Tumgik
ririsxamelia · 1 year
Text
IF #1
0 notes
ririsxamelia · 1 year
Text
Kapan?! #5
Jagain Jodoh Orang
"Serius? Sejak kapan?"
"Ya serius lah, makanya aku kasih undangannya. Sekitar setahun lalu, waktu aku apply beasiswa ke UK, tapi gagal."
Ringgo tercekat. Dia belum bisa memproses kejadian barusan. Marsha akan menikah. Seketika keyakinannya akan masa depan yang dia impikan sirna.
Semua orang tahu bahwa Marsha dan Ringgo lebih dari sekadar teman. Sejak tahun pertama kuliah, mereka tak terpisahkan. Meski berbeda jurusan, mereka mengikuti organisasi kampus yang sama. Jika Ringgo jadi ketua, maka Marsha adalah bendaharanya. Jika Marsha menjadi seksi acara, Ringgolah seksi dokumentasinya. Semua orang mengira mereka akan wisuda bersama lalu menikah, menjadi couple legendaris dari fakultas ISIPOL.
Tidak ada yang menyangka bahwa Marsha akan menikah dengan salah satu dosen muda dari kampus sebelah. Mereka bertemu saat Ringgo hilang dari jangkauan Marsha. Awalnya dia yakin Ringgo akan segera kembali sehingga tak mau membuka hatinya untuk siapapun. Setelah menunggu lelaki yang disukainya tak pernah berkabar selama dua tahun terakhir, dia memutuskan untuk berhenti berharap.
Butuh beberapa hari bagi Ringgo untuk menjernihkan pikirannya. Awalnya dia menyalahkan keadaan, menyesali keputusan-demi keputusan yang ia buat sejauh ini. Hingga akhirnya dia sadar bahwa inilah yang terbaik bagi Masrha dan juga dirinya. Saat ini, posisinya berada terlalu jauh, jauh tertinggal dibelakang Marsha. Ringgo dengan skripsinya, Marsha dengan rencana S2-nya. Marsha sudah siap untuk membangun keluarga barunya, Ringgo baru selesai membangkitkan kembali keluarganya. Mereka berdua menempuh jalur yang berbeda. Ringgo belum siap untuk melangkah. Dia masih tertahan di persimpangan jalan.
~
"Kapan pulang Nak?"
"Sabar ya, Mah. Dua minggu lagi. Masih ada dokumen yang harus diurus. Mau sekalian legalisir ijazah juga."
"Yaudah diberesin dulu aja, jangan lupa foto wisuda kamu diambil. Biar bisa Mamah pajang di ruang tamu."
"Oke, siap Bos!"
Ringgo menutup telfon Ibunya untuk bersiap-siap pergi ke kampus. Sejak wisudanya sebulan lalu, dia tidak pernah rehat sedikitpun. Kesibukan barunya menuntut jam kerja dan fokus yang tinggi karena kalau tidak, sekali salah dia akan kena tegur selama tiga hari berturut-turut. Setelah resmi mendapat gelar sarjana, Bu Reva langsung merekrut Ringgo menjadi asistennya untuk mengajar mahasiswa baru. Tidak ada mahasiswa lain yang mampu bertahan dibawah limit kesabaran Bu Reva yang setipis tisu, selain Ringgo. Dia sudah terbiasa dengan pedasnya omelan Bu Reva yang mengalahkan seblak level 5. Justru berkat omelan-omelannya, skripsi Ringgo yang terancam gagal rampung, akhirnya berhasil dia selesaikan dan mendapatkan nilai nyaris sempurna. Setelah patah hatinya karena menjaga jodoh dosen kampus tetangga, Ringgo memutuskan tetap berada di lingkungan kampus untuk sementara waktu. Dia ingin lebih mengenal dirinya, menemukan apa sesungguhnya yang ia cari selama ini, mencari kesempatan dan petualangan baru.
The End.
4 notes · View notes
ririsxamelia · 1 year
Text
Kapan?! #4
Jangan Senang Dulu
Gue bersyukur banget nyokap nggak pernah nanyain "Kapan wisuda Nak?"
Gue juga bersyukur karena gue jauh dari rumah, jauh dari keluarga besar. Sepanjang perjalanan gue ngerjain skripsi, gue liat temen dan adik tingkat gue banyak yang tertekan gara-gara pertanyaan "Kapan?!"
Alih-alih bertanya tentang kapan gue lulus, nyokap selalu membesarkan hati gue setiap kali merasa buntu, capek, pusing karena ngerjain revisi. Nyokap selalu bilang kalau gue harus ngerjain skripsi dengan sepenuh hati, ikhlas. Ini adalah tugas terakhir yang gue kerjain setelah susah payah belajar bertahun-tahun. Meski nantinya skripsi ini hanya akan jadi pajangan di perpustakaan kampus ataupun gelar gue nggak terpakai karena seringkali kerjaan nggak nyambung sama jurusan, nama gue akan terpampang disana untuk waktu yang lama.
Dulu, gue bersusah payah untuk masuk ke kampus ini, mengambil jurusan yang sangat amat ditentang sama bokap. Setelah sidang proposal, sempat gue berpikir untuk pakai jasa joki, saking frustasinya ngerjain bab 4 nggak kelar-kelar. Tapi masa iya gue menyelesaikannya dengan asal-asalan, apalagi dengan kecurangan?!
"Hidup ini bukan cuma tentang hasil. Percuma hasilnya bagus kalau kamu tertekan, nggak enjoy atau malah nggak bahagia selama prosesnya. Kita juga nggak tau lho umur kita sampai kapan, karya tulis kita bakal dibaca sama siapa, manfaatnya sejauh mana. Siapa tau ini akan jadi tugas terakhir yang kita kerjain semasa hidup," kata Marsha.
Satu bulan lagi, waktu gue untuk mendaftar sidang akhir. Meski luar biasa cemas, gue yakin bisa melalui ini semua dengan baik.
Sedikit lagi. Sebentar lagi. Gue akan lulus, akhirnya gue bisa bikin nyokap bangga dan lega. Lalu, gue akan mempersiapkan diri, mengambil langkah selanjutnya: mengajak Masrha membangun hubungan yang serius. Membayangkannya saja bisa membuat gue kegirangan kaya orang gila.
Sampai pada suatu sore, datanglah sebuah kabar, lebih tepatnya sebuah undangan pernikahan.
TO BE CONTINUED
2 notes · View notes
ririsxamelia · 1 year
Text
Kapan?! #3
(Nggak) Sibuknya Jadi Mahasiswa Akhir
Dulu, Ringgo berpikir bahwa menjadi mahasiswa tingkat akhir itu enak. Banyak nggangurnya. Nggak perlu tiap hari ke kampus, bisa ngerjain sambil ngopi-ngopi, bahkan ada yang nggak perlu mikir, tinggal pakai joki. Sambil magang bisa, sambil PDKT bisa, bahkan ada yang bisa sambil membangun rumah tangga.
Sayangnya, itu semua nggak berlaku bagi mahasiswa terancam DO macam Ringgo. Apalagi mengingat killer-nya Bu Reva. Saking inginnya Bu Reva melihat Ringgo wisuda tahun ini, dia minta Ringgo untuk stop bekerja, fokus, dilarang keras buang-buang waktu dan tenaga Bu Reva! Alhasil dia menjadi pengunjung perpustakan yang datang pertama tapi pulang paling akhir. Kalau bisa sih menginap di kampus dan nggak usah pulang ke kosan, biar sekalian menemani Pak satpam ronda.
Awalnya Ringgo sanksi dengan saran ekstrem Bu Reva. Tapi karena dukungan dan harapan Mamah-nya Ringgo yang sudah ingin melihat toga terpasang di kepalanya. Dia manut saja. Dua tahun terakhir dia sudah bekerja keras layaknya romusha. Bukan lagi overwork atau overtime, mungkin bisa dibilang overdose. Hal ini tak lain dan tak bukan, dia lakukan agar keadaan keluarganya kembali normal secepat mungkin.
"Udah cukup Nak, sekarang saatnya kamu melanjutkan mimpimu. Kamu sudah membekali Mamah lebih dari cukup, adik-adikmu sudah bisa hidup normal sekarang, kami sudah siap dan mandiri."
Tidak terasa, setelah dua bulan bergaul dengan buku-buku usang di perpustakaan, Ringgo siap untuk mengajukan sidang proposal. Hal ini tidak semata-mata karena jasa Bu Reva. Marsha yang ternyata bekerja sebagai staff SDM di kampus, punya andil besar. Selain motif akademik, Ringgo tidak keberatan menjadi penghuni paling setia perpus kampus demi urusan asmara. Kantor SDM letaknya tepat di depan perpus fakultas ISIPOL. Sembari menyelam minum air, Ringgo berusaha untuk menebus waktu yang terlewat diantara mereka berdua sejak dia menghilang. Ditengah-tengah kepenatannya mengerjakan revisi, ada angin segar nan sejuk yang bisa dia rasakan saat bersama Marsha.
TO BE CONTINUED
2 notes · View notes
ririsxamelia · 1 year
Text
Kapan?! #2
Bimbingan Skripsi (dan Hati)
Setelah hibernasi yang panjang, akhirnya gue balik juga ke kampus. Sialnya, di hari pertama gue nggak cuma dipermalukan di depan adik-adik tingkat oleh petugas admin fakultas tapi juga kena damprat dosbing tergalak seantero kampus. Kegalakan Bu Reva yang nggak pandang bulu udah jadi buah bibir turun temurun nggak cuma di kalangan mahasiswa tapi juga dosen. Beliau adalah jelmaan malaikat sekaligus iblis. Nggak ada dosbing lain yang begitu peduli dengan mahasiswanya seperti halnya Bu Reva, tapi dekan sekalipun kalau ngelihat Bu Reva mulai mengeluarkan taringnya, pasti langsung mengambil langkah seribu.
Belakangan, gue baru tau kalau Bu Reva nggak berhenti nanyain keberadaan gue ke teman-teman seangkatan. Setelah berceramah selama satu jam dan sukses membuat otak gue pindah ke lutut, Bu Reva tak kuasa menahan tangis mendengar apa yang terjadi selama gue pergi. Meski dari luar tampangnya seperti antagonis, ternyata hatinya seperti Hello Kitty.
Setelah menceritakan semuanya ke Bu Reva, sekarang giliran Marsha yang menunggu penjelasan gue.
"Sorry banget ya Sha. Gue nggak bermaksud untuk pergi gitu aja. Tapi waktu itu, keluarga gue nyaris hancur. Setelah bokap meninggal, kita semua baru tau bahwa rumah yang selama ini kita tinggali, bukan punya bokap. Tiba-tiba aja, kita kehilangan tempat tinggal dan kita nggak tau harus kemana. Akhirnya, kita semua pulang ke kampung halaman nyokap di Lampung. Memulai semuanya dari nol. Itu adalah satu-satunya jalan yang bisa gue ambil saat itu, untuk menyelamatkan masa depan nyokap dan adik-adik. Maaf gue nggak pernah angkat telfon dan balas pesan dari lu. Gue . . . "
Marsha memeluk gue sebelum kalimat terakhir sempat terucap.
Kesedihan yang selama ini gue abaikan, kelelahan yang berusaha gue tahan, kenangan yang berusaha gue lupakan, kembali dalam satu kilatan waktu.
"Gue kangen banget Sha," ucap gue lirih, hampir tanpa suara.
TO BE CONTINUED
4 notes · View notes
ririsxamelia · 1 year
Text
Kapan?! #1
Semester 12
Ringgo, untuk kesekian kalinya menghela nafas. Dia berada ditengah-tengah lobi, duduk sambil menggaruk-garuk rambutnya yang gondrong dan awut-awutan. Mengamati orang-orang yang lalu lalang. Tidak ada satupun wajah yang dikenal Ringgo. Yang ia temui seharian ini hanyalah wajah-wajah baru. Wajah-wajah mahasiswa yang sumringah, penuh ambisi dan optimisme. Tidak seperti dirinya. Bagaikan alien yang turun ke bumi. Siapapun yang melihat Ringgo, pasti tau bahwa dia adalah MABA: Mahasiswa Bangkotan.
Hari ini adalah hari pertama Ringgo kembali ke kampus. Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang terancam drop out, dia sudah membebani dosen pembimbingnya terlalu lama dan sekarang terancam menjadi momok yang akan merusak citra serta akreditasi jurusan paling bergengsi di kampusnya.
"Maaf Pak, saya Ringgo. Satu tahun yang lalu saya ambil cuti. Saya udah menyelesaikan pembayaran untuk memulai semester baru. Bisa minta bantuannya untuk mengaktifkan akun saya dan mengisi KRS, Pak?"
"Oh ya, tentu saja bisa Mas. Berarti sekarang semester berapa?"
Ringgo berhenti sejenak, dia bahkan tidak ingat. Terakhir kali ke kampus dia diterror judul skripsi oleh dosbingnya karena tidak pernah nampak batang hidungnya di kantor dosen, bahkan di seantero kampus. Tidak ada yang bisa menemukan keberadaannya. Jangankan pesan dosen, tidak satupun telfon dari temannya yang ia gubris. Ia raib, ghaib.
"Kalau dilihat dari penampilan kamu, pasti semester 12 ya?"
"Sial. Jadi gini ya rasanya dapet body shaming," batin Ringgo.
"Seingat saya iya Pak, sekarang masuk semester 12."
Jawab Ringgo sambil berpikir keras, menghitung dengan jari-jemarinya.
"Oalah Mas, sudah masuk injury time ini. Sisa satu semester doang. Dari mana saja?"
"Dari rumah lah Pak. Masa dari Mekkah, emangnya habis Haji?!" balas Ringgo kesal, tentu saja hanya dalam hati.
"Dulu sudah sempat bimbingan selama satu semester. Tapi ya begitulah Pak. Ada-ada saja cobaannya menjelang lulus."
"Berarti sudah ada judul skripsi? Tinggal menyelesaikannya ya Mas?"
"Betul Pak."
"Dosbingnya siapa?"
"Bu Reva."
"Oalah. Kayanya saya tau kamu, Mas. Dulu sempat ada mahasiswa yang dicariin Bu Reva kemana-mana. Teman-temanmu juga nyariin tho Mas? Akhirnya comeback juga ya"
"Boyband kali pakai comeback segala," Ringgo mulai emosi dengan omongan si bapak. Apalah daya, dia cuma berani ngedumel aja.
"Ehehe, iya Pak. Ini nomor mahasiswa saya. Tolong dibantu diaktifkan kembali ya Pak."
Ringgo buru-buru menyerahkan map yang sedari tadi dia bawa kemana-mana. Ia ingin segera pergi. Tidak sedikit adik tingkat yang melirik dan memperhatikannya gara-gara omongan barusan. Terlepas dari penampilannya yang semrawut hari ini, dia tidak ingin terlihat memalukan, setidaknya di hadapan juniornya.
"Sini Mas. Saya sudah aktifkan kembali akunnya. KRS juga sudah beres. Minggu depan Mas sudah bisa kuliah dan bimbingan lagi. Jangan disia-siakan ya Mas, sisa waktunya."
"Baik Pak, terima kasih banyak."
Ringgo menunduk dan berpamitan. Dia berjalan secepat kilat keluar dari ruang administrasi. Saat keluar, dia melihat seseorang yang begitu familiar sedang berjalan menuju ke arahnya. Wajah lama yang begitu dia kenal, sekaligus dia rindukan. Marsha, sahabat sekaligus gadis pujaan hatinya. Niat hati Ringgo ingin menyapanya dengan melambaikan tangan ke arahnya. Namun, dibelakangnya tampak satu sosok yang mengikuti langkah Marsha. Dari penampakannya saja sudah membuat telapak tangan Ringgo berkeringat dingin, wajahnya pucat pasi, bulu kuduknya merinding. Ringgo berbalik, bersiap untuk segera kabur dari sana. Dia belum siap untuk bertempur dan menghadapi kemurkaannya.
"Ringgooo!"
Terlambat. Suara lengkingan itu. Dia sudah menangkap basah Ringgo.
TO BE CONTINUED
3 notes · View notes
ririsxamelia · 1 year
Text
FF5
Gina memandangi Kino yang tengah asik di dapur. Lagi dan lagi, dia bereksperimen dengan resep masakan yang dia temukan di CookPad dan Youtube. Cita-citanya untuk menjadi koki yang gagal tercapai membuat Gina harus ekstra sabar selama 7 tahun pernikahan mereka. Bagaimana tidak? Setiap weekend Kino akan menguasai seluruh area dapur. Ia tak pernah mau dan tak akan bisa diganggu saat memenuhi obsesinya.
Setiap Sabtu pagi, dia tidak pernah absen untuk pergi ke pasar. Membeli dan memilih bahan kualitas terbaik. Raut mukanya begitu serius bak Chef Arnold. Komentarnya begitu pedas layaknya Chef Juna.
"Bahan-bahan yang segar akan membuat masakan kita hidup. Bahan-bahan berkualitas mampu meringankan lebih dari 50% beban chef." Celotehnya tiap kali mengajakku ke pasar.
Tentu, sebagai seorang istri aku bahagia karena setiap weekend aku punya jatah cuti dari urusan masak-memasak. Eits tapiii, bukan berarti aku bisa cuti dari urusan dapur!
Tiap kali suamiku selesai menghidangkan makanan, bukannya lapar jenggotku, eh, hatiku malah rasanya seperti terbakar.
Setiap habis memasak, dapurku berubah jadi seperti kapal pecah. Medan yang ditinggalkan oleh para prajuritnya setelah menang perang. Kacau! Pantaslah dia gagal jadi chef! Lolos babak eliminasi saja mustahil!
Disaat-saat seperti ini aku jadi mempertanyakan kewarasanku saat menerima lamarannya dulu. Dibanding anak bungsu kami, tingkahnya lebih susah ku mengerti dan pahami. Absurddd!
0 notes
ririsxamelia · 1 year
Text
FF4
"Udah iyain aja. Biar nggak ribet."
"Tapi Masss, nggak bisa kaya gini terus! Aku udah capek dan muak dengan semua ini!"
"Oh, jadi kamu muak sama Ibu aku? Kamu udah capek hidup bareng aku?"
"Here we go again! I'm sick of it and I need to breathe."
Aku pergi meninggalkan Mas Mif, keluar dari rumah. Mengasingkan diri, menjauhkan diri dari bising yang terus ku dengar di dalamnya.
"Kemana? Jangan ngebut, jangan jauh-jauh. Pulang ya kalau udah mendingan."
Mas Mif mengirim pesan WA padaku 5 menit kemudian. Aku hanya membaca tanpa membalas pesannya. Untung kunci mobil masih ada di jaketku.
1 note · View note
ririsxamelia · 1 year
Text
FF 3
3 years ago, the idea of marrying my best friend sounds absolutely ridiculous! But today, I have no regret for doing that. It maybe the best decision I've made during adulthood.
Arai is a not a type of man that will charm your heart at the first sight. Even with his tall body, his looks is quite ordinary. He's not the typical sweey guy nor the cool-cold one. Sometimes he is super quiet but other times he gets really chatty and he can change within minutes. I wonder if he has a multipe type of personalites.
One thing that attracts me the most is his smile. His eyes almost disappear every time he smiles from ear to ear and I love it. I fall in love with him over and over again because of those smile.
We married after a long debate and doubt about our marriage. It took 6 months for him to convince me that we're going to be a great and compatible couple. Back when we're still friends, I have never imagined having romantic relationship with him. He never showed that he had a feeling for me during high school or even uni.
One evening at our favorite book cafe, he proposed me out of the blue. After a very painful break up with my ex, I totally didn't expect it. He asked me to spend the rest of our life together. I was not ready. I declined the proposal but thank God, he never gave up. He gave me time and space to think until one day i realized I couldn't find any man better than him. He's been with me all these years, through thick and thin. He is the one who prioritize my interest before himself. He always supports my hobbies, appreciates my presence, values my worth. No matter how far we go, we always come back to each other. He is my home and vice versa.
0 notes
ririsxamelia · 1 year
Text
FF 2
You are invited to the wedding of:
Aurora
and
Kit
Honey menghela napas. Ini adalah undangan ke lima yang dia terima hari ini. Meski sedang pandemi, yang katanya banyak orang kehilangan pekerjaan, banyak yang mendapat pengurangan gaji yang tidak sedikit, banyak usaha yang gulung tikar. Ternyata banyak juga orang yang tetap bersemangat dan optimis untuk membangun rumah tangga. Seolah tak peduli terhadap ancaman resesi, pemanasan global, ataupun maraknya kejahatan keji nan tak masuk akal yang sering berseliweran di sosial media.
"Kenapa Hon?"
Tanya Jem membuyarkan lamunan sahabatnya.
"Gapapa, heran aja. Kayanya kok orang lain gampang banget buat memutuskan menikah. Apakah mereka sudah sesiap itu untuk jadi suami/istri dan menjalani peran orang tua kelak?"
"Nah, gue belum bisa bantu jawab nih karena gue aja belom kepikiran soal pernikahan. Tapi kalau kata kakak gue dulu pas gue tanya, dia bilang HARUS SIAP. " "Harus? Terkesan dipaksakan nggak sih?"
"Katanya sih, kalau nunggu siap ya nggak bakal nikah-nikah."
"Bukannya kalau belum siap malah bakal ngerusak pernikahan itu sendiri? Coba perhatiin aja, tiap tahun angka perceraian makin tinggi. Dan, perceraian nggak cuma berdampak sama sang pasangan, tapi sama anak-anak mereka."
"Gue salah satu yang terkena dampaknya, hahaha. Mungkin karena perceraian bokap nyokap, gue jadi minder buat nikah."
"Tapi kakak-kakakmu udah pada nikah kan Jem? Menurutmu gimana pernikahan mereka?"
"So far, fine-fine aja. Dua kakak gue berusaha banget untuk tidak mengulang kesalahan yang sama dengan orang tua gue. Beruntungnya, mereka menemukan pasangan yang mau mengerti kondisi mereka."
"Jem, kok bisa ya orang-orang yakin bisa hidup bersama, bertahan dan setia dengan satu pasangan seumur hidup?"
"Gue juga belum paham. Cinta konon hanya bertahan kurang lebih 4 tahun, sisanya menurut gue adalah komitmen. Karena pernikahan adalah sebuah janji, cara mempertahankannya yang dengan berkomitmen, bersepakat untuk saling mengerti, memahami dan mengalah demi kepentingan bersama. Ini nggak cuma menyangkut suami dan istri ya, tapi juga orangtua-keluarga besar kedua belah pihak."
"Menjaga dinamika hubungan antar pasangan aja tuh nggak gampang, nah ini dua keluarga besar yang bisa jumlahnya puluhan atau bahkan ratusan orang. Beuh, beraaat.
1 note · View note
ririsxamelia · 1 year
Text
FF 1
Seorang gadis tengah duduk di depan sebuah kantor megah dekat balai kota di jalan Sudirman. Kakinya tak henti menghentak tanah. Keringat yang terus menetes pada dahinya mulai melunturkan sebagian make up pada wajahnya. Meski diliputi kegelisahan luar biasa dia berusaha untuk meyakinkan diri, memasrahkan apapun keputusan yang ia buat sore ini.
Sesosok laki-laki tampak memperhatikan sang gadis dengan seksama sambil berjalan menghampirinya.
"Udah lama ya nunggunya? Sorry, barusan ditahan sebentar sama Pak Bos, kita dapat proyek baru soalnya."
"No worries. Aku juga baru nyampe kok, cuma panas aja sih. Harusnya tadi aku nunggu di coffee shop seberang aja."
"So, mau ngobrol dimana?"
"Disini aja, gapapa kan?"
"Seriusan? Kamu buru-buru? Ada acara sama mamah?"
"Enggak. Aku, aku mau kasih tau keputusanku soal obrolan kita minggu lalu.
Minggu lalu adalah hari anniversary ke 10 hubungan mereka. Dua remaja yang saling jatuh cinta sejak SMA, menghabiskan 1 dekade bersama, apalagi selanjutnya?
Sebagai seorang perempuan, tidak kunjung menikah di usia lebih dari seperempat abad padahal sudah punya calon yang sering main ke rumah, adalah sumber obrolan yang sangat menghibur bagi para tetangga. Bukan satu dua kali Ibu atau ayah mengungkapkan kekesalannya terhadap pedasnya mulut tetangga. Sejujurnya, dia pun mulai kehabisan kesabaran untuk menunggu lamaran sang kekasih.
"Aku rasa aku nggak bisa melanjutkan hubungan ini lagi."
"Kenapa? Tiba-tiba begini? Selama ini kita baik-baik aja lho."
"Nggak tiba-tiba, aku udah memikirkannya jauh-jauh hari. Aku nggak yakin dengan masa depan kita. Aku tahu 10 tahun bukan waktu yang singkat, tapi itu adalah waktu yang cukup untuk kita mengenal satu sama lain."
"Tunggu tunggu. Coba yok kita obrolin dulu. Aku ada salah? Atau kamu yang lagi ada masalah?"
"Percuma, aku udah kasih kamu kesempatan terakhir minggu lalu. Selama ini, kamu selalu mengelak dan menolak untuk ngobrolin pernikahan. Aku nggak mau buang-buang waktu lagi nungguin kamu. Dan aku yakin, kamu juga nggak bakal mau mengorbankan masa emasmu buatku."
Sebulan lalu, seorang kawan lama tiba-tiba menghubungi dan bertanya pendapatnya tentang pernikahan. Diskusi terus berlanjut sampai minggu lalu, tiba-tiba kawan ini mampir ke rumahnya.
2 notes · View notes