Tumgik
Text
Melawan Normalisasi Bullying : Diam Bukan Berarti Kuat, Lapor Bukan Berarti Lemah
Jumat, 6 Oktober 2017 - 03:40:56 WITA
Oleh : Rian Isdianto Salean
Tumblr media
Sumber : google.com
“Sudah sering banget, dari semester satu. Pintu kelas ditahan melulu, kan saya mau pulang nih ditahan melulu pintu kelas, tas saya sampai ditarik-tarik. Ya, pokoknya banyaklah,” jawab Farhan, mahasiswa jurusan Sistem Informasi di Gunadarma, saat salah satu program televisi swasta menanyakan apakah dirinya sering mengalami tindakan bullying dari lingkungan tempat ia tinggal dan menimba ilmu. Bullying memiliki berbagai macam bentuk, misalnya kekerasan fisik dengan cara memukul, mengejek atau mengolok, bullying relasional, dan cyber bullying yang dilakukan lewat media internet.
Sebagai salah satu peserta lomba karya tulis yang diadakan oleh Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban (LPSK), saya sangat ingin mengetahui alasan di balik tindakan bullying yang bisa terjadi dalam waktu yang cukup lama, tanpa ada laporan dari saksi bahkan korban yang mengalami ketidakadilan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2012) mendukung kebenaran adanya perilaku masyarakat dan para korban bullying yang merasa tahu tentang bullying, namun seringkali justru membiarkannya terjadi. Saya kemudian menyebar kuesioner online lewat akun media sosial untuk memperoleh jawaban dari 102 korban bullying dan mereka yang pernah menyaksikan tindakan bullying.
Kuesioner online ini bertujuan untuk mengetahui alasan mengapa para saksi dan korban kasus bullying lebih memilih diam daripada melapor kepada pihak lain untuk mendapatkan perlindungan. Setelah mengetahui alasan tersebut, saya ingin memberikan informasi kepada teman-teman semua mengenai fasilitas yang disediakan oleh LPSK untuk menjawab kekhawatiran para saksi dan korban sehingga kita semua memiliki keberanian untuk melapor. Saya tidak membatasi kriteria responden, mengingat kasus bullying tidak mengenal status, umur dan latar belakang pelaku serta korban yang terlibat.
Hasil yang saya dapatkan sungguh sangat mengejutkan. Dari 102 responden, 85.4% atau sebanyak 88 responden mengaku pernah menerima perlakuan bullying dan 90.3% atau sebanyak 93 responden menyaksikan tindakan bullying di lingkungan sekolah. Saya sedih melihat pahitnya kenyataan yang menunjukkan bahwa banyak institusi pendidikan baik swasta maupun negeri, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, tidak semua menjamin kenyamanan dan keamanan dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar. Sekolah memiliki peran penting untuk menciptakan generasi muda yang unggul dan kompetitif demi meraih cita-cita dan masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu, institusi pendidikan dan lingkungannya harus menjamin setiap siswa dapat memaksimalkan potensi diri serta kemampuan mereka tanpa rasa takut dan cemas mengalami tindakan bullying. Waktu yang dihabiskan oleh para siswa di sekolah tidaklah sedikit. Selama hampir 12 jam mereka harus menganggap sekolah sebagai rumah kedua untuk melakukan aktivitas belajar selama bertahun-tahun. Dengan waktu yang sesignifikan ini, bullying di sekolah akan membuat siswa merasa tidak nyaman untuk belajar, kemudian mereka akan mengalami demotivasi sehingga merasa malas untuk pergi ke sekolah. Bagaimana mungkin bisa belajar dan mengerti materi yang disampaikan di kelas kalau terus dihantui rasa takut dan cemas?
Saya menantang teman-teman untuk sekedar melakukan pencarian informasi di internet dengan kata kunci “kasus bullying di Indonesia”. Saya yakin teman-teman akan terkejut melihat begitu banyaknya daftar kasus bullying yang terjadi dari tahun ke tahun. Menurut data Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejak tahun 2011 hingga 2016 ada sekitar 23 ribu kasus kekerasan fisik dan psikis terhadap anak. Bullying tetap jadi isu penting di Indonesia. Pada tahun 2015, LSM Plan International dan International Center for Research on Women (IRCW) melakukan riset terkait bullying. Hasilnya, terdapat 84% anak di Indonesia yang mengalami bullying di sekolah.
Mengapa Korban Takut Melapor?
Hasil kedua yang saya peroleh menunjukkan bahwa dari 102 responden, 83.4% atau sebanyak 89 responden tidak melaporkan kasus bullying yang dialaminya. Ada 3 alasan yang paling dominan di balik sikap diam para korban.
1.     Sebesar 40.8% atau sebanyak 42 responden merasa takut membebani orang tua, guru atau pihak terkait yang akan menerima laporan tersebut. Korban bullying mungkin berpikir bahwa pihak yang akan menjadi tempat pengaduan kasus bullying, tidak memiliki kapasitas dan sumber daya untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, melapor hanya akan membuat pihak lain cemas dan membebani mereka dengan persoalan baru. Siapa yang tidak mengetahui kasus bullying yang dialami oleh Muhammad Farhan (19) seorang mahasiswa Universitas Gunadarma, Depok. Sejak duduk di bangku SMA, Farhan kerap menerima perlakuan kasar dari teman-temannya. Hal ini berlanjut sampai dia melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Farhan tidak melaporkan kekerasan yang ia alami karena takut membebani pihak keluarga dan pihak sekolah.
2.     Sebesar 21.4% atau sebanyak 22 responden tidak melapor karena takut diejek, direndahkan dan dianggap lemah oleh orang lain. Bagi banyak orang, melapor dianggap sebagai suatu tindakan yang lemah dan berlebihan. Apabila kita melapor, banyak orang akan menganggap kita terlalu melebih-lebihkan, tidak mandiri dan mencari pembenaran atas kelemahan kita. Padahal, melaporkan tindakan bullying adalah tindakan yang heroik dan terpuji. Kita harus menyadari bahwa korban yang melapor adalah mereka yang berani jujur dan terbuka dengan ketidakadilan yang sedang menyiksa. Mereka adalah orang yang berani melawan ancaman dan kekerasan yang diberikan oleh pelaku. Orang-orang harus sadar bahwa kelemahan yang sesungguhnya adalah berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa ketika ketidakadilan terjadi.
3.     Sebesar 9.7% atau sebanyak 10 responden menolak untuk melapor karena takut diancam oleh pelaku. Hal ini sering terjadi karena korban merasa tidak ada pihak yang bisa memberikan perlindungan dari ancaman yang diberikan pelaku sehingga daripada harus menanggung resiko untuk melapor, korban bullying lebih memilih diam. Masih ingatkah kita dengan kasus seorang siswa Sekolah Dasar (SD) berinisial AR (8) di Gebog Kudus Jawa Tengah yang telah menjadi korban bullying selama hampir 2 tahun oleh teman-teman sekelasnya? AR mengaku diancam oleh teman-temannya apabila berani mengadukan tindakan tidak menyenangkan itu kepada orang lain.
Bukankah Orang Lain Pasti Menyaksikan?
Ya, saya yakin pasti ada pihak yang pernah melihat atau setidaknya mengetahui bahwa orang di sekitar lingkungannya sedang mengalami tindakan tidak menyenangkan. Lalu, mengapa banyak dari mereka memilih diam dan tidak membantu?
Hasil ketiga yang saya peroleh menunjukkan bahwa sebanyak 87 dari total 102 responden memiliki 3 alasan umum untuk tidak melapor tindakan bullying yang mereka saksikan. Pertama, sebesar 36.9% menganggap tindakan bullying yang pernah dilihat masih dalam tahap wajar-wajar saja. Saya yakin, disinilah akar permasalahan kasus bullying yang bisa terjadi selama bertahun-tahun tanpa ada tindaklanjut sama sekali dari pihak yang mengetahuinya. Banyak dari kita yang tidak peduli dan ikut menormalisasi tindakan bullying dengan berpendapat bahwa ada bullying yang tidak berbahaya. Terlepas dari bentuk dan cara yang mungkin tidak terlihat begitu destruktif, bullying tetap memberikan dampak negatif kepada orang yang melakukan dan orang yang mengalaminya. Saya sering mengamati lingkungan tempat saya tinggal. Ejek-ejekan karena perbedaan, tindakan penindasan terhadap mereka dengan fisik yang lebih lemah, kekerasan verbal dan non-verbal telah menjadi hal yang biasa dilakukan. Kita membiarkan diri kita sendiri melakukan tindakan bullying dan berkompromi dengan hal tersebut, misalnya kita mengganti nama teman kita dengan julukan “gendut”, kemudian terbiasa memanggilnya dengan julukan yang sama di depan banyak orang. Tanpa kita sadari, kita telah melakukan body shaming yang bisa saja berdampak pada rendahnya kepercayaan diri teman kita, karena kata-kata yang kita lontarkan telah mempermalukan dan menyerangnya.
Normalisasi bullying yang dianggap wajar-wajar saja, telah membuat kita melupakan bahaya besar di balik tindakan bullying itu sendiri. Sikap diam dan ketidakpedulian kita untuk membantu dan melapor, tidak hanya membiarkan korban tertekan secara psikis untuk waktu yang lama, namun juga memberikan pesan bahwa bullying adalah tindakan yang bisa dikompromi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa seolah-olah ada jenis bullying yang kita ijinkan terjadi di tengah kehidupan bermasyarakat. Saya percaya bahwa pola pikir seperti ini akan digunakan oleh orang-orang untuk mencari pembelaan dalam melakukan tindakan bullying. Selama bullying itu masih dalam tahap wajar-wajar saja, siapapun boleh melakukannya. Pertanyaan saya, “Parameter siapa yang digunakan untuk mengatakan bahwa ada tindakan bullying yang wajar?” dan “Apa definisi serta batas dari kewajaran sehingga kita membolehkan bullying terjadi?”
Satu tindakan bullying akan membekas dan lama-kelamaan semakin membawa dampak buruk yang jauh lebih besar bagi para korban apabila tidak ditangani dengan semestinya. Bullying tidak boleh ditolerir. Apapun jenisnya, bullying tidak mendapat tempat dalam kehidupan kita sebagai manusia yang bermoral.
Alasan kedua adalah sebesar 36.9% menganggap tidak ada sarana yang memadai serta tidak ada pihak yang dapat dipercaya untuk menerima laporan tersebut. Banyak orang bingung kemana mereka harus melapor. Orang-orang ini mungkin tidak memiliki sarana pengaduan yang aman dan nyaman, atau mungkin saja mereka takut kerahasiaan dan perlindungan mereka terancam jika harus ikut terlibat dalam kasus tersebut.
Alasan terakhir yang tidak kalah mengagetkan adalah sebesar 12.6% memilih diam karena mengenal para pelaku bullying. Relasi yang terjalin bersama pelaku telah membuat banyak saksi rela menutup mata dan tidak memperdulikan korban bullying. Saya meminta teman-teman untuk bertukar posisi dan merasakan skenario yang berbeda. Seandainya korban bullying adalah orang yang kita kenal dengan sangat baik, misalnya keluarga atau sahabat karib kita, bersediakah kita mengijinkan para saksi diam dan tidak bersuara?
Tumblr media
Sumber : google.com
Melapor Adalah Pilihan
Perlu kita ketahui bahwa bullying bukan merupakan kasus biasa yang dapat diselesaikan dengan mudah. Beberapa dari kita mungkin merasa bahwa kasus bullying bisa diselesaikan sendiri tanpa harus melapor dan mengharapkan bantuan dari pihak lain. Saya harus berkata tidak. Fakta membuktikan bahwa korban bullying tidak bisa menyelesaikan masalah yang mereka alami sendiri. Korban bullying mendapatkan efek negatif yang lebih besar. Efek jangka pendek yang ditimbulkan adalah kurangnya kemampuan menyesuaikan diri secara sosial maupun akademik, depresi, kecemasan (Evans, et al., 2014), rendahnya self-esteem (Smokowski dan Kopasz, 2005) dan beberapa permasalahan terhadap fungsi psikologis seperti anti sosial (Sahin, Aydin, dan Sari, 2012). Bahkan tidak sedikit korban yang bunuh diri karena tidak tahan mengalami bullying secara terus-menerus. Bullying membuat korban merasa sendirian, dimusuhi dan tidak berdaya. Hal ini menyebabkan korban bullying membutuhkan kehadiran pihak lain yang memiliki kapasitas untuk melindungi  dan memulihkan kondisi psikis mereka. Berdiam diri hanya menambah jumlah korban bullying di waktu yang akan datang.
Melapor juga merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan pelaku. Pelaku bullying adalah mereka yang senang menggunakan kekerasan serta kekuasaan untuk menindas yang lemah. Penindasan dengan menggunakan kekuasaan akan membuat citra diri pelaku menjadi lebih kuat dan dominan di lingkungan tempat ia melakukan bullying. Biasanya, pelaku merasa disegani dan ditakuti oleh teman-temannya karena kekuasaan atau kekuatan yang dimiliki. Apabila kita bersedia melapor, para pelaku akan menerima teguran dan pelajaran bahwa tindakan bullying adalah tindakan yang tidak boleh dilakukan. Kita bisa memberikan kontrol serta mengajarkan pelaku bahwa kekuasaan yang dimiliki tidak boleh digunakan untuk menindas, melainkan melindungi yang lemah. Kita juga bisa memberi pengertian bahwa kekuasaan apabila disalahgunakan akan mengakibatkan penderitaan bagi orang lain. Mereka yang membuat orang lain menderita adalah mereka yang jahat dan tidak memiliki hati nurani untuk menyayangi dan mengasihi orang lain. Sebaliknya, ketika kita tidak melapor sehingga tidak ada pihak terkait yang mengetahui, maka tak seorangpun akan memberikan edukasi dan peringatan kepada mereka bahwa tindakan mereka adalah tindakan yang salah dan tidak boleh diulangi lagi di kemudian hari. Mengapa hal ini penting? Mungkin saja pelaku bullying berasal dari keluarga broken home yang membuat mereka terbiasa melihat penggunaan kekerasan sebagai hal yang wajar. Tidak menutup kemungkinan, selama ini pelaku jarang diperhatikan oleh keluarga sehingga tidak mendapat edukasi yang cukup tentang bahaya perilaku bullying.
Studi meta-analisis yang dilakukan oleh Ttofi, Farrington dan Losel (2012) menunjukkan bahwa school-bullying memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku agresif dan kejahatan di masa depan. Perilaku bullying apabila kita diamkan, akan membuat pelaku terbiasa mengimplementasikan kekerasan sebagai solusi dan menginvestasikan nilai-nilai yang tidak baik, misalnya pelaku percaya bahwa bullying akan memberikan rasa senang serta puas kepadanya saat ia melihat orang yang ditindas menderita. Oleh karena itu, pelaku akan berpikir bahwa untuk mendapat kebahagiaan pribadi, ia perlu melakukan bullying sebagai solusi. Hal ini akan terus berlanjut sampai ada pihak yang berani bersuara.
Peran Penting Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Lalu, kepada siapa kita bisa melaporkan kasus bullying yang kita alami? Siapakah yang dapat melindungi saksi dan korban dari ancaman bullying?
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) adalah lembaga yang bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan hukum kepada para saksi dan korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Bentuk perlindungan yang dapat diberikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kepada saksi dan korban tindak pidana, sesuai ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 13/2006”). UU ini kemudian juga disempurnakan oleh UU Nomor 31 Tahun 2014. UU ini juga mengatur hak saksi atau korban seperti memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau diberikannya. Saksi dan korban juga berhak ikut dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.
Bentuk-Bentuk Perlindungan LPSK
Bagaimana cara LPSK menjawab ketakutan serta kecemasan para korban dan saksi yang tidak ingin melapor? Ya, Korban dan saksi tidak perlu takut membebani LPSK apabila hendak melapor. LPSK bekerja di bawah perlindungan hukum yang memiliki banyak sumber daya serta kapasitas yang memang telah disiapkan dengan sangat baik untuk menyelesaikan kasus bullying, misalnya sumber daya manusia yang berpengalaman untuk membantu memulihkan korban dari gangguan psikis yang diakibatkan oleh bullying. Kapasitas dan kemampuan LPSK dalam menangani kasus kekerasan sudah tidak perlu dipertanyakan lagi.
Korban dan saksi tidak perlu takut diejek, ditindas dan diancam oleh siapapun. Saat melapor, LPSK akan memberikan perlindungan fisik dan psikis. Hal-hal berupa pengamanan dan pengawalan, penempatan di rumah aman, mendapat identitas baru, bantuan medis dan pemberian kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan serta bantuan rehabilitasi psiko-sosial akan diberikan oleh lembaga sebagai bentuk pertanggungjawaban. Selain itu, LPSK juga akan memberikan pemenuhan hak prosedural saksi seperti pendampingan, mendapat penerjemah, mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, penggantian biaya transportasi, mendapat nasihat hukum, bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan dan masih banyak lagi perlindungan yang diberikan .
Setelah mengetahui bentuk perlindungan yang diberikan oleh LPSK, bersediakah kita membela keadilan dan melawan tindakan bullying?
LPSK dan Saran
Setelah mengetahui alasan di balik sikap diam para saksi dan korban, saya memiliki 3 saran yang ditujukan kepada LPSK untuk bisa lebih memaksimalkan perlindungan.
1.     Menggencarkan sosialisasi anti kekerasan di banyak sekolah di seluruh tanah air. Sosialisasi memang telah dilaksanakan oleh LPSK, akan tetapi menurut saya, perlu adanya sosialisasi yang lebih intens untuk menjangkau banyak sekolah tanpa mengenal jarak dan batas. Bullying tidak hanya terjadi di perguruan tinggi saja, oleh karena itu, perlu adanya langkah preventif untuk mengedukasi dan membudayakan sikap “berani melapor” sejak dini pada siswa Sekolah Dasar (SD). LPSK bisa mengadakan kegiatan “LPSK goes to Sekolah Dasar” yang dikemas sedemikian rupa sehingga cocok dengan karakter siswa SD, misalnya memilih tema yang simpel serta mengundang narasumber yang disukai anak-anak sehingga mudah berbaur dan menginspirasi. Hal ini penting untuk menormalisasi budaya melapor pada anak muda. Lewat cara ini, LPSK bisa menanamkan nilai bahwa melaporkan kasus bullying bukan merupakan sebuah kelemahan. Melapor merupakan tindakan jujur untuk mengatakan kebenaran yang sudah pasti membutuhkan keberanian yang besar. Lewat diskusi yang interaktif dengan masyarakat khususnya para pelajar, LPSK bisa membuat pesan baru bahwa melapor merupakan tindakan heroik yang patut diapresiasi. Hal ini akan membentuk mental anak muda untuk tidak hanya berani melaporkan kasus bullying saja, tetapi juga melaporkan kasus ketidakadilan yang lain, misalnya tindak pidana korupsi.
2.     Menjalin mitra dan kerjasama dengan organisasi sekolah sebagai agen LPSK. Sesuai hasil yang telah kita dapatkan, kebanyakan kasus bullying terjadi di lingkungan sekolah. Saya pikir, tidak ada salahnya apabila LPSK bekerja sama dengan para siswa teladan yang nantinya akan diseleksi, diangkat dan dipercaya sebagai agen ataupun anggota muda LPSK di lingkungan sekolah. Agen muda ini bisa membantu dalam memperkenalkan LPSK lewat proyek-proyek sosial serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Berdasarkan hasil kuesioner yang saya peroleh, sebesar 68% atau sebanyak 70 responden tidak mengenal LPSK sama sekali sehingga dari total 102 responden, hanya 1 responden saja yang pernah melaporkan kasus kekerasan kepada LPSK. Mitra kerja ini bisa menjadi jembatan LPSK untuk membawa perubahan positif di lingkungan tempat mereka tinggal.
3.     Memaksimalkan potensi media internet sebagai platform untuk menghubungkan para korban, saksi dan LPSK (membuat aplikasi khusus untuk melapor). Salah satu alasan mengapa banyak orang enggan melapor adalah kurangnya media dan sarana pengaduan yang dianggap efektif dan efisien. Internet telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia khususnya anak muda. Hadirnya aplikasi khusus untuk melaporkan tindak kekerasan, akan memudahkan korban dan saksi dalam memberikan laporan terkait kasus yang dialaminya. Para saksi dan korban hanya perlu mendaftar akun dan mendapat password untuk melaporkan kasus mereka tanpa harus merasa takut dengan birokrasi yang panjang dan masih bersifat konvensional. Aplikasi khusus ini juga akan memudahkan LPSK dalam memberikan atau membagikan informasi terkait kekerasan dan tindak pidana lain beserta cara pencegahannya.
Apabila kita berperan sebagai orang yang sering melakukan tindakan bullying, baik secara langsung maupun tidak langsung, sebaiknya kita mulai memperbaiki perilaku kita. Apabila kita berperan sebagai saksi dan korban kasus bullying, marilah kita melapor kepada LPSK atau pihak lain yang sekiranya memiliki kapasitas untuk membantu.
Jangan biarkan diam mencuri kebahagiaan dan hak untuk merasa aman. Jangan biarkan diam membawa penyesalan saat melihat korban jiwa yang seharusnya bisa diselamatkan. Jangan biarkan diam membuat kita menjadi pengecut yang tidak berani mengungkapkan kebenaran dan menegakkan keadilan. Sudah saatnya kita bersuara. Diam tidak berarti kuat, lapor tidak berarti lemah.
“Diam bukan pilihan, LPSK melindungi”.
S A L A M   B E R A N I
(Hasil kuesioner dapat diakses di sini)
 Sumber :
CNN. (2017). Kisah Farhan Jadi Korban ‘Bully’ Sejak di Bangku SMA. Diakses pada September 2017, dari CNN: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170721185658-255-229508/kisah-farhan-jadi-korban-bully-sejak-di-bangku-sma/ 
CNN. (2017). Semakin Banyak yang Melaporkan Kasus 'Bullying’. Diakses pada September 2017, dari CNN: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170722163858-277-229641/semakin-banyak-yang-melaporkan-kasus-bullying/
Elshinta. (2017). Siswa SD di Gebog Kudus jadi Korban Bullying. DIakses pada September 2017, dari Elshinta: https://elshinta.com/news/115775/2017/07/31/siswa-sd-di-gebog-kudus-jadi-korban-bullying
Evans, C. B. R., Fraser, M. W., & Cotter, K. L. (2014). The effectiveness of school-based bullying prevention programs: A systematic review. Aggression and Violent Behavior, 19, 532–544.
Hidayati N. (2012). Bullying Pada Anak: Analisis dan Alternatif Solusi. Universitas Muhammadiyah Gresik.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fbc7b673bc18/bentuk-bentuk-perlindungan-dari-lpsk-bagi-saksi-dan-korban
http://peraturan.go.id/uu/nomor-31-tahun-2014.html
Liputan 6. (2015). Survei ICRW: 84% Anak Indonesia Alami Kekerasan di Sekolah. Diakses pada September 2017, dari Liputan 6: http://news.liputan6.com/read/2191106/survei-icrw-84-anak-indonesia-alami-kekerasan-di-sekolah
Sahin, M., Aydin, B., & Sari, S. V. (2012). Cyber bullying, cyber victimization and psychological: A study in adolescents. Cukurova University Faculty of Education Journal, 41 (1), 53-59.
Smokowski, P. R., & Kopasz, K. H. (2005). Bullying in school: An overview of types, effects, family characteristics, and intervention strategies. Children and Schools, 27(2), 101-109.
Ttofi, M. M., Farrington, D. P., & Lösel, F. (2012). School bullying as a predictor of violence later in life: A systematic review and meta-analysis of prospective longitudinal studies. Aggression and Violent Behavior, 17(5), 405-418.
VIVA. (2017). Kasus Bullying Anak Meningkat pada 2017. Diakses pada September 2017, dari VIVA: http://www.viva.co.id/berita/nasional/938446-kasus-bullying-anak-meningkat-pada-2017
4 notes · View notes
Text
NUDC 2017
Tumblr media
Iya seneng banget bs bawa piala lagi :') puji tuhan yesus! gue tau gue ga pernah sempurnah dan gue masih perlu banyak belajar, oleh krn itu NUDC Kopertis VI tahun ini gue mau officially berterimakasih lewat escape mechanism gue (read: medsos) kepada : 1. @florentino_bintang for being myyyy sincere teammate yg udah mau fought sampai keringat dan stres terakhir, dimulai dari ikut bnyk lomba buat pemanasan nudc, latihan sendirian, endless conflicts, feedback-ing each other dan constant support. Maafin gue kalau selama case building, gue agak emosian apalagi pas final 555, lo teammate yg paling on fire dan bisa nyadarin gue kalau nothing is impossible! Looking forward to being your teammate lagi di lomba2 selanjutnya! 2. @radheaology for being soooooooo kind mau banget nemenin tiap round dan evaluate kekurangan tim :') for reminding gue dan bintang ; "yan, ingat tradeoff!" walaupun dia took risk ngomong sama gue saat samping nya adalah juri 555 thank you adhea for being a lovely ex-president of @sweds dan selalu sabar menanggapi ke-irrationality gue. Lo adjudicator terbaek dan terlucuh yg pernah gue temui, even if lo harus salah nyebut winning team krn kebiasaan lo yg aneh banget suka misspronounce 555 lo udah melakukan yg terbaik, lo breaking IVED, fight more! 3. everyone who supports and prays for us. especially @sulistyas, amos, stevie and @arlien for the constant support and sacrifices. 4. @sweds for being my second home di mana gue bisa belajar dan berkembang. kami dedicate title ini buat sweds dan its members. Tetap shining dan melakukan yg terbaik gaes, keep practicing never give up! 5. Untuk semua peserta NUDC kopertis 6 yg udah fought together to learn selama 3 hari di solo. kalian semua put the best of us, dan Tuhan menilai itu. Gue selalu bermimpi bisa compete dengan banyak debaters2 yg hebat dan amazing dan bisa masuk final :') semoga debating world tetap jaya sampai kapanpun :') Nudc is my dream. going through the tears and sufferings during the prelim rounds and elimination rounds till we managed to proceed to the grandfinal gave a new meaning of happiness and hope. Its time to break a leg in other comps, we r ready!
1 note · View note