Text
Buku-buku “Memutihkan” Kota
Pasca kongsi dengan Sarekat Islam, Muhammadiyah mendominasi ruang pendidikan. Termasuk penerbitan buku.
SEKILAS IA HANYA warung biasa. Menjajakan nasi rames, soto, aneka minuman, dan penganan pada umumnya. Letaknya di sebelah selatan jalan Pandu Dewanata. Daerah Kartopuran.
Namun bagi Firdaus Nugroho (67), ia bukan sekadar warung. Petak-petak bangunan itu adalah saksi biksu kiprah Surono Wiroharjono, ayah Firdaus. Sejak 1935 hingga 1996, Surono menjadi Pemimpin Redaksi harian dan majalah Adil. Majalah Islam yang dekat dengan Muhammadiyah.
“Dulu (kantor) menyatu sama rumah. Tapi sekarang bangunan dipecah-pecah jadi rumah. Bangunan kantor masih utuh,” ujar Firdaus. Rumah Surono menyatu dengan kantor Adil.
Semua bermula pada 1929. Muhammadiyah cabang Solo menyelenggarakan Muktamar Muhammadiyah di Solo. Salah satu putusan muktamar adalah mendirikan Uitgeefster Maattschappy, sebuah badan yang membidangi urusan penerbitan. Usaha itu kemudian diserahkan pada Hoofd Bestuur bagian Taman Pustaka.
Sebelum muktamar, penerbitan Muhammadiyah sebatas pada buku-buku sekolah. Penerbitan majalah dan koran belum tergambar.
“Penjelasan selanjutnya mengenai Badan Penerbitan tersebut yang diutamakan menerbitkan buku-buku untuk sekolah-sekolah Muhammadiyah,” tulis Surono Wirohardjono dalam peringatan majalah Adil ke-43. “Rupanya pada waktu itu pandangan Muhammadiyah untuk penerbitan koran sebagai mass media dan alat propaganda organisasi masih belum dianggap penting.”
Penerbitan media massa di Muhammadiyah baru diputuskan pada Kongres Muhammadiyah di Makassar pada 1932. Pertemuan itu memutuskan jika Muhammadiyah harus mengusahakan terbitnya surat kabar harian berdasarkan Islam, namun di luar organisasi Muhammadiyah.
Keputusan itu diserahkan pada Muhammadiyah cabang Solo. Tepat pada 1 Oktober 1932, surat kabar harian Adil terbit. Penerbitan itu dipasrahkan pada Perseroan Terbatas (PT) Adil.
Usia surat kabar Adil terhitung singkat. Pada 1936, harian itu berubah menjadi majalah mingguan. Keterbatasan modal jadi sebabnya. Waktu itu majalah berukuran 30x20 sentimeter menggunakan kertas koran beserta sampul berwarna hijau.
“Isinya lengkap, ada editorial, pandangan dalam dan luar negeri, roman (bukan picisan), gerakan kebangsaan ongkang-ongkang (ganti ruangan pojok). Sedangkan para pembantunya termasuk Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mohd Natsir, Wali Al Fatah pekalongan, dan redaksinya dibantu oleh Mohd Dimyati dan Abdullah,” tulis Abdul Basit Adnan dalam harian Pelita, 9 Februari 1985.
Semasa kependudukan Jepang, penerbitan mingguan itu sempat terhenti karena larangan pemerintah Jepang terhadap penerbitan swasta. Pada 1 Desember 1950 Adil kembali terbit dengan format harian. Lantas, sejak 1956 harian itu berubah format menjadi mingguan hingga akhir edarnya.
Kentingan belum berhasil melacak, kapan Adil terbit terakhir kali. Yang pasti, pengaruh ketokohan Surono Wiroharjono cukup kuat pada majalah ini. Sepeninggalan Surono pada 1996, kepengurusan Adil beberapa kali berganti.
“Yang terakhir dibeli oleh Republika, lantas mati sekitar (tahun) 2000 sekian. Sebab pas ‘97 saya jadi ketua PWI (Solo) itu masih (terbit),” ujar mantan Pemimpin Redaksi Adil tahun 1970-an Ichwan Dardiri (76).
Adil hanya satu dari sekian upaya Muhammadiyah “memutihkan” kota Solo.
UPAYA PEMUTIHAN di Solo jutru diawali seorang Haji Merah. Haji Misbach, seorang muslim sekaligus komunis, presiden perhimpunan Islam Sidik Amanat Tableg Vatonah (SATV) 1918. Waktu itu ruang geraknya sebagai perkumpulan tablig reformis. SATV dibentuk oleh Misbach sebagai upaya tandingan terhadap Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM) bentukan H.O.S. Tjokroaminoto. Di Solo, Muhammadiyah tumbuh bermula lewat perhimpunan bentukan Misbach ini.
Karena pergerakannya lebih mengarah secara politis, Misbach terbentur dengan SATV yang mulai kental dengan pergerakan sosial dan pendidikan. Ia hanya bertahan satu tahun sebagai pemimpin SATV. Lalu ia tetap berada di SATV menjadi mubalig. Memang masih menjadi anggota SATV, tapi pengaruhnya terhadap SATV dan Muhammadiyah tidak lagi terasa.
Setelah Sarekat Islam (SI) resmi berdiri di Solo awal 1912, ia menjalin kongsi dengan Muhammadiyah. Sebagai wadah pedagang Batik, SI menyokong pendanaan Muhammadiyah di Solo.
“Pada tahun yang sama, Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta. Organisasi ini menjadi partner perjuangan SI yang bergerak di bidang politik, sedangkan Muhammadiyah di bidang pendidikan dan dakwah,” tulis Syamsul Bakri dalam Gerakan Komunisme Islam Solo 1914-1942.
Muhammadiyah terus bergerilya. “Usaha dakwah Muhammadiyah tidak hanya dengan lisan dalam usaha melaksanakan pengajaran dan pembaharuan keagamaan. Upaya penerbitan buku-buku dan media cetak turut dilakukan,” tulis Alfian dalam Politik Kaum Modernis.
“Penerbitan itu berupa buku-buku pelajaran agama dan penerbitan-penerbitan berkala. Penerbitan buku-buku menjadi upaya pokok yang dilakukan Muhammadiyah untuk menyiarkan agama dan meratanya kebaikan agama secara mudah dan cepat.”
Kentingan menemukan buku terbitan Muhammadiyah pada 1926. Penerbitnya Taman Poestaka Soerakarta. Judulnya Wangsoelan Kang Patitis atau “Jawaban Yang Benar.” Buku ditulis oleh mubalig dari organisasi Muhammadiyah, R. Ichsan. Dengan bahasa Jawa ngoko, buku memuat isi tentang ajaran-ajaran Islam yang sengaja didakwahkan melalui penerbitan buku.
Buku terdiri dari tujuh bagian pembahasan ringkas. Kandungan buku berisi tentang kelahiran dan perkembangan Islam di tanah Arab hingga humanisme berdasar pandangan Islam. Bagi penulis buku Wangsoelan Kang Patitis, buku tak ubahnya sebagai layang atau surat.
“Ora loewih, kanggo panoetoepe karangan iki, akoe perloe aweh waroeh marang para kang matja layang ini, manawa panjeda marang agama Islam lan wangsoelane,…,”
(“Tidak lebih, untuk penutup karangan ini, aku perlu memberitahu pada yang membaca surat ini, kalau pertanyaan kepada agama Islam dan jawabannya,….”)
Para perempuan tak ketinggalan dalam gairah literasi. Pada 1941, Sebuah buku keagaaman Islam pernah diterbitkan oleh Persaudaraan Moeslimaat Soerakarta (PMS). Buku berjudul Penerangan: Oeroesan Waris dan Kawin Gantoeng.
Buku itu sengaja diterbitkan untuk menyambut kongres Poetri Indonesia di Semarang pada 1941. “Kami dari P. M. S., jaitoe badan perikatan dari 12 perkoempoelan kaoem istri Islam didaerah Soerakarta, setelah mengetahoei akan adanja peroendingan hal perbaikan perkawinan dalam kongres Poetri Indonesia jad. di Semarang,” tulis pengantar buku.
Buku itu juga diterbitkan untuk menjawab pertanyaan seorang pembaca. “… dan setelah mempeladjari boeah penanja Mr. M. Ulfah tentang masalah ini, boelatlah kata permoefakatan kami akan melahirkan pendapatan kami disamping fikiran Mr, M. Ulfah itoe.”
PMS merupakan organisasi perkumpulan perempuan muslim di Solo. Pengurus organisasi berjumlah 11 orang yang berasal dari 12 organisasi perempuan Muslim. Organisasi perempuan Muslim itu yakni: ‘Aisjiah, N. Moeslimat, P. I. A. S., R. Moeslimaat, P. A. I. bg. Poetri, P. I. I. bg. Poetri, N. ‘Aisjiah, S. I. A. P. bg. Poetri, N. Banaat, K. P. S. Pergam, P. W. K., dan Perdjoerais.
Buku dengan ukuran 20 X 12 sentimeter memuat pula iklan bernada keagaaman di sampul belakang bagian dalam dan luarnya. Pada bagian dalam, sekolah Madrasah Nahdhotoel Moeslimat Solo dipasang. Sekolah dasar itu beralamatkan di Kauman, Solo. Iklan sekolah dicantumkan fasilitas mata pelajaran pada berdasarkan kelas di sekolah. Mata pelajar meliputi Bahasa: Bahasa Jawa, Melayu, Arab, dan Belanda serta Agama: Fikih, Hadis, Tajwid, Tasawuf, dan sebagainya.
Biaya Pendidikan sebesar 55 sampai 60 sen setiap bulan. Pada sisi luar sampul belakang, iklan majalah Islam Islam Raja dimuat. Iklan majalah ditujukan pada kaum putri Islam di Indonesia. “Kaoem Poetri Indonesia. Batjalah!” cetak iklan itu.
Majalah beralamat di Jalan Tjojoedan STR. 28 Solo untuk kantor bagian administrasi. Sedangkan bagian redaksi terletak di Jalan Koesoemojoedan 37 Solo. Kurang mujur, Kentingan tidak berhasil menemukan alamat dan bukti cetak majalah tersebut.
SETJOJUDAN NOMOR 28, SOLO. Bila hidup di tahun 1950-an, Anda bisa menemui sebuah penerbit besar di alamat itu: AB Sitti Sjamsijah. Tapi jangan harap bisa menemukan alamat itu sekarang. Coba saja cari di Google Maps. Ketemu?
Pasti tidak. Kini, bangunan boekhandel dan penerbit Sitti Sjamsijah sudah berubah menjadi gedung bank Danamon. Letaknya di sebelah utara jalan Radjiman. Menurut penuturan warga sekitar, di belakang gedung berdiri bangunan lain yang dulunya jadi bagian penerbit. Kini beralih fungsi menjadi toko perlengkapan ibadah.
Sitti Sjamsijah memang bukan organ penerbitan Muhammadiyah. Namun, seturut keterangan Ichwan Dardiri, Sitti Sjamsijah sempat beberapa kali memberi donasi untuk penerbitan majalah Adil. Majalah ini memang mengandalakan dana dari donatur dan pelanggan tetap majalah.
Kentingan belum bisa melacak kapan dan mengapa Sitti Sjamsijah gulung tikar.
Temuan paling tua datang dari tahun 1927. Sitti Sjamsijah menerbitkan buku dengan judul IGAMA DAN PENGETAHOEAN. GODSDIENST EN WETENSCHAP. Buku itu dikarang oleh Voorzitter Moehammadijah Soerakarta., Kyai Moechtar Boechary. Dengan kertas sampul berwarna coklat mengkilat, buku berukuran 20 X 14 sentimeter.
Penggunaan bahasa Belanda mewarnai setiap halaman dalam buku. Meski buku berisi tentang ajaran agama Islam, sangat jarang berjumpa tulisan-tulisan Arab ayat-ayat Al-Quran – selain di halaman pembuka dengan sebuah kata Bismillah. Nukilan ayat-ayat itu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Penulis menyebar penerangan melalui tulisannya seputar kewajiban umat Islam dalam beragama dan berpengetahuan sesuai syariat.
Penerbit AB. Siti Sjamsijah pernah pula mencetak buku terjemahan berbahasa asing. Buku itu berjudul Pakistan The Struggle Of A Nation. Di bawahnya tertulis judul menggunakan bahasa Indonesia Perdjuangan Suatu Bangsa Menudju Republik Islam Pakistan. Buku ditulis oleh Quaid-E-Azam Ali jinnah, seorang pendiri negara Pakistan dan diterjemahkan oleh Roesli DMB.
Buku terbitan 1956 itu berwarna hijau, bergambar (dugaan kami) penulis buku dengan lambang bulan-bintang tepat di atasnya. Ukuran buku sekitar 23,5 X 13 sentimeter dengan jumlah 63 halaman. Di halaman pertama buku, tertulis harga buku seharga Rp. 7,-.
Buku mengandung tentang sejarah pendirian dan tercapainya kemerdekaan negara Pakistan. “Buku ini memaparkan setjara singkat rentetan peristiwa semendjak dari mulanja dan menerangkan pokok pangkal dan tertjapainja tuntutan mendirikan Pakistan,” tulis penulis di kata pengantar buku. Penulisan terjemahan bahasa Indonesia ditulis bersanding dan memaruh halaman dengan bahasa asli buku.
Di halaman akhir buku, terdapat iklan buku yang ditawarkan oleh penerbit. Iklan berjudul PESANLAH BUKU2 PENTING ! ! !. Iklan memuat penawaran berbagai ragam buku. Ada empat kelompok ragam buku, yakni: Buku-buku S.M.A; Buku-buku untuk Pamong pradja, polisi dll.; Buku-buku untuk Universitas; Buku-buku Agama; dan Untuk pemuda.
Harga buku disesuaikan berdasarkan ragam buku. Secara umum harga buku berkisar pada R 2,- hingga R 87,50. Di akhir iklan, penerbit menegaskan kepada pembeli untuk tidak utang, mengangsur, atau mengebon buku. “Pesanan kontan, tambah porto 10%.,” pungkas penerbit.[]
*Tulisan ini dimuat dalam majalah Kentingan berjudul Kertas, Kota, dan Kenangan (Edisi 24 tahun XXIII-2017).
0 notes
Text
Tak Meleleh Oleh Zaman
Laiknya kafe-kafe di tengah kota. Makanan dan minuman disediakan berdamping sorot lampu pijar. Tak melulu lidah, mata perlu dimanja pula oleh ruang dengan hiasan-hiasan.
Pukul lima sore, sebuah kafe tampak mulai pijar di pinggir jalan protokol kota Solo. Tepat di pojok perempatan Ngarsopuro, sebuah kafe es krim berdiri sejak 2015 lalu. Adalah New Es Krim Tentrem yang menyediakan rupa-rupa sajian es krim.
Kuliner ini terbilang legendaris. Sejak berdiri 1952 silam, es krim Tentrem telah menjadi ikon es krim di Solo. Usaha itu berawal dari sebuah bangunan beralamat di Jalan Urip Sumoharjo nomor 93. Seorang keturunan Tionghoa, Sulaiman membuka usaha katering es krim dan es puter. Usaha itu berkembang cukup baik dengan melayani eceran dan pesanan. Ia melanjutkan dan mengembangkan usaha orang tuanya di bidang es. Sebelumnya, orang tua Sulaiman memproduksi es potong dan es gabus.
Perjalanan es krim Tentrem mengalami pasang surut. Beberapa kali usaha itu melebarkan jangkauan penggemar es krim di beberapa titik di Solo. Tahun 2000an Tentrem mulai membuka di Matahari Singosaren. Lantas berkembang ke Solo Grand Mall. Pusat perbelanjaan batik di Solo Beteng Trade Center (BTC) pun tak ketinggalan dijamah Tentrem. Di ketiga tempat itu penjualan es krim berkembang sebatas pada model sekop yang menggunakan cone pada penyajiannya.
Di saat yang sama, penjualan dan pemesanan es krim di ‘rumah’ masih tetap berjalan. Di rumah, penjualan es krim lebih variatif, dibandingkan dengan di ketiga tempat lain. Pembaruan es krim dan es puter terus dilakukan demi menarik pembeli tanpa meninggalkan pakem cita rasa khas Tentrem.
Mulai tahun 2013, penjualan es krim di Matahari Singosaren dan Solo Grand Mall gulung tikar. Penjualan difokuskan pada dua tempat, di Urip Sumoharjo dan BTC. Tak disangka, animo pembeli membeli es krim pada tahun yang sama mengalami peningkatan cukup tinggi. Keadaan itu memaksa Tentrem untuk meluaskan jangkauannya.
Mujur, penikmat bertambah banyak, bahkan penikmat mulai berdatangan dari luar kota. Pada 2015 Tentrem mulai membuka kafe di Ngarsopuro. Usaha itu dijalankan oleh Didik Tedjo Saputro, yang terhitung sebagai ke generasi ketiga yang melanjutkan kebekuan es Krim Tentrem. Lantas, kafe di Urip Sumoharjo diubah menjadi dapur produksi sekaligus kantor pemasaran. Penjualan dipusatkan di Ngarsopuro, selain tetap membuka jangkauan di BTC.
Di Ngarsopuro, pengelolaan kafe dikembangkan mengikuti selera kekinian tanpa mengorbankan cita rasa kebanggaan. Perkembangan minat kuliner masyarakat yang selalu berubah, ditangkap Tentrem untuk tetap menjaga popularitas. Menu-menu dikembangkan tanpa meninggalkan konsep tata ruang interior untuk kenyamanan penikmat kafe.
Saat masuk kafe, pengunjung akan disapa dengan tulisan I Love Solo. Sapaan ikonis itu sengaja diberikan untuk menyapa setiap pengunjung yang datang. Pengelola telah menganggap es krim Tentrem sebagai identitas kuliner kota Solo di bidang es krim. “Tentrem sadar alasan pindah ke Ngarsopuro karena ingin jadi ikon es krim di Solo,” ujar Supervisor New Es Krim Tentrem, Muklis.
Di dalam kafe, pengunjung akan diajak menikmati kesejukan es dan keriuhan jalan utama kota Solo. Batas antara pengunjung dan kota hampir lenyap. Batas itu hanya berupa kaca-kaca bening yang memungkinkan pengunjung bisa menengok kota sembari penyatapan beradu cepat dengan es yang meleleh.
Konsep interior tak luput diperhatikan pengelola. Kursi-kursi kayu klasik dan sofa berjejer. Konsep City Garden dipilih untuk memberi rasa nyaman dan teduh kepada penikmat es krim yang berkunjung. Ornamen tanaman bunga-bunga menempati sudut-sudut ruang. Di tembok dan tiang-tiang tak luput dihias oleh tanaman-tanaman rambat hijau. “Kami memberikan nuansa kesejukan. Makanya konsepnya hampir kayak taman dan hutan di tengah kota. Kita sebagai penyejuk kota. Biar bisa melelehkan pengunjung,” lanjut Muklis.
Tak lepas pada interior, menu-menu jadi komoditas utama selalu dipertahankan kualitasnya. Konsep menu kekinian diangkat oleh pengelola tanpa meninggalkan cita rasa asli. “Kita variasi terus. Bentuk menunya juga direproduksi terus. Konsepnya (dari dulu) sama, pertahankan rasa khas,” tegasnya.
Tak hanya es krim, Tentrem menyediakan bermacam varian minuman, snack dan makanan. Varian minuman berupa Juice, Shakes, dan aneka Coffe. Tersedia pula makanan ringan seperti Kroket, Sosis, dan Clapetart. Sedangkan di makanan berat pengunjung bisa menikmati makanan khas Solo seperti Nasi Liwet dan Nasi Gudeg Kendil.
Di menu khas sekaligus spesial, es krim diolah menjadi bermacam olahan. Olahan-olahan berbahan es itu berupa es Lolly, es Pap, hingga Ice Tart. Varian Ice Tart menjadi varian terbaru dari Tentrem. Olahannya berupa perpaduan antara es krim dan tart yang divariasikan menjadi bermacam-macam bentuk mengikuti tren yang beredar. Secara rasa, hampir semua olahan berbahan es krim memiliki rasa yang sama. Pengolahan rupa saja yang membedakan antar olahan.
Variasi es krim pun turut direproduksi mengikuti tren dan minat penikmat es krim. Setidaknya ada sepuluh varian rasa yang terus dikembangkan oleh pengelola, yakni rasa durian, mint, greantea, redvelvet, red wine, taro, kacang ijo, pandan, dan sebagainya. Ada pula varian pokok yang terus dipertahankan, yaitu rasa oreo, mocca, stroberi, vanilla, coklat, blueberry, anggur, kopyor, raisin dan lain-lain.
Varian kopyor dan raisin selama ini menjadi rasa khas es krim yang dipertahankan oleh Tentrem. Kedua rasa itu dianggap telah menjadi identitas yang dimiliki oleh Tentrem. “Rasa kopyor dan raisin kita pertahankan terus, mengingat jadi identitas kami (Tentrem). Bahkan rasa-rasa itu tidak bisa ditiru oleh produsen es krim lainnya,” ungkap Muklis.
Dalam hal bentuk sajiannya, Tentrem memiliki ketentuan khusus yang terus dipertahankan. Sajian es krim ada dua macam bentuk, yakni Tutti Frutti dan Rainbow. Sajian Tutti Frutti memadukan es dengan berbagai macam buah-buahan seperti lici, stroberi, pisang, anggur, kiwi, dan sebagainya. Sedangkan sajian Rainbow merupakan permainan rasa dan warna pada es. Rasa dan warna pada es akan di tumpuk secara berlapis menjadi satu bagian.
Bagi pengunjung yang tidak begitu suka dengan es krim, tak perlu gusar. Sebab Tentrem menyediakan pula hidangan es dengan varian lain. Selain es krim, tersedia pula es Putri Ayu, Es Pelangi dan es Dewa Mabuk. Ketiganya itu semacam varian es yang mirip dengan es serut.
Es krim Tentrem tetap menawan dan membeku meski tren setiap waktu berubah. Ia punya keunikan yang secara historis menyimpan rasa adem dan menentramkan bagi setiap penikmat di setiap masanya. Meski teksturnya lembut, ia tak mudah luntur dan leleh oleh zaman.
Tulisan ini dimuat dalam majalah Kentingan berjudul Kertas, Kota, dan Kenangan (Edisi 24 tahun XXIII-2017).
0 notes
Text
Perbincangan Generasi
Beberapa waktu lalu, media sosial sempat riuh ocehan ihwal generasi. Ocehan-ocehan lantas menjadi guyonan sampai obrolan serius. Guyonan-guyonan warganet semacam ‘kids jaman now’, ‘generasi jaman now’, sampai ‘generasi micin’ itu viral. Bahan kelakar itu menjadi upaya pengguna media sosial untuk menertawakan diri dan orang lain secara virtual.
Pemakaian kata-kata seperti ‘jaman now’ dipahami sebagai rangkaian sikap yang dirasa berbeda dengan ‘jaman old’ atau waktu-waktu (lampau) sebelumnya. Tak kalah penting, kata-kata nyleneh seperti ‘micin’ yang berarti Monosodium Glutamat (MSG) dipakai warganet untuk bahan kelakaran. Sebab makanan yang yang mengandung zat itu konon bisa menimbulkan kebodohan pada orang yang mengonsumsi.
Sebelumnya, saat kita bersekolah di Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), bahasan generasi barangkali sebatas pecahan atas dua kubu. Di pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Sejarah misalnya, pembagian generasi berkutat pada generasi muda dan generasi tua. Pengajaran itu berpatokan pada aktivisme masa proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Situasi tidak berubah saat berada di universitas. Pembedaan jurusan-jurusan lantas memungkinkan situasi untuk mengaburkan konsep generasi. Seringkali yang dipakai adalah senior-junior. Tapi pemaknaannya kurang lebih sama. Ia masih berkutat pada dualismenya: tua dan muda.
Mahasiswa pembaca sekaligus aktivis pengagum Soe Hok Gie sekalipun, barangkali baru berhasil memahami tulisan-tulisan Gie yang terbatas pada dualisme itu. Dalam tulisan-tulisan Gie kita seringkali terjejali dengan kata-kata yang dekat dengan makna generasi maupun generasi itu sendiri. Seperti kata: pemuda, kaum tua, sampai angkatan. Ia kental dengan pemakaian kata-kata generasi untuk menandai masa. “Generasi Soekarno dengan dunia tahun-tahun dua puluhan, generasi Takdir dengan dunia tahun tiga puluhan, dunia Soeharto dengan suasana tahun-tahun empat puluhan. Dunia ini akan terus terbawa sampai akhir hidupnya,” tulis Gie dalam Generasi yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima di Kompas, 16 Agustus 1969 silam.
Tak hanya itu, generasi juga dipakai Gie untuk menandai peristiwa historis atas pembabakan masa. Kita bisa menjumpai pada tulisan berjudul Putra-putra Kemerdekaan: Generasi Sesudah Perang Kemerdekaan yang diterbitkan harian Indonesia Raya pada 5 Januari 1970. “Generasi ini bangkit dalam optimisme sosial setelah penyerahan kedaulatan. Mereka telah mengalami huru-hara politik, sosial dan ekonomi,” tulisnya pada masa itu.
Tapi seandainya kita mencermati, Gie sempat pula memaknai generasi dengan lebih rinci. Sebuah tulisan ditulis setelah kepulangannya dari residensi di Amerika Serikat (AS). Semasa itu kondisi politik, keamanan, bahkan agama di sana tidaklah begitu baik. Cengkeraman militer AS di Vietnam hingga perpecahan gereja Katolik memicu gerakan-gerakan pemuda yang dekat dengan nilai-nilai universal perdamaian, cinta, dan kemanusiaan. Gie mendeskripsikan kondisi generasi hippies saat itu dengan sangat apik pada Sebuah Generasi yang Kecewa yang terbit di Sinar Harapan pada 5 Maret 1969.
Di ranah akademis, bahasan generasi sudah barang tentu menjadi bahasan penting untuk dipelajari. Generasi mesti dipahami secara luas sebagai subjek yang turut andil dalam perkembangan pada masa tertentu. Terlepas dari bahasan secara historis, ia mesti masuk dalam kerangka sosiologis maupun antropologis. Sebab konsep generasi yang berdasarkan atas kelompok umur (cohort) demografis selalu terhubung dengan proses berkembangnya budaya, sosial, bahkan teknologi.
Secara sosiologis konsep tentang generasi sudah mulai mendapatkan ketertarikan sejak lama. Filsuf sekaligus Sosiolog kenamaan Hungaria, Karl Mannheim pada masanya pernah memasukkan generasi dalam karya besarnya yang banyak membahas mengenai generasi dalam kerangka Sosiologi Pengetahuan. Melalui karyanya Ideology and Utopia: An Introduction to the Sociology of Knowledge (1936) dan Man and Society in an Age of Reconstruction (1940) ia banyak menyebut istilah generasi.
Generasi menurutnya sebagai kelompok sosial yang ikut serta dalam membangun realitas sosial, selain kelas sosial. Ia melihat generasi lokasi/asal/tempat tertentu sebagai aspek kunci yang ditentukan dari perilaku, perasaan dan pikiran. Di sini, semacam ada perbedaan pendapat dan ide dalam memandang sebuah kelompok sosial tertentu, apakah mereka temasuk dalam kelas ataupun generasi.
Bagi Mannheim, kelas sosial terbentuk oleh posisi sosial ekonomi, sedangkan generasi mesti dipahami berdasarkan dari asal tempat secara historis. Lebih jauh menurutnya, generasi menjadi aktor yang turut berpengaruh dalam proses perubahan sosial. “Ini (generasi) adalah salah satu panduan yang sangat diperlukan untuk memahami struktur gerakan-gerakan sosial dan intelektual. Praktis, ini cara yang penting untuk seseorang dalam segera mungkin mencoba mendapatkan pemahaman yang lebih tepat dalam melihat perubahan sosial pada waktu kita saat ini,” (Mannheim, 2009: 163).
Ihwal generasi memang bahasan yang tak mudah hilang begitu saja. Ihwal ini selalu mencolek dan merayu untuk diperbincangkan dalam rangka lingkup aktivisme, akademis, sampai sebagai bahan guyonan. Sebutan generasi dengan embel-embel ‘jaman now’, tua-muda, hingga milenial tentu boleh-boleh saja. Sebab ia mesti dinyamankan sebagaimana keadaan memberi kemungkinan untuk membincangkan. Setiap masa dan generasi.
0 notes
Text
Upaya Menyalin Tubuh
Peradaban manusia dibangun tidak lepas dari adanya seni. Dengannya, seni bahkan dapat menjelaskan bagaimana perkembangan suatu peradaban manusia di suatu masa dibangun. Seni telah menjadi suatu hal yang esensial dan dekat bagi kehidupan manusia. Manusia menciptakan karya seni sebagai salah satu bentuk ekspresi diri dalam merespon dirinya sendiri maupun lingkungan sekitar.
Seni mencapai puncak dalam perkembangannya agaknya jauh pada 300 tahun sebelum masehi, adalah masa Yunani kuno. Meminjam perkataan dari Goenawan Mohamad dalam diskusi Seni dan Politik dalam Sejarah di Komunitas Salihara beberapa waktu yang lalu bahwa, Yunani kuno telah memberikan “khazanah” yang kaya mengenai persoalan-persoalan di bidang politik, kesenian, dan pemikiran. Yunani kuno dimasa itu telah menjadi titik tolak perkembangan kesenian dimana politik, pemikiran, serta seni secara beriringan berkembang dengan pesat. Ketiganya menjadi ihwal yang sangat serius diperbincangkan di tengah pemikir dan seniman pada masanya. Seni menempati tempat yang penting dalam kemajuan peradaban manusia pada masa itu. Seni yang berkembang pada masa itu adalah seni lukis, patung, dan arsitektur.
Seiring perkembangan zaman, seni ternyata tidak serta merta kehilangan eksistensinya sebagai suatu hal yang memiliki nilai estetis. Seni terus berkembang dengan baik, bahkan menciptakan cabang-cabang seni yang baru. Keindahan tentu menjadi identitas yang selalu melekat pada sebuah karya seni. Namun, disisi lain seni terus berkembang dan bergerak secara dinamis dalam menjaga eksistensinya. Bahkan, tak jarang seni berdampingan dan berkolaborasi dengan disiplin ilmu lain untuk menciptakan karya-karya yang baru dan menyegarkan. Tak ayal, jika sekarang seni tidak hanya berperan sebagai simbol keindahan, melainkan telah berubah sebagai sesuatu hal yang dapat dimanfaatkan untuk membantu manusia dalam mencapai kepentingannya.
Di era modern, seni telah bertransformasi menjadi sebuah komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Kapitalisme global yang berkembang pesat telah mengubah semua hal agar dilihat sebagai sesuatu yang memiliki nilai tukar dengan uang, termasuk seni. Tak dapat disalahkan pula jika sekarang seni mengalami pergeseran fungsinya. Seni menjadi barang yang mewah dan mahal yang diperebutkan dalam rumah-rumah lelang elit. Hal ini jelas membuktikan, seni bukan saja menjadi simbol estetis, namun juga simbol kekayaan (prestise). Tak hanya itu, seni juga dimanfaatkan oleh orang yang memiliki banyak harta untuk dijadikan aset ataupun tabungan yang pada waktu tertentu akan diperjual-belikan kembali.
Seni dan Tubuh
Pada tahun 2010 lalu, kita patut tercengang dengan adanya kabar yang menyebutkan bahwa, telah berhasil terjual sebuah karya patung yang dihargai dengan cukup - bahkan sangat - mahal di Amerika Serikat. Sebuah patung karya Alberto Giacometti yang berjudul L’Homme Qui Marche I berhasil terjual dengan harga Rp.1,39 triliun. Sedangkan pada awal 2015 lalu, sebuah karya lukis dari Pablo Picasso yang berjudul Women of Algiers (Wanita Aljazair) berhasil dilelang dengan harga Rp. 2,3 triliun di negara yang sama. Keduanya memegang rekor patung dan lukisan termahal di dunia untuk saat ini.
Ada hal yang menarik dari kedua karya seni tersebut. Keduanya menceritakan bagaimana kedudukan tubuh yang terejawantahkan dalam bentuk karya seni. Sebuah Patung karya Alberto Giacometti memperlihatkan seorang pria dengan tubuhnya yang kurus tengah melangkah dengan guratan wajah dengan ekspresi datar dan hampa. Sedangkan lukisan berjudul Wanita Aljazair, menggambarkan tubuh seorang wanita tanpa kaki dengan bagian dada yang dibiarkan mencuat keluar sebab busana yang dikenakan terlampau terbatas. Di sekitar wanita itu dilukiskan pula potongan-potongan bagian tubuh manusia dengan berantakan yang terkesan cukup absurd dan abstrak.
Dari dua karya seni tersebut kiranya kita bisa memahami bahwa, sejatinya tubuh telah menjadi objek yang sangat menarik untuk dapat diwujudkan lewat karya seni. Kita sering melihat karya-karya seni yang menjadikan tubuh manusia sebagai sebuah objek yang menarik untuk dilihat oleh anggota tubuh kita pula, mata. Bagian-bagian tubuh tertentu sangat menarik dieksploitasi untuk kemudian diproses menjadi sebuah karya yang menarik pula. Hal itu menandakan bahwa, tubuh manusia sejatinya adalah sumber keindahan yang memiliki nilai estetis yang khas. Konsepsi itu kini telah berhasil terbangun di otak kita, tentu dalam memaknai keindahan tubuh, tubuh kita, manusia.
Tak hanya memiliki nilai estetis, dalam seni tubuh juga sering dijadikan sebagai objek oleh seniman untuk berperan dan bercerita melalui karyanya. Dalam hal ini tubuh akan memiliki makna simbolis. Dalam lukisan misalnya, tubuh manusia akan digambar oleh pelukis dengan sedemikian rupa supaya orang lain yang melihat akan menangkap makna dari simbol yang digambarkan dengan gambaran bagian-bagian tubuh tertentu. Seorang pencipta karya seni sering memuat cerita tertentu dalam sebuah karyanya dengan menjadikan tubuh manusia sebagai simbolnya. Dengan simbol tersebut seorang pencipta akan dengan mudah menyampaikan cerita kepada orang lain melalui hasil karyanya. Di sisi lain, tubuh juga menjadi tanda yang secara semiotik akan mengandung makna-makna tertentu. Ia secara berkesinambungan akan menciptakan sebuah harmoni dalam terbentuknya cerita dari sebuah karya seni lewat tanda tersebut.
Menarik pula, tubuh manusia ternyata telah menjadi sesuatu hal yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tentu tak hanya di dunia nyata, dalam sebuah karya seni pun tubuh manusia memiliki nilai (harga) yang tingi pula. Hal ini dibuktikan dengan tingginya harga karya seni yang menempatkan tubuh sebagai objek karyanya. Manusia yang sejatinya berperan sebagai subjek dalam menentukan nilai tubuh, ternyata dalam waktu yang sama juga telah menjadi objek yang nilainya ditentukan oleh manusia lain.
Ternyata, seni dan tubuh merupakan dua hal yang saling terikat. Seni tidak otonom terhadap tubuh, begitupun sebaliknya. Seni menggunakan tubuh manusia sebagai objek dari sebuah karya seni yang indah, sedangkan tubuh juga dapat menikmati keindahan karya seni yang objeknya adalah tubuh itu sendiri. Kiranya, adillah sudah.
0 notes
Text
Sampah Sungai Belum Jadi Masalah Serius
Sabtu (10/10) menjelang siang, suasana kota Bandung mulai panas dan gerah karena matahari tampak begitu membara dalam menyinari kota ini. Hiruk pikuk kota semakin terasa saat menyusuri jalanan protokol di kawasan Dago. Begitu banyak kendaraan yang lalu lalang seakan menegaskan eksistensi kota ini yang penuh dengan aktivitas warganya yang sibuk.
Tak jauh dari jalan L.L.R.E Martadinata, tampak sebuah kampung yang padat akan bangunan-bangunan permanen yang saling terhubung antar satu dengan lainnya. Rumah, warung kelontong, hingga warung makan sederhana turut menjadi tempat yang sangat mudah ditemui di kiri-kanan jalan sempit yang menjadi jalan utama di kampung Taman Sari. Ibu-ibu terlihat mulai sibuk mencuci baju hingga memasak untuk keluarga. Sedangkan tak banyak Bapak-bapak yang ditemui di kampung padat itu. Disisi lain, banyak orang-orang saling lalu lalang meyibukkan diri mereka dengan aktivitasnya masing-masing.
Tak kurang dari dua meter dari pemukiman warga, sungai kecil mengalir dengan derasnya. Tak jarang, ditemui bangunan-bangunan yang menumpang diatasnya. Warga tidak terbiasa menyebutnya dengan sungai, melainkan parit. Sungai kecil ini dikenal dengan sungai Cikapayang. Sungai yang dulunya sempat menjadi sungai besar di Bandung yang saat ini sudah mulai menyempit karena desakan bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya. Namun, kecantikan akan derasnya sungai serasa sirna ketika terlihat begitu banyak sampah yang banyak mengambang di permukaannya.
Warga merasa sampah yang ada di sungai dekat kampung mereka bukan menjadi hal yang berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka. Sampah di sungai menjadi sebuah kewajaran yang mereka anggap tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari mereka. “Saya tidak terganggu dengan kotornya sampah, Mas. Yang terpenting kita sering-sering bersihin aja sih,” ungkap Lia (36) seorang warga yang rumahnya berada tepat di atas sungai Cikapayang. Mereka juga tidak khawatir jika suatu saat akan terjadi banjir besar, karena warga sering bahu-membahu kerja bakti untuk membersihkan sungai. “Biasanya RT menentukan untuk kerja bakti. Walaupun belum ada jadwal yang mengaturnya, Mas”, tutur Lia sambil tersenyum.
Senada dengan yang diungkapkan Lia. Warga lain juga merasa nyaman dengan sungai kotor yang ada di lingkungan mereka. “Saya udah di sini kurang lebih 63 tahun, tapi belum ada banjir yang besar disini karena meluapnya sungai. Biasanya sih cuman banjir kecil aja dan ga sampe masuk rumah, itupun dari air yang ada di jalan yang masuk kampung sini, bukan dari sungai,” ujar Pandang Rukhiyat (70). Sampah yang ada di sungai menurutnya bukan dari warga sekitar kampungnya, melainkan dari kampung-kampung yang berada di dataran atas yang membuang sampah. “Kita disini ga buang sampah di sungai, tapi di tempat sampah masing-masing dan nanti bakal diangkut sama petugas kebersihan sini,” ujar Pandang. Ia melanjutkan, “Warga disini udah sadar kebersihan lingkungan, mereka sering dikasih pengarahan sama Pak RT kalo ‘Jangan buang sampah sembarangan. Harus peduli lingkungan’ gitu, Mas”.
Sebagian warga sudah mulai sadar untuk menjaga kebersihan sungai dan lingkungan mereka. Namun, tidak senada dengan apa yang diungkapkan oleh salah satu mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), Fuad (19). “Beberapa warga Bandung mungkin udah mulai peduli dengan kebersihan sungai, tapi saya lihat hal itu belum dilakukan dengan baik oleh mahasiwa dan anak muda,” ungkap Fuad saat ditemui di kampusnya. “Banyak mahasiswa dan anak muda yang masih buang sampah sembarangan, kadang juga ada yang buang sampah di kali juga sih. Mereka belum sadar akan hal itu,” lanjut Fuad.
Permasalahan kebersihan akan sampah sungai menjadi hal yang sering disepelekan oleh masyarakat. Selanjutnya, kapan masalah akan sampah di sungai akan dianggap masalah serius bagi warga Bandung? []
*Tulisan yang kubuat dengan asal-asalan dan terlampau ngawur. Feature, yang menjadi tugas reportase pada Workshop Jurnalistik Perubahan Iklim dan Pembangunan oleh Friedrich Naumann Stiftung fuer die Freiheit (FNF), Freedom Institute, dan Indonesian Youth Team on Climate Change.
[Bandung, 10 Oktober 2015]
0 notes
Text
Edukasi Perubahan Iklim dalam Aras Keluarga
Oleh Muhammad Ilham
Perubahan iklim sudah menjadi diskursus global yang meminta perhatian semua negara. Di Indonesia, meski barangkali termasuk baru bersamaan dengan diskursus ekonomi lingkungan, isu perubahan iklim sudah diterima sebagai masalah bersama. Media massa terus memberitakannya, termasuk mengampanyekan gerakan green life. Namun, gerakan ini masih belum sampai pada tahap aras keluarga yang sebenarnya mempunyai kekuatan besar untuk keberhasilan penyadaran perihal perubahan lingkungan.
Keluarga, seperti kita tahu secara sosiologis, merupakan unit atau lembaga terkecil dalam masyarakat dan dengan itu menjadi pusat gerak masyarakat, termasuk dalam hal perubahan iklim. Keluarga dibentuk bukan saja karena adanya ikatan pernikahan, melainkan karena adanya konsensus antara dua individu–suami dan istri–untuk menjalankan peran, tugas, serta fungsi keluarga dalam suatu masyarakat. Kehidupan dalam masyarakat bisa terganggu dan pincang jika keluarga dalam masyarakat tidak dapat menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Maka, dibutuhkan keselarasan fungsi dalam keluarga agar kehidupan suatu masyarakat dapat berjalan dengan baik sesuai tujuan dari masyarakat itu sendiri.
Orang tua dalam hal ini bisa berperan aktif sebagai subjek yang menjalankan fungsi-fungsi dalam keluarga. Sedangkan anak akan memainkan peran sebagai objek dari fungsi-fungsi yang dijalankan oleh orang tuanya. Tak pelak, untuk menjalankan semua fungsi tersebut dibutuhkan hubungan yang baik antara anak dan orang tua.
Setidaknya ada lima fungsi pokok yang dimiliki oleh keluarga. Adalah fungsi reproduksi, afeksi, sosialisasi, ekonomi, serta edukasi. Kelimanya adalah fungsi yang sudah tak asing lagi bagi kita, walaupun beberapa dari fungsi itu tidak sepenuhnya dilakukan dengan baik pada setiap keluarga. Dari kelima fungsi tersebut misalnya, fungsi edukasilah yang dirasa kurang berperan aktif terlebih dalam ikut serta mencegah kerusakan alam dan perubahan iklim.
Dalam menjalankan fungsi edukasi, orang tua lebih cenderung memilih untuk memberikan pembelajaran secara formal saja kepada anak. Alasannya sederhana, kesuksesan untuk menggapai cita-cita dan pemenuhan materi menjadi hal yang paling esensial dalam melaksanakan fungsi ini. Si anak akan dipenuhi kebutuhan mengenai edukasinya secara intensif di sekolah. Sedangkan di sekolah, sejak sekolah dasar, anak akan diberikan pelajaran ilmu alam, salah satunya, yang sebenarnya hanya pada tahap pengenalan saja. Selebihnya anak harus aktif belajar sendiri. Saat-saat inilah, penting bagi orang tua untuk turut membantu dan memberikan edukasi mengenai lingkungan alam. Namun, hal tersebut seperti dilalaikan oleh orang tua yang menganggap pembelajaran mengenai alam sudah cukup diberikan di sekolah.
Akibatnya, anak akan memiliki kecenderungan untuk mengetahui alam hanya sekadar tahu akan keberadaan dan eksistensinya saja. Tanpa memiliki pemahaman akan esensi dari lingkungan alam bagi kelangsungan masa depan manusia. Anak bisa saja tahu dan hafal akan semua materi pelajaran yang diberikan di sekolah tanpa memikirkan apa yang seharusnya dilakukan dengan materi pelajaran untuk menjaga alam. Maka, tak salah jika anak akan melakukan hal-hal dan perilaku buruk terhadap alam karena tidak bisa memahami apa yang seharusnya diberikan dan dilakukan kepada alam.
Hal inilah yang bisa menjadi awal permasalahan besar kerusakan alam hingga perubahan iklim. Setelah beranjak dewasa, anak akan terus melakukan hal-hal buruk yang sudah menjadi kebiasaan terhadap alam. Bahkan, tak jarang kebiasaan-kebiasaan buruk itu akan berkembang dan menciptakan perilaku yang lebih buruk lagi yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan-kerusakan alam. Atau, ia akan abai terhadap masalah perubahan iklim yang sebenarnya begitu dekat dengan dirinya.
Dari permasalahan tersebut, kita pantas merenungi sikap keluarga-keluarga di Indonesia yang selama ini sering kita lihat. Kita terlampau angkuh dalam menanggapi isu mengenai perubahan iklim, tanpa melihat rumah kita sendiri. Adanya arus modernisasi dan industralisasi sering kita jadikan satu-satunya alasan terjadinya kerusakan alam sekitar kita bahkan perubahan iklim global. Perusahaan-perusahaan besar yang menyumbang polusi udara, suara, air, dan tanah sering kita salahkan dan kita maki karena telah banyak menyumbang kerusakan alam di lingkungan kita. Tapi, sesungguhnya kita lupa. Kita lupa akan fungsi keluarga kita sendiri. Keluarga yang seharusnya memberikan edukasi mengenai lingkungan alam, ternyata tidak sepenuhnya melaksanakannnya dengan baik. Kita lupa bahwa keluarga kita tidak pernah memberikan edukasi untuk bersikap arif terhadap lingkungan alam.
Kerusakan alam hingga perubahan iklim sebenarnya merupakan masalah yang sudah sewajarnya ditanggulangi dan diselesaikan mulai dari lembaga keluarga. Keluarga memiliki andil besar dalam kerusakan alam dan perubahan iklim yang saat ini tengah menjadi masalah yang serius untuk diselesaikan. Keluarga pula sudah sepantasnya bertanggung jawab atas semua masalah mengenai perubahan iklim sejak dini. Maka, sudah sepantasnya kita mulai merubah cara pandang kita mengenai penyebab masalah-masalah alam yang saat ini sedang kita rasakan dengan mulai menjalankan fungsi environmental keluarga.
0 notes
Text
Eksklusivisme Perpustakaan
Universitas dibangun untuk menjadikan mahasiswanya pintar. Pun demikian dengan segala aspek pembangunan fisik maupun non fisik gencar dilaksanakan demi menunjang kegiatan pembelajaran di kampus. Banyak pembangunan fisik sampai saat ini masih mengutamakan fungsi dan tujuannya untuk kelompok maupun kaum mayoritas saja tanpa memerhatikan kelompok minoritas tertentu, dalam hal ini perpustakaan misalnya.
Perpustakaan menjadi wadah pembelajaran yang penting bagi mahasiswa setelah ruang kuliah. Perpustakan menjadi identitas dan citra mahasiswa yang sejatinya kita kenal sebagai kaum intelektual. Maka, sudah menjadi barang tentu jika perpustakaan menyediakan ruang, buku, jurnal ilmiah, dan sebagainya untuk dapat menjangkau dan memfasilitasi bagi semua kalangan mahasiswa tanpa terkecuali.
Namun, pada praktiknya perpustakaan belum sepenuhnya bisa melakukan hal itu. Katakanlah bagi mahasiswa Disabilitas. Banyak fasilitas perpustakaan yang belum bisa mereka nikmati. Hal ini mulai dari penempatan ruangan yang berada di lantai-lantai atas yang menyulitkan mahasiswa pengguna kursi roda untuk dapat mengaksesnya. Hingga tidak tersedianya buku-buku yang menggunakan huruf Braille bagi mahasiswa tuna netra.
Dalam pembangunan fisik, kampus sudah semestinya memerhatikan kelompok mahasiswa minoritas (Disabilitas). Terlebih bagi Universitas Sebelas Maret yang saat ini sedang dalam pembangunan perpustakaan delapan lantainya.
*tulisan pertama yang dimuat di media massa (Koran) - harian Kompas.
1 note
·
View note
Text
Upacara: Dilarang Pakai Jin!
“Mau ngapain? Mau upacara kok pake jin. Mahasiswa harusnya tau mas, kalo upacara harus pake celana (kain) hitam, jas almamater, kemeja putih”. Tegas Bapak Satpam, di Bulevard kampus pagi tadi. Semangatku untuk upacara hari peringatan Kemerdekaan Bangsa yang (akan coba) kucintai ini seolah sirna seketika bertemu Bapak-bapak Satpam gagah nun keren pagi tadi. Dengan lagak garang, mereka menghentikan laju motorku tepat di depan pintu gerbang kampus. Entah, apa yang ada dalam pikiran mereka kala itu. Mungkin karena ada yang nyleneh dari caraku berpakaian. Ya, ternyata mereka menghentikan laju motorku karena suatu sebab. Aku memakai celana jin. Hahaha. Bagiku, ini salah satu lelucon bodoh yang pernah kutemui hingga detik ini. Hal yang sesungguhnya tidak perlu untuk dijadikan sebuah alasan untuk melarang seorang warga negara yang baik sepertiku untuk mengikuti upacara. Wong ada warga negara yang baik dengan niat ikhlas mau ikut upacara kok dilarang to Pak? Bapak Satpam yang budiman, semudah itu kah Bapak melarang hak rakyat jelata seperti saya untuk ikut upacara? Apakah ketika saya memakai celana jin itu berarti saya akan merusak kekhidmatan jalannya upacara? Semestinya tidak Pak! Pakaian yang kita pakai sesungguhnya tidak bisa mencerminkan seberapa besar rasa nasionalisme kita. Pun dengan sikap yang akan kita tunjukkan saat upacara berlangsung. Mahasiswa juga tidak melulu harus pakai jas almamater kok Pak. Apalagi mahasiswa semacam saya yang udik, ndeso, item, bodoh, liberal dan tidak “intelek”, tentunya sangat lucu dan tidak pantas jika harus memakai jas almamater universitas. Saya mah cuma kaum proletar yang tidak jelas akan apa sumbangsih yang bisa saya berikan untuk Nusa, Bangsa dan Negara. Yang paling utama dalam kita menjalankan upacara itu sebenarnya sikap ikhlas lho, Pak. Apalah arti pakai celana kain hitam, jika menjalankan upacara saja tidak ikhlas. Kan kasihan to, harus terpaksa kepanasan cuma untuk upacara. Bukankah lebih baik tidak pakai celana, eh pakai celana jin tapi ikhlas jalankan upacaranya to Pak? Tapi ya sudahlah, mungkin Bapak hanya menjalankan tugas dari atasan Bapak, yang lebih mementingkan kerapian dan keseragaman yangmana hal itu mereka anggap sebagai “simbol” keteraturan, kekompakan, bahkan kesatuan kita sebagai rakyat se-bangsa dan se-tanah air, Pak. Salut atas sikap manut Bapak kepada aturan dan atasan Bapak. Maaf ya Pak, kalau tulisan saya tidak bermutu. Saya hanya mengungkapkan perasaan saya yang saya pendam sepanjanjang hari ini. Eaaaa. Mungkin saya tidak pantas menjadi mahasiswa dan rakyat yang baik dalam hal berpakaian untuk upacara Pak. Atau mungkin juga karena sikap saya yang terlalu bengal dan liberal untuk sekelas mahasiswa yang harusnya memiliki sifat dan sikap “intelek”. Hidup Mahasiswa, eh Indonesia!!!
1 note
·
View note
Text
Tulisan yang sebenarnya berawal dari guyonanku akan ke-hits-an si (calon) penulis keceh - Rizka Nur Lailly Mualifa. Hahaha
Tulisan Hits untuk Ilham(?)
Hi, Ham mblooo, yang bercita-cita jadi anak gawl instagram haha. Aku sedang nggak ada kerjaan, tapi kemudian kau memberiku pekerjaan berat. Mengenalmu. Eaa. Mereka tulisan hits untukmu. Apaan. Tulisan hits itu macam apa? Katamu ya kayak tulisan-tulisanku biasanya. Ciyee yang suka dateng ke tumblrku. Haha. Duh kan makin nggak jelas. Ncen ok, koncoan mbek koe nggarai aku semakin nggak jelas. Nggak apalah ya tapi. Dibanding aku jadi perempuan yang semakin karam di lubuk kesendirian (begitu kata Damhuri Muhammad dalam cerpen Reuni Dua Sejoli: 2009). Setidaknya hadirnya teman-teman Kentingan 2014 yang hampir keseluruhan jomblo dan do ra pokro, macam kamu, Fika, Ical, Satya, Mbak Piah, Mbak Dian, Thea, Yogi, Santika, dan masih buanyak lagi yang aku lupa. Eh maksudku yang tak mungkin kujejer namanya di sini. Sebab ya aku lupa. Haha. Enggaklah. Nggak mungkin ada yang aku lupakan kecuali yang meninggalkanku karena perempuan lain. Eh enggak. Gojek lhoo ya. Haha.
Apa ya mblo. Mbok sing semangat moco Student Hidjo, cek iso nyeritani aku. Ben aku rausah moco haha. Oponeh sing kudu tak tulis dalam tulisan hits ini? Aku ra kenal koe adoh-adoh lhoo. Tak kon cerito yo emoh. Aku mudeng sih. Mesti ceritomu mengenaskan dadi koe wegah cerito-cerito. Cowok sing tukang cerito iku tidak kemudian bencong lho Ham. Bukankah manusia tidak pernah bisa hidup tanpa cerita? Haha. Malah teko endi-endi kan ngomongku. Ngaco banget. Sori lho. Ngene ok ncen, nek hati sedang kacau. Ah apalah.
Sudah seberapa banyak buku Sosiologi yang kau beli karena Mas Udji membeli itu? Hahaha ngakak. Gek ndang dihatamno. Ben iso ngalahke Mas Udji. Engko moro-moro tulisan pertamamu melbune Kompas atawa Tempo ngunu. Ngalahno tulisan kecene Dimas Alendra pisan. Sinau hits nang Dimas Alendra yuk cek iso nulis seapik dia. Sing nulis pisan dan langusng menggemparkan dunia. Ncen, nek wong iso nulis tenanan i ra do pamer ok. Ra koyok aku sing tukang nyepam tulisan ra pokro nang tumblr. Begitu.
Jadi to Ham mblo, dari pada koe nyaingi aku dadi artis hits atawa anak gawl instagram dan berbagai sosial media lain. Mending menggampar aku dengan tulisan-tulisan beneran di Civitas atawa Kentingan atawa media massa. Bukan media sosial lho ya. Sebab bagiku pribadi, definisi hits yang sesungguhnya adalah yang begituan. Yang tulisannya muncul di mana-mana. Bukan di tumblr, seperti aku.
Semangat ngehits. Ojo gelem kalah hits karo Satya sing wingi nggowo akeh buletin pas nyebar leaflet goro-goro kolom fokus utama miliknya. Bar iki, wayahe gantian koe, Ham mbloo. Hahaha. Eh. Aku pengen jalan-jalan. Pengakraban angkatan. Hahahaha. Cek iso survive nang Kentingan.
Kentingan, Surakarta, 14 Agustus 2015
Rizka Nur Laily Muallifa—yang bukan siapa-siapa
4 notes
·
View notes
Text
Hanuman atau Rama (?)
Malam itu masih dalam suasana Bakdo atau Lebaran. Entah malam apa aku lupa, beberapa hari pasca Lebaran tentunya. Aku mengunjungi Benteng Vastenburg di kota Solo untuk sejenak melepas penat dan menuruti keingintahuanku dengan menonton Sendratari Ramayana. Maklum saja, sejujurnya aku sudah lama menginginkan untuk menonton drama dan tari dengan lakon utama Rama dan Sinta itu. Aku cukup terperangah ditengah pertunjukan ketika menonton acara itu. Aku berpikir betapa bodohnya aku yang sering melewatkan pertunjukan tari-tarian yang sering diadakan di kota ini - sejujurnya selama ini aku kurang tontonan berkelas semacam itu. Tarian pewayangan yang diselingi drama serta diiringi musik khas jawa yang saat itu dipadu dengan musik modern berhasil membuat decak kagum penonton yg berjumlah tak kurang dari seribuan orang. Alur ceritanya pun dibuat lebih kekinian tanpa mengubah pakem aslinya. Berbagai isu yang saat ini sedang muncul ke publik diselipkan pada setiap tarian maupun dramanya. Mulai dari isu korupsi hingga toleransi antar keberagaman yang tengah melanda bangsa ini. Uniknya, diakhir cerita yang semestinya Rama dan Sinta saling jatuh cinta justru hal itu tidak berlaku pada cerita malam itu. Sinta yang kita tahu sebagai wanita yang cantik dan santun justru jatuh cinta kepada Hanuman yang sejatinya memiliki sifat dagel dan celelekan. Disitu aku berfikir bahwa sesungguhnya aku juga memiliki kesempatan yang sama seperti Hanuman dimata “dee” - yang memiliki sifat laiknya Sinta. Aku yang memiliki sifat dagel dan tentunya juga celelekan sepertinya….. Ah sudahlah. Namun, sayangnya kini aku sedang sibuk menyiapkan diriku untuk sejajar dengan pribadi Rama untuk mendampingimu, Sinta. Eh…
0 notes