Faith: not wanting to know what is true - Friedrich Nietzche
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Penghasilan yang halal tidak akan cukup membiayai gaya hidup yang haram
0 notes
Text
Permohonan Akta Kematian
Pasal 44 UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menyatakan setiap kematian wajib dilaporkan oleh keluarganya atau yang mewakili kepada instansi pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal kematian. Pencatatan kematian dilakukan berdasarkan keterangan kematian dari pihak yang berwenang. Berdasarkan laporan tersebut, pejabat pencatatan sipil mencatat pada register akta kematian dan menerbitkan kutipan akta kematian.
“Kematian” adalah tidak adanya secara permanen seluruh kehidupan pada saat mana pun setelah kelahiran hidup terjadi. Pihak yang berwenang menyatakan kematian adalah kepala rumah sakit, dokter/paramedis, kepala desa/lurah atau kepolisian.
Pasal 65 Permendagri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Perpres Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil menyatakan pencatatan kematian bagi Penduduk tidak terdaftar dalam kartu keluarga dan dalam database kependudukan dilakukan melalui penetapan pengadilan.
Angka 3 huruf a Fatwa Panitera Mahkamah Agung Nomor: 231/PAN/HK.05/1/2019 tanggal 30 Januari 2019 menyatakan penduduk yang kematiannya sudah lama sehingga data yang bersangkutan tidak tercantum dalam kartu keluarga dan database kependudukan, maka untuk mendapatkan kepastian kematiannya memerlukan penetapan pengadilan.
Surat Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Nomor 472.12/932/Dukcapil tanggal 17 Januari 2018 menyatakan:
Setiap kematian dilaporkan kepada Instansi Pelaksana (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota) tempat penduduk berdomisili, untuk diterbitkan kutipan akta kematian. Pencatatan/penerbitan kutipan kematian dilaksanakan dengan persyaratan, yaitu surat keterangan kematian dari kepala desa/lurah dan/atau dari dokter/paramedis atau salinan penetapan pengadilan terhadap yang hilang atau tidak diketahui/tidak ditemukan jenazahnya serta fotokopi Kartu Keluarga.
Terhadap pelaporan pencatatan kematian yang sudah lama sekali terjadi serta tidak terdaftar sebagai penduduk berdasarkan KK dan database kependudukan, maka pencatatan kematiannya dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan kebenaran data kematian tersebut.
0 notes
Text
Pembebanan Biaya Pemeriksaan Setempat terhadap Beberapa Objek
Biaya besarannya merujuk pada PMK Nomor 49 Tahun 2023 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2024;
Satuan biaya sewa kendaraan pelaksanaan kegiatan insidentil merupakan satuan biaya yang digunakan untuk kebutuhan biaya sewa kendaraan roda 4 (empat), roda 6 (enam)/bus sedang, dan roda 6 (enam)/bus besar untuk kegiatan yang sifatnya insidentil (tidak bersifat terus-menerus).
Satuan biaya ini diperuntukkan bagi: 1) Pejabat Negara yang melakukan perjalanan dinas dalam negeri di tempat tujuan; atau 2) pelaksanaan kegiatan yang membutuhkan mobilitas tinggi, berskala besar, dan tidak tersedia kendaraan dinas serta dilakukan secara selektif dan efisien.
Ketentuan: 1) Satuan biaya sewa kendaraan sudah termasuk bahan bakar dan pengemudi. 2) Satuan biaya sewa kendaraan roda 4 (empat) dalam satuan biaya ini adalah untuk kendaraan yang berkapasitas paling banyak 7 (tujuh) seat. 3) Dalam hal diperlukan kendaraan roda 4 (empat) dengan kapasitas melebihi 7 (tujuh) seat dapat diberikan paling tinggi sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari satuan biaya sewa kendaraan roda 4 (empat). 4) Bagi Pimpinan Lembaga Negara/Menteri/Pimpinan Lembaga setingkat Menteri dalam hal diperlukan kendaraan roda 4 (empat) dengan kelas/satuan biaya lebih tinggi, dapat mengacu ke harga pasar/bersifat at cost.
Karena satuan biaya yang digunakan dalam sewa kendaraan di PMK adalah "per hari", maka pelaksanaan pemeriksaan setempat di lebih dari satu objek tetap dihitung satu biaya, selama bisa dilaksanakan pada satu hari yang sama.
0 notes
Text
Alasan Pemaaf di Luar Undang-Undang
Hak mendidik dan mengawasi -> orang tua dan guru terhadap anak dan murid dalam bentuk memukul dan larangan keluar;
Hak jabatan -> dokter/ahli bedah yang menyembuhkan pasiennya;
Izin dan mewakili urusan orang lain -> pertandingun tinju & damkar yang memasuki pekarangan orang lain;
Tidak adanya pelanggaran hukum materiel dan kesalahan -> arrest susu dan air (Melkenwaterarrest) & arrest dokter hewan (Huizenseveeartsarrest)
Sumber: van Bemmelen, Buku Pidana 1, hlm. 200-206
0 notes
Text
Teknik Menyusun Putusan Pidana
Putusan sela yang menyatakan diputus bersama-sama dengan pokok perkara harus dipertimbangkan kembali dalam putusan akhir. Namun, diktum menolak/mengabulkan keberatan tidak perlu dicantumkan dalam putusan akhir;
Pembelaan yang berkaitan dengan rumusan delik atau tidak terbuktinya perbuatan dipertimbangkan sekaligus saat mempertimbangkan unsur pasal. Namun, pembelaan yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana dipertimbangkan setelah seluruh unsur terbukti;
Perpanjangan penahanan yang tidak dijalani terdakwa tidak perlu dicantumkan dalam putusan;
Setiap keterangan saksi harus dicantumkan dari mana mengetahui informasi tersebut; dari cerita orang lain atau mengalami sendiri. Tanggapan terdakwa terhadap keterangan saksi juga wajib dicantumkan;
Jika PU tidak mengajukan barang bukti, maka keadaan tersebut tetap dicantumkan dalam pertimbangan. Namun, tidak perlu menyatakan dalam putusan bahwa alat bukti nihil;
Keterangan saksi yang menguntungkan dicantumkan setelah keterangan terdakwa. Alasannya karena bisa saja ada tambahan saksi baru setelah pemeriksaan dinyatakan ditutup;
Keterangan terdakwa yang mencabut pernyataan dipertimbangkan sebelum unsur maupun saat mempertimbangkan unsur;
Tidak perlu mencantumkan "Bahwa benar ..." dalam fakta hukum;
Dilarang mencantumkan kualifikasi pidana selain dalam diktum putusan. Alasannya karena mendahului pertimbangan apakah seseorang bersalah atau tidak;
Pertimbangan unsur pasal tidak harus urut sesuai rumusan undang-undang. Lebih mudah mempertimbangkan unsur objektif terlebih dahulu dan unsur subjektif kemudian;
Pertimbangan "barang siapa" atau "setiap orang" tidak perlu membahas kemampuan bertanggungjawab secara pidana;
Dua keterangan saksi = dua alat bukti yang cukup menghukum terdakwa;
Keadaan yang meringankan bagi terdakwa yang dihukum dengan pidana mati atau seumur hidup adalah "nihil";
Dilarang menyebutkan unsur dakwaan sebagai keadaan yang memberatkan. Contohnya dalam perkara pembunuhan menyebutkan keadaan yang memberatkan: "Perbuatan terdakwa mengakibatkan korban meninggal dunia";
Pernyataan yang bersifat negatif tidak perlu dicantumkan dalam amar putusan;
Kehadiran pihak dalam putusan penting untuk menentukan sejak kapan suatu putusan dihitung BHT.
Sumber: Modul Diklat Tahap 3 Pelatihan Calon Hakim Terpadu Peradilan Umum
0 notes
Text
Apt. vs. Apa Sih: Inspirasi atau Plagiasi?
Di Desember 2024, grup musik Radja merilis video musikterbaru berjudul Apa Sih. Lagu ini masih kental dengan genre rok yang telah menjadi identitas Radja, dipadukan dengan tren irama musik koplo. Namun, single ini nyatanya justru memicu kontroversi. Menurut warganet dan kalangan pengamat, Apa Sih memiliki terlalu banyak kemiripan dengan tembang berjudul Apt.. Padahal, Apt. telah terlebih dahulu dipopulerkan oleh Rosé dan Bruno Mars pada Oktober 2024.
Dalam kolom deskripsi video, Radja memang telah mencantumkan bahwa Apa Sih “terinspirasi” oleh Apt.. Dari segi visualnya saja, terdapat beberapa elemen spesifik video Apa Sih yang identik dengan Apt., misalnya warna merah jambu yang mendominasi sampul lagu. Model video Apa Sih juga diperankan oleh Vadel Bedijeh, kreator konten dengan ciri rambut keriting khas Bruno Mars. Di salah satu klip, Vadel bahkan terlihat mengenakan jaket kulit dan kacamata sambil berakting menggebuk drum. Dalam tayangan ini, Vadel tidak sendiri. Ia ditemani seorang wanita muda yang memakai jaket kulit hitam dan model rambut cepol─mirip dengan tampilan Rosé di video musik Apt..
Apt. tidak hanya “menginspirasi” visual video musik Apa Sih, tetapi juga memengaruhi struktur musik serta progresi akor dan melodinya. Salah satu kemiripannya terletak di pola repetisi vokal pada intro Apa Sih (“Apa sih / Apa sih / Euehh, aha, aha”) yang identik dengan Apt. (“Apateu / apateu / Uh, uh-huh, uh-huh”). Menurut berita terbaru, lagu Apa Sih kini bahkan sudah tak tersedia lagi di Spotify, diduga disebabkan oleh isu plagiasi Apt.. Fenomena ini selanjutnya menimbulkan pertanyaan: sejauh mana suatu karya dapat diakui sebagai hasil inspirasi atau justru merupakan tindakan plagiasi?
Dalam konteks produksi musik yang sifatnya abstrak, memang sulit untuk menarik batas tegas tindakan plagiasi. Sebagai regulasi yang mengatur tentang perlindungan kekayaan intelektual, UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sama sekali tidak mengatur mengenai indikator maupun definisi plagiarisme. Namun jika merujuk pada KBBI, plagiat didefinisikan sebagai pengambilan karangan orang lain dan menjadikannya seolah-olah milik sendiri, sedangkan plagiarisme merupakan penjiplakan yang melanggar hak cipta.
Di Amerika Serikat, dikenal sebuah metode yang disebut sebagai standar kesamaan substansial (substantial similarity) untuk menguji plagiarisme dalam suatu sengketa hak cipta. Proses ini melibatkan dua jenis pengujian yang disebut dengan uji ekstrinsik dan uji intrinsik. Uji ekstrinsik menganalisis elemen-elemen objektif pada suatu karya musik, seperti melodi, harmoni, ritme, atau struktur lainnya. Dalam tahap ini, penggugat dapat mengajukan analisis diseksi dan keterangan ahli untuk menelaah berbagai kriteria objektif di suatu karya musik. Setelah itu, pemeriksaan dilanjutkan dengan uji intrinsik, yakni suatu tahapan pengetesan berdasarkan persepsi subjektif juri sebagai individu biasa. Juri nantinya akan menilai apakah suatu konsep dan nuansa keseluruhan dari kedua karya memang serupa. Pada tahun 2018, standar kesamaan substansial digunakan dalam perkara gugatan hak cipta yang diajukan oleh ahli waris musisi Marvin Gaye terhadap lagu Blurred Lines karya Pharrell Williams et al. (Olivia Lattanza, 2019).
Di Indonesia, prinsip kesamaan substansial termuat pada Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Menurut ketentuan ini, penggunaan seluruh atau sebagian yang substansial dalam suatu karya cipta tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta selama sumbernya dicantumkan. Berdasarkan penjelasan pasal, “sebagian yang substansial” didefinisikan sebagai bagian terpenting dan khas yang menjadi ciri dari suatu ciptaan.Namun, penggunaan suatu ciptaan dalam konteks ini hanya terbatas untuk keperluan edukasi, penelitian, karya ilmiah, peradilan, penyelenggaraan pemerintahan, pementasan yang tidak memungut biaya, dll.
Karena musik hanya memiliki 12 not kromatis, kemiripan karya musisi sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar dan sering terjadi. Beberapa pendapat menetapkan delapan bar (8 bar rule) sebagai batas plagiasi, sedangkan sebagian lain memberi batasan yang jauh lebih ketat: hanya sejumlah dua bar. Jika ditelisik, Apt. pun sebenarnya memiliki kesamaan ritme dan komposisi yang juga identik dengan lagu lain. Entakan di intro drumnya mirip dengan tembang populer seperti Girlfriend (Avril Lavigne) dan Shake it Off (Taylor Swift). Sementara itu, progresi akor IV–V–vi–I pada pre-chorus lagu Apt. adalah pola yang sering digunakan di berbagai karya hit lain, seperti Judas (Lady Gaga), So Am I (Ava Max), serta Night Changes (One Direction). Namun, kolaborasi segar Rosé dan Bruno Mars nyatanya mampu menyuntikkan nyawa baru, menciptakan ciri khas yang membedakan Apt. dengan lagu-lagu sejenis. Kreativitas musisi seperti inilah yang menjadi kriteria penting untuk membedakan suatu kreasi autentik dengan tindakan plagiasi.
0 notes
Text
Jangka Waktu BHT bagi Tergugat Melalui Pemberitahuan Umum
Pasal 84 RV (s. d. u. dg. S. 1889-31; S. 1908-522; S. 1916-530.) Keputusan dianggap sudah selesai dilaksanakan:
dalam hal pelaksanaan putusan tentang benda bergerak, setelah diadakan penjualan;
dalam hal putusan pembayaran sejumlah uang kepada pihak-ketiga, setelah pembayaran kepada pihak ketiga;
dalam hal pelaksanaan putusan (uitwinning) benda tetap, pada hari ketiga puluh setelah pemberitahuan pertama seperti ditentukan dalam pasal 517;
dalam hal perceraian atau pisah meja dan ranjang, setelah diberitahukan kepada tergugat dan diumumkan dengan cara seperti ditentukan dalam pasal 843 dan juga sesudah lewat sembilan puluh hari setelah diberitahukan maupun setelah lewat tiga puluh hari sesudah diumumkan. Perlawanan yang dilakukan dalam jangka waktu tersebut di atas dan dengan cara seperti ditentukan di bawah ini, mencegah pelaksanaan putusan hakim, bila hal itu tidak diperintahkan oleh hakim meskipun ada perlawanan. (Rv. 54 dst., 82 dst., 86, 91 dst., 385, 389, 408 dst., 442, 466 dst., 587 dst., 590, 603.)
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jangka waktu BHT bagi tergugat yang diberitahukan melalui pemberitahuan umum adalah 30 hari. Aturan jangka waktu 14 hari upaya hukum verset dalam HIR/RBg hanya berlaku bagi tergugat yang diketahui alamatnya.
0 notes
Text
Penerapan Delik Permufakatan Jahat dan Percobaan dalam UU Narkotika
Dalam doktrin, dikenal berbagai bentuk pembagian jenis delik pidana. Salah satunya adalah pembagian antara delik sempurna (delicta sui generis) dan delik tidak sempurna (onvolkomen delictsvorm). Contoh delik sempurna adalah seluruh kejahatan dan pelanggaran dalam Buku II dan Buku III KUHP. Di sisi lain, contoh delik tidak sempurna adalah percobaan dan penyertaan dalam Buku I KUHP.
Percobaan dan penyertaan termasuk dalam delik tidak sempurna karena tidak memiliki rumusan delik. Dari segi sistematika, percobaan dan penyertaan juga termasuk dalam Buku I. Konsekuensinya, percobaan dan penyertaan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus di-juncto-kan dengan delik kejahatan atau pelanggaran. Contoh: Pasal 362 jo. Pasal 53 KUHP ("percobaan pencurian").
UU Narkotika mengatur secara khusus mengenai pengertian permufakatan jahat dan percobaan. Menurut Pasal 1 angka 18 UU Narkotika, permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana narkotika. Artinya, permufakatan jahat hanya berlaku jika suatu tindak pidana belum terwujud. Apabila ada dua orang atau lebih yang bersama-sama melakukan tindak pidana narkotika, maka yang berlaku adalah Pasal 55 KUHP yang mengatur tentang penyertaan (deelneming). Selanjutnya, penjelasan Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika mendefinisikan "percobaan" sebagai tindakan yang memenuhi unsur-unsur niat, adanya permulaan pelaksanaan, akan tetapi tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Jika dihubungkan dengan sistematika UU Narkotika yang mencantumkan Pasal 132 dalam Bab XV Ketentuan Pidana, maka dapat disimpulkan bahwa Pasal 132 UU Narkotika termasuk sebagai delik sempurna yang berdiri sendiri. Dengan konstruksi berpikir ini, penerapan Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika hanya mengancam pelakunya dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129. Contoh: seseorang didakwa karena permufakatan jahat menjual narkotika jenis sabu-sabu. Sesuai ancaman Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika, maka terdakwa hanya bisa dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun, tanpa perlu dikenai denda.
0 notes
Text
Jaminan Pembayaran Utang Debitur
Pasal 1131 KUH Perdata: "Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu."
0 notes
Text
Asas Kepribadian dalam Hukum Perjanjian
Pasal 1315 KUHPer Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan pengikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.
Pasal 1340 KUHPer Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan dalam pasal 1317.
0 notes
Text
Bimtek Perempuan Berhadapan dengan Hukum
Hindari pertanyaan yg mengandung stereotip gender;
Tawarkan PBH utk mendapat pendamping. Hakim tdk bisa menolak kehadiran pendamping krn diatur dlm UU TPKS & Perma PBH;
UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) mengakui barang bukti dan keterangan testimonium de auditu diakui sebagai instrumen alat bukti yang sah (bewijsmiddelen);
Hakim mesti memberitahu korban tentang haknya meminta ganti rugi melalui penggabungan perkara, gugatan biasa, atau permohonan restitusi sebagaimana ketentuan Pasal 8 Perma Nomor 3 Tahun 2017. Pemberitahuan ini harus dicantumkan dalam pertimbangan putusan karena menurut Pasal 16 UU TPKS, hakim wajib menetapkan besarnya restitusi terhadap tindak pidana kekerasan seksual yang diancam dengan pidana penjara empat tahun atau lebih;
Pengaburan identitas dalam putusan.
0 notes
Text
Menegakkan Praduga Tak Bersalah dalam Perkara Kekerasan Seksual
Sebagai negara hukum, salah satu pilar fundamental dalam penegakan hukum itu sendiri adalah pemberlakuan asas praduga tak bersalah. Prinsip ini termaktub pada Penjelasan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa setiap orang wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Konsekuensinya, kehadiran negara yang direpresentasikan oleh kejaksaan harus membuktikan terdakwa telah melakukan tindak pidana melalui prosedur ketat acara pembuktian.
Kekerasan seksual adalah salah satu bentuk tindak pidana dengan tingkat kompleksitas paling tinggi. Alasannya adalah karena kerap kali delik tersebut terjadi di ruang tertutup tanpa ada yang mengetahui selain pelaku dan korban. Padahal, hukum acara menentukan setidaknya harus ada minimal dua alat bukti untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang. Selain itu, penyintas kekerasan seksual dalam budaya patriarki juga sangat rentan dengan pandangan victim blaming (menyalahkan korban), menanggung rasa malu, dan mengalami secondary victimisation (viktimisasi sekunder).
Seiring kemajuan teknologi, media sosial menjadi instrumen yang sangat efektif untuk mengungkap terjadinya tindak pidana kekerasan seksual. Pada bulan Januari 2023, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia adalah sejumlah 60,4% dari total populasi atau setara 167 juta orang. Dengan angka semasif itu, informasi yang disebarkan melalui media sosial sangat efektif meningkatkan atensi publik sekaligus memberi tekanan pada aparat untuk segera menindaklanjuti kebenarannya.
Meskipun menjadi salah satu solusi bagi masyarakat marginal untuk mengakses keadilan, anonimitas media sosial nyatanya dapat menjadi senjata untuk mendiskreditkan kredibilitas orang lain. Baru-baru ini, mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta berinisial RAN ditangkap polisi karena menyebarkan hoaks isu pelecehan seksual melalui platform X yang dilakukan oleh MF. Setelah ditelusuri, motivasi RAN ternyata karena merasa iri dan sakit hati pada MF. Akibatnya, MF mengklaim mengalami pengancaman dan penyebaran identitas pribadi (doxing).
Selain masyarakat biasa seperti MF, pemengaruh seperti Gofar Hilman hingga aktor kaliber internasional seperti Kim Seon Ho pun pernah tersandung masalah yang sama. Pada Agustus 2021, Gofar dituduh telah melakukan pelecehan seksual di sebuah klub malam yang terletak di kota Malang. Imbasnya, banyak kontrak kerja yang diputus hingga mengakibatkan Gofar terdepak dari usaha gerai burger Lawless. Namun pada Februari 2022, sang korban mengklarifikasi bahwa peristiwa pelecehan ternyata sama sekali tidak pernah terjadi. Peristiwa serupa menimpa Kim Seon Ho yang pada tahun 2021 diwartakan telah memaksa kekasihnya untuk menggugurkan kandungan. Sempat terkena cancel culture dalam bentuk pembatalan kontrak dan iklan, tuduhan terhadap Kim Seon Ho hingga kini akhirnya tidak pernah terbukti.
Menentukan Titik Kesetimbangan
Tanpa bermaksud mengecilkan trauma dari korban kekerasan seksual, perlu ditemukan keseimbangan antara instrumen hukum yang berpihak pada korban serta prinsip praduga tak bersalah yang melindungi hak asasi pelaku. Terhadap terduga korban, penting bagi mereka untuk memperoleh dukungan moral, pendampingan hukum, dan pemulihan trauma psikologis. Namun di pihak lain, tak kalah pentingnya pula bagi publik memberi hak tertuduh untuk dianggap tak bersalah hingga ada putusan pengadilan. Selain itu, tertuduh juga mesti diberikan ruang memberikan pernyataan serta klarifikasi. Hal ini merupakan bentuk dari prinsip audi et alteram partem yang berarti “dengarkanlah pihak lain”. Seluruh klaim ini pada akhirnya akan diuji di pengadilan.
Dalam konteks penggunaan media sosial, warganet setidaknya perlu memiliki beberapa pemahaman dalam merespons berita dugaan terjadinya kekerasan seksual. Pertama, adalah edukasi mengenai konsep praduga tak bersalah. Tujuannya adalah demi menghindari komentar fitnah atau pencemaran yang belum terbukti validitasnya terhadap korban maupun pelaku. Dalam kasus hoaks di Universitas Negeri Yogyakarta, identitas dan foto MF bahkan sudah terlanjur tersebar sehingga mustahil dipulihkan bahkan setelah nama baiknya direhabilitasi. Kedua, menjaga penyintas kekerasan seksual dari stigma yang menyalahkan korban, mempermasalahkan latar belakang seksualitas, membenarkan bias gender, atau mengeluarkan pernyataan yang mengandung stereotip. Ketiga, menggunakan media sosial sebagai alat pengawasan partisipatif terhadap aparat penegak hukum dalam penanganan suatu isu yang tengah berkembang. Fitur like, komentar, dan bagikan telah terbukti sangat mempengaruhi perhitungan algoritma media sosial yang akhirnya membentuk persepsi masyarakat tentang pengambilan kebijakan publik, termasuk dalam bidang penegakan hukum.
Di samping pengguna media sosial, jurnalistik juga berperan sebagai alat kontrol untuk menerbitkan pemberitaan yang netral. Hal ini diatur pada Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik yang menyatakan wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Dengan kata lain, asas praduga tak bersalah tak hanya berlaku terhadap penegak hukum, akan tetapi wajib dipedomani pula oleh jurnalis. Selanjutnya, Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik juga melarang wartawan untuk menyiarkan identitas korban kejahatan asusila. Di sisi lain, pemberitaan juga harus memperhatikan privasi terduga pelaku untuk mencegah penyebarluasan informasi pribadi secara publik sebagaimana dalam kasus di Universitas Negeri Yogyakarta. Advokat dan peneliti Nenden S. Arum berpendapat bahwa media seharusnya fokus untuk mengekspos kasus, alih-alih menyebarkan informasi tentang identitas karena berpotensi mengakibatkan doxing.
0 notes
Text
Cacat Logika ‘Banyak Belajar Banyak Lupa’
‘Banyak belajar banyak lupa; sedikit belajar sedikit lupa’ adalah “aksioma” yang kerap saya dengar saat masih menempuh pendidikan kuliah 15 tahun lalu. Saya mafhum sekali bahwa kalimat tersebut sebenarnya hanya guyonan menjelang ujian ketika para mahasiswa tengah berjibaku membaca materi. Pelajaran satu semester yang seharusnya berangsur-angsur dipelajari justru dirapel semalam suntuk. Jadilah, keesokan harinya hasil hafalan ala proyek Roro Jonggrang tersebut tercecer berantakan karena sekedar dibaca tanpa dipahami esensinya.
Menteri Propoganda Nazi Paul Joseph Goebbels pernah berkata, “Jika Anda mengatakan kebohongan sebesar apa pun dan terus mengulanginya, orang pada akhirnya akan percaya.” Walaupun sekedar gurauan, akan tetapi saya khawatir generasi masa depan akan menjadi enggan belajar dengan justifikasi banyak belajar banyak lupa. Apalagi berdasarkan skor Programme for International Student Assessment (PISA) 2022–studi untuk mengevaluasi sistem pendidikan negara pada bidang matematika, sains, dan kemampuan membaca–rerata siswa Indonesia duduk di peringkat 69 dari total 81 negara peserta. Sebagai perbandingan, Palestina sebagai negara yang berkonflik menduduki peringkat 72; hanya minus 8 poin dari Indonesia.
Cacat logika atau logical fallacy adalah proses penalaran yang keliru, akan tetapi sekilas tampak masuk akal. Hal ini berlaku pula terhadap pernyataan ‘banyak belajar banyak lupa’, yakni cacat logika dalam kategori whataboutism. Secara terminologis, whataboutism berarti menjawab kritikan dengan mengangkat isu lain yang tidak relevan demi melegitimasi tindakannya. Sebagai contoh, pemimpin oposisi Keir Starmer pernah mengkritik skandal partygate yang melibatkan PM Inggris Boris Johnson. Menanggapinya, Johnson berusaha mengalihkan perhatian dengan (secara keliru) menuduh Starmer karena gagal menuntut predator seksual Jimmy Savile ketika menjabat sebagai kepala penuntutan. Dalam situasi ini, kasus Savile yang dikemukakan Johnson bertujuan agar perhatian publik teralih dari permasalahan utama, yakni peristiwa partygate.
Pada konteks ‘banyak belajar banyak lupa’, terjadi whataboutism berupa keterbatasan otak untuk mengingat informasi dijadikan pembenaran untuk ‘sedikit belajar agar sedikit lupa’. Memang betul, lupa merupakan kondisi manusiawi disebabkan pemodelan ulang sirkuit yang mengatur reaktivasi ensambel neuron atau disebut juga sebagai sel engram. Namun demikian, kondisi ‘lupa’ tidak serta merta dapat melegitimasi argumen untuk sedikit belajar. Apabila konsisten dengan cara berpikir tersebut, lalu apa faedahnya mandi jika akhirnya kotor lagi? Apa gunanya makan jika akhirnya juga akan tetap lapar?
Dunning–Kruger effect
Pada tahun 1995, McArthur Wheeler merampok dua bank di Pittsburgh tanpa usaha sama sekali untuk menyamarkan wajahnya. Perampokan tersebut terjadi di siang bolong di bawah pengawasan kamera keamanan–dan Wheeler jelas menyadarinya. Polisi tentu langsung mengidentifikasi pelaku dengan mudah dan menjemput Wheeler pada malam hari yang sama. “But I wore the lemon juice!” gerutunya saat ditangkap.
Berdasarkan hasil interogasi polisi, Wheeler percaya melumuri jus lemon ke wajah akan membuatnya tak terdeteksi oleh kamera keamanan–walaupun mata dan mukanya terasa terbakar. Apalagi ketika mencoba memfoto dirinya dengan polaroid, wajahnya tak terekam. Dari sini, Wheeler yakin asumsinya memang benar. Padahal menurut polisi, hal ini bisa disebabkan karena: 1) roll film yang buruk; 2) pengaturan kamera tidak tepat; atau 3) Wheeler mengarahkan kamera menjauh dari wajahnya pada saat pengambilan foto.
David Dunning dan Justin Kruger di tahun 1999 mempublikasikan jurnal psikologi dengan hasil kesimpulan bahwa dalam tugas tertentu, orang dengan kemampuan rendah sering kali menilai dirinya lebih kompeten dibanding orang lain. Mereka memiliki beban ganda (dual burden). Pertama, kurangnya keterampilan menyebabkan mereka keliru melakukan sesuatu. Kedua, mereka tidak memiliki cukup informasi untuk mendeteksi ketidakmampuan karena minimnya pengetahuan dan penilaian. Temuan ini lalu dikenal sebagai Dunning–Kruger effect danmerupakan suatu bias kognitif disebabkan kegagalan metakognitif otak untuk mengukur kapabilitas diri sendiri. Filsuf Imam al-Ghazali pernah membahas hal yang sama serta menggolongkan mereka sebagai “orang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu”. Namun, perlu ditekankan Dunning–Kruger effect tidak berlaku terhadap kecerdasan secara umum, akan tetapi hanya terbatas pada penilaian keterampilan tertentu.
Anak-anak Indonesia tidak tahu betapa bodohnya mereka
Skor PISA yang dirilis tahun 2012 menunjukkan sebanyak 42% siswa Indonesia yang berusia 15 tahun tidak mencapai tingkat kemahiran terendah dalam bidang matematika. Di bidang sains, 25% siswa Indonesia tidak mencapai tingkat kemahiran terendah, sedangkan 42% lainnya berada di tingkat 1. Literasi membaca sedikit lebih baik dengan 45% siswa telah berhasil menunjukkan “tingkat kemahiran dasar”. Menariknya, Indonesia adalah negara dengan anak-anak yang paling merasa bahagia di sekolah. Lebih dari 95% mengatakan bahwa mereka bahagia di sekolah, dibandingkan dengan 85% di Shanghai yang memiliki skor PISA tertinggi.
Berdasarkan data di atas, epidemiolog dan penulis Elizabeth Pisani berasumsi siswa yang kurang kompeten merasa lebih bahagia di sekolah. Dalam artikel berjudul Indonesian kids don’t know how stupid they are, ia menyampaikan keprihatinan atas fakta “anak-anak Indonesia mungkin tidak menyadari betapa parah kegagalan sistem sekolah mereka”. Hal ini berdasarkan statistik bahwa hampir sekitar 95% siswa menilai sekolah telah cukup mempersiapkan mereka untuk pekerjaan di masa depan. Padahal, sekedar bahagia di sekolah tidak menjamin seseorang bahagia di masa depan.
Menghindari whataboutism
Agar tidak terjebak pada whataboutism ‘banyak belajar banyak lupa’, belajar sebaiknya dipahami sebagai proses kognitif untuk memperoleh pemahaman secara menyeluruh mengenai suatu keterampilan atau disiplin ilmu. Walaupun lupa merupakan kondisi alamiah yang tak terhindarkan, akan tetapi tujuan belajar adalah untuk melatih diri berpikir kritis, logis, serta membuat otak lebih siap memecahkan masalah.
Dr. Daniela Palombo menyarankan siswa yang akan menempuh ujian supaya memberi jarak pembelajaran selama beberapa minggu. “Ruang yang lebih panjang menghasilkan retensi yang lebih lama,” ujarnya. Justru yang lebih berbahaya adalah terperangkap dalam bias Dunning–Kruger, yakni minimnya informasi justru menimbulkan ilusi kepercayaan diri yang tidak sebanding dengan kemampuan sesungguhnya.
0 notes
Text
Tabel Surat Tercatat SEMA Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penggilan dan Pemberitahuan Melalui Surat Tercatat
0 notes
Text
Ketidakhadiran Saksi Korban Delik Aduan di Persidangan Mengakibatkan Dakwaan Tidak Dapat Diterima
Berdasarkan relasi antara pelaku dengan korban, doktrin membagi delik aduan menjadi dua jenis, yakni delik aduan absolut (mutlak) dan relatif (nisbi). Aduan absolut adalah delik yang mensyaratkan pengaduan dalam kondisi apa pun, salah satunya tercantum pada Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE). Hal ini dapat disimpulkan dari bunyi Pasal 45 UU ITE bahwa “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan delik aduan” yang merujuk pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sehubungan dengan aturan Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP yakni hakim pertama-tama mendengar keterangan saksi korban, putusan Pengadilan Negeri Serang dalam perkara Nikita Mirzani berikut ini dapat menjadi rujukan mengenai konsekuensi jika penuntut umum gagal menghadirkan saksi korban di persidangan.
Pada akhir tahun 2022 lalu, figur publik kontroversial Nikita Mirzani didakwa oleh Kejaksaan Negeri Serang karena mengunggah konten penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap mengenai Mahendra Dito melalui Instagram Stories. Atas perbuatan tersebut, penuntut umum lalu mendakwa Nikita Mirzani dengan tiga dakwaan berbentuk alternatif, kesatu: Pasal 36 jo. Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 51 Ayat (2) UU ITE; atau kedua: Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU ITE; atau ketiga: Pasal 311 KUHP.
Setelah menjatuhkan putusan sela yang menolak seluruh keberatan penasihat hukum terhadap surat dakwaan, majelis hakim Pengadilan Negeri Serang lalu memerintahkan supaya penuntut umum terlebih dahulu menghadirkan saksi korban atas nama Mahendra Dito. Pertimbangan ini didasarkan pada ketentuan Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP yang menyatakan: “Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi”. Namun setelah dipanggil tiga kali pada hari Senin tanggal 12 Desember 2022, hari Kamis tanggal 15 Desember 2022, dan hari Kamis tanggal 19 Desember, penuntut umum masih tidak mampu menghadirkan Mahendra Dito di persidangan. Karena itu, majelis hakim lalu menerbitkan Penetapan Nomor 853/Pid.Sus/2022/PN Srg tanggal 19 Desember 2022 yang memerintahkan agar penuntut umum menghadirkan saksi atas nama Mahendra Dito dengan bantuan alat negara, yakni aparat Kepolisian Republik Indonesia. Namun, hingga persidangan hari Kamis tanggal 29 Desember 2022, penuntut umum ternyata masih tidak mampu menghadirkan Mahendra Dito. Bahkan menurut laporan baik dari penuntut umum maupun Terdakwa Nikita Mirzani, “diketahui yang bersangkutan telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia.”
Terhadap kegagalan penuntut umum menghadirkan saksi korban, majelis hakim Pengadilan Negeri Serang pertama-tama mempertimbangkan bahwa Pasal 45 ayat (3) jo. Pasal 27 UU ITE yang digunakan untuk mendakwa Nikita Mirzani secara tidak langsung telah mengadopsi pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009. Kaidah norma dari kedua putusan tersebut pada pokoknya adalah Pasal 27 ayat (3) UU ITE “tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delicht yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut”. Dengan alasan tersebut, majelis hakim selanjutnya menilai kehadiran saksi korban dalam delik aduan “sangat dibutuhkan untuk mencari kebenaran materiil”. Namun karena Mahendra Dito sebagai saksi korban tidak hadir guna “kepentingan pemeriksaan perkara a quo yang merupakan delik aduan” tanpa alasan yang sah menurut ketentuan Pasal 162 ayat (1) KUHAP (meninggal dunia, terdapat halangan yang sah, jauh tempat kediaman/tempat tinggalnya, atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara), maka majelis hakim menolak jika keterangan Mahendra Dito pada Berita Acara Pemeriksaan Kepolisian untuk sekedar dibacakan. Apalagi, keterangan tersebut juga “tidak didukung dengan Berita Acara Penyumpahan Saksi di depan Penyidik”.
Berdasarkan fakta tersebut di atas, maka majelis hakim lalu menilai “saksi korban Mahendra Dito pun terlihat tidak mempunyai itikad baik dan tidak bersungguh-sungguh dengan aduannya terhadap Terdakwa”. Selanjutnya, demi menghindari “tunggakan perkara disebabkan ketidakseriusan Penuntut Umum” serta “tidak ada jaminan lagi Penuntut Umum dapat menghadirkan saksi korban atas nama Mahendra Dito di persidangan”, majelis hakim beranggapan bahwa “cukup alasan hukum untuk menyatakan Penuntutan Penuntut Umum tidak diterima”. Dalam putusan Nomor 853/Pid.Sus/2022/PN Srg tanggal 29 Desember 2022, Pengadilan Negeri Serang kemudian menjatuhkan amar yang menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, memerintahkan agar Nikita Mirzani segera dibebaskan, dan memerintahkan supaya berkas perkara dikembalikan kepada penuntut umum.
Upaya hukum banding penuntut umum
Pasca dibebaskannya Terdakwa Nikita Mirzani, Kejaksaan Negeri Serang lalu mendaftarkan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Banten dalam register Nomor 12/PID.SUS/2023/PT BTN. Namun, Pengadilan Tinggi Banten menilai keberatan penuntut umum tidak berdasarkan hukum dan oleh karenanya haruslah dikesampingkan. Pada amar yang dijatuhkan tanggal 16 Februari 2023 tersebut, Pengadilan Tinggi Banten akhirnya menguatkan putusan Pengadilan Negeri Serang Nomor 853/Pid.Sus/2022/ PN Srg yang dimintakan banding. Karena penuntut umum tidak mengajukan kasasi, maka putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor 12/PID.SUS/2023/PT BTN dengan sendirinya telah berkekuatan hukum tetap.
Kaidah hukum
Dari putusan Pengadilan Negeri Serang Nomor 853/Pid.Sus/2022/PN Srg yang dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Banten, terdapat beberapa kaidah hukum yang disimpulkan, yaitu:
dalam delik aduan, ketidakhadiran saksi korban sekaligus pengadu tanpa disertai alasan yang sah mengakibatkan dakwaan tidak dapat diterima. Hal ini disebabkan karena Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP menyatakan bahwa hakim pertama-tama mendengar keterangan saksi korban;
meskipun norma Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP tidak memuat sanksi jika dilanggar atau bersifat lex imperfecta, akan tetapi sebagai wujud judicial activism, hakim berwenang untuk menjatuhkan putusan bahwa tuntutan tidak dapat diterima secara ex officio (karena jabatan) jika terdapat ketentuan hukum acara yang dilanggar;
sesuai dengan asas peradilan cepat (speedy trial) dan biaya ringan, putusan bahwa tuntutan tidak dapat diterima karena tidak terpenuhinya aturan hukum acara dapat dijatuhkan seketika tanpa perlu menunggu proses pembuktian berlanjut.
0 notes