Tumgik
saksinyadunia · 3 years
Text
Pagi ini aku mengajak mu. Pergi ke makam abadi. Kau datang dengan baju serba hitam mu. Aku menunggu di depan gerbang, dengan baju serba hitam ku juga. Tidak lupa payung hitam kesayangan ku. Hari ini bulan mendung, hujan.
Motor mu semakin mendekat, dengan kamu juga tentunya. Sampai di depan ku, kau hanya tersenyum. Sembari menurunkan pijakan kaki untuk ku, kebiasaan mu bukan, selalu. Setelah aku naik motor mu. Rintik-rintik di langit sudah terlihat. Namun kita tetap menyusuri jalan setapak itu.
Sampai di makam. Aku turun dan kau menggenggam tangan ku. Untuk berjalan berdampingan. Setelah berada tepat di dua pusaran. “Lihat jiwa kita mati berdampingan, dikubur berdampingan” Kau hanya diam setelah mendengar kalimat pertama dari ku, sejak kita sampai disini. Dan aku suka diam mu.
Aku menancapkan bunga matahari pada kedua nisan itu. Yang kita beli diperjalanan. Kau membersihkan rumput liar yang menjalar.
Katamu ”terimakasih sudah pernah saling mencintai di kehidupan ini” “terima kasih sudah pernah saling menyayangi di kehidupan ini” jawab ku.
Tak lama bertatapan. Kau berdiri, pamit melanjutkan perjalanan di kehidupan selanjutnya. Aku? Aku masih duduk, namun tak lama, aku juga berdiri. Mengucapkan selama tinggal pada kedua makam jiwa itu “singkat namun membekas ya”
Dengan payung hitam ku, aku juga sama seperti mu. Pergi untuk melanjutkan perjalanan di kehidupan selanjutnya. Jalan kita telah berbeda.
0 notes
saksinyadunia · 4 years
Text
Suasana sore itu sungguh menenangkan. Aku dengan afogato; espresso dan ice cream sedang kau dengan americano-mu dan sebuah buku tapi tetap matamu tak bisa berpindah pandangan dari seseorang didepanmu.
Aku yang tengah menikmati suasana riuh tapi tidak bising sedang memanjai mataku dengan sekumpulan burung merpati dari balik kaca. Sesekali kudapati kau yang tak bosan-bosannya memandangiku. Aku terkikik kecil tiap kali mengetahuinya.
***
Kau mengantarku pulang dengan memayungi kita oleh kananmu. Kau selalu berjalan dipinggir trotoar sedang aku disebelah dalamnya. Udara sungguh melekit ke sendi. Sesekali aku mengusap-usap kedua tanganku sedang kirimu merangkul bahuku.
Hanya tersisa dua blok dan kita akan sampai. Namun aku masih ingin melanjutkan percakapan kita yang terputus sunyi tadi.
“Ini belum seberapa. Kau belum tahu sudah sebesar apa kerusakan pada diriku. Sudah berapa banyak yang tak bisa diperbaiki. Kau hanya tidak tahu saja.”
Aku menghentikan langkahku seketika. Kau terkejut sebab aku sudah tidak sejajar lagi disampingmu. Kau pun berbalik kearahku hanya menatapku dengan tatapan bingung namun kau tahu masih ada lagi yang tertahan dibibirku.
“Katamu kau kagum padaku sebab aku bisa sekuat ini. Setelah terbentur berulang kali dan aku membentuk diriku seperti ini.”
Aku berjalan mendekat, perlahan mendekati wajahmu. Kau hanya semakin menatapku dalam.
Saling memandangi diselingi nafas yang kedinginan akibat butir-butir putih seperti kapas gula semakin lebat menghujani. Saling menelisik kedalam masing-masing mata satu sama lain. Kemudian aku melanjutkan langkahku melewatimu.
“Kau hanya belum tahu iblis seperti apa yang sedang kau cintai.”
Aku membalikkan badanku yang setengahnya kearahmu sembari melemparkan senyum renyah. Lalu kembali melanjutkan perjalanan pulang tak peduli apa kau akan menyusulku atau tidak.
Kau masih berdiri ditempatmu dengan memegangi payung itu. Hanya terdiam dengan tatapan mata yang sama. Diam mematung memandangi punggungku yang mulai menjauh.
24 notes · View notes