sapere-o-aude
sapere-o-aude
sapere, o! aude
4 posts
the silence you wondered.
Don't wanna be here? Send us removal request.
sapere-o-aude · 6 years ago
Text
Tindakan Aborsi pada Korban Pemerkosaan: Mengapa Dikriminalisasi, Bukan Dilindungi?
Aborsi atau yang juga dikenal dengan pengguguran janin merupakan fenomena yang semakin memprihatinkan. Keprihatinan ini bukan tanpa alasan, melainkan tindakan aborsi ini banyak menimbulkan efek merugikan bagi individu dan/atau masyarakat luas. Kerugian tersebut dapat berupa peningkatan risiko kematian ibu karena tindakan aborsi tidak aman, atau kriminalisasi terhadap pelaku dan pelaksana aborsi.
Berdasarkan data terbaru dari Pusat Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), terdapat sebanyak 58 persen remaja putri yang hamil di luar nikah berupaya menggugurkan kandungannya. Sementara, berdasarkan data dari Komnas Perempuan, pelaku kekerasan seksual dalam ranah privat yang terbanyak adalah pacar (1.528 kasus), ayah kandung (425 kasus), paman (322 kasus), dan kakak kandung (89 kasus).
Dalam pandangan hukum pidana di Indonesia, tindakan aborsi tidak selalu dinyatakan pelanggaran atau tindak pidana. Hanya aborsi provocatus criminalis yang dikategorikan sebagai suatu perbuatan tindak pidana, yaitu pengguguran yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis. Sementara, aborsi yang bersifat artificialis therapicus atau medikalis (dilakukan atas dasar indikasi medis) bukan merupakan suatu tindak pidana.
Suatu kasus di Jambi menjerati seorang gadis berusia 15 tahun ditahan karena tindakan aborsinya. WA, demikian inisial gadis tersebut, merupakan anak di bawah umur sekaligus korban pemerkosaan yang dijatuhkan hukuman enam bulan penjara karena mengaborsi kandungannya. Berbagai kalangan terguncang karena korban pemerkosaan incest yang semestinya mendapatkan perlindangan, dukungan konseling, dan solidaritas, malah disudutkan dengan pasal pidana. Kasus WA bukanlah yang pertama dan bukan pula yang terakhir pada kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Dalam hukum positif Indonesia, aborsi diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang terpisah. Beberapa aturan itu ada pada Pasal 299 dan Pasal 346 – 349 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang melarang segala bentuk aborsi tanpa pengecualian. Secara singkat, dapat dijelaskan berdasarkan KUHP tersebut bahwa yang dapat dipidana dalam kasus aborsi adalah a) wanita yang menggugurkan kandungannya; b) pelaksana aborsi, yakni tenaga medis, dukun, atau orang lain yang membantu pengguguran kandungan; dan c) orang-orang yang terlibat secara langsung dan menjadi penyebab terjadinya aborsi tersebut.
Dengan adanya berbagai kasus pemerkosaan yang menimpa perempuan, bahkan anak di bawah umur, apakah adil bila putusan pengadilan menjatuhkan hukuman penjara kepada mereka yang memutuskan menggugurkan kehamilannya akibat pemerkosaan?
Lebih lanjut, menanggapi aturan tindakan aborsi pada KUHP, pengkajian ulang dilakukan dan dirangkum dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) dan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Pada Pasal 75 ayat (1) UU Kesehatan, pada dasarnya setiap orang dilarang melakukan aborsi. Namun, ada pengecualian terhadap larangan ini yang diberikan dalam dua kondisi berikut: a) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Adapun pasal 76 UU Kesehetan ini mengatur beberapa syarat untuk mengizinkan tindakan aborsi. Sementara, Pasal 31 PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi mengatur tata cara penyelenggaraan tindakan aborsi dengan indikasi kedaruratan medis dan korban perkosaan.
Namun, ada persoalan yang muncul apabila UU Kesehatan dan PP No. 61 Tahun 2004 ini disandingkan dengan KUHP yang mengatur tindakan aborsi. Kedua perundang-undangan ini jelas mengatur masalah aborsi yang secara substansial berbeda dan berbenturan dengan norma yang diatur dalam KUHP. Apabila UU Kesehatan dan PP yang dimaksud ini merupakan ketentuan khusus, maka ketentuan tersebut dapat dikatakan menyimpangi ketentuan dalam KUHP yang masih berlaku ini. Lantas, apakah dengan berlakunya UU Kesehatan dan PP tersebut dengan demikian KUHP mengenai tindakan aborsi secara otomatis menjadi tidak berlaku?
Tarik ulur terus terjadi dalam perdebatan yang tak berkesudahan ini. Muncul polemik di tengah masyarakat yang disebut dengan Polarisasi Pro Life dan Pro Choice terhadap tindakan aborsi. Keduanya sama-sama mempertahankan Hak Asasi Manusia, yakni hak untuk hidup bagi anak dan hak otonomi tubuh atas reproduksi wanita. Walaupun sudah ada regulasi yang melindungi tindakan aborsi tertentu, tetapi pada praktiknya, elit-elit politik dan pembuat undang-undang menyatakan penolakan terhadap pelaksanaan aborsi. Mereka bersikukuh dengan argumentasi moral dan agama, amat jauh dari apa yang diharapkan para aktivis perempuan.
Dalam hukum positif di Indonesia, hak untuk hidup bagi anak memang sudah terlindungi sejak dalam kandungan. Norma tersebut diatur dalam Pasal 52 ayat (2) dan Pasal 53 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Namun, timbul pertanyaan mengenai kapan mulainya kehidupan. Apakah sejak a) pembuahan; b) gestasi (sejak sel telur yang telah dibuahi terimplantasikan di dinding rahim), seperti pendapat yang dikemukakan oleh International Medical Advisory Panel (IMAP) dari International Planned Parenthood Federation (IPPF); c) saat batang otak mulai berfungsi, seperti pendapat yang dikemukakan oleh Sheldon J. Segal dalam konferensi tentang Bioethics in Human Reproduction Research in the Muslim World di Kairo pada 1991; d) saat kandungan memperdengarkan detak jantung; atau e) setelah 120 hari kehamilan yang diyakini ditiupakan ruh pada janin.
Pada akhirnya, persoalan dengan perdebatan yang terlalu panjang tak benar-benar bisa ditangani. Hal ini dikarenakan selalu berbenturan dengan pandangan keagamaan yang sempit, atau untuk kepentingan politik. Para elit politik seperti ingin tampak peduli pada keadilan, tetapi juga memaksakan moralitas keagamaan. Lantas, menjadi pertanyaan bagi para elit politik dan penegak hukum: keadilan apa yang ingin ditegakkan dengan mengkriminalisasi korban pemerkosaan yang melakukan aborsi?
Di sisi lain, gagasan untuk mengadili perempuan dengan nondiskriminatif telah tercantum dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Perma ini mengamanatkan agar penegak hukum mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara yang berakibat pada diskriminasi terhadap perempuan ini. Perma ini juga mengedepankan prinsip keadilan restoratif yang berupaya mengembalikan atau memulihkan keadaan yang terganggu akibat adanya pelanggaran hukum dalam hal perempuan sebagai korban. Penegak hukum harus mampu melihat kerugian materiil dan imateriil, dampak kasus, dan kebutuhan pemulihan sebagai bahan pertimbangan dalam penjatuhan putusan.
Perkara WA bukan hanya melihat dirinya sebagai korban pemerkosaan, melainkan juga sebagai anak yang diperlakukan kekerasan seksual. Telah ada payung hukum yang memberikan perlindungan dan keberpihakannya, yaitu pada pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ayat (1) pada pasal ini berbunyi, “setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.” Bahkan, pasal 81 dan pasal 82 mencantumkan sanksi yang tegas yang akan diberikan pada pelanggar pasal 76 UU Perlindungan Anak ini.
Pasal-pasal perlindungan anak ini seharusnya menjadi pertimbangan yang berarti bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pada WA. Menurut Konvensi Anak, penahanan pada anak seharusnya menjadi opsi terakhir (last resort) dalam penjatuhan hukuman. Setelah kekerasan dan trauma psikologis yang dialami dirinya, masih haruskah penjatuhan pidana menghancurkan mimpi-mimpi tentang masa depannya?
Berdasarkan pengamatan kasus yang ditangani oleh LBH APIK (Asosiasi Perempuan untuk Keadilan), kelompok yang paling tidak terlindungi adalah anak perempuan dengan disabilitas intelektual. Menurut ketentuan pasal 76 UU Kesehatan huruf a, aborsi hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis. WA melakukan aborsi ketika usia kandungannya menginjak enam bulan. Memang pada kenyataannya, banyak korban pemerkosaan yang terlambat mengetahui kandungannya. Apalagi, korban pemerkosaan anak di bawah umur yang masih buta akan kesehatan reproduksinya karena berada di lingkungan yang memiliki kesulitan akses informasi reproduksi dan kuatnya tabu untuk membicarakan hal tersebut secara terbuka. Dengan ini, bisa dikatakan bahwa WA melakukan aborsi dalam keadaan darurat dan sangat memaksa.
Akar masalah aborsi ialah karena adanya kehamilan yang tidak diinginkan yang terjadi karena berbagai sebab yang sangat personal sifatnya. Telah adanya beberapa pengujian ulang mengenai regulasi yang mengatur tindakan aborsi. Dengan itu, telah terlindunginya pula tindakan aborsi yang mendesak, baik atas indikasi medis maupun pada korban pemerkosaan.
Khususnya pada korban pemerkosaan anak di bawah umur, perlindungan pada anak sangat dijunjung tinggi. Penjatuhan hukuman tertentu bisa berpengaruh besar dan berkelanjutan pada anak. Trauma psikologis sangat mungkin memengaruhi cara pandang dan mimpi-mimpinya di masa depan. Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan hukum sangat diperlukan.
Banyaknya perkara kekerasan seksual menunjukkan edukasi seksual yang masih sangat rendah. Tabu tentang edukasi seksual yang masih kuat ini harus dilepaskan demi kepentingan edukasi masyarakat. Pentingnya rasa hormat terhadap sesama harus dibudayakan. Sementara, bagi perkara yang telah terjadi, korban masih harus diberikan binaan pemulihan psikologis dan pelaku harus diberikan rehabilitasi.
0 notes
sapere-o-aude · 6 years ago
Text
Ketidaksiapan Kebijakan RUU Ekonomi Kreatif Menjadi Landasan Pengembangan dan Keberlanjutan Industri Ekonomi Kreatif
Industri ekonomi kreatif Indonesia digadang-gadang mampu menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia di masa mendatang. Industri baru ini mempunyai prospek yang sangat menjanjikan. Hal ini didukung oleh fakta bahwa industri ekonomi kreatif memberikan sumbangan yang sedemikian besar dari segi nominal, sampai ketenagakerjaan. Sumbangan nominalnya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) telah mencapai Rp1.105 triliun pada 2018 lalu. Nilai tersebut juga diyakini akan terus melesat hingga mencapai Rp1.200 triliun pada akhir tahun mendatang.Di samping itu pula, muncul profesi-profesi baru industri ekonomi kreatif, seperti seniman multimedia, komposer musik, dan content creator. Peran strategis ekonomi kreatif ini mulai diakui sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang menyebutnya. Hal itu kemudian disambut dengan peluncuran program Indonesia Design Power di jajaran Departemen Perdagangan RI, yaitu suatu program pemerintah yang diharapkan dapat memacu daya saing produk-produk Indonesia di pasar domestik dan pasar internasional.
Telah ada berbagai regulasi yang mengatur industri ekonomi kreatif, seperti Undang-Undang Perindustrian, Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), ataupun Undang-Undang Desain Industri. Namun, regulasi yang tumpang tindih itu menandakan urgensi karena belum adanya landasan yang kuat sehingga diperlukan payung hukum yang mengintegrasikan berbagai regulasi tersebut.
Rancangan Undang-Undang Ekonomi Kreatif (yang selanjutnya disebut RUU Ekraf) telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas sejak tahun 2015. Pemerintah mendorong dirampungkannya dan disahkannya RUU Ekraf sampai pertengahan September 2019 ini. Dalam RUU Ekraf yang digunakan sebagai bahan uji publik oleh Komisi X DPR RI versi 24 Juli 2019, masih terdapat polemik dalam beberapa pasal RUU Ekraf itu.
Merujuk pada RUU Ekraf terbaru yang digunakan sebagai bahan uji publik oleh Komisi X DPR RI versi 24 Juli 2019, ternyata masih ditemukan pasal-pasal bermasalah dalam RUU tersebut. Padahal, RUU ini sudah mengalami beberapa kali revisi, di antaranya yaitu dari RUU Ekraf 2015, lalu Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Ekraf 2018. Pasal-pasal tersebut dapat ditemukan pada Pasal 5 RUU Ekraf yang membatasi kebebasan berkarya, Pasal 12 dan 13 RUU Ekraf yang tidak mengandung materi muatan pengaturan, Pasal 22 dan 26 RUU Ekraf yang mengisyaratkan keengganan pemerintah untuk menunjukkan keberpihakannya, serta Pasal 28 RUU Ekraf yang tidak sesuai dengan UU. Pada kesempatan kali ini, penulis akan menjabarkan lebih lanjut pasal-pasal yang bermasalah tersebut.
Pasal 5 RUU Ekraf yang memiliki nada serupa dengan Pasal 4 RUU Permusikan yang banyak dibicarakan, ternyata masih ada dalam Draf RUU yang akan disahkan ini. Pasal ini berbunyi, ”Pelaku Ekonomi Kreatif berkewajiban menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa dalam kegiatan ekonomi kreatif.”Pasal ini jelas rentan menimbulkan multitafsir, bahkan mengkriminalisasi para pelaku ekonomi kreatif. Nilai-nilai yang dimaksud dalam pasal ini bersifat subjektif, mengingat tidak ada batasan yang jelas terhadapnya. Oleh karena itu, sulit untuk menarik standar objektif tentang nilai sebagai acuan baku dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan ini.
Rumusan serupa dapat ditemukan pula, setidaknya dalam dua dokumen lain, yaitu Pasal 5 UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman (UU Perfilman) dan Pasal 4 RUU Permusikan. UU Perfilman yang dimaksud berbunyi, “Kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.” Sementara, RUU Permusikan yang dimaksud berbunyi, “Proses Kreasi dilakukan berdasarkan kebebasan berekspresi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.” Jika ditarik perbandingan antara ketiga pasal ini, RUU Ekonomi Kreatif bahkan tidak menyinggung sedikit pun mengenai kebebasan berekspresi. Aturan ini mengandung kontradiksi. Konsep ekonomi kreatif sesungguhnya adalah pembangunan berkelanjutan melalui eksploitasi modal kreativitas. Kebebasan berkespresi yang telah terlindungi dalam Pasal 28 UUD 1945 menjadi prasyarat pengembangan dan keberlanjutan ekonomi kreatif. Sementara, belum tentu produk ekonomi kreatif yang dibangun oleh para pelaku ekonomi kreatif sejalan dengan nilai-nilai agama dan moralnya. Swasensor justru menghambat munculnya terobosan baru.Dengan demikian, Pasal 5 RUU Ekraf justru menghalangi para pelaku ekonomi kreatif dalam berkontribusi nyata terhadap pengembangan dan keberlanjutan perekonomian nasional.
Selain itu, masih ada pula rumusan-rumusan pasal yang tak bergigi; tak berdampak; berisi informasi semata. Adapun pasal yang dimaksud di antaranya adalah Pasal 12 dan 13 RUU Ekraf berikut:
Pasal 12 RUU Ekraf
Sistem pengembangan pendidikan Ekonomi Kreatif disusun untuk menciptakan dan meningkatakan kualitas Pelaku Ekonomi Kreatif yang mampu bersaing dalam skala global.
Pasal 13 RUU Ekraf
Pendidikan kreativitas, inovasi, dan kewirausahaan di bidang Ekonomi Kreatif disusun untuk menciptakan dan meningkatkan kualitas Pelaku Ekonomi Kreatif yang mampu bersaing dalam skala global.
Kedua pasal membahas pembentukan sistem pengembangan pendidikan ekonomi kreatif. Masing-masing pasal berisikan tujuan diselenggarakannya sistem tersebut. Namun, pasal-pasal di atas tidak mengandung unsur aturan sama sekali. Pasal-pasal tersebut tidak menyebutkan dengan konkrit apa itu sistem pengembangan pendidikan ekonomi kreatif dan bagaimana bentuk implementasinya. Tidak ada keberlanjutan atas pasal-pasal ini.
Keberadaan RUU Ekraf menggantungkan harapan bagi para pelaku ekonomi kreatif. Dalam hal ini, pendanaan dan peminjaman modal. Baik badan, maupun pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mengharapkan RUU ini berdampak pada peningkatan anggaran untuk mendukung pengembangan dan keberlanjutan industri ekonomi kreatif. Pada 2017, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mencatatkan anggarannya sebesar Rp800 miliar. Pada 2018, anggaran menurun menjadi Rp700 miliar dan anggaran yang akan dikelola pada 2019 hanya Rp600 miliar.
Rumusan pasal tentang pemberian insentif yang diatur dalam RUU Ekraf pada Pasal 22 Ayat (1) mencapai kesepakatan. Pasal ini berbunyi, “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif kepada Pelaku Ekonomi Kreatif berupa fiskal dan/atau nonfiskal”. Sebelumnya, ada perdebatan dan perpanjangan pembahasan mengenai pasal ini antara jajaran pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) RUU Ekraf di Komisi X. Panja RUU Ekraf Komisi X DPR RI mengingingkan kata “wajib” menggantikan kata “dapat” dalam pasal tersebut agar pemerintah mendapat mandat oleh UU, bukan lagi yang sifatnya sukarela. Hal ini diusulkan demikian karena norma yang serupa muncul pada Pasal 21 Ayat (5) UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Norma pada pasal ini diyakini berdampak pada performa UMKM yang tidak maksimal saat ini. Namun, pemerintah seperti tidak ingin berkomitmen lebih jauh lagi karena mengabaikan usul dan evaluasi norma ini. Padahal, pendanaan seringkali menjadi kendala atau kelemahan dalam proses pengembangan ekonomi. Seharusnya, pemerintah dapat menunjukkan keberpihakannya pada industri ekonomi kreatif secara tegas, mengingat kontribusinya pada pengembangan ekonomi negeri ini melaju cukup cepat.
Beralih pada pasal yang lainnya, Pasal 26 RUU Ekraf berbunyi, “Tugas pemerintahan di bidang Ekonomi Kreatif dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Kejanggalan terjadi bahwasanya tidak ada penjelasan konkrit mengenai tugas-tugas Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam bidang Ekonomi Kreatif, baik dalam pasal yang sama, maupun pada pasal-pasal lainnya. Padahal, apabila disandingkan, RUU Ekraf ini mengandung konteks serupa dengan UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (UU Pemajuan Kebudayaan), yaitu mengatur tindakan pemberdayaan masyarakat. Keduanya menjadi nampak berbeda karena UU Pemajuan Kebudayaan menjabarkan segala hal yang menjadi tugas dan wewenang Pemerintah Pusat secara konkrit pada Pasal 43 dan 45. Ternyata, perumus RUU Ekraf tidak mampu menjabarkan tugas-tugas pemerintah, enggan menunjukkan keberpihakan pemerintah pada industri ekonomi kreatif, atau justru berusaha memberikan celah bagi pemerintah untuk berkelit dari kewajiban mereka.
Lebih lanjut, Pasal 28 RUU Ekraf menyatakan bahwa pelaksanaan tugas pemerintah akan dilaksanakan oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) sampai dibentuknya Kementerian/Lembaga baru berdasarkan Undang-Undang ini. Dengan disandingkannya Pasal 5 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (vide Pasal 5 Ayat (1), (2), dan (3)), pasal ini tidak sesuai dengan UU tersebut.UU yang dimaksud ini menyatakan dan menegaskan pembentukan kementerian hanya untuk urusan pemerintahan yang disebutkan dalam UU ini sehingga pembentukan kementerian khusus yang menangani ekonomi kreatif tidak diperlukan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perumus nampaknya melakukan perumusan yang kontradiktif dengan UU yang sudah ada.
Kemunculan industri ekonomi kreatif di Indonesia menjadi peluang yang menjanjikan. Namun, pengembangan dan keberlanjutan industri dapat lebih terjamin dengan adanya regulasi kuat yang mengaturnya. Sebagai penutup, penulis sekiranya memberikan penawaran atau usulan kepada para perumus RUU Ekraf ini.
Bahwa yang diatur dalam RUU ini adalah ekonomi kreatif, maka dirasa perlu mencantumkan dan menjunjung tinggi norma kebebasan dalam berkarya. Apalagi dalam industri yang telah mengglobal ini, pembatasan terhadap nilai-nilai tertentu justru menghambat proses berkarya yang berdampak pula pada pembangunan masyarakat dan lingkungan setempat.
Bahwa diperlukan keterlibatan dari para aktor atau pelaku ekonomi kreatif dalam perumusan RUU Ekraf ini, mengingat mereka merupakan subyek utama perumusan RUU yang akan disahkan ini. Mendengarkan mereka yang pola kehidupannya sangat dekat dengan norma-norma ini dapat memudahkan perumusan RUU yang lebih relevan terhadap para pelaku sehingga ketertiban, setidaknya, dapat lebih mudah tercapai.
Bahwa sangat disayangkan pemerintah enggan secara tegas menunjukkan keberpihakannya pada industri yang sedang berkembang ini. Sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan perlindungan dan memfasilitasi setiap warganya untuk berkarya. Perwujudan tugas dan wewenang pemerintah dalam hal ini harus dalam bentuk yang konkrit. Hal ini tentu akan mendukung pengembangan dan keberlanjutan industri ekonomi kreatif.
0 notes
sapere-o-aude · 7 years ago
Photo
Tumblr media
306 notes · View notes
sapere-o-aude · 8 years ago
Photo
Tumblr media
apa aku pernah berkata, rasa mendingin membeku angin Tenggara dan Timur laut yang bertemu, bertukar bertabrakan, tapi tidak menyatu. pahit, partikel-partikel merenggang bertahap. semakin naik, dipaksa naik, sampai kembali pada rasa kemurnian. kamu sudah manis, hubungan kita yang hambar.
0 notes