Seorang penguasa dalam hal ini presiden dan para pembantunya, ketika memegang kendali pemerintahanya, haruslah kita kritisi, agar lembaga executif ini selalu lurus dan hati hati dalam menjalankan roda pemerintahanya..
Dalam negara demokrasi -yang mengkritisi executif itu , rakyat kebanyakanpun boleh boleh saja. Entah itu melalui surat pembaca dikoran, majalah atau di medsos yang kini banyak bertebaran. Sebagai warga negara, rakyat kecilpun mempunyai aspirasi.Idealnya aspirasi itu disalurkan melalui saluran yang sudah ada. Yaitu melalui badan Lgislatif. Namun sayangnya tuan-tuan dan puan-puan yang duduk di lembaga – yang dipilih dan digaji oleh rakyat itu- nampaknya kurang berfungsi sebagai mana mestinya.
Dalam lembaga tsb, terutama dipusat, meski ada yang tampak vokal hanya untuk kepentingan kelompoknya. Bahkan ada yang cuma nyinyir menyerang ke personal lawan politiknya .
Lembaga yang mengawal kinerja eksekutif selain tuan tuan di DPR/DPRD ini adalah Lembaga Swadaya Masyarakat . Namun sayangnya lembaga ini terutama didaerah daerah kurang begitu berbunyi, malahan sebagaian masyarakat memandang negatif karena ulah beberapa LSM yang melenceng dari fungsinya.
Dan yang terahir pengawal dan pengontrol pemerintahan adalah lembaga pers. Pers pasca orba dinegeri yang konon berisi insan insan yang santun, kini sebagian beringas dan bebas. Saking bebasnya terkesan liar tanpa adab. Hal ini di dapat kita lihat di Internet. Begitu riuhnya berita-berita yang belum jelas kebenaranya.
Kurangnya kontrol yang kritis namun obyektip terhadap pemerintahan, dimungkinkan adanya ketimpangan-ketimpangan yang merugikan masyarakat. Jangan salahkan eksekutif kalau suatu saat beliau-beliau bertindak seenaknya.
Beberapa bulan lagi di negri yang indah namun penduduknya gemar menyantap hoax ini akan diadakan pemilihan umum yang diadakan setiap lima tahun sekali. Pemilu yang memilih wakil rakyat ini bersamaan dengan pemilihan Presiden.
Rakyat diberi hak memilih wakilnya di Parlemen dan memilih Presiden dan wakilnya. Seperti lima tahun yang lalu, Calon Prsiden dan wakilnya hanya dua pasangan yang bertarung. Namun seperti yang sudah terjadi setiap lima tahun sekali, rakyat sepertinya akan menjadi korban karena para caleg yang akan dipilih kurang dikenal apalagi akrab dengan calon pemilihnya. Yang lebih membuat nelangsa dunia perpolitikan di negara ini adalah terdapatnya caleg mantan napi koruptor yang ikut bertarung dipesta demokrasi ini.
Dalam drama pilpres , untuk kali kedua pasangan lima tahun yang lalu bertempur kembali memperebutkan tahta tertinggi di negri yang belakangan banyak bencana ini. Hanya kedua calon cawapres yang berubah. Politik identitas atau isu agama dan fitnah masih menjadi amunisi dari penantang. Suka tidak suka inilah yang terjadi di negri ini.( fb )