Bila menurutmu tulisanku bagus, mungkin saja itu ada hubungannya dengan jenis font yang kupakai.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Quote
Seandainya hati ini berupa mesin penyimpanan yang bisa dengan mudahnya memasukan data, menghapusnya, atau menggantinya dengan data yang baru tanpa pernah ada bekas, mungkin aku akan melakukannya. Namun, sayangnya selalu saja ada yang tersisa dari setiap pergantian—entah kenangan, ataupun penyesalan.
Ridwan Remin
8 notes
·
View notes
Text
Mata Mereka
Gemerlap lampu sorot itu menyilaukan. Mataku seolah tengah dibutakan oleh kemilau cahayanya. Tak sanggup kumelihat siapa pun yang ada di hadapanku. Hanya satu yang kutahu—mereka selalu menatapku. Mata-mata itu kian lama kian tajam memperhatikan. Tak ada celah utuk menghindar, dan tak ada ruang untuk sembunyi. Aku menjadi bukan milikku lagi. Suka atau tidak, kini aku harus berbagi—pada lampu sorot, kemilau cahaya, dan mata-mata mereka.
2 notes
·
View notes
Quote
Aku kira dengan melangkahkan kaki jauh dari rumah akan membuatku menemukan diriku yang sesungguhnya. Ternyata aku salah. Semakin jauh aku pergi, aku malah semakin rindu untuk kembali.
7 notes
·
View notes
Text
Mengungkap Intervensi Industri dalam RUU Pertembakauan

Ilustrasi
"Kenapa sih ini orang-orang pada ribet banget ngurusin tembakau?”
Begitulah kira-kira gumaman saya ketika melihat beberapa orang yang saya kenali di sosial media mulai menyuarakan opininya tentang tembakau, rokok, dan sejenisnya dengan menggunakan tagar #GaraGaraRUUP dan #TolakRUUP di setiap harinya.
Rasa penasaran akan issu apa yang sebenarnya sedang terjadi membuat saya akhirnya mulai mengklik satu per satu tautan yang berhubungan dengan tembakau. Kemudian berjumpalah saya dengan situs ini ---> Selamatkan Anak Bangsa! Drop RUU Pertembakauan "Titipan" Industri Rokok
Setelah berhasil mengumpulkan informasi ternyata rasa penasaran saya tidak langsung hilang. Kini rasa penasaran saya malah berganti dari yang semula hanya ingin tahu titik permasalahannya, menjadi rasa ingin tahu bagaimana upaya untuk mengatasi permasalahan ini, dan akan seperti apa akhirnya?
Beruntungnya nasib saya. Pada tanggal 6 Maret 2017 saya diundang menghadiri Konferensi Pers yang diadakan oleh Komnas Pengendalian Tembakau untuk mengampanyekan inisiatif yang bersangkutan dengan Rancangan Undang-Undang Pertembakauan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Konferensi Pers Komnas Pengendalian Tembakau, Senin 6 Maret 2017, Menteng - Jakarta Pusat
Sejujurnya saya tidak bisa fokus ketika mendengarkan nara sumber di acara tersebut. Pertama, karena bahasannya terlalu berat (bagi otak mahasiswa yang rajin main hp ketika dosen sedang menerangkan power point seperti saya). Kedua, karena saya sibuk mengambil foto untuk bahan dokumentasi tulisan ini. Maklum, saya adalah penganut paham no pic=hoax, jadi daripada saya dikira bohong, mending saya kumpulkan buktinya.
Tapi lagi-lagi saya beruntung. Entah Dewi apa yang sedang menaungi saya hari itu sehingga keberuntungan selalu berdatangan, yang pasti bukan Dewi Persik, karena dia sedang sibuk mengurusi drama pertikaiannya dengan Nazzar dan drama pertemanannya dengan Jupe.
Keberuntungan yang saya maksud adalah diberikannya kesempatan untuk berbincang-bincang lebih mendalam dengan salah satu nara sumber di akhir konferensi pers. Bersama dengan teman-teman blogger lainnya, saya mendapatkan banyak informasi tentang issu RUU Pertembakauan dari Julius Ibrani, anggota Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI).

Julius Ibrani dalam Konferensi Pers Komnas Pengendalian Tembakau
Alasan terbesar seorang Julius menolak RUU Pertembakauan adalah karena rasa su’udzon yang begitu kuat dalam benaknya terhadap adanya intervensi industri rokok dalam pembentukan RUU ini. “Merujuk pada catatan Corporate Accountability International Reports yang menyebutkan bahwa strategi yang digunakan industri rokok di dunia antara lain melakukan intervensi, seperti: menggagalkan kebijakan negara, mengeskploitasi celah legislatif, dan termasuk menyogok legislator. Itu su’udzon bukan dari kita, tapi laporan internasional.” ujarnya.
“Ini common strategy dalam industri, industri rokok menyatakan sendiri pun begitu. Makanya kita nggak heran, dari 2012, pertama kali (RUU Pertembakauan) diusulkan tidak ada nama pengusulnya, tidak ada draft pasal per pasalnya, kosong, cuma disebutin RUU Pertembakauan nomor sekian. Lah orang nanya, mana bahannya? Kok nggak ada di kami? Kok nggak ada dalam rencana pembahasan paripurna? Siapa yang mengusulkan? Tidak tahu.” ungkap Julius yang juga anggota Solidaritas Advokat Peduli Pengendalian Tembakau (SAPTA).
“Su’udzon kami dilanjutkan dengan fakta. Pertama, ketika kita audiensi dengan Menteri Perindustrian, di surat kami adalah ‘saya mau ketemu Pak Menteri’, karena yang mengeluarkan peraturan itu Menteri. Untuk menanyakan ‘Ini kapan disusunnya?’, ‘Prosesnya bagaimana?’, ‘Kajian ilmiahnya apa?’, ‘Siapa pihak-pihak yang dilibatkan?‘. Ketika itu kami dihadapkan bukan pada Menteri, bukan Dirjen-nya juga, tapi Direktur. Jadi jauh di bawah, loncat. Itu Direktur minuman, bahan penyegar, dan tembakau. Tugasnya untuk menjelaskan audiensi kita tentang proses pembentukan peraturan Menteri Perindustrian. Dari situ mulai bergeser, dari su’udzon menjadi khusnudzon.” Julius memaparkan dengan serius.
“Kedua, ketika kita bertanya, dia bilang ‘silakan Pahlawan Cukai yang jawab’. Padahal kita audiensinya ke negara, ke Menteri, tapi Menteri merepresentasikan dirinya ke industri. Su’udzon kita sudah mulai terjawab lagi.” tambahnya.
“Ketiga, ketika dia presentasi, datanya data Gappri (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia). Sebelum rapat itu dimulai, yang namanya Elvira yang diangkat majalah Tempo, dia memberikan flashdisk dan itu dicolok ke dalam komputernya si Pak Direktur, dan itulah presentasinya dia. Jadi intervensi industri rokok itu fakta yang terjadi.”
Perbincangan kami siang itu pun menjadi semakin menarik ketika Julius mulai menjabarkan bobroknya RUU Pertembakauan berikut efek-efeknya yang akan sangat bahaya jika sampai berhasil diundangkan. Tidak lupa kami menyelingi perbincangan itu dengan menikmati secangkir kopi yang cukup menyegarkan tenggorokan (tetapi tidak menyegarkan pikiran karena airnya turun ke lambung, nggak naik ke otak).

Suasana Makan Siang di Konferensi Pers Komnas Pengendalian Tembakau
Diawali dengan sebuah pertanyaan, “Kalau RUU ini tidak disahkan, apa persoalan bagi industri rokok?”, yang lantas dijawab dengan terperinci oleh Julius, yang siang itu tampak bersemangat sekali menyampaikan keluh kesahnya kepada kami sampai-sampai tidak mau disuruh makan siang dulu karena sedang fokus pada perbincangan, padahal makanannya enak, lho. FYI.
Julius kemudian mulai menjawab pertanyaan tersebut, “Tidak ada persoalan.” katanya.
“Tidak pernah ada yang bisa membatasi produksi rokok. Tahu nggak 2015 itu batas produksi rokok berapa? 260 milliar batang. Tahu nggak 2015 ke 2016 itu sendiri produksi rokok berapa? 346 Milliar batang. Jadi memang nggak pernah ada yang bisa membatasi industri ini. Pertanyaannya, dalam RUU apakah bisa dibatasi? Tidak. Dalam RUU, setiap laporan penggunaan stok tembakau itu dilaporkan oleh industri kepada Menteri yang terkait. Pertanyaan selanjutnya, ada yang mengklarifikasi laporan itu nggak? Ada badan pengawasan yang ngecek nggak laporannya valid atau tidak? Nggak ada. Jadi, hulunya ya industri. Pengesahan RUU ini salah satunya bertujuan untuk melegitimasi praktik yang sudah bobrok sekarang ini.” ungkapnya membeberkan data yang dia miliki.
“Tujuan lainnya adalah untuk meningkatkan jumlah produksi rokok. Sementara menurut riset saya, selama 10 tahun terakhir, peningkatan produksi tidak terjadi, malah pertanian tembakaunya menurun, tapi produksi rokoknya meningkat sejalan dengan impor meningkat. Kenapa sih produksi meningkat, impor meningkat, tapi pertanian tembakaunya menurun? Karena pertanian tembakau kita tidak didominasi oleh jenis tembakau Virginia yang khusus untuk rokok mild/filter/rokok-rokok ringan yang menjadi produksi terbesar, dan faktanya impor tembakau Virginia itulah yang meninggi. Angka impornya mencapai 70 trilliun lebih per tahun. Sedangkan produksi tembakau kita lebih banyak dan lebih cocok untuk cerutu, karena nikotinnya berat.”

Masih dalam Konferensi Pers Komnas Pengendalian Tembakau
Sampai di sini kalau saya boleh menyimpulkan ternyata RUU Pertembakauan yang selama ini bertopeng atas nama kesejahteraan buruh pabrik rokok dan para petani tembakau itu hoax. Karena kenyataan yang akan timbul dari diundangkannya RUU ini adalah produksi rokok yang meningkat, impor tembakau yang melonjak, dan itu semua hanya bertujuan untuk menguntungkan para pengusaha rokok semata. Sementara nasib para buruh rokok akan tergantikan oleh mesin (karena kebutuhan produksi yang meningkat), dan para petani tembakau akan melongo tanpa banyak perubahan di hidupnya (karena tembakaunya lebih banyak impor).
Di akhir perbincangan kami siang itu, Julius mengharapkan keikutsertaan kita semua sebagai rakyat Indonesia yang masih peduli terhadap kesejahteraan masyarakat bersama untuk mendukung aksi penolakan terhadap RUU Pertembakauan yang akan segera disahkan ini. Karena permasalahan ini nantinya bukan hanya akan berdampak pada kesehatan (perokok), tetapi juga berdampak pada sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan yang lebih luas lagi.
1 note
·
View note
Text
Aku Sayang Kamu @7rizkaa
Hai Sayang, selamat hari jadi yang ketiga ya. Tadinya aku mau bilang "gak kerasa ya, udah tiga tahun aja," eh tapi kerasa kok, lama. Adik aku aja sekarang udah jadi pengangguran dini semenjak lulus STM, padahal dulu awal-awal kita pacaran kan dia masih sibuk ngitungin kacang ijo buat MOS. Jadinya ya udah, aku gak mau bilang gitu, mending bilang gini aja, "gak nyangka ya, bisa juga nyampe lama." Ehehe... Faktanya memang aku gak pernah pacaran selama ini sebelumnya. Sama kamu doang nih yang awet, seneng gak? Banyak hal yang bikin aku bisa bertahan sama kamu, salah satunya karena aku gak yakin bisa ketemu sama perempuan sebaik kamu lagi. Bisa bisa aja sih, tapi males ah, udah pewe sama kamu. Lagian gak ada alesan juga buat aku ninggalin kamu. Kamu itu orangnya baik banget, bahkan mungkin yang terbaik. Meskipun katanya setiap manusia itu gak ada yang sempurna, tapi seenggaknya ketidaksempurnaan kamu masih bisa aku terima, dan yang paling penting nggak pernah bikin aku terlalu kecewa. Aku sayang kamu, lho. Maaf ya kalau aku jarang ngomong kata sayang gini—apalagi kalau di chat/telepon/bahkan secara langsung. Bukan karena aku gak sayang, tapi karena aku takut jadi cepet basi kalau terlalu sering diucapin. Bagiku, ngomong sayang itu sesuatu yang spesial, jadi harus didukung sama moment-moment yang spesial juga. Nah, kalau momentnya biasa aja, ya omongannya pun nanti jadi biasa aja. Kan gak asik, kalau omongan spesial jadi gak spesial karena momentnya gak spesial. Iya kan? Sama aja kayak makan martabak, se-spesial apa pun martabaknya kalau dimakan di saat lagi gak pengen-pengen amat kan tetep males ngabisinnya? Padahal belinya mahal :( Oh iya, aku mau terima kasih ah sama kamu buat semuanya. Buat kebaikannya, kesetiaannya, perjuangannya, pengorbanannya, dan lain-lainnya lagi yang udah kamu kasih buat aku selama tiga tahun ini. Maaf lagi nih ya kalau aku belum bisa jadi cowok impian kamu yang romantis, yang so sweet, yang kayak di film-film korea, atau yang kayak apa pun di benak kamu perihal cowok impian. Mudah-mudahan kamu bisa tetap nyaman deh sama aku yang masih mau jadi diri sendiri ini. Begitupun denganku yang lebih nyaman ngeliat kamu tampil apa adanya. Kamu gak perlu jadi orang lain buat aku, kamu gak usah sok kuat, gak usah sok hebat, biasa aja, lemesin... Hmm... sejujurnya sih aku gak tau nih mau ngasih kamu kado apa buat hari jadi kita yang ketiga ini. Bukan karena aku gak mau, tapi aku beneran gak tau. Maklumlah, kan aku belum ada pengalaman pacaran segini lama, ehehe... Kamu kalau mau apa-apa bilang ya. Bilang dulu aja, masalah dikasih atau nggak kan gimana nanti, seenggaknya aku tau dulu kamu mau apa. Tapi jangan banyak mau juga, karena pacarmu bukan Toserba. Sekali lagi selamat buat kamu, dan tentunya buat kita, karena gak semua pasangan bisa bertahan lama-lama. Bisa dibilang ini tuh salah satu prestasi dalam hidup, jadi silakan dibikin sertifikatnya kalau mau. Aku selalu sayang kamu, dan semoga kamu juga selalu sayang aku.
3 notes
·
View notes
Text
Untuk Seseorang yang Tak Kunjung Datang
Menunggu memanglah pekerjaan yang membosankan. Terkadang bahkan bisa jadi menjengkelkan—bilamana harus menenunggu tanpa kepastian. Saat seseorang yang kutunggu tak kunjung datang, perasaanku pun mulai terombang-ambing kegelisahan. Pengharapanku mulai menemui kepasrahan.
“Apakah kau mengingkari janjimu lagi?” pertanyaan itu terus melintas di kepalaku kala aku menunggumu.
Kunyalakan smartphone yang sejak tadi kugeletakan di meja coklat usang itu. Kupastikan tak ada pesan yang kulewati darimu. Ingin kubuka satu persatu kotak masuk, tetapi sepertinya tak ada satu pun pesan baru. Ingin kubuka fitur panggilan, tetapi sepertinya tak ada satu pun panggilan masuk. Ingin kuputar balikan layarnya, tetapi sepertinya tak ada kerjaan. Akhirnya kembali kugeletakan smartphoneku di samping cangkir kopi berwarna ungu.
Aku bosan. Berjam-jam sudah kumenunggumu. Sebuah kedai kopi yang baru pertama kali kukunjungi. Sepi. Entah karena kurang promosi, atau mungkin karena memang salah pilih lokasi. Aku tak peduli. Bukan urusanku untuk memikirkannya. Satu-satunya urusanku berada di tempat itu adalah untuk menunggumu. Hanya itu.
Kuambil sebatang rokok dari bungkusnya. Kubakar dengan sebuah korek kayu yang entah terbuat dari apa. Mudah-mudahan korek itu terbuat dari hasil penebangan pohon yang legal. Seandainya saja ilegal, berarti sore itu aku sudah melakukan banyak kesalahan yang cukup fatal. Pertama, aku menyakiti tubuhku dengan merokok. Kedua, aku mencemari udara dengan asapnya. Ketiga, aku mendukung penggundulan hutan. Keempat, aku mengancam hidup satwa liar di habitatnya. Kelima, aku lelah berhitung. “Tolonglah, kamu cepat datang!” teriakku dalam hati.
Bukan pertama kali kau membuatku menunggu seperti itu. Aku masih ingat, beberapa bulan yang lalu, kau memintaku untuk menunggumu sepulang kerja pada hari Sabtu. Tapi apa yang terjadi? Kau pulang tanpa mengabariku. Kau melupakanku. Padahal seharian itu hujan tak berhenti turun dengan derasnya. Aku sendirian menunggumu di bawah halte bus yang sudah tidak layak lagi disebut halte. Tempat itu lebih terlihat seperti bangunan yang mengganggu. Atapnya bocor, tempat duduknya patah, dan tiang-tiangnya banyak ditempeli poster caleg yang entah apa latar belakang dan motivasinya ikut dalam pemilihan sehingga dia harus berpose dengan senyum yang dipaksakan.
Sore itu aku tak ingin kejadian yang sama terulang lagi. Aku harus memastikannya. Kuputuskan untuk meneponmu.
((( Panggilan Dialihkan )))
Kucoba lagi.
((( Sibuk )))
Kucoba lagi. Tetapi dengan gaya mengangkat telepon yang berbeda. Sebelumnya aku menelepon dengan tangan kanan, selanjutnya kucoba dengan lepas tangan. Siapa tahu berpengaruh.
Yak, terhubung!
Tetapi beberapa saat kemudian smartphoneku mati. “Sial, lowbet!” gerutuku tak berkesudahan setelahnya.
***
Aku masih setia menunggumu. Sudah sampai hari kelima sejak aku pertama kali datang ke tempat itu. Sepertinya beberapa pelayan sudah mulai tidak asing lagi dengan wajahku. Beberapa di antaranya bahkan ada yang memberanikan diri untuk menyapa, “Sendirian lagi, Kak?” katanya.
“Iya,” jawabku dengan tersenyum.
“Ajak pacarnya Kak biar gak bete, hehehe.” Candanya.
“Iya, ini lagi nunggu.”
“Oh gitu,” pelayan itu lalu mulai menaruh pesananku di meja, “ini kopinya Kak, silakan.” tambahnya sebelum pergi.
“Terima kasih.”
Aku kembali menunggumu hingga malam tiba dan kau tak juga menampakkan keberadaanmu. Malam itu aku pulang dengan kembali membawa kekecewaan.
Keesokan harinya kuputuskan untuk tidak datang lagi ke tempat itu. Begitupun dengan hari-hari setelahnya. Aku ingin berhenti menungumu. Bukannya aku menyerah, hanya saja aku merasa lelah. Aku tak sanggup bila harus terus dikecewakan. Aku ingin beristirahat barang sebentar. Tak apa, kan? Walau mungkin kau sudah tak peduli dengan perasaanku, tetapi asal kau tahu saja bahwa aku masih sangat peduli dengan kebahagiaanku sendiri. Maka dari itu mulai hari ini aku pun berhenti.
Selamat tinggal.
0 notes
Photo

Yuk pakai elzatta! Insyaallah cantik 😊 . . . #elzattahijab #sayapakaielzatta #citraciki #citrakirana #vectorart #vector #art #photoshop #photoship 👍
1 note
·
View note
Photo

Mbak Zooey~ #vectorart #vector #art #photoshop #photoship 👍
2 notes
·
View notes
Text
Bebal Berharap
Hanya satu yang ku tak mampu. Memilikimu. Selebihnya akan kucoba semampu yang kubisa, setidaknya sampai kau menyadari bahwa hanya aku yang selalu ada. Kemungkinanku untuk gagal membahagiakanmu itu besar. Sebesar kepala dedemit yang meremehkan manusia. Tetapi kemungkinanku untuk menyerah sangatlah kecil. Sekecil niatan baik yang terselimuti rasa pamrih. Harus kuakui ternyata bukan sesuatu yang mudah untuk memikul rindu sendirian. Terlebih lagi ketika yang dirindukan tak kunjung mempedulikan. Kekecewaan selalu ada di setiap pengharapan. "Seharusnya cari saja yang lain," kata hatiku. "Aku tahu, tetapi aku tak mau." "Kau seperti orang bodoh yang bebal." "Begitulah aku. Jangan kau paksa aku untuk berpikir ulang, karena selalu dirinya yang terbayang. Inilah cint—" "—Itu hanya sebuah kebodohan." "Lalu, apakah orang bodoh tak boleh memiliki harapan?" .....
1 note
·
View note
Photo

Seperti halnya gambar ini. Tentunya cintaku ke kamu pun masih banyak kekurangannya. Namun, tolong kamu ingat baik-baik. Sebisa mungkin aku ingin selalu berusaha menunjukan yang terbaik. Bukan hanya untuk bikin kamu senang, tapi juga supaya suatu hari nanti aku bisa bangga atas apa yang pernah aku lakukan untuk orang yang 'ku sayang.
1 note
·
View note
Text
Cerita Super Pendek
SEMENJAK kedatangannya beberapa saat yang lalu aku tahu ada yang tidak biasa–bahkan mungkin luar biasa–telah terjadi padanya. Wajahnya yang pucat dan tatapannya yang berat itu pertanda bahwa dia sedang tidak baik-baik saja. Aku belum tahu mengapa, tapi kurasa sebentar lagi dia akan memberitahukannya.
Aku menunggunya bicara, namun dia hanya diam. Masih dengan kesuraman di raut wajahnya, tak satu pun kata keluar dari mulutnya. Aku tak tahan lagi melihatnya. Jika memang dia tak kuasa untuk memulainya, mungkin aku yang harus bertanya, “Kamu nahan ee, ya?”
“Iya,” jawabnya pelan.
“Yeee, pantesan bau.” kataku sedikit sinis. “Sana buang dulu!”
“Ehehe…” lantas dia pun pergi ke sumur sambil jalan mundur.
TAMAT.
0 notes
Text
Cie... Ulang Tahun
Selamat ulang tahun Rizka Amalia, semoga kamu selalu mendapatkan apa-apa yang kamu butuhkan, dan selalu dimudahkan untuk apa-apa yang kamu inginkan. Btw, aku belum punya kado nih buat kamu, bingung mau ngasih apa, abisnya kamu bilang lagi gak butuh apa-apa terus, padahal jelas-jelas banyak yang kamu butuhin. Kamu butuh aku, misalnya. Hehehe~ Baik-baik terus ya! Sehat-sehat juga! Biasain olahraga, dan kurangin tidur larut malam supaya bisa mirip kayak manusia pada umumnya. Sekali lagi, selamat ulang tahun pacarku, selamat membuka lembaran baru di hidupmu. I love you! *Ketiduran*
0 notes
Text
Pembuktian Gundar
“Klenteng Klentong Klenteng Klentong” bunyi bel tanda pulang sekolah telah berbunyi. Satu per satu murid sekolah itu mulai bermunculan dari dalam kelasnya masing-masing. Beberapa di antara mereka ada yang berlarian menemui temannya, ada yang hanya berjalan dengan pelan-pelan saja agar terlihat tenang, dan ada juga yang tidak berjalan kemana-mana karena terkunci di kelas. Ya, murid yang terakhir itulah yang akan saya ceritakan. Dia adalah Gugun Darsono, atau yang biasa dipanggil Gundar oleh orang-orang di sekitarnya—tentunya supaya lebih ringkas.
Sebagai salah seorang murid penghuni kelas XI yang baru saja dipindahkan dari sekolah asalnya di Desa, Gundar memang kerap kali dijadikan bahan ejekan para murid di kelasnya. Perawakannya yang seperti kutu buku itulah yang mungkin menjadi penyebab utama mengapa dia selalu dijahilin, diledekin, kadang dilalerin. Tapi, meskipun penampilannya mirip kutu buku—dengan kaca mata minus model jadul, seragam sekolah yang serba kebesaran, dan sepatu kats hitam polos dengan talinya yang berwarna putih tua—Bukan berarti dia murid yang bisa dianggap pintar. Faktanya, di tahun lalu saat pengambilan rapor di sekolahnya yang terdahulu, dia hanya berhasil menempati rengking ke-lima … Dari belakang.
Alasan lain yang membuatnya selalu menjadi bahan olok-olokan oleh para murid di kelasnya itu mungkin karena Gundar belum pernah sekalipun memiliki kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya kepada khalayak. Terang saja, untuk bisa berbaur dengan pergaulan di kota-kota besar memang terkadang sangat menyulitkan. Berbeda sekali dengan pergaulan di desa-desa yang hanya mementingkat kesetaraan umur. Pergaulan di kota-kota besar tidaklah sesederhana itu. Bagi mereka yang memiliki kemampuan, bisa itu berupa kemampuan fiskal ataupun finansial, mereka cenderung akan mudah dikelilingi banyak teman. Namun sebaliknya, bagi mereka yang miskin, apalagi culun seperti Gundar, pertemanan sejati di kota-kota besar bisa dibilang tidak lebih dari sekadar angan-angan.
***
Senin pagi, di saat upacara bendera sedang berlangsung, Bapak pembina upaca mengumumkan bahwa akan di adakannya acara Pentas Seni pada bulan depan. Ada beberapa perlombaan yang akan diselenggarakan sebelumnya, di antaranya saja perlombaan dalam bidang olahraga, fotografi, melukis, menulis, membaca pidato, berpuisi, menari, dan yang paling banyak menarik minat adalah perlombaan menyanyi atau grup band. Menurut informasi dari Bapak pembina upacara, hasil dari perlombaan tersebut akan diumumkan pada saat acara Pentas Seni dilangsungkan, dan akan sekaligus ditonton oleh para orang tua murid yang datang agar mereka menjadi bangga akan prestasi anaknya. Bukan hanya itu, khusus bagi pemenang lomba menyanyi atau grup band, berhak untuk tampil di acara puncaknya, dan inilah yang menjadikan perlombaan menyanyi atau grup band selalu menarik banyak peminat, karena banyak di antara murid yang ingin terlihat hebat bukan hanya di hadapan teman-temannya, tapi juga di hadapan orang tuanya.
“Yesss, ini kesempatan gua!” Kata Gundar sambil mengepalkan jemari tangannya ke udara.
“Berisik!” Sahut murid di belakangnya sambil mendorong punggung Gundar sampai membuatnya terjoglok ke depan, dan terjatuh. Kemudian setelah itu seolah-olah semua mata tertuju pada Gundar. Ada yang terang-terangan mentertawakannya, ada yang hanya senyum-senyum saja agar terlihat sopan, dan ada juga yang diam menahan malu. Ya, betul, orang terakhir itu Gundar.
Selepas upacara bendera, Gundar tidak bisa lagi fokus dengan pelajaran yang sedang disampaikan, terutama yang disampaikan oleh guru di kelas sebelah. Gundar terlalu sibuk menyusun rencana untuk melakukan pembuktian. Terlintas angan-angan di benaknya, “Kalau nanti gua menang lomba nyanyi, pasti gak akan ada lagi orang yang ngeremehin gua, dan Ibu pasti bangga!” Katanya dalam hati.
Namun tidak lama kemudian, pengandaian Gundar itu sontak disambut oleh dorongan tepat di punggungnya oleh salah seorang murid di belakangnya. Tak lupa si murid jahil tadi pun berucap hal yang serupa, “Berisik!” Tapi rasanya kali ini Gundar tidak mampu mendengar perkataan tersebut, karena si murid jahil itu hanya berkata dalam hati.
***
Bersambung dulu ya…
0 notes
Text
Kepulangannya Memulangkanku
SUDAH lebih dari tiga tahun kiranya aku tinggal di tanah orang. Semenjak aku memutuskan untuk kuliah di luar kota dan menetap di sana, aku semacam menjelma menjadi perantau sungguhan yang sering lupa akan kampung halaman.
Beberapa kali aku memang menyempatkan diri untuk pulang, itu pun sangat jarang sekali, dan sangat sebentar sekali. Mungkin kepulanganku dalam setahun bisa terhitung oleh jari: hanya beberapa kali. Dan biasanya aku pulang hanya untuk mengistirahatkan tubuhku, membagi sedikit rejeki atas hasil kerjaku, dan menukar koleksi pakaian-pakaianku. Setelah itu aku pergi lagi tanpa banyak basa basi dan haha hihi.
Selain disibukkan oleh kegiatan perkuliahan, aku juga kerap dibikin sibuk oleh urusan pekerjaan. Maklumlah, aku memang tidak berasal dari keluarga yang berkecukupan. Untuk membiayai kuliah, aku harus melakuan sesuatu yang bisa memberikanku penghasilan. Aku bersyukur, dengan begitu aku tak lagi merepotkan Bapakku. Sejauh ini, aku bisa dibilang sudah tumbuh menjadi anak yang mandiri, yang bukan hanya bisa mencukupi kebutuhan hidupku sendiri, tapi bisa pula membantu kebutuhan hidup keluargaku sesekali.
Aku sangat tidak keberatan untuk membagi rejeki yang kumiliki, terlebih untuk keluargaku sendiri. Tapi kadang aku merasa kesal kepada Adik lelakiku. Setiap kali aku berada di rumah, dia selalu saja menadahkan tangannya ke arahku sambil sesekali berucap ketus, “Bagi duit dong!” katanya.
“Minta ke Bapak sana!” sahutku.
“Sudah, nggak dikasih.”
“Masa?” Aku sedikit mengerutkan dahi meresponnya, “Ya sudah, nih!” dan akhirnya aku pun memberikan beberapa lembar uang padanya.
Beberapa saat kemudian, ketika aku ingin memberi uang kepada Bapakku, aku memberanikan diri untuk bertanya, “Si Adek nggak dikasih duit jajan?”
“Dikasih,” jawab Bapakku.
“Dikasih berapa sehari?”
“15 ribu, terus kadang sore suka minta lagi. Kenapa memangnya?”
“Nggak, kemarin dia minta duit, katanya nggak dikasih sama Bapak?”
“Bohong! Jangan didengar dia kalau ngomong gitu lagi.”
“Ya sudah, nggak apa-apa. Kurang kali, nanti kalau si Adek minta kasih saja ya, ini duitnya.” Kusodorkan beberapa lembar uang seratus ribuan, dan setelah itu aku pamit untuk kembali ke perantauan.
***
Setahun belakangan, aku sudah tidak pernah pulang. Dengan alih-alih membereskan kesibukkan, aku terlena dengan kehidupanku di tanah orang. Di sini, aku merasa telah menemukan keluarga baru yang mempedulikanku, sampai-sampai aku lupa bahwa aku memiliki keluarga yang mungkin merindukanku lebih dari siapa pun.
Dalam setahun ini aku berhubungan dengan Bapak hanya lewat telepon, itu pun sangat jarang karena aku tak berani meneleponnya lebih dulu, dan sepertinya Bapakku pun enggan untuk terlalu sering menggangguku, entahlah, pokoknya kami sudah sangat jarang berkomunikasi. Terakhir aku dengar kabar, adikku sudah lulus dari sekolahnya, dan sepertinya dia akan langsung kerja. Rasanya memang tidak mungkin untuk meneruskan ke jenjang kuliah dikarenakan perekonomian keluarga kami yang cukup lemah.
Sejujurnya aku kadang merasa rindu untuk pulang. Aku rindu bertemu Bapak. Aku rindu saat melihatnya pergi dan pulang kerja. Aku rindu memperhatikan kerja kerasnya. Aku juga rindu Adik lelakiku meskipun seringnya dia malah bikin kesal. Beberapa kali Adikku pernah mengirimiku pesan singkat yang berisikan pesan senada dengan yang sering dia sampaikan ketika kami bertemu, semisal: “Bagi duit dong!” “Kirimin pulsa dong!” “Beliin baju dong!” Dan sebagainya yang berhasil membuatku kesal setiap kali membacanya.
Bukannya aku tidak mau memberinya, tapi aku kesal dengan cara dia memintanya. Maksudku, sebagai seorang saudara, tidakkah dia mempedulikan keadaanku? Apakah dia tidak ingin tahu bagaimana kabarku? Atau setidaknya menanyakan kesibukkanku? Kenapa harus langsung meminta dan selalu meminta? Seolah-olah baginya yang penting adalah dia dapat uang dari Kakaknya, dan tidak memikirkan apa pun selainnya. Dia bahkan tidak peduli akankah aku kembali pulang atau tidak, dia tidak peduli aku sehat atau tidak, dia tidak peduli aku sedang dalam perasaan senang atau tidak. Dia hanya peduli pada pemberianku, bukan padaku.
Sering aku mengabaikan pesan dari Adikku. Bukan karena aku tak sayang, hanya saja karena aku merasa tak tahan dengan sikapnya. Sebagai seorang Adik, dia seperti tak pernah menghargaiku. Iya, aku memang salah karena ngebaikannya, tapi apakah aku tidak berhak untuk merasa dihargai?
***
Rasa kesalku yang selama ini kupendam pun muncul kembali ketika suatu hari Adikku datang menemuiku di perantauan. Entah sudah berapa lama kami tak berjumpa, sudah setahun lebih sepertinya. Aku sampai agak lupanya, dia kini tampak lebih kurus dan penampilannya tampak tak terurus. Rambutnya acak-acakan. Sendalnya putus satu. Dan bajunya terlihat kotor dengan bercak-bercak dangkal kemerahan di lingkaran lehernya. Aku melihatnya sudah seperti gelandangan yang baru saja diusir karena tidur sembarangan di depan toko, sangat dekit. Tapi dari semua keanehan penampilannya itu, ada satu hal yang tak berubah darinya, yaitu kelakuannya. Dia masih sama seperti dulu. Bahkan saat pertama kali kita bertemu saja, dia tanpa sungkan langsung berkata ketus, “Bagi duit dong!”
“Buat apa sih minta duit mulu?”
“Buat jajan, buat beli makan, buat beli baju, sama buat beli sendal.”
“Banyak amat? Memangnya di rumah nggak dikasih duit?”
“Sudah lama nggak ada yang ngasih duit, semenjak Abang nggak pulang, Adek nyari duit sendiri,” dia tampak sedikit bergetar mengatakannya, dia seperti sedang menahan ketidakberdayaannya.
“Jangan bohong! Dulu bilangnya nggak dikasih duit sama Bapak, tapi pas ditanyain ke Bapak katanya dikasih setiap hari.” Mulai meninggi emosiku saat mengatakannya.
“Itu dulu, setahun yang lalu, waktu Abang terakhir kali pulang ke rumah,” Dia nampak menghembuskan napas yang terasa agak berat. “Setelah itu, apa Abang tahu gimana nasib keluarga kita?” dilemparnya pertanyaan itu kepadaku.
Aku hanya diam mendengarkan.
“Bapak sakit, Bang, nggak bisa kerja lagi. Jadi sudah setahun ini Adek nyari duit sendiri buat makan, buat Bapak juga.”
“Kenapa Abang nggak dikasih kabar?”
“Aku sudah sering kirim pesan ke Abang, tapi nggak pernah ada balasan,” dia mengangkat kepalanya, matanya menatap tajam ke arahku. “Bapak nggak mau ngehubungin Abang, katanya dia takut Abang keganggu, dia takut Abang khawatir, dan dia juga takut Abang nggak fokus kerja, nggak fokus kuliah, jadi aku yang disuruh ngehubungin Abang, tapi apa Abang pernah kasih respon?” kembali dilemparkannya pertanyaan yang tak bisa kujawab kepadaku.
Aku semakin terdiam menelan setiap ucapannya yang menyudutkanku. Aku tak bisa membantah sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
“Makanya, bagi duit dong!”
“Iya nanti Abang bagi. Terus gimana kabarnya Bapak sekarang?”
“Dia sudah lumayan sehat, tapi belum bisa ngerjain yang berat-berat. Kalau Abang mau tahu, mending Abang lihat sendiri ke rumah.”
“Ya sudah, ayo kita pulang.”
“Abang pulang duluan saja, Adek masih ada urusan.”
“Urusan apa?”
“Pokoknya ada deh, tanya saja sama Bapak,”
“Kok tanya Bapak?”
“Iya, pokoknya tanya saja. Mana Bang, bagi duit dong! Adek nggak bisa lama-lama di sini.”
“Ya sudah, nih!” Aku pun kembali memberinya uang, yang nominalnya agak lebih banyak dari yang terakhir kali aku berikan padanya. Kupikir tak apalah, tidak akan setiap hari juga aku memberinya uang sebanyak itu.
Setelah pertemuan dengan Adikku itu berakhir, aku bergegas pulang ke rumah untuk menemui Bapakku dan melihat keadaannya. Di sepanjang perjalanan pulang, aku merasa seakan ada yang berbeda. Tiba-tiba aku merasa rindu sekali melihat pemandangan pulang ini. Sudah setahun aku tidak melewati jalan yang sedang kulalui. Semuanya terlihat masih sama, tidak banyak berubah, dan aku menjadi semakin ingin cepat sampai di rumah, semoga semuanya masih sama, dan semoga Bapak masih sehat-sehat saja.
Sesampainya aku di rumah, aku merasa heran mengapa di rumahku begitu banyak sanak familiku berkumpul. Sedang ada acara apakah ini? Dengan dinaungi rasa penasaran, langsung kuparkirkan motorku di halaman, dan kemudian aku disambut dengan tatapan nanar dari semua orang yang melihatku datang.
“Nah, ini yang dari tadi dicariin. Sini langsung masuk!” Salah seorang Bibiku menggenggam tanganku dengan cukup kuat. Aku masih penasaran, ada apa sebenarnya?
Setelah aku masuk ke rumah, aku melihat ada Bapakku, dan kemudian dia pun meraih tanganku sambil berkata, “Bang, Adek kamu, Bang.”
Aku sungguh tidak percaya dengan apa yang sedang kulihat.
“Adekmu sudah nggak ada, Bang.” kata Bapakku sambil menahan air matanya agar tak jatuh di hadapanku.
“Ya Allah! Ini kapan kejadiannya, Pak?”
“Tadi pagi, setelah selesai sarapan, dia minta duit buat beli rokok, terus nggak Bapak kasih. Kemudian dia marah dan lari keluar dari rumah. Terus pas dia mau nyebrang jalan, ada mobil melaju kencang, dan akhirnya Adek kamu tertabrak dan terpental.”
“Nggak mungkin, Pak! Nggak mungkin!” Aku masih sangat tidak percaya dengan semua ini, “Tadi siang Adek datang ke tempatku, dia bilang Bapak lagi sakit, makanya aku pulang. Jadi nggak mungkin kalau Adek sudah…”
“Abang, Adek kamu sudah nggak ada.” Bapak melanjutkan perkataan yang tak sanggup kukeluarkan dari mulutku. “Kamu harus ikhlas, Bang. Maafin Adek kamu kalau dia pernah banyak bikin salah sama kamu.”
“Tapi, Pak? Tadi aku ketemu Adek, dia baik-baik saja. Nggak mungkin…”
“Abang, ikhlaskan Adekmu, Bang.” Seketika itu Bapak memelukku dengan begitu erat, mencoba menenangkanku yang sudah tidak karuan menenerima kenyataan yang begitu mengejutkan itu.
“Bapak! Maafin aku!” Kataku sambil menangis di pelukkannya. “Aku nggak bisa jadi anak yang baik buat Bapak, dan aku nggak bisa jadi Kakak yang baik buat Adek. Aku minta maaf, Pak, maafin aku!” Air mataku tumpah ruah saat itu, emosiku tak lagi bisa kukendalikan. Aku masih bertanya-tanya dalam hati, kenapa ini bisa terjadi? Apa ini hanya mimpi? Lalu siapa yang bertemu denganku tadi?
“Iya, Bapak maafin kamu. Bapak juga yakin Adek maafin kamu, dia sayang sama kamu, sama seperti Bapak yang sayang sama kalian.”
Aku tak bisa lagi berbicara, lidahku kaku, kepalaku pusing, dan badanku lemas sekali sampai-sampai aku kehilangan kesadaran dan jatuh pingsan di pelukan Bapak.
1 note
·
View note
Text
Semacam Puisi
Ketika Rumah Tak Lagi Menjadi Tempat Untuk Pulang
Aku asing di sini Aku seperti binatang sirkus yang terlepas ke hutan Aku merasa tak tenang saat aku kembali pulang, Kembali ke kandang
Hutan terlalu banyak mengajariku macam-macam hal, Lebih banyak dari apa yang kudapatkan di penangkaran Kebanggaanku memuncak saat aku berhasil menakhlukan hutan, Melebihi kebanggaanku saat menyudahi pementasan
Aku asing di sini Di mana aku dibesarkan kini tak lagi menenangkan Apa yang salah? Tak kutemukan jawaban selain gelisah.
1 note
·
View note
Text
Dialog Tengah Hari

(x) : “Selamat ya atas pernikahannya, semoga langgeng terus!”
(y) : “Iya, terima kasih, kamu kapan nyusul?”
(x) : “Pertanyaanmu kayak om-om di hari lebaran, basi!”
(y) : “Hehehe, sini kubilangin, pilih istri itu memang nggak semudah pilih pacar. Kalau pacar, yang penting ok buat diajak pergi kondangan, tapi kalau pilih istri, harus yang ok buat ditemuin setiap hari.”
(x) : “Hmm...”
(y) : “Kalau pilih istri, minimal harus punya dua keriteria, pertama: dia harus bisa diajak ‘ngobrol’, kedua: dia harus bisa dan mau di atur.”
(x) : “Alasannya?”
(y) : “Kita menikahinya karena kita ingin dia jadi teman hidup kita. Makanya sebagai teman yang baik, dia harus bisa diajak ngobrol, diajak berbagi, berdiskusi, bukan hanya bisa masak enak atau goyang di ranjang.”
(x) : “Kalau sejak pacaran saja jarang ngobrol, apa bisa dilanjut?”
(y) : “Sebaiknya mulailah banyak ngobrol dengan pasangan, jadilah teman bicara yang asik, yang bukan saja hanya mendengarkan pasanganmu bercerita, tapi juga bisa menanggapi ceritanya. Belajarlah untuk lebih mengakrabkan diri dengan pasanganmu, itu salah satu cara kalau mau lanjut. Karena dalam perjalanan rumah tanggamu nanti, kalian perlu banyak berbicara masalah keluarga, kalau tidak dibiasakan dari sekarang, pastinya nanti akan sulit.”
(x) : “Terus alasan kedua, kenapa harus pilih istri yang bisa dan mau di atur?”
(y) : “Ini adalah alasan terakhir yang bisa mempertahankan hubunganmu dengan pasangan, andai saja kalian memang tetap tidak bisa banyak ngobrol sampai menikah.”
(x) : “Hmm...”
(y) : “Anggaplah kalian bukan pasangan yang bisa banyak ngobrol, diskusi, bertukar pikiran, dll. Sebagai suami, kita ini adalah pemimpin keluarga. Kita harus tetap memikirkan keberlangsungan rumah tangga, kita harus bisa mengambil keputusan-keputusan terbaik, dan kita perlu mengatur segalanya dengan benar. Andaikata istrimu tidak bisa diajak untuk membicarakan permasalahan-permasalahan yang ada, dan mendiskusikan cara-cara terbaik untuk keluar dari masalah tersebut, maka sebagai suami kita tetap harus memikirkan dan menentukannya sendiri. Setelah itu kita bisa mengajak istri kita untuk mengikuti cara yang kita pilih demi kebaikan keluarga. Bila istri kita bisa dan mau di atur, semuanya akan jadi lebih mudah. Sementara bila istri kita punya ego yang tinggi dan tidak terlalu memandang kita sebagai pemimpin keluarga, maka perjalanan rumah tangga kita akan terasa kurang bermakna. Hasilnya, kita mungkin akan merasa percuma hidup berumah tangga dengannya bila jalan hidup yang di pilih berbeda, kalian akan merasa seperti hidup sendiri, dan itu bukanlah perwujudan dari keluarga yang bisa bertahan lama.”
(x) : “Hmm...”
(y) : “Namun cinta biasanya memang bisa hadir begitu saja, bisa kepada siapa saja, bisa di mana saja, dan bisa saja kita kira itu cinta ternyata hanya obsesi semata.”
(x) : “Yap, tapi yang bersamaku saat ini ialah perempuan yang kucinta, tentunya.”
(y) : “Sudahkah ia memenuhi dua keriteria yang sebelumnya kukatakan?”
(x) : “Hmm...”
Sumber gambar: Klik di sini
1 note
·
View note
Text
Momen Lebaran
Di hari-hari seperti sekarang ini, kita akan banyak disibukkan dengan pertemuan keluarga, teman lama, dan juga segala sesuatunya yang pasti membuat kita merasa nostalgia.
Banyak sekali momen-momen lebaran yang sangat indah, misalnya saja saat lebaran kita tidak perlu sungkan untuk bertamu ke rumah orang dengan alasan ingin silaturahmi dan bermaaf-maafan. Berkunjung memang bukan perkara luar biasa, tapi rasanya, saat ini hal itu memang bukan lagi hal yang biasa, terutama untuk kita yang tinggal di kota-kota besar dengan segala kesibukkannya. Sesekali hati ini pernah ingin datang dan berkunjung ke rumah tetangga, tapi sekejap keinginan itu lenyap, termakan oleh alasan-alasan seperti “takut ganggu ah”, “gak ada orang kayaknya di rumah”, “kabarin lewat sosial media aja deh orangnya biar ketemu di luar”, dan sebagainya.
Di saat lebaran ada juga momen-momen yang tidak mengasikkan. Misalnya saja saat berkumpul dengan keluarga besar, lantas ada ibu-ibu atau bapak-bapak yang sudah menjelang nenek-nenek dan kakek-kakek yang bertanya, “kapan lulus? Kapan nikah? Kapan punya anak? Kapan nambah anak? Kapan anaknya lulus? Kapan anaknya nikah? Kapan anaknya punya anak?”, dan seterusnya sampai lebaran tahun depan datang.
Bagi saya peribadi, momen lebaran itu adalah momen yang paling saya khususkan untuk teman-teman lama saya di rumah. Sudah sangat jarang sekali saya bisa berkumpul bersama mereka, padahal dulu hampir setiap hari kami main bersama, dan itulah bikin saya kangen kalau sedang ada di rumah.
Di tengah kesibukkan saya saat ini, saya sempat berniat untuk sering-sering pulang ke rumah supaya bisa sering kumpul-kumpul bersama teman-teman lama saya. Tapi kemudian niat itu pun kembali saya urungkan. Alasan saya mengurungkan niat itu karena menurut saya, kami sudah tidak seperti dulu lagi. Saya merasa tidak lagi “nyambung” bila sedang bersama mereka. Ini bukan masalah gengsi atau semacamnya, tapi ya rasanya memang tidak senyaman dulu saja. Mungkin karena beberapa tahun belakangan ini saya mulai menemukan dunia (pergaulan) baru, dan saya berusaha untuk menyesuaikan dengan dunia itu, lalu setelah saya terbiasa, saja jadi tidak kerasan lagi berada di dunia yang dulu pernah saya tinggali.
Teman-teman lama saya itu, nampaknya tidak ada perubahan yang mencolok dari tingkah dan perilakunya. Itulah yang membuat saya jadi merasa tidak nyambung. Karena dalam perjalanan hidup saya beberapa tahun belakangan ini, banyak sekali yang berubah. Baik itu dari segi tingkah laku, pola pikir, sudut pandang, rencana masa depan, dan perihal-perihal lain menyangkut perinsip hidup saya pun banyak yang berubah. Sementara mereka tidak, mereka tetap sama, mereka tetap seperti mereka di beberapa tahun lalu, di saat kami masih anak kecil. Tapi ya sudahlah, itu pilihan mereka, dan juga tentunya saya punya pilihan sendiri.
Namun apa pun yang terjadi, saya tetap menganggap mereka sebagai teman lama saya yang baik, yang pernah membantu saya selagi saya susah, yang pernah menghibur saya ketika saya sedih, dan yang selalu ada bersama saya di saat saya sedang membutuhkan mereka. Mereka tetap yang terbaik di masanya. Meskipun saat ini saya merasa ada dunia baru yang mampu membuat saya nyaman, tetapi saya tidak akan pernah melupakan mereka semua.
Teruntuk teman-teman lama saya, bila mungkin kalian membaca tulisan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian karena kalian masih mau berteman dengan orang seperti saya. Mohon maaf lahir dan batin untuk semua kesalah yang pernah saya lakukan dulu ataupun sekarang. Semoga kita akan tetap menjadi teman, bukan hanya sampai hari ini, tapi kalau bisa sampai mati. Oiya, dosa-dosa kalian ke saya sudah saya maafkan sejak jauh-jauh hari, jadi tolong tidak perlu memohon lagi, hehehehe
Selamat Lebaran!
0 notes