa terhibur lolos dari bibir Mega sebelum membuka jaraknya dengan Micah. "Jadi namanya Lintang? Cute," komentar Mega sebelum meletakkan kepala di sofa sambil menatap Lintang lurus-lurus.
---
"Am I still cute?" mendadak Lintang bertanya, menggoda Mega yang terkulai di pangkuannya.
"Mhn, even cuter," kekeh Mega sebelum mengangkat kepala.
Sorot mata Lintang dan Mega bertemu, bibir mereka mendekat. Seolah tidak tahan dengan jarak yang tercipta di antara mereka. Sesaat, bibir mereka bertemu; saling kecup.
“Kapan pulang ke rumah Kala lagi?” Lintang bertanya usai ciuman mereka terputus.
Tidak menjawab sepatah kata pun, Mega justru lekat memaku tatapannya pada Lintang dengan pelukan pada leher lelaki itu kian erat. Pikirannya seolah sedang melayang pada sesuatu..
“Pak Agah lagi banyak urusan kerja sama, aku harus sering ngangkang. Di hari tercapek kalau kamu mau mandiin, aku pulang ke rumah Kala. Gimana?” Mega menghela napas, “Yang ada kamu kaya gini lagi kalau tau aku ngangkangin bos-bos itu. Atau bakal lebih parah?”
“Begini” yang dimaksud Mega adalah lebam nyaris di sekujur tubuhnya berkat tanda dari Lintang. Termasuk lehernya yang merahnya kini membiru. Lintang menyetubuhinya tanpa ampun, hingga kini kakinya seolah tak bisa dirasakan lagi.
“Don’t clean yourself once you’re home then. Cuma, iya, pasti lebih parah,” janji Lintang seraya mengulas senyuman licik pada Mega.
0 notes
Text
Seattle, Deja Vu - Part 2
Here you can find the Part 1
Bibir Ram menyusuri leher Karta, meninggalkan jejak membara di atas kulit sang empunya. Ram mendekap tubuh di depannya itu erat, rusuk yang naik turun dan rintihan lirih Karta tak ubahnya bensin menyiram api.
Ram bergerak sedikit ke depan sebelum akhirnya bibirnya dan Karta saling menemukan. Keduanya berpagut dalam rima perlahan. Siapa yang tidak sesak jika menjadi Karta Hari? Bertahun-tahun berlalu tanpa persetubuhan, kini anusnya dibiarkan menganga usai dijejali kepal tangan Ram Anarghya.
"Do you know, Kar? You're that close yet so far," bisik Ram ketika mereka beri jeda di antara ciuman.
"Ram, sakit." Jari-jari kaki Karta menekuk, kedua tangannya mencengkeram lengan Ram dengan begitu erat. "Mhm... why?"
"I'm keeping you close in my memory, yet you are hard to reach," gumam Ram.
Segera setelah mereka bertukar ciuman, Ram baru menyadari tentang apa yang dirasakan kepada Karta tidak pernah beranjak dari benak. Rupanya, nyala itu masih hidup meski sudah belasan tahun ada dalam posisi ambigu di kehidupan Karta.
Perlahan-lahan, Ram menuntut Karta agar menelungkup dengan lutut menjadi tumpuan. Kepala Karta sengaja dibuat lebih rendah daripada bokongnya. Sorot mata Ram menyisir punggung Karta, lekuk pinggul hingga garis tulang belakang yang menawan. Anatomi Karta rupanya masih dihafal mati olehnya.
Ram bertumpu pada lututnya, pandangannya mengarah ke depan. Tatapan matanya bertemu dengan Karta yang mengamati lewat pantulan cermin. Wajah itu bertumpu pada lengannya yang menyilang, bibirnya terbuka agaknya mengais napas dari aktivitas mereka barusan.
"Lo cantik. Selamanya cantik." Ram menepuk bokong Karta sebelum meremasnya.
"Ram, kalau lo mau ngobrol kita nggak perlu telanjang di posisi ini," tegur Karta yang disambut dengan tawa keras Ram.
Tak butuh waktu lama, Ram mulai mendorong. Kepala penisnya bermain-main dengan kerutan di sekitar anus Karta sebelum menerobos masuk. Ram membenamkan dirinya dengan begitu perlahan, memastikan setiap senti dinding anus Karta merasakan kehadirannya.
Sesekali, Ram menampar pantat Karta yang menungging. Sementara empunya sedang memejamkan mata, menikmati sentuhan Ram bahkan di dalam dirinya sekaligus pukulan pada bokongnya. Karta menahan napas tatkala anusnya menelan penis Ram sepenuhnya.
Rintihan kembali lolos dari bibir Karta, matanya sedikit terbuka untuk memperhatikan sosok Ram yang tengah menggunakan dirinya dari pantulan cermin.
Akan tetapi, kelembutan Ram Anarghya hanya berlangsung sementara.
Setelah menikmati hangatnya anus Karta sejenak, Ram menghentak keras-keras. Begitu keras hingga tubuh Karta ikut terguncang. Persetubuhan mereka barangkali sudah lama sekali terjadi, namun tubuh keduanya seakan mengikuti memori masing-masing.
Karta mengangkat sebelah tangannya ke belakang, Ram segera menyambutnya dengan genggaman. Yang lebih muda kini mendongakkan kepala sembari penisnya merajai Karta sedalam mungkin. Penis pria itu melesak kian keras, kian panas hingga membuat empunya anus mengalunkan desahan nikmat.
“Ram…” panggil Karta, pegangan tangannya kian erat pada Ram.
Tak bisa menanggung nikmat sekaligus pedih di bawah sana, lutut Karta perlahan merosot. Alih-alih menahan Karta, Ram mengubah posisi mereka hingga sama-sama menyentuh kasur dengan kelamin saling menancap. Keduanya berbaring dengan posisi tubuh menyamping, Karta tetap berada di depan Ram.
Sebelah lengan Ram mengangkat kaki Karta, lalu menyelip di bawah lutut yang lebih tua. Mau tak mau, selangkangan Karta terbuka dengan penis yang ikut bergoyang acap kali Ram mendorong. Kedua tangan mereka yang semula saling genggam, kini masih bersentuhan. Karta separuh menindih tubuh Ram, sementara digauli habis-habisan.
Gigi Ram kini menancap di bahu Karta sementara ia terus menghujam. Dinding anal Karta mendekap erat penisnya hingga gerakannya di bawah sana kian sarat. Desahan mereka beradu, diiringi suara kulit yang saling bertemu. Jika suara pertemuan kulit mereka terdengar keras, bisa dipastikan Karta mengerang lebih lantang.
Ram meninggalkan luka lecet berkat giginya di pundak Karta, selebihnya ia hiasi kulit terang itu dengan lebam di sana-sini. Barangkali Karta tidak sadar, Ram sudah meninggalkan bekas ciuman di pundak bagian belakang hingga pangkal lehernya.
Makin merasa dikoyak, semakin Karta bergetar. Ram yang bergerak kesetanan kali ini merasa hasratnya mulai naik melampaui dada, napasnya tersengal oleh kenikmatan sendiri. Tak butuh waktu lama, Karta mencapai pelepasan; cairan maninya menyembur begitu saja sehingga membasahi perut dan dada juga sprei ranjangnya sendiri.
Dengan tubuh selemas itu, Karta tidak mampu menolak hujaman demi hujaman yang dibuat Ram seolah tanpa ampun. Akal Karta seolah melayang seiring tubuhnya dijadikan objek pemuas hasrat lelaki yang lebih muda.
Melihat tubuh Karta lunglai, Ram menyeringai. Malam-malam di mana Ram memuaskan diri dengan sisa-sisa kenangan menyetubuhi Karta sudah berlalu. Kini ia tengah didekap kehangatan dinding anus Karta, kadang kala Ram merasa hendak terhisap masuk. Penisnya yang semakin membengkak kian sesak dirasa.
Ram melepaskan pegangannya pada Karta untuk memeluk yang lebih tua erat-erat. Lelaki itu berguling ke depan untuk menindih Karta yang napasnya masih naik turun. Sambil mengejan, Ram menumpahkan cairan maninya di dalam anus Karta. Ram menindih Karta, hanya pinggulnya yang bergerak-gerak di bawah sana. Memastikan setiap tetes mani tidak terbuang dari celah anal.
Napas keduanya tersengal, baik Ram maupun Karta menikmati momen kulit mereka yang berpeluh saling sentuh. Mereka berkeringat, namun keduanya menggesekkan kulit satu sama lain; menikmati keintiman yang mereka bagi di atas peraduan.
“Sorry for the marks,” bisik Ram usai sudut matanya menangkap memar di sepanjang bahu hingga leher Karta.
Karta mengangguk sebelum bergumam, “It is good, isn’t it?”
Mereka berdua memilih jeda dalam diam, mengatur napas yang sempat tersengal. Kemudian hening, mereka membiarkan satu sama lain mengendalikan diri. Kedekatan semacam ini tidak lagi bisa mereka nikmati setiap hari. Maka selama Ram masih punya sisa waktu di Seattle, ia akan mereguk sebanyak mungkin momen yang bisa mereka bagi.
“Kar, boleh kah gue minta sesuatu?” tanya Ram dengan nada rendah.
“What is it?”
Ram menarik tubuhnya ke belakang, agar wajah Karta terlihat sejelas mungkin. Sambil memaku tatapan pada sepasang mata Karta, Ram menghembuskan napas pendek. Tangannya mencari milik Karta untuk digenggam.
“Since you’re owing me once more, let’s just stay like this; stay as significant others. I don’t mind if we’re 14 hours away. I don’t mind if we barely see each other. Just… let me belong to you, please?” Volume suara Ram kian mengecil.
Tak peduli keduanya begitu berantakan kali ini, Ram berhasil mengatur kalimatnya agar tidak terdengar seputus asa 16 tahun lalu. Saat ia meminta Karta untuk menjadi kekasihnya. Saat Ram mengaku cinta, yang lantas dibalas penantian panjang.
Wajah Ram mengusal pada bahu Karta sebelum akhirnya dagunya yang bersandar di sana. Ram mengerjapkan mata, memandangi Karta sambil mencari makna di balik tatapan yang tertuju padanya.
Setelah melipat kenangan usai mengucapkan sebaris kalimat magis untuk Karta, akhirnya Ram punya dorongan untuk mengulanginya.
Sambil menyingkirkan rambut depan Karta yang nyaris menutupi mata, Ram berkata, “Gue sayang lo, Karta. Sangat.”
0 notes
Text
Dari 'Anak-Anak' Kalantor
Sebagai tindak lanjut dari Kalantor: Danger in Your Eyes
---
Megatruh masuk ke dalam kamar Micah usai kepulangan Kalantara membungkam mereka. Canggung dirasa memenuhi udara di sekitar, sehingga dua anak muda sepantaran itu diam seribu bahasa.
Namun diamnya Mega dan Micah agaknya bukan ide bagus. Dari arah luar kamar terdengar suara Viktor, kekasih si empunya rumah, kesakitan. Mesra yang selalu menyertai Kalantara dan Viktor hingga menguar ke seisi rumah kini sirna. Mega paham betul perasaan itu.
"He's raped," gumam Mega sambil meremas ujung atasannya.
Micah menatap Mega sambil mengerjapkan mata. Pemuda itu sadar betul Mega tidak bertingkah sebagaimana biasanya. Perempuan itu resah, tampak jelas dari caranya mondar-mandir di ruangan tertutup itu.
"Mega, lo butuh air?" tanya Micah hati-hati.
Mega mengangguk lalu mengangkat ibu jari kemudian ia gigit jarinya. "Thanks in advance," gumam Mega.
Micah memastikan agar Mega duduk terlebih dulu sebelum ia meninggalkan kamarnya. Begitu Micah membuka pintu, sosok Lintang menghadangnya.
"Kenapa? Itu suara apa?"
Hendak membuka mulut, namun Micah urung. Sambil mengayunkan tangan ke dalam ruang kamarnya, ia meminta Lintang Kemukus masuk. Mega yang duduk di tepi kasur sambil menggigit kukunya agaknya tidak menyadari kedatangan Lintang.
"Lo temenin cewek lo dulu, gue balik lagi ASAP." Micah lalu mendekatkan mulutnya pada telinga Lintang lalu berbisik, "Lo jangan bahas pemerkosaan di kamar sebelah di depan Mega. Dia mendadak… begitu."
Lintang bergeming sejenak sebelum mengangguk. Ia menepuk pundak Micah sebelum masuk ke dalam kamar, bergabung dengan Mega.
"Cewekku, you're okay?" tanya Lintang sebelum mengambil tempat berlutut di depan Mega.
Saat tatapan mereka bersirobok, Mega buru-buru mengalihkan pandangan. Lintang mengulas senyum tipis sebelum mengangkat sebelah tangannya ke lutut Mega. Diusapnya tempurung lutut Mega yang tertutup celana jeans.
"Mau ke markas?" Lintang menawarkan diri.
"Ngapain?" Sambil bertanya balik, Mega memiringkan kepala.
"Sparing. Ngajak lo ke kelab bukan ide bagus, you'd end up kill them all. Better lo ngehajar gue," usul Lintang.
Senyum tipis diulas seorang Megatruh. Perempuan itu menyilangkan tangan di depan dadanya. "Habis dihajar secara harfiah, lo harus mau dihajar dengan konotasi lain," ujar Mega.
"Maaf menginterupsi, tapi markas barusan diminta steril," kata Micah yang barusan menutup pintu kamarnya.
Pemuda yang baru saja kembali itu menyerahkan segelas air kepada Mega. Setelah menggumamkan terima kasih, Mega menelan beberapa teguk.
Micah mendudukkan diri di tepi kasur, sebelah Mega. Sempat ia curi pandang sekilas pada Lintang. Setelah bertukar pandang dengan Micah, Lintang kembali memaku tatapannya pada Mega.
Micah mengamati kedua rekannya itu dalam diam. Cara Lintang memperlakukan Mega cukup wajar, namun gestur kecil yang ditangkap mata Micah menunjukkan jelas keduanya berbagi sesuatu.
Pemandangan Micah duduk di tepi ranjang bersama Mega juga agaknya tidak mengganggu Lintang. Padahal bukan rahasia apabila Mega sempat beberapa kali mengajaknya tidur bersama. Meski sekadar bercanda.
"Ngomong-ngomong, gue mau tidur. Terserah kalian masih mau di sini atau gimana." Micah mendadak merebahkan diri di belakang punggung Mega.
"Lo bisa tidur sementara denger gaduh di sebelah?" Mega menoleh ke arah Micah.
"Mending dibawa tidur. Karena besok pagi kita pasti diminta kumpul sama Pak Bos," ujar Micah seraya menyelipkan tubuhnya di bawah selimut. "Lo berdua masih mau saling hajar?"
Setelah bertukar tatap, Mega dan Lintang sama-sama naik ke atas ranjang.
"Gue di tengah," kata Lintang.
Jika sudah menyinggung misi yang gagal malam ini, mereka bertiga tidak bisa berkutik. Pasalnya, besok akan jadi hari yang panjang.
0 notes
Text
Our Youngest Sister
Kwon Soonyoung as Arden Sadajiwa. Cho Seungyoun as Alerio Sadajiwa. Hong Eunchae as Sachinyla Sadajiwa.
Special Appearance: Choi Seungcheol as Leon Baskara, Xu Minghao as Hero Handoko.
===
"Loh, bukannya lo jemput si Achi?"
Pertanyaan itu datang dari Leon ketika melihat Arden melintasi lounge. Yang diajak bicara lantas berubah haluan dari semula menuju kantornya, kini menghampiri dua pemuda lain; Leon dan Hero.
"Kata Tuan Puteri, 'Sachinyla Sadajiwa udah gede, Mas! Bisa pulang sendiri,’ Minta gue nggak terlalu concern ke dia," jawab Arden sebelum mengenyakkan diri di sofa. "Adik cewek kalian begitu juga?"
Mendengar pertanyaan Arden, Leon dan Hero saling bertukar tatap. Tiga orang yang berbagi ruangan ini sama-sama punya adik perempuan. Hero dan adiknya hanya berjarak dua tahun, sedangkan Leon lima tahun. Arden cukup jauh, yakni 10 tahun. Tentunya situasi yang mereka hadapi berbeda.
"Aurora kalau mau sesuatu selalu bilang, sih. Nggak ada masalah selama ini sama dia," jawab Leon.
"Violetta nggak pernah begitu tapi kadang bikin sport jantung," aku Hero.
Sambil menyimak jawaban teman sejawatnya, Arden meminum air mineral yang dibawa dari lokasi meeting tadi. Sejenak ia menghela napas sebelum menceritakan apa yang menjadi tuntutan baru si bontot di rumah.
"Intinya gue nggak perlu antar-jemput Achi lagi, jadi silakan atur aja jadwal yang sama gue senyaman kalian. Gue lihat dulu sih satu semester jalan atau nggak." Sebuah keputusan diambil Arden, meski belum dibicarakan dulu dengan Alerio kembarannya.
"Good luck, bro. Little sisters are sent for us to be a better man. Kadang memang harus dimaklumi." Yang satu ini datang dari Hero.
Percakapan mereka bergulir ringan sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk kembali pada pekerjaan. Baru sebentar Arden hendak beranjak menuju ruangannya, ponsel di saku berbunyi.
"Ya, saya walinya Sachinyla."
Percakapan dengan sosok di seberang sana membuat Arden mengerutkan dahi. Hero maupun Leon secara otomatis ikut tersentil simpatinya. Tanpa suara, Leon bertanya, "Kenapa?"
Arden melirik Leon sebentar sampai akhirnya panggilan terputus. "Achi pingsan, gue harus ke sekolahnya sekarang. Sorry," kata Arden sebelum akhirnya melesat.
---
Serangan panik. Arden tidak salah dengar.
Informasi itu didapat Arden dari wali kelas Sachinyla, meski belum bisa dipastikan. Kakak-kakak kelas Achi yang menjadi saksi mengaku pernah melihat kejadian serupa sebelum ini. Saat ini, siswa-siswi kelas 10 tengah mengikuti diklat dalam rangka kepengurusan sekolah.
Rasa khawatir yang mencekik leher Arden sedikit longgar tatkala mendapati Sachinyla berbaring sadar di ranjang UKS. Gadis itu tampak baik-baik saja meski lebih lunglai dari biasanya.
"Kamu ke-trigger apa tadi? Ada omongan kakak kelas yang bikin kamu sedih? Kamu dibentak-bentak?" Tangan Arden mendarat di kepala Sachinyla.
Sachinyla mengerutkan bibir sekilas lalu menghela napas. "Bagian disuruh bayangin begitu pulang ada bendera kuning di depan rumah, Mas," jawabnya.
Seketika Arden tertegun. Pikirannya mengembara pada tragedi empat tahun lalu.
Arden pergi dari kantor lebih awal, Alerio mempercepat kepulangannya dari Meulaboh ke Jakarta. Sachinyla dijemput kerabat karena saat itu ponselnya kehabisan daya.
Pagi harinya mereka, minus Ale, masih makan bersama. Ayah dan ibu Sadajiwa bersaudara seharusnya sudah tiba di Sukabumi lepas zuhur, untuk memenuhi undangan teman mereka. Alih-alih mendengar kabar mereka selamat sampai tujuan, keluarga menanti datangnya jasad Ismail Sadajiwa dan Larasita Ahmad tiba usai diurus rumah sakit.
Berita mengenai pasangan pesohor negeri meninggal dunia lantas terdengar di mana-mana. Arden ingat betul selama proses pemakaman bahkan hingga tahlil, Sachinyla sama sekali tidak menangis. Gadis yang saat itu berusia 12 tahun tidak banyak berekspresi mengenai kepergian orangtuanya. Achi, hanya menempel padanya ataupun Ale selama prosesi pemakaman diliput media-media besar Tanah Air.
Mengetahui cerita pingsannya Sachinyla hari ini, Arden lantas sadar apabila adiknya punya trauma yang tak terkatakan. Meski tampak baik-baik saja selama keluarga mereka mengalami masa paling berat, rupanya bertahun-tahun berikutnya Achi menunggu waktu untuk meledak.
“Mau periksa? Mas temenin." Arden mulai menggendong ransel Sachinyla di salah satu bahunya.
Pertanyaan Arden dengan cepat disambut gelengan kepala. “Nggak, mending kita pulang aja yuk? Mau bobok. Capek," tegas Sachinyla.
Semua yang mengenalnya tahu, Arden tidak akan pernah melakukan sesuatu di luar kehendak orang lain. Bertahun-tahun hidup sebagai kepala keluarga membuatnya lebih banyak mendengarkan keinginan mereka. Sehingga Arden baru akan mengantar Sachinyla.
"Oke, kita pulang. Tapi janji kalau panik lagi harus bilang sama Mas."
Atas ultimatum Aden, Sachinyla terdiam sesaat lalu menganggukkan kepala dan meraih uluran tangan kakaknya. Achi diizinkan pulang, Arden ingin adiknya segera beristirahat.
"Mas Den, cari pacar kek," celetuk Sachinyla tiba-tiba.
"Yakin? Nggak bakal ngambek perhatian ke kamu kurang?" Arden membalas ucapan adiknya separo menggoda.
"Sejak Mas Ale punya pacar aku juga mau perhatian dari pacar Mas Den juga."
"Caper sama Ezra aja, pasti ditanggepin."
"Beda, ih! Perhatian dari kakak cewek itu seru tau."
Menyadari bahwa mendebat Sachinyla tidak akan ada habisnya, Arden akhirnya berkata, "Nanti Mas pikirin lagi."
---
“Jadi Sachi mungkin punya gangguan panik?” tanya Alerio, berusaha memproses informasi dari Arden barusan.
Arden mengangguk, jarinya bergerak memetik gitar di pangkuan. “Kenapa gue sampai nggak tau dia kenapa ya?” ia menerawang.
Ale mengulurkan tangan untuk menepuk bahu saudara kembarnya itu. Arden, bagaimana pun sudah berusaha keras mengurus semua orang termasuk Ale. Meskipun mereka lahir bersamaan, mereka cukup kontras. Bahkan semua orang bisa melihatnya.
“Gue kalau bukan lo yang bilang, nggak akan tau,” kata Ale. “Kakak macam apa gue?”
Arden mengernyit ke arah Ale lantas menggeleng. “Mulai. Lo juga struggle, Le. Gue bisa jadi yang antar-jemput Achi, tapi lo yang memastikan anak itu seneng,” ujar Arden.
Ucapan Arden ada benarnya, Ale tidak pernah tanggung-tanggung dalam menyenangkan Sachinyla. Arden selama ini mengurus keperluan mendasar adik perempuan mereka, sementara Ale membantu Sachinyla mengenal dunia. Sering kali Ale mengajak adik perempuannya itu ke acara-acara musik yang mengundangnya sebagai bintang tamu.
Bukan sekadar diajak ke belakang panggung, Ale membiarkan adiknya mencoba pengalaman sebagai asisten pribadinya dan memperkenalkan anak remaja itu ke orang-orang yang dekat dengannya di industri. Sehingga Sachinyla mengenal serunya pengalaman di balik layar panggung hiburan.
Bahkan sejak Ale punya hubungan dengan Raisa, Sachinyla kini bak punya kakak perempuan. Jangan ditanya seberapa sering Raisa meminta izin mengajak Sachinyla keluar. Bisa dibilang kini Sachinyla sudah menembus pergaulan Raisa dan teman-temannya; yang semuanya menyayangi si bungsu Sadajiwa.
“Gue sampai bolak-balik psikiater sejak itu, gimana Achi? Dia yakin nggak mau periksa?” Ale lagi-lagi bertanya.
“Nggak mau dia. Kalau udah begitu emang kita bisa bujuk?” Arden memindahkan gitar dari pangkuannya ke penyangga yang letaknya tak jauh dari sofa.
“Try Ezra?” usul Ale sebelum menambahkan, “Kalau kita nggak didengerin, bisa jadi pacarnya bisa bujuk?”
Arden kembali menautkan alis sambil menatap kembarannya. “Bukannya lo nggak suka Ezra?” tanya Arden, skeptis.
“Bukan nggak suka. Tapi Ezra emang harus diawasi, udah bukan anak SMA lagi dia,” sahut Ale defensi.
“Iya, tapi lo beneran mau ngomong sama Ezra dan minta bantuan ngebujuk Achi?”
“Nggak, gue usul lo aja, Aden, yang ngomong sama Ezra.”
“Dih, at least kalau mau minta bantuannya Ezra lo juga harus nerima dia.”
Perdebatan dengan klan Sadajiwa tidak pernah mudah, seharusnya Alerio tahu sebelum mengutarakan idenya pada Arden.
“Aden, lo bisa nggak setuju dulu sebelum mulai mendebat gue?” Ale mulai kehilangan kesabaran.
“Oke, gue setuju. Tapi lo juga nggak usah terlalu keras ke hubungan Achi sama Eja setelah ini. Yang penting kita pernah kasih pengertian buat mereka.”
“Iya, iya, paham. Stop menekan gue,” gerutu Ale.
Mendengar jawaban demikian dari Ale, Arden berubah sumringah. Semua orang tahu bahwa Ale adalah orang yang paling tidak setuju Sachinyla sudah mulai berpacaran. Sehingga kenyataan Ale setuju akan melunak soal hubungan asmara adik mereka membuat Arden lega sekaligus terhibur. Pasalnya, pendirian Ale tidak muda luntur sekalinya ia berprinsip.
“Aden, mending lo cari pacar daripada ribetin urusan sodara-sodara lo.”
Komentar Ale hanya disambut tawa kecil Arden. “Nggak. RIbetin kalian hiburan gue,” jawab Arden.
0 notes
Text
Bad Habit?

TW: blood , harsh words
Kwon Soonyoung as Mahesa. Wen Junhui as Red. Lee Chan as Micah.
===
"Red."
"Mahesa."
Begitu suara pintu ditutup terdengar, Mahesa mengambil langkah mendekat. Red ada di balik meja kerja dengan banyak dokumen menumpuk.
Setelah melirik ke arah Mahesa sekilas, lelaki yang disapa Red itu melepas kacamatanya. Ia memijat pangkal hidung dengan cekung rendah bekas alat bantu baca.
"Laki-laki atau perempuan?" Suara Red kembali terdengar.
Mahesa yang biasanya tidak gentar kini mendesah pelan. "Perempuan, nggak masalah dijadikan apa aja," jawabnya singkat, padat dan jelas.
Sebelah sudut bibir Red terangkat, ia mengusap dagunya sambil mengamati Mahesa. Yang dipandangi hanya membalas tatapannya dengan tatapan tak terbaca.
"Ethan Jiang, give me your answer."
Mahesa melafalkan nama asli Red yang hanya dilakukan ketika ia sedang serius. Padahal biasanya Mahesa dan adjektiva serius cukup jarang disandingkan.
"Pergi ke kamar gue, mandi, tunggu gue di sana," jeda sesaat ketika Ethan memasang kacamatanya lagi. "Dia bisa dateng malem ini. Make sure lo kasih kontaknya ke Lily dan begitu juga sebaliknya."
Sekacau apapun perasaan Mahesa acap kali Red menuntutnya siap disetubuhi, ia yang paling paham jika itu hanya sementara. Jika peraduan telah dilaku, iblis pun tahu Red akan selalu termaafkan tak peduli seberapa banyak sakit yang ia tanggung.
"Any concern, Love?" Suara Red kembali terdengar begitu menyadari Mahesa masih bergeming di tempatnya.
Mahesa menggeleng sebagai jawaban. Sembari melangkah mundur, ia berkata, "Later, Red."
Sang empunya ruangan mengerjapkan mata lantas mengangguk. Red membiarkan Mahesa menghilang di balik pintu tanpa berkata apa-apa.
—
Lelaki itu menelungkup, berpeluh, darah mengalir dari sayat-sayat panjang yang "menghiasi" kulitnya. Sementara seseorang menghujam liangnya yang merekah, atau lebih tepatnya dipaksa rekah.
Seprai yang menjadi alas kegiatan mereka tak lagi berbentuk. Mahesa menariknya hingga ujung-ujung kain itu terlepas dari kasur. Bercak darah ikut membasahi beberapa bagian.
Red di sana, mendaulat Mahesa tanpa ampun. Hentakan yang dilaku penisnya dalam anus Mahesa semakin pedih. Belum lagi jemari lentik pria itu menyusuri bekas sayat yang dibuatnya sendiri; di atas bekas luka cambuk yang masih belum pulih. Terkadang, lidah Red menyeka aliran darah dari kulit Mahesa yang menganga.
"Malam ini gue ingin menggambar," kata Red sebelum mereka berdua memulai aktivitas dosa ini.
Menggambar yang dimaksud Red adalah menorehkan ujung belati pada kulit punggung Mahesa. Entah bagaimana, punggung Mahesa menjadi objek kesukaan Red.
"Good. Gue sedang nggak mood jadi kain batik," komentar Mahesa yang baru saja melucuti pakaiannya.
Sambil menatap Mahesa, Red menyunggingkan senyuman culas. "We'll see," bisiknya sebelum menyusurkan bagian tumpul belati di garis punggung Mahesa.
Ruangan itu dipenuhi jerit dan erangan Mahesa yang menjadi obyek kesenangan Red. Alas ranjang sengaja menggunakan warna putih agar bercak darah tertinggal di sana.
Luka sayat di punggung Mahesa terkesan acak, namun Red mengukir karakter hanzi dari namanya; Jiang Ru. Dengan harapan jika Mahesa ingat siapa yang memilikinya.
Tatkala merasakan tubuh Mahesa mulai gemetar, Red menarik diri. Sengaja mempermainkan lelaki yang ia setubuhi. Sepersekian detik berikutnya, Red membalik tubuh Mahesa menjadi telentang.
"Argh..." Mahesa tak bisa mengontrol erang kesakitan ketika luka-lukanya menyentuh seprai katun.
Fakta bahwa penis Mahesa sempat berikan reaksi atas kesakitannya itu cukup menghibur bagi Red. Mereka berbagi tatapan sejenak, ketika Red mengungkung tubuh Mahesa dan mulai mendorong kepala penisnya di celah anus yang cukup renggang.
Bibir Mahesa sedikit terbuka, mendambakan ciuman. Diperlihatkan dari sentuhan tangan Mahesa pada rahang Red. Meski bibir mereka hampir tak berjarak, Red membawa kepalanya turun lantas mengecup leher Mahesa.
Meski sedikit kecewa, Mahesa tetap rasakan nikmat ketka dirinya kembali disetubuhi dengan punggung penuh luka dan tamparan yang konstan diterima pipi dan bokongnya. Bahkan euforia dirasakan ketika mani panas Red tumpah dalam dirinya.
—
"Minum ini," titah Red sambil menyerahkan beberapa butir obat dan air.
Pereda rasa sakit. Sudah jadi kebiasaan Red ketika terlalu banyak menyisakan luka dari aktivitas seksualnya. Red menyandang namanya bukan tanpa alasan. Siapapun tahu Ethan Jiang hanya akan mencapai kepuasan ketika budak seksnya berdarah. Makin bersimbah darah, semakin terangsang dirinya.
Namun Mahesa mengakui, pedih sekujur tubuh akibat disetubuhi Red cukup sepadan. Red akan merawatnya habis-habisan ketika keduanya sudah mencapai klimaks, memastikan tidak meninggalkan bekas di kulit yang terlihat, dan membiarkannya menginap semalaman di kamar pribadi. Oh, Red juga akan memeluknya selama tidur.
Pada intinya, sisi baik dan manis Red pada Mahesa hanya akan ditunjukkan setelah sesi mereka berakhir.
Setelah meminum pereda rasa sakit, Mahesa diminta tengkurap di atas ranjang bersih Red. Sementara sang empunya peraduan memastikan luka-luka Mahesa sudah dibalut dengan semestinya.
"All good. Besok kita lihat lagi berbekas atau nggak."
Red lantas berbaring di sisi Mahesa yang tidak bergerak dan diam seribu bahasa. Namun matanya mengikuti pergerakan Red mulai dari berbaring hingga menarik selimut untuk mereka bagi.
"Why don't you kiss?" tembak Mahesa sambil mengerjapkan mata.
Pertanyaan itu, Red yakin sudah disimpan Mahesa begitu lama. Toh perjanjian Red harus melayaninya bukan hanya berjalan sepekan dua pekan. Sudah bertahun-tahun lamanya sejak Mahesa mengirimkan pelacurnya ke kelab eksklusif Red.
"I do kiss, right?" Red menyentuh tengkuk Mahesa sebelum menyematkan ciuman di kening pemuda itu.
"You know what I mean," desis Mahesa.
Usai menghela napas, Red menjawab, "I don't want to make it a habit."
Kendati tidak puas dengan jawaban Red, Mahesa memilih pasrah. Lelaki itu tidak akan menjawab. Sehingga saat Red mulai merengkuh tubuhnya dan memberikan pelukan hangat, Mahesa memilih diam seribu bahasa sambil menikmati pelukan yang mereka bagi.
---
"Sejak kapan ciuman jadi kebiasaan buruk?" tanya Mahesa kepada Micah yang kini berbagi ranjang dengannya.
Di antara Arctics, hanya Micah yang bisa bebas keluar masuk rumah Mahes. Itupun karena kebiasaan mereka tidur dalam pelukan satu sama lain.
"Bisa aja. Kayak lo yang suka cium-cium lalu bersikap seolah nggak ada apa-apa, contohnya."
Jawaban Micah sukses membuat Mahesa mendelik. "We're both satisfied, and so what?" ujarnya.
Mendengar ucapan Mahesa, Micah memutar bola mata. "Satisfied your ass. Lo yang puas karena sampai di sana aja kapasitas lo. Lah gue..." yang lebih muda tidak melanjutkan kalimatnya.
"Lo apa?" desak Mahesa.
"Nevermind," kilah Micah. "Lo butuh tidur, ke mana aja sih semalem?"
Tahu pertanyaannya tak kunjung dapat jawaban memuaskan, Mahesa terpaksa menekan rasa penasaran. Mahesa membenamkan wajahnya di dada Micah sebelum bergumam, "Tugas negara, jualan lonte."
( to be continued )
0 notes
Text
La Bauhinia

Kim Mingyu as Nicholas Wangsa. Jung Chaeyeon as Arabella Alamsyah.
Seungcheol as Clinton Zhao. Xu Minghao as Paris Prabangkara // Special mentions / Joshua Hong as Agah Kaunang. Bae Yoobin as Pingkan Radita Kaunang.
===
Paris, Musim Gugur 2021
Pingkan bilang, jangan tanggapi laki-laki manapun yang mencoba mendekatinya. Sekalipun untuk sekadar cinta satu malam atau mencuri ciuman.
Arabella Alamsyah masih mengingat pesan Pingkan di belakang kepala. Namun keberadaan laki-laki setinggi 187 cm yang berbagi meja makan dengannya ini jelas telah membuatnya didera syok ringan.
Laki-laki ini, muara dari sederet alasan Arabella melupakan nasihat sahabatnya. Lebih buruk lagi, laki-laki ini merupakan alasan dirinya mengesampingkan keahlian yang seharusnya ia kuasai.
"Kamu..."
"Yah, kita ketemu di Le Grand Palais kemarin. Nggak mungkin lupa nama saya, 'kan?" pria itu menatap lurus ke mata Arabella.
"Nicholas, Nicholas Wangsa," ucap Arabella nyaris berbisik.
Si empunya nama hanya tersenyum sebelum memanggil pramusaji restoran La Bauhinia. Dengan musim seperti sekarang, tidak heran apabila hotel Shangri-La dipenuhi pengunjung. Akan tetapi, Arabella tidak mengira akan berbagi meja dengan seorang yang sempat dikenal saat menghadiri peragaan busana semalam hingga after party.
Sarapan pagi La Bauhinia tidak pernah mengecewakan. Sudah jadi kebiasaannya duduk di mezzanine, menikmati egg benedict dengan salmon favoritnya sambil mengamati manusia sekitar. Namun insting Arabella mengatakan bahwa saat ini justru dirinya yang diamati. Atau lebih tepatnya diawasi.
Pagi ini berbeda dari sebelum-sebelumnya Arabella menyarap di sana. Penuhnya meja La Bauhinia tidak sealami pagi-pagi yang biasa ia lihat. Keresahan Arabella membuat dirinya tidak sanggup menelan makanannya.
Meski sudah berusaha, Arabella tidak bisa menahan lidahnya sebelum berkata, "Are you sent to dig something from me, Mr. Wang?"
Mendengar pertanyaan Arabella, Nicholas membawa tubuhnya mundur untuk bersandar pada kursi. Senyum penuh arti tergambar di wajahnya.
---
Beberapa bulan sebelumnya,
Clinton Zhao dan pemikiran gilanya sukses membungkam Nicholas Wang. Lelaki yang lebih muda membawa tubuhnya mundur untuk bersandar di kursi.
“Arabella Alamsyah temennya Pingkan, Ton. Lo sama aja membiarkan gue mati di tangan adiknya Agah,” ujar Nicholas sambil menyilangkan kedua tangan di atas dada.
“Agah bilang, Pingkan uring-uringan denger berita abang sulung lo mau dijodohin sama temennya si Arabella Arabella ini.” Clinton mengedikkan bahu.
“Perempuan ini bisa manipulasi psikologi-”
“Yang berarti bisa mempengaruhi lo, Nick?”
“Bukan gitu, Bangsat. Dia bisa dengan mudah tau maksud gue.” Nicholas setengah menggeram, separo ingin meninggalkan perdebatan dengan yang lebih tua.
“Sayang banget lo nggak melihat ini sebagai tantangan,” sahut Clinton sambil memainkan gelas di tangan, sorot matanya mengikuti permukaan wine yang terombang-ambing. “Emang harus lo, Nicholas. Pikirin lagi posisi apa yang bisa lo dapet dari perempuan ini.”
“Emang otak lo rusak ya kadang-kadang.”
“Nggak juga, seringnya di balik laki-laki sukses ada perempuan yang lebih kaya.”
Lagi-lagi, Clinton berhasil membuat Nicholas kehabisan kata-kata.
---
"Gue benci perempuan seperti ini."
Nicholas memainkan batang rokok di tangan. Sorot matanya tertuju pada profil Arabella Alamsyah yang juga dikenal dengan julukan Rosa Nera yang sudah dibagikan oleh orang terpercaya, Paris.
Yang diajak bicara memutar bola mata lalu bergumam, "Nggak usah pura-pura uninterested. Rosa Nera ini jelas perempuan yang lo bawa mati."
Paris terkadang lebih mengenal Nicholas daripada dirinya sendiri. "Yang bener aja," desisnya, defensif.
"Kita bisa bertaruh kalau lo seyakin itu." Paris menepuk pundaknya dengan segulung kertas sebelum berlalu.
Nicholas terdiam dan hanya menyaksikan Paris berlalu. Sejenak kemudian, ia kembali sibuk dengan pikirannya yang tengah mengembara.
Nama Rosa Nera sudah lama dalam database Arc Team, sebagai salah satu jajaran tertinggi agen spionase dari Salvatore atau yang akrab disebut The S. Seseorang yang membekali Nicholas dengan manipulasi psikologis adalah bagian dari agensi tersebut, Fiona Lang. Tanya berputar di kepala Nicholas, apakah Fiona mengenal Rosa Nera?
Di luar identitas Rosa Nera, Arabella Alamsyah seunggul kakak perempuan Clinton, Natyara Cordelia Zhao. Arabella di kehidupan sehari-harinya dikenal sebagai mantan finalis Puteri Indonesia 2017 bersama dengan Pingkan Radita Kaunang. Selain lekat dengan citra ratu kecantikan, Arabella menghabiskan waktu dengan duduk di baris pertama peragaan busana ternama di dunia.
Meski tidak harus mencari nafkah sendiri, Arabella Alamsyah cukup produktif melahirkan essay dan mengadakan pameran lukisan. Berlian, salah satu kandidat istri pria kalangan kelas atas.
Meski Nicholas membenci perempuan kelas atas, harus diakui Arabella Alamsyah miliki paras tak terkatakan. Aura perempuan itu menegaskan posisinya, sebagai pewaris tunggal, kuat dan tak tersentuh. Adjektiva terakhir yang Nicholas tahu, sangat disukai pria-pria di sekeliling perempuan itu.
Bagaimana pun, Nicholas mafhum soal fantasi laki-laki lain soal perempuan kaya dan tidak tersentuh. Namun di balik penampilan dan segala citranya, Nicholas tahu, Arabella tidaklah semurni yang terlihat.
Maka Nicholas Wang akan mulai pada hal yang paling tidak ia hargai dari seorang perempuan dengan hak istimewa.
---
Celah pada pagi di La Bauhinia rupanya tertangkap oleh Arabella. Nicholas mengira semuanya sudah terencana rapi namun batas kesalahan tetap tak terhindarkan. Seperti yang sudah diramal Nicholas, Arabella tidak sebodoh itu mengira pertemuan mereka kebetulan semata.
"You're faster than I expected, Rosa Nera."
Nama yang diucap Nicholas membuat punggung Arabella kian tegak. Garpu dan pisau diletakkan di kedua sisi makannya. Arabella mengulas senyum, tatapan yang tertuju pada Nicholas melembut.
"Good thing you haven't bedded me, Mr. Wang. Mereka mengetesku, ya?"
Perkiraan Arabella masuk akal. Sejak rencana pertunangannya dengan Julius Wang menjadi desas-desus di kalangan atas, terlalu banyak pihak tertarik padanya. Sering kali cara mereka menggali informasinya terlalu amatir.
Dari pertanyaan barusan, Nicholas berasumsi Arabella mengira Julius Wangsa dalang di balik interaksi mereka. Di sisi lain, Arabella bertanya-tanya soal kesamaan nama keluarga calon suami pilihan keluarganya dan Nicholas.
"Bagaimana jika aku punya tujuan lain?" tanya Nicholas balik. "Dan memang ada hubungannya dengan yang satu itu."
"Ya, karena kamu membutuhkan informasi. Meniduriku adalah salah satu caranya. Klise." Salah satu sudut bibir Arabella terangkat.
"Kalau begitu, sampaikan salamku untuk Miss Fiona. Sudah lama kami tidak bertemu."
Nicholas mampu menangkap pupil mata Arabella bergerak, tanda pertahanannya mulai goyah. Dipastikan kepala Arabella tengah dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tentang Nicholas, dan apa hubungannya dengan Miss Fiona.
"Begitu juga denganku," sahut Arabella, tak mampu menyembunyikan getar suaranya.
"Pembohong," decih Nicholas sambil terkekeh pelan.
"Permisi, tapi kamu juga nggak sepenuhnya jujur. Bahkan sejak semalam," seloroh Arabella.
"Tapi dari awal aku sama sekali tidak berkilah. Sepertinya, Nona, kamu harus belajar jujur," ujar Nicholas sebelum mulai nyesap teh pu er dari cangkirnya.
"Belajar jujur? Darimu?" Arabella setengah mencemooh.
Nicholas mengangguk seraya meletakkan cangkir di tatakan. Lelaki itu memilih untuk tidak segera menjawab, melainkan mencondongkan tubuh ke depan; menatap Arabella kian lekat.
"Benar. Kamu harusnya jujur ingin melanjutkan ciuman di lift semalam, Rosa Nera. You were honest until you chose to be a total liar by running away once I grab your pretty waist," gumam Nicholas, nyaris membungkam perempuan di depannya.
( to be continued )
3 notes
·
View notes