Tumgik
rz18 · 8 years
Text
Lowongan volunteer desainer grafis, WWF-Indonesia
Apakah anda peduli lingkungan dan ingin berkontribusi dalam beberapa upaya perlindungan laut di Indonesia melalui jalur kreativitas? Ini kesempatan untuk Anda untuk bergabung dalam organisasi konservasi terbesar di Indonesia, WWF-Indonesia. Jadilah bagian dari tim marine conservation science sebagai volunteer desainer grafis yang akan membantu mentransformasi fakta-fakta ilmiah menjadi produk kreatif visual untuk publik.
Kami membuka kesempatan untuk para desainer grafis muda dan handal untuk bekerja dalam tim dengan ketentuan sebagai berikut:
-          Memiliki latar belakang atau kemampuan desain grafis (bisa dengan Corel/Adobe/keduanya)
-          Bisa melakukan pekerjaan desain grafis, termasuk pembuatan layout, desain/gambar, infografis, dll;
-          Mampu bekerja dalam tim;
-          Memiliki waktu yang cukup fleksibel;
-       Lebih baik lagi jika memiliki kemampuan mengelola website (mengerti bahasa html, dll).
Kenapa anda harus bergabung?
-          Anda akan mendapatkan pengalaman bekerja di lembaga konservasi terbesar di Indonesia, yang memiliki 28 kantor di 17 provinsi dari Aceh hingga Papua, dengan lebih dari 500 staf dan didukung oleh lebih dari 64.000 supporter.
-          Anda akan mendapatkan pengalaman unik dan langsung dalam mentransformasi berbagai fakta-fakta ilmiah menjadi  berbagai produk visual yang menarik dan mudah dipahami.
-          Jam kerja kami fleksibel! Sehingga Anda bisa menyesuaikannya dengan pekerjaan/kegiatan lain.
-          Untuk menghemat footprint, Anda bisa bekerja di rumah atau dimanapun anda suka, karena tidak perlu sering datang ke kantor WWF-Indonesia.
Bagaimana mekanisme voluntir berjalan?
-          Anda akan bekerja dalam tim desainer grafis (2-3 orang) yang Anda akan bentuk sendiri.
-          Tim marine conservation science akan memberikan tugas secara bertahap serta panduan yang harus diselesaikan oleh tim. Kami juga membuka tangan apabila tim mengalami hambatan atau butuh masukan dalam menyelesaikan pekerjaan.
-          Durasi untuk kegiatan voluntir berlangsung dari bulan April hingga Juli 2016. Durasi setiap tugas berkisar antara 3 hari hingga beberapa minggu, dan biasanya ada jeda waktu antar tugas. Untuk durasi dan kapan waktu pengerjaan tiap tugas akan didiskusikan dan disepakati bersama antar tim marine conservation science dengan tim desainer grafis.
-          Tim desainer grafis hanya perlu sesekali datang ke kantor, bila diminta, untuk  berkoordinasi dengan tim marine conservation science atau tim communication.
-          WWF-Indonesia akan memberikan kompensasi uang perjalanan untuk setiap individu dalam tim sesuai dengan standard WWF-Indonesia, dihitung berdasarkan jumlah hari kerja yang telah disepakati.
-          Nama Anda atau nama tim (jika ada) akan masuk sebagai desainer grafis untuk setiap produk visual kreatif yang dihasilkan, dengan ketentuan mengacu kepada panduan publikasi WWF-Indonesia.
Bagaimana caranya Anda bergabung?
Kirimkan CV anggota tim anda (antara 2 hingga 3 orang) dan informasikan kepada kami siapa yang akan menjadi ketua tim. Jangan lupa sertakan minimal 2 contoh produk visual kreatif atau portofolio yang tim atau individu dalam tim pernah buat. CV dan contoh produk/portofolio harus dikirimkan ke Ignatia Dyahapsari ([email protected]) dan Novita Eka Syaputri ([email protected]) paling lambat tanggal 10  April 2016. Jika tim Anda terpilih, kami akan menghubungi Anda sewaktu-waktu dalam rentang waktu bulan April hingga Juli 2016.
0 notes
rz18 · 8 years
Text
Tangan-Tangan Buntung
with 51 comments
     81 suara
Tidak mungkin sebuah negara dipimpin oleh orang gila, tidak mungkin pula sebuah negara sama-sekali tidak mempunyai pemimpin.
Selama beberapa hari terakhir, sementara itu, semua gerakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat segera disyahkan sebagai presiden baru. Karena Nirdawat tidak bersedia, maka akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika suhu udara sejuk dan langit kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat mengelilingi rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada memohon, agar untuk kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia menjadi presiden.
Akhirnya beberapa di antara mereka masuk ke dalam rumah Nirdawat, lalu dengan sikap hormat mereka memanggul Nirdawat beramai-ramai menuju ke Gedung M.P.R. Sementara itu, teriakan-teriakan ”Hidup Presiden Nirdawat,” terus-menerus berkumandang dengan nada penuh semangat, namun sangat syahdu.
Demikianlah, semua anggota M.P.R. menyambut kedatangan Nirdawat, dan segera menggelandang Nirdawat dengan halus dan penuh hormat untuk tampil di mimbar.
Ketua M.P.R. pun berpidato, singkat tapi padat. Inti pidato: rakyat sangat merindukan pemimpin yang baik, dan pemimpin yang baik itu tidak lain dan tidak bukan adalah Nirdawat. Maka Jaksa Agung dengan khidmat melantik Nirdawat sebagai Presiden Republik Demokratik Nirdawat (bukan salah cetak, memang presidennya bernama Nirdawat, dan nama negaranya diambil dari nama presidennya).
Setelah menyampaikan pidato pelantikannya sebagai Presiden, dalam hati Nirdawat berkata kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan bekerja dengan sebaik-baiknya, dan sebelum masa jabatannya berjalan satu tahun, dia tidak akan pergi ke luar negeri dengan alasan apa pun. Banyak persoalan dalam negeri harus dia hadapi, dan semuanya itu akan diselesaikannya dengan sebaik-baiknya. Namun karena Nirdawat dikenal sebagai pribadi sederhana dan pekerja keras serta tidak mementingkan diri sendiri, maka begitu banyak pemimpin negara berkunjung ke Republik Demokratik Nirdawat, tentu saja khusus untuk menemui Presiden Nirdawat.
Hasil pembicaraan dengan sekian banyak pimpinan negara itu mudah diterka: kesepakatan kerja sama dalam perdagangan, pendidikan, kesehatan, industri, dan kebudayaan. Ujung dari semua kesepakatan juga mudah diterka: dengan tulus tapi bersifat mendesak, semua pemimpin negara mengundang Presiden Nirdawat untuk mengadakan kunjungan balasan. Semua kunjungan balasan akan berlangsung paling sedikit tiga hari, karena dalam setiap kunjungan balasan, masing-masing pemimpin negara dengan bersungguh-sungguh menunjukkan kemajuan-kemajuan negaranya, dan juga kekurangan-kekurangan negaranya. Demi kepentingan semua negara, kerja sama harus segera dilaksanakan, juga dengan sungguh-sungguh.
Begitu sebuah kunjungan pemimpin asing usai, berita mengenai keengganan Presiden Nirdawat untuk melawat ke luar negeri muncul sebagai berita-berita besar, dan menarik perhatian hampir semua warga negara Republik Demokratik Nirdawat. Akhirnya, dengan berbagai cara, tokoh-tokoh masyarakat sekuler, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh pemuda menyuarakan hati nurani mereka yang tulus, bahwa untuk kepentingan negara dan bangsa, Presiden Nirdawat benar-benar diharapkan untuk memenuhi undangan sekian banyak pimpinan negara-negara asing itu. Desakan demi desakan terus berlangsung.
Terceritalah, setelah malam tiba, dalam keadaan lelah Presiden Nirdawat masuk ke kamar tidur, dipeluk oleh isterinya, kemudian digelandang ke dekat tempat tidur. Dengan lembut isterinya memberinya beberapa ciuman, kemudian melepas baju Nirdawat, lalu melepas kaos dalam Nirdawat, dan akhirnya menelungkupkan tubuh Nirdawat di tempat tidur. Kemudian, dengan lembut pula isterinya memijit-mijit punggung Nirdawat.
”Nirdawat, cobalah kita kenang kembali masa-masa pacaran kita dulu. Kita berjalan-jalan di kampus, duduk-duduk di rumput, kemudian berjalan lagi ke bawah pohon jejawi, dan berbincang mengenai keinginan-keinginan kita. Bagi kita itulah keinginan biasa, tapi bagi teman-teman, keinginan itu merupakan cita-cita mulia.”
”Cobalah kita tengok peta dunia ini,” kata Nirdawat dalam sebuah pertemuan dengan teman-temannya setelah membentangkan sebuah peta dan menggantungkannya di dinding.
Bagi mereka yang tidak pernah menghadiri pertemuan itu, amat-amatilah nama sekian banyak negara dalam peta, maka tampaklah sebuah negara yang namanya beberapa kali berubah. Setelah sekian lama nama ini berubah, akhirnya negara ini punya nama baru, yaitu Republik Demokratik Dobol, lalu berubah menjadi Republik Demokratik Abdul Jedul, lalu disusul oleh nama baru lain, yaitu Republik Demokratik Jiglong.
Bukan hanya itu. Ternyata bendera negara ini juga berubah-ubah sesuai dengan nama negaranya. Maka pernah ada bendera dengan gambar seseorang berwajah beringas bernama Dobol, lalu ada bendera dengan gambar Abdul Jedul dengan wajah garang, disusul oleh bendera bergambarkan wajah tolol Jiglong.
Mengapa nama negara dan benderanya berubah-ubah, padahal negaranya sama? Tidak lain, jawabannya terletak pada kebiasaan di negara itu: dahulu, ketika bentuk negara ini masih kerajaan dan tidak mempunyai undang-undang dasar, ada kebiasaan untuk menamakan negara itu sesuai dengan nama rajanya. Yang mewakili nama raja, dengan sendirinya adalah wajah raja, dan karena itulah, maka bendera negara juga disesuaikan dengan wajah rajanya.
Menurut cerita, seorang jendral kerajaan bernama Dobol berhasil menggulingkan kekuasaan raja terakhir, dan bentuk negara pun berubah menjadi Republik Demokratik. Republik karena negara tidak lagi dipimpin oleh raja tapi oleh presiden, dan demokratik karena siapa pun berhak menjadi presiden asalkan memenuhi syarat.
Maka, negara yang dulu diatur oleh kebiasaan tanpa undang-undang, semenjak Dobol menjadi presiden, kebiasaan pun diganti dengan undang-undang dasar. Karena Dobol beranggapan bahwa undang-undang dasar tidak boleh seluruhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, maka dalam undang-undang yang kata Dobol bersifat sementara itu pun dengan tegas mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara disesuaikan dengan nama presiden. Bendera negara pun, mau tidak mau, harus menampilkan wajah presiden.
Karena dalam kebiasaan lama masa jabatan raja tidak ada batasnya, maka, supaya undang-undang dasar tidak sepenuhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, dalam undang-undang dasar negara republik demokratik ini, pasal mengenai masa jabatan presiden pun tidak perlu dicantumkan.
Demikianlah, Dobol menjadi Presiden Republik Demokratik Dobol, dan karena masa jabatan presiden tidak ada pasalnya dalam undang-undang dasar, maka Dobol pun menjadi presiden sampai lama sekali, sampai akhirnya Sang Takdir menanam sebuah biji bernama tumor ganas dalam otak Dobol.
Meskipun akhirnya lumpuh total, semangat Dobol untuk patuh kepada undang-undang dasar masih menyala-nyala dengan semangat penuh. Dalam undang-undang dasar dinyatakan dengan tegas, siapa pun berhak menjadi presiden, asalkan memenuhi syarat. Dan seseorang yang memenuhi syarat, tidak lain adalah Abdul Jedul bukan sebagai anak Dobol, tetapi sebagai warga negara biasa yang kebetulan adalah anak presiden negara republik demokratik ini.
Demikianlah, maka Abdul Jedul menjadi Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, sampai akhirnya Sang Takdir mengulangi tugasnya sebagai penguasa hukum alam: sebuah bibit tumor ganas disisipkan ke dalam otak Abdul Jebul, dan tamatlah riwayat Abdul Jebul.
Karena, sebagaimana halnya Dobol, Abdul Jedul juga sangat setia dengan undang-undang dasar negara yang kata Dobol dulu bersifat sementara, maka jatuhlah kekuasaan presiden republik demokratik ini ke tangan Jiglong, seseorang yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden bukan karena dia anak Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, tapi karena sebagai warga negara biasa dia benar-benar memenuhi syarat untuk menjadi presiden.
Kebetulan Jiglong anak manja, malas, suka foya-foya, dan tentu saja suka main perempuan, dan karena merasa kekuasaan dan hartanya tidak mengenal batas, maka berjudi pun dia lakukan dengan penuh semangat.
Setelah Jiglong merusak negaranya sendiri selama beberapa tahun, maka Sang Takdir pun mulai melakukan gerilya: kali ini tidak dengan jalan menanamkan bibit tumor ke dalam otak, tapi membuat otak Jiglong sedikit demi sedikit miring. Maka Jiglong pun tidak bisa lagi membedakan siang dan malam, dekat dan jauh, langit dan bumi, dan yang lebih payah lagi, Jiglong tidak bisa membedakan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan. Maka, diam-diam Jiglong suka keluyuran sendiri di kampung, berusaha memperkosa perempuan, tapi ternyata laki-laki. Para pengawal pribadi dia pun sudah agak acuh tak acuh.
Akhirnya, penggulingan kekuasaan pun terjadi, tanpa tahu siapa pemimpinnya, dan tanpa pertumpahan darah sama sekali. Tanpa diketahui siapa yang memberi komando, tahu-tahu Jiglong sudah diringkus dan dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Juga tanpa diketahui siapa yang memberi komando, sekonyong-konyong serombongan anak muda merebut stasiun televisi dan radio, lalu secara spontan mengumumkan bahwa sejak saat itu nama negara diganti dengan Republik Demokratik Nirdawat, dengan bendera berwajahkan Nirdawat.
”Kau harus melakukan sesuatu, Nirdawat, sekarang juga. Aku selalu mendampingimu,” kata isterinya dengan lembut, lalu menciumi Nirdawat lagi dengan lembut pula.
Keesokan harinya keluar Dekrit Presiden, terdiri atas tiga butir, yaitu mulai hari itu nama negara diganti dengan nama baru yang tidak boleh diubah-ubah lagi, yaitu Republik Demokratik Nusantara. Itu butir pertama. Butir kedua, bendera Republik Demokrasi Nusantara harus diciptakan dalam waktu sesingkat-singkatnya, tanpa mencantumkan wajah siapa pun juga. Dan butir ketiga, masa jabatan presiden dibatasi paling banyak dua periode, masing-masing periode lima tahun.
Lagu kebangsaan, seperti yang lalu-lalu, tinggal diganti liriknya. Dulu nama raja dipuja-puji, lalu nama Dobol diangkat-angkat setinggi langit, disusul dengan pujian-pujian kepada Abdul Jedul. Terakhir, nama Jiglong dijejalkan ke dalam lagu kebangsaan, tentu saja dengan gaya puja-puji. Sekarang nama orang dihapus, diganti dengan nama negara, yaitu Republik Demokratik Nusantara.
Maka, sesuai dengan tugasnya, mau tidak mau Nirdawat sering melawat ke luar negeri.
Dalam sebuah perjalanan pulang dari kunjungan ke beberapa negara di Amerika Latin, dalam pesawat Presiden Republik Demokratik Nusantara memberi penjelasan kepada wartawan.
”Sebagaimana kita ketahui bersama, semua kepala negara dan pejabat penting yang kita kunjungi pasti memuji-muji kita. Republik Demokratik Nusantara adalah negara hebat, perkembangan ekonominya luar biasa menakjubkan, dan presidennya pantas menjadi pemimpin dunia. Coba sekarang jelaskan, makna pujian yang sudah sering saya katakan.”
”Pujian hanyalah bunga-bunga diplomasi,” kata sekian banyak wartawan dengan serempak.
Mereka ingat, pada masa-masa lalu, semua pujian kepada negara mereka dari mana pun datangnya, dianggap sebagai kebenaran mutlak. Negara mereka memang benar-benar hebat, perkembangan ekonominya sangat mengagumkan, dan presiden negara ini benar-benar pantas menjadi pemimpin dunia.
Terceritalah, di bawah pimpinan Presiden Nirdawat, Republik Demokratik Nusantara makin melebarkan sayapnya: sekian banyak duta besar ditebarkan di sekian banyak negara yang dulu sama sekali belum mempunyai hubungan. Presiden Nirdawat, dengan sendirinya, harus hadir tanpa boleh diwakilkan.
Namun sayang, masih ada satu negara lagi yang belum terjamah oleh Republik Demokratik Nusantara, padahal negara ini terkenal makmur dan pemimpin-pemimpinnya hebat-hebat, setidaknya berdasarkan catatan-catatan resmi. Para pemimpin sekian banyak negara berkali-kali memuji keramahan penduduk negara itu, keindahan alam negara itu, dan kemakmuran negara itu. Maka, setelah waktunya tiba, datanglah Presiden Nirdawat ke negara itu. Laporan tlisik sandi ternyata benar: di negara yang sangat makmur ini, banyak pemimpin bertangan buntung. Hukum memang tegas: barang siapa mencuri uang rakyat, harus dihukum potong tangan.
Dan Presiden Nirdawat dari Republik Demokratik Nusantara pun sempat terkagum-kagum: ternyata, para pemimpin buntung justru bangga. Kendati mereka kena hukuman potong tangan, mereka tetap bisa menjadi pemimpin, dan tetap dihormati.
0 notes
rz18 · 8 years
Text
Serayu, Sepanjang Angin Akan Berembus…
with 73 comments
     78 suara
”Sabarlah, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah ini.”
Serayu, seindah apakah senja yang kau bilang mengendap perlahan-lahan di permukaan sungai sehingga tampak air yang hijau itu berangsur-angsur tercampuri warna merah kekuningan dan memantulkan cahaya matahari bundar lalu koyak karena aliran yang menabrak batuan besar dasar sungai? O Serayu, sesedih apakah perasaan seorang wanita yang melihat senja itu dari balik jendela kereta ketika melintas di jembatan panjang sebelum stasiun Kebasen?
Sepanjang angin akan berembus, selalu ada cerita tentang wanita kesepian, senja yang menunggunya dalam waktu yang serba sebentar, lalu keheningan pun terjadi meski sesungguhnya gemuruh kereta ketika melintasi jembatan itu bisa terdengar hingga ke batas langit, atau ke dasar sungai.
”Aku melihat senja, lalu memikirkanmu.” Ucap seorang wanita pada kekasihnya. Di sore yang cerah, di tepi jembatan kereta. Keduanya duduk menjuntaikan kaki ke bawah, menikmati embusan angin dan melihat kendaraan berlalu-lalang di jalan berkelok ke arah kota Purwokerto.
Di Serayu, panggung seperti disiapkan. Lelaki itu masih menunggu senja yang dimaksud si wanita. Seakan ia tak pernah melihat bagaimana bentuk senja semenjak ia lahir, meski tentu senja pernah melihat lelaki itu, entah di mana.
”Kamu tahu kenapa aku memikirkanmu setiap kali melihat senja?” tanya wanita itu.
Si lelaki tak menjawab, toh sebentar lagi pasti wanita itu menjawab pertanyaannya sendiri.
”Karena senja seperti dirimu, pendiam, tapi menyenangkan.”
Nah.
Serayu, serupa apakah kenangan dalam bungkusan senja yang konon lebih luas dari aliran sungai Gunung Slamet menuju pantai selatan itu?
”Aku tetap suka berada di sini meski kau diam saja.”
Begitukah?
Lelaki itu memang masih diam.
”Kalau tidak ada kamu, pasti senja membuatku merasa ditimbun kenangan.”
Sepanjang angin berembus, wanita itu terus berbicara. Tapi hari masih terang, burung-burung terbang rendah di atas mereka, tak beraturan. Belum waktunya pulang, beberapa burung kecil duduk di besi jembatan, kemudian terbang lagi. Senja belum datang, dan kereta juga belum datang.
”Benarkah ada kereta yang selalu datang ketika senja?” tanya lelaki itu. Mungkin ia gusar dengan keheningannya sendiri.
”Tentu saja.”
”Kereta apa? Kereta senja?”
”Ah, bukan. Jangan terlalu klise, Sayang.”
”Lalu?”
”Hanya kereta, dengan gerbong-gerbong penumpang seperti biasa. Itu saja.”
”Pasti ada namanya. Bahkan kereta barang yang mengangkut minyak pun ada namanya.”
”Ketel maksudnya?”
”Ya.”
”Kalau begitu, anggap saja ini kereta kenangan.”
Kenangan lagi. Seperti diksi yang luar biasa picisan, namun kadang sepasang kekasih bisa mengorbankan apa saja untuk sesuatu yang picisan, bahkan pembicaraan selanjutnya seperti tak akan menyelamatkan mereka. Kecuali waktu yang terus susut, jam terpojok ke angka lima. Tapi senja belum turun, belum ada kereta yang melintas di belakang mereka. Alangkah dekatnya mereka dengan rel kereta. Sehingga bisa terbayang jika kereta melintas pasti tubuh keduanya ikut bergetar karena roda besi yang bersinggungan dengan rel baja itu.
”Mungkin kita harus pindah tempat, sedikit menjauh.” Ucap lelaki itu
”Tidak. Dari sini kita bisa melihat senja.”
”Tapi ini terlalu dekat.”
”Tapi kalau kau pindah, nanti aku susah memikirkanmu dalam bentuk yang seperti ini.”
Tentu saja.
***
Serayu. Sungai besar yang teramat sabar, aliran air memanjang sampai ke penjuru ingatan, ke palung kehilangan, ke laut kasmaran. Sesungguhnya, ada banyak cerita di Serayu. Bukan hanya sepasang kekasih yang duduk di besi jembatan untuk menunggu senja, tapi juga kisah-kisah lain manusia, seorang lelaki yang mendayung perahu ke tengah demi mencari ikan, atau awah-sawah di kejauhan yang tampak menghampar dan hanya terlihat topi-topi petani. Semua itu adalah cerita. Tapi pemandangan Serayu, senja, dan sepasang kekasih mungkin akan menjadi cerita yang paling dramatis. Bisa saja sepasang kekasih itu pada akhirnya akan berpisah, tapi masing-masing dari mereka tak bisa menghilangkan kenangan ketika duduk berdua di jembatan Serayu untuk melihat sesuatu yang setengah tak masuk akal. Seakan-akan mereka sedang mengabadikan cinta dalam hitungan detik terbenamnya matahari. Lalu pada suatu waktu si lelaki akan sengaja kembali ke tempat itu, duduk di sana, demi mengenang wanita itu. Meski mungkin si wanita tak kembali, sebab ia merasa tersakiti jika harus melihat senja di sungai itu lagi.
Tetapi, kereta akan tetap melintas, tepat ketika senja, ketika matahari bundar di ujung sungai yang luasnya sekitar 300 meter.
Ya, sebentar lagi, sebuah kereta penumpang akan melintasi sungai itu. Serayu. Sungguh nama yang romantis, seorang masinis yang bertugas di kereta itu sedang membayangkan kereta yang dikemudikannya sebentar lagi melintasi jembatan, lalu ia akan membunyikan peluit lokomotif keras-keras, nguooongngng, hingga ia pun teringat dengan kekasihnya di masa lau; seorang wanita penggemar kereta dan senja.
”Aku ingin kelak kau menjadi masinis, dan membawa kereta yang melintasi Sungai Serayu tepat ketika senja.”
”Kau ingin aku jadi masinis?”
”Ya.”
”Artinya aku akan selalu pergi.”
”Aku masih bisa memikirkanmu.”
”Jadi, cinta sudah cukup sempurna jika kita masih bebas memikirkan orang lain?”
Sepanjang angin akan berembus, pertanyaan seperti itu seolah tak ada gunanya.
Kereta terus melaju, sudah jauh meninggalkan stasiun Notog, memasuki terowongan, lalu menebas hutan yang penuh dengan pepohonan pinus. Baru saja kereta melintasi jalan raya, yang artinya semakin dekat dengan Serayu. Masinis itu tak mengurangi kecepatan, sesaat ia menoleh lewat jendela, melihat ke gerbong-gerbong di belakangnya. Bukan gerbong senja, tentu saja, bukan pula kereta kenangan seperti yang dinamai kekasihnya di masa lalu. Ini hanya kereta biasa.
Jembatan sudah terlihat di kejauhan. Masinis itu perlahan menarik rem, sedikit mengurangi kecepatan di tikungan terakhir sebelum melintasi sungai Serayu. Dan beberapa saat kemudian, tampaklah hamparan hijau itu, juga perasaan yang tak ada maknanya lagi.
”Sepanjang angin berembus, akankah kau merindukanku?”
Ah, rindu memang seperti paksaan. Ketika kereta semakin dekat ke jembatan Serayu, si masinis melihat sepasang kerkasih yang sedang duduk di salah satu sudut jembatan itu, mereka melambai ke arah kereta, seakan tak pedulidengan kebisingan mesin lokomotif dan suara roda yang bergesekan dengan rel serta besi jembatan. Masinis itu membalas lambaian mereka. Sementara di bagian bagian kanan, warna merah pada langit dengan lapisan awan tipis membentuk garis-garis menggumpal yang artistik dengan warna merah saling tindih.
Masinis itu tertegun, seperti itukah senja yang dahulu pernah didambakan kekasihnya?
Namun belum selesai kekagumannya, tiba-tiba kejadian aneh terjadi, mesin lokomotif kereta itu mendadak mati, tenaga menurun drastis, kereta pun berangsur-angsur mengurangi kecepatan dan akhirnya berhenti tepat di tengah jembatan, tampak dari barisan jendela, para penumpang di dalam gerbong terkejut, penasaran ada apa, mengapa berhenti di tengah jembatan. Apakah kereta tertahan sinyal masuk sebuah stasiun? Atau ada kejadian luar biasa di depan? Tapi kadang kita tak butuh jawaban untuk sebuah kenangan yang magis, bukan? Kereta itu, barangkali pernah memiliki kekasih pula, yaitu kereta lain yang selalu mengingatkannya tentang senja di mana pun ia melaju, agar berhenti sebentar untuk mengingat ucapan kekasihnya:
”Sabarlah, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah ini.”
Notog – Kebasen, 2012
0 notes
rz18 · 8 years
Text
Hening di Ujung Senja
with 51 comments
     124 suara
Ia tiba-tiba muncul di muka pintu. Tubuhnya kurus, di sampingnya berdiri anak remaja. Katanya itu anaknya yang bungsu. Kupersilakan duduk sambil bertanya-tanya dalam hati, siapa mereka berdua?
“Kita teman bermain waktu kecil. Di bawah pohon bambu. Tidak jauh dari tepi Danau Toba,” katanya memperkenalkan diri. Wau, kataku dalam hati. Itu enam puluh tahun yang lalu. Ketika itu masih anak kecil, usia empat tahun barangkali. “Ketika sekolah SD kau pernah pulang ke kampung dan kita bersama-sama satu kelas pula,” katanya melanjutkan. Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk. Belum juga dapat kutebak siapa mereka. Ia seakan-akan mengetahui siapa mereka sesungguhnya. “Wajahmu masih seperti dulu,” katanya melanjutkan. “Tidakkah engkau peduli kampung halaman?” tanyanya. “Tidakkah engkau peduli kampung halamanmu?” tanyanya membuat aku agak risih. Dulu pernah keinginan timbul di hati untuk membangun kembali rumah di atas tanah adat yang tidak pernah dijual. Pelahan-lahan timbul ingatan di dalam benakku.
“Rumah kita dahulu berhadap-hadapan, ya?” kataku. Ia mengangguk. “Kalau begitu, kau si Tunggul?”
“Ya,” jawabnya dengan wajah yang mulai cerah.
Lalu ia mengatakan perlunya tanah leluhur dipertahankan. “Jangan biarkan orang lain menduduki tanahmu. Suatu saat nanti, keturunanmu akan bertanya-tanya tentang negeri leluhur mereka,” katanya dengan penuh keyakinan. “Kita sudah sama tua. Mungkin tidak lama lagi kita akan berlalu. Kalau kau perlu bantuan, aku akan menolongmu.”
“Akan kupikirkan,” kataku. “Nanti kubicarakan dengan adik dan kakak,” jawabku.
Pertemuan singkat itu berlalu dalam tahun. Pembicaraan sesama kakak-beradik tidak tiba pada kesimpulan. Masing-masing sibuk dengan urusan sendiri. Dan ketika aku berkunjung ke kampung halaman, kutemukan dia dengan beberapa kerabat dekat lainnya. Kudapati ia terbaring di tempat tidur, di ruangan sempit dua kali dua meter. Beberapa slang oksigen di hidungnya. Ia bernapas dengan bantuan oksigen. Matanya berkaca-kaca sambil mulutnya berkata, “Kudengar kau datang. Beginilah keadaanku. Sudah berbulan-bulan.” Agak sulit baginya berbicara. Dadanya tampak sesak bernapas. Aku tidak mungkin berbicara mengenai tanah itu. Kuserahkan persoalannya kepada keluarga dekat.
Dalam kesibukan, waktu jua yang memberi kabar. Seorang kerabat dekat, waktu berjumpa di Jakarta, berbisik padaku, “Tunggul sudah tiada, pada usia yang ke-67.”
“Oh, Tuhan,” kataku kepada diriku sendiri. Kami lahir dalam tahun yang sama. Sebelum segala sesuatu rencana terwujud, usia telah ditelan waktu! Giliranku? bisikku pada diriku.
***
Rendi selalu datang dalam mimpi. Diam-diam, lalu menghilang. Dahulu ia teman sekantor. Tetapi, karena mungkin ingin memperbaiki nasib, ia mengirim istrinya ke Amerika, justru ingin mengadu nasib. Ia menyusul kemudian, dengan meninggalkan pekerjaan tanpa pemberitahuan. Lewat Bali, Hawaii, ia sampai ke California. Di negeri penuh harapan ini ia memulai kariernya yang baru, bangun subuh dan mengidari bagian kota, melempar-lemparkan koran ke rumah-rumah. Entah apalagi yang dilakukannya, demi kehidupan yang tidak mengenal belas kasihan.
Setahun berada di sana, ia kehilangan istrinya, derita yang membawa duka karena kanker payudara. Sepi merundung hidupnya, di tengah keramaian kota dan keheningan pagi dan senja, membuatnya resah. Barangkali hidup tidak mengenal kompromi. Kerja apa pun harus dilakukan dengan patuh. Tetapi usia yang di atas enam puluhan itu cukup melelahkan untuk bertahan hidup. Tiada kawan untuk membantu. Semua bertahan hidup harus berkejaran dengan waktu. Dari agen koran subuh, sampai rumah jompo dari siang sampai senja, lalu pulang ke apartemen, merebahkan diri seorang diri, sampai waktu mengantar subuh dan mengulangi ritual siklus kehidupan.
Dari kesunyian hati itu, ia cuti ke tanah air, untuk mencari teman hidup pada usia senja.
Tetapi, dalam kesunyian di tanah air, ia mengembara seorang diri, dengan bus dan kereta api. Seperti seorang turis, suatu senja, entah serangan apa yang mendera dadanya, barangkali asmanya kumat. Ia terkulai di ruang hajat. Di sebuah stasiun kereta, petugas mencoba membuka kamar toilet. Menemukan kawan itu dalam keadaan tidak bernyawa. Identitas diketahui dengan alamat di Los Angeles. Petugas stasiun menghubungi nama yang tertera di Los Angeles. Dari Los Angeles datang telepon ke alamat di Bandung. Dari Bandung berita disampaikan kepada anaknya, tetapi kebetulan sedang ke Paris. Jenazah dibawa ke rumah anaknya, dan dimakamkan kerabat dekat yang ada di kota “Y”.
Tragis, pada usia ke-64 itu, ia mengembara jauh merajut hidup, tapi ia berhenti dalam kesepian, jauh dari kenalan dan kerabat. Beberapa kenalan saja yang menghantarnya ke tempat istirah.
Terlalu sering ia datang di dalam mimpi yang membuatku galau.
***
Beberapa waktu kemudian, aku mendapat SMS. Aku berhenti di pinggir jalan ramai dan mencoba membaca berita yang masuk.
Lusiana baru saja meninggal dunia. Tutup usia menjelang ulang tahun ke-61.
Besok akan dimakamkan. Kalau sempat, hadirlah.
Lusiana seorang sekretaris eksekutif yang hidup mati demi kariernya. Ia lupa kapan ia pernah disentuh rasa cinta, sampai cinta itu pun ditampiknya. Menjelang usia renta, ia menyaksikan ayah dan ibunya satu demi satu meninggalkan hidup yang fana. Juga abangnya, pergi mendadak entah menderita penyakit apa. Karier tidak meninggalkan bekas. Tidak ada ahli waris. Kawan-kawan meratapinya, dan melepasnya dalam kesunyian hati.
Hening di atas nisannya. Burung pun enggan hinggap dekat pohon yang menaungi makamnya.
Tidak biasa aku berlibur dengan keluarga. Kepergian ini hanyalah karena anak yang hidup di tengah keramaian Jakarta, yang berangkat subuh dan pulang menjelang tengah malam dari kantornya. Ada kejenuhan dalam tugasnya yang rutin, membuat ia mengambil keputusan libur ke Bali bersama orang tua. Aku yang terbiasa masuk kantor dan pulang kantor selama puluhan tahun, kerapkali lupa cuti karena tidak tahu apa yang harus dilakukan waktu cuti. Dan kini, aku duduk di tepi laut Hindia, menyaksikan ombak memukul-mukul pantai, dan sebelum senja turun ke tepi laut, matahari memerah dan bundar, cahaya keindahan Tuhan, sangat mengesankan ratusan orang dari pelbagai bangsa terpaku di atas batu-batu.
Tiba-tiba ada dering di HP istriku, sebuah SMS dengan tulisan:
Tan, Ibu Maria baru saja meninggal dunia. Kasihan dia. Di dalam Kitab Sucinya banyak mata uang asing.
Ibu Maria menyusul suaminya yang sudah bertahun-tahun meninggal dunia, dalam usianya yang ke-72. Ia pekerja keras sepeninggal suaminya yang dipensiunkan sebelum waktunya. Suaminya meninggal dalam usia ke-67 saat anaknya berpergian ke luar negeri dan tidak hadir ketika penguburannya.
Ibu Maria meninggal mendadak.
***
Aku baru saja menerima telepon dari kakakku yang sulung, dalam usianya yang ke-78. Kudengar suaranya gembira, walaupun aku tahu sakitnya tidak kunjung sembuh. Kalimat terakhirnya dalam telepon itu berbunyi: Tetaplah tabah, Dik. Kamu dan anak-anakmu, semua anak cucuku dan buyut, supaya mereka tetap sehat….
Dan tadi pagi, aku teringat. Usia menjelang ke-70, walaupun sebenarnya belum sampai ke situ, aku bertanya-tanya kepada diriku, jejak mana yang sudah kutoreh dalam hidup ini, dan jejak-jejak apakah yang bermakna sebelum tiba giliranku?
Aku tepekur.
Hening di ujung senja.
0 notes
rz18 · 8 years
Text
Dua Wajah Ibu
with 96 comments
     185 suara
Perempuan tua itu mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas ubun-ubunnya. Di langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau, dan merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang.
Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu. Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.
Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal. Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar, kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik, menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun.
Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam jamur kuping yang mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya.
Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak pernah pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap diceritakan orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang sangat asing, aneh, dan begitu menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan kampung karibnya, lepas perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis mereka. Sesuatu yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis, serba tak bisa ia bayangkan.
”Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak,” itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya.
”Dengan siapa Mak ke situ?” lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika di dada Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat Jakarta. Ibu kota yang telah dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan ke sana, walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua gadisnya yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota itu. Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu Jamal memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya.
”Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak dululah. Nanti, bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan ongkos Emak ke sini,” itulah janji anak lanangnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok seperti radio tua itu terputus.
Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta, di semak-belukar kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya.
***
Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata lamurnya menggerayangi terminal bus Kampung Rambutan. Sedetik kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya itu: Kota bacin dan berbau pesing. Hidung tuanya demikian menderita ketika membaui bau tak sedap itu. Hatinya bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian menikmati bau itu. Hidung pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja mengembang-embang, seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu tercium melati.
Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas di bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus reot yang berjalan macam keong, beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya dan Kurti, macam lalat, berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya. Cupingnya pun ikut pening dengan orang-orang yang berbicara tak jelas pada Kurti, gadis itu diam tak menggubris, hanya menyeret Mak Inang pergi.
Mak Inang kembali memeras beberapa popok yang ia cuci, sekaligus. Telapak kaki kanannya yang kapalan cepat-cepat menampari betis kirinya begitu beberapa nyamuk membabi-buta di kulit keringnya. Ia menghempaskan popok yang sudah diperasnya itu ke dalam ember plastik. Jemari tangannya menggaruk-garuk betis kirinya. Bentol-bentol sebesar biji petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia menggeram. Hatinya menyumpah-serapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu.
Dua-tiga hari pertama, Mak Inang cukup senang berada di rumah berdinding batu setengah triplek Jamal. Rasa senangnya itu bersumber dari cucu bujangnya yang masih merah itu. Walau, sesungguhnya Mak Inang terkaget-kaget saat Kurti mengantarnya ke rumah Jamal. Semua di luar otak tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih, Jamal berada di rumah-rumah beton yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah kecil sepengap ini. Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di subuh buta. Hanya ada satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu. Itu pun baunya sangat memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya.
”Mak hendak pulang, Mal. Sudah seminggu, nanti pisang Emak ditebang orang, karet pun sayang tak disadap,” lontar Mak Inang di pagi yang tak bisa ia tahan lagi. Ia benar-benar tak ingin berlama-lama di ibu kota yang sungguh aneh baginya. Sesungguhnya, Mak Inang pun aneh dengan orang-orang yang saban hari, saban minggu, saban bulan, dan saban tahun datang mengadu nasib ke kota ini. Apa yang mereka cari di rimba bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi kucing ini? Mak Inang tak bisa menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban.
”Akhir bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir bulan, sekarang tengah bulan. Tak bisa. Pabrik juga tengah banyak order, belum bisa aku kawani Mak jalan-jalan mutar Jakarta,” ujar Jamal sembari menyeruput kopi hitam dan mengunyah rebusan singkong. Singkong yang Mak Inang bawa seminggu silam. Mak Inang tak bersuara. Hatinya terasa terperas dengan rasa yang kian membuatnya tak nyaman.
”Kurti libur hari ini, Mak. Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya. Nanti kuminta ia mengawani Mak jalan-jalan. Ke mal, ke rumah anak Wak Sangkut dan Wak Rifah,” terdengar suara Mai, menantunya, dari arah dapur yang pengap.
Mak Inang mengukir senyum semringah mendengar itu. Rasa tak nyaman yang menggiring keinginannya untuk pulang mendadak menguap. Kembali cerita Mak Rifah dan Mak Sangkut tentang Jakarta mengelindap. Gegas sekali perempuan tua itu menyalin baju dan menggedor-gedor pintu kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu dengan mata merah-sembab, muka awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak Inang tak peduli mata mengantuk Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi dan menemaninya keliling Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama ini hanya ada dalam cerita karib sebaya dan pikirannya saja.
Serupa kali pertama Kurti mengantarnya ke muka kontrakan anak lanangnya, seperti itulah keterkejutan Mak Inang saat menjejakkan kaki di kontrakan anak Mak Sangkut dan Mak Rifah. Tak jauh berupa, tak ada berbeda. Kontrakan anak karib-karibnya itu pun sama-sama pengap dan panas. Hal yang membuat Mak Inang meremangkan kuduknya, gundukan sampah berlalat hijau dengan dengungan keras, bau menyengat, tertumpuk hanya beberapa puluh meter saja. Kepala Mak Inang berdenyut-denyut melihat itu. Lebih-lebih saat menghempaskan pantatnya di lantai semen anaknya Mak Sangkut. Allahurobbi, alangkah banyak cucu Mak Sangkut, menyempal macam rayap. Berteriak, menangis, merengek minta jajan, dan tingkah pola yang membuat Mak Inang hendak mati rasa. Hanya setengah jam Mak Inang dan Kurti di rumah itu, berselang-seling cucunya Mak Sangkut itu menangis.
Kebingungan Mak Inang pada orang-orang yang saban waktu datang ke Jakarta untuk mengadu nasib kian besar saja. Apa hal yang membuat mereka tergoda ke kota bacin lagi pesing ini? Segala apa yang ia lihat satu-dua pekan ini, tak ada yang membuat hatinya mengembang penuh bunga. Lebih elok tinggal di kampung, menggarap huma, membajak sawah, mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak Inang.
***
Tangan Mak Inang kembali menekan-nekan tuas pompa, air keruh dengan bau karet yang menyengat kembali berjatuhan ke dalam bak plastik. Kadang besar, kadang kecil, seiring dengan tenaganya yang timbul tenggelam. Lagi, Mak Inang membilas cucian pakaian cucu, menantu, anak lanang, dan dirinya sendiri. Mendadak Mak Inang telah merasa dirinya serupa babu. Di petang temaram bernyamuk ganas, ia masih berkubang dengan cucian. Di kampung, waktu-waktu serupa ini, ia telah bertelekung dan gegas membawa kakinya ke mushola, mendahului muadzin yang sebentar lagi mengumandangkan adzan.
Lampu benderang. Serentak. Seperti telah berkongsi sebelumnya. Berkelip-kelip macam kunang-kunang di malam kelam. Lagi, terdengar suara desingan tajam di atas ubun-ubun Mak Inang. Ia pun kembali mendongakkan wajah, mata lamurnya melihat lampu merah, kuning, hijau berkelip-kelip di langit temaram. Nyamuk-nyamuk pun kian ganas dan membabi-buta menyerang kulit keringnya.
Wajah Mak Inang kian mengelap, hatinya menghitung-hitung angka di almanak dalam benak. Berapa hari lagi menuju akhir bulan? Rasa-rasanya, telah seabad Mak Inang melihat muka Jakarta yang di luar dugaannya. Benak Mak Inang pun hendak bertanya: Mengapa kau tak pulang saja, Mal? Ajak anak-binimu di kampung saja. Bersama Emak, menyadap karet, dan merawat limas. Tapi, mulut Mak Inang terkunci rapat.
Malam di langit ibu kota merangkak bersama muka Mak Inang yang terkesiap karena seekor tikus got hitam besar mendadak berlari di depannya. Keterkejutan Mak Inang disudahi suara adzan dari televisi. Perempuan itu kembali menekan tuas sumur pompa, air mengalir, jatuh ke dalam ember plastik. Ia membasuh muka tuanya dengan wudhu. Bersamaan dengan itu, mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun hendak mencuci muka kotornya dengan wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang telah keriput, mengkerut, dan carut-marut.
0 notes
rz18 · 8 years
Text
Seragam
with 195 comments
     330 suara
Lelaki jangkung berwajah terang yang membukakan pintu terlihat takjub begitu mengenali saya. Pastinya dia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan saya yang tiba-tiba.
Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan. Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun lalu turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera tiap Isnin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan yang tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. Dia butuh untuk menetralisirnya sebentar.
Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah menyambanginya sejak itu.
”Jadi, apa yang membawamu kemari?”
”Kenangan.”
”Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah keluargamu kembali dan menetap 30 kilometer saja dari sini.”
Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata obrolan meluncur seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin.
Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan kembali pada pengalaman kami dahulu. Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di ingatan saya. Tentu dia mengingatnya pula, bahkan saya yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya. Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia daripada saya.
Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar. Teplok yang menjadi penerang ruangan diletakkan di atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan wajahnya jika dia menunduk untuk menulis. Di atas amben, ayahnya santai merokok. Sesekali menyalakan pemantik jika bara rokok lintingannya soak bertemu potongan besar cengkeh atau kemenyan yang tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan yang banyak tertawa, berada di sudut sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa menjadi tambang. Saat-saat seperti itu ditambah percakapan-percakapan apa saja yang mungkin berlaku di antara kami hampir setiap malam saya nikmati. Itu yang membuat perasaan saya semakin dekat dengan kesahajaan hidup keluarganya.
Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendak pergi mencari jangkrik. Saya langsung menyatakan ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang. Sering memang saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke sawah selepas isya untuk mencari jangkrik. Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau hanya sebagai koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan lidi atau sehelai ijuk agar berderik lantang. Dari apa yang saya dengar itu, proses mencarinya sangat mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak pernah membolehkan saya. Tapi malam itu toh saya nekat dan sahabat saya itu akhirnya tidak kuasa menolak.
”Tidak ganti baju?” tanya saya heran begitu dia langsung memimpin untuk berangkat. Itu hari Jumat. Seragam coklat Pramuka yang dikenakannya sejak pagi masih akan terpakai untuk bersekolah sehari lagi. Saya tahu, dia memang tidak memiliki banyak pakaian hingga seragam sekolah biasa dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi ke sawah mencari jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok.
”Tanggung,” jawabnya.
Sambil menggerutu tidak senang, saya mengambil alih obor dari tangannya. Kami lalu berjalan sepanjang galengan besar di areal persawahan beberapa puluh meter setelah melewati kebun dan kolam gurami di belakang rumahnya. Di kejauhan, terlihat beberapa titik cahaya obor milik para pencari jangkrik selain kami. Rasa hati jadi tenang. Musim kemarau, tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata ditambah angin bersiuran di areal terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya merasa tidak akan berani berada di sana sendirian.
Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke barat. Hanya dalam beberapa menit, dua ekor jangkrik telah didapat dan dimasukkan ke dalam bumbung yang terikat tali rafia di pinggang sahabat saya itu. Saya mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit menyulitkan saya karena tanah kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut, atau bahkan terjepit masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi yang tersisa pun bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia tenang-tenang saja walaupun tak memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena gengsi.
Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa ekor jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilat wajah saya yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah membakar punggung saya!
”Berguling! Berguling!” terdengar teriakannya sembari melepaskan seragam coklatnya untuk dipakai menyabet punggung saya. Saya menurut dalam kepanikan. Tidak saya rasakan kerasnya tanah persawahan atau tunggak-tunggak batang padi yang menusuk-nusuk tubuh dan wajah saat bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan tak sempat untuk berpikir bahwa saat itu saya akan bisa mendapat luka yang lebih banyak karena gerakan itu. Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam yang saya pikir akan menyenangkan justru berubah menjadi teror yang mencekam!
Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luar biasa menjalar dari punggung hingga ke leher. Baju yang saya kenakan habis sepertiganya, sementara sebagian kainnya yang gosong menyatu dengan kulit. Sahabat saya itu tanggap melingkupi tubuh saya dengan seragam coklatnya melihat saya mulai menangis dan menggigil antara kesakitan dan kedinginan. Lalu dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat dengan mulutnya. Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri kemudian mengakui bahwa kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar saya membutuhkan pertolongan secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu berlari sembari membujuk-bujuk saya untuk tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi rasa tanggung jawab yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat. Sayang, sesampai di rumah bukan lain yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya sempat pula kena tampar Ayah yang murka.
Saya langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan. Seragam coklat Pramuka yang melingkupi tubuh saya disingkirkan entah ke mana oleh mantri. Tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah agar menggantinya setelah itu. Dari yang saya dengar selama hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa membolos di hari Jumat dan Sabtu karena belum mampu membeli gantinya.
”Salahmu sendiri, tidak minta ganti,” kata saya selesai kami mengingat kejadian itu.
”Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya. Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih memilih membelikan yang baru walaupun harus menunggu beberapa minggu.”
Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang akhirnya menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri dari maut karena waktu telah menghapus semua kengeriannya.
Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di mana kami pernah bersama-sama membuat kolam gurami. Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak lama berganti menjadi sebuah gudang tempatnya kini berkreasi membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari tangan terampilnya itu ditambah pembagian keuntungan sawah garapan milik orang lainlah yang menghidupi istri dan dua anaknya hingga kini.
Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini menjeratnya. Dia bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua justru tergadaikan.
”Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua dia semakin tidak tahu diri.”
”Ulahnya?” Dia mengangguk.
”Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan mengagunkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini beban berat ada di pundakku.” Terbayang sosok kakaknya dahulu, seorang remaja putus sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalan-kenakalannya. Kini setelah beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik satu-satunya.
”Kami akan bertahan,” katanya tersenyum saat melepas saya setelah hari beranjak sore. Ada kesungguhan dalam suaranya.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang baik itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya. Tidak pula yakin akan mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk menolong saya di malam itu. Dia telah membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.
Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang. Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.  
0 notes
rz18 · 8 years
Text
“It’s very important to speak in our room. Talking is the way we let others know how we are feeling. Talking is how we let other people know what we are thinking, because they can’t see inside our heads to find out. They won’t know otherwise. We have to tell them. That’s how people understand each other. It’s how we resolve problems and get help when we need it and that makes us feel happier. So it’s important to learn how to use words.”
Venus never took her eyes from mine. She almost didn’t blink.
“I know it’s hard to start talking when you’ve been used to being silent. It feels different. It feels scary. That’s okay. It’s okay to feel scared in here. It’s okay to feel uncertain.”
If she was uncertain, Venus didn’t let on. She stared uninhibitedly into my face.
I lifted up a piece of paper. “I’d like you to make a picture for me. Draw me a house.”
No movement.
We sat, staring at each other.
“Here, shall I get you started? I’ll draw the ground.” I took up a green crayon and drew a line across the bottom of the paper, then I turned the paper back in her direction and pushed the tub of crayons over. “There. Now, can you draw a house?”
Venus didn’t look down. Gently I reached across and reoriented her head so that she would have to look at the paper. I pointed to it.
Nothing.
Surely she did know what a house was. She was seven. She had sat through kindergarten twice. But maybe she was developmentally delayed, like her sister. Maybe expecting her to draw a house was expecting too much.
“Here. Take a crayon in your hand.” I had to rise up, come around the table, grab hold of her arm, bring her hand up, insert the crayon, and lay it on the table. She kept hold of the crayon, but her hand flopped back down on the table like a lifeless fish.
Picking up a different crayon, I made a mark on the paper. “Can you make a line like that?” I asked. “There. Right beside where I drew my line.”
I regarded her. Maybe she wasn’t right-handed. I’d not seen her pick up anything, so I’d just assumed. But maybe she was left-handed. I reached over and put the crayon in the other hand. She didn’t grip it very well, so I got up, came around the table, took her left hand, repositioned it better and lay it back on the table. I returned to my seat. Trying to sound terribly jolly, I said, “I’m left handed,” in the excited tone of voice one would normally reserve for comments like “I’m a millionaire.”
No. She wasn’t going to cooperate. She just sat, staring at me again, her dark eyes hooded and unreadable.
“Well, this isn’t working, is it?” I said cheerfully and whipped the piece of paper away. “Let’s try something else.”
I went and got a children’s book. Putting my chair alongside hers, I sat down and opened the book. “Let’s have a look at this.”
She stared at me.
It was a picture dictionary and the page I opened to was full of colorful illustrations of small animals driving cars and doing different sorts of jobs. “Let’s look at these pictures. See? They’re all in a bus. And what are they? What kind of animals are they? Mice, aren’t they? And there’s a police car, and look, one of the policemen is a lion. What kind of animal is the other policeman?”
She stared up at me.
“Here, look down here.” I physically tipped her head so that she’d look at the page. “What’s this other animal? What kind of animal is he?”
No response.
“What is he?”
No response.
“What is he?”
No response. Absolutely nothing. She just sat, motionless.
“Right here.” I tapped the picture. “What kind of animal is that?”
I persisted for several minutes longer, rapidly rephrasing the question but keeping at it, not letting enough silence leak in to make it seem like silence, taking up the rhythm of both sides of the conversation myself, all with just one question: what animal is that?
Bang! I brought my hand down flat on the table to make a loud, sudden noise. It was a crude technique but often a very effective one. I hoped it would startle her over the initial hurdle, as it did with many children, but in Venus’s case, I was also interested just to see if it got any reaction out of her. I hoped to see her jump or, at the very least, blink.
Venus simply raised her head and looked at me.
“Can you hear that?” I asked. “When I bang my hand like that on the table,” I said and banged it suddenly on the tabletop again, “can you hear it?”
“I sure can!” Billy shouted from the other side of the classroom. “You trying to scare the shit out of us over here?”
Venus just sat, unblinking.
Leaning forward, I pulled the book back in front of me and started to page through it. “Yes, well, let’s try something else. Let’s see if we can find a story. Shall I read a story to you?”
Eyes on my face, she just stared. No nod. No shake of the head. Nothing. There was very little to denote the kid was anything more than a waxwork accidentally abandoned in the classroom.
“Yes, well, I have an even better idea. What about recess?”
She didn’t react to that either.
Chapter Three
“All right,” I said, pouring myself a cup of coffee in the teachers’ lounge, “joke’s over. What’s wrong with Venus Fox?” I looked pointedly at Bob.
Bob took a sip from his mug. “That’s what you’re here to tell me, I believe.”
“So far I’m still working on whether she’s alive or not.”
“Oh, she’s alive all right,” Bob replied.
A moment’s silence intruded. Julie was making herself a cup of tea over by the sink, and she turned to look at us when the conversation paused.
“My first impression is that she’s deaf,” I said.
Bob took another swallow of his coffee.
“Has anyone had her tested?” I asked. “Because it would be a shame to put a kid in my kind of class, if she’s actually hearing impaired. I don’t sign well at all.”
“She was sent to an ENT specialist at the hospital last year,” Bob replied. “Apparently they had such a hard time testing her that they ended up giving her an ABR.”
“What’s that?” I asked.
“Auditory brainstem response,” Julie answered.
“It’s a test that tells whether the brain is registering any sound. The test measures the brain’s response to sound stimulation, so you can determine if someone is hearing, even if they aren’t verbal.”
“And?” I asked.
“And she seems to be hearing fine.”
“Oh,” I said and a faint sense of dismay settled over me. After working with her, I’d become so convinced that Venus’s problems stemmed from hearing loss that I’d felt I pretty much had a handle on her. We’d make arrangements for hearing tests and off she would go for the appropriate equipment and, eventually, the appropriate classroom. I looked around, first at Julie, then back at Bob. Really, I hadn’t expected that answer.
One of the other teachers, a third-grade teacher named Sarah, looked over. “I think what we’re going to discover with Venus is that she just doesn’t have much. Up there, if you know what I mean.” Sarah touched her temple. “Venus looks blank because, basically, she is blank. It’s a family thing. Every one of the Fox kids. They’re all…” Her voice trailed off and she didn’t finish the sentence, but then she didn’t have to. I knew what she was saying.
Bob sighed. “I’m hoping that’s not going to be the case, but no, it’s not a bright family.”
Noise of a tremendous commotion on the playground began to filter in through the window. For just the briefest moment all the teachers in the lounge paused, alert, before going to the window to see what was happening.
I didn’t bother with the window because I knew immediately it was one of mine. An identifying factor of disturbed children, I’d discovered, was the uninhibited scream. Ordinary kids could yell, shout, or squeal loudly with delight, but by six or seven, they’d been pretty much socialized out of screaming in that peculiarly high-pitched, desperate way. Not so my kids. So, I didn’t bother peering out the window. Setting down my coffee, I zipped out the door and down the hallway to get to the playground.
There on the far side beneath the spreading sycamore trees were the two playground supervisors, prying kids apart. Recognizing Billy’s brightly colored shirt amid the fray, I sprinted across the asphalt.
As well as Billy, there was Shane (or Zane) and – the two teachers were battling to separate the kids, so I couldn’t immediately tell who the third one was – Venus!
Venus, all right. Venus, as a virtual buzz saw of arms and legs, whizzing fiercely at Billy. More shocking yet, it was Venus who was making most of the noise. And what a weird noise it was – an eerie ululating sound, so loud and high pitched that it made my ears hurt. She kept at it, screaming and thrashing, until she broke free of the teacher’s grip and threw herself viciously at Billy, who already had a bloody nose. The other teacher was holding on to both Billy and Shane; but when Billy saw Venus coming at him again, he pulled himself free and started running. Venus went in hot pursuit.
I took off after the two of them, as did Julie, who had just come out of the building, as did Bob and another teacher. We were like the characters in the children’s story “The Gingerbread Boy,” all chasing one after another after Venus, who was after Billy. When Billy reached the wall at the end of the playground, Venus cornered him and started to pummel him with unrestrained fury. She wasn’t ignorant of us bearing down on her, however, because the moment I came within touching distance, Venus scurried up and over the wall.
Spiderman, indeed, I thought. With a not-too-graceful leap, I hoisted myself up and over the wall too, leaving Bob and Julie and the other teacher to scrape what remained of Billy off the pavement and put him back together.
Venus had the advantage of knowing where she was going while I did not. She bolted out through the underbrush, cut across someone’s backyard, and ran down the alley. I pelted after her, doing the best I could to keep up with her. She was surprisingly lithe when it came to getting over or under things, but I had the longer legs. About half a block from the school I finally outran her, catching her by snatching hold of the material of her dress.
“Stop! Right there!”
She tried to jerk away, but I had a good hold of the fabric. With my other hand, I grabbed her arm.
For a moment we just stood, both panting heavily. Venus had scraped knees but otherwise looked none the worse for her altercation with Billy. She eyed me carefully and there was a lot more life in her glare than anything I’d seen earlier.
“This isn’t how we do things when you are in my class,” I said and secured my grip on her arm. “Back to school we go.”
She dug her feet into the grass.
“No, we’re going back to school. It’s schooltime. You belong there.”
Venus was not going to cooperate. There seemed no alternative but to pick her up and carry her back. Realizing what I was trying to do, she exploded into a furious array of arms and legs, hitting and kicking. As a consequence, we made very slow progress getting back to the playground. The total distance was about two blocks and she made it impossible for me to carry her for more than a few yards at a time before I had to set her down and get a better grip. Finally Bob came to my rescue. Seeing me struggling up the street, he joined me and took hold of Venus’s other side. Together, we frogmarched her back into the building.
Venus hated this. The moment Bob touched her, she began to scream in her odd, high-pitched way again. She struggled, screamed, struggled more.
Finally we managed to get her into the school building and all the way up the stairs to my classroom. Bob, between pants, said, “Maybe it wasn’t such a good idea, putting you way up here.”
Once we reached the room, Bob let go, but I kept hold of Venus’s arms. Julie was in the classroom with the other children and they all watched us warily. Bob, seeing the situation was more or less in hand, bid good-bye, closed the door, and left me to sort things out.
There wasn’t a lock on the door, so I told Julie to stand in front of it. Hauling Venus across the room, I tugged out the chair assigned to be a “quiet chair” with my foot. I plopped her in it. “You sit there.”
She screamed and struggled. I held her in the chair.
“You need to stay here. Until you can get control again and not fight, you need to sit here.” Very cautiously I removed my hands, expecting her to dart up and run for the door, but she responded just the opposite to what I’d anticipated. The moment I let go, Venus immediately fell silent. She slumped forward in the chair, as if she were very tired.
“In this room we do not hurt others. We don’t hurt ourselves. That’s a class rule.”
“That’s two rules,” Billy piped up from his table.
“That’s one rule, Billy,” I said fiercely. “The rule is: we do not hurt. Anything.”
“Not even flies?” Billy asked. “We’re not allowed to hurt flies in here?”
Julie, recognizing a flashpoint situation when she saw one, quickly intervened, ushering Billy over to join the other boys, who were working with clay.
I turned back to Venus, who remained sitting in the time-out chair. She was watching me carefully, her heavy, hooded eyes so unreadable as to be virtually vacant.
“I’ll set the timer for five minutes,” I said. “When it rings, you may get up and rejoin us.”
Putting the ticking timer on the shelf in front of the chair, I backed off carefully, half expecting her to make a bolt for the door when my back was turned.
Not so. Venus didn’t move.
The timer rang. Venus still did not move.
“You may get up now,” I said from the table where I was working with Jesse.
No response.
I excused myself from Jesse and went over to her. “This is the quiet chair. It’s for when you get out of control and need a quiet moment to get yourself back together again. But once you’ve calmed down, you don’t have to sit in the quiet chair anymore. Come on. Let’s get you started on the clay. We’re making pinch pots. Have you done that before?”
Venus gazed at me. From her look of total incomprehension, I might as well have been speaking Hindi to her.
I put a hand under her elbow and encouraged her to rise from the chair, which she did. I guided her over to where we were all working with the clay. “Here. Sit here.”
She just stood.
Gently, I pressed her shoulder with one hand to get her to sit in the chair. I pulled out the adjacent chair and sat down. Picking up a ball of clay, I showed it to her.
“Look, what’s this? Clay. And see? See how Jesse’s doing it? You just push your thumbs into the ball of clay…”
Her eyes didn’t even move to the clay. They stayed on my face, as if she hadn’t even heard me.
Did she hear? It seemed hard to believe. I’d come across a lot of kids with speech and language problems in my time but none so unresponsive as this. Was this ABR test really accurate? Could there be some kind of failure between the brain and the ears that they hadn’t noticed?
I rose up. “Come here, Venus,” I said. Which, of course, she didn’t. I had to go through the whole rigamarole again of getting her up out of one chair and over to another part of the classroom. Guiding her to the housekeeping corner, I sat down on the floor and looked through the toys. My sign language was rusty and what little I did remember seemed primarily to be signs for abstract concepts like “family” or “sister,” but here was a concrete word I knew. “Doll,” I signed and held up a baby doll. “Doll.”
Venus watched me, her brow faintly furrowed, as if she thought I was doing something really odd.
I signed again. “Doll.” I made the sign very, very slowly.
Reaching over, I lifted her hand. Putting it on the doll, I made her fingers run over the plastic features of the toy. Then I endeavored to make the sign with her fingers. I held the doll up. I signed again myself. “Doll.”
The last twenty minutes of the school day passed thus. Venus never responded once.
At last the end-of-day bell rang. Julie escorted those who went by bus down to their rides while I saw out the ones who walked home. Then I retreated to the file cabinets in the main office to have a better look at the children’s files. I pulled out Venus’s and sat down.
Julie came in, carrying mugs of coffee for us both. She took out a chair on the other side of the table and sat down.
“Well, that was an experience,” she said.
“I’d like to think this is first-day jitters and everything will settle down.” I looked over. “Has that happened with Venus before, do you know? Have you seen her attack kids before?”
A pause, a hesitancy almost, and then Julie nodded. “Yes. Truth is, I think that’s more why she’s in this class than because of her speech. Last year they ended up having to keep her in during recesses because she does nothing but pick fights.”
“Oh great. Five kids, all with a mission to kill.”
“Kind of like being in the OK Corral in your room, isn’t it?” Julie said rather cheerfully.
I looked up.
“Didn’t you notice all the cowboy names? Billy – Billy the Kid. Jesse – Jesse James. And Shane. And Zane. And everything’s shoot ’em up.” She laughed.
“I don’t remember any cowboys named Venus.”
“Well, not cowboys,” Julie said. She considered a moment.
“Her name doesn’t fit,” I said.
Julie gave a slight shrug. “Neither does the kid.”
Venus’s file made depressing reading. She was the youngest of nine children fathered by three different men. The man who fathered the four eldest children, including Wanda, had been committed to the penitentiary for grievous bodily harm, had been released, had robbed a bank, had been jailed again, released again, and finally died three years later while in detention on drug-dealing charges. The second man, who fathered the next two children, had beaten Venus’s mother so severely when she was pregnant that the baby was stillborn. He was convicted of abuse toward three of the children, released, then later charged on animal cruelty for throwing a puppy onto a freeway from a bridge. The third man fathered the remaining three children, including Venus. He had a string of burglary convictions and other crimes related to drug and alcohol problems, but had also been charged with pedophile activity. He was currently out of prison and living elsewhere, as he’d been banned from having any contact with the children.
Venus’s mother had a long history of prostitution and had been in and out of detox centers for drug and alcohol abuse. She now lived with seven of her nine children, three of whom had been officially labeled as mentally defective, and all of whom had been in one form of special education or another. The eldest, a son a year older than Wanda, was now in prison. A fifteen-year-old son was in a juvenile detention center. The next eldest daughter, who was seventeen, had suffered a seizure while in police custody the previous year and was now brain damaged. Two other children, boys aged nine and twelve, were mentioned as having serious communication problems and were receiving speech therapy.
There was actually very little in the file that was specific to Venus herself. I think the general opinion was that by including her family history, Venus’s problems were self-evident. There were no notes on pregnancy or birth complications, nothing to denote whether or not her early development was normal. She had first come to the attention of the authorities when she reached age five and was registered for kindergarten. It was noted at this time that she was almost totally silent and, in general, very unresponsive. Except on the playground. Except when challenged or threatened. Then Venus seemed to call on an inner strength of almost comic book proportions. She screamed. She shouted. Some people even thought she swore. The idea would have seemed almost laughable – silent, unprepossessing seven-year-old girl metamorphoses into vicious little killing machine – if I hadn’t witnessed it for myself.
I flipped the file shut.
Chapter Four
When I arrived the next morning, Billy was already there, sitting in the classroom. “What’s this?” I asked in surprise.
“It’s only eight-ten.”
“I gotta come early. My god-damned bus don’t come no later.”
I put a finger to my lips.
“My god-darned bus don’t come no later.”
“How about just ‘darned.’ Darned bus doesn’t come any later?”
He curled his lip up in an irritable snarl.
“So why aren’t you out on the playground?” I asked. “The bell doesn’t ring until eight-thirty-five.”
“Fucking girl’s out there.”
I put a finger to my lips again. “We’ve got to remember. You’re oldest in here. I’m depending on you to set a good example for the others.”
“I don’t care. Fucking girl’s out there and I’m not gonna take my chances. Ain’t no teacher out there guarding us poor kids. Fucking girl’s gonna knock the shit out of me again.”
“Did she say that to you?”
Billy didn’t answer.
“Did she tell you she was going to beat you up?” I asked again.
Head down, he just shrugged. “She’s just got a crazy look in her eyes. Girl’s a fucking psychopath or something. That’s what she is. Like in one of them movies. Like maybe she’s Freddy’s little sister from Elm Street or something.”
“Well, just for this morning you can stay in. But not every morning, Billy. The school rules say that everyone must be outside until the bell rings.”
“You’re not outside.”
“All the children stay outside. You know what I meant. We’ll sort something out so that you don’t feel threatened.”
Billy flopped dramatically across his table and sighed in a world-weary way. “I hate this school. I hate being here so much. Why did I have to come here anyway? Why couldn’t I stay at my other school? My brother’s there. My brother’d never let me get beat up by some psycho girl. This is the worst thing in the whole world that could have happened to me. I’m so unlucky. I’m the unluckiest kid in the world.”
“If you work hard in here, Billy, and get your mouth and your temper under control, then maybe you can go back to your old school.”
“Really? Is that all I got to do?” He said this with friendly surprise, as if no one had ever mentioned his behavior to him before. “Well, I can do that. I’m gonna be good as gold.”
“That’d be super. I’d be very proud of you. For now, however, I’d be satisfied if you just got off that table. Please take your seat.”
Cheerfully Billy leaped up and grabbed his chair, swinging it gleefully over his head. “Take my seat? Okay, sure, anything you say, Teach. Here it is. Where you want me to take it?”
The next to arrive in our doorway was Jesse, accompanied by a woman I recognized as one of the school bus drivers. She had him by the collar. She pushed him ahead of her into the room.
“This kid isn’t going to last long,” she said testily.
“What happened?”
“Well, on my bus you’ve got to take your seat, stay seated, and keep your hands to yourself. Those are about the only three things he didn’t do.”
“He was sticking his head out the window and swearing at people,” Billy added.
“You weren’t there, Billy, so please don’t interrupt.”
“He was doing that,” the bus driver said. “And he wouldn’t stay in his seat. That kid can’t keep something you tell him in his head for more than three seconds. I told him. I told him to sit down and shut up and quit bothering everybody. He tripped one of the first graders when she got on and then when she tried to get up, he pushed her down again. I said, ‘Keep that up, mister, and you’re going to walk,’ and what he said back, I’m not going to repeat. So I told him when I get him here, his life wasn’t going to be worth living.”
I nodded. “Okay, sit down over there, Jesse.”
In burst Shane and Zane.
“Oh fuck, here come the damned Dalmatians again,” Billy cried.
Shane didn’t even pause to put down his things. He shot across the room and bashed into Billy, thunking him soundly over the head with his lunch box. The crack was audible and Billy let out a howl.
“You girl,” Jesse sneered, as if that was the worst possible insult.
Zane joined the fray, kicking hard at Billy. Jesse leaped from his seat to join in. Recognizing discretion to be the better part of valor, the bus driver stopped her complaining and left immediately.
All four boys were in a tangle of flailing arms and legs by the time I reached them and the noise level in the room was absolutely deafening. I was shouting as loudly as anyone else.
Throwing myself in among them, I grabbed one of the twins by his leg and pulled him out. I ripped off his shoes, because shoeless he couldn’t hurt so much when he kicked, and I slammed him into a chair. “Stay there.”
Billy was next. He was screaming, half in pain, half in rage. I flung him into another chair. “Take your shoes off.”
He howled.
“Take them off !” I demanded.
Then I grabbed the other twin by the waistband of his pants and lifted him right off the floor. Wrenching his shoes off, I tossed them, one after the other, out of reach. I pushed him into a chair.
Last was Jesse, who was just so angry that there seemed no way to control him other than pin him to the floor until he calmed down. Once he’d stopped thrashing, I took his shoes off too.
“Okay, the four of you,” I said and stood up. Three of the boys were in chairs in a ragged semicircle. Jesse was still sitting on the floor. “From now on, wearing shoes in this room is a privilege, not a right.”
“What do you mean?” Billy asked.
“I mean, I’m not going to be kicked black and blue. Shoes aren’t for kicking. Until everyone knows how to behave when they are wearing shoes, no shoes.”
“You’ve got shoes on,” Billy said.
“Yes, that’s right. Because I’m not going to kick anyone with mine. But until you earn that privilege by showing me you aren’t going to kick anyone, shoes will go off at the door when you come into the room and shoes will not go back on until you leave.”
“You can’t do that,” Jesse said. His facial tic had started – blink, blink, blink, squint, jerk of the head – and it made it hard for him to speak clearly at the same time.
“Watch me,” I said. Picking up a large plastic box, I crossed the room and collected up all the shoes I’d thrown over there.
“I’ll tell my mom!” Zane shouted. “I’ll tell her you’re taking our shoes away and she’ll make you give them back!”
“I intend to give them back when you go home. But in here, they’re off and they’re going to stay off. They’ll be right here in this box.” I put the box up on top of a tall cupboard.
“She’ll make you give ’em back,” Zane cried. “They’re my shoes. My mom bought them for me!”
“They’re still your shoes. And your mom will know I’m doing the right thing.”
Zane rose from his seat.
“No, Zane, you sit,” I said. “You too, Jesse. Get up off the floor and get in that chair.”
Zane paused a long moment, clearly weighing the odds that I’d do something unpleasant if he didn’t obey. My look must have been enough, because he plopped back down in the chair. Jesse rose and took the chair I’d indicated, but his body posture, his movements, even the air around him was heavy with barely controlled anger.
Pulling out a chair from the adjacent table, I sat down. We all sat, the boys fuming quietly or not so quietly, in a straggly semicircle.
A minute passed. Another minute, then another.
“How long we got to sit here?” Shane asked.
“Until everyone is calmed down.”
“I’m already calmed down,” he said. “We going to have to sit here all day?”
“I was never upset,” Billy added. “It’s him over there. Jerky Face. He caused all the trouble. If you’re going to punish someone, you punish that ugly black kid.”
“I never hit you!” Jesse retorted. “It’s him that started it,” he said and pointed at Shane.
“You’re all fuckers,” Billy muttered angrily. “I wish I wasn’t in this fucking class. I wish I hadn’t even heard of it.”
“Yeah, me too,” Jesse said.
“Me too,” said Shane.
“And me,” Zane added.
“Well, at least everyone agrees on one thing,” I said.
“No sir,” said Billy, “’cause you don’t agree and you’re part of everyone.”
“Truth be known, Billy, I’m not very keen on this class at the moment either. I kind of wish I’d never heard of it,” I said.
Billy’s eyebrows rose, and an expression of genuine astonishment crossed his face. “But you gotta be in this class. It’s your class.”
“Yes. And it’s yours too.”
“But you’re the teacher.”
“But it isn’t much fun this way, is it?” I said. “I don’t like the way things are at the moment any better than you do. So what are we going to do about it?”
This seemed to puzzle the boys. Shane and Zane exchanged quizzical glances, but Billy, ever the class spokesman, offered his take on the matter. “Maybe you’ve gone nuts.”
“What about that girl?” Jesse asked.
And that was the first moment I remembered Venus. She wasn’t in the classroom. The bell had rung while we were having our group fight – which had been almost fifteen minutes earlier.
Rising so that I was still facing the boys, I edged carefully toward the window and glanced out. Sure enough, there was Venus on her wall.
“Don’t you think we got enough problems already?” Billy said to Jesse.
I knew I couldn’t go get Venus. I didn’t dare turn my back on the boys, much less go out of the room. I had to just hope someone in the front office would notice her and get her off her wall, because it was more important that I get things settled down in here in the classroom first. I came back to the circle and sat down.
“So,” I said, “what are we going to do about things in here to make it better?”
“What about that girl?” Jesse asked.
“That girl’s out there and you’re in here. I’m talking to you. And you and you and you. I don’t want every day to be one long fight. I don’t want it to be like now, where I’m making everyone sit in chairs until they calm down. Billy’s right. This is definitely no fun. Nobody would want to be in a class like this, not even the teacher. So how are we going to change it?”
“Get rid of that ugly black kid,” Billy said.
“Get rid of you, girlie.”
“Get rid of everybody,” Shane added. “Blow up the whole world.”
“Yeah, kapow!” Zane shouted gleefully and threw his hands up in the air.
“Keep your bottom glued to that seat, Zane,” I said.
“Glue! Glue! Got to get the glue!” Billy cried and jumped up.
“Billy!”
About ten minutes into my not-very-successful efforts to have a class discussion, the door swung open and Wanda loomed in with Venus trailing behind.
“Got to take her shoes off!” Billy shrieked. “Got to take your shoes off, psycho! Can’t have shoes in here. Teacher says.”
Wanda looked bewildered. Venus looked blank.
I went to the doorway. “Come on in, sweetheart. And thank you, Wanda, for bringing her up.”
“Her don’t want to come to school,” Wanda replied.
“No, me neither!” Billy hollered. “It’s a jail in here. Just like being sent to jail.”
“Oh, shut up, would you, butthead?” Jesse muttered.
My feelings exactly.
Billy was undeterred. “Take off her shoes, Teacher. You got to take off her shoes. That girl’s a psychopath.”
“Billy, wherever did you learn a word like ‘psychopath’?” I asked as I closed the door after Wanda.
He shrugged. “Just know it, that’s all. Just a brain, that’s me. But if I ever seen a real psychopath, that girl’s one. So make her take off her shoes.”
The morning proved absolutely ghastly. There seemed to be no way to keep the boys from fighting. The minute I relaxed my guard, they were at it again. I’d wanted to have everyone help come up with some ideas on how to handle all this aggressive behavior, but the entire time before recess was spent “sitting on chairs.” I normally had a special “quiet chair” for disciplinary purposes, but in this room I very shortly had four. By 10 a.m. I had been forced to move the furniture so that there was one table in each corner of the room and two in the middle. The only way to maintain any kind of peace was by keeping everyone as physically separate as possible.
Venus repeated her previous day’s performance. She sat, completely oblivious of the boys.
When the recess bell rang, the four boys leaped up and dashed for the door before realizing that none of them had shoes on.
“Hold it!” Billy cried. “What we gonna do?”
I lifted down the box with the shoes in it and started taking them out. I handed Shane his sneakers.
“Can’t tie,” he said.
I looked at Billy. “Please tie Shane’s shoes for him.”
“Huh?”
“He’s not touching my shoes!” Shane cried.
“And Jesse, you tie Zane’s for him.”
“No way!”
“Well, I guess nobody’s getting recess then,” I said and put the box back up on the cupboard.
Loud shrieks of protest.
“You can’t go out, if you haven’t got your shoes on.”
“Not fair,” Billy cried. “I didn’t do nothing.”
“Neither did I.”
“Or me!”
“Well, you four figure it out among you then. No one’s going until Zane and Shane have their shoes tied.”
“You tie them. You’re the teacher,” Jesse said.
“No, I’m going to help Venus put her shoes on. When you’ve come up with a solution, let me know.” I grabbed Venus’s shoes from the box.
“Go outside without shoes,” Shane suggested.
“Nope, sorry, that’s not an option.”
“Oh fuck,” Billy said in a most world-weary way. “Give me the god-damned shoes then.”
I put a finger to my lips.
“I don’t care. Fuck, fuck, fuck!”
I didn’t say anything but I pointed to the clock to indicate the passing minutes of recess.
“Okay. Give me the god-darned shoes then,” Billy said. “Come here, poop face. Let me tie your stupid shoes.”
I lifted Shane’s shoes out and gave them to Billy. Then I took out Zane’s. “Jesse?”
With a heavy sigh, Jesse accepted the shoes.
Defeated, the boys finally left for six minutes of recess.
But all was not over. As we hurried down the stairs for what remained of recess, Shane accidentally bumped against Venus. Big mistake.
She metamorphosed right then and there. Grabbing him by the shirt, she flung him down the remaining stairs, then, fists flying, she launched herself after him with the vicious grace of a leopard. Fortunately, it was only a few steps, so he was not hurt, and a passing sixth-grade teacher was able to help me subdue Venus and get her into the school office, where she spent the rest of the break sitting stonily in a chair.
When class resumed after recess, I made everyone take off their shoes again, collected them in what became known as the “shoe box,” and put them back on top of the cupboard. I knew better than to try a group activity at this stage, so I endeavored to introduce the children to their work folders. Because I had always taught children who were at different levels academically, I was accustomed to putting each child’s work for the day in a file folder. At the start of class I handed out the folders and the child did the work in it. While they were working, I circulated among them and gave help as needed. The system worked well once everyone figured out what was expected, but often during the first few weeks of a new school year there were teething troubles, usually because some children were not used to working independently.
I explained the system and let the children look through their folders, but I didn’t want to push the itty-bitty bit of order we’d managed to create in the ten minutes following recess. Consequently, I suggested that for today they might want to decorate the front of the folder with their name and things they liked so that I’d know whose folder was whose.
The boys all tucked into this activity with relish, and because I had them so far apart, they managed to start it peacefully enough, if a little noisily. Venus, however, just sat. I came over to her table and knelt down beside the chair. “Did you understand what you were supposed to do?”
Blank look. She wasn’t even looking at me this time. Just staring into space, the same way she did when sitting outside on the wall.
“Venus?”
No response.
What was up with this kid? If she could hear, then why did she not respond? Not even to her name? Was she brain damaged? Did she hear but not process what was said to her? Or did she hear, process, and then not be able to turn it into action? Or, as I was beginning to suspect, was she so developmentally delayed that she wasn’t really capable of much response?
“You and I are going to work on something else,” I said. I pulled out the chair next to hers. I picked up a red crayon. I put the crayon in her hand. Venus didn’t even pretend to take it. The crayon dropped through her fingers to the tabletop.
“Come on, now, Venus.” I picked up the crayon again. “Here, put this in your hand.” I uncurled her fingers and placed the crayon into it. Holding my hand over hers, I drew a straight line down the paper in front of her.
“Can you do that?” I asked.
Venus let the crayon drop through her fingers to the tabletop.
Taking the crayon myself, I made another line. “Now, you try.” Venus just sat.
I leaned very close to Venus’s face. “Wake up in there.” I said it quite loudly.
“Woo! What you doing back there?” Billy cried, whirling around in his seat.
“I’m talking to Venus.”
“Well, I don’t think you got to shout. She’s right in front of you.”
“I’m trying to get Venus to take notice.”
“I can do that!” Billy said cheerfully, and before I could respond, he’d bolted out of his chair and trotted over.
“Ah-ah-ah!” he screamed in Venus’s face and bounced up and down like a chimpanzee.
“Billy, get back in your seat this minute!”
“Look at me, psycho girl! Look at me! Ah-ah-ah-ah!” He was shouting at the top of his lungs and pulling stupid faces.
Venus responded to that all right. She went shooting right over the table after Billy, who hooted with fear and tore off. Stimulated by the excitement, the other boys leaped up. Shane and Zane ran, shrieking loudly, their movements wild and uncoordinated. Jesse, seeing a chance to get even, tripped Billy up as he ran by. In a split second, Jesse was on top of him pummeling him. A few seconds later, Venus was on top of both of them, ripping at Jesse’s shirt, biting his hair.
Wearily, I pried everyone apart and forced them into chairs.
Chapter Five
The rest of that week passed in relentless chaos, and I spent most of it in damage control rather than teaching.
Every time the children came into the classroom, they had to remove their shoes. Of course this made getting ready for recess, lunch, and going home a pain, as only Billy and Jesse could tie their own shoes. However, it gave me the first small way to force bonding upon them because I made Billy and Jesse responsible for tying the twins’ shoes and nobody could leave until it was done. Fortunately Venus usually wore slipon shoes. I wouldn’t have trusted her to let anyone help her.
For the first time in my career I was maintaining not one “quiet chair” but five – one for each student – because they all had a knack for getting into one big fistfight together. Not a single day went by that week without my needing to use all five simultaneously at some stage. Indeed, most of the first three days were spent “sitting on chairs,” as Billy termed it.
Bemused by having four feisty boys with cowboy names, I decided I’d capitalize on that in my efforts to bond us together as a group. I decided we’d become a cowboy “gang.” We’d think up a name and a code of behavior and some fun things to do together to denote our “belonging-ness” and that would be the beginning of group harmony.
Unfortunately, no one told the kids that was the point of it.
I realized my mistake immediately. While cowboy gangs meant belonging and being loyal to an agreed code of ethics and sticking up for one another, they also meant guns and shooting and lots of macho behavior. In a word, outlaws. Not something I needed to encourage! It was Jesse who first noticed this. We’d be an outlaw gang, he said brightly when I was talking about us being a “gang.” I said, no, that wasn’t the idea. We weren’t going to be outlaws. Billy, ever being Billy, then chirped up, “Oh? Does that mean we’re going to be in-laws?”
I quickly quashed the opportunity to live out violent fantasies. The boys were thus left to come up with something different for our “gang.” In the end, they chose to become “The Chipmunk Gang,” which seemed ironically meek to me, but they were happy to make up rules about how to be a good Chipmunk. Billy really got into this. He wanted a pledge and a secret handshake to denote membership. Jesse then suggested that it ought to be a secret society and we could have other special signals too, to let one another know we were Chipmunks. By the end of the week, the Freemasons had nothing over on us.
Throughout all of this, Venus remained a world apart. She did nothing. Almost catatonic in her lack of response, she had to be physically moved from place to place, activity to activity. However, an accidental bump would result in her coming alive with such unexpected fury that it was almost as if someone had pushed an “on” button. Once in “on” mode, Venus screamed like a wounded banshee and indiscriminately took after anyone within range. There seemed to be no coherence to her rage. It was unfocused, all-embracing, and dangerous.
I tried to include her. Whenever we brought our chairs into a circle to talk about something, I always made sure Venus was there, although this involved moving her chair for her and then moving Venus. In the afternoons, when Julie was there to look after the boys, I endeavored to spend some time alone with her. To do what? I was never sure. Just get a reaction, I think. One day I tried coloring. She would do none of it herself. Another day I tried dancing. I put music on and pulled her through the motions. “Pull” was the operative word. On yet another day I piled building blocks up in front of her and stacked them one by one on top of one another to make what I felt was a very appealing tower. It just asked to be knocked over. Could she knock it over? I challenged. Nope. No response. I lifted her hand for her and knocked over the tower. It fell. Venus didn’t even blink. I built the tower partway up and put a block in her hand. Could she add it to the stack? Nope. Her hand just lay there, the block loose in her fingers. I finished building the tower. Then again. And again. Each time I lifted Venus’s hand and knocked the blocks down again. She didn’t even so much as give an impatient sigh of boredom.
Perplexed and frustrated by Venus’s behavior, I took my troubles with me into the teachers’ lounge. I didn’t really expect anyone to give me answers when I moaned about what was going on in my classroom. Indeed, I wasn’t even upset, just frustrated. Being a rather noisy person by nature, this was my way of coping with the pressure. It was also a way of thinking for me. I’d go down to the lounge, complain about what was happening, and in the process of hearing myself articulate the problem, I’d often come up with alternatives.
Julie, however, appeared unsettled. “You’re feeling really angry about Venus, aren’t you?” she said to me one afternoon after school when we were alone.
Surprised, I lifted my eyebrows. “No. I’m not angry. Why?”
“Well, you just seem angry. In the things you say. You’re always complaining.”
“It’s not complaining. Just letting off steam, that’s all.” I smiled reassuringly at her. “That’s different from anger. I don’t feel anger at all.”
Julie looked unconvinced.
I was having to face the fact that I’d rather misguessed Julie. Her small size, her sweet face, her long hair with its thick bangs and girlish, beribboned styles gave the sense of someone young and, well … naive and impressionable. I’d rather arrogantly assumed I’d have a protégée, someone I could introduce to my special milieu and help her grow into a competent educator, much the way Bob had done with me. Only a week on, however, and the cracks in this fantasy were already beginning to show.
For instance, on Wednesday, Shane picked up the fishbowl from the window ledge to bring it to the table. This was something he had attempted to do on two or three other occasions, and each time I’d intercepted him and explained very specifically that it was forbidden to carry the fishbowl around because it was heavy and awkward, which might lead to a nasty accident. Moreover, the fish didn’t like it very much. This time, however, he managed to pick it up without my noticing, and disaster struck. The water sloshed, surprising him, and he dropped it. Water, broken glass, and goldfish went everywhere. Shane immediately started to bawl.
Julie was closest to him. She smiled, knelt down, and put her arms around him. “Poor you, did that frighten you?” she said in the most soothing of voices. “Don’t cry. It was just an accident.” She took a tissue and dabbed his cheeks. “That’s okay. You didn’t mean to drop it, did you? Accidents just happen.”
Listening to her, I felt ashamed. My immediate reaction had been serious annoyance and I would have said to him, probably not too pleasantly, that here was the natural consequence of picking up the fishbowl and, thus, why we didn’t do it. I wouldn’t have comforted him at all. I would have made him help me mop up the water and catch the poor fish. Julie’s response was so much more humane.
Thus it was with Julie. I found her almost pathologically compassionate. Nothing the boys did seemed to upset her. If someone was perfectly horrid, she’d say, “That isn’t thoughtful,” in a quiet, even voice. Or “I’m sure you didn’t mean to do that. It was an accident, wasn’t it?” when the little devil was looking her straight in the face. So too with Venus. No, Venus didn’t respond any more to Julie than to me, but that was okay. “I’m sure she just needs time to adjust,” Julie would say. “It’s a loud, active environment. I think if we allow her to move at her own pace, she’ll become more comfortable and trust us enough to feel like joining in. Let’s not force anything. Let’s just wait and see.”
Instinctively, I did not agree with Julie’s approach to Venus, but there still seemed to be logic in it. I could see that. The problem was that it just wasn’t my way of tackling things. I was not a wait-and-see kind of person. I was a do-it-now, a something’s-got-to-work kind of person whose success rested largely on a terrierlike refusal to stop harrying problems until I got what I wanted. Just leaving Venus to sit like a lump on a log was anathema to my whole personality. But I didn’t say this. In the face of Julie’s serene patience, I felt ashamed of my restless need to intervene. After so much failure with Venus, I decided I would go right back to basics; so, I arrived Monday morning with a bag of M&Ms.
“Remember these?” I said to Bob as I came through the front office to collect my mail. I rattled the bag of candy.
Bob smiled sardonically.
Back in our very early days together, Bob had caused something of a scandal in the school district by using M&Ms to reward his students. This was the early 1970s when behaviorism was considered a radical approach and classrooms were still quite formal. In our quiet, semirural backwater no one had yet thought of equating something like candy with learning. Bob changed all that. Like many of us of that generation, he was out to build a better world. In his case, he wanted to show that his ragtag group of unruly, deprived youngsters could rise above their various labels and depressing environments, learn and progress. He started very concretely with the children, giving them M&Ms when they cooperated and worked. Sure enough, he soon had impressive results. He also soon had the whole school board down on him too, irate that he should be bribing children to learn. From then on, the term “using M&Ms” became a code among staff at our school for any kind of subversive behavior.
Initially I’d been very impressed with Bob’s M&M system because it did work so effectively. It appealed to the kids on such a basic level that virtually all of them responded positively to some degree, and as most of them had already been labeled “unteachable” or “hopeless,” I felt the end justified the means. Moreover, I liked the obvious practicality of it all. Consequently, even though I didn’t know much about the theory behind behaviorism, I participated happily during the time I worked with Bob.
Later, however, as I became more experienced and better educated, I could see flaws in such a system and now seldom used behavioral techniques in their stricter forms. However, I still knew them to be effective tools when used judiciously, and I was never someone to throw away something useful.
When Julie came in that afternoon, I had her supervise the boys while I sat down with Venus. This involved the whole cumbersome process of moving Venus to the table, putting her into a chair, and pushing it in. She did none of it herself.
I took the chair across the table from her. Lifting up the bag of M&Ms, I waggled it in front of her. “Know what these are?”
“I know what they are, Teacher!” Billy shouted from clear over on the other side of the classroom. This made all the other boys look up.
“Yes, and if you get your work done, you can have some afterward, just like Venus,” I said. “If you get your work in your folder done. But for now I need private time with Venus, so I’d appreciate it if you didn’t interrupt.”
Julie endeavored to reorient the boys. I reached across the table and moved Venus’s face so that she was looking at me. I shook the bag in front of her again. “Do you know what this is?” I had hoped for a spark of recognition in her eyes, but there was nothing. She stared through me. “Candy. Do you like candy?”
Nothing.
I opened the bag and spilled several colorful M&Ms across the tabletop.
No response. She continued to stare at my face.
Picking up one of the candies, I reached over and pushed it between her lips. I did it cautiously because I didn’t want to set her off and I feared that if she felt threatened by my movement, it might. The M&M just sat there, hanging half in, half out of her mouth.
“Hooo!” Billy cried gleefully. “Look at psycho! She doesn’t even know what to do with it. It’s candy, stupid! You’re supposed to eat it. Here, Teacher, give me some. I’ll show her.” And before I could respond, Billy was galloping across the room toward me.
“Me too! Me too!” Shane and Zane cried, almost in one voice. They too bolted from their chairs.
Only Jesse remained behind. “I’m not supposed to eat candy,” he said prissily. “It makes me hyperactive.”
Billy lunged forward, grabbing up the M&Ms on the table between Venus and me. “I love these,” he said cheerily and popped a handful in his mouth. “Here, girlie, see? You eat ’em. Crunch, crunch, crunch, like this.” He made a big, open-mouthed show of masticating.
Billy hadn’t touched Venus. He hadn’t even bent close, but something in his behavior must have seemed threatening because Venus suddenly erupted. She let out a loud, ululating shriek and leaped up from the chair. Grabbing hold of Billy by the throat, she crashed to the floor on top of him. Bits of half-eaten M&Ms flew everywhere. Billy fought loose, got up, and tore off in terror. Venus leaped to her feet and took after him, all the while screaming her singular, high-pitched scream.
Julie and I took after both of them. Chairs fell. Tables screeched as they were pushed aside. The twins, manic with excitement, joined in the chase, screaming and yelling too. Convulsing with tics, Jesse leaped up on top of the bookshelf.
“She’s gonna kill me! She’s gonna kill me!” Billy shrieked.
“Billy, stop running. Come here. Don’t keep running; you’re making it worse.”
“No way I’m gonna stop!”
“Zane, sit down! Shane!”
The noise level in the room would have drowned out a jet engine. At just that moment I was extremely glad we were not down near the office where we could be heard.
At last Julie caught hold of Billy. Venus flung herself against them, and I grabbed her, pulled her back in a bear hug.
Venus reacted violently to this. She fought against my grip, rocking back and forth rapidly, knocking her head repeatedly against my chest. She kicked viciously back at my legs. In an effort to force her into a sitting position so that she couldn’t hurt me, I sank down to my knees. Even though I was much taller and heavier, I had a hard time bringing her into a sitting position.
“Julie, help me,” I said.
Leaving the frightened boys over by the windows, Julie crossed to where Venus and I were struggling on the floor.
“I need to stop her legs. Take hold of them.”
Tentatively, Julie reached forward.
“You’re going to need to be more forceful than that,” I grunted through the effort of keeping hold of Venus. “Just grab them and push down until they’re against the floor.”
Again, Julie reached down hesitantly.
“Help me. I’m going to lose my grip in a minute. Just grab her legs. Sit on them, if you must. I need to stop her kicking.”
Julie managed to catch hold of Venus’s legs. She leaned forward, pinning them to the floor.
This made things worse. Venus screamed louder and struggled harder.
“Calm down,” I whispered in her ear.
She shrieked.
“Calm down, Venus. When you stop screaming, I’ll let go. Until then, I need to hold you.”
Louder still she went, so loud, in fact, that I could feel my eardrums vibrating.
“No. You need to stop screaming. When you stop, I’ll let go.”
Still she hollered painfully loudly.
“Calm down. Quietly, quietly.”
“I can’t do this,” Julie moaned.
I couldn’t tell what she meant, but assumed she had chosen a wrong position and didn’t have a good grip on Venus’s legs. “Just hang on. It’ll be okay in a moment.”
“I’m hurting her.”
“No, you’re not. You’re fine. Just keep her legs against the floor.”
“I’m really uncomfortable with this, Torey.”
“Just hang on. Please. Just a little longer.”
Throughout this exchange, Venus screamed nonstop.
“Come on, sweetheart,” I said, bending close to Venus’s ear. “Come on, now. Calm down. Quietly, quietly. Then I’ll let go.”
But as it turned out, the decision wasn’t mine to make. “Torey, I just can’t do this,” Julie said. “I know I’m hurting her and it just feels wrong.” And she let go, rising up and backing away.
That was all Venus needed. The small shift in balance was enough for her to break free of my grip. In an instant she was to her feet, to the door, through it, gone.
For a long, stunned moment I just stared after her. Then I glanced around quickly at the boys and Julie. “Look after them,” I said. Then I took off out the door myself.
Chapter Six
Feeling panicky at losing Venus when she was so upset, I trotted through the school hallways, listening carefully for sounds of her. After the loud shrieking so close to my ears, I was finding it hard to hear properly. As I tried, all I could distinguish were the normal noises of a school in session: muffled voices, chairs moving, occasional coughs, teachers speaking. I ran down the stairs, down, down, down until I reached the ground floor. There was no sign of anything unusual. I opened the door out onto the playground.
There was Venus up on top of her wall. She was not in her normal relaxed glamor-queen pose but perched warily, poised to spring. Below her stood Wanda.
I approached very cautiously, fearful that Venus might bolt off if she saw me coming too close. The most notable thing to my mind – indeed, the most intriguing thing – was her wariness. Venus had not clocked out this time. She was watching me intently, not unusual in itself, but this was no vacant stare. The other interesting thing was that she did not appear upset. She had made a remarkable recovery from the incident in the classroom.
“Hello, Wanda,” I said.
Wanda had a plastic baby doll in her arms. She smiled brightly. “Beautiful child.”
I didn’t know if she was referring to the doll or to Venus, who was definitely not being very beautiful at the moment. There was something atavistic about Venus’s pose. She remained crouched, hands and feet on the wall, as if she’d spring off at me any time. With her wild hair and intent, rather fierce gaze, she reminded me of a drawing I’d seen once of a Neanderthal child, hunched over a kill.
“Venus’s upset,” I said to Wanda. “Do you suppose she will come down from the wall if you ask her?”
Wanda turned her head and looked up at her sister. “Her no come to school.”
“She came today. She’s upset now because we had a disagreement, but that happens sometimes, doesn’t it? Sometimes we disagree. But no one is angry. And I’d like Venus to come back to the classroom.”
Wanda turned her attention back to her doll. She hugged it, nestling it against her breast.
“Venus?” I asked. “Will you come down, please?”
Venus remained just as she was, tense, alert, and silent.
“I’m sorry if I upset you.”
She watched me.
“Let’s go back to the classroom.”
“Her no go to school,” Wanda interjected.
I looked at the older girl only to realize that she was talking about the doll. At least I think she was. Lifting the doll up, she squeezed it tightly, then she turned it over clumsily. The doll slipped out of its blanket and dropped headfirst onto the ground.
“Oh dear,” Wanda said.
Without thinking, I bent down to pick up the doll. When I stood up again, Venus had disappeared off the other side of the wall.
“Oh dear,” I said to Wanda. “She’s gone.”
“Beautiful child go home,” Wanda replied and smiled blandly.
0 notes
rz18 · 8 years
Text
pergi ke neraka
Aku ingin pergi ke neraka. Sungguh Sebelum kupaparkan, silakan saja kau anggap aku gila. Aku mungkin tidak seperti itu, tapi aku pribadi punya prinsip kuat untuk tidak hidup dengan terlalu waras. Aku ingin pergi ke neraka. Tidak untuk disiksa atau apa, tapi hanya untuk melihat-lihat. Ya… meskipun aku tak tau aku akan kuat atau tidak saat melihatnya. Aku cenderung berpikir tidak. Aku kan bukan nabi atau malaikat. Aku cuma manusia biasa. Hanya seorang mahasiswa naif yang benar-benar ingin pergi ke neraka. Di satu diskusi formal di kampusku, dosenku bertanya, “Sebutkan hal yang sangat kalian inginkan sekarang, setidaknya yang terpikirkan oleh kalian saat ini.” Seorang mahasiswi ulet berdarah Padang menjawab, “Saya ingin usaha saya melejit, laku keras di semua kalangan, menonjol dibanding yang lain, dan laba mengalir lancar.” Sang dosen mengaminkan tulus. Mahasiswa lain yang melankolis berkata, “Saya ingin mendapatkan sahabat sejati, menemukan kekasih yang cocok, dan menulis novel yang bisa mempengaruhi jiwa banyak orang.” Ditanggapi dengan sepatah pujian oleh dosen. Mahasiswi lain, perempuan modern penggiat feminis, menjawab, “Saya ingin memimpin sebuah perusahaan, menjadi perempuan super-multiperan, dan membuat wadah organisasi untuk mengolah ketrampilan dan bakat para perempuan.” Mendengar jawaban ini, sang dosen tersenyum dan menggumamkan dukungan. Dan yang lain yang rasional berkata, “Kalau saya, saya ingin membuktikan keabsurdan Tuhan secara eksak.” Jawaban ini, karena mengandung hal yang sensitif—ketuhanan—mendapat tepuk tangan dari dosen kami. Satu mahasiwa lain, seorang religius, hampir terkahir, menjawab, “Saya mau surga Tuhan, kedamaian dunia dan akhirat.” Dosenku mengangguk-angguk mendengarnya. Terakhir, giliranku menjawab. “Pergi ke neraka,” jawabku entteng. Jawaban paling pendek diantara kami enam mahasiswa, paling mustahil, dan paling tak berbobot. Beberapa mahasiswa memandangku sinis mendengar kekonyolanku dan beberapa lainnya mencibir. Dosenku tidak mengaminkan, memuji, menggumamkan dukungan, mengangguk-angguk, ataupun bertepuk-tangan, tapi dia malah tertawa. Aku bingung apakah itu tawa mengejek ataukah tawa puas mendengar seorang mahasiswa didiknya bisa menjawab seperti itu. Tapi tanpa berkomentar apa-apa, dia berdeham dan kembali bicara. “Jabarkan alasan kalian sepadat mungkin. Hati-hati, karena dari enam keinginan kalian, saya akan membantu secara intensif satu orang saja untuk mewujudkannya.” Si mahasiswi Padang menebar pandang ke teman-temannya. “Sederhana saja keinginan saya,” jawabnya, “Motif saya menginginkan itu adalah uang. Uang memudahkan hampir segala hal. Anda semua tau tiu.” “Berkenan menjelaskan lebih spesifik?” tawar dosen. “Saya ingin mendengar. Membantu secara intensif seorang gadis yang berambisi menjadi pengusaha cukup mudah bagi saya. Saya punya banyak relasi bagus dan buku-buku referensi usaha, teknik pemasaran yang baik dan yang semacam itu.” “Hm. Uang itu akan saya gunakan untuk membangun rumah yang saya desain sendiri. Dan juga untuk aktif di berbagai organisasi sosial. Sudah banyak sukarelawan tenaga di sana, mereka hanya kekurangan sukarelawan donasi.” “Tidak buruk,” komentar dosen, “Semoga ambisimu tercapai. “ “Terimakasih. Begitu pula Anda.” Dosen kami ganti memandang si melankolis, menunggu jabaran keinginannya. “Hal-hal seperti sahabat sejati, kekasih yang cocok, dan menulis novel itu kan mendamaikan hati . kedamaian hati, itulah hidup yang sempurna bagi saya. bukan limpahan rupiah atau banjir pujian.” “Bukan alasan yang payah,” komentar sang dosen, ”Yah, meski agak biasa.”
0 notes
rz18 · 8 years
Text
HArapan kosong
Satu tahun yang akan datang Tahun terakhirku dalam pendidikan menengah formal. Tahun yang membahagiakan. Apalagi ini adalah hari kelulusan. Kami memakai jubah dan toga, saling memberi selamat kelulusan. Para guru mengenakan kemeja batik dan tampak sumringah. Aula sekolah ramai oleh para orangtua murid dan orang-orang yang meramaikan acara--Ketua Komite, pegawai Depdiknas, OSIS, dan semacamnya. Penyambutan demi penyambutan berganti tempat di panggung, mengundang tepukan tangan yang tak perlu. Aku hanya duduk, bosan, dan menunggu inti acaranya... "Dan sekarang, penyerahan penghargaan dari Kepala Sekolah SMA Mega Karya kepada sepuluh peraih nilai Ujian Nasional tertinggi di tahun ajaran 2012/2013 ini.” Kami satu angkatan memang tau kalau kami semuanya lulus. Tapi tak satupun yang sudah tau perolehan nilai UN secara persis. Memang ada desas-desus tentang siapa saja yang mendapatkan nilai sempurna untuk mata pelajaran tertentu, tapi hanya sebatas itu. Kepala Sekolah menaiki panggung, tersenyum dan mengangkat tangan, mengangguk kepada pembawa acara yang menyerahkan mik—awal pidato yang membosankan. “… sekolah kita meraih peringkat empat di kodya… peringkat tigabelas di provinsi…”—tepukan tangan mengiringi—“… kemajuan dari tahun kemarin… dua murid masuk sepuluh besar peraih nilai tertinggi tingkat provinsi…”—tepuk tangan dan seruan heboh—“… selamat kepada mereka yang namanya akan disebutkan…” Tubuhku menegang. Semoga aku termasuk diantaranya. “… menjadi contoh untuk para adik kelas… motivasi belajar… lebih baik kedepannya… sukses di perguruan tinggi…” Ah, melelahkan mendengarnya. Ayo, Pak, sebutkan nama sepuluh besar itu! Aku ingin tau! “… dan dengan itu, semoga SMA Mega Karya semakin berkembang.” Ayolah, desakku dalam hati. “Maka saya akan menyebutkan kesepuluh siswa membanggakan itu,” Kepala Sekolah menarik napas, “Peringkat sepuluh, dengan NEM 52,80, diraih oleh siswa kelas XII-3—“ Aku kelas XII-3. Apa mungkin itu aku? “—Faraditha Sarah!” Ah, sayang namaku bukan Faraditha Sarah, tapi Muhammad Farhan Ryandi. Sayangnya. Orang-orang bertepuk tangan dan seorang gadis berkulit kuning langsat maju, menerima penghargaan dari Kepala Sekolah. Aku masih diam di bangkuku, berkeringat dingin dan berdoa agar nanti beliau menyebutkan namaku. “Peringkat sembilan… dengan NEM 52,95, diraih oleh seorang siswa… dari kelas XII-1… bernama…” Aula hening. Aku tak peduli. “Dyah Rahma!” Aula ramai dengan tepukan tangan. Seorang siswi berjilbab maju, tersenyum bahagia. Aku masih sibuk melantunkan doa. Hingga tiga orang selanjutnya maju, namaku belum disebut. Aku masih tetap berdoa. “Dan sekarang, akan disebutkan peraih lima besar… Dimulai dari peringkat kelima… diraih oleh siswa XII-3…” Kelasku. Semoga, Tuhan, semoga. “… dengan NEM 54,20… bernama… Muhammad—“ Ada tiga nama Muhammad di kelasku. Ayolah, Tuhan… “Muhammad Farhan Ryandi,” tegas Kepala Sekolah. Tiga tahun yang akan datang IP semester ini akan diumumkan hari ini. “Farhan?”
0 notes
rz18 · 8 years
Text
Shania
Nama perempuan itu Shania. Nama yang cantik. Kata orang-orang, parasnya lebih cantik dari namanya. Nama lengkapnya Shania Valiyannisa. Tapi orang-orang memanggilnya Bu Rizal. Taukah kau kenapa mereka memanggilnya begitu? Sebab Rizal adalah namaku. Dan Shania, ya, dia istriku. Ya, Shania. Kulitnya mulus dan sangat halus, rambutnya lembut dan tebal, suaranya jernih dan merdu. Tapi aku tak pernah melihatnya sekalipun… Bukan karena dia jauh. Kami tinggal di rumah yang sama. Tapi karena penglihatanku tak berfungsi. Aku seorang tunanetra. Orang-orang bilang, Shania sangat cantik. Seharusnya dia menikah dengan orang yang bisa menikmati kecantikannya. Menikmati cerah kulitnya dan legam rambutnya. Sinar matanya dan ranum warna bibir dan pipinya. Seharusnya dia menikah tidak dengan orang yang hanya bisa merasakan halus tangannya dan merdu suaranya.  Tapi selama setengah tahun menikah, dia tak pernah mengeluh tentang cacat mataku. Dia perempuan yang baik, sungguh-sungguh baik. Terutama karena menerima keadaan abnormalku dan tak pernah mengeluhkannya. Dia tau dirinya cantik dan dia mendengar orang-orang berkata, sayang sekali suaminya tak bisa menikmati kecantikannya. Tapi… entah apa yang ada di pikiran dia, dia tetap disini, di sampingku. Dia perempuan yang lugu dan jujur. Aku percaya sepenuhnya padanya, meski aku tak bisa melihat apakah benar tak ada laki-laki lain di sampingnya selain aku. “Abang.” Nah, ini dia memanggilku. Aku tersenyum dan berpaling ke arah suaranya. “Operasinya minggu depan, Bang,” dia berkata. Kurasa dia sedang meletakkan cangkir tehnya dan duduk di sampingku. “Hari Sabtu. Jadi enam hari lagi…” gumamnya. Operasi itu. Operasi mata, agar aku bisa melihat lagi. Memang kemungkinan berhasilnya tidak terlalu besar, tapi Shania sangat optimis dan antusias, membuatku tak tega menolaknya. Meskipun aku yakin ini pasti menghabiskan sebagian besar tabungannya. Kubilang agar pakai saja tabunganku, toh ini juga untuk kesembuhanku kan. Tapi dia bersikeras. Dia bilang dia ingin menjadikan operasi ini sebagai hadiah untukku. Yeah, dia sudah meyakinkanku, masih ada cukup banyak uang yang tersisa di tabungannya nantinya, jadi aku tak perlu terlalu khawatir. Kurasakan ia mengambil cangkir tehnya dan menyeruputnya. “Aku pengen banget Abang bisa liat dunia,” ungkapnya. “Abang tau? Rumah kita asri sekali. Aku bakal senang sekali kalau Abang bisa liat setelaten apa aku merawat bunga-bunga kita. Oh iya, anak-anak tetangga kita juga lucu-lucu dan menggemaskan. Kalau Abang lihat muka mereka, Abang akan berdoa punya bayi selucu mereka. Dan aku… orang-orang bilang aku cukup cantik dan akupun berpikir begitu. Aku bener-bener ingin Abang bisa lihat….” Ah, kepolosan perempuan ini… pernahkah aku antusias terhadap niat sucinya ini, atau pernahkan aku menunjukkan tanda setuju? Dia melanjutkan rencananya soal operasi itu karena aku tak pernah menggumamkan tolakan. Sayangnya dia terlalu semangat dan terlalu berambisi hingga tampaknya tidak peka kalau aku tak pernah menyambut niatnya. Tapi kenapa aku tidak menolak? Karena alasan yang konyol: merasa tidak enak pada istri sendiri. Dan kenapa aku ingin menolak? Ini kesempatan bagus, dan kalau ini berhasil, aku akan jadi orang normal seperti mereka semua. “Abang?” panggilan merdunya memecahkan lamunanku. Semilir angin mengelus pipiku, mengantarkan harum tubuh Shania. “Ya?” “Ada yang Abang butuhkan?” tanyanya. Aku berpikir sebentar. “Tolong tutup jendela.” Kudengar Shania beranjak dari duduknya, dan menuju arah jendela. Kudengar bunyi ‘klik’, dan tak ada lagi hembusan angin. “Terimakasih Sayang,” ucapku. Kudengar ia menggumamkan ‘sama-sama’ dan kembali duduk di sampingku. *** Benarkah aku keberatan dengan keputusan Shania mengoperasi mataku? Kalau iya, kenapa? Ini kesempatan baik. Ekonomi kami tidak akan jatuh karena biaya operasi. Aku akan bisa menikmati kecantikan Shania. Tapi kenapa aku tak punya keinginan atau antusiasme terhadap operasi ini? Kenapa aku malah menginginkan tetap buta? Ya, aku keberatan. Dan aku tak setuju. Tapi sayangnya aku tak bisa menolak. Aku tak sampai hati mengatakannya, sudah dua minggu Shania berkoar riang tentang operasi mata… Tapi kalau aku melakukannya, akankah aku bahagia? Terhadap hal ini, aku sangat ragu… Tapi kalau aku menolaknya, kasihan sekali si manis Shania. Kenapa aku ingin menolak kesempatan emas ini? Hampir semua tunanetra menginginkannya kan… bagaimana kalau aku mendiskusikannya pada Shania? “Shania,” panggilku, “Kamu dimana, Dek?” Kudengar langkah kakinya yang berlari kecil menghampiri. “Kenapa, Abang?” “Duduklah di sampingku,” pintaku. Dia menggumamkan kata tunggu, lalu melakukan sesuatu entah apa—mungkin membersihkan tangannya yang kotor karena memasak tadi—lalu duduk di sampingku. Ah, nyaman rasanya menyadari Shania ada di sampingku. Tapi lalu aku gelisah, bagaimana cara mengawali pembicaraan? “Kapan operasi itu dijalankan, Dek?” “Sabtu depan, enam hari lagi, seperti yang Adek katakan tadi pagi.” “Oh. Iya, Abang ingat kamu bilang itu. Hanya saja…” aku bingung melanjutkan. Aku menghela napas dan terdiam. Shania tidak menagih kelanjutannya. “Apa kau yakin ini yang terbaik?” aku bertanya lirih. Apakah lirihku itu cukup menyamarkan keraguan yang kurasakan? Kalau ya, semoga Shania tak cukup peka untuk menyadarinya. Aku tak tega mengecewakannya. “Memang bagaimana menurut Abang?” dia bertanya balik. Aku terdiam lama sebelum menjawabnya. “Abang… abang tidak yakin hal ini baik,” aku mengawali, “Abang pikir… lebih baik keadaan Abang yang sekarang ini.” “Mengapa begitu? Apa Abang takut operasi? Itu nggak akan menyakitkan. Ada obat bius dan para dokternya sudah Adek pilihkan yang profesional, jadi—“ “—bukan itu,” potongku, “Abang… Abang merasa ada yang salah.” Shania diam, mungkin menunggu penjelasanku. “Kau selama ini sangat sabar memiliki suami buta,” aku mengawali, “Padahal orang-orang banyak menasehatimu sebelum kau menerima pinanganku. Aku tidak bisa menikmati kecantikanmu secara visual, dan aku juga lebih repot untuk diurus dibanding calon suami lain. Kenapa kau memilihku?” “Karena jawaban yang berkali-kali Adek lontarkan: karena Abang mampu membuka hati orang-orang untuk merasa lebih peka. Dan karena Adek rasa, Abang sebagai kepala rumah tangga bisa memandu Adek ke surga. Suami adalah pemandu dan pemimpin, seperti kata agama.” Aku tersenyum. “Dan sekarang kau mau menyembuhkan kebutaanku.” “Dan Abang meragukannya,” imbuhnya. Aku tertawa. “Abang bingung kenapa Abang ragu.”
0 notes
rz18 · 8 years
Text
“Ini tugas organisasi, Pak. Saya ikut grup buletin mingguan di lingkungan rumah, dan kali ini saya dapat giliran meliput tokoh,” aku berbohong. Entah ide grup buletin itu konyol atau tidak, tapi itu satu-satunya yang terlintas di otakku yang tidak seberapa padat isi. “Hm, begitukah? Dimana kamu tinggal?” Pak Feril bertanya, seolah mengonfirmasi. “Emm….” aku tergagu sedikit. “Tidak jauh dari sini, Pak, jalan Karya Bakti…” “Oh, itu, iya, saya tau daerah itu. Seberapa aktif grup buletin itu?” tanya beliau ramah, seperti biasanya. “Tiap satu atau dua minggu kami mengadakan pertemuan, Pak,” jawabku, “Kami menerbitkan satu buletin tiap bulan.” Pak Feril mengangguk-angguk. “Bagus. Saya tak menyangka kau anak yang aktif berorganisasi.” Ya, sejak kapan khayalan bisa disangka? batinku menanggapi konyol. Aku merasakan ruang guru yang berAC ini sangat gerah. Mungkin karena aku, orang yang biasa jujur, berbohong untuk sebuah ambisi. yah, aku menenangkan diri, setidaknya ini bukan kebohongan yang merugikan. “Jadi saya punya tugas untuk mewawancarai tokoh—seperti yang tadi saya bilang,” aku membuka penjelasan. “Temanya adalah guru. Kepala buletin menyarankan saya meliput guru favorit saya, jadi saya pikir baiknya saya datangi Bapak langsung untuk membuat janji. Saya ingin mewawancara tentang keseharian Bapak, opini Bapak tentang negara dan pendidikan, dan hal-hal lain yang semacam itu.” Aku menarik napas dan melanjutkan. “Saya memang tidak bisa memberikan imbalan apapun, tapi saya harap Bapak bersedia meluangkan satu-dua jam untuk saya wawancarai.” Pak Feril tersenyum. “Tentu saja. Kapan dan dimana kita mulai wawancara itu?” “Waktu dan tempat, saya persilakan Bapak yang memilih,” aku mempersilakan dengan sopan. Dia tertawa. “Baik,” dia menepuk bahuku, “Bagaimana kalau besok sore, pukul 4, di rumah saya? Kamu tau rumah saya, kan?” “Dua kilometer dari sini, perempatan depan toko komputer, masuk gang sebelah kanan, cari satu-satunya yang berpagar tanaman merambat. Saya tidak keberatan sama sekali, Pak.” Pak Feril tertawa lagi mendengar deskirpsiku. “Baik, baik,” sambutnya. “Saya tunggu nanti.” “Terimakasih, Pak. Saya duluan,” aku pamit, menganggukan kepala dan berjalan keluar ruang guru. *** Ambisiku sekarang hanyalah ambisi anak biasa yang sangat mengagumi guru favoritnya. Aku bersyukur sekali mempunyai guru seperti Pak Feril. Dia mengajar IPS di kelasku, dua kali seminggu, dan dia favorit hampir setiap murid. Dia ramah, cukup tegas, mengajar dengan jelas, menyenangkan, hapal nama hampir setiap murid, humoris, energik, dan sangat bijaksana. Ya, seperti kebanyakan tokoh guru ideal yang sering digambarkan orang. Dan satu yang sangat menonjol di dirinya: dia teman mengobrol yang menyenangkan. Entah itu membicarakan tentang pribadi, cita-cita, berdebat, berdiskusi, atau apapun, mengobrol dengannya sangatlah menyenangkan. Sayangnya, tak semua murid bisa merasakannya. Hanya tiga orang yang selalu mendapat nilai terbaik di kelaslah yang beruntung mendapat undangan Jam Curhat Pak Feril setiap Sabtu pagi di rumahnya. Ini sangat menguntungkan. Kata Rena yang beberapa kali jadi tiga terbaik di kelas, Pak Feril menjamu para tamunya di perpustakaan rumahnya, dengan makanan-makanan istrinya, dan sepulang dari sana biasanya Pak Feril memberi buah tangan. Entah itu satu dari koleksi perpustakannya—yang tidak hanya buku, namun pajangan-pajangan unik, dokumen kuno, lukisan-lukisan, dan lainnya—atau camilan lezat. Jam Curhat Pak Feril adalah hadiah unik yang dipersembahkan Pak Feril untuk para muridnya. Dia menganggap, pemerintah menggaji guru dengan upah yang tidak sepenuhnya untuk si guru sendiri, tapi juga ada bagian untuk memodali sang guru dalam pengembangan kompetensi siswa. Pak Feril tak pernah pelit. Jam Curhat Pak Feril juga sama sekali tidak membosankan. Obrolan yang tadinya diniatkan hanya satu-dua jam bisa molor menjadi empat jam. Dan aku, selama dua bulan ini, tiga kali tugas dan dua ulangan (yang artinya lima kali penilaian) selalu berusaha menjadi tiga terbaik di kelas. Sayangnya, selalu gagal. Aku bukan anak yang cukup pintar atau cukup aktif; aku hanyalah anak biasa.  Pak Feril memang tau siapa namaku, tapi hanya sekedar itu. Pak Feril mengenal anak seperti Rena dan para juara lainnya lebih spesifik, beliau tau apa hobi mereka, dimana rumah mereka, apa cita-cita mereka, dan beberapa hal yang semacam itu. Aduh, aku berambisi besar menjadi salah satu dari mereka. Aku ingin sekali mengenal Pak Feril lebih dekat. Bukan soal perpustakaan atau masakan istrinya, tapi soal obrolan. Mengagumi seseorang hampir selalu berdampingan dengan keinginan mengenal lebih baik. Ya ampun, kalau aku bisa dekat dengan Pak Feril, menyenangkan kalau bisa tau tentangnya lebih banyak. Ambisiku untuk bisa mengobrol dengan Pak Feril sangat besar. Aku pengagum beratnya, sungguh. Tapi aku menyerah mendekatinya dengan mencoba mendapatkan Jam Curhat Pak Feril. Aku cuma anak biasa,
0 notes
rz18 · 8 years
Text
surat
Assalamu’laikum Mbak Tri  Banyak banget yang mau aku ceritain… aku gak punya temen cerita lagi sejak Mbak Tri pindah  Aku mulai cerita dari apa yang belum aku ceritain di surat kemaren ya Mbak. Minggu, 10 Juli 2011 Hari terakhir liburan. Dan hari pernikahan Tante Mega & Om Agung. Besok, aku harus masuk sekolah, dan itu hari pertamaku di SMK 48. Tapi malem ini aku malah jadi penerima tamu  bareng Muti dan Diva. MENYEDIHKAN. Karena aku harus pake make up. Aku disuruh duduk di depan kaca. Sebelumnya, aku mematut diri: kulit kusam, idung pesek, bibir pucet. Apapun itu, aku menyukainya; itu muka aku yang udah aku pake hampir 15 tahun—dengan perubahan-perubahannya. Dan si embak penata rias nyapuin pipi aku pake sapu pipi yang udah dicelupin ke… bedak. “Mbak, jangan ngerut-ngerut,” tegur si mbak perias pas aku nyernit kegelian. Abis aku gak tau kalo rasanya di dandanin seaneh ini. Dan aku disuruh tutup mata, buat dipasangin bulu mata palsu dan aku gak tau namanya apaan, pokoknya bedak yang buat mata itulah. Tapi mata aku perih dan beraer mulu. Jadinya lama dah diriasnya. Dan si mbak perias negor aku mulu  hehe. Dan saat udah selesai di rias, aku ngaca lagi. Dan terpampanglah disana… aku yang lebih cantik. Aku yang palsu. Haha. Hebat. Mukaku jadi beda banget…  emang lebih cantik, tapi gak enak banget… mukaku serasa dilapisin tanah liat yang mengering perlahan-lahan. Kaku dan nggak enak. Aku jadi bingung sama perempuan-perempuan yang kemana mana bedakan + pake lipstik. Dan aku yang palsu—yang lebih cantik itu—duduk di depan gedung, mejeng sambil nyengirin tamu, nyodorin buku dan pulpen buat mereka tandatanganin, selama tiga jam. Dan aku gak kedapetan waktu maghrib  jadinya aku jamak sholat ke isya. Itupun jam setengah sepuluhan, pas udah sampe dirumah. Aku berharap banget, hari pertamaku di sekolah baru besok nggak ancur cuma gara gara aku kecapean. Oh iya Mbak, aku kan pake bulu mata palsu, selama 3 jam  mataku jadi beraaat banget. Aku kedip dua kali lebih sering dari yang biasa (mungkin kelopak mataku terlalu tipis dan enteng hehe). Pas sampe rumah, aku cabut bulu mata palsu itu. Dan semaleman… mataku sakit, nggak sembuh sampe 2 hari. Lusanya aku bintitan  aku bintitan di hari hari pertama di 48  gara gara bulu mata palsu. Untung bintitannya gak lama, aku langsung dikasih Bokashi sama Ayah. Ini foto kita. Itu aku yang ngadep ke orang baju item. Sampingnya lagi Muti, trus Diva.
Aku pengen cerita lebih banyak lagi… tentang gimana gedungnya, makanannya, sepatu hak yang aku (dipaksa) pake, dan macem macem lagi, tapi… sayang kertas, hehe. Hari-hari pertama aku di 48 Aku pikir temen-temenku cukup menyenangkan, gak kayak anak 199 yang glamor semua  disini seru. Banget. Di hari kedua, aku KEBETULAN BANGET ketemu sama seorang anak namanya Fani. Jilbaban, baik, manis. Dia yang ngenalin aku duluan. Aku gak tau darimana dia bisa kenal aku, padahal aku gak kenal dia. Ternyata dia tinggal di deket mesjid Nuris. Dia ngajakin pulang bareng. Dan sejak itu, aku sering pulang bareng sama dia. Dia jurusan Akuntansi. Dan temen-temen pulang bareng aku anak Akuntansi semua. Fani, Omeh, Nanda (temen SMPnya Fani sama Omeh), dan beberapa temen sekelas Omeh. Aku jadi kenal banyak sama anak-anak akuntansi. Di kelas aku—Multimedia—gak ada yang rumahnya searah sama aku  padahal anak anak Multimedia itu seru semua. Dan di Multimedia, guruku bilang kalo kita bakalan belajar banyak. Pertama kita bakalan belajar desain. Jadi nanti kalo PKL kita kerjanya ngedesain brosur atau poster atau yang semacem itu. Trus kita bakalan belajar animasi, desain web (desain web itu lebih ke penggunaan kode-kode komputer daripada ke gambar/warna), pengolahan video dan musik. Kata kakak kelasku, nanti kelas 2 kita bakal PKL. Katanya gajinya juga gak seberapa dan nguras tenaga  aku penasaran, kira kira kalo aku udah PKL nanti aku jadi sekerempeng apa yah, beratku aja sekarang udah 37 kg. Aku bersyukur banget Mbak masuk SMK. Banget bangetan. Disini seru. Aku belajar tentang Multimedia, tapi aku juga masih belajar Matematika, Fisika, IPS, dan macem macem. Jadinya meskipun kita udah fokus ke satu jurusan, kita masih bisa sama pinternya sama anak SMA yang kerjaannya makanin rumus Matematik. Oh iya, sekarang aku parah, gak bisa siap pagi. Gara gara di 199 aku kebiasaan dateng pas bel (mentang mentang rumah deket ceritanya) jadi di 48 aku dateng ngepas bel mulu. Untung satpamnya baik, jadinya aku gak pernah dikunciin, hehe. Lagian disiplin di 48 juga kurang. Anak terlambat masih dikasih toleransi. Tapi nyampe dikelas temen-temenku pada ngomel, soalnya aku telat melulu. Padahal hari hari sebelumnya aku janji dateng pagi, buat piket, ngumpulin atau ngerjain tugas bareng, atau apalah semacem itu. Disini seru banget Mbak… beda banget sama 199… Bulan puasa Bulan puasa tahun ini, aku lebih rajin terawehnya, meskipun gak pernah ke Nuris. Aku teraweh di rumah mulu. Males ke mesjid, hehe. Lagian perempuan juga sunnahnya di rumah. Aku gak khatam Ramadhan ini  aku cuma baca nyampe juz 10, kalo gak salah. Kalah sama tahun tahun kemaren… Oh iya, pas malem takbiran (aku lebarannya ngikutin pemerintah, jadinya baru lebaran hari Rabu) Om Adi & keluarga mudik kesini! Aku seneeng bangett. Anak-anaknya Om Adi yang kembar—Caca sama Kiki—udah pada gede, gendut gendut, dan lucu lucu… trus mereka seru banget diajak main. Tapi sayang, di hari lebarannya, kita udah berangkat pagi-pagi ke Kranggan  dipaksa Ayah… padahal yang lain masih pada pengen tinggal,masih pada pengen main sama Caca Kiki, nungguin Ryan sama Abyan (anaknya Tante Selly) dateng, makanin ketupat banyak-banyak… tapi baru makan ketupat sepiring kita udah harus masuk mobil. Lebaran Keluarga Ibu punya rencana liburan bareng ke Bandung, mumpung Om Adi lagi mudik kesini. Lagi pula Om Devi udah mau kok bayarin villanya. Ryan juga ikut. Tapi sayangnya, Ayah gak mau :’( Alih-alih ke Bandung sama keluarga Ibu, Ayah malah ngajak kita ke Kota Bunga, Puncak, berlima doang  Kalo berlima doang, sama aja kayak nyantai di rumah… Padahal Rabu, 14 September 2011 Ini hari ulangtahunku. Seminggu abis Mbak Tri ultah . Dan aku, di sekolah, dapet ini dari temen-temenku:
Grafitti happy-birthday nya itu digambar sama temenku, Abiyyu. Dia yang jago gambar. Di Multimedia kita ada mata pelajaran desain, jadi semacem gambar di komputer gitu Mbak, dan Abiyyu yang paling pinter desain grafiti di kelas. Dan detail-detail gambar di sekitar tulisan HAPPY BIRTHDAY nya itu di gambar Lanang. Kalo Lanang, dia itu yang paling pinter gambar di kelas. Yang minta tolong Lanang sama Abiyyu gambarin kartu ucapan ini tuh Tessa. Dia baik banget. Dia sekertaris kelas, dan orangnya setia kawan banget, trus rasa sosialnya tinggi. Dia orang pertama yang aku kenal di kelas, setelah temen-temen SMP aku. Nah, dibalik halaman yang digambarin itu, ternyata Tessa mintain tanda tangan anak-anak satu kelas, 30 orang. Yang nulis Happy Birthday sama do’a nya itu Tessa. Sebelum mereka ngasih kartu ucapan itu, mereka nyanyi selamat ulang tahun dulu… Ya ampun, kelasku kompak banget ^^ aku bersyukur masuk kelas itu dan punya temen-temen kayak mereka. Dan dirumah, aku juga dapet banyak kado   Diva ngasih aku jilbab abu-abu. Bagus, aku suka♥ bahannya enak. Kalo Muti, dia ngasih aku semacem tempat pensil gitu, sama hiasan meja. Bagus deh. Hiasan mejanya warna kuning, isinya air sama butiran-butiran warna-warni gitu. Kalo Ibu, Ibu ngasih aku tempat pensil bunga-bunga sama jam Mickey. Kalo Ayah… Ayah  beliin kita semua kue. Sayangnya pas itu aku lagi sakit perut, jadi gak makan banyak. 
Semester dua Aku langsung cerita tentang semester dua ya? Soalnya akhir semester satuku nggak terlalu memuaskan. Raporku agak parah. Semester dua ini, guru desainku ganti. Tadinya Pak Iwan, sekarang jadi Pak Endi. Diajar Pak Endi enak. Efisien, soalnya dia ngajarnya jelas dan cepet. Trus tugas yang dia kasih juga keren-keren (meskipun aku sama temen-temenku kelabakan bikin tugasnya), dia pernah nyuruh kita bikin kartun, ngedesain tata letak majalah, buat logo perusahaan, trus model seragam perusahaan. Mungkin Pak Endi ngasih kita tugas kayak gitu sebagai simulasi buat PKL kelas 2 nanti. Nanti katanya kelas 2 aku PKL, Mbak. Tiga bulan, di semeter satu. Semeter dua udah gak PKL lagi. Dan selama PKL itu, kita nggak sekolah, tapi masih harus bayaran sekolah . Kita juga masih harus nyetor tugas-tugas ke guru, ngejar materi pelajaran, ikut ulangan susulan. Kata kakak-kakak kelas, masa PKL itu sibuk banget. Hari Senin-Jumat kan kerja, trus Sabtu-Minggunya dipake buat ngejar materi dan ngerjain tugas. Wah, pasti bakal capek banget tuh. Nanti kayaknya aku bakal makin kerempeng. Nanti kalo aku kelas 2, sesibuk apapun, insyaAllah aku masih sempet ngetik surat kayak gini ya Mbak. Apalagi nanti Mbak Tri ulang tahun…
Di sini aku lampirin foto-foto yang di surat sebelumnya aku janjiin ya Mbak. Dan maaf fotonya agak burem. Sayangnya nggak ada foto Faqieh . Salam buat Faqieh ya Mbak, aku minta maaf gak nulis surat buat dia. Mbak Tri kalo sempet bales surat ini ya, ceritain tentang Mbak Tri disana gimana. Segini dulu aja ya Mbak. Sebenernya banyaaaaak banget yang bisa aku ceritain, tapi aku bingung kalo diceritain lewat surat nulisnya kayak gimana. Nanti aja kalo kita ketemu lagi, aku cerita banyak. Nggak ada Mbak Tri beda banget… Ibu nggak kerja juga beda banget…
Nanti aku bakal cerita banyak,
Kaka Puput
0 notes
rz18 · 8 years
Text
Pak Feril
Dengan agak gugup dan harap-harap cemas kusalami Pak Feril yang baru keluar dari ruang guru. Sekolah sudah sepi, tinggal beberapa guru di ruang guru, dan Pak Feril yang bersiap pulang. “Kamu belum pulang, Raihan?” tanya beliau, berbasa-basi. “Belum, Pak. Saya nunggu Bapak keluar… Emm… Saya mau nanya sesuatu, Pak.” “Tanyakan saja.” “Apa Bapak punya cukup waktu untuk… untuk saya wawancara?” tanyaku, sambil menggenapkan keberanian untuk melanjutkan kebohongan ini. Kebohongan apa? Lihat saja nanti apa yang akan kukatakan. “Wawancara apa?” tanya Pak Feril, menatapku ingin tau. “Saya ikut pengajian di dekat rumah saya, Pak. Pengajian anak-anak, dan tidap bulan kami memperbarui mading masjid. Untuk edisi mading bulan ini, saya kebagian meliput rubrik tentang tokoh sekitar. Saya pikir… saya wawancarai Bapak saja,” jawabku menjelaskan. Nah, inilah kebohonganku. “Wow, Bapak tak menyangka orang sepertimu aktif di organisasi seperti itu,” komentar Pak Feril. Aku tersipu. Memang tidak kan ,aku tdiak ikut pengajian atau apa. Ini kan bohong,batinku. “Kapan dan dimana wawancaranya?” tanya Pak Feril. “Itu sih terserah Bapak,” jawabku. “Hm, begitu ya,” gumamnya. Lalu ia tampak berpikir. “Kalau begitu… Bagaimana kalau lusa siang? Selepas sekolah, di ruang kelas 6?” “Baik, Pak,” aku menyetujui. “Kalau begitu, terimakasih ya Pak. Saya pamit dulu. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam,” Pak Feril menjawab salamku. *** Aku sudah sampai di rumah. Sudah berganti baju dan makan siang. Sekarang aku sedang duduk di meja belajar, dengan pulpen dan kertas coretan, berencana membuat daftar pertanyaan wawancara. Aku merasa bersalah sudah membohongi Pak Feril. Padahal beliau guru favoritku sekaligus wali kelasku. Tapi kupikir, kebohonganku tidak terlalu bermasalah. Kebohonganku memiliki alasan, meski alasannya agak konyol, tapi itu sungguh-sungguh tak berbahaya, dan bukan alasan yang buruk juga. Jadi, begini. Semua anak punya guru favorit. Guru favoritku Pak Feril. Semua guru juga punya murid favorit. Setiap guru bisa dengan mudah mendekati murid favoritnya. Tapi sayangnya, tidak begitu dengan si murid. Guru punya puluhan murid dalam satu kelas, tentu sulit bagiku untuk mendekatinya. Tapi aku sangat mengidolakan Pak Feril, sangat ingin mengenalnya lebih dekat. Padahal aku bukan murid yang pintar. Kau tau kan, bagaimana para guru? Mereka lebih mengenal anak-anak yang menonjol di kelas dibanding mereka yang biasa-biasa saja. Menonjol, kalau tidak sangat pintar ya sangat nakal. Aku tidak mau jadi anak yang sangat nakal, tentu. Memalukan kalau kita dikenal dengan reputas iyang buruk. Dan aku sudah mencoba menjadi anak yang pintar sekali di kelas. Tapi sayangnya, tampaknya bakatku tidak pada pelajaran umum seperti Matematika, Bahasa, dan IPA, jadi peringkatku di kelas biasa saja. Meskipun kalau pelajaran olahraga dan seni budaya akulah yang (kata teman-teman sekelasku, maaf kalau terkesan sombong) terbaik, tapi untuk kedua mata pelajaran itu, tidak diajar Pak Feril—sayangnya, jadi dia tidak melihat kemampuanku yang menonjol. Maka aku mencoba alternatif lain, karena aku yakin sangat susah untuk menonjolkan diri di pelajaran beliau. Cara yang terpikirkan olehku adalah berbohong, berpura-pura mewawancara Pak Feril. Mewawancarai! Itu lebih dari sekedar mengobrol! Dan aku bersyukur sekali Pak Feril mau menerimanya. Ya, pengajian dan mading masjid itu memang fiktif. Skenarioku agar bisa mewawancarai Pak Feril. Itu memang bohong, tapi alasannya kan tidak buruk, jadi kupikir tidak masalah. Aku menatap kertas coretan di depanku, yang masih kosong. Kutulis judulnya. Daftar Pertanyaan untuk Wawancara Pak Feril, April 2012. Lalu aku berpikir sesaat, dan kembali menulis. 1. Tentang masa lalu beliau. Dimana beliau lahir dan tumbuh. Di SD dan SMP apa beliau sekolah. Apa saja kegiatannya semasa kecil. 2. Tentang alasannya menjadi guru. Apa saja yang mendorongnya. 3. Cita-citanya yang belum tercapai, spesifikasinya dan tahap yang sudah beliau rencanakan untuk mencapainya, dna cita-citanya untuk kami para muridnya. Cukup. Hanya 3 pertanyaan tapi kupikir aku bisa mengembangkannya sendiri nanti. Tiga pertanyaan tertulis ini hanyalah formalitas agar aku tampak seperti ‘pewawancara’. *** Hari ini, aku akan mewawancarai Pak Feril. Masih 10 menit lagi sebelum bel bulang. Aku tak sabar menunggu beliau selesai membahas soal matematika ini. Angka-angka dan tanda kali bagi itu mengerikan. Aku takkan pernah mau bersahabat dengan mereka. Aku berkali-kali menatap jam dan berharap bisa mempercepat jarumnya seperti aku mempercepat bagian film yang tidak kusukai saat aku menonton DVD. Hingga akhirnya bel berdering. Pak Feril mengakhiri pelajaran, mempersilakan anak-anak berkemas, dan kami doa bersama. Aku sengaja tidak selesai-selesai membereskan mejaku saat anak-anak mulai keluar kelas. “Pulang bareng, Rai?” Farhan menepuk bahuku dari belakang, menyapa sekaligus menawarkan pulang bersama. “Nggak, duluan aja,” tolakku. Dia menatapku heran tapi aku mengabaikannya. Aku tidak suka kalau teman-temanku tau aku akan mewawancarai Pak Feril siang ini. Satu, karena ini dieku, akalku, dan kurasa aku masih terlalu pelit untuk membaginya. Dua, kalau mereka tau, ada kemungkinan mereka akan ikut-ikuran, karena Pak Feril bukan favoriku saja, tapi favorit mereka juga. Nanti akan ada persaingan, dan aku tidak suka. Atau aku terlalu lemah untuk bersaing. Tiga, sudah cukup aku membohongi Pak Feril tentang rencana ini. Cukup satu orang yang kubohongi, aku tidak mau menambah lagi. Farhan mengangkat bahu tak peduli, lalu berlalu. Aku masih mengemasi barang-barangku saat semua anak sudah keluar dan tinggal Pak Feril yang masih merapikan buku. “Jadi siang ini kita wawancara, Raihan?” basa-basi Pak Feril. “Tentu, Pak,” aku mengangguk, mengambil kertas berisi daftar pertanyaan dan pulpen. “Wow, kau sudah menyiapkan dengan biak,” komentar (atau puji?) Pak Feril. Kami mengatur duduk sehingga kami berhadapan. “Saya mulai dengan pertanyaan pertama, ya Pak?” “Tanyakan saja, tanyakan. Kalau kamu suka, jangan buat acara ini terasa resmi. Anggap saja ini obrolan biasa.” “Baik, Pak,” aku mengiyakan. Pertanyaan pertama, soal masa lalu. Aku bertanya, “Dimana Bapak lahir?” Lalu beliau bercerita. Beliau asli kota ini sejak dua generasi di atas beliau. Aku berpura-pura mencatat, padahal aku tau tanpa mencatat pun aku sudah bisa mengingat dengan baik. Tentu saja, ini kan tentang idolaku. Mana ada orang yang mudah lupa kalau itu soal idola mereka? Lalu aku melanjutkan ke pertanyaan kedua. Saat beliau menjawab, aku menuntut penjabaran dengan pertanyaan-pertanyaan lagi. Dan menyenangkan, tidak hanya aku yang bertanya, tapi Pak Feril juga bertanya tentangku! Beliau menanyakan balik hal yang aku tanyakan, atau menanyakan pendapatku soal jawaban yang beliau berikan. Menyenangkan rasanya orang yang kita idolakan mau tau banyak tentang kita. Inilah salah satu dari banayk kelebihan Pak Feril. Pandai membawa diri dan bersosialisasi. Sudah pukul 13.20 saat aku mendapat jawaban pertanyaan terakhir. Sebenarnya aku masih merasa kurang ,dan masih ingin berbincang lebih, tapi ini sudah sangat siang dan kami belum sholat. Lagipula, tidak enak mengganggu Pak Feril lebih alma lagi. Dengan terpaksa aku menyudahi wawancara, dan berterimakasih berkali-kali. “Kau mau langsung pulang, Raihan?” tanya Pak Feril ketika beliau berdiri dan menyandangkan tas ke bahunya. Aku mengangguk. “Ini sudah terlalu siang, Pak. Bapak juga mau langsung pulnag?” aku bertanya balik. “Tidak, saya mau sholat dulu di mushola sekolah, lalu harus merapikan data di komputer saya di ruang guru. Kamu sholat dimana?” “Di rumah saja, Pak,” jawabku. Kami keluar kelas bersama, lalu menyusuri koridor, hingga aku harus berbelok kiri arah gerbang sekolah dan Pak Feril harus berbelok kanan. “Saya duluan, Pak,” aku menunduk menyalami tangannya. “Lagi-lagi, terimakasih banyak untuk wawancaranya siang ini, Pak.” Pak Feril tertawa. “Ya, terimakasih kembali. Bapak juga senang bisa mengobrol-obrol seperti tadi.” Aku berjalan menuju gerbang, senang bisa punya satu setengah jam mengobrol dengan guru favorit. Teman-temanku yang pintar sekalipun, mereka memang dekat dengan Pak Feril, tapi tidak ada yang seberuntung aku—mengobrol hingga satu jam lebih. “Raihan!” tiba-tiba Pak Feril memanggilku. Jarak kami baru lima meter. Aku membalikkan badan. “Bapak tau semuanya fiktif. Orang sepertimu mustahil akrif di mading, terlebih punya peran sebagai wartawan.” Aku mengerjap bingung. “Darimana…” “Bapak mengagumi cara bekerjamu di kelas. Kamu aktif membantu teman, ramah menanyakan kesulitan, pekerja keras, mengerjakan PR dengan sangat sungguh-sungguh, punya rasa ingin tau yang bagus. Bapak mengagumimu, jadi Bapak memperhatikanmu lebih.” Karena aku tidak mengatakan apa-apa, Pak Feril melanjutkan. “Selain itu, Bapak senang mengenal seseorang lebih banyak daripada orang itu mengenal Bapak. Tapi idemu, kepura-puraan ‘wartawan’-mu, itu skenario cerdas, Raihan!” Aku, yang sangat kebingungan—kenapa beliau bisa menebak?—hanya mengangguk-angguk, lalu berbalik, pulang. Aku bingung. Tapi juga senang, karena idolaku sudah mengenalku lebih dari aku mengenalnya. Dan lebih lagi, beliau juga mengidolakanku.
0 notes
rz18 · 8 years
Text
Tujuh Hari
Tujuh Hari Mencari Sahabat
Awal Perlombaan
Sabtu yang cerah, udaranya menembus masuk ke kamar Dessy yang kaca jendelanya terbuka begitu saja, di lantai dua rumahnya. Ia masih membongkar kardus-kardus dan menata isinya. Maklum, dia baru pindah rumah. Tetangga samping rumah Dessy, Velya juga baru pindahan. Velya menata kamarnya yang baru terisi setengahnya. Kedua keluarga baru di lingkungan itu memang sudah berkenalan semalam. Umur Dessy dan Velya pun sama, 10 tahun, dan mereka sedang mendaftar ke sekolah yang sama pada tahun ajaran baru kali ini, di SDN 205. Hari pertama sekolah baru di mulai dua hari lagi. Rencananya, setelah selesai sedikit merapikan kamar, Dessy akan mengajak Velya bermain bersama di rumahnya. Ya emang selesai ngerapiinnya sore, sih...
***
“Velya Ananditha,” Velya menjawab pertanyaan Dessy yang menanyakan namanya. “Kalau namaku, Dessy Rahmasari,” Dessy memperkenalkan. Velya duduk di tepi ranjang Dessy, di kamar Dessy. Kamar Dessy belum begitu rapi, masih banyak barang-barang berserakan, tapi meja belajar dan bangku sudah ditata dengan baik. “Kamu daftar di SDN 205?” tanya Dessy. Velya mengangguk. “Kelas 5. Kamu?” Velya balas bertanya. “Kelas 5 juga,” jawab Dessy. “Punya sahabat, Vel?” tanya Dessy. “Sahabat di rumahku dulu pindah ke Bogor, dan aku pindah ke sini,” papar Velya. “Memang kamu punya?” tanya Velya. “Nggak. Temenku memang banyak, tapi aku enggak punya sahabat,” sahut Dessy, “Aku padahal pingin banget punya sahabat, Vel.” “Aku juga,” Velya mengangguk. Lama mereka terdiam. “Gimana kalau kita berlomba? Lomba mencari sahabat!” ide Velya. “Ah, iya! Ide bagus! Tapi hanya dalam seminggu ini, ya!” sambut Dessy. “Peraturannya...” kata Velya, “Tidak boleh memengaruhi orang agar tidak bersahabat dengan yang lain, sahabat yang didapat harus penghuni kota ini, dan...” kata-kata Velya terputus.            “Tidak boleh saling iri, bila sahabat sang pesaing lebih baik; tidak boleh saling bertengkar dan marah; tidak boleh curang... Kau mau tambah peraturannya, Vel?” Dessy melanjutkan peraturan dan bertanya. “Ngg... Boleh! Harus bisa menerima apa adanya... Bagaimana jika kita rahasiakan lomba ini? Jangan beritahu calon sahabat kita!” “Setuju!” “Jangan minta bantuan orang lain bila peserta ongkang-ongkang kaki saja,” saran Dessy. “Setuju!” sambut Velya. “Aku mau tambah peraturannya... Kita tidak boleh mengundurkan diri...” “Eh, Vel,” panggil Dessy. “Ya?” Velya menoleh. “Kalau begini... Peraturannya susah dihapal, Vel,” keluh Dessy. “Bikin peraturan tertulis aja!” Velya mengambil kertas dan pulpen. Begini yang dia tulis: LOMBA MENCARI SAHABAT DALAM WAKTU 7 HARI Peserta : Velya Ananditha dan Dessy Rahmasari Waktu : Sabtu, 14 Juli 2007-Malam Sabtu, 20 Juli 2007 KETENTUANNYA 1. Tidak boleh memengaruhi orang agar tidak bersahabat dengan pesaing. 2. Sahabat yang didapat harus seusia. 3. Sahabat yang didapat harus penghuni perumahan ini. 4. Tidak boleh saling iri bila sahabat sang pesaing lebih baik dan sempurna, dan tidak boleh saling bertengkar dan marah. 5. Dilarang keras melakukan pencurangan, dalam bentuk apapun. 6. Jangan bercerita pada siapapun tentang lomba ini, termasuk sahabat sendiri karena lomba ini rahasia. 7. Jangan minta bantuan orang lain selama peserta ongkang-ongkang kaki saja. 8. Karena sudah ikut dalam lomba ini, para peserta tidak boleh mengundurkan diri. 9. Calon sahabat tidak boleh terpaksa menjadi sahabat, dan tidak boleh memaksakan calon sahabat. 10. Siapa yang tercepat mendapat sahabat, ia yang menang. 11. Malam minggu para peserta berkumpul dan menunjukkan surat pernyataan. 12. Yang kalah harus optimis dan tetap mencari sahabat. 13. Melanggar ketentuan telah dinyatakan kalah, denda sebesar 1000 rupiah (tidak termasuk hadiah pemenang). 14. Yang kalah harus membayar 5000 rupiah pada pemenang. 15. Pemenang tidak boleh menyombongkan diri. 16. Selesai lomba, para peserta tidak boleh bertengkar, para peserta berteman seperti biasa. Tertanda, Velya dan Dessy “Lalu kita buat dua lembar surat pernyataan, satu untukku, satu untukmu,” usul Velya. “Apa isi surat itu?” tanya Dessy. “Begini,” Velya mulai menulis: Surat Pernyataan Persahabatan Saya memiliki sahabat bernama ..........(*), yang juga bertanda tangan di bawah ini. Kami telah resmi menjadi sahabat, pada tanggal ......(**) Juli 2007. Tertanda, ..........(***) dan ..........(****) Velya membuat dua lembar. Satu lembar ia berikan pada Dessy, satu lagi ia pegang. “Yang dimaksud ‘saya’ adalah kita, ‘bintang satu’ diisi nama sahabat kita. ‘Bintang dua’ tulis tanggal, ‘bintang tiga’ dan ‘bintang empat’ diisi tanda tangan kita dan calon sahabat kita. Kalau ia sudah menanda tangani, berarti ia resmi menjadi sahabat kita. Mengerti?” gaya Velya seperti seorang guru yang sedang menerangkan pelajaran.            Dessy mengangguk dan melipat surat itu dan meletakkan di meja belajarnya. Sedangkan Velya mengantonginya.            “Dimulai dari sekarang,” komando Dessy.            “Mari keluar,” Velya keluar kamar dan buru-buru menuju lapangan. Disana memang banyak anak-anak bermain. Dessy, ia menuju taman, tempat anak-anak bermain juga.
Hari Pertama: Sabtu, 14 Juli 2007
>Dessy            Taman, taman, duh, anak-anak yang main di sana anak-anak SMA semua! Aku malas sahabatan sama anak SMA! Ada Mbak Rosa, kakakku. Dia udah gede, kelas 1 SMA. Yang lainnya mungkin kelas 2 atau 3. Aku menghampiri Mbak Rosa.            “Mbak, Mama ke mana, sih? Kok tadi enggak ada? Di rumah cuma ada Tante Maya. Papa juga enggak ada?” tanyaku.            “Itu, Mama sama Papa mau daftarin Mbak di MA 92—“ kata-kata Mbak Rosa terpotong, karena aku keburu menyahut, “Kok nggak ikut?”            “Tadi udah, mereka berdua pergi ke rumah temennya Mama,” jawab Mbak Rosa. “Eh, kamu sendiri ngapain ke sini?” tanya Mbak Rosa. Aku gelagapan. “Ngg, nggak ngapa-ngapain, dadah!” aku langsung berlari meninggalkan Mbak Rosa, menuju stadion olahraga yang tak seberapa jauh, aku tahu hari ini ada jadwal bertanding, makanya aku mau ke sana. Dengan tak menghiraukan Mbak Rosa yang keheranan melihatku cuma ‘numpang lewat’.            Di stadion, aku langsung membeli tiket untuk menonton pertandingan sepak bola. Tiketnya, sih, cuma dua ribu, yang bertanding anak-anak kelas 5, dari kesebelasan terkenal di sini.            Aku mendapat nomor tempat duduk yang terletak paling depan. Ah, itu dia! Di sampingku duduk seorang anak perempuan seusiaku, sepertinya tetanggaku yang rumahnya di depan rumahku.            “Hai, kamu anak baru, ya?” tanya anak itu.            “Ya. Rumahmu di depan rumahku, kan?” tanyaku.            “Benar. Namaku Mira, kamu?”            “Dessy, aku baru daftar kelas 5 di SDN 205.”            “Oh, anak SDN 205? Aku anak SDN 205 juga,” Mira tersenyum ramah. Nah, inilah calon sahabatku! Bakal menang lomba, nih!            “Kamu seneng nonton sepak bola?” tanyaku.            “Lumayan. Karena lagi bosan aja aku nonton. Biasanya aku nonton sama kakakku. Tapi dia lagi les. Memang kamu senang, nonton sepak bola?” ia balik bertanya.            “Aku? Ng, gimana, ya? Senang aja mainnya, tapi nontonnya nggak begitu suka. Ngomong-ngomong, kamu tahu ini kesebelasan apa?” tanyaku berbasa-basi. Mira tersenyum dan mengangguk.            “Kesebelasan ini adalah Kesebelasan SDN 205, yang selalu memenangkan PORSENI, melawan Kesebelasan Garuda, dari SDIT Ar-Rahman. Mereka amat sangat tangguh, makanya aku semangat nonton ini. Seru, deh,” ceritanya. Pertandingan dimulai lima menit lagi. Para penonton mulai memadati stadion.            “Ini anak kelas berapa?” lebih banyak aku bertanya, aku akan semakin mengenalnya. Dan iapun mudah kujadikan sahabat!            “Lima pemain kelas 6, enam pemain lain kelas lima, sedangkan para pemain cadangan ada yang anak kelas 4,” jelas Mira.            Pertandingan dimulai. Aku dan Mira mulai serius menonton pertandingan.
> Velya            Setelah mengayuh sepeda selama 10 menit, akhirnya aku sampai juga di gedung kesenian. Bangunannya tampak kukuh walaupun tidak begitu mewah. Tampak beberapa anak yang sedang berlatih menari, drama, malah ada yang latihan pencak silat. Di depan pintu, terlihat seorang gadis yang sibuk melayani pengunjung gedung. Aku mendekatinya.            “Mbak, permisi, mau tanya, adakah kelas teater hari ini? Saya mau coba ikutan,” aku membuka pembicaraan. Gedung itu sederhana, bertingkat dua, luas dan lega. Langit-langitnya tinggi, lantainya dari keramik putih, temboknya yahng putih dihiasi beberapa piagam dan lukisan abstrak. Di lantai bawah ini, kira-kira ada tiga ruangan yang di depan masing-masing pintu di tuliskan ruangan apa itu. Lalu dua buah toilet, satu untuk perempuan dan satunya lagi untuk laki-laki. Anak-anak sebayaku keluar-masuk ruangan-ruangan itu.            “Tentu saja ada. Kalau kamu mau jadi anggota silakan daftar dulu di sana,” gadis itu menunjuk sebuah ruangan yang pintunya bertuliskan ‘Kantor’.            “Biaya pendaftarannya seribu rupiah, bayaran setiap bulan Rp. 15.000,00,” jelas si gadis.            “Saya hanya mau lihat-lihat, Mbak,” kataku manis (semanis gula yang di campur cokelat dan susu).            “Boleh. Temui saja Bu Lina di lantai atas, ia ada di kelas teater,” katanya.            “Terimakasih,” ucapku sambil berlari ke tangga yang menuuju ke lantai atas. Lantai atas juga luas. Ada satu set sofa putih, dan telepon di sebuah meja. Ada 2 ruangan di sana. Kumasuki yang pintunya bertuliskan, ‘Kelas Teater’.            Lagi-lagi ruangannya luas dan lega. Beberapa anak memandangiku ketika aku masuk. Seorang perempuan muda berjilbab mendekatiku.            “Adik siapa? Ingin melihat kelas kami?” ia tersenyum ramah. Di tanda pengenal di dadanya memang ia bernama Lina.            “Saya ingin melihat saja kegiatan kelas ini, kalau boleh, soalnya saya penghuni baru,” kataku agak gugup.            “Boleh. Adik boleh ikut kelas ini, tapi sekali saja. Kalau mau jadi anggota harus daftar dulu,” kata Bu Lina. Lalu kami berkenalan dan mengobrol sebentar.            Akupun ikut kelas itu, dan berkenalan dengan murid-muridnya. Salah satu yang kukenal bernama Ira, ia ramah dan supel. Inilah calon sahabatku! Ira ternyata sekolah di sekolah yang sama denganku, SDN 205!            “Ra, kamu punya sahabat, nggak?” tanyaku di sela-sela latihan teater. Ira terdiam sebentar. “Aku punya lumayan banyak temen, tapi sahabatku lagi marahan sama aku, gara-gara aku minjem T-shirt dia, padahal aku udah bilang, tapi dia yang lupa. Dia kira aku ngambil T-shirt-nya dia. Aku udah minta maaf, tapi dia nggak mau maafin aku. Padahal aku udah balikin T-shirt dia. Kejadiannya baru kemarin, sih,” dengan sedih Ira bercerita.            “Kamu mau jadi sahabatku, Ra?” tanyaku to the point. Ira tampak kaget, namun ia tersenyum, dan ia... menggeleng!            “Bukannya aku sombong atau gimana, tapi aku mau punya sahabat yang cocok sama aku. Nggak harus sama segalanya, tapi aku nggak tau kamu cocok apa enggak jadi sahabat aku. Dulu aku pernah nerima orang yang mau jadi sahabat aku begitu aja, ternyata dia manfaatin aku. Akhirnya aku ketemu sahabat yang cocok, yang lagi marahan sama aku. Bukan aku nuduh kamu manfaatin aku, aku masih trauma karena orang itu. Maafin aku, Vel,” tutur Ira.            “Enggak apa-apa. Bukan salahmu juga, sih, karena aku memang penghuni baru di sini, wajar kalau kamu menganggapku orang asing. Tapi selama beberapa hari ini aku akan coba, biar kamu tau aku cocok apa enggak jadi sahabatmu,” aku pasrah saja.            “Maaf kalau aku agak sombong. Aku bukannya tidak mau bersahabat denganmu, hanya saja...”            “Sudahlah, aku mengerti,” aku menenangkan Ira. Sepanjang latihan kami banyak mengobrol. Wah, kayaknya, aku, nih, yang bakalan menang lomba! Ya, mudah-mudahan, pikirku girang. Kalau saja Ira merasa cocok denganku, aku akan jadi sahabatnya!
           Kalau Dessy menemukan Mira sebagai calon sahabatnya, dan Velya mengenal Ira sebagai calon sahabatnya juga, dan mereka berempat sekolah di SDN 205, apakah Mira dan Ira saling mengenal? Satu kelaskah mereka? Velya belum tahu Ira kelas berapa, begitu juga dengan Dessy, ia tidak tahu Mira kelas berapa.            Dessy menghabiskan hari dengan bermain sepeda berdua saja, dengan Mira. Sedangkan Ira, ia menemani Velya mendaftar kelas teater.
> Malam harinya...            Malam haripun tiba. Dalam kamar Velya, semua barang sudah tertata rapi dan apik. Velya sedang mengisi buku hariannya. 14 Juli. Hari ini aku ikut lomba mencari sahabat, dan aku menemukan calonnya, Ira! Dia ramah dan supel, ya, mudah-mudahan aku menang, deh. Amin. Dessy, sainganku, aku nggak tahu kabarnya gimana. Tapi pas aku pulang tadi aku liat dia lagi main sepeda sama seorang anak sebayaku... Apakah itu calon sahabatnya Dessy? Wah, kalo gini, Ira harus cepet nanda tanganin surat pernyataan, deh. Ya udah, deh, aku udah ngantuk.            Velya menutup buku hariannya. Ternyata ia benar-benar mengantuk. Sepuluh detik kemudian, ia sudah pulas di tempat tidurnya.            Berbeda dengan Dessy. Ia masih berkutat di depan monitor. Jari-jari mungilnya bermain diatas keyboard. Ngapain, sih? Oh, dia lagi chatting ke saudaranya yang tinggal di London, kalau chatting itu, kan, harus dalam waktu yang bersamaan, jadi kalau di sini udah jam 8 malam, di sana masih jam 1 siang! Saudaranya itu dekat sekali dengan Dessy. Namanya Laura, lahir di Indonesia, namun ibunya berasal dari Inggris. Ini isi chatting mereka: dessy_cantik: Laura, aku baru pindahan, aku juga punya tetangga baru yang baru tinggal di sini. laura_cute: wah, seru, tuh! Eh, kamu udah punya bestfriend? dessy_cantik: belum. Sama tetangga baruku itu, kami berlomba mencari sahabat dalam waktu seminggu. laura_cute: Seminggu itu berapa lama? Aku agak lupa bahasa Indonesia, nih! dessy_cantik: seminggu itu... a week. laura_cute: Apa kamu yakin bisa cari best friend dalam a week itu? Apalagi di lingkungan baru. Don’t worry, aku selalu ngedukung selama kamu ngelakuin more hal positive. dessy_cantik: Yakin! Aku udah temui calonnya, orangnya supel, ramah, sekolahnya sama, lagi! Do’ain aja, ya, biar aku bisa menang lomba! laura_cute: Amin. Aku mau take a nap dulu. Dah... dessy_cantik: Hah? Tidur siang? Ini udah jam 8 malam, tau! Waktunya sholat isya! laura_cute: In my place masih jam 1 p.m. Assalamualaikum... Zzzz... dessy_cantik: Wa’alaikumsalam... Hoah...            Dessy mematikan komputer dan sholat isya. Setelah itu? Ya tidur!
Hari Kedua: Minggu, 15 Juli 2008
Minggu pagi, banyak anak-anak berolahraga. Velya malah menuju gedung kesenian dengan sepatu rodanya. Ia mencari rumah Ira. Katanya di sekitar gedung, cari saja, Ira ada di depan rumah. Dessy bermain bulu tangkis dengan Mira, di lapangan. Keperluan sekolah besok sudah di siapkan oleh mereka.
> Dessy            Aku berlatih bulu tangkis dengan Mira. Ternyata, ia lumayan jago olahraga. Selang lima menit, ia mendapat nilai 19 poin. Mira yang jago apa aku yang payah, ya?            “Udah, yuk, Des, aku capek, istirahat dulu,” pinta Mira. Aku meletakkan raketku di sebuah bangku. Ia meneguk botol minum yang ia bawa dari rumah.            “Ra, kamu kelas berapa, sih?” tanya aku membuka obrolan.            “Aku? Kelas 5, di SDN 205 seperti yang kukatakan kemarin,” jawab Mira.            “Aku juga,” kata aku. “Des, kita sekelas!” pekik Mira girang.            “Benarkah? Aku nanti duduk sebangku denganmu, ya! Boleh, kan?” pintaku. “Tentu saja! Karena teman sebangkuku sekaligus sahabatku yang lama...” desah Mira. Aku memandang Mira penuh tanya. “Ceritakan,” pintaku.            “Tiga hari lalu, aku mengeluh, T-shirt putihku hilang. Aku sampaikan keluhan itu pada sahabatku. Ternyata ia yang meminjamnya. Lalu aku marah, dan aku berkata, ‘Kok, kamu minjem asal minjem, nggak bilang aku, dulu?’, lalu ia mengaku, ia sudah pernah bilang waktu itu, tapi aku tidak mendengar. Saat ini aku masih marah besar padanya, walaupun ia telah mengembalikan T-shirt itu,” jelas Mira.            “Gimana cara ia mengembalikannya? Dengan ramah, atau marah juga?” tanyaku.            “Ia membungkus T-shirt itu dengan plastik bercorak lucu. Lalu didalam bungkusan itu ia memasukkan sekotak coklat putih kesukaanku, dan secarik surat yang kertasnya wangi. Dalam surat itu ia minta maaf sebesar-besarnya padaku,” kata Mira.            “Kamu nggak maafin dia?”            “Tentu saja enggak. Keenakan banget, dia! Dia, tuh, udah bikin salah berkali-kali, selalu ia minta maaf, lalu kumaafkan. Yang kubenci dari dia, kecerobohannya itu.”            “Berkali-kali? Separah apa kesalahannya?”            “Dari matahin pensilku, terus dia pernah minjem flash disk aku, isinya ada file aku, terhapus sama dia. Terus dia udah copotin tutup tempat pensilku, walaupun dia udah ngeganti sama tempat pensil yang sama dan sebatang pulpen, tapi aku tetap bersikeras!” papar Mira. Aku agak resah, kenapa Mira memutuskan hubungan persahabatan hanya karena itu? “Mira, kamu nggak nyesel, marahan sama sahabatmu itu?” tanyaku. “Nggak. Lagipula, aku punya banyak temen yang baik-baik, kayak kamu. Nggak kayak dia yang bisanya cuma ngerusakin barang orang,” ketus Mira.            “Ya nggak gitu, dong, Ra. Kamu emang dibuat kecewa sama dia, tetapi sebelumnya, pasti kamu juga pernah bikin dia kecewa, kan?” aku berusaha memancing Mira untuk berbaikan pada sahabatnya kembali. Mudah-mudahan, aku, Mira, dan sahabat Mira itu dapat saling bersahabat.            Mira terdiam. “Iya, sih, tapi...” ia menghentikan kata-katanya beberapa saat. Kuharap ia mau menerima saranku.            “Nggak! Kali ini kesalahannya besar, dan tidak hanya membuatku kecewa, ia membuatku marah, sedih, dan kesal. Aku resmi menjadi musuhnya!” seru Mira berapi-api. Jawaban yang membuatku kaget dan amat tak disangka.            “Kukira kau akan mendukungku, Dessy,” keluh Mira, “Tapi tak apa, tak masalah bagiku,” lanjutnya lagi. Aku merasa tak enak hati. Walaupun aku agak sebal karena Mira tidak mau menerima saranku, aku diam saja.            “Sudahlah, tak usah dipikirkan. Kita main lagi, yuk,” ajaknya ramah. Ia mengambil raket dan koknya lagi. Lalu kok ia lambung-lambungkan di udara hingga jatuh. Aku mengambil raketku dan mulai bermain.
>Velya            Setelah berputar-putar gedung seni, akhirnya aku menemukan juga rumah Ira.            “Vel, aku udah mutusin, aku nggak mau sahabatan sama dia!” semprot Ira tiba-tiba. “Dia siapa, Ra?” tanyaku.            “Mantan sahabatku. Yang sekarang aku lagi marahan sama dia,” kata Ira dingin. “Semalam aku telepon dia dan aku bilang, aku juga marah sama dia. Jadi kami resmi sebagai musuh,” cerita Ira. Hatiku miris mendengarnya. Sahabat menjadi musuh? Berapa kenangan yang dikorbankan? Pasti sebelum bermusuhan mereka sempat bercanda bersama puluhan kali dan tertawa bersama ratusan kali. Apa tidak terlalu sayang?            Terkadang, kalau aku bermusuhan dengan seseorang, yang terlintas di benakku hanyalah kenangan manis bersama orang itu. Ketika mengenang, aku berpikir, sayang sekali puluhan kenangan manis ditukar dengan permusuhan selama-lamanya? Rugi, dong! Kalau sudah mengingat hal itu, aku segera berbaikan dengan orang yang kumusuhi itu.            “Ra, kamu nggak sayang, kehilangan sahabat sebaik sahabatmu itu hanya karena perkara kecil?” tanyaku.            “Itu bukan perkara kecil, Vel. Terus, buat apa aku kasihan sama dia, bodo amat. Aku punya banyak teman, termasuk kamu. Tinggal cari saja yang mau bersahabat denganku,“ tutur Ira. Hah, Ira, Ira.            Ira mengajakku berlatih teater di kamarnya. Katanya, bulan depan akan ada pertunjukkan teater, ia ingin terpilih sebagai tokoh utama. Aku juga.            “Ra, coba mainkan naskah Bu Lina yang ‘Mimpi Putri’ itu,” pancingku. Kemarin aku mendapat naskahnya, cukup panjang, 10 lembar folio.            “Aku akan memainkan bagian Putri Sissy yang bagian paling pertama,” sahut Ira, ia mulai memainkan bagiannya, sesekali melihat naskahnya. Selesai berakting, ia balik memintaku berakting di bagian manapun yang kusuka.            “Ra, sahabatmu itu satu kelas, kan denganmu?” tanyaku seusai berakting.            “Ia bukan sahabatku, tapi mantan sahabatku,” tegasnya.            “Terserahlah. Tapi ia sekelas denganmu, kan?” tanyaku lagi. Ia mengangguk. “Biasanya aku duduk sebangku dengannya, tapi sepertinya tidak untuk kali ini. Aku nggak akan mau sebangku dengannya, dan akupun tahu ia juga tak mau sebangku denganku. Kupikir kita bisa sebangku kali ini, Vel,” kata Ira. Aku hanya tersenyum. “Boleh,” sahutku. “Aku senang punya teman sebangku seperti kamu,” kataku.            Kami mengobrol banyak sekali, tentang sekolah, hingga kami bertukar alamat e-mail, nomor handphone, dan kami berjanji besok akan berangkat sekolah bersama.
> Dessy            Selesai bermain bulu tangkis, kami tak kehabisan kegiatan. Aku dan Mira akan mengunjungi panti asuhan yang tak jauh dengan rumahku, besok. Hari ini kami menyortir pakaian yang akan disumbangkan.            Mula-mula pakaianku. Aku membongkar seluruh isi kardus (pakaian-pakaianku belum tertata di lemari, masih dalam kardus) yang berisi pakaian. Kami tertawa riang, saling bercerita.            “Ra, aku boleh bilang sesuatu, nggak sama kamu?” tanyaku hati-hati.            “Apaan?” Mira menatapku penasaran. Lalu aku menyodorkan selembar kertas Surat Pernyataan Persahabatan yang siap ditndatangani.            “Apa ini?” tanya Mira heran. “Baca saja,” sahutku.            “Aku ingin punya sahabat, dan aku ingin kau yang mengisinya, karena aku ingin bersahabat denganmu,” paparku. Mira tersenyum. “Tapi, kenapa? Kenapa mesti tanda tangan di sini? Aku jadi sahabatmu, ya, jadi saja, tak usah tanda tangan surat pernyataan kayak gini. Emang kenapa?” tanya Mira.            “Begini, sebenarnya, aku...” tiba-tiba aku teringat sesuatu. Pasal nomor tujuh, tentang ketentuan lomba, yang berbunyi, “Jangan bercerita pada siapapun tentang lomba ini, termasuk sahabat sendiri karena lomba ini rahasia”, berarti aku tidak boleh menceritakannya ke Mira.            “Em, Ra, aku cuma pingin punya surat kayak gitu aja, biar aku selalu ingat persahabatan kita,” sahutku berargumen.            “Ya udah. Tapi aku nggak bawa pulpen, Des. Besok aja, ya, di sekolah?” kata Mira. Aku mengangguk. “Tapi suratnya aku yang pegang, besok aku bawa, deh,” janjiku.            “Besok kita berangkat bareng, yuk,” ajak Mira yang langsung kusambut ceria. Dan kami menyortir pakaian sambil bercengkrama. Aku berhasil mengumpulkan daster, kaos, celana, dan rok. Setelah itu kami menyortir pakaian Mira. Di lemarinya yang besar, berjejalkan berbagai macam pakaian (banyak baju kekecilan dan celana kependekan). Setelah disortir, untuk sumabangan Mira memberikan piama, daster, kaos, celana, dan rok. Juga koleksi buku Mira yang sudah menumpuk, tapi jarang dibaca, kami berhasil mengumpulkan 20 novel anak dan 15 komik. Melelahkan memang namun menyenangkan.
> Velya            Aku belum tahu gimana kabar Dessy. Tapi aku punya banyak kegiatan hari ini. Ira mengajakku mengunjungi perpustakaan kota dengan bersepeda (jarak perpustakaan dengan rumahku hanya sekitar 1,5 km), lalu sorenya kami ada kelas teater lagi. Wah, kayaknya nggak sempat minta Ira tanda tanganin surat pernyataan, nih. Besok aja, deh.            Setelah kami mengambil sepeda, dan bersepeda selama 15 menit, akhirnya sampailah kami di perpustakaan anak yang cukup besar dan ber-AC. Kami masuk dan mulai memilih buku. Rencananya kami akan meminjam beberapa buku, tidak membaca di perpustakaan. Sepuluh menit kemudian, aku sudah dapatkan 5 komik dan 7 novel. Ira ternyata hobi membaca, ia meminjam 3 komik, 4 majalah, 10 novel, dan 5 kumpulan cerpen.            Aku diberi kartu anggota perpustakaan, yang ternyata Ira sudah punya. Aku akan mengembalikan buku-buku itu dalam jangka waktu 2 minggu, sedangkan Ira hanya seminggu!            Dalam perjalanan pulang aku bertanya pada Ira.            “Ra, kamu suka baca, ya? Borong buku segitu banyaknya, cuma seminggu, lagi,” kataku sambil mengayuh sepeda.            “Nggak juga. Cuma aku ingin melupakan mantan sahabatku. Dia itu tidak suka membaca, dan kalau aku tidak membaca aku akan selalu ingat dia. Makanya aku borong buku banyak, biar kalo aku baca, aku ngelupain dia. Selain itu, hehehe, aku ngambil buku sekaligus banyak, kan, kalo minjem banyak dapat diskon! Terus, aku cuma minta seminggu, karena biaya, bila jangka waktu semakin lama, kan, semakin mahal, Vel. Kamu tadi bayar berapa?” jawab Ira yang diiringi bertanya padaku.            “Dua minggu 2000 rupiah. Satu buku 500 rupiah, kalo pinjam 10 buku ke atas diskon 15%. Jadi Rp. 5100,00. Semuanya... Rp. 7100,00,” hitungku.            “Kalau aku, seminggu 1000 rupiah, 20 buku ke atas, kan, diskon 25%, jadi...” Ira diam dan menghitung-hitung, tetapi masih mengayuh sepedanya.            “Rp. 8250,00 + Rp. 1000,00 = Rp. 9250,00,” seru Ira.            “Aku meminjam buku hampir 2x lipat banyaknya darimu, tetapi aku hanya bayar sekitar 1,3 kali lipat darimu,” serunya girang. Aku hanya tersenyum. Aku merasa ini saatnya memberitahukan Ira perihal surat pernyataan. Aku berhenti mengayuh. Ira ikut berhenti. Aku merogoh saku, mengambil surat pernyataan. Ira tampak agak heran.            “Ng, Ra, aku tahu kamu emang nggak mau nerima sembarang orang untuk jadi sahabat kamu, dan setelah kamu kenalan sama aku, pasti kamu tau gimana sifat aku. Aku mau kamu nanda tanganin ini,” jelasku sambil menyodorkan surat pernyataan.            Ira diam membaca. Lalu ia tersenyum.            “Vel, aku sebenarnya mau aja jadi sahabat kamu, tapi kamu harus ngedukung permusuhan aku sama mantan sahabatku,” kata Ira. Mendukung permusuhan?!?! Wah, gimana, ya? Aku resah banget, nih!            “Gini aja, deh, lihat besok saja, aku belum bisa bikin keputusan sekarang, Ra. Maaf, ya,” ujarku halus.            “Nggak masalah,” sahut Ira akhirnya.
> Sedikit cerita...            Besok hari Senin, hari pertama tahun ajaran baru SDN 205. Di malam ini, Dessy sedang menulis agenda hariannya. 15 Juli 2007. Diary, hari ini aku ketemu calon sahabatku, Insya Allah aku bisa menang lomba. Besok hari pertama sekolah, dan dia akan menanda tangani surat pernyataan! Aku emang belum tau gimana kabar Velya, tapi tadi dia SMS, kalau dia udah temuin calonnya, tapi belum tanda tangan surat. Lihat saja besok. Masih ada waktu 6 hari lagi. Aku balas SMS dulu, ah...            Dessy meraih HP-nya. Ia mengetik sesuatu.            Kamar Velya yang hangat membuat Velya hampir tertidur, kalau tidak ada dering HP-nya. Segera ia membuka pesan yang baru masuk.            “Hai, aku juga udah ketemu calon sahabatku, tunggu aja, lihat siapa pemenangnya! From: Dessy”            Velya tersenyum. Ia tidak jadi tidur, ia ingin menulis diari dulu. Kita lihat apa yang ia tulis. 15 Juli. Hari ini aku sama Ira pergi ke perpustakaan, kami meminjam banyak buku. Baru satu judul buku yang aku tamatkan, ‘Sang Idola’, karangan Alline. Sisa buku lainnya akan kubaca besok. Soal lomba mencari sahabat. Insya Allah, Velya Ananditha akan jadi pemenangnya! Kalaupun Ira nggak mau menanda tangani surat pernyataan, aku bisa cari sahabat yang lain. Masih ada waktu 6 hari lagi, tenang saja. Apalagi besok aku sekolah. Aku bisa cari sahabat sebanyak-banyaknya!           Velya menghempaskan pena ke meja belajarnya,dan meletakkan buku hariannya di rak buku. Ia menyempatkan diri untuk membalas SMS Dessy.            “Besok calon sahabatku akan menanda tangani surat pernyataannya, kamu belum, kan?” ketik Velya. Beberapa saat kemudian terdengar HP berdering, Dessy membalas.            “Zzz...”
Hari Ketiga: Senin, 16 Juli 2008
           Inilah hari pertama tahun ajaran baru SDN 205. Murid-murid baru—murid kelas satu dan anak yang pindah sekolah—tampak tegang karena asing dengan sekolahnya yang baru. Tapi tidak begitu dengan Velya dan Dessy. Mereka tampak senang karena masing-masing yakin akan mendapatkan sahabat dalam waktu dekat ini.
>Dessy            Mira menjemputku pukul 06.30. Ternyata sekolah baruku masuk pukul 06. 45. Padahal sekolahku yang dulu pukul tujuh tepat. Aku senang sekali, Mira akan menanda tangani surat pernyataan. Walau terakhir kali aku melihat Velya dua hari lalu bersama seorang anak sebayanya, aku yakin itu calon sahabatnya dan menurut SMS-nya sang calon sahabat akan menanda tangani suratnya hari ini. Memang aku agak was-was, takut kalah. Tapi aku yakin bisa menjadi sahabat Mira. Ya, aku selalu berdo’a biar aku menang.            Aku sampai di sekolah pukul 06.40. Velya sudah datang rupanya. Benar apa yang ia katakan, aku melihatnya mengobrol dengan seseorang!            “Hai, Vel! Ngapain?” tanyaku menghampiri Velya.            “Eh, kamu, Des!” kata Velya, lalu berbisik, “Ini calon sahabatku, sekolah di SD ini juga, sekelas dengan kita.” Wah, sekelas?            “Aku juga, Vel. Calon sahabatku juga sekelas dengan kita. Berarti kita berempat sekelas!” bisikku senang. Tiba-tiba seseorang yang dari tadi bersama Velya mendekati kami.            “Ayo, Vel,” sahutnya keras dengan nada tidak suka. Ia menarik Velya ke lapangan upacara. Velya tersenyum padaku. Aku membalasnya. Mira yang tadi kutinggal di taman tiba-tiba datang.            “Kamu ngomong sama siapa, sih?” tanya Mira.            “Oh, itu, Velya. Rumahnya disamping rumahku. Kenapa?” aku balas bertanya. Mira terlihat merengut. Wajah mungilnya jadi memerah. Lalu ia menyeretku ke taman sekolah.            “Dessy!” ia membentakku tiba-tiba.            “Kamu nggak tau siapa Velya itu?” gertak Mira. “Aku tau, apa kamu yang nggak tau?” sahutku.            “Aku emang nggak begitu tau tentang dia, tapi aku melihat, dari tadi ia berjalan bersama Ira, musuhku! Kalau kamu mau jadi sahabat aku, kamu nggak boleh temenan sama teman-temannya Ira!” Mira berteriak-teriak.            “Udahlah, Ra... Maafin aku, aku, kan nggak tau...” kataku membela diri.
>Velya            Hari ini hari pertamaku di sekolah baruku... Ira menjemputku pukul 06.25, untung aku sudah siap! Kami mengobrol banyak di perjalanan, tentang hobi masing-masing. Sampai di sekolah, baru sekitar 5 anak kelasku yang baru datang. Aku meletakkan tas di pojok, baris kedua dari depan. Ira meletakkan tasnya disampingku. Lalu menggandengku ke teras sekolah.            “Vel, aku, sih, mau aja sahabatan sama kamu, tapi... ya, kayak yang aku bilangin kemaren, kamu harus ngedukung permusuhan aku sama Mira, musuhku. Kalau kamu setuju, nanti aku tanda tanganin suratnya pas istirahat. Gimana?” tanya Ira. Aku yang berjalan santai langsung berhenti. Semalam aku belum memikirkan ini. Aku nggak mau kehilangan sesuatu yang ada di depan mata setelah dicari, tapi aku juga amat enggan mendukung permusuhan.            “Ng...” aku terdiam. Pandanganku menerawang ke gerbang sekolah, lalu ke lapangan upacara, ke pintu kelas, dan ke taman... Wah, Dessy ada disana! Ia duduk bersama seorang anak yang sepertinya calon sahabatnya. Kami beradu pandang, dan ia menghampiriku!            “Hai, Vel! Ngapain?” tanya Dessy. Aku berlari menghampirinya. Meninggalkan Ira yang menatapku bengong.            “Eh, kamu, Des!” kataku, lalu berbisik, “Ini calon sahabatku, sekolah di SD ini juga, sekelas dengan kita.”            “Aku juga, Vel. Calon sahabatku juga sekelas dengan kita. Berarti kita berempat sekelas!” bisiknya senang. Wah, kami satu kelas! Tiba-tiba Ira menghampiriku.            “Ayo, Vel,” sahutnya keras setengah memaksa. Ia menggandengku ke arah lapangan upacara. Aku tersenyum kepada Dessy, ia membalas.            “Vel, kamu tau siapa dia?” gertak Ira. Aku mengangguk            “Dia tetanggaku, namanya Dessy, satu kelas dengan kita. Ia sama sepertiku, anak baru,” jelasku singkat.            “Siapapun namanya, jangan dekati ia! Kalau tidak, aku tidak mau menanda tangani surat kamu!” bentaknya. Wajah putihnya memerah karena marah.            “Kenapa?” tanyaku tak mengerti.            “Dari tadi aku lihat si Dessy itu, ia bergandengan dengan seseorang. Kamu tau siapa dia?” tanyanya. Aku menggeleng.            “Dia Mira, musuhku! Kalau kamu tidak sahabatku, jangan bermain sama siapapun yang berinteraksi dengan Mira!” serunya ketus. Aku tambah bingung. Jika aku memusuhi Dessy, berarti aku melanggar pasal nomor empat tentang ketentuan lomba. Kan, nggak boleh musuhan...            “Lalu, kalau misalnya aku bermain dengan orang-orang yang berinteraksi dengan Mira, apa yang kau lakukan...?” tanyaku lirih.            “Aku ikut memusuhimu!” sahut Ira ketus. Glek! Bagaimana ini? Apa aku harus mencari sahabat lagi? Rasanya... Daripada kena denda, aku bisa cari sahabat lagi, kan? Tapi aku harus bilang apa sama Ira? Jujurkah?            “Ra...” panggilku takut-takut. Ira menoleh.            “Aku... Aku kayaknya... Maaf, Ra, tapi aku nggak bisa ngedukung permusuhan kamu... Aku... Aku nggak bisa marahan sama Dessy, Ra, walaupun Dessy sahabat Mira...” sauaraku seperti tercekat di tenggorokan.            “Ya sudah, sana! Pindahkan tasmu dari bangkuku!” bentaknya keras. Aku segera menuju kelas, buru-buru memindahkan tasku dari meja Ira ke meja paling belakang, pojok kiri kelas.             Setelah memindahkan tas, aku berputar-putar di koridor sendirian. Seorang gadis berjilbab menyapaku.            “Kamu kelas 5, ya?” tanya anak itu. Aku mengiyakan. “Kamu?” tanyaku.            “Sama. Aku murid baru di sekolah ini. Aku sudah lama tahu sekolah ini, karena kakakku, alumninya, bersekolah di sini. Adikku juga. Tapi aku enggak. Aku sekolah di MI 92, dekat, kok, dari sini. Aku pindah dari sini karena aku mengincar mutu kurikulum di sekolah ini,” ceritanya singkat.            “Aku juga. Aku murid baru juga, ngg... aku pindah karena lingkungan di sini nyaman, lebih nyaman dari tempat tinggalku dulu yang di rumah susun, eh, emang di MI 92 mutu kurikulumnya nggak bagus?” ceritaku sambil bertanya.            “Bagus, sih. Tapi tentu lebih bagus di sini. Kalau di sana, agama terus.”            “Kamu bosan?”            “Enggak, sih, tapi aku udah banyak pengajian, setiap malam di masjid, lalu setiap minggu di rumahku, dan setiap bulan di rumah nenek, sekalian acara kumpul keluarga. Ajaran di pengajianku lebih berbobot daripada di sekolahku, karena pengajianku setara dengan kurikulum agama MTs. Karena mutu kurikulum yang lebih bagusan sekolah ini, aku ke sini. Ini semester pertamaku,” jelasnya. “MI 92 dimana sih, eh...?” aku hampir menyebut namanya, sepersekian detik kemudian aku sadar, aku tak tahu namanya!            “Oh, hai, kita lupa berkenalan!” kata gadis itu seolah berpikiran sama denganku. Jilbabnya tertiup angin.            “Aku Rara,” katanya sambil menyodorkan tangannya padaku.            “Velya,” aku menyambut uluran tangannya, “MI 92 dimana, sih, Ra?”            “Dekat. Tiga blok dari sini. Kalau kau mau kesana, pulang sekolah kuantarkan. Tempatnya bagus. Ada outbound, warnet, perpustakaan dengan 5000 naskah cerpen dan 100 buku agama, lapangan 20m x 12m, aula, mushola, bangunannya tingkat tujuh, besar, mewah, megah, dan kokoh. Karena, selain MI, ada MTs dan MA-nya.            TEEET!            Bel berdering. Rara mengajakku ke lapangan unntuk berbaris.            Kulihat lautan anak-anak di lapangan. Kutaksir, ada sekitar 200-250 murid sekolah ini, dan 15-20 orang dewasa berseragam biru tua. Kata Rara, mereka para guru. Aku mengambil barisan di belakang, sebaris dengan Dessy. Rara berbaris di depan karena ia agak pendek. Kupikir-pikir, bila Ira tersingkir dari gelar ‘calon sahabat’-ku, mungkin akan kuincar Rara. Lama aku melamun sendiri dalam upacara, hingga ketika bagian penaikan bendera, aku tidak ikut menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya’, padahal aku lumayan suka lagu itu. Akibatnya, seorang guru melihatku tidak bernyanyi, menegurku. Hhh, rasanya malu sekali ditegur. Padahal aku jarang kena tegur, apalagi aku murid baru.            Dengan jelas aku mendengar protokol upacara bendera berkata, “Amanat pembina upacara, barisan diistirahatkan!”            Lalu kulihat Pak Walid, kepala sekolah, maju ke podium, mengucapkan salam dan kata-kata pembuka.            “Bagi para anak kelas 1, dan anak-anak pindahan, selesai upacara bendera  jangan langsung masuk kelas. Kalian ke aula dulu. Anak-anak lain langsung masuk kelas, dan tahun ini masing-masing kelas ada sepasang guru. Untuk guru Bahasa Inggris, Sejarah, Olahraga, Agama, Geografi, Kimia, dan Komputer ada masing-masing guru untuk keenam kelas,” begitu kata-katanya. Beliau tinggi tegap, tubuhnya yang berotot tampak gagah, seperti remaja. Padahal sebagian kepalanya yang dipenuhi uban menunjukkan bahwa ia berusia lebih dari kepala empat. Tak lama, beliau mengucapkan salam.            Pemimpin upacara berujar, “Seluruh barisaaaaan! Siaaap, grak!”            Setelah menyanyikan lagu ‘Padamu Negri’—masih lagu favoritku, memang semua lagu wajib aku suka, kecuali beberapa—lalu berdo’a, upacara selesai. Kami, para anak baru, sesuai perintah Pak Walid, kami menuju aula.
> Dessy            Aku nggak boleh melanggar nomor empat yang tidak membolehkan aku dan Velya bermusuhan. Lalu... apa yang kulakukan? Kucoba bicara baik-baik saja dengan Mira, agar boleh tetap berteman dangan Velya.            “Ngg, Mir, ngg... Aku boleh, nggak temenan sama si Velya, yang dari tadi bareng si Ira itu...” kataku lirih.            “Ha? Apa? Maaf, aku tidak mendengar,” kata Mira. Rupanya ia sibuk membersihkan bangku taman yang penuh dedaunan.            “Gini, Ra, tapi ka mu jangan marah, ya...” sahutku takut-takut.            “Memang apa yang mau kau bicarakan? Kok pake takut aku marah segala? Tenang, aku nggak akan marah.”            “Benar, ya, apapun masalahnya?” aku mencoba meyakinkan.            “Ya, ceritakanlah, jangan ragu!”            “Ra, aku... Aku boleh, kan, tetap temenan sama si Velya itu? Yang sama Ira terus.”            “Apa?! Kamu...” hampir saja amarah Mira meledak, kalau saja aku tidak menahannya.            “Maksudku... Ya, terserah kamu, kalau nggak boleh juga nggak apa-apa, kok. Tadi, kan, kamu juga udah janji nggak akan marah,” aku berusaha meredakan amarahnya.            “Ya sudah! Boleh saja!” kata-kata Mira yang membuatku sedikit lega... Tapi... “Tapi, pindahkan tasmu dari meja yang sama dengan mejaku!”            Hhhfff... Aku mendesah. Aku segera kembali ke kelas. Memindahkan tasku ke bangku yang lain. Aku tidak melihat bangku yang kosong, kecuali bangku milik Ira, aku tahu dari tas merah mudanya. Aku tak mungkin duduk di sana, Mira akan memusuhiku nanti. Tapi ada bangku di paling belakang, di sebelah pojok. Memang sangat pojok, karena itu di pojok kanan, dan meja guru di pojok depan kiri.            TEEET!            Bel sekolah! Aku buru-buru menuju lapangan untuk berbaris. Aku berbaris di barisan belakang. Velya juga, karena kami sama-sama tinggi.            Saat guru berpidato, kami mendengarkan dengan baik.            “Bagi para anak kelas 1, dan anak-anak pindahan, selesai upacara bendera  jangan langsung masuk kelas. Kalian ke aula dulu. Anak-anak lain langsung masuk kelas, dan tahun ini masing-masing kelas ada sepasang guru. Untuk guru Bahasa Inggris, Sejarah, Olahraga, Agama, Geografi, Kimia, dan Komputer ada masing-masing guru untuk keenam kelas,” begitu kata-kata kepala sekolah, namanya Pak Walid. Pak Walid memiliki seorang anak yang, kata Mira, sekelas denganku. Dari air muka Pak Walid yang bersahabat, ramah, dan penyabar itu sudah ketahuan bagaimana sifat anaknya itu, karena, masih kata Mira, sifat Pak Walid sama dengan anaknya itu. Wah, anak itu akan kuincar jadi calon sahabatku.            “Shh, shh, Des, shh,” panggil Velya dengan berbisik. Aku menoleh.            “Hei, udah tanda tangan?” bisiknya. Aku menggeleng.            “Aku nggak bisa ngobrol di sini. Istirahat nanti temui aku di taman dekat kantin, kita bahas soal lomba,” bisikku takut ketahuan guru.            Setelah upacara usai, aku dan beberapa anak baru langsung menuju aula. Kulihat Velya berada dibelakang barisan, menggandeng seorang gadis berjilbab. Apa itu sahabatnya? Lalu, bagaimana dengan Ira, sahabatnya? Ah, entahlah.            Aku memasuki aula. Langit-langitnya tinggi lega. Lantainya dilapisi keramik marmer mahal. Warnanya keemasan, dindingnya berlapis wallpaper putih dengan strip merah ditengahnya. Ada panggung kecil, 5m x 2m, tingginya setengah meter, dilapisi karpet merah. Beberapa kursi lipat warna merah berjejer tidak teratur di lantai marmer. Mewah dan modern. Sekilas seperti ruang dansa. Anak-anak lainnya tampak mengagumi aula mahal ini.            “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” sapa Pak Walid, berdiri di panggung kecil itu sambil memegang mikrofon.            “Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab anak-anak.            “Silakan duduk di kursi yang tersedia...” kata Pak Walid. Anak-anak berebutan mencari kursi. Aku mengitarkan pandangan, berlari menuju kursi di belakang kursi Velya.            “Anak-anak, SDN 205 ini terkenal dengan kehebatan murid-muridnya dalam seni. Selain itu, lulusan kelas 6 kemarin memiliki nilai UN yang tinggi, rata-rata 8,75, dan 99% murid dapat naik kelas dengan rata-rata 8,00. Kalian melakukan seleksi ketat sekali, hingga 500 pendaftar hanya 50 anak yang diterima, setelah itu...” Pak Walid memulai dengan menceritakan kehebatan murid-muridnya, tentang sekolah kami yang mendapat beasiswa untuk membangun sekolah, termasuk beasiswa untuk membangun aula mahal ini.            Selama tiga puluh menit kami mendengarkan Pak Walid berbicara, tentang sekolah, letak-letak kelas dan ruangan lain, dan yang paling utama, ia menghimbau kami untuk belajar terus.            “Shh, Dessy,” panggil Velya. Ia menoleh ke belakang, karena aku duduk di belakangnya.            “Apa?”            “Mana sahabatmu?”            “Ia... Ah, sudahlah. Kamu sendiri? Mana Ira?” tanyaku            “Ira? Ia... Nanti kuceritakan. Bagaimana dengan Mira?” ia menanyakan hal yang sama. Aku menggeleng. “Untuk itu butuh waktu. Tidak disini,” kataku, “Itu siapa, Vel?” tanyaku, menanyakan sang gadis berjilbab.            “Dia? Rara,” jawabnya singkat. Ia mencondongkan badan ke belakang.            “Kenapa nggak bareng Ira? Kulihat tadi Ira seperti menjauhimu.”            “Sudahlah. Untuk menceritakannya butuh waktu. Tidak disini,” Velya mengikuti kata-kataku. Sang gadis berjilbab memanggilnya. Ia kembali duduk. Lalu tampak mengobrol dengan si Rara.            Sepuluh menit kemudian, aku kembali ke kelas. Aku berjalan menuju bangku belakang. Sendiri. Tapi... Achi didepanku! Achi anak Pak Walid! Wah, ini calon sahabatku. Achi, rambutnya ikal panjang, tergerai ke punggung. Kacamata yang ia pakai lucu, berbentuk persegi panjang, bingkainya setengah.            “Hai, boleh kenalan, nggak?” Achi menoleh ke belakang. Aku tersenyum.            “Tentu boleh! Aku Dessy, kamu Achi, kan?” tanyaku senang.            “Kamu tahu darimana?”            “Dari Mira!”            “Oh, dia. Mira itu sepupuku! Sepupu jauh, sih, tapi kami lumayan dekat. Tahu, nggak, Mira punya sahabat, namanya Ira. Biasanya berdua terus. Mereka kok, tumben, jauh-jauhan duduknya. Kamu tahu kenapa?”            “Lho, kok, tanya ke aku?” aku menghindar memberikan jawaban.            “Abis, tadi aku liat kamu bareng Mira terus!” sahutnya sedikit mendesak.            “Mereka marahan,” jawabku datar. Achi tampak kaget. “Wah, nggak bisa dibiarkan! Mira kalo marah meledak-ledak, bisa gebrak-gebrak meja dia, apalagi Ira, ia bisa mengatakan apa saja yang melukai hati orang, sekeras apapun hatinya,” kata Achi. Dari tadi ia tersenyum sambil berbicara tiada henti.            “Dulu aku pernah marahan sama Mira,” cerita Achi. Aku setengah tidak percaya. “Tapi aku nggak tahan, akhirnya aku tulis surat, di suratnya itu ada puisi. Mira luluh dengan puisiku. Kami akhirnya berbaikan.”            “Kamu seneng nulis puisi?” tanyaku. “Ya, begitulah. Aku pernah menang lomba puisi se-kelurahan. Eh, bukannya aku sombong, ya, tapi aku seneng banget nulis puisi. Puisiku yang dimuat di media ada 5, di komputerku aku menyimpan file dengan 10 puisi, aku nggak tahu itu bagus apa enggak, terus di diariku ada 20-an puisi,” Achi tidak berhenti bicara. Sepertinya ia tidak akan berhenti kalau tidak dihentikan.            “Eh, Chi, aku juga seneng, lho, nulis puisi,” sahutku. Achi melirikku.            “Benarkah? Kalau gitu, ntar siang kerumahku, yuk, kita bikin puisi bareng,” senyum Achi. Ia memang ramah seperti Pak Walid, tapi tidak sewibawa Pak Walid. Ia supel dan agak cerewet. Tapi aku suka.            “Oke. Aku punya sekitar 20-an puisi dan 5 cerpen. Belum pernah di publikasikan, bagaimana kalau kita edit besar-besaran karya kita itu?” tanyaku.            “Ya! Dan kita mengirimnya ke penerbit! Atau kita bacakan bulan depan, saat pensi tiba!” seru Achi bersemangat. Murid-murid lain mengobrol semua. Termasuk teman sebangku Achi, ia mengobrol dengan dua teman depannya. Aku memerhatikan kalau-kalau ada guru yang masuk kelas kami.            “Pensi?” tanyaku. Sekolah lamaku mengadakan pensi hanya ketika perpisahan murid kelas 6. Sekarang saja bulan Juli, berarti pensinya Agustus... Pensi apaan di bulan Agustus?            “Iya, pensi sekalian menyambut 17-an,” jawab Achi. Kami mengobrol hingga guru masuk kelas dan memberitahukan jadwal mata pelajaran.
> Velya            Setelah upacara, aku memasuki aula. Wah... mewah sekali...            “Tahu, nggak, Vel, aula sekolah 92 nggak semewah ini...” Rara berdecak kagum. “Aulanya kayak ruang dansa, ya.”            Seperti biasa, Pak Walid memberikan himbauan agar kami belajar semaksimal mungkin, karena masuk sekolah ini dilakukan seleksi ketat sekali. Hanya 10%  yang diterima dari keseluruhan murid-murid yang mendaftar.            Ketika ke kelas, aku mencari tempat duduk Rara. Rupanya ia tidak dapat bangku! Aku mengajaknya sebangku denganku. Ah, akhirnya aku punya teman sebangku juga... Kami mengobrol banyak, hingga sepuluh menit kemudian guru kelasku yang bernama Bu Milla. Ia memberikan jadwal mata pelajaran, jadwal piket, dan nomor absen.            Pukul 9 tepat bel istirahat berbunyi. Aku segera menuju taman, menunggu Dessy. Sambil mengitarkan pandangan, mana dia?            “Velya!” panggilnya. Aku menoleh.            “Hai, Des!” aku balas menyapanya.            “Gimana Ira?” tanya Dessy sumringah.            “Ia marah karena aku berteman denganmu. Karena kau sahabat Mira. Mereka ternyata sedang musuhan,” jelasku.            “Aku juga. Padahal siang nanti kami harus ke panti asuhan. Dia marah karena aku tadi mengobrol denganmu, sedangkan kamu sahabatan sama Ira. Aku mungkin bisa saja memusuhi Ira, tapi aku nggak bisa memusuhi kamu. Ingat pasal nomor empat tentang ketentuan lomba? Aku, kan, nggak mungkin melanggarnya. Tapi aku sudah menemukan calon sahabat lain. Kami juga nggak bisa tanda tanganin suratnya sekarang,” jelas Dessy.            “Aku juga dapat calon sahabat! Namanya Rara. Dia baik. Sekolah lamanya di madrasah,” kataku sambil menyeruput jus mangga yang dibawakan mama.            “Madrasah? Madrasah mana?”            “MI 92,” jawabku. “Kakakku di MA 92 juga!” pekik Dessy girang.            “Sudahlah. Sahabatmu sendiri siapa?” tanyaku.            “Achi. Anak Pak Walid. Dia ramah, supel, dan cerewet. Baru lima menit kenal ia sudah mengundangku ke rumahnya. Ramah sekali, bukan? Jadi, nanti siang aku ada jadwal, ke rumah Achi,” Dessy mengunyah batangan wafer coklat yang baru ia beli, sebelum ke taman.            “Aku juga! Nanti aku mau ke MI 92, diajak Rara. Siapa tahu ketemu calon sahabat yang lebih baik daripada Rara,” kataku. Jus manggaku tinggal sepertiganya. Aku menawarkan Dessy. Ia ganti menawarkanku wafernya.            “Ira marah sama kamu, Vel?” tanya Dessy. Aku mengangkat bahu, “Kamu sendiri? Mira marah sama kamu?”            “Aku nggak tahu. Tapi, kalo dia ngeliat kita ngobrol dia bakal marah, Vel. Mira sensitif banget dengan keegoisannya. Ehm, bukan aku ngomongin orang, ya, tapi dia emang gitu. Ntar ke pantinya gimana, ya?”            “Bahan sumbangan ada di siapa?”            “Mira,” jawab Dessy lirih.            “Kamu bilang saja kalau—“ kata-kataku terpotong oleh pekikan senang Dessy, “Ah, ya! Sepupunya Achi itu Mira! Aku nitip aja ke dia gimana, ya? Good idea, kan?” Dessy sumringah. Aku hanya mengiyakan. Tiba-tiba Rara memanggilku. Aku duluan pergi ke perpustakaan bersama Rara, meninggalkan Dessy sendiri yang melangkah ke kantin.            “Ra, ntar jadi, kan, ke sekolah lamamu?” tanyaku.            “Oh, ke Madrasah 92? Tentu. Langsung, ya, sepulang sekolah. Eh, tadi itu siapa, Vel?” Rara menyeruput habis es buah jajanannya.            “Dessy, tetanggaku. Dia anak baru juga disini,” aku melangkah ke ruang perpustakaan. Lumayan besar, ada belasan rak buku tinggi-lebar, penuh sesak berisi buku. Di pojok ruangan terlihat seorang guru, mungkin guru piket, duduk sambil menulis-nulis sesuatu di meja kayu. Ada bangku rotan panjang, terlihat beberapa anak sedang membaca buku di bangku rotan itu. Ada juga sepetak karpet merah, untuk membaca sambil lesehan.            Aku mengambil sebuah ensiklopedia besar dan mulai membacanya. Rara sendiri mengambil novel komedi.            Pukul 12, aku pulang. Sesuai janji, aku langsung ke madrasah dulu.            Sesampainya disana, aku terkesima. Bukan sama bangunannya yang megah dan besar, bukan juga sama taman-tamannya yang berwarna-warni bunga, bukan pula dengan lapangannya yang diberi batu blok putih yang halus, tapi sama sebuah pengumuman yang dipajang di depan gerbang.            “Setiap anak Madrasah 92, wajib berbaik hati dengan saudara seiman. Semua saudara seiman adalah sahabat kalian, dimanapun kalian berada. Karena sahabat itu juga penting. Seribu sahabat amat sangat kurang sekali, tetapi satu musuh amat banyak. Maka anggaplah seluruh warga di sekitar kalian adalah sahabat,” kata-kata yang terpajang di pengumuman itu.            “Baca itu, ya? Aku selalu terkenang dengan kata-kata itu. Karenanya, untuk mengabadikan itu di hati aku menganggap seluruh muslim, dimanapun mereka berada, siapapun mereka, itulah sahabatku,” senyum Rara. Aku tersenyum.            “Termasuk aku?” tanyaku ragu.            “Termasuk kamu,” jawab Rara tegas. Aku seakan melambung, aku senang sekali, karena sanagat mudah mendapatkan sahabat setelah ditinggal Ira. Alhamdulillah, setelah Ira tidak menganggapku sahabatnya, Raralah calonnya. Tunggu saja besok. Rara akan menanda tangani surat pernyataan!
> Dessy            Sepulang sekolah, aku langsung pulang, terburu-buru makan, mengemas segala buku-buku sastraku, diariku, dan flash disk ke dalam tas selempang kecil putihku. Aku akan ke rumah Achi! Setelah sholat zuhur, aku bergegas ke rumah Achi dengan bersepeda. Katanya ia menunggu di lapangan basket belakang rumah. Ketika aku kesana, Achi sudah menunggu.            “Yuk, langsung saja,” ajak Achi. Dia memimpin bersepeda ke rumahnya. Aku mengekor di belakangnya.            “Di rumah ada Pak Walid, Chi?” tanyaku sekedar basa-basi.            “Enggak. Bapak lagi rapat guru. Pulang sore. Habis itu langsung menuju Aqua Fantasi-nya,” jelas Achi.            “Aqua Fantasi? Apa itu?” tanyaku.            “Aqua Fantasi, itu, Bapak bikin usaha kecil-kecilan dengan membuat kolam renang di Bogor, kami punya tanah disana. Lumayan, keuntungannya bisa buat bayar kontrak rumah,” cerita Achi berseri-seri. Aku hanya ber-O panjang.            Tampaklah kontrakan Achi. Mungil, asri, dan cerah. Mungil karena rumah itu sederhana, asri karena banyak bunga dan rumput di taman sempit Achi, dan cerah karena cat kuning pucat bersinar di pagarnya. Dindingnya putih bersih, bingkai jendelanya dari kayu, pintunya di cat cokelat tua.            “Masuk, Des,” Achi mempersilakan. Aku memandang ruang tamu kecilnya. Karpet merah digelar di depan televisi, ada rak buku kecil berisi buku-buku kuliahan, mungkin buku Pak Walid.            “Duduk aja. Maaf, kami nggak punya sofa,” kata Achi. Aku tersenyum. “Nggak apa-apa. Mulai aja, deh,” kataku ramah. Kami dengan serunya membahas sastra. Hingga aku berpikir, Achi sangat cocok jadi sahabatku! Apakah ia akan menolak?
> Velya            Aku yakin sekali aku akan menang, tentu saja Rara sudah memegang teguh prinsip Madrasah 92 itu. Tinggal minta dia tanda tangan, apa sulitnya? Besok kami ada jadwal eskul. Aku mengambil teater, sama kayak Rara! Gadis itu ternyata senang teater! Ia bercerita, ia memiliki beragam piagam penghargaan dalam bidang drama teater.            Sore ini kami berangkat ke rumah Bu Nanda. Kami akan berlatih teater di rumahnya. Beliau orang yang sangat baik, beliau membuka kelas teater gratis, kaos teater gratis (maksudnya kaos bertuliskan kelas teaternya), sarana gratis, malahan kadang ia membuat drama, lalu beberapa anak disuruh memerankannya. Setelah itu, permainan terbaik akan diberi hadiah, kadang tas sekolah, tempat pensil, alat tulis, dan lain-lain. Bu Nanda seorang figuran pada sebuah film yang diputar di sebuah stasiun televisi swasta, makanya beliau hebat dalam bidang teater dan kaya. Walau begitu, beliau tidak sombong, lho!            “Velya, pulang, yuk. Aku sudah capek, nih,” keluh Rara. “Ya udah, ayo. Kita pamit dulu sama Bu Nanda,” aku menghampiri Bu Nanda, untuk berpamitan.            “Ra, ngg, ada yang mau aku omongin. Tapi kamu mau, ya?” kataku di perjalanan.            “Apa?” sahut Rara pendek.            “Aku punya ini, dan aku mau kamu menanda tanganinya,” aku merogoh saku, mengambil surat perjanjian yang selalu kukantongi.            “Apa ini? Kalau aku jadi sahabatmu, ya, kita bersahabat! Tidak usah seperti ini, ngapain pake tanda tangan segala?” tanya Rara heran.            “Tapi, apa salahnya, cuma tanda tangan?” kataku mengelak.            “Jawab dulu buat apa, baru aku tanda tangan,” kata Rara.            “Nggak bisa diceritakan, Ra. Ini... rahasia. Pokoknya tanda tanagn aja, nggak ada rahasia teramat penting, kok.”            “Kalau nggak ada yang penting, ngapain di rahasiain?” tanyanya mengejar. Aku kebingungan.            “Gini aja, kita sahabatan tanpa tanda tangan segala, kamu mau, kan?” tanyanya lagi, makin membuatku bingung. Apa yang kukatakan?!?! Dessy tidak akan percaya padaku, jika di surat pernyataan, tidak ada nama sahabat. Mungkin aku bisa saja berbohong, tapi, itu dilarang keras.            Akhirnya, diperempatan jalan aku berpisah. Apakah aku harus mencari sahabat lagi?!?!            Aku butuh sahabat, yang tulus dan perhatain. Bukan yang egois seperti Ira atau yang posesif seperti Rara. Hhh, cari kemana lagi, ya?
Hari Keempat: Selasa, 17 Juli 2008
> Dessy Pagi ini aku dan Achi satu regu dalam permainan basket perempuan, ketika pelajaran olahraga. Kami bermain penuh energik, melawan regu Velya, Ira, Mira, Rara, dan Myftha. “Dessy, oper kesini!” teriak Achi. “Mira, kamu jaga di posisi Achi,” teriak Miftha.            Aku mengoper bola ke Achi... ah sayang, bolanya mendarat di tangan Mira, “Siska... Rebut bolanya dari Mira!” perintahku kepada Siska, teman sereguku yang sedang lengah. Siska segera berusaha merebut bola. Ia berhasil! Ring milik regu Velya tinggal dua meter.            “Rara, jaga gawang yang benar! Velya, kamu rebut bola dari Siska,” perintah Mira.            “Baik,” kata Rara singkat. Velya mendekati Siska. Ia merebut bola. Karena Velya panik, dribble-nya jadi kacau. Dan basket itu memantul ke... perut Siska. Gadis itu terjatuh, agak meringis.            “Siska! Ya Allah...” Achi mendekati Siska setelah guru olahraga meniup peluit. “Kamu nggak apa-apa? Ayo, kita ke UKS, Sis,” ajak Achi.            “Sis, ya Allah, maaf, aku nggak sengaja, udah, Chi, biar Siska aku anterin ke UKS,” kata Velya menyela.            “Aduh...” gumam Siska. Velya memapahnya. Anak-anak lain kembali ke kelas. Kecuali aku dan Achi.            “Siska kasihan, ya, pasti perutnya sakit banget, kena bola, eh, ke kantin, yuk!” ajakku.            “Ayo!”            “Oke, lah! Masa’ oke dong! Pisau aja buat membelah, bukan membedong. Hahaha...” kami tertawa bersama. Lalu kami melangkah ke kantin.            “Mbak Dina, mie ayamnya dua, ya. Es tehnya satu, mm, kamu mau apa, Des?” Achi bertanya. “Aku... teh botol aja, deh! Sama teh botol satu, ya, Mbak! Ini uangnya. Makasih,” kataku sambil menerima pesanan. Kami lalu mencari bangku dan duduk.            “Des, kata bapakku, lusa aku pindah sekolah. Baru kamu yang aku kasih tau, anak-anak lain belum,” cerita Achi tak terduga. Aku hampir tersedak. Secepat itukah? Aku kehilangan calon—lagi-lagi.  Berarti aku harus mencari yang baru... Ah, malasnya...
>Velya            Pagi ini pelajaran pertamaku adalah olahraga. Sudahlah, hari ini aku pasrah. Aku akan mencari calon sahabat yang baru lagi. Selain Rara. Siapalah yang mau menandatangani surat perjanjian tanpa ba-bi-bu lagi.            Tetapi pagi ini aku masih bersama Rara. Satu regu di permainan basket. Kami bermain dengan serunya hingga aku merebut bola. Dan aku sangat gugup, terlalu panik dan kaget. Dimana gawangnya...? Lha kok aku jadi tulalit begini, masa’ gawang lawan sendiri nggak tau...            Dribble-ku jadi kacau. Tiba-tiba saja, aku men-dribble-nya terlalu ditekan, jadi bola itu memantul ke perut Siska, lawanku. Siska terjatuh dan meringis. Aku buru-buru mendekatinya.            “Sis, ya Allah, maaf, aku nggak sengaja, udah, Chi, biar Siska aku anterin ke UKS,” kataku menyela, saat Achi berusaha membantu Siska berdiri.            Akupun memapah Siska ke UKS. Beberapa temanku yang mengikuti, dicegah oleh guru olahraga.            “Anak-anak, maaf, kalian tak boleh masuk UKS. Hanya Siska dan anak baru yang tadi itu. Semuanya kembali ke kelas. Siska, pelajaran pertama kamu Bapak beri izin. Tapi pelajaran kedua kamu harus masuk lagi, ya? Jangan terlambat. Tapi kalau kamu benar-benar merasa sakit, kamu pulang saja. Anak-anak, sepuluh menit lagi kita latihan atletik, jadi kalian harus ada disini setelah sepuluh menit istirahat,” katanya berpidato singkat.            “Siska, maaf, ya...” aku meminta maaf.            “Sudahlah, aku nggak apa-apa. Lagipula kaum kan nggak sengaja...” katanya. Aku membuka pintu UKS. Tampak  dua anggota PMR yang piket sedang mempelajari prakteknya.            “Eh... Siska! Kamu kenapa?” sahut satu anggota PMR itu.            “Mm, kena bola. Perutnya,” kata Siska sambil berbaring di kasur yang disediakan. Anggota PMR yang lain mengambilkan balsem anak-anak yang tidak panas. “Ini, Kak,” katanya. “Makasih,” sahut Siska perlahan. “Kak Amara, tadi Kakak dipanggil Pak Yudha, ditunggu di perpustakaaan,” kata Siska pada orang yang tadi menyapanya. “Baik, aku segera kesana. Fitrah, ikuti aku. Kau jaga Siska,” katanya memerintahku. Dua orang petugas piket UKS itu pergi. Tinggal kami berdua.            “Siska... Maafkan aku. Aku tak sengaja,” kataku lagi.            “Sudahlah, Vel. Kamu memang tak salah,” kata Siska sambil mengoleskan balsem di perutnya yang terkena bola. Aku mendesah, “Mau aku buatkan teh?” tawarku hangat. Siska mengangguk pelan. “Terimakasih,” katanya tulus.            “Sama-sama,” aku mulai membuat teh.            Selama 15 menit di UKS kami mengobrol dengan asyiknya. Sakit di perut Siska mulai menghilang. Jam pelajaran kedua masih 20 menit lagi. Lagipula, kami berdua dibolehkan bolos pada jam pertama.            “Vel, aku boleh curhat nggak sama kamu?” tanya Siska ragu.            “Ya bolehlah, masa’ ya boleh dong! Jeruk aja dibelah, bukan dibedong!” candaku. “Iih, kamu! Aku serius!” seru Siska.            “Yah, tadi kan aku sudah jawab, ceritalah,” aku menggeser posisi dudukku.            “Begini, sebulan lalu aku punya sahabat, namanya Hani. Kami sudah sangat dekat, hampir tiap hari kami bermain bersama. Kadang di rumahnya, kadang di rumahku, atau di rumah saudaraku atau saudaranya. Kami pernah menginap bersama, pokonya kami dekat sekali. Hingga bulan lalu ia pindah ke Jakarta. Aku berkali-kali menelepon ke HP-nya tapi tak diangkat. Saat aku menelepon ke HP ibunya, aku bilang ‘Mama Hani, bisa bicara dengan Hani?’, lalu ia memanggil Hani. Aku mendengarnya. Lalu terdengar jeritan kecil Hani di telepon, suara yang sangat kukenal dan kurindukan, namun kata-katanya...” Siska berhenti bercerita. Ia menundukkan kepala. Menahan sedih.            “Lalu apa?” kejarku ingin tahu.            “Katanya... Ia bilang, ‘Hai Siska! Aku sudah benci denganmu! Janganlah sok telpon-telpon aku lagi dan bilang kangen atau segala macam! Huh! Dasar orang sok perhatian! Nggak tahu kesibukan orang apa ya?’ begitu katanya,” cerita Siska. Airmatanya menetes. Ia meneguk teh manis yang aku buat.            “Lalu aku bertanya, ‘Hani, kamu kenapa? Kok kamu jadi kasar begini?’ dan ia bilang, ‘ Suka-suka! Terserah aku dong! Lagipula, disini aku sudah dapat teman yang lebih baik daripada kau disana yang kampungan!’ katanya pedas. Saat itu aku hampir menangis. Walau kita tidak tinggal di kota besar, bukan berarti kita kampungan, kan? Ya, setelah itu juga aku mengiriminya e-mail, di e-mail itu aku lampirkan foto-foto kami berdua, gambar sepasang sahabat dari internet, gambar kado, pokoknya gambar yang banyak. Di akhir pesan, aku menulis ‘balaslah e-mailku secepatnya’, dan benar, lima menit kemudian dia membalas. Rupanya dia sedang online. Tahukah kau balasannya?” Siska bertanya. Tangisnya sedikit reda.            “Apa? Dia mengajak chatting? Atau dia membalas dengan ucapan minta maaf?” kejarku lagi. Aku berharap Siska mengangguk. Tapi ia malah menggeleng. “Katanya... Dia sudah tidak mau lagi bersahabat denganku... Aku tak tahu kenapa. Padahal, dulu dia begitu lembut, ramah, tapi sekarang...?” Siska mulai menangis lagi.            “Vel... Aku tak biasa sendirian. Tiap siang aku selalu bersama Hani. Ke kantin bersamanya, berangkat sekolah bersama, pulangnya demikian, aku... aku tak pernah sendirian. Maukah kau jadi sahabatku, Vel?” tawar Siska yang mengagetkanku. Sahabat?!?!? Aku tak menyangka akan secepat ini mendapatkan sahabat. Hah, alhamdulillah... Allah memang baik. Izinkan aku memenangkan lomba sederhana ini, ya Allah...            Ya, jadi tanpa pikir panjang langsung saja kuterima tawaran Siska. Minta tanda tangan untuk surat pernyataan adalah hal yang mudah, pikirku. Itu urusan nanti.            “Tentu saja! Asal... jangan ada syarat tertentu, ya?” aku menyambut tawaran Siska.            “Tapi, Vel... Aku punya syarat, yaitu—“ belum selesai Siska bicara aku sudah memotongnya, “Kalau begitu maaf, Sis, aku nggak bisa.” Aku menjawab dengan perasaan sedih. Sudah senang-senang dapat sahabat, kok, malah kabur lagi? Capek nyarinya, tau!            “Vel, dengar dulu, syaratnya adalah, kamu nggak boleh bersikap kayak Hani. Setuju?” tawar Siska lagi.            “Ah, yang ini, mah, aku bisa! Insya Allah aku nggak akan kecewain kamu! Setuju!” sambutku ceria. Siska tersenyum Alhamdulillah! Aku akan jadi pemenangnya! Dan aku tak khawatir ia akan pergi lagi seperti Mira atau Rara! Mendengar ceritanya saja, sepertinya dia sudah sangat setia dan menerima sahabat, siapapun, orang kaya atau miskin, cantik atau buruk, pintar atau bodoh, ah Siska... Terimakasih!            “Tanpa syarat lain?” aku meyakinkan.            “Kamu harus bersedia berbagi denganku dan dibagi olehku!”            “Tentu bisa! Ada lagi?” aku menantang.            “Kamu harus temenin aku jajan, ke toilet, seminggu sekali kita jogging bareng, dan kita selalu bersama!” pekik Siska girang. Aku segera mengangguk setuju. “Kalau kau melanggar, aku tak mau bersahabat denganmu!” Aku Tapi aku tak tahu, arti dari perkataan Siska sangat besar.
> Dessy Siang ini setelah bel pulang sekolah, aku langsung ke rumah Achi.            “Achi, kita, kan, baru kenal. Lagipula, aku ingin bersahabat denganmu,” kataku penuh sesal setibanya di kamar Achi. Achi langsung merapikan pakaian-pakaiannya dan ia kmas didalam koper hitam besar.            “Sudahlah, kita masih bisa berhubungan. Lewat telepon, surat, atau e-mail. Kamu punya e-mail, kan? Aku juga punya,” kata Achi sambil menyerahkan kartu namanya. Aku menerimanya setengah hati.            “Bukan, bukan itu maksudku,” ujarku.            “Lalu?” Achi melipat seragam batik sekolah kami.            “Maksudku... Ehm, kamu pindah ke mana?” aku menguasai diri.            “Ke Aceh. Memang jauh, tapi kendala jarak tak masalah, bukan? Seperti yang kubilang tadi, kita masih bisa berkomunikasi...”            “Tapi, ah, kau takkan mengerti,” aku menunduk. Kota yang amat jauh. Melanggar persyaratan lomba, pasal kedua. Achi menimang seragam batiknya, sebelum dimasukkan ke koper seperti seragam Achi yang lain.            “Kamu udah beli batiknya 205?” tanya Achi. Aku menggeleng.            “Sayang kalau dibuang. Bajuku ini buatmu saja, ya. Baru sebulan, kok. Lagipula, terlalu besar di tubuhku. Di tubuhmu mungkin pas. Kan, tubuhmu agak besar,” kata Achi sambil menyerahkan batik khas SDN 205. Aku mengangguk, “Makasih, ya.” Achi membungkus batik itu dengan plastik. Aku masih saja memikirkan dimana lagi aku mencari sahabat.            “Aduh, Dessy! Kamu dari tadi kok diem melulu? Ayo bantu aku!” seru Achi. Ia merapikan rak bukunya. Mengeluarkan semua buku.            “Des, kamu tolong pisahin jadi 3 tumpukan. Tumpukan novel dan majalah, buku tulis dan diari, yang terakhir buku pelajaran dan album foto. Makasih, ya,” kata Achi.            “Lalu kamu sendiri ngapain?” tanyaku seraya menjalankan perintah Achi.            “Aku membareskan baju,” katanya, “Kenapa? Kamu keberatan? Kalau begitu kamu tak usah ikutan.”            “Sudahlah, tidak apa-apa,” sahutku pelan.            “Des? Kamu kenapa? Kamu marah sama aku? Ya Allah, maaf... Aku aku nggak bermaksud begitu,” Achi merangkul bahuku. Aku tersenyum. Sebenarnya aku cuma malas mencari calon sahabat lagi, hehehe... Terus cari kemana, yah?            “Hei! Kok kamujadi sensitif gitu, Chi? Ceria, dong! Aku tadi cuma rada mulas, soalnya tadi pagi belum sarapan, hahaha!!!” tawaku keras. “Ah, kamu!” jerit Achi sambil melemparkan bantal ke arahku. Kemudian ia ikut tertawa.            “Ah, sudah, sudahlah... kita makan siang, yuk,” tawar Achi setelah beberapa menit tertawa (lama, ya?).            “Tidak usah, terimakasih,” aku tersenyum sambil memandangi 3 tumpukan buku yang sudah setinggi lututku. Aku membaca tiap-tiap judul majalah. Bobo, Anak Saleh, Bee Magazine, Kreatif, Kuark, dan beberapa lagi. Ada majalah bahasa Inggris juga.            “Sudahlah, makan saja dulu. Tadi katanya mulas,” kata Achi sambil mengambil satu majalah yang berada di tumpukan paling atas, mulai membolak-baliknya.            “Nanti saja. Kita main-main saja dulu,” aku ikut-ikutan mengambil majalah, tapi yang berbahasa asing.            “Ini majalah apa, Chi?” tanyaku keheranan membaca judul majalah itu.            “Itu? Itu majalah berbahasa Thailand, aku mengerti, kok, sedikit. Ini judulnya berarti fantasi, dan majalah ini membahas tuntas segala penemuan terbaru di dunia. Majalah ini sudah tersebar di dunia, lho. Aku beli di toko buku besar di Jakarta. Harganya belasan kali lipat majalah Bobo, padahal ukurannya sama, tebalnya cuma 2x lipat, dan halamannya kertas HVS, bukan koran seperti Bobo. Isinya juga bagus. Aku dibacakan oleh tetanggaku yang pernah kerja disana. Mau aku bacakan?” tawar Achi. Aku mengangguk dan tersenyum.            “Ini salam pembuka,” jelas Achi, “katanya; selamat membaca kembali, episode kali ini akan membahas robot kecil buatan seorang anak kelas 4 SD di Jepang sebagai tema hari ini. Eksperimennya adalah membuat alarm banjir, dan artikel lainnya tentang konsep laptop masa depan... ini susah diartikan, jadi selanjutnya saja, ya. Dan...”            Dan akupun melupakan masalahku yang telah kehilangan calon sahabat...
***
           Saat pulang kerumah, perutku sudah kenyang sekali. Aku disuruh menghabiskan porsi milik Pak Walid dan Bu Walid yang ternyata ada halangan untuk makan di rumah. Mereka pergi ke rumah sakit, menjenguk saudara, dan makan siang disana. Porsi makan Pak Walid saja 2 kali porsi makanku, sedangkan porsi Bu Walid sedikit lebih banyak. Dan itu ditambah lagi jatah makanku dirumah... pasti nggak ada yang mau percaya kalau perutku mau meledak, dan lambungku akan pecah (berlebihan banget, nggak sih? ).            “Assalamualaikum,” sapaku ketika membuka pintu depan. Tak ada yang menjawab. Aku mengulang salamku sekali lagi. Kali ini ada suara yang menjawab, seperti suara anak-anak, namun suara itu tidak kukenal.            “Wa’alaikum salam...” pemilik suara itu muncul. Ha? Myftha? Ngapain dia disini, ya?            “Ngapain, Tha?” tanyaku sambil merebahkan diri di sofa. Myftha mengikuti. Ia tersenyum misterius. Aku semakin heran.            “Orangtuaku ada kerjaan,” katanya rada nggak nyambung.            “Aku bukan nanya orangtuamu kerja apa enggak, aku tanya kenapa kamu kesini?” aku semakin heran. Tapi Myftha malah tertawa.            “Kamu nggak suka?”            “Mm, ya kalo alasannya nggak masuk akal kayak tadi kamu nggak boleh main disini!”            “Alasannya orangtuaku mendapat panggilan kerja di Brazil, keduanya. Jadi aku sendirian dirumah. Abangku yang biasa nemenin udah pindah sekolah di Jakarta, bareng tanteku. Jadi intinya rumahku kosong, dan aku dititipkan di rumah nenekku, dan tahukah kamu dimana rumah nenekku? Samping rumahmu! Seru, kan?” cerita Myftha tanpa titik-koma. Itu tadi ada titik-komanya aku lho yang bubuhin sendiri, hehehe...            “Tunggu... Lalu, kemana ibuku?” tanyaku heran.            “Ibumu ada urusan dengan temannya, ia meninggalkan rumah dan menitipkannya padaku. Jadi, ya, masa’ mau aku tolak? Jadi kuterima saja tawarannya. Baru empat, lima, ng...  ya, kira-kira… enam koma tujuhpuluh tiga menit lalu. Ya, kamu nggak marah, kan, sama aku, Des?” tanya Myftha meyakinkan.            “Ya enggaklah, masa’ gitu doang aku marah… Aku, kan, nggak sensitif, hehehe…” tawaku pelan.            “Kamu udah makan, Tha?” tanyaku. Myftha mengangguk.            “Kalau kamu masih lapar, ambil saja nasi dan lauknya. Aku tadi sudah makan di rumah Achi. Tadi setelah pulang sekolah aku langsung main kesana, habis Achi…” desahku sedih. Ia belum tau Achi mau pindah.            “Kenapa?” tanyanya heran. Aku menggeleng sedih.            “Nanti kau juga tau, kok. Eh, main ke kamarku, yuk!” ajakku ramah. Segera Myftha mengiyakan.            Selama 10 menit kami asyik mengutak-ngatik kotak-kotak stikerku. Aku hobi mengumpulkan stiker. Aku punya buku stiker sebesar buku gambar A3, 10 halaman, terisi penuh oleh stiker-stiker lucu. Dan buku stikerku yang lain, sebesar layar komputer pada umumnya, 20 lembar, hampir penuh terisi. Belum lagi dihitung dengan berlembar-lembar stiker kartun anak yang sering kubeli.            “Kamu tau, kira-kira berapa jumlah stiker kamu, semuanya maksudku?” tanya Myftha sambil membolak-balik halaman buku stikerku.            “Aku mendatanya disini,” aku menyerahkan buku tebal pada Myftha.            “Hm, semuanya…. Sudah puluhan lembar kamu mendatanya, berapa, ya, kira-kira?” Myftha berpikir.            “Hm, kemarin kuhitung 580-an, tapi itu jumlah 2 bulan lalu. Sekarang mungkin sudah 600 lebih.”            “Sejak umur berapa kamu ngoleksi ini?”            “Mm, sekitar 7 tahun. Berarti, sudah 3 tahun….” gumamku.            “Aku juga punya koleksi sebanyak ini. Kusimpan di peti kecil, jumlahnya mungkin sudah lebih dari 800, tapi itu tidak begitu banyak, soalnya aku mengoleksi dari 4 tahun. Itu juga berdua dengan kakakku.”            “Aku sering dimintai stiker oleh teman-temanku, tapi kadang mereka tukar dengan stiker milik mereka,” kataku.            “Eh, Des, besok aku kesini lagi, ya, bawa koleksiku,” Myftha menyedot es jeruk yang kusediakan.            “Hm, boleh, boleh!!!” aku mengangguk senang.            “Kamu punya binder? Kalau disini, kami menyebutnya file dan kertasnya disebut kertas file. Aku punya dua di rumah. Keduanya sudah sangat tebal dan hampir-hampir tidak bisa dibuka, lho! Aku hobi ngoleksi kertas file juga! Kamu tau, nggak, uang jajanku paling hanya bersisa seribu rupiah setiap minggu. Aku ngabisin jajan bukan buat beli makanan. Makanya aku kurus gini. Uangku habis buat beli stiker, kertas file, dan aksesori. Aku hobi ngoleksi ketiganya, lho! Aku juga hobi ngoleksi kartu kwartet bergambar Winnie The Pooh, Pink Hana, Sailormoon, Spongebob Squarepants, dan Ben 10. Udah banyak, sih. Yang Winnie The Pooh ada 3, Pink Hana 5, Sailormoon 2, Ben 10 1, dan yang paling banyak Spongebob Squarepants, aku punya 7!! Selain kwartet, aku punya kelereng berwarna-warni yang aku taruh di baskom kaca. Ih, lucu, deh! Jadi bagus buat pajangan. Kelerengku udah ratusan. Baskom kaca mininya ada 2, dan lucuuu banget!” cerita Myftha tanpa memberiku kesempatan bicara.            “Kamu cerewet banget, sih!!!!!!!!” aku mencubit pipi Myftha gemas.            “Ya, itulah aku. Cerewet, suka makan, rada boros… untuk kenal lebih dekat, ketik ‘reg’ spasi ‘Myftha’, kirim ke 1234, dan kamu akan mendapatkan info terbaru dari saja, plus wallpaper saya! Tarifnya hanya 1500 rupiah per-SMS. Ayo cepetan kirim!!!!!!!!” Myftha bernarsis ria.            “Pede abiss!!” aku mencubitnya lagi.            “Aduh, iya, deh, sekalian ketik ‘reg’ spasi ‘Dessy’, kirim ke…”            “Diam!!!” aku menimpuknya dengan bantal sambil tertawa.            “Yayaya… Aku cerewet. Oh, ya tadi aku nanya apa?”            “Kamu nanya, aku punya binder apa nggak. Dan sekarang aku jawab. Aku punya,” aku mangambil binderku yang berbentuk kupu-kupu, dan motifnya juga.            “Cuma satu. Aku tak suka mengoleksinya,” aku memberikan pada Myftha.
> Velya            Hari ini aku bermain terus sama Siska. Kami jajan bareng, ke perpustakaan bareng, ke taman bareng, dan… pulang bareng! Meskipun di pertigaan kami harus berpisah, tapi Siska sangat setia, ia mengantarkanku sampai rumah! Dan beberapa menit kemudian, ia meneleponku! Ah, aku yakin, ia tak akan melepaskanku dan mudah bagiku meminta tandatangannya nanti,  bukan?            “Vel, aku boleh curhat sama kamu, nggak?” tanya Siska seria.            “Apa saja! Aku bisa jaga rahasia, kok, walaupun kita musuhan,” aku meyakinkan.            “Walaupun kita musuhan?”            “Walaupun kita musuhan!”            “Aku…” lalu meluncurlah ceritanya. Karena aku ingin jadi sahabat yang baik, maka aku akan merahasiakannya dari siapapun. Dan dari kalian. Hehehe…
           Malam hari, Velya membuka komputernya, seperti biasa. Ternyata… Siska posesif sekali. Ia mengajak Velya chatting dari sore hingga hampir tengah malam. Sedangkan Dessy, seperti biasa, ia asyik menulis diari…            Dear, diary, hari ini aku kedatangan Myftha, setelah aku kehilangan Achi. Memang baru kehilangan, tapi Allah memang baik. Tanpa berusaha… Myftha sudah datang sendiri. Dia orangnya bersahabat banget, ramah, terbuka, dan rame. Terus dia juga suka main-main gitu. Cocok, deh sama aku. Jadi kami bisa jalan-jalan tiap siang, dong. Ke perpustakaan, ke taman bermain, nonton sepakbola, nonton film, main bulu tangkis, berenang, dan segudang kegiatan lain yang seru yang bisa kami lakukan berdua. Dan kayaknya aku nggak usah ragu lagi, Myftha memang pantas dijadikan sahabat! Mungkin tinggal kumintai tanda tangannya untuk surat pernyataan! Yak, selesai sudah! Oke, aku bersiap untuk tidur. Alhamdulillah, aku udah shalat isya. Jadi tinggal tidur, gitu lho!            Dessy menutup diarinya. Ia segera merebahkan diri ke atas ranjang berkelambu merah muda itu. Sebelum terlelap, ia melihat sekilas ke arah jendela yang terletak disamping tempat tidurnya. Tepat di sebrang jendela itu, terlihat jendela kamar Velya, yang terletak di lantai dua. Tirainya terbuka, lampunya menyala. Jendelanya juga terbuka.lebar. dari jendela itu, Dessy dapat melihat Velya asyik berkutat dengan komputernya. Ia sedang sibuk mengetik sesuatu.            “Velya!” panggil Dessy pelan. Dalam kesunyian malam, tentu suara jernih Dessy terdengar ke kamar Velya, apalagi jarak jendela mereka hanya 3 meter. Velya menoleh dan mendekati jendela. Ia melambai ke arah Dessy. Dessy membuka jendelanya.            “Belum tidur, Vel?” Dessy mencondongkan tubuhnya. Angin malam menerpa tubuhnya.            “Belum. Lagi asyik chatting sama Siska,” jawab Velya.            “Siska siapa? Anak kelas kita?” tanya Dessy.            “Iya, yang tadi perutnya kena bola, yang itu…”            “Kamu udah dapat sahabat?”            “ya, gitu deh. Calon-calonku silih berganti datang dan pergi. Nggak ada yang cocok denganku. Yang cocok malah nanyain alasan kenapa harus tanda tangan. Tapi aku pede buat menang, kok Des. Hehehe,” cerita Velya.            “Sama! Aku udah deket sama seseorang, ya, gampang aja minta tanda tangannya!” pekik Dessy girang.            “Sudahlah, Des. Sudah malam. Aku mau nutup jendela dulu, ya!”            “Oke, aku juga mau tidur!” Dessy menutup jendelanya, menguncinya dengan rapat. Tak lupa ia menutup tirainya yang bergambar Phineas and Ferb. Lalu mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur yang sinarnya sedikit remang dan hampir-hampir tidak bercahaya. Lalu Dessy membaca do’a, “Bismillahirrahmanirrahim, bismika allahuma ahya wa bismika amut! Ya Allah,  jagalah tidur hamba dari segala gangguan, berilah hamba mimpi indah, berilah hamba umur untuk menjalani hari esok, dan cerah ceriakan hari hamba besok ya Allah. Amin, amin ya rabbal ‘alamin...” Dan ia tertidur pulas.            Dikamar Velya, ia chatting tidak berhenti-berhenti. Hingga adiknya yang sedang menginap di kamarnya mengomel. Tapi ia tidak peduli. Siska : Assalamualaikum, Vel, kamu lagi ngapain? Velya : wa’alaikum salam, abis sholat. Kamu sendiri ngapain? Siska : Oh, aku abis nyampulin buku teks yang baru di beli. Velya : Mm, gitu. Kamu biasanya ngapain selain chatting? Siska : Aku nggak ngapa-ngapain. Kita chatting aja tiap malem, ya, Vel. Velya : Ya ampun! Terus kalo ada PR gimana? Aku nggak mau, Sis. Siska : Ya, Velya… Velya : Maaf, Sis, eh, kamu tau nggak si Dessy, murid baru itu? Siska : Kenapa? Velya : Aku tetanggaan sama dia, lho! Siska : Kamu akrab sama dia? Velya : Ya! Siska : Udah kenalan? Sering ngobrol? Velya : Iya! Siska : Kamu gimana sih, Vel, katanya kamu sahabat aku… Kok malah main sama orang? Velya : Lho? Apa salahnya? Siska : Pokoknya kamu nggak boleh!!! Velya terpaksa meminta maaf terus-terusan kepada Siska. Tentu Siska memaafkannya asalkan dengan syarat yang aneh… Me… Me… Menjauhi… Ups! Udah saatnya bab selanjutnya! Maaf, ya!
Hari Kelima: Rabu, 18 Juli 2008
> Dessy            Pagi ini aku berangkat sendiri ke sekolah. Mata pelajaran pertama adalah SBK, jadi kami diberi tugas menggambar di selembar kertas ukuran A2. berkelompok dua-dua. Satu menggambar dan satunya mewarnai. Aku sekelompok dengan Myftha. Dia pintar mewarnai sedangkan aku menggambar. Tadinya aku mau bareng Achi, tapi sayang dia nggak bisa ngewarnain, bisanya gambar doang, sama kayak aku… Akhirnya Myftha nanyain aku udah punya kelompok belum, dan aku menggeleng. Dan ia mengajakku sekelompok dengannya!            “Des, kamu gambar bunga, ya disebelah sini!”            “Ya!”            “Oh, ya, diatas bunganya ada kupu-kupu hinggap! Bikin coraknya yang rame, biar bagus kalo diwarnai!”            “Ya!”            “Kamu tambahin gambar ikan lagi loncat di kolam ikannya! Oh, ya, kamu bawa krayon biru, nggak? Punyaku udah abis!” keluh Myftha.            “Ya, ambil di tasku! Kamu bikin langitnya warna jingga, ya, ceritanya senja. Terus bagusin gradasinya! Jangan lupa kasih efek bayangan,  katanya kamu jago!” perintahku sambil terus menggambar.            “Oke!” ia pun mulai mewarnai beberapa bagian yang sudah selesai kugambar.            “Tha, kamu kan supel, pasti kamu banyak kenalan, ya?” tanyaku. Ia mengangguk.            “Banyak temen, ya?” tanyaku lagi. Ia mengangguk. Ia mengambil krayon merah di kotak krayonnya.            “Banyak sahabat juga, dong!” seruku sambil menambahkan ekspresi senang seorang gadis di gambarku.            Myftha terdiam. Ia menatapku. Merasa diperhatikan, aku balas menatapnya.            “Kenapa?” tanyaku.            “Aku nggak punya sahabat, satupun,” jelas Myftha.            “Kenapa?” aku meraih penghapus dan menghapus gambar yang salah.            “Karena aku... karena, ya aku belum nemuin yang cocok, tapi sepanjang ini... Hm, ya, aku bisa punya sahabat,” jelasnya singkat. Aku berpikir, apakah orang itu adalah aku?            “Ya, aku cuma mau tau, eh, udah, cepetan, warnai bunganya, aku udah selesai!” kataku sambil menghempaskan pensil. Aku bersandar sambil memijat jariku yang pegal sehabis menggambar. Myftha meraih pensil warnanya dan mewarnainya di samping krayon. Menambahkan efek langit senja hari.            “Kamu suka cari info lomba-lomba?” tanyaku sambil menebalkan sketsa dengan spidol hitam.            “Maksudnya?” tanyanya heran.            “Mm, kamu kan pinter ngewarnain, gimana kalo kita ikut lomba menggambar dan mewarnai? Aku udah nemuin lombanya, batas waktunya seminggu lagi. Mau ikut?”            “Ada brosurnya, nggak? Aku boleh liat?” tanyanya sambil terus mewarnai.            “Kebetulan aku bawa majalah yang ada iklan lomba itu. Coba baca,” aku menyodorkan majalah itu pada Myftha. Ia membacanya.            “Hm, boleh! Nanti kamu ke rumah nenekku. Seluruh alat gambar ada di kamarku di rumah nenekku! Oke?” tawarnya. Aku mengangguk. Aku tahu, meyakinkan Myftha untuk menjadi sahabatku tinggal selangkah lagi!
> Velya            Aku jadi jengah juga sama Siska. Pukul enam pagi, dia udah jemput aku! Wah, kayaknya posesif banget, ya? Ya, aku kan jadi nggak enak aja. Aku belum siap, dia udah jemput. Aku baru aja sarapan. Akhirnya aku buru-buru demi Siska nggak nunggu lama. Kan, kasihan, kalo di biarin.            Di jalan, aku berkata, “Duh, buku pelajaran SDN 205 berat banget, ya? Aku jadi malas pake tas ransel, maunya pake koper beroda aja, nih!” keluhku.            “Kamu keberatan bawa tasnya? Sini, aku bawain,” tawar Siska. Pertamanya kukira dia cuma bercanda. Tapi, dia malah langsung meraih tasku dan memikul di pundak kanannya. Tasnya sendiri adalah tas selempang yang di selempangi di pundak kirinya.            “Eh, nggak usah, Sis, aku tadi kan cuma bercanda,” aku merebut kembali tasku.            “Udah nggak papa, aku aja!”            “Nggak usah, Sis!”            “Nggak papa, aku udah biasa! Kita, kan sahabat!”            “Aku bisa sendiri, Sis!”            “Bener?”            “Bener!”            “Nggak papa?”            “Nggak papa!”            Lama-lama, sedikit saja aku mengeluh, langsung ia tanggap melayani. Aku butuh sahabat yang jika aku mengeluh bukannya mengurangi keluhanku dengan pelayanannya, namun dengan saran dan komentarnya untukku.            Memang, Siska tampak seperti pembantu bagiku—jangan bilang-bilang, ini definisi kecilku saja!—soalnya dia, setiap aku butuh apa-apa, bahkan mengambil penghapus di tempat pensilku ketika aku berkata, “Aduh, salah lagi, dihapus lagi, deh!”—dia ambilkan, aduh, memang berat rasanya memiliki sahabat yang seperti Siska, tidak hanya posesif, tapi selalu melayanimu. Memang enak dilayani, tapi kalau terlalu berlebihan seperti Siska sangat tidak nyaman. Tapi sahabat tidak hanya sekedar status bagiku. Tapi ia adalah orang yang cocok denganku. Walau mungkin dengan Siska aku bisa memenangkan lomba, tapi aku tidak memaknai sahabat serendah itu. Aku dan sahabat adalah orang yang cocok, tapi tidak dengan Siska. Aku tidak bisa menjadi sahabatnya.            “Vel, semalam Hani SMS aku...” curhatnya ketika istirahat.            “Lalu?” aku memberi ekspresi standar.            “Dia bilang, ‘Siska, aku senengan di sini daripada disana bareng kamu, aku nggak betah’, tapi aku bersyukur, dia nggak ngomong kasar lagi,” Siska menyeruput esnya.            “Kamu balas?” aku menunjukkan ekspresi tertarik.            “Maunya. Tapi... pulsaku habis, hehehe, jadinya nggak jadi deh...”            “Memang kamu mau bilang apa?”            “Aku akan bilang, ‘Aku disini juga sudah punya sahabat, Han. Namanya Velya. Dan aku akan jauh lebih betah dengan Velya daripada denganmu. Ia setia, tidak sepertimu. Ia dan aku akan bersahabat selamanya, selamanya, dan selamanya,’ aku akan bilang begitu!”            Selamanya? Selamanya?!            Aku merasa menciut. Selamanya? Tidak akan!!!!!!!!! Sehari saja aku tidak kuat apalagi... Selamanya?!?! Aduh, aku merasa dunia jadi menciut.            Santai, santai, Vel... aku menghibur diriku sendiri.            “Iya, kan, Vel?” Siska mencoba meyakinkanku. Aku hanya menjawab dengan senyum, dan Siska menganggapnya YA!            “Oke, Vel, kita akan bersahabat terus, selamanya!!!” pekik Siska riang.            Oh, tidak...            Kurasa semua akan hancur...            Oke, ini berlebihan, kurasa aku akan meleleh...            Seperti lilin yang dibuang ke matahari...            “Vel? Halo, kok diam, sih?” Siska melambaikan tangan ke mukaku.            “Ah, ya, aku, aku bengong tadi. Maaf,” aku tersenyum dipaksakan.            “Ah, nggak apa-apa, kamu mau aku traktir bakso?” tanyanya. Aku menggeleng, “Aku disini saja. Aku... aku mau ngerjain tugas,” alasanku. Siska tersenyum. Aku menyangka senyumannya... Oh, tidak... Seluruh sendiku melemas seketika.            “Ya sudah, aku tak jadi jajan. Kita disini saja, mengobrol,” katanya tersenyum. Tuh, kan, benar perkiraanku!            “Em, um, em... Aku, aku, aku... Kebelet pipis,” aku langsung bangkit dan berlari ke luar kelas menghindari Siska.            “Velya, tunggu!!!!” ia mengejarku di belakang. Aku hampir-hampir tertawa. Ia mengejarku, mengikutiku, bahkan hingga ke kamar mandi sekalipun?!            Saat bel pulang sekolah, aku berusaha agar tak pulang dengan Siska. Ketika aku sudah diluar kelas, aku buru-buru mencari Dessy. Ternyata, dia sudah pulang dengan seorang anak. Sebelum Siska melihatku, aku buru-uru berlari ke perpustakaan. Satu hal yang kutau, dia nggak suka baca.            Tapi malang, Siska melihatku. Ia mengikutiku.            “Aku mau ke perpustakaan dulu, kamu pulang duluan aja,” aku tersenyum paksa.            “Kita pulang bareng aja.”            “Kamu mau baca juga di perpustakaan?”            “Nggak!” Siska membuka pintu perpustakaan, “Ayo masuk!” siska melangkahkan kainya. Tapi aku tak masuk.            “Kenapa? Ayo, masuk!” ajak Siska.            “Kenapa kamu masuk? Katanya nggak mau baca?” aku bertanya heran.            “Ya, nemenin kamu. Aku nggak usah baca,” Siska tersenyum.            “Sudahlah, kamu pulang duluan aja. Aku tau kamu nggak suka baca. Biarin aku sendiri,” kataku ketus sambil masuk perpustakaan. Tapi rupanya, Siska belum menngerti suasana hatiku yang sedang ‘panas’.            “Biar aja aku nemenin kamu disini. Lagipula... kita, kan, sahabat. Kemana-mana selalu bersama. Ya, kan?” ia meminta persetujuanku. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.            “Siska, dengarkan aku,” aku memulai pembicaraan.            “Mari kita duduk di sana,” aku menuju bangku perpustakaan yang panjang dan tak ada yang duduk disana.            “Sebenarnya aku gerah sahabatan sama kamu. Bukannya aku ingin menjadi seperti Hani atau gimana, tapi aku bener-bener nggak betah sahabatan sama kamu, Sis!” kataku tajam.            “Tapi, Vel...” ia mencoba menyela.            “Diam! Dengarkan aku! Aku nggak setuju sama definisi kamu tentang sahabat. Apa definisi kamu terhadap sahabat?”            “Mm, ia adalah orang yang kuceritakan segala hal pribadiku, sama halnya dengan jiwaku, kemana-mana harus berdua, mm, harus berpikiran sama, dan kompak. Kompak yang kumaksud adalah selalu bersama, dan tak boleh berkomunikasi dengan orang lain—maaf—maksudku, berkomunikasi secara mengobrol lebih dari 10 menit saat istirahat ketika sang sahabat tak masuk sekolah hari itu. Selain itu, chatting, telepon, atau SMS-an dengan orang tanpa diketahui sahabat juga nggak boleh, pokoknya sahabat itu orang yang nggak punya rahasia terhadapku, tak menyembunyikan sandi e-mailnya, kode pembuka HP-nya, dan mengizinkan sang sahabat melihat diarinya. Begitu,” Siska menjawab dengan yakin.            “Hm, oke! Semua definisimu berbeda jauh denganku! Menurutku, sahabat adalah orang yang menegrti kita dan kitapun mengerti dia. Tak hanya itu, sahabat harus cocok. Tak harus berhobi sama, melainkan COCOK! COCOK, bukan SELALU SAMA. Itu definisiku. Berbeda jauh dengn definisimu yang ribet dan panjang. Definisiku sederhana, tapi di sisi lain aku dan sahabatku saling memahami dan nyaman, kan? Karena aku menggunakan kata COCOK, bukan SELALU SAMA sepertimu! Dengan kata COCOK, yang mengandung faktor kenyamanan, tak akan menjadi rasa tak enak seperti yang kualami!” aku menghela napas. Siska menanti kata-kataku selanjutnya.            “Jujur, aku merasa tak cocok denganmu. Karena kau sangat posesif, jadi, to the point saja, ya, aku tak suka jadi sahabatmu!” kata-kataku meluncur dengan lancar.            “Velya...? Ke-kenapa...” suaranya lirih sekali, hampir tidak terdengar.            “Karena ketidak-cocokan. Maaf, Sis, tapi aku benar-benar tak bisa. Maaf, Sis, aku harus pulang,” aku beranjak dari kursiku. Siska menahanku dengan tatapan memelasnya.            “Kamu... kamu kan mau baca buku...?” lirihnya lagi. Matanya berkaca-kaca. Aku tersenyum sambil menggeleng.            “Nggak jadi. Aku lapar, mau langsung pulang,” aku beralasan.            “Mau bareng?” tawarku datar. Siska menggeleng dan menggigit bibir.            “Duluan saja, aku mau ke kamar mandi,” lirihnya lagi,dan langsung berlari ke toilet perempuan.            “Siska!!” panggilku. Aku jadi merasa bersalah.            “Sudahlah, Vel, kamu pulang duluan saja!” katanya meyakinkanku.            “Siiis!!!” panggilku sambil mengikutinya.            “DULUAN SAJA! AKU NGGAK APA-APA!!!” ia berteriak. Aku mengalah.
> Dessy            Siang ini, seperti yang direncanakan, Myftha dan aku main ke rumah nenek Myftha yang masih diinapinya selama orangtua Myftha tidak ada dirumah. Di kamar neneknya, banyak sekali peralatan melukis. Hanya dalam 1 menit, kami asyik menggambari kertas A2—kertasnya kami dapatkan dari sisa menggambar tadi siang sudah kami minta pada guru—dengan banyak coretan dan garit warna.            “Kamu punya karbonit?” tanyaku, “Aku sudah selesai sketsanya, tinggal ditebalkan,” jelasku. Myftha menggerakkan matanya ke arah lemari. Aku langsung mengambilnya di lemari.            “Sekalian sama pastel, Des!” Myftha meminta. Aku mengambil karbonit dan pastel di lemari yang Myftha maksud. Lalu kami asyik menggambar sambil mengobrol.            “Ngomong-ngomong, ‘calon sahabat’ yang kamu maksud tadi siang itu siapa?” aku langsung menembak ke topik tanpa basa-basi. Aku yakin ia akan menyebut namaku!            “Hm, siapa, ya? Menurutmu siapa?” Myftha bertanya balik. Aku ingin bilang, “Aku, kan?” tapi itu terlihat kalau aku kepedean banget.            “Hm, siapa, ya? Aku belum terlalu tau seluruh teman sekelas kita, tetangga-tetangga kita, jadi aku belum bisa jawab. Yang aku tau, kamu dekat sama Ajeng, apa kamu mau sahabatan sama dia?” aku berpura-pura bingung. Myftha tersenyum. Ia berhenti mewarnai.            “Aku selektif banget milih sahabat, karena aku nggak mau kecewa kalau sahabat itu nggak cocok sama aku. Tapi... sekarang aku udah punya calonnya, tapi—“ kata-katanya terpotong dengan seruanku, “Beritahu aku siapa calonnya!”            Myftha tersenyum, “Siapapun yang ada dalam pikiranmu,” katanya.            “Menurutmu...” aku nggak mau keliatan terlalu kepedean di depan Myftha. Aku mau menyebut namaku, tapi...                  “Kamu,” lirih Myftha, “Aku pingin jadi sahabat kamu, Des.”            “Aku juga. Kita sahabatan mulai sekarang. OKE?” aku meminta persetujuannya. Tapi ia menggeleng lemah.            “Aku nggak mau secepat itu, Des. Aku baru kenal kamu tiga hari, dan baru dekat dua hari. Aku nggak tau apakah kamu cocok apa nggak, jadi maaf, sekarang aku masih belum bisa. Kayak yang aku bilang tadi, aku selektif banget milih sahabat,” jelasnya sambil mewarnai.            “Nggak apa-apa. Mungkin besok atau lusa kamu bisa mengenalku lebih baik, dan yah, menganggapku cocok jadi soulmate-mu,” maklumku.            “Tapi nggak bisa besok atau lusa, Des. Aku bisa kalau udah lewat sebulan, dan aku udah bakal kenal banget sama sosok sahabatku itu.”            Sebulan? Hah? Lombanya saja tinggal beberapa hari lagi?!?!?!            Jadi, siang ini kuputuskan menjauhi Myftha, dan mencari orang lain demi memenangkan lomba itu. Oke.
> Velya            Sore ini, aku menelepon Siska. Walaupun aku tak suka dengannya, tapi aku merasa bersalah, entah kenapa. Pertama, aku menelepon ke rumahnya, yang mengangkat Siska sendiri, tapi setelah ia tau yang menelepon itu aku, langsung ditutup. Lalu aku menelepon ke HP-nya, tapi ia tak mau mengangkat. Lalu kutelepon lagi, dimatikan. Akhirnya aku menelepon dengan ID diblok (artinya tak terlihat nomor HP si penelepon di layar HP yang ditelepon, yang terlihat hanyalah tulisan ‘ID diblok’, atau ‘Nomor pribadi’ atau ‘No number’)—beberapa menit kemudian—lalu diangkat. Aku bertanya, marahkan ia padaku—KESALAHAN BESAR—dia langsung tau yang menelepon adalah aku, kau tau apa yang akan dia lakukan, yah, mematikan sambungannya. Tapi aku tak menyerah. Aku tau, tiap malam ia main komputer dan hal yang ia lakukan sebelum mematikan komputer adalah mengecek e-mail masuk. Jadi kukirimi ia e-mail. Assalamualaikum, Siska. Aku minta maaf atas insiden tadi siang. Aku memang sedang dalam emosi ketika itu. Maafkan aku, aku memang tak bisa menjadi sahabatmu, tapi kita bisa berteman, kan? Kita masih bisa bersama.
Aku tau kamu butuh seorang sahabat. Aku berjanji akan mencarikannya untukmu. Tapi kumohon, jangan marah padaku dan maafkanlah aku.
Kalau tadi siang aku terlalu blak-blakan dan penuh emosi, harap di maklumi. Sebab, setelah dihukum Bu Aditha karena aku lupa bawa buku IPA, aku masih bete, kesal, marah, dan emosi. Jadi harap dimaklumi. Maafkan aku, kumohon, Velya Ananditha            Kuklik tombol ‘Kirim’ dan saat aku sedang membaca e-mail lain, langsung ada balasan. Kubuka, ternyata ia mengajak chatting. Aku merasa serba salah. Aku tak suka chatting, tapi kalau aku menolak, kemungkinan besar ia takkan memaafkanku.            Aku bingung menerima ajakannya atau tidak.            Aku bingung harus bilang apa sama Siska.            Aku bingung harus mencari sahabat kemana lagi.
Hari Keenam: Kamis, 19 Juli 2008
> Dessy            I’m confused! Confused, confused!!! batinku pagi ini. Harus kucari sahabat dimana lagi? Aduh, Velya, kenapa aku harus menyetujui lomba ini, denganmu? Aku mungkin memang butuh sahabat, tapi tanpa lomba aku mungkin bisa saja mendapatkan Achi, karena kami bisa bersahabat, tanpa peraturan pasal nomor dua.            Menyerah. Ya, aku akan menyerah, karena PASTI Velya sudah mendapatkan sahabat. Dari kemarin ia bergandengan mulu sama Siska, dan aku yakin, Siskalah sahabatnya.            Pagi ini, aku menjemput Myftha di rumah neneknya yang  terletak disebelah rumahku. Selama diperjalanan, kami membicarakan beberapa tempat asyik di perumahan ini. Misalnya, ada taman bermain di blok H, ada komedi putar di blok K, dan yang membuatku paling tertarik adalah Komunitas Pecinta Puisi, tempat mereka tak jauh dari rumahku. Ah, aku dapat ide! Nanti sore aku kesana, dan melupakan kata menyerah. Aku akan mencari sahabat disana. Mudah-mudahan Velya dan sahabatnya belum menandatangani surat pernyataannya, jadi aku bisa menang.
> Velya            Semalam, aku chatting dengannya, tapi hanya 3 menit. Aku hanya bilang, ‘Maafkan aku’ berkali-kali, karena aku bosan sekali dan kurasa, aku tak punya kosakata baru untuk kuucapkan ke Siska. Siska bilang, ia akan menjemputku pagi ini—lagi. Tapi aku menolaknya. Seperti biasa, ia memaksa. Terpaksa sekali aku datang pagi-pagi kesekolah, sebelum ia menjemputku. Rencananya aku akan berangkat 05.45, tapi bayangkan, Siska datang dari 05.20!!! Hah, aku harus mengeraskan Siska. Tanpa maaf, karena ia sudah keterlaluan. Bayangkan saja, ia menjemputku saat aku baru bangun! Ia sendiri sudah siap dan super rapi. Sedangkan aku, baru bangun tidur! Sungguh tidak sopan!!!            Aku berangkat sesiapnya, aku tidak sarapan dan hanya mandi, bahkan aku lupa bawa buku IPS dan LKS Bahasa. Karena aku buru-buru, aku juga meninggalkan payung, tempat pensil, dan botol minum. Aku berangkat pukul 05.30, dan selama diperjalanan aku bungkam dan berjalan cepat-cepat.            Tampaknya Siska sudah mulai mengerti suasana. Ia ikut diam dan berjalan cepat-cepat.
> Dessy            Hari ini aku berencana ke KP3M (Komunitas Pencinta Puisi Perumahan Melati). Aku sudah tau letaknya, blok H no. 4. Aku pernah melewatinya. Jadi sekarang aku kesana, sendiri.            Markas komunitas itu adalah sebuah rumah sederhana, dengan sebuah palang besar yang memamerkan bahwa rumah mungil itu adalah markas sebuah komunitas. Seperti rencana, aku langsung masuk ke sana dan mendaftarkan diri. Langsung diterima.            “Hai, kamu anak baru? Aku belum pernah lihat kamu di perumahan ini sebelumnya,” sapa seorang anak perempuan yang tinggi.            “Ya, aku baru pindah Jum’at lalu. Aku senang bikin puisi, di binder ini ada puluhan puisi, mau lihat?” balasku ramah.            “Boleh. Aku juga punya binder yang penuh puisi. Kita tukeran, yuk!” ajak anak itu. Aku memberi binderku, dan menerima binder anak itu.            “Dessy Rahmasari,” anak itu mengeja tulisan di kaver binderku, “Itu namamu?” tanyanya. Aku menggangguk tersenyum. Aku membuka halaman pertama bindernya dan membaca tulisan disana.            “Nabila Alya Riesha. Itu namamu?” tanyaku balik pada anak itu.            “Ya, kamu boleh panggil aku Bila, Bela, Nabila, Alya, Lya, atau Riesha, terserah kamu,” gadis itu tertawa. Aku tersenyum.            “Kamu kayak lagi mengabsen nama-nama anak perempuan,” aku tersenyum, “Tapi, aku akan memanggilmu... Hm, gimana kalau Alya? Biasanya kamu dipanggil apa?” aku bertanya sambil membuka halaman-halaman bindernya.            “Oleh keluargaku, aku dipanggil Ade, karena aku anak bungsu. Teman-teman dekatku memanggil Riesha, guru-guruku memanggil Nabila, teman-temanku yang lain Bela, dan kalau di komunitas ini, tidak tentu. Ada Alya, Bila, Riesha, Bela, Lya, Nabila, dan yang paling unik Lalysha. Singkatan dari ‘nabiLA ALYa’ rieSHA. Hehehe, aneh, kan?” katanya sambil membaca biodataku di binder.            “Ah, aku panggil kau Nilya, ya?”            “Arti dari...?”            “Hm, ‘NabIla aLYA’,” aku menuliskannya di kertas binderku. Ia mengangguk. “Kau kupanggil Esma, ya? Dari ‘dESsy rahMAsari’,” ia ganti menulis namaku di bindernya dan menunjukkan padaku. Aku tertawa, tapi menggeleng, “Sudah, Dessy sajalah. Biasa saja. Kalau dipanggil macam-macam... takutnya aku nggak ngeh. Nggak apa-apa, kan?” “Ah, gitu aja mah... Bukan masalah!”            “Oke, Nilya, apa yang harus kulakukan di hari pertamaku disini?”            “Kamu cukup memberikan tiga puisimu, terserah apasaja temanya, bahasanya, pokoknya tiga puisi. Lalu setiap minggu kita harus menghasilkan 1 puisi, minimal. Setelah satu tahun, terkumpul 50-an puisi—kurang-lebih—lalu dipilih oleh Mbak Mitha, pelatih kita, lalu dikirim ke penerbit dan kalau diterima ya, dibukukan! Setelah jadi anggota, kita harus rutin datang minimal 1 kali seminggu. Kadang, aku datang 3 kali seminggu,” papar Nilya. Aku hanya menggangguk-angguk.            “Ada absennya, kan?”            “Ya! Satu kali hadir dapat 10 poin. Nanti ada semacam rapor yang dibagikan tiap akhir bulan, dan ada peringkat-peringkatnya juga. Satu puisi itu dapat 5 poin + nilai puisi itu. Nilai 10 ya poinnya 10, nilai 9 poinnya 9, dan seterusnya. Begitu,” jelas Nilya tanpa kumintai.            “Kubaca puisi-puisimu, ya,” pintaku pada Nilya. Ia mengangguk.            “Hm, lumayan menyentuh. Aku suka yang ini,” kataku setelah membaca satu dari tiga lainnya yang sudah kubaca. Ia juga membaca puisi-puisiku.            “Puisimu bagus. Apalagi yang tentang sahabat. Aku sangat suka. Puisi ini menceritakan tentang keadaan seseorang yang amat kesepian karena tak punya sahabat, selain sangat menyentuh juga cocok denganku! Aku kesepian tanpa sahabat. Tapi untung, aku punya banyak teman, hanya aku kurang pede menceritakan masalah pribadiku pada teman. Aku memang butuh sahabat... Kamu gimana, Des?” curhat Nilya. Aku hanya tersenyum.            “Aku menulis puisi itu ketika aku sedang dalam keadaan kesepian tanpa sahabat,” jawabku.            “Oh... sekarang gimana?”            “Apanya? Sahabatnya? Belum, nih, aku masih nyari. Kamu sampai sekarang juga belum punya sahabat, Nil?” tanyaku balik. Nilya menggangguk.            “Tapi sahabatku jauh di luar kota, aku sulit menghubunginya, sebab aku berkomunikasi lewat surat. Di daerahnya belum ada sinyal telepon. Makanya, aku masih mau nyari sahabat lagi disini, sebanyak-banyaknya! Hm, kamu mau jadi sahabatku, kan?” Nilya langsung menawarkan hal yang sudah 4 hari kutunggu. Tentu saja aku mengangguk tanpa pikir panjang! Aku tak menyangka, akan secepat ini. Tapi aku masih ragu, apakah ia akan pergi secepat kedatangannya?            “Nil, tapi benar, kan, kamu serius kalo aku mau jadi sahabat kamu? Kamu nggak takut aku nggak cocok? Kita, kan, baru kenal!”            “Nggak papa. Aku nggak terlalu perspektif dan selektif milih sahabat. Ya, yang mau jadi sahabatku tinggal bilang; ‘Nil, aku mau jadi sahabatmu’, atau kalimat sejenis lainnya, aku asal terima, syaratnya cuma enak diajak bicara, walau baru kenal. Kamu sesuai sama syaratku itu, makanya ya, aku asal terima. Kamu sendiri gimana?” tanya Nilya sambil membaca beberapa puisi-puisiku.            “Aku?” aku menggumam, “Aku sih...” Tiba-tiba aku teringat lombanya. Aku harus bilang apa? Dia sudah bilang ya, dan mustahil baginya untuk memusuhiku seperti Mira. Oke, ini kesempatan emas.            “Oke, kenapa tidak?” sambutku langsung. Ah, sayangnya, aku lupa membawa surat pernyataan. Sudahlah, besok saja. Mudah-mudahan Velya belum menemukan sahabatnya, amin!
> Velya.            Hi, friend, gimana sahabatmu? Sudah tandatangan surat pernyataan? Kalau aku, sih... Eh, gimana kalau nanti kita chat aja jam 7 malam? Sambil buka internet yang tugas Bahasa Indonesia mencari berita dari website. Ok?            Itulah bunyi SMS yang kukirim pada Dessy, siang ini. Aku menunggunya membalas. Pukul 3 baru ia membalas.            Hi, I’m confused. Belum. Kamu? Oh, ya, aku nggak bisa chat sore ini. Setelah isya dan makan malam, OK? katanya.            Ok. Itulah reply-ku yang sangat singkat. Untuk hari ini, tak ada PR kecuali tugas Bahasa Indonesia itu. Aku menghabiskan sisa sore dengan belajar matematika. Kuharap ia—matematika—menjadi sahabatku setelah aku mengerti beberapa rumusnya. Tapi, sahabat seperti itu takkan kuajak bermain seharian. Benar, kan?            Jam 4. Aku belajar a x t x ½ = rumus segitiga.            Jam 5. Aku mandi, shalat ashar, dan mengaji.            Jam 6. Shalat maghrib dan makan malam.            Jam 7. Shalat isya dan... Online di internet!! Tapi aku nggak hanya main komputer, lho! Aku sambil belajar melalui satu website yang menyediakan game teka-teki silang yang pertanyaannya seputar pelajaran kelas 5 dan game ular yang bila naik level kita harus menjawab  5 pertanyaan matematika, minimal benar 3.            “Assalamu’alaikum... Udah online?” Tiba-tiba satu pertanyaan masuk ke kolom chatting-anku.            “Wa’alaikumsalam. Sahabatku telah pergi”, tulisku singkat.            “Meaning?” balasnya. “Bukan, deh, bukan dia yang pergi, tapi aku,” aku mengakui.            “Kenapa?” Dessy menulis lagi.            “Karena... Aku nggak cocok sama dia,” jawabku.            “Lalu?”            “Aku harus cari lagi! Tinggal satu hari lagi...” aku menambah aplikasi emotion (aplikasi chatting yang menggambarkan bermacam-macam ekspresi, bisa dikirimkan) yang tersenyum.            “Aku sudah ketemu.”            “Sudah tanda tangan?” tanyaku. Ia membalas dengan audible (aplikasi chatting yang memungkinkan sang pengirim mengirim gambar bergerak beserta suara) perempuan menggeleng sambil berkata ‘No, I’m not.’            Yeah, belum tanda tangan!!! Aku bebas!! Masih ada waktu lagi!
> Akhirnya saling tau...            Setelah keduanya saling tahu, bahwa surat pernyataan mereka belum diisi, mereka semakin semangat. Dessy merencanakan besok ia akan datang ke KP3M, dan ia tahu bahwa Nilya akan datang saat itu. Ia akan membawa surat perjanjian, dan tentu saja, menyuruh Nilya menanda tanganinya! Ia pasti mau! Dessy sudah sangat yakin.            Berbeda dengan rencana Velya, besok ia akan meminta teman sebangkunya, Salsa (Velya sudah pindah ke bangku depan karena ada pengaturan bangku masing-masing oleh wali kelas) menandatangani surat pernyataan itu. Salsa sudah bilang, bahwa ia akan cocok bersahabat dengan orang seperti Velya.            Hari terakhir, datanglah!
Hari Terakhir: Jum’at, 20 Juli 2008
> Dessy            Hari terakhir. Velya dan aku sama-sama masih mencari. Kami berjanji akan menulis jamnya di surat perjanjian. Berarti aku harus menemui Nilya sekarang juga.            Semalam, aku meng-SMS Nilya, dia sekolah dimana. Dan ia baru membalas pagi ini... Tebak apa sekolahnya!            Maaf baru balas sekarang. Aku sekolah di SDN 205, kamu dimana?            SDN 205!            Aku senang! Berarti ia teman sekelasku. Selama 4 hari bersekolah, aku belum terlalu memperhatikan teman-teman sekelasku. Hanya ada 12 anak perempuan yang kukenal dari 20 anak perempuan. Pernah  waktu hari rabu, aku seperti melihat Nilya di kantin. Berarti.... Yes! Mudah sekali! Aku tinggal minta tanda tangan, tak perlu menunggu persetujuan ia mau atau tidak.            Siap-siap, Velya... I’m the winner!            Aku benar-benar yakin kalau Nilya adalah teman sekelasku. Hari ini, aku pergi kesekol;ah dengan semangat ‘empat-lima’, eh, salah, sudah bukan ‘empat-lima’ lagi, tapi ‘sembilan-sembilan’, karena aku semangat banget!            Sampai di sekolah, aku langsung mencari Nilya. Kok nggak ada, ya? Ah, bodohnya aku. Mungkin ia terlambat.            Pukul tujuh kurang lima. Sebentar lagi bel. Kelasku sudah penuh. Tapi aku belum melihat Nilya. Ah, kutanya saja.            “Eh, Sis, kamu lihat Nilya, nggak? Udah dateng belum?” tanyaku kepada Siska yang sedang mengobrol dengan seseorang.            “Nilya? Siapa, tuh?” tanya Siska. Aduh, masa’ nggak tau Nilya? Oh, iya, aku lupa. Katanya, ia biasa dipanggil Bela.            “Eh, maksudku Bela,” aku meralat sedikit ucapanku.            “Em... Udah. Bela anak kelas empat, kan?” tanya Siska meyakinkan.            “Maksudku Bela, Nabila Alya Riesha, lho!” aku meyakinkan lagi.            “Iya, dia udah datang dari tadi! Nabila Alya Riesha kelas empat, kan? Soalnya setahuku yang punya nama begitu cuma Bela anak kelas empat! Emang maksud kamu siapa, sih?” Siska rada sewot.            “Enggak, kok. Ya udah, makasih, ya, atas informasinya!” aku mencoba ke ruang kelas empat. Benar! Ada Nilya disana!            “Dessy! Kamu sekolah disini juga? Kelas berapa?” tanya Nilya menyambutku ketika ia melihatku di depan pintu kelasnya.            “Hai, Nil. Kamu kelas empat? Wah, nggak nyangka, ya, abis badan kamu nggak beda jauh dari badan anak-anak kelas lima,” kataku senang menyambut Nilya, sekaligus sedih. Senang karena bertemu dengan sahabatku, sedih karena tak bisa memenangkan lomba, mengetahui Nilya masih kelas empat dan itu sama saja aku melanggar peraturan pasal dua! Kan, sahabat untuk lomba harus seusia!            Ah, sudahlah, aku bisa menjadikannya sahabat di luar lomba.            “Hoi, kenapa diam?!” Nilya menepuk bahuku.            “Hahaha... Mulai sekarang kau panggil aku Kakak, ya!” candaku.            Sudahlah, aku benar-benar malas. Aku menyerah. Selamat jadi pemenang, Velya.
> Velya            Mungkin Dessy akan merasa ia menang. Tapi... aku akan minta tandatangnan Salsa sepulang sekolah, dan Dessy meminta tandatangan sahabatnya... Nanti sore, ketika ia berangkat ke KP3M! Jelas aku yang akan menang.            Nanti malam, aku ke rumah Dessy sekalian mengerjakan tugas prakarya. Kebetulan kami sekelompok.            Tunggu saja, Dessy... I’m the winner!            “Trilili, trilili!”            HP-ku berbunyi. Ada SMS masuk.            Vel, tolong bilangin sama anak-anak sekelas, hari ini aku nggak masuk sekolah dulu. Salah satu anggota keluargaku ada yang meninggal, jadi aku izin. Terimakasih. Your best friend, Salsa Aliya.            Salsa!!! Kenapa kamu harus nggak masuk hari ini?!?! Ah, gimana dong?!?!            Dessy, aku benar-benar bingung. Apa yang harus kulakukan? Menyerah, tidak, menyerah.... TIDAK AKAN!            Oke, aku nggak boleh menyerah walaupun batas waktunya tinggal malam ini.            Tapi kemana?!            Bagaimana kalau...?            “Hai, hari ini Salsa nggak masuk, ya? Aku boleh duduk sini?”            Allah memang baik! Seorang teman sekelasku—aku mengenalinya sebagai teman sekelas, walau aku tak tau namanya—masih menyandang tas, menghampiri bangkuku.            “Kamu tau dari mana Salsa nggak masuk?” tanyaku balik, sok kenal gitu, deh...            “Aku sahabatnya, oh, ya, aku boleh, kan, duduk sini?” tanya anak itu mengulang.            “Oh, tentu boleh!” aku mempersilakan.            “Namamu Velya, kan? Aku Chika,” ia mengulurkan tangan ingin berkenalan.            “Hai, Chik. Senang mengenalmu,” aku membalas uluran tangannya. Dan kami mengahabiskan waktu dengan mengobrol hingga bel masuk. Ternyata Chika adalah anak yang memiliki banyak sahabat dan baginya, sahabat dan teman tak ada ubahnya. Jadi, ya, dia bisa menjadikanku sahabatanya walau baru bertemu 5 menit! Tentu kesempatan besar untukku.            Selamat kalah, Dessy...            Karena aku yakin sekali aku yang akan menang...
Malam hari batas akhir lomba
           Mereka berkumpul di kamar Dessy.            “Hm, gimana seminggu ini?” Dessy berbasa-basi sambil menawarkan minuman pada Velya.            “Begitulah. Kamu?” jawab Velya ngasal.            “Begitulah,” Dessy menirukan, “Sudah, ayo minum dulu.”            “Nah, sekarang saatnya. Kita letakkan surat pernyataan kita di tangan lawan dalam keadaan terbalik. Lalu, tepat di hitungan ketiga, aba-abanya kita bersama, dan... Kita buka suratnya! Siapa yang menang!” Dessy menjelaskan.            “Oke!” Velya menyerahkan surat pernyataannya dalam keadaan terbalik pada Dessy. Dessypun sebaliknya.            “Oke...” Dessy bergumam.            “Satu...” kata kedua gadis itu.            “Dua...” suara mereka mulai tertahan, “Tiga!”            “Hah?” mereka berdua terbelalak begitu melihat isi surat pernyataan lawan mereka masing-masing.            “Kok kamu...”            “Kamu kok...”            Mereka berkata bersamaan. Memang, apa yang spesial? Pantas saja, lihatlah isi kedua surat pernyataan mereka.            Surat Dessy: Surat Pernyataan Persahabatan Saya memiliki sahabat bernama Velya Ananditha(*), yang juga bertanda tangan di bawah ini. Kami telah resmi menjadi sahabat, pada tanggal 20(**) Juli 2007. Tertanda, Velya Ananditha(***) dan Dessy Rahmasari(****) NB: kamu mau, kan, Vel? Tolong tanda tangan, ya.            Surat Velya:
Surat Pernyataan Persahabatan Saya memiliki sahabat bernama Dessy Rahmasari(*), yang juga bertanda tangan di bawah ini. Kami telah resmi menjadi sahabat, pada tanggal 20(**) Juli 2007. Tertanda, Dessy Rahmasari.(***) dan Velya Ananditha(****) NB: Kamu mau, kan Des? Tolong tanda tangan, ya.
           Mereka berdua bengong seusai membaca, begitu mengetahui kalau isi surat mereka sama. Lalu mereka tersenyum penuh arti.            Tanpa dikomando, mereka berbarengan menandatangani surat masing-masing. -SELESAI-
0 notes
rz18 · 8 years
Text
Woa Tida
Revitha mengemas buku Sejarah dan buku Sastra-nya. “Sebentar lagi. Tunggu aku. Hanya dua nomor lagi!!!” seru Sarah panik. Revitha menghela napas. “Oke, selesaikan cepat, lalu kumpulkan pada Bu Fira. Lalu, kita pulang. Cepat!” perintah Revitha galak. “Hm, Far, kamu, kan, udah selesai, nomor 18 apa, sih?” Sarah meminta belas kasihan Revitha. Revitha lagi-lagi menghela napas. Kepang rambutnya ia pilin-pilin. “Pikir sendiri! Aku keluar duluan, tapi tenang, aku nggak pulang, kok! Aku tunggu di tangga!” seru Revitha kecut dan keluar kelas, meninggalkan Sarah dan beberapa anak lagi yang belum menyelesaikan tugas Sejarah. Sarah buru-buru menulis. Ia melihat beberapa anak yang tadinya belum selesai—tapi sekarang mereka sudah mengumpulkan tugas mereka. Sarah makin buru-buru. Tangannya menulis, tapi kepalanya melihat ke belakang. Di bangku belakang ada seorang anak bernama Fajar, masih sibuk menulis. Ah, untunglah, aku tidak sendiri mengerjakan soal-soal horor ini... Untung Fajar masih belum selesai, gumam Sarah dalam hati sambil terus menulis. “Alhamdulillah!” Sarah setengah memekik, “Selesai juga!” Lalu ia berlari kecil ke meja guru, mengumpulkan tugasnya, lalu pulang. Fajar menyusulnya selesai. “Revitha!” panggil Sarah begitu melihat Revitha ingin turun tangga. “Lama banget sih... Ayo pulang!” bentak Revitha. Sarah membenarkan latank ranselnya lalu menuruni tangga cepat-cepat, membalap Revitha. Di dua anak tangga terakhir, Sarah langsung melompat. Lalu mengejar Revitha yang sudah di depan ruang guru. “Kamu mau jajan, nggak?” tanya Revitha ketus. Sarah menggeleng. “Bagus! Aku minta seribu!” “Uangku tinggal 300!” tolak Sarah. “Ah, dasar miskin!” “Kamu yang miskin! Minta uang mulu!” ledek balik Sarah. “Diam!” bentak Revitha. Sarah malah diam mematung, tak bergerak. “Diam mulutmu, maksudku! Telmi! Tulalit! Sudah, aku pulang sendiri saja!” Revitha berlari meninggalkan Sarah. Sarah malah masuk lagi ke gerbang sekolahnya dan masuk ke perpustakaan. Tempat paling-paling sepi diantara tempat-tempat lain; mushola, labolatorium, kantin, kebun, lapangan, dan sebagainya. Karena di perpustakaan SDIT Ar-Rahman 20 adalah tempat paling membosankan. Krieet!! Suara pintu berderit ketika Sarah membuka pintu perpustakaan. Hawa pengap berdebu langsung menyambutnya. Anak-anak SDIT Ar-Rahman 20 suka membaca buku fiksi anak ringan dan ensiklopedia, tapi di ruang horor ini hanya ada buku-buku tua berkaver tebal, yang tebal juga, bisa sampai ribuan halaman. Buku itu tentang sastra berat. Tulisannya kecil-kecil dan rapat-rapat. Tanpa gambar. Tanpa warna. Dengan halaman kusam dan berdebu. Tak ada penjaga perpustakaan. Hanya ada bangkunya. Sarah menutup hidungnya dengan sapu tangan. “Ah, debunya makin tebal saja. Oh, ya, besok, kan, libur. Aku akan kesini membersihkannya,” niat Sarah baik. Ia memang sengaja ke perpustakaan, bukan untuk membaca buku, tapi untuk mengetahui setebal apa debu di perpustakaan.
Sarah melayangkan pandangan ke arah rak-rak buku. Semuanya sesak oleh buku yang tebal-tebal. Saking sesaknya, malah hampir patah. Raknya ada yang sudah keropos. Jendela tak pernah terbuka. Tempat anak-anak membaca hanyalah dua bangku kayu yang hampir-hampir patah kakinya, menghadap sebuah meja kayu. Mejanya juga keropos dimakan rayap.
Beberapa anak pernah protes tentang keadaan perpustakaan, langsung kepada Kepala Sekolah, tapi Kepala Sekolah hanya bilang, “Sudahlah, nanti akan saya renovasi lagi. Saya juga akan membeli beberapa buku cerita anak, dan menyewa penjaga perpustakaan.” Tapi tidak juga. Sampai saat ini—sudah lewat 8 bulan—tidak ada perubahan apapun, padahal sudah berkali-kali ditagih, Kepala Sekolah selalu bilang, “Ya”, “Nanti akan saya renovasi”, “Dananya sedang dikumpulkan”, “Bulan depan”, “Sebentar lagi”, “Nanti, saaat ini saya sedang sibuk,” ah, membosankan! Ketika ditanya kapan kepastiannya, beliau malah bilang, “Wah, saya juga belum tahu. Pokoknya bisa!” Padahal banyak siswa yang menyumbang dana, bahkan rak buku dan mejanya. Tapi, oleh Kepala Sekolah, seluruhnya malah dibangun ruang pameran karya. Jadi, di rak-rak itu dipajang berbagai kerajinan tangan para murid. Krieet!! Pintu berderit lagi. Sarah menoleh. Oh, Farida. Anak cengeng kelas 4D itu. Sepupu Sarah. Ia kelihatan habis menangis. “Kenapa Far?” sapa Sarah dingin. Farida membersit, napasnya masih ngos-ngosan, airmatanya masih mengalir, “Aku ditinggal Janny pulang... Tadi kelas 4A (kelas Sarah dan Janny) pulang duluan. Aku, aku ditinggal...” “Sudahlah, Far! Memang kamu nggak bisa pulang sendiri? Rumah cuma 125 meter! Tidak melewati jalan raya!” bentak Sarah. “Tapi aku takut, Sar, nggak ada yang nemenin aku... Seluruh kelas sudah pulang, tinggal kelasku. Dan dikelasku, tak ada yang pulangnya searah denganku. Ya, wajar aku menangis, kan...” lirihnya. “Wajar?” suara Sarah meninggi. “Memang tidak wajar, ya?” suara Farida sangat lugu. “Tidaklah! Bodoh sekali, sih, kamu!” bentak Sarah gemas. “Ka-kamu... Kamu membentakku... Hik, hik, hik...” Farida menangis lagi. Sarah menjadi serba salah. “Oke, oke, aku minta maaf. Tapi kumohon, jangan menangis lagi, Far. Aku ben... Eh, aku minta maaf, sungguh!” Sarah mendekati Farida. “Oke! Ayo, ikuti aku, aku ingin tunjukkan sesuatu kepadamu!” perintah Farida. Sarah mengekor Farida menuju sebuah rak. Farida mengambil setumpuk buku tebal di rak atas. Lalu menghempaskannya ke lantai. Akibatnya, debu jadi bertebaran kemana-mana. Sarah terbatuk-batuk sedikit. “Buat apa kau ambil itu? Mau baca?” sindir Sarah, sebab tak pernah seorangpun yang berminat membaca buku seperti itu. “Ya!” Farida mengangguk mantap. Sarah menjadi heran. Farida tidak suka baca! Dan kalaupun baca paling hanya buku ensiklopedia, bukan buku sastra atau sejarah! Farida membolak-balik halaman salah satu buku tebal itu. Yang keluar hanya debu. Lalu ia mengambil buku lainnya. Sampai 3 buku ia bolak-balik, barulah ia menemukan sesuatu. “Apa itu?” tanya Sarah heran. “Kertas dan pena ajaib. Kertasnya hanya selembar, kuselipkan disini. Penanya kutemukan di belakang rak ini. Lihat!” ia mengeluarkan sebuah pena dari tasnya. Penanya berwarna biru pekat. “Maksudmu?” tanya Sarah heran, ia mengikuti Farida duduk di lantai berdebu itu. Farida mengambil kertas putih bersih itu. Lalu, dengan cekatan mencoretinya dengan sebuah gambar. Ia memang pintar menggambar. Ia menggambar es krim stroberi. Setelah selesai, ia meniup kertas itu sambil berkata, “Bismillah!” Sarah sangat terkejut! Sebuah es krim sudah ada di atas kertas itu, melayang beberapa senti dari kertas itu. Farida meraih dan menjilatinya. Sarah masih bengong, takjub sekali. “Benarkah bisa dimakan, Far? Maniskah? Enakkah? Tidak beracunkah?” Sarah masih ragu. “Coba saja!” Farida menyerahkan es krim itu pada Sarah. Sarah menjilatinya. Sangat menikmatinya. “Kamu mau apalagi?” tanya Farida. “Pensilku sudah pendek. Aku ingin pensil 2B yang baru, belum diraut! Dan rautan putar mungil berwarna hijau muda! Oh, ya, aku ingin sebuah boneka barbie, dan teddy bear wangi!” Sarah meminta. Tangan Farida yang cekatan bermain di kertas itu, membuat semuanya selesai kurang dari 1 menit. “Ha? Bagaimana kamu bisa, Far?” tanya Sarah heran. “Bulan lalu, aku menangis keras karena uang jajanku tertinggal di rumah. Tadinya aku mau ke kantin, tapi aku takut tergiur makanan, sedangkan aku tak bisa jajan. Aku pingin main game di lab komputer, tapi penuh. Aku sendirian dan aku butuh waktu untuk menghibur diriku dalam sepi. Akupun kesini. Aku mencoba membaca salah satu buku, tapi baru satu halaman aku tertidur saking membosankan isi buku itu. Lima menit kemudian, aku terbangun karena bel. Saat aku ingin mengembalikan buku ini ke raknya, tak sengaja buku itu terjatuh. Saat aku memungutnya, aku melihat selembar kertas keluar dari selipan buku itu. Dan disamping buku itu, ada sebuah pena. Kucoba, dan ternyata, masih nyata tintanya! Akupun menggambar selembar uang di kertas itu, tiba-tiba ada lalat hinggap di kertasku. Aku meniupnya, tadinya bermaksud agar lalatnya pergi, dan... Jadilah selembar uang! Mulanya, kukira hanya penanya yang ajaib. Jadi, kutinggalkan kertasnya di selipan buku. Buru-buru aku ke kelas. Tapi saat aku menggambari buku tulisku, tak terjadi apa-apa. Aku berpikir, hanya kertasnya yang ajaib. Esok harinya, aku lupa membawa pena ajaib. Tapi kupikir, ah, itu tidak ajaib. Yang ajaib hanya kertasnya. Maka di perpustakaan ini, kukeluarkan pena biasaku, dan menggambarinya di kertas, meniupnya sambil membaca basmalah, tapi tak terjadi apa-apa. Yang terjadi malah perlahan tintanya menghilang, memudar, lalu kertasnya kembali putih. Dan akhirnya kusadari, dengan kertas ini dan pena ini sajalah mereka bisa menjadi ‘ajaib’. Seperti manusia yang tak bisa hidup sendiri, maka pena ajaib inipun butuh kertas yang ajaib pula untuk membuktikan bahwa dia ajaib. Itulah kisahku,” cerita Farida panjang lebar. Sarah hanya bengong, melongo, berusaha memahami dan mempercayai cerita Farida. “Kau mau kugambari sesuatu?” tanya Farida ramah. “Mm, aku haus. Aku ingin es jeruk saja,” kata Sarah. Farida mulai memainkan tangannya diatas kertas itu. “Bismillah!” bisiknya, lalu meniup kertas itu. Segelas es jeruk melayang di atas kertas. Sarah mengambil dan meminumnya sampai habis. Tiba-tiba Sarah teringat sesuatu. “Far, apakah tintanya tak akan habis-habis? Dipakai berapa kali pun? Kamu sudah mengeceknya?” tanya Sarah khawatir. Farida menggeleng, tapi ia mencoba membuka pena itu hingga terlihat tintanya. Isi yang setinggi dua kelingking itu terlihat tinggal dua pertiganya. Lalu Farida mencoba menggores kertas itu. Secara drastis tintanya turun 2,5 milimeter. “Gunakan dengan baik, Far. Tintanya sangat langka, berharga, dan cepat habis! Siapa tau kau perlu di waktu mendadak!” nasihat Sarah. Farida mengangguk. “Pulang, yuk!” ajak Farida sambil menyelipkan kembali kertas putih itu di buku tebal. Penanya ia masukkan ke tas. “Kenapa kamu tidak membawa pulang kertasnya?” protes Sarah. “Tidak usah, siapa tahu aku butuh jika suatu PR-ku ketinggalan di rumah, aku akan turun kesini dan menggambar, aku memerlukannya,” Farida meraih tasnya. “Kamu bisa membawanya pulang, lalu saat berangkat sekolah kau bawa lagi, ide yang bagus, kan?” saran Sarah. “Bagus bagimu, tidak bagiku yang ceroboh dan suka kelupaan membawa berbagai macam barang. Kalau pena, insya Allah ia akan aman karena berada di tempat pensilku, benda-benda di tempat pensilku jarang sekali ketinggalan, jadi, ya begitu,” jelas Farida. Sarah mengangguk mengerti. “Oke, ayo kita pulang!” ajak Sarah sambil membuka pintu perpustakaan. Krieet!! Akhirnya mereka pulang bersama.
***
Berhari-hari setelah itu, ketika istirahat mereka berdua jadi sering main ke perpustakaan. Bukan untuk menggambar, itu juga tak mungkin, dong, karena tinta penanya akan cepat habis. Tapi untuk membaca buku! Perpustakaan yang minggu kemarin telah Sarah sapu kini lumayan bersih, walau masih pengap. Mereka betah membaca buku karena telah menemukan beberapa eksemplar buku 1.284 halaman berjudul ‘Legenda Nyata Pena dan Kertas Ajaib yang Membawa Seribu Satu Keberuntungan Bagi Penemu atau Penggunanya’, ditulis oleh Raja Ali Setiadi Taperna Salasamasekaly Dan Bijaqsanaskali Karnaitu Disukay Selurura’yatnya, nama yang aneh. Tapi mereka tetap semangat, mengingat tujuan mereka, akan mendapat keajaiban lain (mungkin) setelah membaca buku itu, atau mendapat tips-tips bijaksana menggunakan pena itu. Atau mereka juga berharap, kehebatan pena itu tak hanya sampai disitu. Meski buku sastra itu sangat tebal, berat, dan bahasanya sulit dimengerti, walau ditulis menggunakan bahasa Indonesia, tapi tetap saja harus diterjemahkan, karena ini sastra berat yang metaforanya tinggi. Sarah dan Farida berusaha mati-matian membacanya sampai tamat. Mereka rela tidak jajan, dari datang sampai bel masuk mereka di perpustakaan, dari bel istirahat sampai bel masuk lagi, dari bel pulang (jam 12) sampai pukul 3 sore, mereka berdiam di perpustakaan menghabiskan lembar demi lembar buku itu. Sarah sudah halaman 73 dan Farida baru 68, mereka berusaha mengertinya dan mencatatnya di buku tulis mereka, arti dan maksudnya. “Far, kamu udah nyatet apa aja? Boleh liat catatan kamu, nggak? Soalnya aku belum ngerti yang halaman 62,” tanya Sarah di rumahnya. Mereka memang satu rumah, kamar merekapun bersebelahan. “Oke, nih!” Farida melemparkan catatannya ke pangkuan Sarah yang langsung terbelalak melihat binder besar yang sarat tulisan itu. “Hah? Kamu nyatet yang kamu artiin apa menerjemahkan semuanya ke bahasa sederhana?” pekik Sarah melihat tulisan Farida yang dipaksa dikecil-kecilkan, disingkat-singkat, dan dirapat-rapatkan itu sudah memenuhi lembaran binder. Binder itu tampak sesak oleh halamannya yang membludak seperti ingin keluar. “Hehehe, aku nerjemahin. Nih, masih ada satu binder lagi, hampir penuh, itu baru sampai halaman 68, lho!” Sarah mengambil binder Farida dan mengamatinya. “Aku pinjam, ya! Aku ingin baca dan melengkapi catatanku!” Sarah pergi ke kamarnya dan menekuni catatan Farida yang berbeda jauh darinya. Semalaman Sarah membaca. Untung besok libur, jadi dia tak perlu khawatir bangun kesiangan, tapi walau bangun siang Sarah tetap shalat subuh, kok, cuma habis shalat tidur lagi, hehehe... Legenda ini muncul empatribu duaratus limapuluh delapan tahun lalu. Dahulu ada seekor monster ganas yang tinggal di sebuah gua tersembunyni di tengah hutan Fredalox yang waktu itu penuh jurang, lebat, cahaya matahari tak bisa menembus sama sekali. Diperkirakan luasnya jutaan hektar. Monster yang disebut Penjaga Fredalox itu sangat senang menggambar. Ia punya ratusan pena untuk menggambar. Memang aneh kalau menggambar menggunakan pena. Tapi sang monster sangat tidak suka menulis dengan pensil. Dan kertasnya memiliki ukuran bermacam-macam, yang paling besar 12 km persegi, dan yang paling kecil berukuran sebaku kelingking. Kertasnya berlembar-lembar, ia tumpuk menjadi gunung terbesar di Fredalox. Gunungnya bernama Monden Peppel. Walau hujan, kertasnya tak akan basah, sebab kertasnya adalah kertas ajaib. Itulah sebab kenapa sang monster tak pernah keluar gua, karena semua yang ia butuhkan tinggal ia gambar dan tiup, maka jadi begitu saja.            Sarah terus membaca hingga ia menemukan halaman yang bertuliskan: Suatu kali, pena Penjaga Fredalox itu habis terpakai. Tintanya yang cepat habis membuat pena-pena itu tak bertahan lama. Akhirnya Penjaga Fredalox menyerah. Ia berusaha mencari makan di Fredalox dengan cara keluar dari gua. Tak banyak yang tahu, Penjaga Fredalox sangat takut dengan manusia, walaupun badannya besar sekali dan ia amat ganas, tapi ia hanya berani pada benda mati, tumbuhan, bakteri, plankton, semut, nyamuk, lalat, dan beberapa serangga lain (aku menulis ‘beberapa serangga lain’ karena dalam naskah aslinya terdapat nama yang sulit dimengerti, ‘Grequop-insect’, ‘Smelxzaq-insect’, dan ‘Auroxtha-insect’, aku yakin mereka adalah jenis serangga karena ada kata ‘insect’-nya) Sarah tersenyum melihat catatan kecil Farida yang sedemikian teliti. Lalu ia melanjutkan membaca. Ia berusaha menyemburkan api agar para manusia dan binatang takut dan berlari sejauh mungkin, tapi ia lupa, kalau napasnya sekarang tak lagi panas dan berapi, namun napasnya sejuk dan segar. Ribuan tahun Fredalox lembab dan basah, sekarang kembali segar. Hewan-hewan di Fredalox yang tadinya hanya terdiri dari makhluk laut, serangga, dan beberapa reptil menjadi ada singa, monyet, dan burung karena udaranya menjadi sejuk. Penjaga Fredalox pun menjadi ketakutan dan kabur entah kemana, dan ia tak pernah kembali lagi. Menurut isu yang menyebar, ribuan tahun sang Penjaga Fredalox di tempat persembunyiannya, ia berlatih mencoba memberanikan diri untuk bertemu manusia dan menakutinya. Tapi, baru diketahui pena ajaibnya tersisa satu, hanya satu. Namun pena itu terbang entah kemana, bersama selembar kertas ajaib. Satu pena itu adalah pena yang paling sedikit tintanya, dan paling cepat habis jika dibandingkan pena-pena ajaib lainnya. Ciri-ciri pena itu dapat dilihat dengan mikroskop, ada tulisan ‘Penjaga Fredalox’ di bagian tutupnya. Pena itu berwarna biru pekat. Ribuan tahun disana, ia berlatih membesarkan diri, membesarkan diri, dan membesarkan diri. Dan memanaskan napasnya, hingga jadi uap. Lalu hingga jadi asap, lalu, hingga jadi api. Lalu,ia memanaskannya lagi hingga menjadi seribu derajat celcius. Tapi, ia tak pernah kembali lagi. Konon, ia akan kembali lagi setelah ribuan tahun, dengan maksud menguasai Fredalox dan tanah sekitarnya. Tapi, tak seorangpun tahu kapan ia kembali. Kerajaan Roe Dzwuh—kerajaan di sekitar hutan Fredalox—selalu berjaga-jaga terhadap serangan sang monster. Mereka selalu menyiapkan ribuan armada perang, satu prajurit di tiap jengkal perbatasan Kerajaan Roe Dzwuh. Dan ada satu legenda, oleh penasihat Kerajaan Roe Dzwuh, walau ratusan juta pasukan kuat mengendarai kuda dengan miliaran meriam, tetap saja kalah dengan sang monster. Hanya ada sepasang penyelamat dari Tanah Subur, berusia 9 tahun yang akan menyelamatkan Kerajaan Roe Dzwuh dari sang monster. Entah siapa, tapi mereka memiliki senjata yang sangat ampuh, dan mereka datang tiga hari sebelum sang monster datang. Sarah melanjutkan bacanya, hingga Farida mengetuk pintu kamarnya. “Assalamualaikum,” salam Farida dan masuk. “Wa’alaikum salam, maaf, catatannya akan kukembalikan besok pagi,” kata Sarah sambil terus membaca. Farida diam, diam, dan diam. Tiba-tiba napas Farida menjadi tak beraturan. Sarah menoleh. “Ah, kamu!!!! Berhenti cengeng!!! Aku cuma bilang, aku tak bisa mengembalikannya sekarang!!” bentak Sarah dengan emosi. Farida berlari keluar kamar sambil meraung. “Ah, dasar anak cengeng!” umpat Sarah. Untung ibu Farida tak ada di rumah. Kalau ada, kasihan Farida. Ibunya memang tegas dan sebal melihat anaknya menangis karena hal sepele. Ia akan kena marah dan raungan tangisnya akan semakin kencang. Sarah akan semakin tersiksa, terutama telinganya. Untung, Sarah sudah membuat—jangan bilang-bilang!—alat peredam suara. Tangis Farida menjadi lembut di telinganya, hehehe... “Sudahlah, Far, hal sepele... Aku minta maaf,” Sarah meminta maaf. “Oke,” sahut Farida terbata, “Kita lanjutkan menerjemahkannya.”
***
“Sar, lihat ini!” panggil Farida. “Aku menemukannya di selipan halaman 566-567 buku ini!” pekik Farida. “Apa, apa!!” sambut Sarah heboh. “Ini, tampak seperti sebuah peta, kira-kira apa, ya?” tanya Farida. Sarah memperhatikannya baik-baik. “Itu memang peta, eh... Emm, kok, aneh, ya, namanya? Phidaluegs? Maksudnya?” Sarah menunjuk salah satu bagian peta yang bertuliskan ‘Phradaluegs’. “Ini, hm, kurasa aku pernah melihatnya... ‘Kamus Besar Super Sejuta Bahasa yang Masing-Masing Bahasanya Ada Seribu Triliun Kosakata’, ah ya! Aku pernah melihatnya... Setebal 25 sentimeter dengan kaver seukuran setengah kulkas! Tanpa space dipinggiran halamannya dan tulisannya mesti dibaca oleh mikroskop dengan pembesaran 10 kali lipat! Aku tahu dimana tempat buku itu berada!” seru Farida penuh semangat. “Dimana?! DIMANA?! DIMANA?!?! DI RAK MANA?!” paksa Sarah. “Di... Bukan disini, di...” Farida tampak ragu untuk mengatakannya. “DIMANA?!?!” Sarah semakin memaksa. “Di Museum Kolbaraja (dinamai Kolbaraja akronim dari Koleksi Barang Aneh dan Ajaib), di dekat halte tua angker itu... Sebelahnya halte...” Farida memberitahu. “Yang di...—” kata-kata Sarah menyangkut di tenggorokan. “Jalan Kenanga Biru no. 65, yap, yang itu!” jawab Farida yakin. “Jalan... Jalan...” Sarah menelan ludah. “Kenangan Biru, Sar, Kenanga Biru, memang jauh tempatnya...” Farida meyakinkan. “Nomor... Enam...” Sarah menggigit bibir. “Enampuluh lima,” Farida semakin yakin. “Sebelah...” anak itu mengeluarkan keringat dingin “Halte tua angker,” Farida melengkapi jawaban Sarah. “Museum itu... Museum...” tubuhnya bergetar. “Kolbaraja. Yang catnya sudah mengelupas dan seorang aki tua sebagai penjaganya, yang konon katanya—” kata-kata Farida terpotong. “Memiliki ilmu... Ilmu hitam yang...” Sarah melanjutkan, tapi terputus. “Yang ia gunakan untuk membantunya menjaga museum itu.” “Aaaa!!! Jangan yang itu!!! Aku takut!! Banyak gosip hantu yang beredar disana!! Aki tua penjaga yang senang menyanyikan pohon tua angker yang menjadi rumah kuntilanak Nillem, dan kabar tentang lukisan Leonard yang semakin hari semakin memerah darah warnanya, dan kabar tentang teriakan hantu wanita yang berteriak minta tolong! Ah, takut!” airmata Sarah menitik. “Kok jadi kamu yang cengeng, sih? Ayo, kita selidiki!” “Emh, euh, duh... Em, ehm, em... S-si-siang i-ni?” Sarah menangis. “Tidak!” senyum Farida—oh, tidak, ia bukan tersenyum—menyeringai tepatnya, “Tenang, kita tidak akan menyelidikinya siang ini—terlalu terburu-buru—tapi kita akan menyelidikinya, malam ini!” “Far, tak bisakah kau menerjemahkan tanpa kamus itu? Kau pintar, cerdas, siapa tahu...” “Siapa tahu aku tak bisa! Dan aku harus mencarinya dalam kamus itu!” Farhafn mengelak. Sarah mengambil napas dan mulai menenangkan diri. Ia menghapus airmatanya. “Ya, ya, oke, kau menang. Aku ikut kamu. Jadi, gimana rencananya?” Sarah mulai menguasai diri. “Nanti malam, pukul 11, ketika semua sudah tidur. Aku akan ke kamarmu, malam ini jangan kunci kamar. Kita berangkat lewat pagar belakang, nanti kita kunci kembali pagarnya, aku punya duplikat kuncinya. Dan nanti, kita langsung naik angkot, turun di pertigaan Extra Mall. Jam 11 disana masih ramai. Lalu kita jalan sampai ke Museum Kolbaraja. Kita melompati pagarnya, biasanya aki penjaganya ada di dalam museum. Setelah itu kita membakar daun-daun kering di halaman belakang museum, lalu kita bersembunyi. Lalu... Emmm, si penjaga akan ke halaman belakang setelah mencium bau terbakar, dan saat itulah kita menyelinap ke dalam. Ada rak buku yang menyimpan kamus itu, dan aku yang akan membawanya. Kita keluar. Kamus itu kuletakkan dalam koper beroda besar. Nanti sore aku akan melapisi rodanya dengan zat-anti-bunyi-gesekan milikku. Dengan begitu, aku bisa melenggang di museum tanpa takut terdengar derit roda koperku,” jelas Farida panjang kali lebar, eh... itu, kan rumus persegi (J). “Kau setuju?” tanya Farida. “Em... Tapi, apakah tak aneh, dua anak kecil berkeliaran di jalanan, saat waktu hampir tengah malam?” tanya Sarah ragu. Farida tertawa. “Jangan sebodoh itu, sepupuku,” kata Farida sedikit meremehkan, “Kita memanfaatkan penyamaran. Postur tubuh kita besar, jadi kita bisa berdandan layaknya orang dewasa. Kau, kenakan baju tebal panjang, kalau perlu sweater mamaku, dengan celana panjang juga. Kenakan topi, jangan lupa. Rambut kau masukkan topi. Pakailah kacamata berkaca bening,” jelas Farida. “Kenapa berkaca bening? Kenapa tidak hitam saja?” tanya Sarah polos. “Karena aneh. Apa, sih, yang terlalu silau di malam hari sehingga kita membutuhkan kacamata hitam? Pakailah yang ber-frame bulat. Dengan begitu, penampilanmu akan seperti anak laki-laki. Untukku, aku memakai jaket kulit hitam dan celana hitam. Aku pakai topi dan aku akan membuat poni palsu. Nanti, poni itu akan kujuntaikan ke dahi hingga menutupi mata kananku. Ceritanya kita teman. Kita bicara dengan menggunakan kata saya-anda. Untung suaramu bisa diubah seperti suara laki-laki, iya, kan?” “Ya! Kita membicarakan masalah kantor. Ceritanya, di kantor kita ada konflik. Kantor kita semakin bangkrut...” “Pintar! Dan nanti sore, kita siapkan alat-alatnya...” “Tunggu!! Apa gunanya kita kesana?” tiba-tiba Sarah berseru. “Gunanya? Kau tau apa gunanya,” senyum Farida penuh arti misterius. “Aku? Apa?” Tapi Farida sudah tidak mendengar.              Walau bingung, Sarah ikut saja, biasanya kata-kata Farida bermakna banyak.
***
           “Sshh, Sarah, sshh,” panggil Farida lemah di depan pintu kamar Sarah, pukul 11 malam. “Oke, sebentar!” Sarah membuka pintu kamarnya dan mempersilakan Farida masuk. “Bawa seragam penyamaran kita ke kopermu. Sampai di ujung gang, kita berganti baju di toilet umum yang tersedia di tengah jalan. Cepat,” perintah Sarah pada Farida. Farida mengemas seluruh kostum. Sarah membuka jendela dan keluar. Lalu Farida memberikan kopernya. Sarah menarik koper itu keluar. Setelah itu gililran Farida yang keluar. Setelah berhasil, mereka menutup jendela. Sepuluh menit dalam kegelalan pun berlalu. Sekarang mereka telah berganti kostum, dan sedang menunggu angkot dibawah lampu kota. “Ehm, Far, aku takut...” gumam Sarah. “Tidak, begitu, Fikri! Saya juga takut kantor kita bangkrut. Bagaimana solusinya menurut Anda?” Farida mengeraskan suaranya. Sarah mengerti. “Saya rasa, lebih baik PT Adinda Ananda diganti saja menjadi rumah makan! Kalau usaha begini, saya rasa perusahaan kita akan bangkrut, Andre!” “Bagaimana kalau salon kecantikan?” “Far, sudahlah, kita diam saja. Di angkot nanti baru kita mengobrol,” bisik Sarah. Farida hanya menjawab dengan membentuk “O” dengan jari telunjuk dan jempolnya. Tiba-tiba sebuah angkot datang. Farida menyetop dan mereka berdua naik. Ada tiga penumpang. Dua laki-laki sangar dan satu lagi... Oh tidak! Satu lagi... itu... Itu ayah Sarah yang baru pulang dari dinasnya! Ayah Sarah, Pak Harun minggu kemarin berdinas ke Malaysia, dan akan pulang lusa (katanya). Tapi... oh, tidak! Kenapa Ayah pulang sekarang? jerit Sarah dalam hati. “Far, itu Ayah...” bisik Sarah tercekat di tenggorokan. “Ya, Sar, aku tau. Tenanglah. Ia takkan tau. Percayalah padaku,” Farida mencoba menenangkan Sarah walau dalam hatinya juga cemas penyamarannya ketauan oleh ayahnya Sarah yang merupakan pamannya sendiri. “Ehm, bagaimana menurut Anda, Fikri? Apa yang dapat kita lakukan demi perusahaan kita?” kata Farida pada Sarah. “Menurut saya...” Sarah menggunakan suara beratnya yang seperti laki-laki, “Lebih baik kita mem-PHK semua karyawan, dan...” “Permisi, apa ini dompet Anda?” tiba-tiba Pak Harun berkata. Aduh! Itu... itu milik Farida!! “Terimakasih, ini memang milik saya,” Farida langsung merebut dompetnya. Dompet itu diberikan Pak Harun padanya 2 bulan lalu, ketika ia berulangtahun. “Dompet Anda mirip dengan dompet keponakan saya yang saya berikan padanya di hari ulangtahunnya,” Pak Harun berbasa-basi. “Oh, begitukah? Saya membelinya di perempatan jalan,” Farida mencoba menjawab dengan dingin agar tidak diajak ngobrol lagi. Pak Harun memang orang yang ramah dan bila bertemu orang suka berbasa-basi. Sementara Farida menanggapi Pak Harun, Sarah sibuk mencari alasan kalau penyamarannya ketauan. “Saya habis pulang dari Malaysia, habis dinas. Sebenarnya saya akan kembali lusa, namun menurut ramalan cuaca, dua hari kedepan angin akan bertiup sangat kencang, jadi saya memutuskan pulang hari ini,” ceritanya sambil mengamati Farida curiga. Om Harun... Jangan liatin aku... aku grogi... gumam Farida dalam hati.              “Apakah dinas Anda sudah selesai?” kali ini Sarah yang angkat bicara, tentu dengan suara ‘laki-laki’-nya. Sebenarnya ia sangat takut kalau-kalau Ayah pulang dan tak menemukan dirinya dikamar... “Belum. Ini saya sedang menuju hotel untuk bertemu seseorang. Saya pulang kerumah besok pagi.” Besok pagi! Alhamdulillah! Sarah dan Farida bersorak dalam hati. Berarti malam ini mereka bebas... Tentu saja mereka bebas! Tinggal sekarang masalahnya. Gawatnya, angkot terjebak macet. “Huah macet, padahal saya sedang buru-buru!” gerutu Pak Harun, “Oh, ya, ngomong-ngomong kemana tujuan Anda?” “Ehm, kami...” Farida terbata. “Kami kerumah manager kami, membawa surat penting titipan dari sekertaris,” kata Sarah,  masih tetap dengan suara ‘laki-laki’-nya. “Kiri, kiri, Bang!” tiba-tiba Farida berseru menyetopkan angkot yang baru saja terlepas dari kemacetan. Sarah kaget. Kenapa menyetop disini?! Ini masih jauh dari Museum Kolbaraja! Tapi Sarah menurut. “Kenapa turun disini? Ini masih jauh dari Kolbaraja, Far!” omel Sarah ketika angkot sudah berlalu. “Kamu mau jalan kaki dari sini ke Kolbaraja?” omel Sarah lagi. “Tidak, kita naik angkot lagi!” kata Farida enteng. “Bayar lagi?!” “Yah, daripada kita mengobrol dengan Om Harun terus, mending turun disini, kan?” Farida mengemukakan alasannya. “Hm, oke, oke, aku setuju. Tapi siapa yang bayar angkot di angkot kedua?” Sarah pasang muka cemberut. “Aku! Aku bawa uang 25 ribu rupiah dan itu cukup, kan?” “Ah, sudahlah, apa katamu!” Sarah  mengikuti. Mereka pun menunggu angkot lagi.
***
Tibalah mereka di depan museum, persis di depan. Museum yang tampak angker dan makin berkesan angker ketika terdengar suara. “Kemari... Kami menunggu kalian, Sarah, Farida...” Desiran angin yang membawa suara misterius itu makin berhembus kencang. Tiba-tiba ada sebuah suara, suara yang serak kering yang tampaknya suara bapak-bapak, seperti suara desiran angin tadi. “Aku ingin memusnahkan negri itu...”              Airmata Farida menetes.              Sarah mengambil topinya yang terbang.              “Aku ingin memusnahkan negri itu...”              Farida makin terisak, ketakutan. Sarah tersenyum melihat itu.              “Beranilah, Far! Kita pahlawan!” seru Sarah pede. Farida malah nangis semakin terisak. Sarah jadi jengkel.              “Diam! Kamu kenapa, sih? Perasaan tadi kamu udah berani?” dengus Sarah. Farida malah mencengkram tangan Sarah.              “Hmmph, gimana, hiks, gimana nggak nangis... Kamu naro koper beroda itu di posisi tiduran... Hiks, di... Dikakiku... Jelas aku sakit...”              Toeng!!              Sarah buru-buru memindahkan koper itu menjauh dari kaki Farida.  Sarah membuka koper itu, ternyata masih ada isinya. Lima barbel mini milik Pak Harun, dengan kotak penuh paku besi besar didalamnya.              “Kenapa nggak kamu kosongin dulu kopernya?!?! Sekarang,  barbel-barbel ini dan kotak paku ini kita kemanakan?”              “Gawat!!!!!! Mungkin lebih baik jika... Aku akan menyembunyikannya disini, besok pagi akan kuambil lagi!”              “Merica!” ketus Sarah (memang, kalau ia sedang kesal, ia selalu meneriakkan kata “Merica!”, atau “Garam!”, kadang “Kopi!” dan sebagainya. Kenapa begitu? Soalnya dia risih kalo dengar orang yang kesal lalu bilang, “Bodoh!”, “Sialan,” dan lainnya. Akhirnya ia memilih mengatakan itu saja, dari pada ngomong kasar, bener, nggak?).              “Oke, kau tak berpikir panjang. Besok hari Minggu, Ayah akan berolahraga pagi dengan barbelnya!! Apa kau tak mendengar, ayah akan membangun rumah triplek buat kucing ibumu, dan pakunya disini!!” suara Sarah tampak sangat sangat cemas dan amat putus asa.              “Dan kau juga tak berpikir lebih panjang!” kelit Farida, “Tadi kubilang, aku akan kesini lagi, setelah meletakkan kamus raksaksa itu dirumah!”              Sarah tampak jengkel, “Oke, mari kita bakar daun kering untuk mengalihkan perhatian aki penjaga.”              Mereka lalu mencoba mengumpulkan dedaunan kering di sekitar mereka. Tapi tiba-tiba, Farida terdiam. Sarah tampak sudah siap menyuruhnya mengumpulkan daun lagi.              “Sar...” panggil Farida dengan suara bergetar, “Aku... Kita... Hmmph, mm, gini... Pff, aku lupa... Koreknya...” akhirnya setelah menunggu kata-kata Farida, emosi Sarah meledak juga.              “Jangan-jangan kau lupa bawa otakmu! Oke, sekarang, apa yang kau bawa?”              “Koper, pena dan kertas ajaib, kostum, senter, walkie talkie, tenang saja... Kopernya sudah kuolesi zat-anti-bunyi-gesekan, dan... Uang 25 ribu,” Farida menyebutkan satu-satu, sambil merogoh saku celananya, “Juga dompet, dan...” Ia makin dalam merogoh.              “Korek api! Ternyata aku membawanya!” wajah Farida akhirnya berseri ketika ia menemukan sekotak korek api di sakunya. Sarah tersenyum, langsung merebut korek api itu, mengeluarkannya sebatang.              “Kamu bawa kopernya kedalam, sebentar lagi, aku akan mengalihakan perhatian si penjaga dengan membakar dedaunan kering ini di halaman belakang. Kalau penjaganya sudah datang ke tempatku, akan kuhubungi kamu untuk masuk ke museum dengan walkie talkie, are you ready?” Sarah menyerahkan satu walkie talkie pada Farida, satunya lagi ia pegang. Lalu ia membawa kumpulan daun kering itu ke halaman belakang museum. Sedangkan Farida diam menunggu pesan dari Sarah.              Diam-diam Sarah melompati pagar belakang museum yang agak tinggi. Lalu bersembunyi dibalik semak semak. Dedaunan kecokklatan itu masih dia dekap. Pelan-pelan ia letakkan daun itu agak jauh dari keran air.              Crash!              Api mulai menyala sedikit setelah Sarah menyalakan korek dan melemparnya ke tumpukan daun itu. Ia bersembunyi dibalik papan triplek besar di sekitarnya. Tiba-tiba ada suara langkah kaki diseret dan terpaksa. Sarah tau benar itu langkah  si aki-aki penjaga museum.              “Psst, masuk kedalam, psst, museum, psst, ganti,” Sarah berbicara lewat walkie talkie.              “Psst, oke, aku segera masuk, psst, do’akan aku, psst,” suara Farida terdengar. Mata Sarah masih mengintai si aki tua penjaga yang mencoba mencari sumber asap. Sang aki mangendus-endus bau, mungkin ia tidak terlalu melihat dimalam gelap. Akhirnya, begitu api makin membesar, barulah ia cepat-cepat menyalakan keran air.              Tapi si aki lupa pasang selang. Beliau mengambil selangnya dulu, tapi api tak semakin membesar. Mungkin karena ditiup angin.              Didalam museum, Farida sibuk mencari kamus itu. Banyak sekali lorong-lorong tanpa nama. Pertama masuk museum, ruang utamanya luas, megah, tapi berdebu. Ada meja resepsionis, tiga bangku kayu, dan kamar mandi. Ada 3 jalan disana. Jalan pertama, lewat tangga, ke lantai atas. Jalan kedua, belok kanan, jalan ketiga, belok kiri. Farida mencoba ke atas dulu.              Dilantai atas, lagi-lagi ada 3 pintu. Farida bingung mau memilih yang mana. Corak ketiga pintu itu berbeda. Pintu pertama, bercorak vertikal. Pintu kedua, kotak-kotak. Pintu ketiga polos.              Tapi ada sesuatu yang aneh pada pintu ketiga. Ada guratan silang dilingkari dari pisau yang menyayat pintu kayu itu. Dan seingat Farida, menurut buku-buku perpus, lambang silang dilingkari artinya ‘terlarang’. Dan—masih menurut buku perpus,—sketsa kamus raksaksa itu ada lambang silang dilingkari dikavernya. Farida mencoba membuka pintu ketiga.              Hawa dingin menusuk menerpa wajah Farida. Farida tetap masuk sambil menyeret kopernya.              Tempat Sarah.              Si aki sudah berhasil memadamkan api. Dan ia akan melangkah kembali ke museum. Sarah mencoba mengalihkan perhatian si aki dengan membuka keran air tiba-tiba. Dan benar, si aki kembali untuk mematikan air. Sarah mencoba mencari akal, agar si aki tidak masuk museum. Sarah mengedarkan pandangan. Tiba-tiba pandangannya berhenti. Jambu jatuh!              Plak!!              “Maaf, Ki,” bisik Sarah, setengah menyesal telah melempari punggung si aki dengan jambu bekas kelelawar yang jatuh disebelahnya.              “Huff, dasar kelelawar jelek! Kau selalu membuat kebun museum ini kotor! Dan aku menanam jambu-jambu itu bukan untukmu, tapi untuk sesajenku!” si aki memaki kasar.              Sesajen! Aki ini... Dia berarti benar-benar memiliki ilmu hitam, karena ia mempersembahkan sesajen! Kuatkan aku, ya Allah... izinkanlah aku dan Farida berhasil dalam misi ini... Amin, Sarah berdo’a.              “Psst, disini banyak lorong, psst, aku tak tahu, psst, yang mana yang harus kumasuki, psst, ganti,” tiba-tiba walkie talkie Sarah bersuara.              “Cepat, psst, carilah! Kau, psst, akan kukabarkan lagi, psst, jika akinya, psst, akinya masuk, psst, ganti.”              “Aku disebuah ruangan, psst, yang misterius, psst, alihkan terus perhatian, psst, si aki, ganti,” suara Farida terdengar cemas.              “OK!” jawab Sarah singkat. Ia kembali memperhatikan dimana si aki. Matanya berputar ke seluruh halaman belakang. Gawat! Si aki sudah tidak ada! Berarti ia masuk ke dalam! Aku harus mengabari Farida! pikir Sarah, meraih walkie-talkie. Tapi tiba-tiba ia melihat sang aki sedang melakukan ritual aneh.              “Maafkan aku Dewa Penjaga Fredalox yang mulia, kelelawar jelek itu selalu memakan sesajen suciku untukmu,” katanya sambil bersujud, lalu menggerakkan tangannya dengan sikap menyembah.              Penjaga Fredalox! Sarah teringat catatan terjemahan Farida. Berarti si aki... Ada hubungannya dengan Fredalox! Dengan misi mereka! Dan sekarang, ia melakukan ritual seperti orang bersemedi, bersila dan diam, sambil menyebut mantra aneh. Sarah bertanya-tanya dalam hati. Ia ingin mengabari Farida, tapi takut mengganggu pekerjaannya. Dan ia memutuskan, kabarkan saja ketika pulang.              Farida.              Ia bingung darimana asal angin yang terus berembus, padahal tak ada celah disana. Ia sedikit ketakutan, tapi ia tak mau menangis saat ini. Ia tak mau terlalu cengeng sekarang.              Dihadapannya ada jutaan tumpukan buku.              Buku-buku itu bertumpuk-tumpuk, dan tumpukannya lebih tinggi daripada Farida. Bisa dikatakan, sekarang Farida dikelilingi tumpukan buku. Bau kertas menyengat hidungnya.              Ia mencari kamus raksaksa diantara tumpukan buku-buku kecil itu. Ia mengacak-ngacak tumpukan itu tanpa suara.              Tiba-tiba ia melihat sebuah buku yang paling besar, tersembunyi diantara tumpukan buku kecil. Tertera di judulnya ‘Kamus Besar Super Sejuta Bahasa yang Masing-Masing Bahasanya Ada Seribu Triliun Kosakata’, tampak kumuh dan usang. Dengan susah payah Farida menariknya dan memasukkannya ke dalam koper. Lalu ia keluar ruangan misterius itu. Ia ingin cepat keluar, tapi ia penasaran dengan pintu bermotif vertikal. Ia memasukinya.              Tak seperti di ruang berpintu polos, di ruangan berpintu vertikal sangat pengap dan berdebu. Hanya ada koleksi patung-patung aneh. Kebanyakan patung kecil seukuran kelingking, lebih kecil lagi, dan berbentuk naga. Farida mengelilingi ruangan besar itu, hingga ia melihat patung yang paling besar. Lebih besar dari tiga gajah. Patung itu seperti terbuat dari safir biru, walaupun rasanya mustahil ada safir dijadikan patung sebesar itu. Tapi itu benar-benar dari safir. Patungnya berbentuk seorang ratu mengenakan gaun tangan panjang dan rok mekar, mahkotanya dari bunga, kalungnya berinisial F, rambut patung itu tergerai indah, bergelombang. Farida mencoba mengelus patung itu. Dingin, halus, licin.              Sarah.              Sementara si aki masih melakukan ritual aneh, Sarah memikirkan hal lain untuk mengalihkan perhatian si aki dari tugasnya menjaga museum. Berpikir, berpikir, berpikir... Sarah sibuk berpikir.              “Psst, Sarah, aku sudah di, psst, di depan, kamu kesini, psst, ganti,” tiba-tiba walkie-talkie Sarah berbunyi.              “OK!” jawab Sarah singkat. Akhirnya, selesai sudah ‘permainannya’ dengan si aki penjaga museum. Ia buru-buru melompati pagar tanpa suara agar tak ketauan si aki. Lalu ia buru-buru berlari ke arah gerbang depan.
***
             Farida tersenyum puas memandangi kopernya yang berisi ‘Kamus Besar Super Sejuta Bahasa yang Masing-Masing Bahasanya Ada Seribu Triliun Kosakata’. Sarah menatap wajah puas sepupunya yang cengeng itu. Ia sudah amat mengantuk. Kalau Farida, anak itu memang kuat tidak tidur semalaman.              “Ayo cepet pulang, aku ngantuk berat,” keluh Sarah, “Kamu carikan angkot. Aku tunggu disini. Maaf,” Sarah mendekati tempat duduk disekitar situ. Farida dengan pasrah menunggu angkot. Akhirnya, setelah 5 menit, angkot baru saja datang. Mereka langsung naik.              “Sebenarnya banyak yang akan kuceritakan padamu, Sarah. Tapi kau mengantuk... ya sudah,” Farida terlihat kecewa saat ia mengatakannya di dalam angkot.              “Maafkan aku. Aku memang terbatas sekali. Aku tak bisa menahan kantuk selarut ini. Maafkan aku,” lirih Sarah yang benar-benar mengantuk. Ia diam, matanya setengah menutup. Farida merogoh sesuatu di kopernya. Ia memasukan sedikit bagian dari patung safir ke kopernya, tadi. Ketika ia melihat serpihan safir di sekitar patung itu, ia mengambil butiran serpih yang paling besar dan memasukkannya ke koper.              “Musnahkan negeri itu sekarang juga...”              “Musnahkan negeri itu sekarang juga...”              “Musnahkan negeri itu sekarang juga... Para penyelamatnya telah siap...”              Tiba-tiba suara misterius itu terdengar lagi. Farida sedikit ketakutan.              “Pak...” Farida lirih memanggil sang supir angkot untuk memastikan bahwa suara misterius itu tak hanya didengarnya sendiri.              “Apa?” si supir angkot masih memfokuskan pandangan ke jalan.              “Bapak... Bapak dengar suara?” tanya Farida, dengan suara yang diberat-beratkan seperti bapak-bapak. Si supir menggeleng bingung, “Mungkin yang anda maksud... Deru angkot ini. Saya belum sempat memperbaikinya.”              Farida menahan airmatanya yang menetes, sambil menoleh kearah Sarah yang tertidur. Ia ingin mengadu ke Sarah. Tapi ia sadar, sejak kapan orang tidur bisa mendengar suara sepelan itu yang seperti terbawa desiran angin?              Sekarang airmata Farida benar-benar jatuh. Untung tak ada yang melihat. Di angkot itu memang hanya ada Sarah, Farida, dan si supir. Farida mencoba sangat-sangat keras menahan airmatanya agar tidak jatuh.              “Dasar anak cengeng! Hahaha, aku akan semakin mudah memusnahkan negeri itu...”              Angin berhembus lagi membawa suara itu. Farida mencoba menguatkan diri dengan berzikir dalam hati. Ia benar-benar takkan tidur malam ini. Sekarang jam 2, dan ketika pulang ia hanya akan menyembunyikan kamus raksaksa dikamarnya, dan ia akan kembali ke Kolbaraja untuk kembali mengambil barang-barang Pak Harun yang akan beliau pakai besok pagi. Mungkin akan selesai jam empat. Itupun ia harus benar-benar bergegas pura-pura tidur, karena pukul 04.30 ibunya akan membangunkannya.              Langsung saja, mereka telah sampai dirumah. Sarah tak mau tahu, ia langsung mengunci diri dikamar dan tidur. Sedangkan Farida, masih banyak pekerjaannya. Ia sedang mencari tempat untuk menyembunyikan kamus itu. Dilemarikah? Tidak mungkin, lemarinya penuh sekali. Kolong tempat tidur? Tempat tidur Farida nggak ada kolongnya. Dibalik mainan? Pasti keliatan. Belakang lemari? Sensitif oleh pandangan ibu. Ah... Farida tau apa yang harus dia lakukan. Menyembunyikannya di dalam sepreinya! Ia bisa menyembunyikannya dibalik seprei tempat tidurnya yang kecil!              Akhirnya Farida mengambil lapisan kasur pertama tempat tidurnya, lalu menggantinya dengan kamus itu. Tapi kamus itu hanya sebesar ¼ lebih sedikit kasur Farida. Farida pun menambalnya dengan baju-baju, lalu setelah sama tinggi, ia lapis selimut agar empuk, dan tara!!! Seprei dipasang, tempat tidur Farida tak tampak aneh.              Pukul 03.10.              Farida sedang diangkot, masih dalam penyamarannya, ia akan mengambil kembali peralatan Pak Harun, dengan koper roda yang sudah dilapisi zat-anti-bunyi-gesekan tadi. Ia juga melapisi rodanya dengan zat-peringan-beban agar tidak berat mengangkat benda-benda Pak Harun yang umumnya terbuat dari besi.              Sampai. Farida ingat, peralatan Pak Harun tadi ia simpan di dekat gerbang. Untung tidak hilang. Saat Farida memasukan barang-barang, ia mendengar bisikan misterius itu lagi.              “Kutahu kau tak bisa melakukannya sekarang... Datanglah kesini minggu depan, bawalah terjemahan ‘Legenda Nyata Pena dan Kertas Ajaib yang Membawa Seribu Satu Keberuntungan Bagi Penemu atau Penggunanya’.”              Bisikan itu menusuk hingga ke tulang rusuk Farida. Tiba-tiba ia mendengar suara si aki penjaga, berseru, “Aku akan siap membantumu memusnahkan negeri itu!”              Memusnahkan negeri itu?              Satu yang terlintas dikepala Farida. Bisikan angin di dalam angkot, “Aku ingin memusnahkan negri itu...”, dan suara aki penjaga museum, “Aku akan siap membantumu memusnahkan negeri itu!” Farida menangis lagi.
***
             Pagi hari, malang sekali, Farida baru tidur tak lebih dari 30 menit, langsung dibangunkan ibunya. Sudah rutinitas, tiap minggu pagi keluarga Farida mengadakan pengajian subuh (pengajian keluarga sederhana sambil menunggu waktu subuh), lalu sholat subuh, barulah jogging hingga jam setengah enam, setelah itu kerja bakti bersihin rumah sampai jam 9. Baru sarapan dan mandi.              Sarah yang walau tidur cuma 1,5 jam, terlihat agak segar. Seluruh anggota keluarga mereka tak menyadari kejanggalan dari mimik mengantuk keduanya. Untunglah.              Mereka mengikuti seluruh aktivitas keluarga dengan malas, dari pengajian subuh sampai mandi pagi dan sarapan. Biasanya, setelah mandi Sarah dan Farida bermain di taman sekitar rumah, atau bermain komputer di ruang belajar. Tapi mereka malah tidur.              Siang ini, rumah sepi, orangtua Sarah, orangtua Farida, seluruh isi rumah kecuali mereka berdua pergi. Mereka berdua tidak ikut karena masih sangat mengantuk, dengan dalih ada PR segunung.              Mereka baru bangun sore. Setelah itu, mereka mencoba mencari arti kata disana (walau harus memakai mikroskop pembesar 10 kali lipat). Sulit memang, sebab ada jutaan triliun kosakata. Tapi mereka akhirnya menemukannya juga setelah lebih dari satu jam mencari. Arti kata ‘Phradaluegs’ ternyata adalah sebuah tempat di museum Kolbaraja. Di pintu bercorak vertikal, yang pernah Farida masuki.              “Pintu itu, ya? Sebenarnya aku pernah memasukinya...” gumam Farida. Sarah mendengarkan serius.              “Isinya Cuma patung-patung naga kecil seukuran kelingking, tapi ada patung yang paling besar. Patungnya seperti dari safir, besarnya kira-kira 3 kali gajah dewasa. Patung seorang ratu. Mengenakan gaun tangan panjang dan rok mekar, mahkotanya dari bunga, kalungnya berinisial F, rambut patung itu tergerai indah, bergelombang. Posenya sedang duduk manis, tangannya mengangkat sesuatu setinggi dadanya, sepertinya sebuah bola. Tapi bola itu sama sekali tak terbuat dari safir. Bola itu terbuat dari tulang. Ya, tulang. Tulangnya kuat, tak rapuh. Aku bawa, kok, serpihan safir itu. Soalnya bertebar di sekitar patung, jadi kuambil butiran yang paling besar,” jelas Farida sambil menunjukkan serpihan safir itu pada Sarah.              “Safir? Benarkah ini safir?” Sarah meraba butiran itu.              “Ya. Safir biru.”              “Kau yakin?”              “Ya.”              “Sok tau. Emang kau tau darimana?” Sarah mulai meremehkan.              “Aku tau safir itu seperti apa.”              “Bukan, ini sama sekali bukan safir. Ini lebih dari safir. Ini...”              “Apa?”              “Ini... Ini super-safir-permata. Batu paling mahal. Batu mulia ini sangat amat langka. Katanya, yang tersisa di dunia ini hanya sedikit, sangat amat sedikit. Harganya sangat mahal, ratusan kali lipat harga emas. Ini permata yang berwarna biru indah. Dinamai super karena permata ini memiliki kelebihan yang berbeda diantara batu mulia lain. Batu permata ini dapat berganti warna sesuai hati yang melihatnya. Makin kelam cahaya permata ini, makin jelek hati orang yang melihat ini. Dan jika seseorang melihat permata ini berwarna putih bersih, maka orang itu adalah orang baik. Jika kau melihat berwarna hitam, berarti kamu orang jahat. Mungkin orang bisa berbohong, jika ia melihat warna kelam, ia akan bilang warna cerah. Selain warna, jika disentuh permata ini dapat merubah kenyamanan orang yang memegangnya. Semakin jahat seseorang, ia akan merasa udara disekitarnya panas bila memegang batu mulia ini. Semakin baik ia, akan merasakan udaranya semakin teduh,” cerita Sarah. Farida menatap tak percaya. Tak percaya pada cerita Sarah, fiktifkah atau realitikah? Jikalau itu realiti, Farida bingung darimana Sarah mendapat sumber informasi tentang keajaiban permata itu.              “Kamu... Tau darimana?” Farida menyernyitkan dahi, sambil menimang permata itu.              “Dari ‘Legenda Nyata Pena dan Kertas Ajaib yang Membawa Seribu Satu Keberuntungan Bagi Penemu atau Penggunanya’. Aku kaget pas kamu cerita bahwa kamu ngeliat patung itu. Aku udah baca halaman 82, disana ada paragraf-paragraf yang menceritakan kayak yang kamu ceritain.”              “Ha? Gimana isi paragrafnya?” Farida mengambil buku ‘Legenda Nyata Pena dan Kertas Ajaib yang Membawa Seribu Satu Keberuntungan Bagi Penemu atau Penggunanya’, yang ada disampingnya. Ia membuka halaman 82. Ia membaca paragraf-paragraf yang di tunjuk Sarah.              Dan di Fredalox, di Monden Peppel ada sebuah patung tiruan seorang gadis yang di perkirakan akan menjadi Ratu Kerajaan Roe Dzwuh selama ribuan tahun. Patung itu sebesar hampir 3 gajah dewasa. Patungnya berbentuk seorang gadis memakai gaun tangan panjang dan rok merekah mekar indah, mahkotanya dari bunga langka yang ada di Fredalox, bunga yang hanya mekar lima ribu tahun sekali, kalungnya berinisial F, rambut patung itu tergerai indah, bergelombang. Posenya sedang duduk manis, tangannya mengangkat sesuatu setinggi dadanya, yaitu pusaka Fredalox. Patung itu adalah batu super-safir-permata yang diukir. Super-safir-permata adalah batu mulia paling mahal, tak ditemukan di bagian manapun dibumi, kecuali di Fredalox. Harganya 300 kali lipat harga emas. Dan super-safir-permata memiliki kekuatan dahsyat.              Kekuatan batu itu adalah membaca isi hati manusia. Jika manusia itu berhati baik, tulus, ikhlas, dan berderajat tinggi, maka safirnya akan semakin putih bercahaya di mata manusia itu. Jika manusia itu berhati busuk, di mata manusia itu safir akan terlihat kelam. Jika manusianya baik dan tulus namun tak berderajat, warna yang terlihat adalah warna biru muda. Jika manusia itu baik, namun terkadang egois, warna yang ia lihat adalah biru tua. Dan kekuatan lain, semakin baik orang itu, maka semakin teduh suasana yang ia rasakan bila memegang batu itu, walau ia sedang dipanggang api. Semakin jahat orang yang memegang super-safir-permata,  ia akan merasakan udara sangat panas, walau dia dikubur salju sekalipun.              Tapi patung gadis itu sekarang hilang. Ada isu bahwa patung itu terkubur di tumpukan kertas Monden Peppel, ada juga yang mengatakan patung itu di curi Penjaga  Fredalox, dan ada yang bilang kalau patung itu ada di sebuah tempat, di Phradaluegs.              “Kita harus kembali ke Kolbaraja!” pekik Farida.              “Minggu besok. Dan minggu besok pula kita harus menghabiskan buku tebal ini!” gerutu Sarah, “Aku baru membacanya 100 halaman. Tak aku catat.”              “Jangan! Catatlah! Tugasmu mencatat dari awal hingga bab 9, dan aku, dari bab 9 hingga akhir. Oke?” usul Farida. Sarah tersenyum menyetujui.              “Coba lihat peta ini! Ini ada tulisan ‘Phradaluegs’, lalu ada lambang pintu! Apa, ya, kira-kira artinya?” Farida mulai berpikir.              “Mm, mungkin... Itu adalah pintu menuju Fredalox!” seru Sarah menganalisa.              “Berarti... Phradaluegs adalah Kolbaraja, berarti pintu masuk Fredalox ada di Kolbaraja!!” Farida menyempurnakan analisa Sarah. Tiba-tiba ia teringat sesuatu.              “Kemarin ketika kau tertidur di angkot, aku mendengar sesuatu... Aku mendengar suara misterius itu lagi... Ia berkata, ‘Aku ingin memusnahkan negeri itu...’, berkali-kali, dan ketika aku kembali ke Kolbaraja, mengambil barang yang tertinggal, suara itu menyuruh kita kembali lagi, bulan depan,” curhat Farida.              “Ah, ya! Aku tau sekarang dimana rumah si aki tua penjaga museum!” tiba-tiba Sarah berseru nggak nyambung.              “Sudahlah, tak perlu. Kita itu nggak ngomongin dia, tau! Kita ngomongin pintu masuk ke Fredalox!!"              "Tapi ada hubungannya, Farida!!! Kamu nggak tau kalo... Kamu nggak tau kalo dia itu... Dia menyembah Penjaga Fredalox. Aku melihatnya semalam melakukan gerakan-gerakan aneh seperti orang sedang menyembah. Dan dia berseru berkali-kali menyebut ‘Penjaga Fredalox’. Aku yakin si aki itu adalah orang Fredalox, dan ia tinggal di Fredalox. Pintu keluar-masuk Fredalox ada di museum itu, kan? Jelaslah sekarang, kenapa aki itu hanya terlihat malam hari sedang menjaga museum, sedangkan siang hari ia jarang terlihat, itu karena si aki kembali ke Fredalox siang hari. Pantas, tak seorangpun yang tau rumahnya. Ternyata rumahnya di Fredalox! Berarti aki itu...”              “Berarti ia tau persis dimana pintu rahasia Fredalox!” jerit Farida, “Kita tinggal bertanya.”              “Farida, jangan sebodoh itu. Untuk apa kita kesana?” Sarah mulai dongkol.              “Kau tau untuk apa,” Farida mengulangi kata-kata yang pernah ia katakan.              “Sekali ini jangan, aku mohon. Jangan katakan itu lagi,” pinta Sarah memelas.              “Kita kesana untuk petualangan.”              “Selain itu? Mungkin ada yang lebih berguna?”                            “Mungkin karena mimpiku semalam,” Farida rada cemberut. Sarah menoleh. Heran. Ekspresinya meminta penjelasan lebih.              “Ya. Semalam aku mimpi, seseorang memanggilku. Dia seperti aki penjaga. Ia mewanti-wantiku, katanya ia akan terus menerorku  jika minggu depan aku tak kesana. Dan semalam, ia menerorku dengan mimpi horor,” curhat Farida, “Makanya kita harus kesana...”              “Tidak. Itu deritamu, kamu, kan, yang merasakan mimpi horor itu. Bukan aku. Yang jelas aku tidak mau kesana. Oke?” Sarah sok meraja.              “Aku belum selesai bicara. Makanya kita harus kesana karena... Karena si aki juga bilang, ‘Aku akan meneror kalian dengan mimpi horor,’ dia bilang kalian, bukan cuma aku. Dia bilang ‘kita berdua’, Sarah!! Kamu semalam diteror mimpi horor, kan?” seru Farida.              “Mm, aku iy.. Mimpiku semalam, aku ketemu pocong, lalu aku..”              “Wuzh, stop, jangan cerita,” Farida mencegah. Ia memang paling takut sama setan-setan semacam pocong, genderuwo, kuntilanak, dan keluarga (eh, mereka berkeluarga, kan? J). Sarah langsung mengerti. Ia berhenti cerita.              “Oke, kita kesana.”              “Kita kesana setelah seminggu menderita diteror mimpi horor,” Farida tampak sangat pasrah.
***
             Sabtu sore, mereka hampir tamat menerjemahkan buku super tebal itu. Dan banyak sekali informasi berguna yang mereka dapatkan. Contohnya pintu menuju Fredalox. Memang, pintu itu ada di Kolbaraja. Tapi, ternyata pintu itu tepat dibawah patung super-safir-permata yang berbentuk seorang gadis itu!              Sore itu, mereka juga sudah menyiapkan berbagai macam kebutuhan untuk nanti malam. Sarah, yang beberapa hari ini terlihat lemas dan cemberut—karena mimpi-mimpi horornya—sudah menyelesaikan terjemahan ratusan halaman.              “Far, catat inti-intinya. Inti-inti catatanku sudah digarisbawahi, kok. Kamu tinggal catat,” perintah Sarah, sambil membaringkan diri.              “Lho, kamu ngapain?” Farida sedikit protes.              “Tidur.”              “Woaa!!! Enak aja!!” Farida menggebuki punggung Sarah pelan dengan bantal.              “Ya enggaklah... Aku nggak tidur, aku kan, menyiapkan kebutuhan kita nanti malam. Oh, ya, aku butuh pena dan kertas ajaib, sebotol zat-anti-bunyi-gesekan, dan apa... Eksperimen terbarumu itu, lho?”              “Apa? Eksperimen terbaru?” Farida menoleh. Ia menyernyitkan dahi, menatap Sarah bingung. Tapi sedetik kemudian ia menangkap maksud Sarah.              “Oh, kain yang kulapisi zat-yang-membuat-kita-tidak-terlihat-jika-memakai-jubah-kain, ya, kain itu sudah kupotong menjadi jaket, dan aku sudah menjahitkannya satu untukmu. Ambil di ruang tamu.”              Farida memang bercita-cita menjadi ilmuwan. Ia memiliki ruangan yang ia sebut labolatorium atas segala eksperimennya, tapi ruangan itu bukan milik Farrhan pribadi. Ruang itu milik Sarah juga, tapi Sarah menggunakannya untuk perpustakaannya. Hampir setiap minggu, Farida menghasilkan satu eksperimen yang berhasil, yah... Kalo eksperimen yang gagal... Seminggu mungkin ada lima eksperimen. Tapi walau begitu, Farida pantang menyerah untuk ini. Ia tak pernah menangis jika gagal, hanya dalam hal eksperimen. Selain itu... Ya, seperti tangisan-tangisan Farida sebelumnya. Dia selalu bereksperimen, dan biaya eksperimennyapun dari uang jajannya sendiri.              “Oke, aku udah siapin semuanya,” kata Sarah beberapa saat kemudian, “Minta kertas. Aku mau catat sesuatu,” katanya pada Farida. Farida yang sibuk mencatat, merobek selembar kertas dan memberikannya pada Sarah, “Catat apa, sih? Mending kau buatkan aku mi instan, sana!”              “Enak saja! Aku pingin catat yang akan kita lakukan! Agar terkendali gitu,” Sarah sok tau sambil mencatat. Farida mendesah sebal, “Apa sih yang kau catat?!?! Coba lihat!” Farida merebut catatan Sarah yang sudah selesai. Misi Datang Kembali ke Kolabaraja Oleh              : Sarah dan Farida Waktu              : malam minggu ini, ketika orang-orang serumah pada tidur semua Yang harus dilakukan: Pertama, kita keluar lewat pintu belakang, pakai kunci duplikatan milik Farida. Lalu, kita langsung naik angkot (pakai kostum kayak minggu kemarin, kostumnya dipakai dar rumah). Sampai di Kolbaraja, tugas Sarah mengalihkan si aki dan tugas Farida masuk ke museum. Sarah harus berhasil membuat si aki terkurung di gudang halaman belakang Kolbaraja, barulah ia masuk ke museum bersama Farida. Setelah itu, mereka berdua langsung memasuki ruangan. Hal-hal yang perlu diperhatikan: Si aki. Perhatiannya harus beenar-benar teralihkan Orang rumah. Sebelumnya, masukkan obat tidur ke dispenser agar diminum seluruh orang rumah. Sarah dan Farida harus hati-hati, tak boleh minum dari dispenser. Mereka harus minum dari kulkas. Orang-orang di jalan. Dengan kostum, suara dan sikap juga harus diubah. “Bagus, kau cerdas, Sarah. Aku salut denganmu,” puji Farida. Ia kembali mencatat hal-hal penting di terjemahan Sarah.              Sepuluh menit kemudian, Sarah kembali ke ruang lab Farida sambil membawa koper milik Pak Harun.              “Sudah kuisi dengan barang-barang yang kita butuhkan. Insya Allah sudah lengkap semua. Aku juga bawa koper satu lagi, guna meletakkan barang-barang yang mungkin kita temui di perjalanan. Kedua koper ini kutaruh mana?” Sarah menggaruk kepalanya.              “Koper yang berisi barang-barang kita itu dikamarku saja, nanti aku yang bawa. Kalo yang kosong di kamarmu saja, nanti akamu yang bawa ketika di perjalanan. Nanti malam, aku ke tunggu di pintu belakang jam sebelas. Kita keluar lewat pintu belakang. Oke, sekarang kita tidur saja dulu,” Farida membereskan meja-meja lab-nya.
***
Pukul 10.30, malam itu...              Sarah terbangun dari tidurnya ketika alarmnya berbunyi pelan. Ia menyetel pelan agar tidak didengar orang rumah. Nah, sekarang saatnya. Sarah berganti baju, menyiapkan koper, lalu keluar kamar, menuju pintu belakang.              “Shh, cepat!” tiba-tiba seseorang mendorong Sarah keluar pintu yang sudah dibuka oleh orang tadi.              “Ah, jangan dorong-dorong!” pekik Sarah pelan. Ia kerepotan menyeret kopernya. Orang yang mendorongnya tadi mengambil kopernya dan langsung melompati pagar rumah.              “Sarah, ayo cepat! Aku menjadi Andre, dan kau Fikri. Seperti minggu kemarin, OK?” Farida dengan lincahnya melompati semak-semak. Mereka memotong jalan agar cepat sampai ke angkot. Tapi Sarah tampak kesulitan melompati pagar karena kopernya agak lebih besar dibanding koper Farida. Farida sedikit melirik meremehkan.              “Ayolah, jangan buang waktu! Kita harus cepat sampai dan masuk ke Fredalox, agar kita cepat pulang dan cepat tidur! Aku ngantuk banget, nih!” keluh Farida.              “Pikirmu aku tak mengantuk! Tapi sama saja, jika kita tidur tanpa ke Fredalox, kita akan dihantui mimpi horor selamanya!! SELAMANYA, FARIDA!! Sudahlah, jangan banyak mengeluh, takkan ada gunanya. Jalanlah sana cepat cari angkot!” perintah Sarah sedikit ngawur. Mungkin dia ngantuk sekali, ya, hingga di angkot pun dia tertidur lagi, hingga diperhatikan orang-orang seangkot, walau cuma seorang bapak-bapak kantoran dan anak muda.              Langsung saja, to the point, mereka telah sampai di Kolbaraja. Seperti minggu kemarin, tugas Sarah adalah mengalihkan perhatian aki penjaga museum dan Farida masuk. Tapi ini berbeda karena setelah ia mengalihkan perhatian si aki, maka ia harus langsung menyekap dari belakang, lalu ikat aki itu di dalam gudang. Walau Sarah sempat ragu menjalankan rencana ini karena ia takut si aki dapat selamat dengan isu ilmu hitamnya, Sarah menguatkan diri dan mencoba percaya bahwa itu adalah isu.              Seperti kemarin. Langkah pertama Sarah adalah membakar daun kering. Dan benar, si aki langsung terpancing dan keluar. Dari belakang, perlahan, Sarah menyiapkan saputangan yang sudah di basahi obat bius milik Farida untuk membekap hidung si aki. Mungkin cara ini kejam, tapi sekiranya hanya inilah ide mereka.              Hap! Hanya dengan sekali bekapan si aki perlahan melemah. Dan setelah beberapa detik, ia terkapar lemas di rerumputan samping dedaunan kering yang terbakar. Sarah segera mengikatnya—walau ia masih takut kalau-kalau ilmu hitam si aki benar adanya dan akan terbukti sekarang—kencang, kuat, dengan simpul pangkal, jangkal, simpul mati, bahkan simpul pita. Ia mengikat dengan seluruh simpul yang ia ketahui.              Perlahan, tubuh kurus si aki ditarik Sarah masuk ke gudang—lagi-lagi—dengan rasa takut yang sama. Tapi akhirnya gadis itu bisa mengunci si aki digudang. Gudangnya tak sekedar dikunci, tapi juga digembok dan dirantai dengan rantai belenggu.              “Psst, hai, Farida, tugasku selesai, psst, aku masuk, ya? Psst, ganti,” Sarah masih menjaga gudang.              “Psst, oke, aku ada di lobby museum, psst, cepatlah, aku, psst, aku menunggumu, ganti,” suara yang terdengar dari walkie-talkie Sarah. ia segera masuk ke museum. Karena itu dari halaman belakang, ia tak langsung sampai lobby. Ia berada di ruang pameran lukisan yang ada lukisan Leonard—Lukisan Leo Berdarah, begitulah orang menyebutnya karena makin hari makin memerah darah warnanya—Sarah sempat takut, tapi ia langsung keluar, dan sampailah di sebuah lorong. Panjang, berliku, tapi tak bersimpang.              Setelah 10 menit, akhirnya Sarah sampai di lobby museum.              “Psst, oke, aku ada di lobby museum, psst, cepatlah, aku, psst, aku menunggumu, ganti,” suara yang terdengar dari walkie-talkie Sarah. ia segera masuk ke museum. Karena itu dari halaman belakang, ia tak langsung sampai lobby. Ia berada di ruang pameran lukisan yang ada lukisan Leonard—Lukisan Leo Berdarah, begitulah orang menyebutnya karena makin hari makin memerah darah warnanya—Sarah sempat takut, tapi ia langsung keluar, dan sampailah di sebuah lorong. Panjang, berliku, tapi tak bersimpang.              Setelah 10 menit, akhirnya Sarah sampai di lobby museum. ia mendengar bisikan seperti suara Farida tanpa wujud.              “Ah, sampai juga akhirnya kau! Ayo, ikut aku!” suara misterius itu mendekati Sarah. Tiba-tiba, di tempat suara itu berasal, muncullah perlahan sosok Farida. Ternyata ia menggunakan jubah transparan hasil eksperimennya.              “Cepat pakai jubah transparanmu!” perintah Farida, "Lalu, ikuti aku segera.”              Setelah memakai jubah transparan, Sarah menaiki tangga. Ia dapat melihat Farida, walau Farida memakai jubah transparan karena ia memakai kacamata yang bisa menembus jubah transparan. Farida juga memakai kacamata itu.              Perlahan Farida membuka pintu tak bermotif. Desau angin aneh menerpa wajah kedua anak itu. Melangkahlah kaki-kaki kecil Farida memasuki ruangan penuh patung naga itu. Ia memberi tanda pada Sarah agar mengikutinya ke arah patung safir yang letaknya agak jauh. Dibelakang, Sarah mengikuti patuh sambil membawa peta aneh itu.              “Disini ada detail pintu Phradeluegs. Ini adalah gerbang Kolbaraja… Ini tangganya… Ini ruang yang kita masuki… Dan tepat disini, lihat Farida! Apakah ini pintu masuk ke Fredalox? Disini… tepat dibawah patung ini,” Sarah menunjuk salah satu bagian peta itu. Farida memperhatikan seksama.              “Benar! Artinya kita harus menggeser patung ini, dan pasti akan terlihat pintu, dan kita masuk!” seru Farida bersemangat. Ia mulai menggeser patung itu. Tak bergerak. Farida menambah tenaga. Tak bergeming. Ia meminta Sarah membantunya. Tak bergeser. Mereka berdua menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya sambil mendorong patung itu kuat-kuat. Bergeser beberapa milimeter. Tapi sungguh, pergerakan patung sepanjang beberapa milimeter itu sudah menghabiskan sepertiga tenaga anak-anak itu. Mereka berdua terduduk diam.              “Aku tak berpikir sampai sana. Mana mungkin patung sebesar ini yang terbuat dari super-safir-permata kudorong?” Farida mendudukkan dirinya—lebih tepatnya menghempaskan pantatnya dengan kasar—ke patung itu.              “Mustahil, pasti. Mungkin ini hanya bisa tergeser dengan mantra. Kita mengucap mantra, dan patung ini tergeser sendiri,” Sarah membuka jubahnya.              “Adakah mantra yang kau punya?”   tanya Farida, seperempat bersemangat.              “Huff, kurasa tidak. Eh, hm, kurasa iya. Eh… tidd, iyy-a, euh, sebentar kuingat…” Sarah berpikir.              “Bagaimana denganmu? Apa yang kau rangkum dari tulisanku?”  Sarah balik bertanya.              “Rangkumanku? Apa kau garis-bawahi bagian mantra-mantra?”              “Mungkin. Eh… Tidak. Tapi kuingat, aku pernah menggarisi beberapa kalimat aneh. Mungkin itu mantranya.”              Mereka terdiam.              “Kan rangkumanmu kau bawa?” tanya Sarah, “Kau membawanya, kan?”              Farida diam.              “Kubuang firasatku; kau tak membawa. Ayolah, tolong buktikan bahwa firasat jelekku salah,” Sarah mulai cemas.              “Oke, ya, aku tak bisa memastikan aku membawanya atau tidak, aku tak tahu pasti. Kau tau, aku pelupa,” Farida memeriksa tasnya, sedikit cemas kalau-kalau Sarah memarahinya.              “Ayolah,” Sarah menuntut, “Kita tak punya begitu banyak waktu disini.”              “Alhamdulillah, aku tak lupa membawanya!” sorak Farida girang.              “Bab berapa kira-kira?” tanya Farida pada Sarah. Gadis itu mengangkat bahu. Tak tau. “Mungkin bab 4 atau 5,” katanya, “Atau, bab 78.” Farida pun mencari di catatannya yang hampir sebuku penuh.              “Ini dia,” Farida menunjuk salah satu poin penting, “Untuk menggeser suatu barang yang berat, ucapkan ‘bhergraq’ sambil mendorong barang itu ke tempat yang kita inginkan.”              “Mari kita lakukan,” Sarah bersiap mendorong patung itu. Farida ikut membantu, disampingnya. “Satu… Dua… ‘Bhergraq’!” seru mereka bersamaan. Hampir habis tenaga mereka, tapi lumayanlah, patung itu bergerak 5 cm.              “Dorong lagi, Farida…”              “Satu, dua… ‘Bhergraq’!!!” seru anak-anak itu. Mulai terlihat pintu di lantai, seperti pintu bawah tanah.              “Sudah, sudah… Tenagaku habis… Kita duduk dulu sebentar, ya? Nanti kita dorong lagi,” Sarah terduduk kelelahan. Farida tak bilang ya, tapi dari ekspresinya sudah terlihat kalau ia menyetujui. Ia ikut duduk disamping Sarah.              “Kukira mantranya dahsyat. Sekali dorong langsung bergeser hingga keseluruhan pintu terlihat,” keluh Farida. Sarah mengiyakan, “Kukira begitu juga. Tak ada mantra lebih dahsyat lagi? Mantra ini sepertinya terlihat terlalu lemah.”              Mereka terdiam, mengisi tenaga.              “Mungkin kau harus kerahkan seluruh tenaga kita,” Farida mulai berdiri.              “Itu sudah. Sudah kulakukan,” Sarah membantah saran sepupunya.              “Mungkin kau harus mengucapkan mantranya sepenuh hati,” saran Farida lagi.              “Sudah juga. Malah aku pake basmalah segala,” bantah Sarah lagi.              “Mungkin… Kita harus meneriakkannya kebih kuat?”              Mata Farida berbinar, merasa dirinya menemukan gagasan yang sangat hebat, seolah seperti Thomas Alva Edison yang menemukan lampu. Sarah menepuk keras bahu Farida, “Brilian! Nah, ayo sekarang kita dorong lagi!”              Mereka berdua dengan semangatnya mendorong, sambil berteriak keras. Namun… Patungnya tetap tak bergerak sehebat perkiraan anak-anak itu, patung itu hanya bergerak 7 cm.              Dan yang gawat, teriakan mereka merapal mantra didengar oleh seseorang yang tiba-tiba membuka pintu ruangan itu…              “Tadi aku mendengar suara disini,” kata seorang perempuan, pada temannya, yang tampak lebih muda darinya. Sarah merasa mengenali perempuan satunya lagi, yang lebih muda…              “Itu Revitha!” bisik Sarah, setengah memekik di tempt persembunyiannya. Farida disampingnya sibuk berdo’a agar mereka cepat-cepat keluar.              “Kenapa dia bisa ada disini?” tanya Farida, berbisik. “Entahlah. Itu, kan, kakaknya,” Sarah menunjuk perempuan yang lebih tua.              “Oke, disini tempatnya, ayo cerita,” si kakak duduk menyandarkan diri ke patung super-safir-permata.              “Kakak yakin? Aku nggak begitu yakin… Kakak tau sendiri, museum ini angker,” Revitha tampak ragu untuk duduk.              “Seyakin aku Indonesia merdeka pada tahun 1945. Ayolah, duduk! Jangan ragu, kapan lagi kita mau curhat?” kakaknya menarik tangan Revitha, mengajaknya duduk.              “Kak…”              “Ya?”              “Kakak kenal seseorang yang pernah broken home seperti kita?” Revitha menggenggam tangan kakaknya. Kakaknya mengangkat bahu, “Entahlah. Sepertinya ada, tapi broken home-nya tak separah kita.”              Broken home, pikir Sarah. Jadi itu masalah Revitha. Ia sering melamun, terkadang marah-marah tanpa sebab yang jelas, ternyata dia broken home. Kasihan, ratap Sarah dalam hati.              “Shh, Sarah, kau dengar itu?” bisik Farida. Sarah mengangguk.              “Apa artinya broken home?” tanya Farida. Sarah menghela napas, setengah bingung harus menjelaskan bagaimana. Tapi akhirnya dia berkata, “Orangtuanya bertengkar, pokoknya mereka mungkin sering cekcok, ‘broken home’ itu lawan kata dari ‘keluarga harmonis’. Kurang lebih begitu. Mengerti, kan?” Sarah berbisik. Farida mengangguk.              Mereka mendengarkan obrolan Revitha dan kakaknya.              “Far, kau dengar apa yang mereka bicarakan?” Sarah berbisik. Farida menggeleng.              “Kau bodoh,” tiba-tiba Farida berkata, “Jika kau mau mendengar, hampiri saja mereka.”              Sarah menatap Farida tak mengerti. Tapi Farida malah berjalan maju mendekati Revitha dan kakaknya. Hampir saja Sarah mencegah—takut Revitha tau kalau Farida ada disini—tapi sedetik kemudian ia sadar. Oh iya! Betapa bodohnya aku! Aku dan Farida, kan, pake jubah transparan. Jadi, Revitha dan kakaknya nggak bakal bisa liat kamii!! gumam Sarah dalam hati. Ia pun berjalan ke arah Revitha dan kakaknya, duduk disamping mereka.              “Sebenarnya aku mungkin nggak akan dibenci teman-teman, kalau saja aku nggak suka marah-marah…” keluh Revitha.              “Sudahlah.. Lagipula kamu wajar, marah-marahmu itu, kan, melampiaskan emosimu…” bela kakaknya, meskipun di wajah kakaknya ada sedikit gurat menyatakan bahwa pembelaan yang dikatakannya barusan salah.              “Bodo amatlah diriku tidak ditemani… Namun aku kasihan, Kak, aku kasihan pada mereka, mereka tak salah, namun kenapa aku melampiaskan kekesalanku pada mereka? Seharusnya bukan pada mereka, tapi pada—“              “Sudahlah,” hibur sang kakak, “Hari ini, kita akan kabur. Lama-lama terbakar telingaku mendengar Papa-Mama bertengkar. Kakak juga nggak tau apa yang mereka ributin. Kadang, mereka ribut karena Papa pulang malam, kadang karena Mama yang pulang kemalaman. Kalau keduanya sering pulang malam, kenapa tak salling mengerti saja?” tanya gadis usia SMP itu, entah ditujukan kepada siapa.              “Aku tak kuat lagi… Jujur, aku sih kuat dengan semua ini, tapi aku merasa berdosa pada teman-temanku… Terutama Sarah.”              Mendengar namanya disebut, Sarah menggeser duduknya lebih dekat dengan Revitha.              “Aku sering marah-marah sama dia… Padahal dia begitu baik padaku, ah, bagaimana aku membalas kebaikannya? Sedangkan Kakak ngajakin aku kabur,” keluh Revitha.              “Mungkin kita bisa membalasnya,” sang kakak menekan suara, “Setelah kabur, kita cari kerja. Uang hasil kerja kau selipkan di tas Sarah, ketika istirahat.”              “Apa mungkin aku bisa sekolah dalam keadaan kabur? Lagipula, uangnya juga pasti sedikit. Dan itu untuk makan kita,” sergah Revitha, “Kurasa kabur bukanlah gagasan baik.”              “Kau benar. Tapi, apa yang akan kita lakukan sekarang?” sang kakak menggeser duduknya, menyandarkan diri ke patung itu, “Menurutmu, apa yang sebaiknya kita lakukan?”              Revitha mengangkat bahu, “Gagasan terbaikku adalah pulang ke rumah saat ini. Tapi aku yakin, ini bukanlah gagasan yang baik, walaupun ini gagasan terbaik yang aku punya.”              “Ayo pulang, berlama-lama disini membuatku semakin takut. Apalagi tadi terdengar ada suara teriakan disini. Nanti kita ketauan,” kakak Revitha berdiri, lalu menggandeng Revitha keluar dari tempt itu. Beberapa detik kemudian, Sarah membuka jubah transparannya.              “Ternyata Revitha dibenci teman sekelas karena itu, orangtuanya broken home. Mungkin orangtuaku pernah bertengkar, tapi aku yakin pertengkaran orangtuaku tak separah Revitha. Revitha adalah anak yang kuat, aku tau itu. Dia cuma pasrah kalau ada hal yang… yah, sudah lebih dari benar-benar parah. Waktu itu ibunya pernah masuk UGD saat ginjalnya, kambuh, tapi dia tetap ceria. Bukan karena ia tak sayang, tapi karena dia anak yang kuat. Aku salut padanya,” curhat Sarah.              “Sudahlah, cerewet. Ayo kita geser lagi patungnya,” Farida menggeser patung itu, sedikit, sambil berucap pelan, “Bhergraq.”              “Kau bodoh, masa mendorongnya pelan sekali, kan tak mungkin bis…” tiba-tiba Sarah mematung, melihat kata-kata pelan Farida memberikan efek dahsyat. Patung itu langsung bergeser 1 meter! Farida juga mematung, tak menyangka gerak pelannya yang tadinya cuma main-main bisa menimbulkan efek sehebat itu.              “Tunggu apalagi, Nona Cerewet! Buka pintunya dan masuk!” perintah Farida. Sarah pun membuka pintunya. Tampak cahaya keunguan terpancar. Dan ada tangga tali yang menembus ke bawah.              “Ini bawah tanah, Farida, kau yakin…” suara Sarah tercekat di tenggorokan, ia menelan ludah.              “Seyakin aku Indonesia merdeka pada tahun 1945,” Farida meniru kata-kata kakak Revitha.              “Kau duluan yang masuk,” perintah Sarah, mendorong pelan tubuh Farida. Tapi apa yang terjadi, Farida menangis lagi!              “Oh, tidak. Kukira kau sudah tak cengeng lagi. Ternyata masih. Cepat kesana atau kau ku…” Sarah terdiam. Farida masih tersedu.              “Sudahlah, tak usah kau pikirkan. Aku akan masuk duluan, tapi kau ikuti aku setelahnya,” perintah Sarah, mulai menuruni tangga tali itu. Ketika ia mulai kebawah, dan kakinya sudah bertapak di sebuah ruangan gelap, Farida mulai menuruni tangga tali itu.              Farida sudah menapakkan kaki di ruangan itu, tapi tiba-tiba, dar belakang mereka, ada yang menbekap hidung mereka dengan saputangan beralkohol.
***
             Terang, terang sekali. Entah sinar apa yang seterang itu, yang bisa menembus ke penutup mata Sarah yang tebal (entah siapa yang membalut kain tebal itu ke mata Sarah—mungkin orang yang menangkapnya tadi), ke kelopak meta Sarah yang terpejam, hingga ke retina Sarah.              “Hmph…” Sarah mencoba bicara, tapi ternyata mulutnya juga dibalut kain tebal. Tangan dan kakinya terikat kuat, dia bagaikan seorang tahanan. Tak ada suara. Sarah mencoba memanggil Farida. Tapi mulutnya susah dibuka.              “Hmmphph… Hmph, hmp…” Sarah mengerang.              “Hmp!” tiba-tiba ada suara erangan lain. Sarah berharap itu Farida. Sebab dari erangan, susah mengenali Faridakah itu atau bukan.              “Hmph.. Ffh… Fhar… Fhh, hand…” Sarah berusaha memanggil Farida dengan mulut yang diikat.              “Hmp, err…” tampaknya si pemilik suara mengerang, berusaha melepaskan ikatan.              Tiba-tiba cahaya di mata Sarah meredup. Menjadi gelap. Ia merasa kedinginan, namun ia tahan. Tiba-tiba lagi, balutan di mulut Sarah mengendur perlahan, dikendurkan oleh seseorang.              “Farida!” teriaknya, mencari Farida, “Dimana engkau?”              “Shh, apa kau anak manusia?” tiba-tiba seekor unicorn—kuda bertanduk satu yang bisa terbang, memiliki sayap—muncul di belakang Sarah, membuka tutup mata Sarah. Ia melihat ruangan yang pengap, gelap, dan lembab. Matanya liar melumat seluruh isi ruang itu, mencari sosok yang mengerang tadi. Namun, karena gelap, jadi tidak terlihat. Sarah ragu menjawab pertanyaan si unicorn itu. Tapi akhirnya ia mengangguk pelan. Menatap unicorn itu, yang terlihat jelas di ruangan gelap itu, karena tubuh si unicorn bercahaya, walau tidak memancarkan cahaya.              “Tenang, kau mencari temanmu itu? Yang laki-laki?” tanya unicorn itu. Sarah merasakan angin menerpa wajahnya. Surai unicorn itu melambai indah.              “Dia sepupuku, bukan temanku!” ralat Sarah. Ia tak suka jika seseorang bilang dia bersama teman laki-lakinya. Kenapa? Karena, selain dilarang ibunya bermain terlalu akrab dengan teman laki-laki, ia tak mau. Sebab, katanya, teman dan sepupu beda. Teman laki-laki bukan keluarga, tapi sepupu laki-laki masih keluarga.              “Oke, ya, terserah kaulah. Mau itu sepupumu atau tidak, sekarang kuberitahu. Ini dia,” si unicorn mengarahkan tanduknya ke sebuah arah, lalu tanduk itu memancarkan cahaya. Terlihat sesosok anak laki-laki yang Sarah kenal..              “Farida!” pekik Sarah, “Hai unicorn, tolong buka ikatannya! Kasihan dia!”              Si unicorn membuka ikatan mata dan mulut Farida. Sama seperti Sarah, kaki-tangannya juga masih diikat.              “Terimakasih,” gumam Farida pelan. Si unicorn mengangguk hormat.              “Kalian pasti sudah tau semuanya. Penjaga Fredalox sudah menyuruh kalian kesini, kan?” tanya unicorn itu.              Farida ingin menjawab ketika Sarah langsung menyela, “Beritahu kami dulu siapa kau!”              “Aku? Aku pasukan unicorn Kerajaan Roe Dzuwh, percayalah. Aku baik, tak jahat. Percayalah!” si unicorn meyakinkan.              “Tak percaya,” sanggah Sarah, “Jika kau orang baik, mengapa tadi kau mengikatku?” tanyanya sok tau.              “Bukan aku yang mengikatmu. Yang mengikatmu sebenarnya pasukan Penjaga Fredalox. Aku menyelamatkanmu. Masih tak percaya? Sudahlah… Jika kau percaya, sekarang juga, naiklah kepunggungku, dan kuantar kalian ke istana Kerajaan Roe Dzuwh. Aku ini sembunyi-sembunyi menemui kalian. Percayalah,” si unicorn meyakinkan.              “Iya, kami percaya dan kami—“ kata-kata Farida terpotong.              “Belum percaya! Ada bukti lain?” Sarah masih was-was.              “Suraiku. Kalian pasti pernah baca tentang surai unicorn pasukan Kerajaan Roe Dzuwh di ‘Legenda Nyata Pena dan Kertas Ajaib yang Membawa Seribu Satu Keberuntungan Bagi Penemu atau Penggunanya’, kan? Surai itu wangi melati, tebal, berkelap-kelip, dan halus seperti beludru, kan? Cabutlah sejumput suraiku,” si unicorn menyerahkan diri demi membuktikan memang jati dirinya adalah kuda kerajaan Roe Dzuwh.              “Oke, kami buktikan itu,” Farida mengambil sejumput surai unicorn itu. Sulit dicabut.              “Suraimu kuat sekali. Sulit dicabut. Tapi memang benar, suraimu seperti ketentuan yang kau sebutkan tadi,” Farida menyerah.              “Tunggu… Bagaimana jika kau menempelkan surai unicorn asli yang mati ke tubuhmu? Kau bisa saja bohong…” Sarah masih tidak percaya.              “Jika kamu tak percaya… Aku akan bersumpah. Demi Allah, aku pasukan unicorn Kerajaan Roe Dzuwh. Bukan pasukannya si Penjaga Fredalox. Kalian masih tak percaya? Kumohon, percayalah,” si unicorn hampir menangis. Sarah yang ikut terharu meneteskan airmata.              “Kami percaya…” kata Farida, mewakili Sarah bicara.              “Oke, sekarang naiklah ke punggungku dan kita akan keluar dari sini!” unicorn itu mempersilakan Farida dan Sarah duduk dipunggungnya.              “Kita…? Berdua…? Naik…?” Sarah tampak kurang yakin. Si unicorn mengangguk.              “Aku tak mau! Mending, Farida saja yang naik tapi aku jalan disampingmu! Aku nggak mau duduk bareng laki-laki!” pinta Sarah.              “Shh, tunggu, kita ngobrol gini nggak ketauan, apa?” Farida tiba-tiba menyadari sesuatu. Si unicorn menggeleng.              “Ruangan ini kedap suara, santai sajalah. Lagipula, mereka takkan masuk. Mereka cuma menahan tawanan, dikurung, lalu di… Apa, ya? Mungkin seperti di pasteurisasi—kau tau artinya, kan?” tanya si unicorn ragu.              “Pasteurisasi… Proses memanaskan-mendinginkan-memanaskan-mendinginkan secara cepat dan berturut-turut, ya, kan?” Farida meminta persetujuan si unicorn.              “Dan teknologi pasteurisasi ini sering digunakan dalam pembuatan makanan atau minuman, seperti susu kotak. Pasteurisasi bertujuan untuk membunuh kuman,” jelas Sarah sedikit menggurui.              “Dan pasteurisasi disini dengan cahaya. Nanti kau akan disinari dengan cahaya yang terang sekali, lalu tiba-tiba gelap. Lalu terang lagi, lalu gelap lagi. Karena disini, terang menyebabkan panas dan gelap menyebabkan dingin. Mereka melakukan ‘pasteurisasi cahaya’ bukan untuk membunuh kuman, tapi membunuh manusia.”              Sarah dan Farida bengong. Tiba-tiba, ruangan gelap itu menjadi terang, terang sekali. Dan hawanya mulai memanas. Panas.              “Pakai ini!” seru si unicorn, melemparkan sebuah botol berisi cairan. Saking terangnya, ia asal melempar, tak kearah Sarah. Tapi setelah meraba lantai, Sarah menemukannya.              “Untuk apa cairan ini?” tanya Sarah ragu, tapi ia tetap membukanya.              “Anti panas! Berikan juga pada saudaramu!�� teriak unicorn itu.              Mereka memakainya. Ya, lumayanlah, hawa panas yang tadinya mencapai 40ºC, menjadi sekitar 25ºC. Lumayanlah… mereka menutup mata terus, tak mampu melihat cahaya. Cahayanya sangat sangat terang.              Lima menit kemudian, semua tiba-tibaq menjadi gelap. Gelap sekali. Dan dingin. Apalagi, cairan yang dipakai Sarah, Farida, dan si unicorn (dia sudah memakai sebelum ia memberikan ke Sarah) membuat suhu yang dirasakan turun 15ºC. Suhu sebenarnya sekitar 10ºC, jadi -5ºC… Dingin sekali, apalagi mereka tidak memakai jaket.              “Minum ini! Ini ramuan penetral! Suhu yang kau rasakan akan selalu 20ºC,” jelas unicorn itu. Ia segera memberikan sebotol cairan putih kental sebesar botol aqua 1 liter. Sarah segera menerima botol itu, langsung meminumnya teguk demi teguk. Lalu memberikannya ke Farida. Langsung diminum.              “Hh, sekarang gimana masalah kita? Disini cuma ada satu unicorn, dan—“              “Jangan bilang unicorn! Panggil aku Abdul. Itu namaku,” si unicorn meralat ucapan Sarah.              “Ah, ya, gimana? Cuma ada satu unicorn; Abdul, dan kita berdua, lain jenis. Bagaimana kita bisa keluar?” Sarah bertanya, entah pada siapa.              “Denganku.”              Tiba-tiba ada satu suara muncul, dari sesosok unicorn bercahaya. Ia muncul dari belakang Abdul.              “Firdaus!” Abdul berseru, mungkin itu nama unicorn itu.              Unicrorn itu tersenyum. Ia lebih gagah dari Abdul, bulunya putih, sedangkan Abdul cokelat, surainya lebih panjang dari Abdul. Tapi warnanya sama. Itu artinya, ia juga pasukan unicorn Kerajaan Roe Dzuwh.              “Baginda Roe Dzuwh menyuruhku mengikutimu, Abdul. Dan aku daritadi sengaja tidak menampakkan diri di hadapanmu. Ya, sebenarnya dari tadi aku memperhatikan kalian,” pandangan Firdaus beralih dari Abdul ke Sarah dan Farida.              “Hm, manusia-manusia yang terhormat, kenalkan, aku Firdaus, pasukan unicorn kerajaan Roe Dzuwh, satu pasukan dengan Abdul,” si Firdaus memperkenalkan diri.              “Oh,” Sarah menggumam pendek, “Aku Sarah.”              “Farida,” Farida menyebut namanya ketika Firdaus memandangnya.              “Oh, hai Sarah, Farida,” Firdaus mencoba ramah, “Kita tak punya banyak waktu. Farida, kau naik ke punggung Abdul, Sarah naik ke punggungku. Sekarang juga, kita ke istana Kerajaan Roe Dzuwh,” perintah Firdaus. Kedua anak itu menaiki punggung unicorn-unicorn itu.              Mereka berjalan, entah kemana, tapi Firdaus dan Sarah memimpin di depan. Tiba-tiba, muncul sebuah pintu bercahaya. Lalu Firdaus memasukinya. Abdul mengikuti dari belakang. Sedangkan kedua anak itu diam saja, asal ikut saja. Mereka sudah percaya bahwa unicorn-unicorn baik.              Dan ternyata, pintu itu menembus ke sebuah tempat yang sangat indah.              Tempat itu sangat indah. Perbukitan menjulang melatar belakangi beberapa pondok kayu yang berdiri kokoh dihamparan padang rumput berpagar daffodil. Beberapa kelompok mawar bertebar disekitar pondok-pondok itu. Di antara dua bukit, mengalir satu sungai berair jernih. Tampak beberapa nelayan menjaring ikan. Dan beberapa meter ke sebelah timur, tampak danau berhias teratai. Di teratai-teratai itu ada beberapa katak, dan sepasang angsa putih berenang bersama. Di sekitar danau itu, batu-batu tersusun indah seolah dipagari. Langit biru membentang, bertaburan awan putih lembut. Indah sekali. Banyak pohon, dan banyak anak-anak yang bermain di rumah pohon beberapa pohon terbesar.              Sarah dan Farida menatap pemandangan mempesona itu.              “Inilah tempt tinggal rakyat Kerajaan Roe Dzuwh,” papar Firdaus, “Nah, sekarang kita harus jalan lagi, ke istananya.”              “Tak bisakah kita berhenti dulu disini?” pinta Farida, “Aku mau nikmatin pemandangannya.”              “Tapi kita harus buru-buru. Kita harus segera ke istana, Farida,” bantah Firdaus.              “Sebentar saja…”              “Kapan-kapan kan bisa.”              “Aku maunya sekarang,” tekan Farida.              “Sudahlah, Farida. Kita turuti saja dia dulu, nanti-nanti kan kita bisa main kesini,” Abdul menengahi.              “Hm, tapi kita keliling-keliling dulu, ya?” tawar Farida.              “Oke,” Firdaus akhirnya menyerah. Ia memimpin jalan.              “Firdaus?” Sarah memanggil.              “Ya?”              “Bisakah kita berhenti disini? Aku sangat ingin bermain sebentar saja. Sebentar… Kumohon,” pinta gadis itu. Firdaus menggeleng, “Kita tak punya banyak waktu. Secepat mungkin kita harus ke istana, Sarah.              “Kenapa? Kenapa kita harus cepat-cepat?” Farida menyela.              “Karena Ratu Roe Dzuwh menunggu kalian,” jawab Firadaus.              “Menunggu? Bagaimana ia bisa kenal dengan kami hingga ia rela menunggu kami? Dan untuk apa dia menunggu?” tanya Sarah.              “Legenda. Legenda yang menceritakan tentang Fredalox. Ada di buku ‘Legenda Nyata Pena dan Kertas Ajaib yang Membawa Seribu Satu Keberuntungan Bagi Penemu atau Penggunanya versi XLVII’,” jelas Abdul.              “Hm, Sar, yang kita baca itu versi berapa?” tanya Farida. Sarah mengangkat bahu, mengisyaratkan bahwa ia tak tau.              “Yang kalian baca versi terlama, versi pertama,” jelas Abdul.              “Oke, langsung sajalah. Apa legendanya?” tanya Sarah buru-buru.              “Sambil berjalan, oke?” pinta Firdaus.              “Sambil keliling-keliling, seperti katamu tadi, oke?” ralat Farida.              “Sambil berjalan menuju istana, oke?” paksa Abdul.              “Sudahlah, Far. Kita ikuti saja mereka,” nasihat Farida. Firdaus tersenyum mengerti. Abdul ikut tersenyum.              “Ceritakan,” pinta Sarah mengulang, kepada Firdaus. Abdul menjajari langkahnya dengan langkah Firdaus agar Farida bisa mendengar legenda itu.              “Dahulu, empat puluhan abad yang lalu, hutan Fredalox sangat lebat, berjurang, tak ada cahaya, lembab dan basah,” cerita Firdaus.              “Kami sudah baca,” sela Farida. Sarah memelototi Farida, tanda jangan-suka-menyela-omongan-orang.              “Ya, dan tentunya kalian sudah baca bagaimana gemarnya si Penjaga Fredalox menggambar, kan?”              Sarah mengangguk, memberi isyarat aneh pada Farida.              “Tunggu,” Farida merogoh kopernya, mencari sesuatu, “Ini dia.”              Farida mengeluarkan pena ajaib dan kertas ajaib, tak berkata apa-apa lagi, dan Firdaus dan Abdul terpana.              “Pena dan kertas itu… Sesuai legenda… masih tersisa satu…” desah mereka, sedikit tak percaya. Bahkan Abdul menghentikan langkahnya.              “Ayolah, jalan lagi,” paksa Farida sedikit memerintah, “Jangan terlalu terpaku pada benda aneh ini.”              “Dan teruskan ceritamu, Firdaus, tolong,” pinta Farida dengan gaya sok memerintah. Mungkin ia menganggap dirinya seolah raja, begitu melihat Firdaus dan Abdul terpukau dengan benda-bendanya. “Maaf. Ya, dan kalian kan sudah tau, sekarang ceritanya langsung ke Penjaga Fredalox akan kembali ke sini. Yang menyekap kalian tadi kan anak buah si Penjaga Fredalox, mereka diperintahkan di monster… eh Penjaga Fredalox… eh, kalian lebih baik manggil apa?” Firdaus kebingungan. “Sudahlah, Penjaga Fredalox saja. Atau singkat jadi PF, oke?” usul Farida. Yang lain tersenyum. Firdaus mengangguk. “Ya, tugas anak buah PF adalah memata-matai keadaan kerajaan kami, lalu melaporkan perkembangannya pada PF. Negara tetangga sudah diserang. Sekitar 2-5 hari lagi sepertinya PF akan datang…” Firdaus melangkah gontai. “Dan tolong ceritakan legendanya, ayolah,” pinta Farida. “Legenda itu…” Firdaus menatap Abdul. Unicorn yang ditatapnya tersenyum, mengangguk dan berkata, “Ceritalah.” “Menurut legenda, sekarang PF sudah sebesar Monden Peppel. Monden Peppel sekarang sudah bukan terbuat dari kertas lagi, tapi Monden Peppel adalah gunung asli, setelah berevolusi selama 4 abad. Istana kami ada disana,” cerita Firdaus. “Kalian tinggal di istana?” tanya Sarah. “Kan sudah kubilang… Kami pasukan unicorn Kerajaan Roe Dzuwh. Kalau sudah mendapat gelar ‘pasukan’, kami tinggal di istana. Unicorn biasa tinggal di daerah sekitar sini,” jelas Abdul. “Wow… Aku merasa terhormat menunggangi unicorn istana,” kata Farida. “Dan kamipun merasa terhormat menunggangi para penyelamat,” balas Abdul. “Penyelamat? Siapa?” Sarah bertanya heran. “Kalian, lah… Siapa lagi?” jawab Abdul. “Kami?”  tanya Sarah hampir tak percaya. Farida memandang tak mengerti, kaget, setengah bangga, seolah ia mendengar bahwa ulangan matematikanya—pelajaran yang paling ia takuti—dapat 100. “Kalian, tak lain dan tak bukan. Ayolah, jangan konyol. Ingatkah kalian pada sekelompok kata di buku?” tanya Abdul, lalu mememejamkan mata, berkata dengan aksen dan ekspresi menerangkan hapalan, “Yang berkata; Dan ada satu legenda, oleh penasihat Kerajaan Roe Dzwuh, walau ratusan juta pasukan kuat mengendarai kuda dengan miliaran meriam, tetap saja kalah dengan sang monster. Hanya ada sepasang penyelamat dari Tanah Subur, berusia 9 tahun yang akan menyelamatkan Kerajaan Roe Dzwuh dari sang monster. Entah siapa, tapi mereka memiliki senjata yang sangat ampuh, dan mereka datang tiga hari sebelum sang monster datang. Aku menghapal seluruh isi buku itu. Lupakah kalian—um, tentang paragraf itu maksudku?” Sarah mencoba mengingat-ingat, “Hm, aku yakin, aku pernah membacanya… Tapi selama membaca, aku tak pernah berpikir kalau yang dimaksud adalah… kami.” “Sepertinya mustahil,” gumam Farida. “Ya, sepertinya mustahil,” ulang Firdaus, “Benar-benar mustahil. Mustahil sekali kalau kalian tak menyadari bahwa diri kalian adalah penyelamat. Karena setiap penyelamat selalu di kabari bahwa ia akan menyelamatkan sesuatu. Benar-benar mustahil,” sindir Firdaus. “Nah, itu dia!” pekik Sarah. “Apa kau bilang tadi—setiap penyelamat selalu dikabari, eh? Kami tidak dikabari, taukah kalian? Artinya kami bukan penyelamat. Dan sekarang, balik ke jalan tadi. Kita tak usah ke istana. Untuk apa? Bawa aku ke rumah!” teriak Sarah, baru sadar kalau dari tadi ia tak merasa takut berada di tempat asing dan mau-mau saja menaiki unicorn yang—setidaknya menurut Sarah—bodoh ini. “Setidaknya, jika tidak dikabari kalian memiliki tanda-tanda yang disebutkan diatas,” sela Firdaus, tak membelokkan arah jalannya. “Kalian berusia sembilan tahun, kau dan Sarah juga datang seperti berpasangan—“ “Aku tak berpasangan dengan dia!” jerit Sarah marah. “Berpasangan itu artinya tak terbatas sampai situ saja, Sarah. Berpasangan itu bisa diperluas artinya menjadi; berdua. Mengerti?” bagai seorang guru Firadaus mengajarkannya. “Syarat lainnya juga masih ada. Kalian datang dari Tanah Subur, memiliki senjata ampuh, dan datang 3 hari sebelum si monster datang. Ya, kan?” “Sembilan tahun, berpasangan, dan datang 3 hari sebelum si monster datang mungkin ya, tapi tapi Tanah Subur itu dimana dan kami tak membawa senjata, Abdul,” Farida mencoba meruntuhkan kepercayaan Abdul dan Firadus yang menganggap mereka adalah sepasang penyelamat. “Tanah Subur, kalian dari sana, kan? Kalian terdampar di Phradaluegs, dan Phradaluegs itu salah satu tempat di Tanah Subur, biasanya kalian menyebutnya apa, ya… Hm, Indieneshi sepertinya… Eh, Ondenesha! Dan kalian juga membawa senjata, kan?” kata Firdaus, meyakinkan bahwa kepercayaannya benar. “Mungkin bukan Indieneshi atau Ondonesha, tapi Indonesia, kan, maksudmu?” ralat Sarah. Firdaus mengangguk sambil tersenyum malu. “Tapi kami tak membawa senjata, Firdaus! Sudah kubilang, berbalik arahlah! Antarkan aku pulang!” Sarah semakin takut—bukan takut lantaran ia di tempat asing, tapi takut karena ia tak merasa takut dengan perasaannya, bagaimana bisa ia tidak takut? Ada yang aneh dengan jiwaku, pikir Sarah. Ia semakin merasa takut. Takut pada jiwanya, bukan takut dengan tempt asing yang ia singgahi sekarang. “Senjata? Tentu kalian bawa. Pena dan kertas ajaib itu? Kalau itu bukan senjata, itu apa?” “Itu hanya benda ajaib! Antarkan kami pulang sekarang, dasar kunyit!” umpat Sarah (seperti dihalaman sebelumnya, umpatan Sarah adalah kata-kata yang tak kasar). “Benda ajaib tak jauh dengan senjata, Sarah. berbagai benda dapat menjadi senjata, contohnya, penggaris sekolah bisa dijadikan senjata pedang-pedangan, kan?” Firdaus mengelak. “Oke, tapi pasti yang dimaksud buku legenda itu adalah senjata semacam, yah, senjata sungguhan. Pistol, pedang, tombak, atau apalah yang lainnya, itu baru senjata. Mengerti?” Sarah meloncat dari punggung Firdaus, “Kalau kalian tak mau mengantarkan kami pulang, kami akan pulang sendiri. Jalan saja. Ayo, Far!” Farida ikut meloncat dari punggung Abdul. “Tunggu, dong,” keluh Firdaus. “Kita ke istana, oke? Sebentar saja, ya?” rayu Abdul. “Oke…” desah Farida. Sarah menyikut lengan Farida. “Kita harus pulang,” bisik Sarah. “Tak akan,” tekan Farida, “Aku punya firasat baik disini. Kau akan menyesal jika kau pulang. Tapi kalau tidak… Sebenarnya aku sedikit ragu dengan mereka.” “Tiga menit, oke? Lalu antarkan kami pulang,” kata Farida tiba-tiba sedikit galak. “Anak cengeng bisa membentak rupanya,” sindir Sarah. Farida tersenyum. “Tapi okelah, aku setuju dengan idemu. Tiga menit, OK?” tawar Sarah. “Sepuluh, kami tak bisa secepat itu,” tolak Abdul. “Tiga, oke kah?” Farida tersenyum. “Tujuh, akan kubuktikan kalau kalian penyelamat,” tawar Firdaus. “Lima, oke? Kalian bisa terbang. Kalian, kan, unicorn!” “Boleh…” tanpa sadar Farida mengucapkan kata itu. “Ayo naik!” perintah para unicorn. Farida dengan lincahnya melompat ke punggung Abdul, duduk disitu. Sedangkan Sarah, ia sedikit kesulitan naik, sebab Firdaus lebih tinggi dari Abdul dan Sarah lebih pendek dari Farida. Firdaus mulai mengepakkan sayapnya yang indah, lalu perlahan melayang dan terbang. Abdul mulai menyusul. “Aku punya firasat baik,” kata Farida pada Sarah, tanpa terdengar para unicorn. Sarah menoleh. “Aku punya firasat baik,” ulang Farida, “Kupikir mereka benar. Kita adalah penyelamat.” Sarah membuang muka, menyembunyikan ekspresi takutnya.
***
Entahlah, tapi Sarah benar-benar takut kalau prasangka buruknya terealisasi. Penyelamat, kata itu terngiang di benak Sarah. apalagi mengingat firasat-firasat Farida selalu menjadi fakta. Ia takut jika ia menjadi Lucy seperti di Narnia, atau Fira di Negeri Awan Merah-nya Fahri Asiza, atau apalah… Memang, Sarah pernah membayangkan seandainya dirinya menjadi Lucy di Narnia, tapi ia tak menyangka kalau ia mengalami hal yang sama dengan cara berbeda; terdampar di semacam ‘Narnia’ tapi tak lewat lemari, lewat usaha keras. Sama saja. Memikirkannya membuat Sarah takut, jiwanya merasa kalut, dan pikirannya carut-marut. Sarah diam, memikirkan hal-hal menyenangkan dalam kesehariannya. Tawa di pelajaran Bahasa Inggris gara-gara Rere terlalu medhok untuk membaca teks berbahasa inggris, tiga hari kemarin. Rere, anak pindahan Jawa Timur, kental sekali logatnya. Oleh Mr. Viddi, ia disuruh membaca teks di buku Bahasa Inggris. “Hell ‘o, nai-ce tho medh yuh,” kata Rere terbata dengan medhoknya ketika membaca tulisan hello,nice to meet you. Satu kelas menertawakan. Mr. Viddi hampir tertawa, tapi ia kasihan terhadap Rere. Untung Rere malah ikut tertawa, lalu berkata, “Memangnya ini dibaca opo tho Mister?” “Hello, nais tu miit yu,” Mr. Viddi membenarkan bacaan Rere. “Oh, gitu tho… Hell ‘o, niss tho midh yuh,” ulang Rere. Lebih bagus memang, tapi masih ada medhoknya, tapi satu kelas masih tertawa. Rere ikut tertawa. Tapi Sarah masih takut. Memikirkan hal-hal itu tak membuatnya nyaman. “Farida?” panggil Sarah. Farida menoleh. “Lima menit, kan?” yakin Sarah. “Tadi sih aku bilang… Ya, lima,” kata Farida. “Sekarang sudah 7 menit,” Sarah melirik ke stopwatch arloji digitalnya. “Hei, lihat kebawah, Para Penyelamat!” tiba-tiba Firdaus berseru. Di bawah, masih tertutup kabut—rupanya mereka terbang di atas awan, tapi terlihat samar-samar sebuah bangunan. Istana, megah sekali. Banyak menara menjulang bagai menara Rapunzel di buku dongeng Sarah. Setiap sentimeter dinding istana dijaga para prajurit. Sekilas, tampak seperti bangunan Hogwarts di film Harry Potter. Megah, bertingkat-tingkat, besar, luas. Tapi temboknya dari balok hitam pekat. Bingkai jendela berwarna cokelat pekat kayu jati. Atapnya hitam juga, namun di puncaknya dikibarkan bendera, entah bendera apa. Dan di menara paling tinggi, di puncaknya, terdapat patung yang sama seperti di Kolbaraja, tapi yang ini tak terbuat dari super-safir-permata, namun dari batu biasa yang dipahat sedemikian telitinya. Tamannya, tempat mereka mendarat, luas seperti tak terhingga. Kebun buah, kebun bunga, kebun sayuran, dan kebun apotek hidup berjejeran. Dan ada sepetak ‘hutan kecil’ di satu sudut. Banyak unicorn merumput. Ada danau membentang indah dengan teratai dan katak, dikelilingi batu-batu halus. Semua tampak tersusun rapi dan indah. “Disini tak pernah ada panas,” jelas Firdaus. “Hujan juga tak ada,” tambah Abdul. “Lalu, apa yang ada disini?” tanya Sarah. “Musim semi. Selamanya. Hanya disekeliling istana, tapi di seluruh kerajaan, mereka menikmati tujuh musim; hujan, semi, gugur, salju, es, panas, dan musim es krim,” jelas Firdaus. “Katakan, apa yang terjadi di tiap musim,” pinta Farida. “Di musim hujan, hujan sepanjang hari. Tapi semuanya senang, karena hanya hari itu. Keesokan harinya biasanya musim salju. Sehari saja. Dan keesokan harinya musim es. Jadi, es berjatuhan dari langit, kecil-kecil seperti kerikil, tapi kalau kena kepala sakit, meskipun tak akan luka, keesokan harinnya baru musim es krim. Es krim-es krim tangkai akan tumbuh, es krim biasa akan mengalir lewat sungai musiman. Keesokan harinya musim semi. Lalu musim panas, dan setelah itu musim gugur. Lalu hujan lagi. Begitu seterusnya,” jelas Firdaus singkat. “Keren…” komentar Sarah, “Jadi setiap hari terjadwal?” “Begitulah. Minggu musim semi, Senin musim panas, Selasa musim gugur… Begitulah terus!” “Menarik sekali,” kali ini Farida yang komentar. “Sudahlah, kita tak usah bicara soal musim. Kita langsung masuk!” perintah Firdaus. Ia memimpin jalan di depan. Berjalan melewati para prajurit yang tersenyum kagum dan hormat pada mereka. Kini Sarah dan Farida tak lagi duduk di punggung unicorn-unicorn itu lagi. Mereka berjalan membuntuti unicorn istana itu. Memasuki gerbang istana. Mereka—lagi-lagi—terpukau oleh keindahan tata ruang istana. Ruang utama istana itu sangat besar, lega, luas. Karpet merah terbentang lurus ke arah tangga. Di sisi-sisi karpet itu, setiap sentimeter, ada prajurit yang senantiasa tersenyum. Firdaus sibuk menyapa mereka. “Oh hai Hassan, hai Ahmad, hai Dani, oh, ya, kau… Adam… Dan hai, Putra, hai Ferdy, hai Rashad, hai Fattah, halo Alvan, eh Reza… Hai Mansyur, Hadi, Randy, John, hai Iman…” sapaan Firdaus tampak seperti seorang guru mengabsen murid-muridnya. Farida dan Sarah begitu kagum, betapa hapalnya Firdaus pada prajurit-prajurit itu yang jumlahnya ada ratusan. Mereka tiba di sebuah ruangan. Ruang singgasana. Indah sekali. Sepuluh prajurit bertubuh tegap dan lebih besar dari prajurit-prajurit di taman atau di ruang utama tadi menjaga pintu ke ruang singgasana. Tapi begitu melihat Firdaus, mereka langsung membukakan pintu. Lagi-lagi, ruangan itu lega, luas, indah. Temboknya berhias wallpaper putih bersih bermotif lambang seperti di bendera kerajaan tadi. Di satu sisi, tampak singgasana megah. Tinggi, dengan lima anak tangga untuk mencapai singgasana itu. Singgasananya bertirai, dan ada seorang gadis yang tampak mirip dengan patung super-safir-permata di Kolbaraja, mengenakan gaun kuning indah. “Hormat kami, Yang Mulia Ratu Kerajaan Roe Dzuwh,” Firdaus membungkukan badan sedikit. Diikuti Abdul. Sarah latah mengikuti mereka. Sedangkan Farida hanya diam tak mengerti. “Terimakasih, Firdaus dan Abdul, sepasang unicorn kerajaan yang mulia,” tiba-tiba gadis yang Firdaus panggil ‘Yang Mulia’ itu berbicara rada nggak nyambung. “Hormatku pada kalian, Para Penyelamat,” gadis itu berkata lagi, pada Sarah dan Farida. Mereka merasa bingung. Ah, kenapa semuanya menganggapku penyelamat? Bahkan Farida juga, desah Sarah dalam hati. Sedangkan Farida meliriknya penuh kemenangan, dari sinar matanya dapat terlihat seolah ia mengatakan, “Tuh kan bener!! Kita ini penyelamat, Sarah!” “Maaf,” Sarah angkat bicara, “Kami bukan penyelamat.” Wajah si gadis menorehkan ekspresi heran. “Apa maksudmu mengatakan kalian ‘bukan penyelamat’?” tanyanya lembut. “Maaf, ngg… Kira-kira Anda saya panggil apa, ya?” Sarah tampak kikuk. “Yang Mulia saja,” tiba-tiba Abdul angkat bicara. “Hm, maaf, Yang Mulia. Tapi kami… Kami tak tau kami ini penyelamat atau bukan. Kami hanya tersesat disini,” papar Sarah. “Dia bohong, Yang Mulia!” jerit Abdul tiba-tiba. “Diamlah Abdul. Tak sopan kau menyela obrolan Yang Mulia dan Sang Penyelamat ini,” tegur Firdaus. Abdul menunduk menyesal, kemudian meminta maaf. Apa-apaan ini? batin Sarah dalam hati, Bahkan Firdaus sudah tak memanggil aku ‘Sarah’ lagi, tapi ia menyebutku ‘Sang Penyelamat’. Ah, jika saja aku tak menyetujui ide bodoh Farida ke Kolbaraja… Takkan begini akhirnya. “Tersesat?” sang ratu tampak heran. “Begini… Kami menemukan sebuah pintu di Kolbaraja, dan kami pun masuk,” cerita Sarah. “Maaf, Yang Mulia, sekedar memberitahu, Kolbaraja itu Phradaluegs,” sela Firdaus. “Oh, ya,” sahut sang ratu, “Dalam legenda, para penyelamat datang dari Phradaluegs.” “Tapi sekali lagi, maaf, kami bukan penyelamat,” tegas Sarah. “Saya dan dia—anak laki-laki itu,” kata Sarah sambil menunjuk Farida, “Datang kesini karena…” tiba-tiba Sarah terdiam. Karena apa? Karena apa, ya, kami datang kesini? tiba-tiba Sarah merasa aneh. Tujuannya tadi sih… hanya mengikuti kata-kata Farida, Kau tau apa gunanya, gumam anak cengeng itu sok misterius. Yah… tak mungkin kan Sarah bilang pada ratu tadi kalau ia hanya ikut-ikutan firasat bodoh Farida itu… Hei, tunggu! Kenapa dia mengikuti firasat Farida? Apakah dirinya terhipnotis? “Kami kesini karena… Ehm, ya, kami sedang berusaha memecahkan satu misteri sebuah buku aneh saja. Tak lebih. Oke, ternyata misteri itu tak lebih dari sebuah negara aneh. Sekarang semuanya telah terungkap. Oke, mari kita pulang, Farida,” Sarah akan membalikkan tubuh ketika… “Dia salah!” jerit makhluk didepan Sarah. Sarah semakin terkejut mengetahui, mengetahui kalau… Kalau yang berkata adalah Farida! “Dia salah, sepenuhnya salah, Yang Mulia! Kami memang benar penyelamat dan kami datang kesini untuk menyelamatkan Kerajaan Roe Dzuwh dari Penjaga Fredalox! Kami memang benar-benar penyelamat!” “Farida?!” Sarah menatap sepupunya tak percaya. Apa yang dia ketahui? Apa yang diketahuinya? Ia tak bilang apa-apa padaku—ah, dasar anak cengeng! Kau sok tau, sok bisa, sok berani… Sarah hampir menangis. “Farida… Ap.. Apa maksudmu?” Sarah bergumam tak percaya. “Santailah. Percayakan padaku,” Farida berkata tanpa suara—ia mengatakannya melalui cahaya matanya. Sarah mendesah panjang, mengikuti pandangan mata Farida. “Awas,” ancam Sarah, “Kalau kata-katamu tak bermakna.” Farida memandangnya dengan tatapan oke-peganglah-janjiku.
***
“Sekarang kita disini,” desah Sarah. “Enak, kan??? Kita tinggal di istana sekarang, kan sudah kubilang… Turuti saja kata-kataku!” Farida tersenyum penuh kemenangan. Saat itu mereka habis melihat-lihat isi istana yang besar, luas, dan megah. Dan untuk mereka, masing-masing diberikan satu kamar yang berukuran lebih besar dari rumah mereka, dengan kamar mandi dalam kamar yang luasnya setengah rumah mereka… Pokoknya indah. Nah, sekarang mereka ada di balkon istana yang luasnya seluas lapangan sekolah Farida. “Tapi apa kau mau bertanggung jawab atas ke-penyelamatan-mu?” dengus Sarah, “Mereka terlalu percaya kita, Farida. Mereka terlalu berlebihan, menganggap kita penyelamat. Padahal kita kan hanya…” “Tidak! Kita memang benar-benar penyelamat, Sarah. Tak sadarkah kamu, untuk apa kita kesini kalau bukan untuk menyelamatkan Kerajaan Roe Dzuwh dari PF?” Farida berusaha menyadarkan Sarah. “Siapa mereka siapa kita! Apa hubungannya, coba?!” tantang Sarah. “Mereka… Ingatkah kau dengan mimpi horor? Kalau kita tak menyelamatkan mereka, kita akan terus bermimpi horor. Maukah kau itu terjadi lagi?” seru Farida. Sarah tercenung. Kenapa aku tak berpikir sejauh itu? pikir Sarah. “Jujur, sebenarnya aku merasa takut… Takut karena aku tidak merasa takut, aduh, gimana, ya, jelasinnya?” Sarah bingung sendiri ketika ingin bercerita. “Aku mengerti. Kau merasa takut karena kau merasa betah disini, padahal ini adalah tempt asing bagimu. Alih-alih merasa takut di negri ini, kau malah merasa betah. Tapi, kau malah takut dengan perasaan betahmu. Begitukah?” Farida mencoba menyempurnakan kalimat Sarah. Sarah tersenyum dan mengangguk. “Ya, akupun merasa begitu,” ungkap Farida. “Tapi, yah… Kau tau, seperti biasa—mungkin ini akan membuatku terlihat menyombong, tapi ini memang realiti—firasatku hampir selalu benar. Aku merasa kita akan mendapatkan sesuatu yang kita inginkan disini. Seperti… yah, mungkin keinginanmu membeli laptop keluaran terbaru, atau flash disk yang seperti boneka itu, yang bisa menyimpan data hingga ratusan gigabyte itu, atau handycam LG yang ber-casing biru, atau satu set novel serial karya Andra Clarissa, atau tas koper yang jadi trend itu, semua itu mungkin saja disini,” Farida mendaftar cita-cita Sarah. “Mungkinkah?” tanya Sarah tak percaya. “Mungkin saja,” yakin Farida, dan kalimat terakhirnya membuat Sarah kembali tercenung bingung, “Asal kita dapat menyelamatkan Kerajaan Roe Dzuwh dari Penjaga Fredalox.”
***
Di negri ini hari mulai petang. Farida khawatir jika di Indonesia hari mulai beranjak Subuh. Ia sudah sholat ashar di negri aneh ini, tapi ia bingung; akankah orangtuanya mengkhawatirkan dirinya dan sepupunya yang cerewet itu? Entahlah. Yang jelas, ia sekarang ada di kamar raksaksanya, merebahkan diri di sofa indah di kamarnya. Bermain dengan seekor kucing mungil. Sarah juga ada di kamarnya. Entah sedang apa. Mungkin sholat. Ia memang punya kebiasaan buruk, sering sholat di akhir waktu. Atau mungkin Sarah sedang… ah, buang waktu saja memikirkan Sarah! Sesungguhnya, ia sama sekali bingung dan tak tau tentang kedatangan Penjaga Fredalox tadi, jika dibanding Sarah. Gadis itu tau tentang sejarahnya; bahwa suatu saat Penjaga Fredalox akan mendatangi Kerajaan Roe Dzuwh, dan mengambil alih pemerintahannya, dan saat itulah tugas para penyelamat; membuat Roe Dzuwh tetap dipimpin ratu elok tadi. Farida masih mengelus angora coklat itu, beranjak menuju suatu meja, dan membuka rak berisi kalung-kalung kucing yang bermacam-macam jenisnya. Dan ada pula lemari mungil setinggi lutut Farida tempat menyimpan rompi dan rok angora tadi. Angora itu memang angora kesayangan putra sang ratu tadi. Kamar putranya sekarang ditempati Farida, kebetulan pangeran mahkota itu sedang entah kemanalah. Ia memilih kalung rantai dari tembaga, memasangkan rompi kecoklatan dan rok kuning pucat pada angora kerajaan itu. “Kau tampak lebih cantik sekarang,” tawa Farida, “Mau makan?” Farida mengambil sekotak sereal kucing, dan menuangkannya di piring khusus Rara—nama angora itu. “Hm, boleh.” Farida terperanjat. Suara itu berasal dari angora coklat itu! Ia bisa berbicara! Perlahan Farida menghindar, setengah takut. “Jangan takut. Aku sebenarnya tidak seratus persen kucing. Aku putri dari sang ratu, makanya sang pangeran—abangku—sangat menyayangiku. Dulu aku manusia, lalu entah dimana dan bagaimana, aku kena sihir Penjaga Fredalox. Dan yah… kami jangan takut, ya. Aku emang begini, tak lain dan tak bukan. Maafkan ibuku, ya, belum memberi tahumu soal ini,” cerita Rara. Farida hanya menatap heran, masih sulit mempercayainya. “Oh, begitu,” tanggap Farida singkat. “Kau tau, aku tau semua tentang penyelamat, misi-misi mereka, pokoknya semuanya. Kau mau tau?” ternyata, dari kependiaman Rara tadi, sekali bicara ia sangat cerewet. “Boleh,” Farida mulai tertarik. “Begini, hm, syarat-syarat seorang penyelamat yaitu; datang berpasangan, berusia 9 tahun, membawa senjata ampuh, dan dari Tanah Subur. Kalian dari Phradaluegs, kan? Phradaluegs itu terletak di Tanah Subur. Dan kalian juga datang 3 hari sebelum Penjaga Fredalox datang. Tiga hari lagi… Oh, ya, bagaimana persiapan kalian? Bisa kubantu? Ataukah itu menjadi rahasia kalian? Eh, hati-hati, lho, Penjaga Fredalox sangat ganas! Apa senjata ampuh kalian? Oh iya, aku lupa, siapa namamu—dan temanmu juga tentunya,” Rara tak henti-hentinya berbicara. “Hei, hei, hei, aku tak bisa menjawab pertanyaanmu kalau berentet begitu!” seru Farida, “Katakan satu demi satu.” “Bagaimana persiapan kalian?” suara Rara mulai melunak. “Persiapan? Jujur, kami sama sekali tak bersiap-siap. Kami hanya… tersessat,” Farida mendesah. “Tidak, kami tidak tersesat. Kami sengaja kesini.. Karena mimpi buruk. Suatu hari, aku mendengar bisikan angin, memang mustahil, tapi ini realiti, kenyataan. Ia berkata padaku, kalau aku tak kesini, aku dihantui mimpi horor, dan itu benar. Selama seminggu aku bermimpi horor, menjadikan tidur adalah siksa. Aduh… padahal aku sudah bersumpah pada diriku sendiri akan kesini hari ini, tapi tetap saja mimpi horor itu…” “Sudahlah, kau tidur saja dulu. Aku tau kau mengantuk,” senyum Rara. “Terimakasih,” tulus kata-kata itu meluncur dari mulut Farida, sama seperti dia mendengar ketulusan Rara dalam kata-katanya. Ia pun mulai tidur. Ketika Farida mulai pulas, Rara tertawa sendiri. Lalu ia bergasing tiga kali, dan menghilang. Mendengar ketulusan Rara dalam kata-katanya. Ketulusan palsu. Rara bukanlah putri mahkota. Dan Rara bukanlah Rara sebenarnya.
***
“Yang Mulia, kenapa Anda tidak bilang bahwa Rara itu putri Anda?” tanya Farida ketika makan malam. “Rara? Rara kucing kesayangan anakku?” sang ratu bertanya balik, agak heran. “Rara kan, putri Yang Mulia,” jelas Farida. “Dia bukan putriku, dia kucing putriku,” tambah sang ratu, makin bingung. “Tapi tadi Rara… Ia bermain denganku, dan tiba-tiba ia berbicara. Katanya sebenarnya ia adalah putri Anda, namun ia disihir oleh Penjaga Fredalox menjadi kucing, lalu kami mengobrol,” cerita Farida. “Rara? Dia angora biasa, tak bisa bicara atau berkata… Lagipula anakku cuma satu,” wanita cantik itu semakin heran. Mereka terdiam. “Ah! Aku tau sekarang! Itu bukan Rara! Tadi sore, kan kamu bermain bersama Rara palsu? Saat itu pula aku sedang bermain dengan Rara, memandikannya dan mendandani dirinya. Pasti Rara palsu!” pikir sang ratu, berseru. “Tunggu. Selama kalian mengobrol, apa yang diceritakannya—Rara—padamu?” tanya sang ratu. Ia tak lagi menyuap makanannya. “Kami tak mengobrol banyak. Namun kuceritakan ketidaksiapanku. Jika dia memang benar-benar Rara palsu, apalagi ia adalah anak buah Penjaga Fredalox, artinya ia telah mengetahui segala ketidaksiapanku dan… yah, kita kalah,” Farida mengangkat bahu. “Tak mungkin. Tak mungkin kau belum bersiap,” sanggah sang ratu. “Sudah kubilang kami bukan penyelamat, Yang Mulia!” jerit Sarah, ia mulai menghentikan suapannya dan angkat bicara. “Kalian penyelamat! Sia-sialah usaha Abdul dan Firdaus menjemput kalian kalau begitu!” jerit sang ratu, meskipun sebenarnya dalam etika kerajaan, seorang ratu tak boleh menjerit-jerit, apalagi ketika makan. “Mungkin kami penyelamat,” Sarah terdiam. “Apa maksudmu mengatakan ‘mungkin’? Kalian, kan, memang penyelamat!” sang ratu menggebrak meja. “Stop, stop, hei!” lerai Farida, “Sekarang begini saja. Mau penyelamat atau bukan, kita harus segera bersiap, Sarah! Penjaga Fredalox akan memusnahkan Roe Dzuwh—dan kita!” “Oke,” ujar Sarah singkat, mukanya merah padam, gemetar, matanya berkaca-kaca, perlahan setetes air membulir dari matanya, turun ke pipi. Tanpa dicegah, ia lari ke kamar. Perlahan Farida menyusulnya, setelah minta izin sang ratu yang ditinggalkannya di meja makan besar itu sendiri (tidak benar-benar sendiri, sih, tapi seperti yang dikatakan sebelumnya; banyak prajurit di tiap sentimeter dinding. “Permisi,” Farida mengetuk pintu. Dua prajurit penjaga pintu itu tersenyum. Mereka tak boleh melakukan apa-apa kalau tak ada perintah dan kalau tak darurat. “Bolehkah aku masuk?” Tak ada jawaban. Farida menempelkan telinga ke ruangan itu. Mungkin karena ruangannya besar, jadi tangisan Sarah terdengar lebih jelas oleh gema. “Sarah? Aku masuk, ya?” Perlahan terdengar suara langkah diseret dari dalam. Lalu mendorong pintu dengan enggan, tapi hanya terbuka sedikit. “Masuklah,” lirih Sarah hampir terendam tangisnya. Farida pun masuk. Ia melihat sekeliling. “Aku kangen sekali sama ibu… walau cuma baru beberapa jam tak bertemu, karena aku tau kita bakal lama disini….” Sarah makin terisak. Mendengar kata ‘ibu’, Farida langsung tersentak. Airmatanya membulir ke pipi. “Maafkan aku, Sarah… Tapi aku tak tau bagaimana caranya pulang… Kaburkah kita atau…” Farida ikut terisak. Lalu mereka berpelukan dalam tangis. “Sudahlah,” gumam Farida beberapa saat ekmudian. “Aku tak mau cengeng lagi.” “Hebat. Sekarang kau harus kuat, ya. Nah, apa yang kita lakukan sekarang? Minta pulang atau kabur saja?” Sarah menawarkan dua pilihan. “Aku pilih; kita selamatkan Roe Dzwuh dari serangan Penjaga Fredalox,” mantap Farida. Sarah melongo.
***
“Jadi begini saja. Kita buat banyak benda dari pena ajaib dan kertas ajaib—tapi sisakan tintanya, siapa tau ada keperluan mendadak! Dan jangan lupa, para prajurit, unicorn, kuda perang, burung elang, dan semuanya ikut mempersiapkan! Dan menurutmu, apa saja yang akan kita gambar di kertas ajaib?” Farida tampak sangat bersemangat mancatat berbagai persiapan mereka di notes kecil. “Mungkin kau harus menggambar tongkat sihir,” Sarah mulai berpikir, “Agar kita bisa menciptakan banyak-banyak, sedangkan tintanya tak akan habis-habis.” “Pintar! Aku akan mulai menggambar sekarang,” Farida menggoreskan penanaya. “Bismillah,” gadis itu meniup kertasnya. Lalu sebuah tongkat sihir—tongkat kayu seukuran ¼ depa dengan bintang kuning di salah satu pangkalnya—melayang beberapa sentimeter di atas kertas itu. “Alhamdulillah!” seru Farida, lalu perlahan mencoba tongkat sihirnya. “Simsalabim! Jadilah es jeruk!” Tak berhasil. “Abrakadabra! Jadilah es jeruk!” Tetap tak bisa. “Mungkin mantranya basmalah,” saran Sarah. “Bismillahirrahmanirrahim, jadilah es jeruk!” Tetap saja tak bisa. Tiba-tiba pintu diketuk. Setelah Farida menyuruh si pengetuk pintu membuka pintunya sendiri, muncullah sosok sang ratu. Ia tersenyum begitu melihat Farida dan Sarah segera berdiri lalu membungkuk ketika melihatnya. Ia pun turut membungkuk. Merasa sang ratu yang lebih tau, Sarah pun  bertanya, “Yang Mulia, tahukah Anda mantra apa yang bisa kita gunakan pada tongkat sihir?” “Tongkat sihir?” sang ratu heran. “Darimana kalian mendapatkannya?” “Kami menggambar dengan pena ajaib,” cerita Farida. “Kalian menggambar tongkat sihir?” ratu memastikan. Sarah dan Farida mengangguk. “Apakah di Tanah Subur ada tongkat sihir?” tanya sang ratu. Meskipun mereka merasa aneh ditanyai begitu, mereka menjawab saja sejujurnya. “Tidak ada. Hanya ada di dongeng masyarakat Tanah Subur,” jawab Farida. “Pantas saja tak bisa,” sang ratu tersenyum. “Oleh pena itu, kita hanya bisa menggambar sesuatu yang realiti, bukan dongeng. Gambarlah alat-alat biasa, yang pernah ada di dunia, bukan di dongeng.” “Terimakasih, Yang Mulia,” Farida tersenyum tulus, sedikit membungkuk. “Lalu, sebaiknya kita membuat apa, Yang Mulia?” tanya Farida bingung. “Aduh… Jangan panggil aku ‘Yang Mulia’, dong… Terlalu terhormat. Harusnya aku yang menyebut kalian begitu,” sang ratu tersenyum manis. “Ah, tidak juga… Kenapa pula kami harus mendapat sebutan seperti itu? Kami tidak seterhormat itu, kok,” Farida merendah. “Kalian, kan, penyelamat,” ujar sang  ratu. “Ah, hal itu lagi,” gumam Sarah pada Farida. “Sudahlah… Eh, sebaiknya kita akan membuat apa? Bagaimana menurut Anda?” Farida mengulang pertanyaannya. “Tolong… Jangan terlalu menghormatiku, jangan terlalu formal juga bahasanya, jangan sebut aku ‘Anda’, sebut saja ‘kamu’. Tak apa, kan?” sang ratu duduk di sofa yang disediakan. “Tak apa. Harusnya kami yang menanyakan pertanyaan serupa padamu.,” Farida meletakkan penanya. “Jadi kami harus memanggilmu apa, kalau bukan ‘Yang Mulia’?” “Kakak saja boleh,” sarannya. “Aduh.. Kok jadi berubah arah begini sih pembicaraan kita… Ayolah, menurut kalian apa yang dapat kugambar?” pistolkah? Pedangkah? Atau…” untuk ketiga kalinya, Farida mengulang pertanyaan itu. “Coba ciptakan tombak yang ujungnya beracun,” saran Sarah. “Takkan bisa. Kertasnya, kan, tak sebesar itu,” nasihat ratu. “Wah… Kalau begitu, kita menggambar apa?” Farida semakin bingung. Sebenarnya ia ingin menggambar banyak: pistol, pedang, tameg, baju baja, jarum super tajam, racun super, arang panas, dan banyak lagi, tapi pasti tak mungkin karena selain kertasnya tak cukup, pasti tinta penanya akan cepat habis. Sang ratu selalu tampak cantik, walau sedang berpikir sekalipun. Wajahnya mengguratekspresi serius, bibirnya semakin tipis, dahinya mengerut. Sedangkan Sarah, ciri khas berpikirnya; berguling di kasur sambil memejamkan mata. Nhampir 20 menit mereka berpikir dan tidak berbicara. Hingga akhirnya sang ratu menemukan satu ide, yang bisa dibilang brilian. “Kau, Farida, gambarlah sebanyak mungkin. Gambarlah belasan pena ajaib, plus kertas ajaibnya juga, agar bisa dimiliki tiap kepala pasukan, dari sana kan kita bisa menggambar apapun semau kita,” sang ratu tampak senang dengan idenya. “Brilian! Jenius! Aku akan coba, Yang Muli… Eh, Kakak maksudku,” Farida nyengir. Sarah hanya menatap kagum sang ratu, akan keenceran otaknya. Farida pun mencoba. “Bismillahirrahmanirrahim,” Farida meniup kertas itu. “Tiba-tiba kertas itu bereaksi. Bukan, bukan beraksi menjadikan gambar menjadi nyata, tapi bereaksi menghilangkan gambar Farida, tapi ada tulisan: Maaf, khusus untuk gambar kertas ajaib, pena ajaib, super-safir-permata, dan benda-benda yang mengandung unsur seperti itu, tak bisa menjadi nyata. Cobalah gambar benda lain. Farida membaca tulisan yang ditulis rapi dengan bahasa Indonesia itu keras-keras. Mendengar bacaan Farida, sang ratu mendesah panjang. “Maafkan aku, Farida. Tinta penanya jadi habis,” sang ratu merasa bersalah. “Tak apa. Sekarang kita pikirkansaja segala persiapannya,” Farida merasa bersalah telah membuat seorang ratu cantik meminta maaf padanya. “Farida, coba cek isi tintanya,” Sarah berkata, walaupun dalam nada suaranya terdengar malas. Faridapun mengeceknya. Pena yang tingginya 12 cm itu, isnya tinggal sekitar 7,5 cm. “Menurutku,” sang ratu berdiri. “Sebaiknya kau gambar garam. Segenggam garam.” “Garam?” tampak Sarah, bingung. Sedangkan Farida tampak argu. “Ya. Biasanya naga takut garam,” jawab sang ratu. “Kenapa harus digambar? Kenapa tidak kita keringkan air laut saja?” saran Farida. “Sayangnya, air laut disini manis. Dan kalau dikeringkan, tak akan menjadi garam seperti di bumi, tapi menjadi butiran kelereng,” cerita sang ratu. “Wah, menarik sekali,” tutur Farida. “Ah… andai tadi aku bawa garam. Kan, menghemat tinta pena,” sesal Sarah. Sang ratu tersenyum. “Oke, akan kugambar segenggam garam,” Farida mulai menggambar. Tangannya cekatan menari diatas kertas. “Bismilah,” Farida meniup lembut kertas itu. Tiba-tiba, segenggam garam sudah melayang beberapa senti diatas kertas itu. Farida langsung menangkapnya. “Hati-hati, jangan sampai ada yang terbuang satu butirpun,” nasihat sang ratu. “Garam hampir selangka super-safir-permata disini.” Sarah segera mengambil wadah kecil untuk Farida meletakkan garam. “Lalu persiapan selanjutnya,” Farida menyandar di kursi meja tulis Sarah. “Lima pasukan prajurit berani mati, tiga pasukan unicorn super kuat, lima belas meriam plus lima ratus bola meriam,
0 notes
rz18 · 8 years
Text
Lateral thinking
[1]
Lateral Thinking
Background Edward de Bono introduced the term lateral thinking in his 1967 book New Think: The Use of Lateral Thinking.
His contra-logical approach has become a well established part of most, if not all, of today's creative thinking methods and approaches. Description: Lateral Thinking is a deliberate, systematic creative-thinking process that deliberately looks at challenges from completely different angles. By introducing specific, unconventional thinking techniques, lateral thinking enables thinkers to find novel solutions that would otherwise remain uncovered. Lateral thinking focuses on what could be rather than what is possible and centers around four directives:
Recognize the dominant ideas that polarize the perception of a problem.
Search for different ways of looking at things.
Relax rigid control of thinking.
Use chance to encourage other ideas
Seven techniques or mental tools help carry out these directives with the goal of eliciting unpredictable ideas, which may turn out to be novel and useful solutions to the problem being addressed.
Alternatives: Use concepts to breed new ideas.
Focus: Sharpen or change your focus to improve your creative efforts.
Challenge: Break free from the limits of accepted ways of operating.
Random Entry: Use unconnected input to open new lines of thinking.
Provocation: Move from a provocative statement to useful ideas.
Harvesting: Select the best of early ideas and shape them into useable approaches.
Treatment of Ideas: Develop ideas and shape them to fit an organization or situation.
An interesting aspect of de Bono's lateral thinking method is its relationship to humor. Essentially, jumping to laterally related ideas is exactly what makes a joke funny - the delight in the unexpectedly discovered relationships between seemingly unrelated elements.
One of the classic lateral thinking problems involves nine    dots, as in the example above. The challenge is to connect them    all in four straight lines, without lifting the pen or pencil    from the page. When you figure this one out you will have a new    appreciation for the expression "thinking outside of the    box." Lateral thinking puzzles like this help you increase    your brain power by getting you out of thinking "ruts."    They habituate you to creative thought as a normal function of    thinking and problem solving.
       Problem Solving Games for Groups    
Some of the best problem-solving games can be played as a    group. These are especially good for long trips in a car. For    example, have someone look out the window and choose an object    at random. Then everyone in the car can try to come up with the    best way to make money with it. A street sign becomes a place    to advertise, and trees are to be sold door-to-door. A truck    can be used in a hundred ways to make money, but look for the    best new way for the sake of the game. (A traveling grocery    store?).
Other problem-solving games for a group involve using a specific    creative thinking technique, such as "concept combination."    This involves taking two concepts or objects and combining them    in some novel way. As a group game, the point is just to see    who has the best idea. What can you come up with from the combination    of a chair and a microwave? Perhaps an easy-chair that has a    cooler and microwave and television built in. Or microwaveable    "couch potatoes" ; a potato snack in the shape of a    couch.
Try the "change of perspective" technique as a problem-solving    game. Take a topic ranging from morality to having a job. Who    can come up with the most unique (and perhaps coherent) new perspective?    Could there be a world where there were no jobs? What would morality    be to a virus if it had consciousness?
   More Lateral Thinking Puzzles    
Some lateral-thinking riddles and puzzles involve a scenario,    real or imagined, and a selection of materials to be used to    accomplish something. Imagine a ping-pong ball in the bottom    of an iron pipe that is set in cement. The pipe sticks up two-feet,    perfectly vertical, and is less than a millimeter larger inside    than the ball. If you have only a box of frosted-flakes, and    a piece of plastic (6'x6'), how many ways can you think of to    get the ball out of the pipe? Of course, if you set this up for    real, you'll know for certain if a proposed solution will work,    but either way it is a good mental exercise.
- See more at: http://www.increasebrainpower.com/lateralthinkingpuzzles.html#sthash.PDrSFBpG.dpuf
Classic Lateral Thinking Exercises
Test yourself with these thinking excercises.  The solutions are at the bottom of the page. Don't be lazy. Try hard to figure these out before you look! It'll be a lot more satisfying.
There is a man who lives on the top floor of a very tall building. Everyday he gets the elevator down to the ground floor to leave the building to go to work.  Upon returning from work though, he can only travel half way up in the lift and has to walk the rest of the way unless it's raining!  Why?
A man and his son are in a car accident.  The father dies on the scene, but the child is rushed to the hospital.  When he arrives the surgeon says, "I can't operate on this boy, he is my son! " How can this be?
A man is wearing black.  Black shoes, socks, trousers, coat, gloves and ski mask.  He is walking down a back street with all the street lamps off.  A black car is coming towards him with its light off but somehow manages to stop in time.  How did the driver see the man?
One day Kerry celebrated her birthday.  Two days later her older twin brother, Terry, celebrated his birthday.  How?
Why is it better to have round manhole covers than square ones? This is logical rather than lateral, but it is a good puzzle that can be solved by lateral thinking techniques.  It is supposedly used by a very well-known software company as an interview question for prospective employees.
A man went to a party and drank some of the punch.  He then left early.  Everyone else at the party who drank the punch subsequently died of poisoning.  Why did the man not die?
A man died and went to Heaven.  There were thousands of other people there.  They were all naked and all looked as they did at the age of 21.  He looked around to see if there was anyone he recognized. He saw a couple and he knew immediately that they were Adam and Eve. How did he know?
A woman had two sons who were born on the same hour of the same day of the same year.  But they were not twins.  How could this be so?
A man walks into a bar and asks the barman for a glass of water. The barman pulls out a gun and points it at the man.  The man says 'Thank you' and walks out.  This puzzle claims to be the best of the genre.  It is simple in its statement, absolutely baffling and yet with a completely satisfying solution.  Most people struggle very hard to solve this one yet they like the answer when they hear it or have the satisfaction of figuring it out.
A murderer is condemned to death. He has to choose between three rooms. The first is full of raging fires, the second is full of assassins with loaded guns, and the third is full of lions that haven't eaten in 3 years. Which room is safest for him?
A woman shoots her husband. Then she holds him under water for over 5 minutes. Finally, she hangs him. But 5 minutes later they both go out together and enjoy a wonderful dinner together. How can this be?
There are two plastic jugs filled with water. How could you put all of this water into a barrel, without using the jugs or any dividers, and still tell which water came from which jug?
What is black when you buy it, red when you use it, and gray when you throw it away?
Can you name three consecutive days without using the words Monday, Tuesday, Wednesday, Thursday, Friday, Saturday, or Sunday? (or day names in any other language)
This is an unusual paragraph. I'm curious how quickly you can find out what is so unusual about it. It looks so plain you would think nothing was wrong with it. In fact, nothing is wrong with it! It is unusual though. Study it, and think about it, but you still may not find anything odd. But if you work at it a bit, you might find out.
This is probably the best known and most celebrated of all lateral thinking puzzles.  It is a true classic.  Although there are many possible solutions which fit the initial conditions, only the canonical answer is truly satisfying.
The solutions are below. Don't be lazy. Try hard to figure these out before you look!
> > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > >
Solutions
The man is very, very short and can only reach halfway up the elevator buttons.  However, if it is raining then he will have his umbrella with him and can press the higher buttons with it.
The surgeon was his mother.
It was day time.
At the time she went into labor, the mother of the twins was traveling by boat.  The older twin, Terry, was born first early on March 1st.  The boat then crossed a time zone and Kerry, the younger twin, was born on February the 28th.  Therefore, the younger twin celebrates her birthday two days before her older brother.
A square manhole cover can be turned and dropped down the diagonal of the manhole.  A round manhole cannot be dropped down the manhole. So for safety and practicality, all manhole covers should be round.
The poison in the punch came from the ice cubes.  When the man drank the punch, the ice was fully frozen.  Gradually it melted, poisoning the punch.
He recognized Adam and Eve as the only people without navels. Because they were not born of women, they had never had umbilical cords and therefore they never had navels.  This one seems perfectly logical but it can sometimes spark fierce theological arguments. (Just what a HUMOR list needs!!) ;^)
They were two of a set of triplets (or quadruplets, etc.).  This puzzle stumps many people.  They try outlandish solutions involving test-tube babies or surrogate mothers.  Why does the brain search for complex solutions when there is a much simpler one available?
The man had hiccups.  The barman recognized this from his speech and drew the gun in order to give him a shock.  It worked and cured the hiccups--so the man no longer needed the water.  The is a simple puzzle to state but a difficult one to solve.  It is a perfect example of a seemingly irrational and incongruous situation having a simple and complete explanation.  Amazingly this classic puzzle seems to work in different cultures and languages.
The third. Lions that haven't eaten in three years are dead.
The woman was a photographer. She shot a picture of her husband, developed it, and hung it up to dry.
Freeze them first. Take them out of the jugs and put the ice in the barrel. You will be able to tell which water came from which jug.
The answer is Charcoal.
Sure you can: Yesterday, Today, and Tomorrow!
The letter "e," which is the most common letter in the English language, does not appear once in the long paragraph...
Alternate Solutions
Kyle Powerly offers several alternate solutions that fit and that are actually simpler, thus meeting Occam's Razor. (when presented with two explanations, the simpler of the two is probably the correct one)
Because one of them did not necessarily celebrate their birthday on the day they were born, but celebrated later or earlier.  Much simpler than having Mom giving birth while crossing the International Date Line and tossing in a Leap Year and the like.  Needlessly complicated.
Because he was the one who put the poison in the punch.  Of course he wouldn't drink any *after* he poisoned it.  Who goes to the effort of making poison ice cubes, except Bond villains and those bad guys in the "Encyclopedia Brown" mystery stories we read in elementary school?
Because they were adopted.  It's a coincidence they were born on the same exact day.  OK, so Occam's Razor could be applied equally to both solutions...
Other alternate solutions offered:
Elaine wrote: There's another good answer to the gent in black being seen by the black car. (#3)  Both were lit by the headlights of a car coming the other way.
[2]
7 Lateral Thinking Questions to Promote Out-of-the-Box Thinking April 8, 2014  by
C. Paris
The term “lateral thinking” was coined in 1967 by physician and inventor Edward de Bono, to describe a kind of out-of-the-box reasoning and critical analysis of scenarios that call for more than just typical step-by-step logic to solve. Lateral thinking is related to creative problem solving and critical thinking, all valuable skills to have, and applicable to more than just creative or scientific endeavors.
So how do you improve your creative problem solving skills? Simply review the lateral thinking questions in this guide and refer to the very end of the article for answers. When we examine lateral thinking questions and scenarios, we’re forcing our minds to think critically about things that we might otherwise dismiss or fail to understand completely. In these challenges, our critical thinking strengthens.
For more, check out this critical thinking and problem solving course, and this guide on specific problem solving skills and how to acquire them.
What is Lateral Thinking?
Before we dive into the lateral thinking questions, it’s important to know exactly what lateral thinking is, and how it differs from critical thinking. While lateral thinking is certainly “critical,” as a specific train of thought, it is not the same as what we call “critical thinking.”
According to de Bono himself, while critical thinking is about examining the pieces in play in any given scenario, lateral thinking is about rejecting the “status quo” of ideas and conceiving entirely new ways of looking at a problem. It’s about bringing new pieces into the puzzle, rather than just working with what you have. You can check out this course on thinking outside the box for more detail.
If you’re looking for a guide on critical thinking, check out this course, or refer to this guide on critical thinking exercises.
Lateral Thinking Questions
Think about what we learned above as you consider the lateral thinking questions below. Each question will have a corresponding answer at the end of this article, where we’ll briefly explain how the thinking required to solve each scenario is uniquely “lateral.”
Lateral Thinking Question #1
Someone falls out of a thirty story building, but lives. With luck and their landing pad not being factors, how could they have survived the fall?
Lateral Thinking Question #2
There are a dozen eggs in a carton. Twelve people each take a single egg, but there is one egg left in the carton. How?
Lateral Thinking Question #3
A boat has a ladder that’s ten feet long, and hangs off the side of the boat, with its last two feet submerged in water. If the ocean tide rises five feet, how much of the ladder will be underwater?
Lateral Thinking Question #4
There are ten birds perched on a fence. A farmer aims his rifle and shoots one. How many birds are left?
Lateral Thinking Question #5
What weighs more – 100 pounds of feathers, or 100 pounds of quarters?
Lateral Thinking Question #6
Which countries have the 4th of July out of the United States, the United Kingdom, France, Germany, Australia, and Canada?
Lateral Thinking Question #7
If you were alone in a dark cabin, with only one match and a lamp, a fireplace, and a candle to choose from, which would you light first?
Lateral Thinking Questions: Answers
Answer #1
The person fell out of the first-story window. A critical thinker might try to identify possible landing pads that would allow survival of a thirty-story fall, but the lateral thinker will realize that the story did not specify what floor the person fell out of. They can safely, within the logic of the story, conclude that the person fell out of a ground floor window.
Check out this course on creative problem solving for more on this type of logic.
Answer #2
The last person took the carton with the egg inside. This question challenges our ability to break outside of patterns, and introduce concepts not provided in the context of the story. Since everyone else in the story takes a single egg, the last person taking the whole carton is a new, but not impossible, scenario that the lateral thinker must conceive.
Answer #3
Two feet. If the ocean rises, so will the boat, and the amount of ladder under the water will remain the same. A critical thinker might be tempted to work out the math in this obvious trick question, but a lateral thinker will spot the attempt at misconstruction.
Want more tips to promote lateral thinking? Check out Flavors of Thought, a fresh thinking course for more ideas on thinking outside the box.
Answer #4
One – the dead bird that the farmer shot. This is another trick question. Some people might want to answer seven, since the farmer only shot one bird, while others might want to twist the story and suggest the farmer indirectly killed the others while just firing a single bullet. The correct answer is one, because after the farmer fires a single shot, the other birds fly away, startled.
Answer #5
They weigh the same – 100 pounds. This question is meant to trick the uncritical and unobservant listener from thinking that the material of the object affects its weight, even if there are 100 pounds of each.
Answer #6
They all have the 4th of July.  This question is a trick that will likely work only on Americans, since in the United States, the “4th of July” is a holiday also known as Independence Day. Their first train of thought when hearing  “4th  of July” will likely equate it with the holiday, making the easy answer “the United States.” Really, all countries “have” the 4th of July, since it’s just another day on the calendar.
Answer #7
You would light the match first. Without it, you couldn’t light any of the other appliances. This is another question that encourages the thinker to break free of assumed patterns and think outside the box.
Check out this course on “whole brain thinking” to maximize your critical, analytical, and lateral thinking potential.
If you’re interviewing for a technology company, you might be asked lateral thinking questions to supplement questions on your engineering background. Check out this course on how to prepare for an interview, and this critical thinking academy course for tips on solving tough, lateral thinking questions.
[3]
What are analytical, critical and lateral thinking skills?2 AnswersNikshep D Apasangi, HR Professional and Blogger1.4k ViewsAnalytical Vs. Critical Thinking Some people make the assumption that analytical thinking and critical thinking are one in the same. That is not actually true. You want to have the ability to differentiate the two so that you understand when you need to think critically and when you need to think analytically. When you think critically, you make the decision whether or not an event, an object or situation appears to be right or wrong. Once you are given information, you evaluate the data and determine how it should be best interpreted. You then make conclusions regarding your unique perception of the information. Moreover, you combine your new information with your current knowledge of the world in order to make the most accurate assessment you can make. You start to look into other pieces of data that could be relevant. In addition, critical thinking takes facts and uses them to form an opinion or a belief. As for analytical thinking, you use it to break down a series of complex bits of information. You take thinks step-by-step to develop an overall conclusion, answer or solution. You look at something through different points of view with the objective to create a cause and an effect. To illustrate, you might try to determine why dogs wag their tails, and then come up with the scientific answer. Also, with analytical thinking, you use facts to support your conclusion and train of thought. On the other hand, critical thinking is more of an opinion-based style of thinking. Analytical skills lead you to have a more focus and stream-lined approach to solution finding where critical thinking skills can go around in circles infinitely. When you have a complex-problem or solution to find, you would use your analytical skills. Developing Analytical Skills If you worry that your analytical skills are not up to par, never fear. They can be developed with time and consistent practice. Like a muscle, the more you use it, the stronger it gets. One way to start is to read more books. This may sound a little too simple of a solution but it really works. How does it work? Well, it helps when you read as actively as possible. Instead of passively skimming over paragraphs and grazing the pages, try to look at both sides of the story. For example, if you are reading a novel, try to see the plot from the perspective of the hero, the villain and other supporting characters. This causes your brain to think in new ways, and increase your stimulation. Thinking differently helps to expand your mind, which is critical. Another excellent option is to build your mathematical skills. Calculus, algebra and statistics all make use of logic and analysis. You need to go through each problem step-by-step in order to come up with the right answer. Sometimes, you have to work a problem multiple times before you finally figure it out. This can be frustrating, but you get better with focused practice. You can also work through different puzzles with the goal of solving them. Try going for a walk, and observing everything occurring all around you. If you see a squirrel, try to determine what it is doing, and then ask yourself why is it doing that? If it is eating nuts, is it being fed or hunting? Is the squirrel resting or watching? After your observations, let them settle in your mind. The next day, write down your observations. Can you recall your questions and answers? Lateral Thinking Lateral thinking is a term developed in 1973 by Edward De Bono, with the publication of his book Lateral thinking: creativity step by step. Lateral thinking involves looking at a situation or problem from a unique or unexpected point of view. De Bono explained that typical problem-solving attempts involve a linear, step by step approach. More creative answers can arrive from taking a step “sideways” to re-examine a situation or problem from an entirely different and more creative viewpoint. For example: Imagine that your family arrives home from a weekend trip to find Mom’s favorite vase broken on the floor beside the dining room table. Close examination shows that the family cat’s paw prints are clearly visible on the table top. Naturally, the family cat is in big trouble—right? The logical assumption would be that the cat was walking around on the table and had knocked the vase to the floor. But that is a linear assumption. What if the sequence of events was different? A lateral thinker might consider that the vase broke first—and then the cat jumped onto the table. What could have caused that to happen? Perhaps a small earthquake had occurred while the family was out of town—and the chaos caused by the trembling floor, the odd noises, and the crashing vase had caused the cat to jump onto the furniture? It is a possible answer! De Bono suggests that lateral thinking is necessary for coming up with solutions that aren’t so straightforward. It is easy to see from the example above that lateral thinking comes into play when solving crimes. Lawyers and detectives do employ lateral thinking when attempting to solve crimes, because the sequence of events is often not as straightforward it first appears to be. Lateral thinking is also a skill that researchers use when evaluating evidence or interpreting sources.
[PRODUCTIVE THINKING]
Background: The Productive Thinking Model was developed by Tim Hurson and is outlined in his book Think Better: An Innovator's Guide to Productive Thinking. The book also provides a guide for training oneself to think more creatively and more productively.
Description: Hurson's six-step, Productive Thinking, problem-solving and opportunity-finding framework relies upon the Creative Problem Solving Process (CPS) and NASA's IDE. It is designed to incorporate creativity techniques such as brainstorming and lateral thinking as needed. Like its predecessor CPS, Productive Thinking calls for both creative thinking and critical thinking in each of the following steps. 1. What's Going On? The first step establishes the context of the situation by identifying the "itch" or the problem that needs to be resolved. Four sub-questions help achieve this objective. 2. What is success? Imagine an ideal future in which your issue is resolved, and establish clear, observable success criteria to evaluate potential solutions. 3. What's the Question? Frame the challenge in the form of a question. Then brainstorm in order to elicit as many questions as possible. Cluster, combine, and move the most stimulating questions into the next step. 4. Generate Answers In this step, participants brainstorm solutions, then cull, cluster, combine, clarify, and choose one or more for further development. 5. Forge the Solution Evaluate three or four of the most interesting ideas against the success criteria. Choose the most promising. After asking what is good and bad about each, analyze, improve, and refine them into a robust solution. 6. Align Resources The final step transforms the selected ideas in an action plan with timelines, milestones, responsibilities, and a list of other issues to be resolved later.
0 notes
rz18 · 8 years
Text
Satuan Acara Pengajaran Mata KuliahHMAS600004 - Dasar-dasar Teori & Metode Penelitian Kebu PengajarDr. Lilie Mundalifah Roosman Dr Christina Turut Suprihatin S.S., M.A. Tujuan Perkuliahan Minggu Ke 1 Materi- Definisi Kebudayaan - Nilai-nilai kebudayaan - Kebudayaan dalam konteks - Kebudayaan dalam tataran: gagasan dan aspek sosial Media- Tampilan PP ReferensiReader Dasar-dasar Teori & Metode Penelitian Kebudayaan AktivitasCeramah & Diskusi Minggu Ke 2 MateriKebudayaan sebagai produk budaya (ekspresi & kreativitas) Media- Tampilan PP ReferensiReader Dasar-dasar Teori & Metode Penelitian Kebudayaan Aktivitas- Cearamah - Diskusi Kelompok - Tugas Kelompok Minggu Ke 3 MateriKebudayaan dalam tataran Media- Tampilan PP ReferensiReader Dasar-dasar Teori & Metode Penelitian Kebudayaan Aktivitas- Diskusi Kelompok Minggu Ke 4 MateriPosisi Ilmu Pengetahuan budaya alam relasi ilmu humaniora Media- Tampilan PP ReferensiReader Dasar-dasar Teori & Metode Penelitian Kebudayaan AktivitasCeramah & Diskusi Minggu Ke 5 MateriModel & Paradiigma Penelitian Budaya Media- Tampilan PP ReferensiReader Dasar-dasar Teori & Metode Penelitian Kebudayaan AktivitasCeramah & Diskusi Minggu Ke 6 MateriIlmu Budaya dalam pendekatan tekstual Media- Tampilan PP ReferensiReader Dasar-dasar Teori & Metode Penelitian Kebudayaan AktivitasCaeramah & Diskusi Minggu Ke 7 MateriIlmu Budaya dalam Pendekatan Etnografi Media- Tampilan PP ReferensiReader Dasar-dasar Teori & Metode Penelitian Kebudayaan Aktivitas- Ceramah & Diskusi Minggu Ke 8 MateriUTS Media ReferensiSAP mg 1-7 AktivitasUjian Esai Minggu Ke 9 Materi- Topik Penelitian - Rumusan Penelitian - Tujuan Media- Tampilan PP ReferensiReader Dasar-dasar Teori & Metode Penelitian Kebudayaan AktivitasCeramah & Diskusi Minggu Ke 10 MateriPenjaringan Data Media- Tampilan PP ReferensiReader Dasar-dasar Teori & Metode Penelitian Kebudayaan AktivitasCeramah & Diskusi Minggu Ke 11 MateriLatihan Menentukan topik dan menjaring data Media- Tampilan PP Referensi Aktivitas- Ceramah - Diskusi Kelompok Minggu Ke 12 MateriPenholahan Data Media- Tampilan PP ReferensiReader Dasar-dasar Teori & Metode Penelitian Kebudayaan AktivitasCeramah & Diskusi Minggu Ke 13 MateriLatihan Pengolahan Data MediaTampilan PP Referensi Aktivitas- Diskusi Kelompok - Presentasi Minggu Ke 14 MateriLatihan Menyususn laporan secara keseluruhan (topik, permasalahan, rumusan permasalahan, pendekatan) MediaTampilan PP Referensi Aktivitas- Diskusi Kelompok - Presentasi Minggu Ke 15 MateriRangkuman dan Umpan Balik Media- Tampilan PP Referensi AktivitasCeramah dan diskusi Minggu Ke 16 MateriUAS Media ReferensiBahan SAP 1-13 + mengumpulkan hasil laporan Aktivitas
Metodologi Penelitian Kebudayaan
Nov 27, 2013 by Fajar Muhammad Nugraha
Metodologi adalah sebuah sistem ilmu pengetahuan yang mempelajari metode. Sementara itu Metode merupakan cara yang dipakai untuk mengerjakan (melakukan) riset atau penelitian tertentu. Maka dari itu, pemahaman terhadap metodologi akan mustahil apabila penguasaan terhadap metode-metode penelitian diabaikan.
Sementara itu, objek-objek yang dapat diteliti secara ilmiah dan dapat diterima pada ranah akademik adalah objek-objek yang bersifat logis, artinya hubungan sebab-akibat yang jelas merupakan hal mutlak yang harus hadir di dalam sebuah penelitian (riset ilmiah).
Tulisan ini akan mengulas tentang kebudayaan, penelitian ilmiah di dalam ranah kebudayaan. Sebelum membahas lebih lanjut tentang penelitian ilmiah di dalam ranah kebudayaan, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui apa itu kebudayaan.
Kebudayaan
Kebudayaan berasal dari kata dasar “budaya” yang sesungguhnya sangat sulit untuk didefenisikan. “Budaya adalah salah satu dari dua atau tiga kata-kata yang paling rumit di dalam bahasa Inggris….karena saat ini kebudayaan telah digunakan untuk konsep-konsep penting di dalam beberapa disiplin intelektual dan pemikiran” (Raymond William. 1976: 76-7). Hal ini telah terlihat di awal tahun 1950-an, saat itu Alfred Kroeber dan Clyde Kluckhohn (1952) telah mengumpulkan  banyak definisi kebudayaan baik dari sumber-sumber populer, maupun dari sumber-sumber ilmiah.
Kata budaya yang dalam bahasa Inggris disebut “culture” sering diasosiasikan dengan kata “cultivation” yang memiliki arti “budidaya”.  Asosiasi ini memperlihatkan segala tindak tanduk manusia dalam kemampuannya mengolah alam sekitar sebagai bentuk dari peningkatan kecerdasan manusia dan peningkatan skil manusia dalam “menaklukan” alam sekitarnya untuk tujuan bertahan hidup (survival). Seiring dengan berjalannya waktu, istilah budaya juga mengacu kepada peningkatan skil seseorang di dalam masyarakat secara keseluruhan, jadi tidak hanya terkait dengan hal-hal “penaklukan” alam dan lingkungan sekitarnya. Hal ini seringkali dianggap sebagai sinonim dari muatan nilai di dalam peradaban (civilization). Jadi pada periode ini istilah budaya erat kaitannya dengan peradaban, dan orang yang dianggap berbudaya adalah mereka yang dianggap telah beradab hidupnya. Contoh yang diambil oleh masyarakat Eropa pada saat itu untuk membedakan orang yang berbudaya/beradab adalah dengan membandingkan orang Eropa dengan orang Afrika yang saat itu di antara keduanya terdapat perbedaan teknologi, moral, dan sikap. Mereka berpendapat saat itu bahwa orang Eropa adalah orang yang berbudaya/beradab terkait dengan kemampuannya dalam menaklukan alam dan lingkungan sekitar (kemajuan teknologi), dan juga terkait dengan moral dan sikap dalam menjalani kehidupan di dalam masyarakat. Sedangkan pada masa Romantisisme pada saat revolusi industri, istilah budaya juga mulai dikaitkan dengan perkembangan spiritualitas seseorang dan untuk membedakan perkembangan psiritualitas tersebut dengan perkembangan infrastruktur semata di dalam masa-masa perkembangan teknologi industri. Kemudian di akhir abad ke-19 muncullah infleksi yang menekankan bahwa tradisi dan kehidupan keseharian merupakan dimensi budaya. Hal ini tercermin di dalam ide budaya rakyat (folk culture) dan budaya nasional (national culture).
Menurut Williams (1976: 80) pergantian masa sejarah kehidupan manusia direfleksikan ke dalam kegunaan-kegunaan dari istilah “budaya”:
Untuk menunjukkan perkembangan intelektualitas, spiritualitas, dan estetika dari individu, kelompok, atau masyarakat.
Untuk membidik cakupan intelektualitas dan aktifitas-aktifitas artistik dan produknya (filem, seni, dan teater). Kegunaan budaya di sini bersinonim dengan kata “kesenian” (the arts), untuk itu kita bisa menyebut “Kementrian Budaya”.
Untuk menunjuk keseluruhan cara hidup, aktifitas, kepercayaan, dan kebiasaan individu, kelompok, dan masyarakat.
Kegunaan budaya yang pertama dan kedua adalah yang paling sering digunakan dan disintesakan di dalam ranah-ranah intelektual. Sedangkan kegunaan budaya yang ketiga diperjuangkan oleh banyak Antropolog dan menjadi pusat dari keilmuannya.
Kroeber dan Kluckhohn (1952) mengidentifikasi enam pemahaman utama tentang budaya berdasarkan kegunaanya yang ketiga:
Definisi deskriptif: cendrung melihat budaya sebagai totalitas komprehensif yang membentuk kehidupan sosial dan mengklasifikasikan berbagai bidang yang membentuk budaya.
Definisi sejarah: cendrung melihat budaya sebagai sebuah warisan yang diwariskan dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi.
Definisi normatif: membentuk dua bentuk. Bentuk pertama: menyarankan budaya sebagai aturan hidup yang membentuk pola-pola dari kebiasaan dan aksi konkrit. Bentuk kedua: menekankan peran dari nilai-nilai tanpa mengacu pada perilaku.
Definisi psikologis: menekankan peran budaya sebagai alat pemecahan masalah, memungkinkan orang untuk berkomunikasi, belajar, atau untuk memenuhi kebutuhan material dan emosional.
Definisi struktural: “interelasi aspek-aspek budaya yang terorganisasi” (Tylor: 61)
Definisi genetik: menentukan keberadaan budaya dan kelanjutan eksistensinya. Hal ini sedikit terkait dengan biologi. Jadi, budaya merupakan kemunculan interaksi manusia sebagai produk dari transmisi intergenerasi.
Walaupun ide-ide dari Kroeber dan Kluckhohn ini sangat populer, namun pemahaman tentang budaya senantiasa bergerak secara halus di dalam bidang teori kebudayaan. Perkembangan pemahaman budaya di dalam bidang teori kebudayaan dapat dipahami sebagai berikut:
– Budaya cenderung bertentangan dengan materi, teknologi, dan sosial struktural. Walaupun secara empiris relasi antara budaya dengan materi, teknologi, dan sosial struktural itu dapat ditelusuri, namun ada baiknya untuk melihat budaya sebagai sesuatu yang lebih abstrak dari sekedar “cara hidup”.
– Budaya dilihat sebagai dunia dari ide, spiritualitas, dan non-material. Hal ini diperlukan dalam pemahaman tentang kepercayaan, nilai-nilai, simbol-simbol, tanda-tanda, dan wacana.
– Penekanan diberikan pada “otonomi budaya”. Ini membuktikan bahwa budaya tidak hanya bisa dijelaskan melalui dasar kekuatan ekonomi, distribusi kekuasaan atau kebutuhan sosial struktural belaka.
– Usaha-usaha dibuat untuk tetap menjadi nilai-nilai yang netral. Studi budaya tidak hanya terbatas pada Kesenian, tetapi juga meliputi segala aspek dan tingkatan dalam kehidupan sosial.
Tahapan Kebudayaan
Van Peursen membagi tahapan kebudayaan ke dalam tiga bagian:
Tahapan mitis, yaitu sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif.
Tahapan ontologis. Ontologis merujuk kepada hal yang sifatnya “being” / “asal muasal”. Jadi, tahapan ontologis di dalam kebudayaan adalah sikap manusia yang tidak didominasi sepenuhnya oleh kekuasaan mitis, tetapi dengan sadar mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dirasakan oleh panca inderanya. Ontologi mengalami perkembangan yang cukup hebat pada kebudayaan masyarakat kuno yang sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan.
Tahapan Epistem. Di dalam filsafat ilmu, epistemologi dapat didefenisikan sebagai sebuah pembahasan mengenai perolehan pengetahuan. Pembahasan tersebut meliputi: sumber, hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan, probabilitas perolehan pengetahuan oleh manusia, dan kedalaman manusia dalam menganalisis dalam memperoleh pengetahuan.
Bagian-bagian Dasar Kebudayaan
Secara mendasar, kebudayaan memiliki tiga komponen utama, yaitu:
Asumsi dasar (mentalité)
Nilai dan norma
Tingkah laku, teks, dan artefak
Jika digambarkan, maka bagian-bagian mendasar di dalam kebudayaan akan terlihat sebagai berikut:
Penelitian Kebudayaan
Penjabaran singkat tentang komponen-komponen penting dan penjelasan tentang arti kebudayaan pada bagian-bagian sebelumnya secara eksplisit menunjukkan bahwa untuk mendapatkan hasil riset yang bagus dan objektif dalam ranah kebudayaan diperlukan dua pendekatan, yaitu:
Pendekatan intrinsik, yaitu peneliti ikut tinggal di lingkungan objek kebudayaan yang ingin diteliti dan mengikuti semua pola kehidupan di sana, sehingga secara kasat mata terlihat bahwa si peneliti adalah bagian dari kebudayaan tersebut.
Pendekatan ekstrinsik, yaitu pandangan dan peniliaian peneliti dari kacamata netral. Situasi ini menempatkan peneliti berada di luar dari kebudayaan yang akan diteliti dan peneliti dituntut untuk dapat melihat dan menilai objek yang akan diteliti sebagai sesuatu yang bukan merupakan kebudayaan si peneliti itu sendiri.
Dua pendekatan ini sangat dibutuhkan dalam memenuhi tahapan epistemik di dalam tahapan kebudayaan menurut Van Peursen. Tidak hanya itu, di dalam setiap metodologi – khususnya metodologi kebudayaan – harus mencapai tahapan ontologis dan epistemik.
Di dalam penelitian kebudayaan, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan, di antaranya yang paling sering digunakan adalah:
1. Metode deskriptif, yaitu sebuah totalitas komprehensif kebudayaan yang digambarkan untuk mendapatkan nilai (value) dari kebudayaan yang diteliti.
2. Metode defenisi logis, terbagi ke dalam dua cara, yaitu:
Secara historis, yaitu metode yang menjelaskan tentang warisan untuk generasi baru dari objek kebudayaan yang akan diteliti.
Secara normatif, yaitu metode yang digunakan untuk mengetahui: 1. aturan/jalan hidup obejk budaya yang diteliti, 2. Nilai (value) yang mengacu pada nilai tertentu juga.
Jika kita sekali lagi membaca penjelasan tentang metode deskriptif dan metode defenisi logis di dalam penelitian kebudayaan, maka kedua-duanya berbicara tentang nilai (value). Ini berarti peneliti di bidang kebudayaan dituntut untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan yang bagus di bidang hermeneutika supaya tidak terjadi salah tafsir dalam memaknai nailai-nilai yang ada di dalam sebuah kebudayaan. Hermeneutika kembali dipopulerkan pada abad ke-20 oleh seorang filsuf asal Jerman yang bernama Hans-Georg Gadamer (1900-2002).
Hermeneutika Gadamer merupakan proses produksi, bukan reproduksi. Hal ini erat kaitannya dengan fusi cakrawala (fusion of horizons), yaitu peleburan cakrawala pembaca (vorhabe, vorsicht, dan vorgiff) dengan cakrawala penulis melalui “teks”[1] yang telah ditulisnya untuk memaknai esensi yang terkandung di dalam suatu “teks”. Dengan demikian, pemakanaan suatu “teks” tidak berarti mencari ide-ide penulis yang dituangkan di dalam teks yang ditulisnya saja (proses reproduksi), melainkan setiap pembaca bisa memperoleh esensi suatu “teks” yang berbeda-beda sesuai dengan peleburan cakrawala setiap pembaca dengan cakrawala si penulis “teks” tersebut melalui “teks” yang ditulisnya. Di samping itu, cakrawala pembaca terhadap “teks” itu sendiri juga dileburkan pada tahap ini. Maksudnya adalah, kapan sebuah “teks” ditulis, oleh siapa sebuah “teks” ditulis, dan bagaimana kondisi masyarakat di saat “teks” itu ditulis juga menjadi bagian yang ikut dileburkan oleh pembaca dalam proses peleburan cakrawala ini untuk mendapatkan esensi dari sebuah “teks”. Jadi, suatu “teks” dipahami tidak untuk mencari tau ide-ide si penulis saja (proses reproduksi), melainkan suatu sintesa (proses produksi) dari proses peleburan cakrawala (fusion of horizons) yang dilakukan oleh pembaca “teks” tersebut.
Di samping penguasaan hermeneutika yang bagus, seorang peneliti di bidang kebudayaan juga dituntut untuk memiliki pemahaman estetika yang bagus, hal ini disebabkan karena estetika merupakan sebuah nilai (value) yang memegang peranan cukup sentral di dalam setiap penelitian pada ranah kebudayaan. Menurut Mudji Sutrisno:
“estetika merupakan paparan yang lebih mau menekankan pengalaman si subjek mengenai yang indah tanpa mau mencermati apakah asalnya dari objek kesenian alami (natural object) atau dari karya cipta manusia (artificial object).”
Hal ini sejalan dengan bagian-bagian kebudayaan yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Bagian kebudayaan nomor tiga terkait dengan artefak yang merupakan karya cipta manusia.
Kesimpulan
Ranah kebudayaan tidak hanya mencakup manusia sebagai subjek yang mengobjekkan hal, dan aktifitas lainnya di dalam suatu kebudayaan. Namun demikian, manusia itu sendiri bisa mengisi posisi objek di dalam sebuah penelitian kebudayaan.
Tiga bagian dasar kebudayaan dapat dijadikan acuan untuk menentukan objek yang akan diteliti di dalam sebuah penelitian kebudayaan.
Kemudian, untuk menghindari subjektifitas peneliti di dalam meneliti kebudayaan, maka diperlukan dua pendekatan yang digunakan di dalam penelitiannya, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik.
Metode deskriptif dan metode defenisi logis di dalam penelitian kebudayaan terkait dengan nilai-nilai (values) yang ada di dalam kebudayaan yang akan diteliti. Oleh karena itu, pemahaman di dalam bidang hermeneutika dan estetika juga menjadi penting bagi peneliti kebudayaan agar nantinya tidak terjadi salah tafsir di dalam melihat nilai dan memberikan penilaian terhadap sebuah kebudayaan.
Bibliografi
Berry, Peter. (2010). Beginning Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Jakarta: Jalasutra.
Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok : Komunitas
Bambu.
Smith, Philip. (2001). Seri Cultural Theory, An Introduction. U.K.: Blackwell Publishing Ltd..
Sutrisno, Mudji. (2011). Ranah-ranah Hermeneutika. Yogyakarta: Percetakan Kanisius.
Sutrisno, FX. Mudji & Hardiman, F. Budi (ed.). (1992). Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Percetakan Kanisius.
[1] Teks tidak hanya berupa tulisan, tetapi apapun yang bisa menjadi objek penafsiran.
METODE, TEORI, TEKNIK PENELITIAN KEBUDAYAAN IDEOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN APLIKASI (SEBUAH REVIEW BUKU KARANGAN SUWARDI ENDRASWARA)
14 April 2015
· by
jusmanjas
· in
Tak Berkategori
. ·
By: Maizola Anggraini
         Ketika seseorang akan melakukan penelitian kebudayaan , maka sadar atau tidak sadar akan di hadapkan kepada tiga istilah yaitu, penelitian kajian, dan studi budaya. Sepintas tiga istilah ini memang mirip. Bahkan ketiganya sering di gunakan bersaman-sama sehingga menimbulkan kerancuan. Memang ketiganya memiliki ideology yang kurang lebih sama. Dalam buku penulis menjelaskan tentang penelitian menurtnya, penelitian adalah menjelaskan fenomena budaya yang menggunakan kelengkapan dan langkah-langkah strategis.
Kelengkapan perangkat dan langkah-langkah itu akan di lalui seperti penyusna proposal, menentukan masalah, menentukan fokus, menyiapkan metode, pengumpulan data, analisis, serta kesimpulan. Namun perangkat ini tidaklah terlalu utama sehingga ada yang dapat di hilangkan, dan ini tidak mengurangi makna budaya , artinya langkah penelitian kebudayaan memang suatu hal yang fleksibel dan bukan harga mati. Fenomena budaya adalah mendeskripsikan fenomena tertentu.
Dalam buku ini di jelaskan, penelitian budaya tidak jauh bedanya dengan kajian budaya. Artinya penelitian dan kajian sebenarnya memiliki esensi yang sama. Keduanya memerluka langkah-langkah yang dalam implementasinya. Hakikat dari kajian adalah meneliti sebuah fenomena secara analitis. Jadi sesnungguhnya penelitian dan kajian adalah dua istilah yang tidak harus di pertentangkan dalam khasana deskripsi budaya. Yang penting bagi peneliti, pengkaji,dan penganalisis budaya tidak perlu ragu lagi memasuki wilayah permaknaan budaya, ketiga hal ini sebenarnya tidak mengupayakan tercapainya makna budaya yang signifikan.
Penelitian budaya memiliki filosofi yang cukup detil. Namu juga tidak berarti penelitian budaya serba sulit. Penelitian budaya tidak harus di lakukan oleh antropolog, arkeolog, budayawan dan sebagainya. Penelitian budaya bisa di lakukan oleh siapa saja. Yang penting dalam penelitian budaya penguasaan atas metode dan metodologi. Kedua hal ini adalah pegangan penting yang tidak bisa di tawar lagi sebelum melanjutkan untuk meneliti budaya. Keduanya memiliki makna yang berbeda. Motodologi penelitian budaya adalah penelitian filosofi yang membahas konsep teoritik berbagai metoda, kelebihan dan kelemahannya. Sedangkan metode penelitian budaya mengemukakan secara teknis tentang strategi yang di giunakan dalam penelitian budaya. Metodologi penelitian budaya akan menasari gerak metode. Metodologi adalah ilmu tentang sejumlah metode penelitian budaya.
Metodologi adalah ilmu tentang metode tentang penelitian, yang meletakkan dasar-dasar kajian. Metodologi jauh lebih luas di bandingkan metode. Karena di dalamnya di jelaskan bagaimana metode tertentu harus di tetapkan, menentukan kelemahan dan kelebihan masing-masing metode. Metode penelitian budaya, lebih banyak berbicara mengenai langkah-langkah penelitian secara oprasional. Metode berbeda dengan metodologi yang biasanya membicarakan aspek-aspek filosofis penelitian budaya. Di dalamnya menimbang kekurangan dan kelebihan salah satu metode.
Ketika akan melakukan penelitian kebudayaaan maka kita akan di hadapkan oleh masalah perspektif dan paradigma penelitian. Dimana kedua ini sering memberikan warna terhadap bagian penelitian budaya. Persepektif merupakan poin of view yang barangkali lebih mendekati realitas. Jika di pikirkan tidak satu perspektif pun dapat menangkap keseluruhan realitas yang di amati. Jadi, sat perspektif bersifat terbatas dan mengandung bias, karena hanya memungkinkan peneliti budaya mengkaji satu sisi saja dari “realitas” di luar sana. Paradigma ,menjelaskan dan meramalkan suatu fenomena budaya. Akhirnya dapat di simpulkan bahwa paradigma adalah kumpulan longgar tentang asumsi yang secara logis di anut bersama, konsep, atau proposisi yang mengarahkan secara berfikir dan dan cara penelitian. Orientasi atau perspektif teoritis adalah cara memandang dunia, asumsi yang di anut orang tentang sesuatu yang penting dan apa yang membuat dunia bekarja.
Setalah paham tentang perspektif dan paradigma, biasanya peneliti budaya masih sering di hadapkan pada aspek pendekatan dan model. Dari berbagai pendekatan yang di tawarkan bagi peneliti budaya itu, menunjukan bahwa pendekatan memang cukup luas. Ada sekian banyak ragam penelitian budaya, yang masing-masing tentu memiliki kelemahan dan kelebihan. Acuan munculnya ragam pendekatan pun bermacam-macam. Apabila penelitian di tafsirkan berdasarkan kaidah tertentu biasanya di pandng obyektif. Berbeda jika penafsiran di lakukan oleh seorang peneliti, akan memunculkan subyektivitas. Penyebutan istilah etik dan emik juga memilki impilkasi pada aspek pemaknaan fenomena budaya.
Ideologi merupakan gagasan yang merujuk pada perwujudan pemikiran tentang bagaiman penelitian budaya harus di lakukan. Penelitian budaya adalah sentral aktivitas penliti yang akan menentukan langkah-langkah mana saja yang harus di tempuh terlebih dahulu. Pilihan tersebut sebenarnya berangkat juga dari tataran ideology. Yakni seluruh hal berada dalam pemikiran atau gagasan.
Realita berupa fakta dan fenomena. Fakta adalah kejadian yang muncul dalam kotak budaya di masyarakat. Fakta adalah realita yang benar-benar terjadi atau ada. Pemahaman realitas budaya seharusnya berpegang teguh pada aspek rasionalistis. Rasionalistis akan membangun sebuah wilayah tersendiri. Di samping itu pula ada yang di kenal juga dengan dunia fantasi (yang tidak masuk akal) dan dunia empirik. Masing-masing paham ini dalam penelitian budaya memiliki wilayah yang kadang-kadang bersebrangan. Fakta dapat dapat di amati dan mendukung hadirnya realita. Sedangkan realita dapta benar-benar terjadi, akan, dan sedang terjadi. Realita bersifat ilmiah sehingga wujudnya bersifat apa adanya. Sehingga realita dan rakta akan memunculkan sebuah fenomena. Jadi, tugas penelitian budaya adalah mengolah fenomrna menjadi sebuah data yang akurat.
Epistemologi adalah ilmu yang menjadi dasar filosofi penelitian budaya. Penelitian buday memerlukan ke ilmuan yang luas dan mendalam. Ilmu yang terkait dengan perangkat penelitian, patut di pahami agar peneliti tidak terjebak pada masalah-masalahyamng sebenarnya tidak perlu. Epistemology terkait juga dengan penggunaan idiomatik (istilah) penelitian budaya yang kompleks. Idiomatic adalah hal ihwal tentang idiom. Istilah idiom biasanya memanfaatkan diksi (pilihan) kata dalam berbagai aspek penelitian.
Masalah yang tidak kalah penting yang sering hadir dalam penelitian budaya adalah obyektivitas dan subyektivitas. Pembahasan ini kadang-kadang menjadi pembicaraan yang tidak kunjung habisnya di kalangan penelitian budaya. Hal ini karena adanya pendapat bahwa penelitian budaya yang cendrung memanfaatkan penelitian kualitatif , di anggap kurang objektif. Berbeda dengan paradigma penelitian kuantitatif yang serba ilmiah dan terkontrol. Dan hal ini pun tidak di tolak oleh para peneliti budaya.
Objektivitas-ilmiah dan subjektivitas-tidak ilmiah sebenarnya memang telah lama ada pada penelitian budaya, terutama hadirnya peneliti budaya tafsir. Hadirnya penelitian budaya ini telah memunculkan beberapa keberatan, jika di kaitkan dengan ikhwal objektivitas dan subyektivitas. Hal ini barangkali memang gejala baru, terutama karya etnografi sebagai karya sastra, akan menghadirkan dilematis bagi peneliti budaya itu sendiri. Yakni, penelitian budaya itu sebuah ilmu atau seni. Kemudian jika etnografi di pandang sebagai sastra, maka sampai di mana kita akan memperlakukannya sebagai su ber data untuk membangun teori “objektif” tentunya.
Di satu sisi pemahaman seseorang dan budaya, juga sangat menarik, seperti halnya harus memahami perbedaan antara subjektif dan objektif. Di mana persoalan ini akan terkait pula dengan soal ilmiah dan tidak ilmiahnya dan juga humanistik atau science,akademik atau puistis, ilmiah atau bernada sastra. Dalam kajian budaya(antropologi), istilah objektif dan subjektif sering juga di analogikan dengan pendekatan etik, (dari luar) dan pendekatan emik (dari dalam). Seperti di kemukakan Allport, studi emik bertujuan untuk meneliti makna cultural dari “dalam” ; analisisnyA cendrung bersifat idiografik ( bertujuan merumuskan proposisi-proposisi yang sesuai dengan kasus yang di teliti).
Sebaliknya pendekatan etik bersifat nomotetik (bertujuan menggeneralisasikan kasus kepada populasi). Jadi pendekatan emik cendrung memanfaatkan persepektif kualitatif, paradigma naturlistik, dan model etnografik, serta memanfaatkan kajian idiografik. Hal ini bisa saja penelitian budaya di lakukan denga perspektif kualitatif namun datanya di ambil secara objektif. Data yang di peroleh ketika peneliti turun ke lapangan sebenarnya juga suda mempunyai bayangan atau asumsi-asumsi tentang permasalahan yang akan di angkatkan. Tinggal saja bagaimana sumber atau data itu di dapatkan apakah bersifat objektif dengan ketentuan-ketentuan yang tertentu atau bersifat subjektif berdasarkan kategorinya.
Dasar-dasar Teori dan Metodologi Penelitian Kebudayaan >.<
October 21, 2013
annisarah
Huwooow minggu ini bakalan jadi minggu yang cukup berat di kampusku…minggunya UTS di seluruh penjuru! Well, exam fills the air…dimana-mana tercium aroma belajar untuk ujian. Kamukah salah satunya? :D
Nah, besok pagi adalah jadwalku untuk mengikuti UTS Dasar-dasar Metodologi Penelitian dan Kebudayaan, matkul wajib FIB UI yang ada di semester 5. FYI, matkul ini adalah matkul yang membahas tentang cara penelitian, terutama penelitian bertemakan sosial budaya karena FIB adalah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Matkul ini termasuk matkul yang penting banget sebagai bekal penulisan skripsi kelak.
By the way, seperti biasa, aku belajar dengan cara membaca, lalu menghapal, lalu aku tuangkan dalam rangkuman. Biar gak bosen-bosen amat, sembari ngeblog deh…siapa tau bermanfaat untuk teman-teman lainnya. Yuk deh cus, silahkan baca :)
Penelitian
Penelitian adalah…
•Proses menjawab suatu masalah yang menjadi perhatian peneliti dengan menggunakan metodologi yang sesuai•Upaya sistematis untuk menemukan jawaban atas masalah/pertanyaan mengenai suatu fakta/objek yang menjadi perhatian.Tujuan dari penelitian yaitu:•Menemukan solusi atas sebuah masalah•Menjelaskan sebuah fenomena baru•Menghasilkan pengetahuan baru•Mensintesiskan hasil-hasil penelitian yang sudah ada•Mengkaji ulang penelitian yang sudah ada•Menguji sebuah teori•Dsb.Sedangkan penelitian ilmiah adalah penyelidikan yang sistematis, terkontrol, empiris dan kritis terhadap fenomena-fenomena alami dengan dipandu teori dan hipotesis-hipotesis tentang hubungan yang diduga terdapat di antara fenomena-fenomena tsb.
Perbedaan antara penelitian ilmiah dengan penelitian bukan ilmiah terletak padateorinya.  Penelitian ilmiah selalu berlandaskan pada teori , sebaliknya, penelitian bukan ilmiah tidak memerlukan teori.
Oleh karena itu, kita perlu tahu nih syarat-syarat suatu penelitian dapat dikatakan ilmiah (Ciri-ciri Penelitian Ilmiah):
•Bertujuan menjawab masalah, kemudian hasilnya digunakan untuk…
a. untuk pengembangan ilmu, maka disebutpenelitian murni
b. untuk pengambilan keputusan, maka disebut penelitian terapan
•Sistematis
artinya, menggunakan kerangka berpikir yang terstruktur, hubungan antara bagiannya logis dan saling ketergantungan.
•Objektivitas
Analisis data harus objektif, berdasarkan fakta aktual, bukan emosional.
•Kritis
Hasil penelitian terbuka untuk dikritik, diuji ulang dan ditelaah, serta menggunakan parameter yang dapat diterima.
•Empiris
Berdasarkan fakta yang ada, berdasarkan realitas.
•Generabilitas
Hasil penelitian tsb sama jika diterapkan pada populasi yang lebih luas, dapat menyamakan dan menangkap konsep yang sama untuk lingkup yang lebih luas.
•Replikabilitas
Hasil penelitian dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya, terbuka untuk diteliti ulang oleh orang lain
•RasionalDapat diterima oleh akal sehat.Lantas, apa aja kegiatan dalam penelitian ilmiah? Nah ini dia kegiatannya…•Menentukan masalah penelitian yang bersumber dari suatu teori tertentu•Membuat rancangan penelitian (penetapan kerangka teoritis dan metode yang digunakan)•Mengumpulkan data•Menganalisis data•Menarik kesimpulan teoritisBegitu kompleksnya suatu penelitian, membuat penelitian terbagi-bagi nih, Sob. Pertama, berdasarkan tujuannya, penelitian dibagi jadi dua, yaitu:a. Penelitian dasar (basic research)Yaitu penelitian yang bertujuan untuk pengembangan ilmu. Penelitian ini sifatnya memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap suatu fenomena tanpa mempertimbangkan aspek penerapannya, jadi fokusnya ini mendukung teori yang sudah ada, Penelitian ini disebut juga pure research atau theoretical research.Contoh: penelitian yang menunjukkan bahwa kualitas fisik buku dipengaruhi suhu penyimpanannyab. Penelitian terapan (applied research)Yaitu penelitian yang bertujuan untuk menjadi dasar tindakan/pengambilan keputusan. Penelitian ini sifatnya memberikan pengetahuan praktis untuk langsung diterapkan dalam keidupan sehari-hari.Contoh: (masih nyambung sama contoh sebelumnya) penelitian cara pengaturan suhu penyimpanan buku yang baik dan benar untuk menjaga kualitas fisik buku tsb.Penelitian terapan ini dibagi lagi dalam 3 jenis, antara lain:-Penelitian Evaluasi, digunakan untuk menilai, mengukur suatu program, kinerja atau kebijakan. Contoh: penelitian seberapa efektifkah OPAC membantu pengguna dalam menelusur informasi di perpustakaan.-Penelitian Pengembangan, digunakan untuk pengembangan produk atau proses-proses efektif di masyarakat. Contoh: penelitian untuk mengembangkan sarana perpustakaan, tak hanya menyediakan ruang baca, tapi juga menyediakan ruang karaoke (gebleg si Sarah ini mah.hehe)-Penelitian Tindakan, hasilnya digunakan sebagai solusi untuk pemecahan masalah. Contoh: penelitian untuk mencari solusi agar masalah hilangnya koleksi di perpustakaan dapat diatasi.Nah itu baru berdasarkan tujuannya loh…sekarang yang kedua, jenis-jenis penelitianberdasarkan sifatnya, yaitu:a. Penelitian Historis (historical research), yaitu penelitian yang merekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif untuk menegakkan fakta yang sedang diangkat. Contoh: sejarah perpustakaan Kekhalifahan Turki Ustmani yang gemilang membuat peradaban Turki menjadi salah satu peradaban yang tinggi di dunia.b. Penelitian Deskriptif (dexcriptive research), yaitu penelitian yang menggambarkan fakta-fakta atau sifat-sifat populasi di daerah tertentu secara akurat, faktual dan sistematis. Contoh: penelitian sifat-sifat pengguna perpustakaan di daerah yang beriklim dinginc. Penelitian Perkembangan (developmental research), yaitu penelitian yang menyelidiki pola perurutan pertumbuhan/perubahan suatu objek. Contoh: penelitian mode pada wanita berulang polanya tiap satu dekade.d. Penelitian Kasus dan Lapangan (case study and field research), yaitu penelitian yang menyelidiki latar belakang dan interaksi suatu unit sosial secara langsung. Contoh: Penelitian interaksi antara pengguna perpustakaan dan pustakawan laboratorium perpus JIP UI  :Pe. Penelitian Korelasional (corelational research), yaitu penelitian yang mendeteksi sejauh mana variasi-variasi dari suatu faktor berhubungan dengan variasi-variasi dari faktor lainnya. Contoh: sejauh mana masalah pribadi mempengaruhi kinerja karyawan.f. Penelitian Kausal Komparatif (causal comparative research), yaitu penelitian yang mencari hubungan sebab akibat melalui pengamatan, atau mencari kembali faktor-faktor yang mungkin menyebabkan sebuah fenomena. Contoh: penelitian menunjukkan disebabkan pustakawan jarang tersenyum, mengakibatkan pengguna enggan untuk berinteraksi lebih lama.g. Penelitian Eksperimental Sungguhan (true-experimental research), sama seperti jenis penelitian sebelumnya, penelitian ini juga mencari hubungan sebab akibat namun dengan cara yang berbeda. Dalam penelitian ini, hubungan sebab akibat diselidiki lewat manipulasi terkontrol dimana salah satu objek dikondisikan tertentu, kemudian dibandingkan dengan obejk lain yang tidak dikondisikan apa-apa. Contoh: tanaman A diberi pupuk, tanaman B tidak diberi pupuk, kemudian tanaman A lebih subur, oh…jadi sebabnya tanaman A subur itu karena diberi pupuk.h. Penelitian Eksperimental Semu (quasi-experimental research).  Penelitian yang bertujuan mencari informasi yang dapat jadi perkiraan untuk eksperimen sungguhan yang manipulasi objeknya sulit untuk dikontrol. Contoh: Diperkirakan dengan semakin maraknya e-book, buku kertas akan semakin tersingkir. Objeknya adalah pembaca, yang mana dari segi perilaku, selera, kecenderungannya sulit untuk dikontrol dalam suatu eksperimen. Tidak seperti tanaman dalam contoh sebelumnya. Hehehe.i. Penelitian Tindakan (action research), bertujuan untuk mengembangkan keterampilan atau cara pendekatan baru dalam menyelesaikan masalah dengan penerapan langsung.Metode dan MetodologiMetode adalah…•Prosedur untuk mencapai tujuan•Prosedur/tahapan yang sistematis dan terorganisir untuk mencapai tujuan penelitian•Cara yang teratur dengan baik, sistematis untuk memudahkan kegiatan penelitian guna mencapai tujuan penelitian berdasarkan teori yang dipakaiDi dalam metode terdapat istilah teknik, yaitu…•Penjabaran dari metode à bagaimana menerapkan sebuah metode dalam kegiatan penelitian•Mencakup saat menjaring data, mengumpulkan data, mengolah data, menganalisis data, dan menyajikan hasil analisis dataContoh:  Metode kualitatif, maka teknik yang dilakukan dalam mengumpulkan data adalah dengan wawancara.Nah itu baru metode, sekarang kita bahas tentang metodologi. Metodologi adalah…•Ilmu yang digunakan untuk mendekati sesuatu atau seseorang yang sedang kita teliti untuk dibandingkan dengan teori•Studi yang logis dan sistematis mengenai prinsip-prinsip dasar yang akan mengarahkan penelitian•Mencakup: pemabahasan teoritis meteode-metode yang ada, kelebihan dan kekurangannya, serta pemilihan metode yang akan digunakan.Trus, gimana sih kaitan antara metode, teknik dan metodologi? Biar gampang jelasinnya aku kasih contoh langsung aja ya…
Contoh kasus–> penelusuran di perpustakaanMetode: – manual (menggunakan katalog kartu)
-otomatis (menggunakan katalog online)
Teknik: -cara menelusur koleksi lewat katalog kartu
-cara menelusur koleksi lewat OPAC
Metodologi:
-pembahasan kedua metode, kelebihan dan kekurangannya
-pemilihan metode yang sesuai dengan perpustakaan dan penggunanya
Secara garis besar, metode ada dua jenis, yaitu:1. Metode Kualitatif, gampangnya metode ini ciri-cirinya:•Memusatkan perhatian pada gambaran mengenai suatu hal berdasarkan pandangan manusia yang diteliti•Tidak dapat diukur dengan angka•Data yang dihasilkan mengandung makna•Bersifat induktif2. Metode Kuantitatif, dengan ciri-ciri:•Memusatkan perhatian pada objek yang secara nyata•Dapat diukur dengan angka•Data yang dihasilkan mengandung variabel-variabel•Bersifat deduktifMacam-macam pendekatan dalam metodologi penelitian, antara lain:•Pendekatan jauh. Contoh: menggunakan kuesioner•Pendekatan setengah jauh. Contoh: menanyakan lewat kertas dalam lingkup levih sedikit, lalu dikumpulkan•Pendekatan setengah dekat. Contoh: wawancara•Pendekatan dekat. Contoh: interaksi langsung, hidup bersama dengan objek penelitian
Selain itu, ada juga yang disebut instrumen, yaitualat yang digunakan dalam metodologi. Contoh: daftar pertanyaan, angket, dsb.
Well, sebenarnya tidak ada metodologi yang terbaik, hal itu kembali disesuaikan pada objek dan tujuan penelitian ya Sob.
Penelitian Kebudayaan
Sebelum kita tahu kayak gimana penelitian kebudayaan, kita kudu tahu dulu…
Teori Kebudayaan, yaitu salah satu bidang yang bertujuan memberikan pemahaman tentang prinsip-prinsip konseptual yang melandasi disiplin-disiplin ilmiah yang dicakupi budaya.
Kebudayaan, yaitu keseluruhan gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri dengan belajar.
So, bisa disimpulkan…
Pusat perhatian Ilmu Pengetahuan Budaya adalah pada manusia. Artinya, memandang manusia sebagai mahluk budaya, bukan mahluk biologis. Sehingga, fokus utama penelitian kebudayaan adalah pada manusia nya, mencakup:
-apa yang terdapat dalam diri manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial
-apa saja dalam diri manusia dan hal-hal terkait dirinya dari luar yang mendorongnya dalam berperilaku/bertindak.
Kerangka Teoritis
Secara garis besar kerangka teoritis adalah…•Kumpulan teori dan model literatur yang menjelaskan hubungan dalam masalah tertentu.•Seperangkat teori yang menjadi alur berpikir untuk mencapai tujuan penelitian•Menjelaskan bagaimana teorisasi hubungan faktor-faktor yang dianggap penting dalam suatu masalah•Biasanya disajikan secara ringkas, tidak mendetail•Hubungan antara konsepnya setaraLalu, apa saja fungsi kerangka teoritis?•Mendefinisikan/menguraikan masalah-masalah dan variabel-variabel yang terdapat dalam objek penelitian•Membatasi penyelidikan•Memberikan dasar teoritis dalam mengajukan masalah penelitian•Menjadi panduan untuk membentuka tahapan berpikirKerangka konseptualnah lho…kalau kerangka konseptual apa lagi tuh?•Peta yang menghubungkan konsep-konsep serta menunjukkan dimana, kapan dan bagaimana konsep-konsep tersebut saling terkait•Struktur alur pikir yang logis menjelaskan pentahapan teoretis dan metodologis suatu penelitian•Jadi, tak hanya sekedar teori, kerangka konseptual juga memaparkan metode yang dipakai dalam penelitian.•Hubungan antara konsep-konsepnya bertahap/sistematis
Sebenarnya fungsi kerangka konseptual dengan kerangka teoritis istilah fung ini rada-rada mirip, bedanya pada kerangka konseptual juga menjelaskan metodologi apa yang digunakan. Fungsi-fungsi kerangka konseptual:
•Memberikan gambaran yang jelas mengenai tahapan penelitian yang dilakukan•Memberikan petunjuk mengenai teori dan metode yang digunakan dalam penelitian•Memberikan petunjuk tentang pokok-pokok analisis yang perlu dilakukan hingga mencapai tujuan penelitian•Membatasi agar tahapan penelitian tidak menyimpang dari tujuan penelitian•Menghindari tahapan penelitian yang tidak diperlukanFungsi-fungsi dalam PenelitianSelain itu ada juga nih Sob fungsi-fungsi dalam penelitian. Mungkin istilah-istilah fungsi ini sudah akrab juga di telinga kamu. Berikut ini aku uraikan lebih pengertiannya ya..KonsepApa itu konsep? Konsep adalah…•Abstraksi dari fenomena sosial yang ditarik dengan cara generalisasi terhadap karakterisitik peristiwa/fenomena sosial tertentu.•Sejumlah pengertian atau ciri-ciri terkait berbagai objek, perisitiwa, kondisi, dsb.•Definisi singkat mengenai fakta-fakta dan gejala yang menjadi pokok perhatian penelitiAsumsiKebenaran ilmiah yang sudah tak perlu dibuktikan lagiHipotesis•Dugaan ilmiah yang perlu dibuktikan•Dugaan sementara mengenai gejala, perilaku dan keadaan sebagaimana yang diungkapkan dalam rumusan masalah•Pernyataan adanya hubungan antara variabel-variabel yang digunakan.•Sifatnya sementara, dapat berubah jika ada kebenaran baru di kemudian hari.Fungsi dari hipotesis sendiri antara lain…•Menegaskan tujuan penelitian•Membantu menetukan arah penelitian•Membatasi penelitian agar tidak menyimpang jauh dari tujuan penelitianTeoriSeperangkat pengetahuan (asumsi, hipotesis, hukum, proposisi) yang telah teruji kebenarannya dan memberikan pemahaman secara sistematis terhadap suatu fakta. Fungsinya antara lain:•Menjelaskan•Menata•Memberikan fokus•Mengamati•MengendalikanProposisiProposisi ya…bukan preposisi. Hehehe. Proposisi ialah…•Pernyataan hubungan antar konsep•Hubungan antar konsep dalam suatu teori•Secara formal dirumuskan dalam bentuk implikasi:  Jika….maka….
Nah, itulah seluruh materi mata kuliah ini sampai UTS. Semoga bermanfaat
0 notes