seamistsoul
seamistsoul
Weaving Invisible Threads
3 posts
Last active 4 hours ago
Don't wanna be here? Send us removal request.
seamistsoul · 8 days ago
Text
Teruntuk Orang-orang yang Aku Kasihi..
Aku tak pandai merangkai terima kasih dengan kepandaian bahasa. Aku hanya bisa merangkai hidupku sekenanya, lalu berharap kalian membaca cintaku dari celah-celah yang tak sempat terucap.
Terima kasih, karena sudah sudi menyayangi aku yang segini-gininya. Terima kasih, karena kalian bertahan, bahkan ketika aku sering jadi alasan kalian tergores.
Mungkin akan ada hari di mana aku mengecewakan lagi—dengan pilihan yang tak paripurna, dengan langkah yang keliru. Tapi, jangan tinggalkan aku di simpang itu. Bersabarlah, sebab aku ini masih dituntun oleh pertanyaan yang belum selesai kujawab.
Aku tahu, ada saat-saat aku tak bisa menjawab harapan kalian. Jika ingatanku kabur, tolong, ingatkan aku…
Bahwa jalan ini tidak akan pernah sepi, sebab ada kalian yang diam-diam setia, meski aku sering pura-pura kuat berjalan sendiri.
Dan bila nanti aku tersesat di lorong yang gelap, sudilah kiranya kalian jadi cahaya yang tak menuntut balasan. Karena aku belajar, bahwa kasih sayang sejati bukanlah menuntut sempurna, melainkan bertahan di dekat luka, menemani sampai yang hancur kembali menemukan bentuknya.
Aku ini memang lambat, apa-apanya selalu sangat lambat. Selalu terlambat mengejar apa yang orang lain sudah sampai. Tapi bukankah hidup tidak selalu tentang siapa yang paling dulu?
Kadang, dalam kelambatan itu, aku sempat belajar membaca arti setiap luka, menggenggam makna dari yang luput terlihat oleh mereka yang berlari.
Maka, kalau kelak aku goyah, ingatkan aku pada hakikat: bahwa hidup ini bukan untuk menepati segala ekspektasi, melainkan untuk hidup sejalan dengan dharma—menghidupi kasih tanpa syarat, seperti matahari yang terus memberi, meski tak pernah meminta dipuji.
0 notes
seamistsoul · 18 days ago
Text
Malam Barong dan Rangda
Cerita Ajik kepada Yashasvi kecil
Di halaman rumah yang harum dupa dan bunga kamboja, Yashasvi kecil duduk bersila di pangkuan Ajiknya. Di atas kepala mereka, bintang-bintang berkedip seperti mata para dewa yang sedang menonton dunia diam-diam.
“Ajik… Barong sama Rangda itu beneran ada, nggak?” tanya Yashasvi sambil menggenggam boneka kecilnya.
Ajik mengelus rambut putrinya, lalu tersenyum. “Ada, Nimas, bukan cuma di hutan. Tapi di dalam hati manusia juga ada Barong dan Rangda.” Mata kecil Yashasvi membelalak. “Maksudnya?”
Ajik mengambil sebatang ranting dan mulai menggambar di tanah. “Barong itu lambang kebaikan. Rangda itu lambang kemarahan, dendam, dan segala hal gelap dalam diri kita. Tapi mereka bukan musuh, Nak. Mereka saling menjaga keseimbangan. Sama seperti siang dan malam. Seperti napas masuk dan napas keluar. Seperti jantungmu berdetak.”
Ia menunjuk dada kecil Yashasvi. “Kamu tahu kenapa jantungmu bisa berdetak?” Yashasvi menggeleng pelan.
“Karena listrik kecil dari otakmu,” kata Ajik. “Tubuh kita ini ajaib. Di dalam tubuhmu ada aliran listrik, seperti petir, kecil sekali. Kalau kamu marah atau takut, Rangda dalam dirimu muncul dan detak jantungmu makin cepat. Tapi kalau kamu tenang, Barong-nya yang datang.”
Yashasvi menatap ranting itu seolah melihat dunia baru. Ajik pun melanjutkan, kali ini suaranya menjadi berat dan dalam, seolah sedang menjadi pendongeng suci.
“Dulu, di zaman para leluhur, Rangda ingin menguasai dunia. Ia membawa penyakit, kelaparan, dan kemarahan. Tapi Barong datang, bukan untuk memukul atau mengusir Rangda. Ia datang untuk menari. Untuk menyeimbangkan. Sebab yang gelap bukan untuk dimusnahkan, tapi untuk diberi cahaya.”
Ia menatap mata putrinya semata wayangnya.
“Nimas, hidup ini bukan soal menang. Tapi soal merawat keseimbangan. Barong dan Rangda saling menari, bukan berperang.”
Yashasvi kecil mengangguk pelan. Ajik tersenyum dan berkata lirih, “Beneh ajak muani lan luh, jagat puniki perlu apang seimbang. (Benar, Nakku sayang, dunia ini perlu agar tetap seimbang).”
“Terus kalau aku sedih, Barong-nya ke mana, Ajik?” Ajik mencium ubun-ubun anaknya, lalu berkata lembut, “Sedih itu bukan hilangnya Barong, tapi saat Barong mengajarkanmu untuk bersabar.”
Dan malam itu, sebelum tidur, Yashasvi tidak lagi takut pada kegelapan. Karena ia tahu, bahkan dalam gelap pun, Barong sedang menari diam-diam di dalam dadanya.
0 notes
seamistsoul · 2 months ago
Text
Kakakku, Bisma Wijaya
Tumblr media
Bligus.. selalu datang dengan langkah pelan seolah tahu aku butuh waktu untuk percaya bahwa ada yang tak akan meninggalkanku meski aku sedang menjadi reruntuhan.
Tak pernah mengetuk pintu karena mungkin sadar, bahkan pintu dalam diriku sudah lama tak punya engsel. Masuk, duduk, dan tak bilang apa-apa. Hanya napasmu yang kuingat seperti lagu nina bobo untuk dada yang sejak lama tak bisa tertidur.
Bligus, aku pernah mencacimu dalam diam. Menganggap kakakku terlalu diam. Terlalu tenang. Tak tahu apa yang aku hadapi.
Tapi sore itu, dibawah langit Denpasar, kakakku membuka lukanya sendiri. Menunjukkan bahwa sulung pun pernah roboh, bahwa menjadi anak pertama bukan berarti tak boleh kehilangan arah.
Aku tak tahu bahwa Bligus pernah merasa gagal jadi anak. Aku tak tahu bahwa selama ini Bligus juga berjalan di tanah yang sama rapuhnya denganku. Kupikir, Bisma Wijaya adalah benteng. Kupikir, jas putih itu milikmu sejak lahir. Ternyata tidak.
Ternyata, itu pun diraih sambil membawa beban yang tak pernah dibagi. “Tak perlu menjadi kuat, cukup bertahan.” katamu. Dan kata-kata itu merobekku lebih dari luka di pinggangku, karena aku tahu, itu kalimat yang lahir dari nyawamu sendiri yang dulu pernah ingin menyerah.
Aku kira kakak sulung tak pernah menangis. Aku kira aku satu-satunya yang kecewa pada harapan keluarga. Aku kira aku satu-satunya yang menggigil saat harus tersenyum di ruang makan. Tapi ternyata kita sama.
Kita sama-sama pernah berharap dilihat bukan karena nilai. Bukan karena tenang kita yang membuat orang lain nyaman. Tapi karena kita juga manusia yang kadang ingin ditanya, “Kamu gimana hari ini?” tanpa harus menjawab “baik” dengan suara yang dipaksakan.
Malam itu, Bligus bukan hanya kakakku. Bligus adalah temanku. Penolongku. Peluruh dari semua suara-suara bising di kepalaku yang tak pernah mau diam sejak luka pertama.
Terima kasih, Bligus.
Karena tak datang sebagai matahari yang menyilaukan tapi sebagai bulan separuh, yang cukup terang untuk membuatku tetap bertahan.
Kini, aku tahu: sulung bukan berarti kebal. Dan adik pun bisa jadi rumah kalau butuh pulang.
Jasamu tak kubalas dengan prestasi atau angka sempurna di rapor hidupku. Jasamu akan kubalas dengan bertahan. Dengan tidak menghilang. Dengan terus hidup sebagai aku yang menyayangi diriku sendiri.
Dan bila nanti aku tak bisa bicara, aku tahu, suaramu yang akan tinggal dan berkata: “Pelan-pelan, Gek Yash. Pelan-pelan. Aku di sini.”
0 notes