Tumgik
semusenja · 5 years
Text
Hilang Ingatan
Seperti hilang ingatan.
Kamu seperti orang yang pernah singgah, tapi kemudian aku lupa.
Benar-benar lupa, bahwa aku pernah bertemu orang sepertimu.
Rasanya kamu begitu dekat, tapi aku tak ingat.
Rasanya kamu begitu membuat nyaman, tapi hanya dalam khayalan. Hanya sebentar, hanya fana yang membawa hati dan pikirku lelah berkelana.
Rasanya aku rindu.
Tapi entah aku merindu siapa, atau apa.
Ronanya semua ini begitu sendu kelabu, tapi entah harus apa, aku tak mampu.
Masihkah kamu di situ?
1 note · View note
semusenja · 6 years
Text
Allah tak pernah meninggalkanmu, kamu saja yang seringkali lupa melibatkan-Nya.
— Taufik Aulia
2K notes · View notes
semusenja · 6 years
Text
Aku rasa bukan begini cara seorang ibu dan anaknya selayaknya menyelesaikan masalah.
Aku begitu ingat bagaimana dulu kami tidak pernah akur, tidak pernah sepemahaman, dan tidak penah memiliki cara komunikasi yang baik satu sama lain. Tidak tinggal bersama bukan membuat kami saling rindu dan semakin sayang tetapi tiap bertemu malah semakin saling tak paham. Yang satu berusaha menutupi rasa rindunya, yang satu berusaha melindungi rasa kasih sayangnya yang tersembunyi begitu dalam. Namun yang keluar bukannya kata sayang dan rindu melainkan kata-kata pedih yang menyakiti satu sama lain, yang serba salah saling berprasangka dan lelah dengan kelakuan masing-masing, dengan ego sendiri-sendiri, dengan apa yang tidak pernah terucapkan dari mulut satu sama lain.
Aku kira setelah sekian lama masa itu terlewati kami sudah cukup baik dan bisa saling terbuka satu sama lain, tapi ternyata ganjalan itu masih ada. Ego dan saling enggan membuka hati masing-masing itu masih terbenam di situ.
Sejujurnya aku tidak pernah mau lagi melalui masa-masa ini, masa dimana aku merasa paling di titik berdosa karena selayaknya seorang anak tidak sepantasnya begini pada orang tua. Tapi ego ini begitu kuat dan entah apa yang harus dilakukan karena setiap kata yang terucap hanya akan mendapat geming dan acuh. Bukan ini yang kumaksud, bukan untuk saling menyakiti dan berjalan sendiri-sendiri lagi seperti ini..
0 notes
semusenja · 6 years
Text
but..
tapi itu tidak berlaku untuk orang-orang yang sungguh-sungguh ingin belajar.
Whatever it takes, jangan biarkan ia mengurung-membenam dalam otakmu.
karena pasti ada sebuah alasan untuk setiap hal yang terjadi di muka bumi ini.
Kamu mungkin sekarang merasa gagal, tapi sadarkah kamu bahwa hal itu menguatkanmu? Sadarkah kamu bahwa itu berarti mempersiapkanmu untuk menjumpai sebuah hal yang lebih besar di luar sana.
Ini begitu naif karena aku tahu begitu sulit melakukannya, tapi at least i am trying, you know the theory very well and now it’s time to prove it; maka bangkit dan hadapilah, bangkit dan berdirilah, bangkit dan perbaiki yang masih bisa diperbaiki.
1 note · View note
semusenja · 6 years
Text
sometimes, people..
sometimes, people think that they are foolish,
they are fail,
jatuh berkali-kali ke lubang yang sama dan begitu sukar untuk memperbaikinya.
Lalu berputus asa.
0 notes
semusenja · 7 years
Text
15 tahun jadi pelajar
Berjuang sekeras-kerasnya selama bertahun-tahun ke belakang, menyambut waktu yang semakin menipis untuk mendapat sebuah gelar, lalu apa?
Mau kemana aku setelah ini?
Mau aku apakan perjuanganku setelah bertahun-tahun ini? Bahkan aku hingga kini belum tahu mau kemana dan mau jadi apa. Bahkan hakikatku sebagai seorang wanita terus menghantuiku akan apa yang harus aku lakukan nanti.
Kembali. Dihadapkan pada sebuah kenyataan dimana hidup harus segera memilih dan menyatakan dengan berani.
Kembali. Dimana bimbang dan terlalu berani rasanya menjadi sebuah batas yang perlu aku pilih meskipun takut-takut.
Beberapa dari kalian mungkin pernah berkecimuk juga memikirkan ini.
Mau kemana aku setelah ini?
Mau jadi apa aku? Apakah aku bisa berguna untuk orang lain?
1 note · View note
semusenja · 7 years
Text
Tumblr media
Seorang ibu yang berlari-lari menggendong anak di pangkuan kiri dan berbagai belanjaan di lengan kanan, bapak tua yang susah payang menyeret karung putih melewati tangga mengejar waktu keberangkatan kereta, atau anak-anak muda dengan berbagai jenis bunga-bungaan yang bahkan menutupi separuh bagian badannya. Berbagai pemandangan yang kunikmati selama tiga bulan belakangan ini.
Kadang sambil duduk dan bernafas lega, seringkali di antara desakan penumpang yang pulang berair wajah lelah ketika jam pulang kerja dan nyaris tidak ada ruang kosong dalam gerbong kereta. Keluh bercampur peluh dan muka masam. Saat itu sering kali hampir tidak ada yang mau mengalah, yang muda berpura-pura tidur atau bermain HP agar tidak perlu memberi tempat duduk pada yang tua.
Hari ini hari terakhirku menikmati pemandangan ini. Wajah lelah terlelap, wajah sayang seorang ibu yang berusaha membuat anaknya nyaman diantara penatnya dikelilingi manusia lelah, seorang kakak kecil yang terus memeluk atau mengusik adik kecilnya sepanjang perjalanan, atau seorang bapak yang perhatian mengizinkanku menggunakan kursinya.
Teruntuk semua orang yang sedang berjuang dan terus berlari mengejar waktu; mengisi dan membuat hidupnya bermanfaat, bekerja bantingtulang, berusaha mencari jati diri, dan menyayangi dengan sepenuh hati, semoga hidup kita selalu lebih baik dari hari ini.
---
Catatan magang.
0 notes
semusenja · 7 years
Text
manusia merenung
Kadang,
manusia merasa begitu tinggi dan menjadi yang paling benar di antara yang lain;
kadang manusia tidak ingin kalah dan merasa ingin melindungi harga diri dan menuntut keadilan untuk diri pribadi;
kadang manusia merasa terlalu lelah dan mengeluarkan keluhnya begitu berlebihan;
kadang manusia lupa bahwa masih banyak manusia lain yang tidak seberuntung dirinya.
Kadang,
kita hanya lupa apa arti bersyukur dan rendah hati.
Tanpa bermaksud merendahkan diri sendiri, apa sulitnya mengalah dan menahan amarah?
0 notes
semusenja · 7 years
Text
#FINDTHEBEAUTY
How to find the beauty? Bahagia itu, kita sendiri yang ciptakan. Bahagia itu sederhana, bahagia itu based on our point of view. Happiness is everywhere. Di kolong jembatan di mana kita bisa lihat sunset yang indah, di musholla ketika begitu banyak orang dan ada wanita yang dengan ikhlasnya bersedia meminjamkan mukenanya untuk kamu pakai, bahkan diantara desakan-desakan sempit lorong kereta api listrik yang kerap kali menjemukan, menambah beban dan keletihan kita setelah bekerja seharian. Beban itu kita yang ciptakan sendiri, begitu juga keindahan. Sayangnya, belum semua orang bisa berpikiran dari sisi yang selalu positif, begitu pun aku, wajar karena kita manusia, tapi kita perlu temukan kebahagiaan dan ketenangan hati kita sendiri, sesederhana dengan cara menemukan keindahan dibalik setiap hal kecil. Sederhana, tapi itu rasa syukur terdasar yang bisa kita perbuat atas segala kecukupan yang kita miliki sekarang. Aku tahu banyak orang bilang bahwa hidup harus melihat ke atas agar kita terus terpacu untuk jadi lebih baik, tapi bagiku hati kita harus seimbang, lihatlah juga ke bawah, ke banyak hal yang kurang beruntung dari apa yang kita miliki, dan mulailah merasa bersyukur dari hal-hal yang sederhana, lalu dapatkan energi positif darinya dan memulai hari-hari terbaikmu. Aku pernah salah karena tidak mau membagi apa yang aku lakukan untuk #findthebeauty dan #getthepositiveenergy dari hal itu. Tapi, kini, aku sadar hal itu bukan milikku sendiri, semua orang berhak untuk menemukan keindahan dan rasa syukur dari hidupnya sendiri, maka mulai sekarang, let's find the beauty around you, get every little reason(s) for you to smile and spread the positive impact! - catatan magang -
1 note · View note
semusenja · 7 years
Text
The Untold Story of Palu
“Mau tahu kepercayaan masyarakat sini, Dek? Kitorang tak boleh menunjuk pelangi, kalau sudah telanjur ditunjuk, kitorang harus gigit jari sampai berdarah” “Ah aku ngga percaya, Ka, lagian kan bukan orang sini”
—-
Ada sebuah cerita tentang Palu yang belum kubagi. Pukul 5 sore, saat air mulai pasang, sudah hampir 2 jam di tengah laut, terombang-ambing sebuah perahu kecil (katinting) yang hanya berisikan 4 orang; 2 orang penumpang dalam keadaan basah kuyup, 2 orang lainnya pemilik perahu yang berasal dari Tasik, tempat kelahiranku.
Perahu kami mogok beberapa saat setelah perbincanganku dengan Ka Rahmat tentang pelangi. Menunggu bantuan, perahuku ditarik perahu lain, kemudian mesinnya hidup, beberapa saat kemudian mati lagi, dan akhirnya kembali ditarik setelah sebelumnya aku harus melompat berganti perahu terlebih dahulu.
Adegan melompati kantinting menjadi hal yang menegangkan bagiku dalam keadaan menggigil kedinginan, tidak pandai berenang, dengan postur tubuh yang tidak terlalu tinggi. Bisa bayangkan? Ya, kau mungkin boleh bilang aku terlalu berlebihan.
Nafasku kembali teratur setelah mendapat tempat di atas perahu baru yang kemudian menarik perahu yang mogok.
Kupejamkan mataku sejenak; kicau burung, deru ombak, nyanyian angin, membelai-belai di sekitarku menciptakan tarian senja yang merdu menenangkan.
Kubuka mataku, kulihat pelangi di sebrang kananku masih melengkung sempurna dengan tujuh warna indahnya. Ku tengok ke sebelah kiri, sunset di ufuk barat mulai memainkan opera warna-warna jingga merah mudanya yang berpadu megah dengan biru ungu menyambut langit yang mulai terlelap. Di depanku, sebuah pulau berbukit-bukit penuh kehangatan yang selalu dipeluk awan dipuncaknya begitu sempurna, diikuti burung-burung yang mulai berarak pulang ke sarangnya.
Indah sekali, apakah aku sedang di surga?
0 notes
semusenja · 7 years
Text
Tanda Tanya
Sedikit gila. Bagaimana sebuah tanda tanya dapat mengubah hubungan antara manusia? Sesederhana itu. Segalanya dimulai hanya melalui sebuah tanda tanya Yang kemudian mengalir pelan perlahan namun semakin nyaman Yang kemudian semakin dalam hingga menjadi teman terjaga melewati malam
Sebuah tanda tanya. Sesederhana itu.
1 note · View note
semusenja · 7 years
Text
#findthebeauty of Jakarta
1. Jakarta Creative Hub yang baru dibuka;
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Memberikan kesempatan bagi para pemilik usaha untuk mendapatkan working space yang nyaman dan kesempatan pelaksanaan workshop dengan faslitas space yang diberikan secara gratis untuk member-nya. Kemarin, Royal Ministry dari Swedia (?) (I think) (kalau ga salah), baru berkunjung ke sini setelah sebelumnya mengunjungi Bandung. Dalam rangka pembukaannya ini diadakan exhibition yang diisi oleh kolaborasi antara Sejauh Mata Memandang (sebuah brand kain batik karya anak bangsa yang memberdayakan perempuan Indonesia dalam pembuatannya) dengan Jakarta Rumahku (sejujurnya aku masih kurang mendalami ini apa, tapi yang pasti gerakan-gerakan dan campaign yang dilakukannya selalu memperlihatkan sisi positif dari Kota Jakarta. Seeemacet apapun, sesemrawut, dan dengan segala kekurangannya, Jakarta tetap rumah bagi warganya dan kita harus berbangga akan hal itu). I really like this place and the exhibition; the color tone, the spirit, the purpose, I love it, hanya saja ada yang kurang; kurang banyak exhbitionnya hehehehehe;
Satu hal yang membuat gue tertegun cukup lama di tempat ini, gambar anak-anak dalam sebuah kertas dua dimensi yang penuh warna dan sebuah video dari sejauh mata memandang; it’s just… too real, membawa gue masuk ke dimensinya; gambar kupu-kupu tidak simetris yang lebih besar dari pohon dan rumah, gambar pelangi, gambar gunung dan matahari, gambar ondel-ondel, gambar monas, cermin kepolosan dan semangat anak-anak.
2. Galeri Nasional Indonesia – Exi(s)t sampai 5 Juni ayo ke sini!
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Jujur, awalnya sempat bingung melihat exhibitionnya yang cukup mungil untuk tempat sebesar Galnas, tapi ternyata pameran ini dibagi menjadi dua gedung; ada dua hal yang aku kagumi dari pameran ini; satu yang menampilkan dua buah layang-layang terbang tergantung dan satu buah lainnya jatuh di tanah dengan backround awan-awan, dilengkapi celoteh anak-anak yang berlarian riang bersama temannya sebagai backsound (ini membutku senyum-senyum sendiri// hey, dulu aku sering bermain layang-layang bersama adikku), satu berikutnya lukisan perempuan berbagai mode dengan cat yang timbul di atas cermin yang dipasang berhadapan dan disusun memanjang. Sangat suka dengan color palette dan tekstur cat yang mencuat-cuat serta goresan tinta di atas sini, space lorong sekecil ini menjadi berdimensi lebih luas dari yang seharusnya. Lovee it, karena jalan-jalan ke pameran seperti ini merupakan gateway terbaik bagiku yang membuat Jakarta jadi makin unik, terima kasih telah mengsi pundi-pundi semangatku hari kemarin!
3. #ManusiaKuat by Tulus & Adhitya Himawan di Dia.Lo.Gue - Sampai 5 Juni ayo ke sini juga!
(to be continued)
Special thanks:
Jakarta Creative Hub
Jakarta Rumahku
Sejauh Mata Memandang
Galeri Nasional Indonesia
Dialogue Artspace
Ka Robet (yang di tengah cutinya mengamini ke-bm-an gue untuk ke sini dan untuk cerita-cerita serunya, terima kasiiiih! :D)
1 note · View note
semusenja · 7 years
Text
warteg.
Petang dimana berjuta umat manusia menuju Bogor dan Bekasi membuat jalanan dan cara untuk pulang menjadi lebih melelahkan di tengah himpitan dan keringat – yang membuatku sadar aku semakin ingin membangun negeri ini.
Malam ini mama dan papa datang ke kosan, di malam pertama tarawih, hari ini semakin sempurna saja, setelah sebelumnya puas mengelilingi Jakarta bersama orang-orang hebat yang banyak membuka cara pandang baru dalam hidupku. Sebelum pulang, aku mengajak mereka makan. Di warteg. Awalnya raut wajah mama dan papa yang lelah seperti terheran hingga membuatku merasa tidak layak mengajak mereka makan di sini, tapi apa daya, tempat makan lain tutup dan aku tahu papa terlalu lelah untuk pergi keluar Kutek (daerah kosanku) dan kembali ke sini untuk mengantarku pulang (aku tahu papa tidak akan membiarkanku pulang pakai ojek, seeekuat apapun aku meyakinkannya bahwa aku bisa dan aku sudah besar).
Raut-raut mereka yang berkerut membuatku takut-takut sepanjang makan malam. Takut aku dilarang lagi makan di sini(?) wkwkw ayolah ini warteg paling bersih yang ada di sini. Tapi apa yang kemudian mereka katakan? “jadi begini ya rasanya jadi anak kosan di sini” sambil tersenyum dan menepuk-nepuk kepalaku.
LOL, seketika aku merasa gemas dengan apa yang dilakukan papa dan mama, makan malam di hari pertama tarawih bersama mereka, sama saja dengan berbuka puasa untuk sebulan ke depan bersama mereka. Ma, Pa, maafyaa, liburan kali ini teteh gaakan pulang ke rumah. Dan aku janji, I’ll be fine, aku akan temukan jalanku sendiri untuk terus kuat dan membuka kesempatan untuk orang lain di sini (walaupun seringkali kalian bilang bahwa aku terlalu idealis; mungkin iya itu benar, tapi izinkan aku untuk memperjuangkannya, bolehkah?)
Doakan terus ya, Mam, Pap, makasih untuk segala kemudahan dan jalan yang telah kalian buka lebar-lebar untuk segala kesempatan yang bisa aku dapatkan selama ini, teteh sayang kalian <3
0 notes
semusenja · 7 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
PALU, SULAWESI TENGAH
Peluh terus mengucur, langit semakin gelap, namun perjalanan masih tersisa setengah, sekitar 1,5 jam lagi. Sebagian rombongan kami kini tiduran kelelahan di atas tanah basah setapak jalan kebun coklat sementara yang lainnya di bawah tumbang beberapa dan menunggu angkutan motor untuk menjemput. Sebenarnya naik motor pun bukan pilihan karena jalan setepak ini bersisian dengan jurang terjal. Lelah sekali, kakiku yang hanya beralas sandal jepit mulai lecet-lecet, aku tidak tahu bahwa trekking ini akan melewati medan yang berat, bahkan melewati sungai selutut.
“Goyangkan badanmu! Trek trek trek jing! Agar kamu bahagia, trek trek trek trek jing!” tibatiba salah satu diantara kami (Ka Ipin) yang sedang tiduran bangkit dan bernyanyi, menyemangati kami melanjutkan perjalanan. Tinggal tiga tanjakan panjang lagi dan kami akan segera sampai, sebelum malam semakin larut dan badan semakin lelah, kami harus sampai sebelum besok pagi kegiatan mengajar dimulai! Perjalanan pun kami lanjutkan dengan sesekali berhenti, sesekali terkena getah coklat, diselingi dengan tambahan nyanyian Ka Ipin sebagai penyemangat.
Satu tanjakan terlewati, dua tanjakan, hingga tanjakan ketiga, kami tertegun sejenak menatap langit yang sebelumnya tertutup pohon coklat kini terlihat jelas dihiasi bintang-bintang dan pemandangan kota nun jauh di sana, wajar saja, di bukit ini tidak ada listrik sama sekali sehingga bintang bermunculan mengintip perjalanan kami dengan begitu indahnya. Perbukitan terakhir, semakin dekat dengan puncak hingga tiba-tiba gerombolan anak-anak laki-laki dan perempuan berambut panjang melambai-lambaikan tangan, menghampiri kami sambil tersenyum malu-malu. Inikah anak-anak pedesaan di atas bukit itu? Ya, mereka menjemput kami ternyata, kami semakin dekat dengan pemukiman mereka. Kami berjalanan bersama dituntun oleh mereka sampai ke desa.
Foila! Tanda-tanda kehidupan yang pertama kami lihat dari desa ini adalah sebuah warung kecil di sebelah sekolah dasar bercat putih gading, itulah sekolah tempat kami akan bermalam sekaligus tempat kami mengajar esok pagi, SDN Terpencil 04 Maganggal Bobalo. 
Sekolah panggung berukuran kecil ini hanya sekitar 6m x 13m. atapnya ditutup oleh seng, langit-langitnya bolong-bolong, lantainya berdebu, dan ruangannya hanya dibatasi oleh tiga sekat berbahan tripleks dan dipergunakan untuk kelas 1 sampai kelas 7, bisa bayangkan bagaimana kecil dan berisiknya saat kegiatan belajar berlangsung?
Pagi itu tim kami dibagi menjadi dua, tim pertama mengajar di tempat kami menginap (SDN Bobalo), sementara tim lainnya melanjutkan perjalanan 45 menit menggunakan ojek ke desa atas, SDN 02 Pesangkang Pabounang.
Aku mendapat giliran mengajar kelas 5, 6, dan 7 SDN Bobalo bersama Ka Gilang, orang Klaten yang sedang ditugas kerjakan di Palu, Sulawesi Tengah. Awalnya sulit sekali mengajar 38 anak ini, mereka sangat pemalu dan pendiam, ditambah kami berdua yang teledor kurang mempersiapkan bahan, hal ini menjadi semakin sulit saja. Namun, lama kelamaan suasana mencair, kami menemukan cara untuk mengajar mereka. Materi yang kami sampaikan adalah Pancasila, sistem pernafasan, dan sistem pencernaan. Pada materi sistem pencernaan misalnya, kami memulai dengan mengajak mereka berimajinasi tentang sebuah piring yang ada di depan mereka penuh makanan lezat yang mereka dambakan, secara virtual kami “mencocol” nasi dan lauk bersama-sama, lalu memasukan tangan kami ke mulut, mengunyah makanan lezat hingga kenyang. Itulah awal narasi yang kami buat bersama anak-anak hingga menceritakan bagaimana perjalanan makanan itu selama di tubuh kami. Kegiatan belajar hari itu diisi juga dengan bernyanyi berbagai macam lagu, sebagai bonus mereka mengajarkan kami lagu daerah Sulawesi dengan bahasa yang tidak kami pahami dan seringkali keliru kami ucapkan dan menghadirkan tawa anak-anak karena kekikukan kami di depan kelas ketika mengikuti mereka.
Sedikit cerita tentang mereka, anak-anak ini sangaatt jarang turun dari bukit tempat mereka tinggal, lebih parah lagi cerita dari pengalaman mengajar di SDN Pesangkang Pabounang, mereka bahkan tidak mengerti bahasa Indonesia dan belum hafal lambang-lambang Pancasila. Fasilitas yang disediakan pun seadanya, kamar mandi yang tersedia hanyalah sepetak kotak kecil sepinggang, tanpa pintu dan tanpa atap dengan sumber mata air yang mengalir melalui bambu yang dipasang setinggi betis kami, di situ pulalah kami, tim 1000 guru, mandi selama menetap di sana. Mengenai kesehatan, jika ada penduduk yang sakit, maka mereka hanya menunggu bidan yang datang sekitar dua minggu sekali ke desa untuk mendapatkan pertolongan.
Menurut salah satu guru di sini, selepas lulus kelas 7, biasanya mereka akan putus sekolah karena terlalu jauh dari rumah untuk melanjutkan ke SMP, apalagi perguruan tinggi. Murid mencapai lebih dari seratus, tetapi pengajar yang ada hanya 9 orang termasuk kepala sekolah, hanya kepala sekolah yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di SDN Bobalo ini. Sangat, sangat jauh dari kehidupan dan segala kemudahan kita yang berskolah di kota, tetapi kegiatan belajar mengajar tetap terlaksana secara khidmat dengan anak-anak yang penuh antusias dan guru-guru yang benar-benar ikhlas untuk mengajar. Untuk mencapai sekolahnya, anak-anak harus berjalan jauh juga dari desa atas.Tak jarang seorang guru dari desa bawah rela tinggal di sini hanya untuk mengajar anak-anak didiknya. 
Aku sangat terharu ketika mereka menulis cita-cita dan impian mereka, walaupun masih banyak yang mengikuti apa yang ditulis oleh teman disebelahnya, yaitu bercita-cita menjadi guru, tetapi beberapa dari mereka sudah mulai terbuka pikirannya. Ada harapan di hati dan pikiran mereka untuk mencoba berani turun dari bukit ini, untuk melihat dunia luar, melihat Kota Palu, dan yang terpenting, melanjutkan sekolahnya. Ada seorang anak yang menulis “Aku ingin ikut Kak Ulfah ke Jakarta”, bisa bayangkan bagaimana aku terharu membacanya? Aku lebih terharu lagi ketika mereka bernyanyi sebuah lagu iklan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) zaman Pak SBY menjabat dulu,
“Tiba saat kita maju bersama, melaksanakan wajib belajar, Sampai pendidikan tingkat pertama, bagi tunas bangsa Satukan tekad penuh kesadaran, bekal kemandirian, Demi mencapai pendidikan dasar, menatap masa depan….”
Teaching and Travelling 1000 Guru Sulawesi Tengah 5-7 Mei 2017
0 notes
semusenja · 7 years
Video
youtube
My video is finally out!
Check it on https://www.youtube.com/watch?v=dc4IjqcdiXI
0 notes
semusenja · 7 years
Text
Expatriate 2.0
Kukusan Teknik, 18 April 2017
Hari ini salah satu teman gue yang baru pulang dari perjalanan #30paspor-nya berbagi pengalaman selama dia pergi ke luar dan mengaku kalau dia ingin kerja di luar negeri setelah merasakan sendiri nyamannya tinggal di sana.
Memang, banyak pandangan baru yang terbentuk setelah kepulangan kami, mahasiswa kelas Pemasaran Internasional (Pemintal), yang “tersesat” sendirian ke negara-negara yang diwajibkan benar-benar berbeda budaya dan bahasanya. Beberapa orang yang pergi ke negara-negara Asia Tenggara seperti Kamboja, Sri Lanka, dan sebagainya kini dapat merasakan rindu dan menghargai tanah air karena terbuka pikirannya bahwa Indonesia masih punya harapan, Indonesia tidak setertinggal itu, dan Indonesia punya potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Namun, ada juga beberapa sisi yang pergi ke negara-negara yang sudah lebih maju dari Indonesia merasa nyaman dan berpikiran bahwa negara-negara maju itu akan menjadi bagian dari jalan hidup yang ia pilih selanjutnya.
Bagai pisau bermata dua memang. Namun, menurut gue pribadi hal ini sama sekali ga salah, ini bagian dari pembelajaran bahwa “the future” yang dibawa oleh orang-orang di negara maju memang memberi kenyamanan dan kesejahteraan sendiri bagi masyarakatnya. Indonesia mungkin masih jauh tertinggal, tapi dengan pemikiran-pemikiran masyarakatnya yang terbuka dan berkemauan untuk membangun bangsanya – meskipun dengan bermula dari mengadopsi dari kemajuan bangsa asing – menurut gue ga masalah, ini adalah potensi dan bukan berarti bangsa Indonesia akan terpuruk selamanya. Indonesia harus mulai membuka mata untuk keluar dari zona nyaman dan memulai sebuah perubahan revolusioner untuk membangun bangsanya sendiri. Gue yakin beberapa langkah untuk menuju hal ini sebenarnya sedang diusahakan oleh pemerintah dan banyak orang Indonesia, yang sayangnya masih banyak dari kita yang terbelenggu pada nyamannya masa lalu sehingga perubahan-perubahan yang hendak dibawa sering kali menuai kritik dan tidak jarang bentuk kegiatan anarki. Kritik itu penting dan sangat baik guna evaluasi dan perbaikan diri, tapi mengkritiklah secara bertanggung jawab.
---
Kembali ke Sydney, 15 Maret 2017
Gue kikuk untuk beberapa detik ditodong pertanyaan seperti itu. “Buat kerja di luar, kayanya, masih gamau deh, kan gue mau buka lapangan kerja buat orang Indonesia!” jawab gue akhirnya sembari meyakinkan kembali tekad gue.
“Buat belajar? Kuliah juga gamau?” kejar dia.
“Yaa, kuliah boleh lah, gue butuh pengalaman yang banyak buat buka jalan pikiran gue lagi juga sih. Gue akan kerja buat orang dulu juga kayanya, karena gue butuh modal dan gue juga butuh pengalaman.
Ya, seengganya sekarang idealisme gue seperti ini haha”
---
Begitu jawaban gue sebulan lalu. Dulu gue juga sempet mempertanyakan kenapa harus liburan ke luar negeri? Hey, nikmatilah dulu Indonesia juga kaya banget dan punya banyak hal menanti buat dieksplor kali.
Tapi, sekarang pikiran gue berubah. Gue mengerti kalau pergi ke luar negeri, melihat dunia yang luas juga sangat penting karena dengan begitu gue bisa tau beragam sistem, adat, budaya, dan kemajuan yang bisa berlaku di dunia ini, apa yang bisa kita bawa dari luar untuk membangun bangsa kita sendiri – benchmarking is not a wrong way anyway; selama tidak ketergantungan dan disesuaikan lagi dengan keadaan yang berlaku di negara kita.
Kenapa gue bilang gini? Karena, jujur gue tercengang ketika liat sistem transportasi Sydney, sebuah sistem yang pernah gue pikirkan dan impikan saat gue SMP. Bermula dari jengahnya gue sama sopir angkot yang kadang semena-mena memberikan tarif, gue merasa tidak adil saat itu. Sampai akhirnya gue wondering andai sistem pembayaran angkutan kota bisa pakai semacam kartu atau chip yang akan memberikan tarif yang adil sehingga uang yang kita deposit di kartu itu terkurangi secara otomatis ketika kita turun dari angkutan sesuai dengan jarak perjalanan kita (ya mungkin bisa dikombinasikan dengan waktu juga jika macet), kartu ini juga bisa diintegrasikan dengan kendaraan umum lain seperti bus.
Dannnn, foila! Ternyata Sydney sudah lama melakukan itu. Hanya dengan satu kartu yang bernama “Opal Cards”, kita dapat melakukan pembayaran transportasi umum (bus, kereta, trem, ferry) yang secara otomatis mengurangi saldo kita, tap on dan tap off ketika kita pergi dan sampai. DAMN my idea just come true! Gue merasa pintar HAHAHA
OYAA TAPIIII, hey, keliling Indonesia juga ga kalah penting karena lo bisa tau dan membandingkan bagaimana keadaan bangsa lo sendiri, apa potensinya, bagaimana ketimpangan yang terjadi, bagaimana mengatasi perbedaan yang sangat beragam, dan bagaimana cara membangunnya. Bagaimana lo mau membangun bangsa lo kalau lo tidak mengenali bangsa lo sendiri?
Gue setuju bahwa “travelling is an investment”, iya siiih butuh duit banyak bet haha, tapi ada satu hal yang priceless dari travelling ini, yaitu pengalaman yang lo dapet karena pengalaman sifatnya abadi dan it’s always different ketika lo merasakan dan menyaksikannya dengan mata kepala lo sendiri.
0 notes
semusenja · 7 years
Text
Expatriate.
“Kenapa expatriate?”
Hening sejenak di antara riuh ramai orang berlalu lalang di antara kami yang sejak satu jam terakhir menyusuri salah satu jalanan tersibuk di kota ini.
Dia menarik nafas sejenak, memasukan jari-jari ke dalam saku celana coklat selututnya yang mulai pudar, berhenti. Lalu menoleh ke arah gue sambil tersenyum tanpa ada tanda-tanda membuka mulut.
“Gue bingung sama temen-temen gue, sepanjang hidup mereka di Indonesia, tapi makin sini banyak yang bilang kalau udah lulus gamau kerja di Indo, mau kerja di luar aja”, kata gue ketika dia melanjutkan langkahnya, diikuti oleh gue yang mengeluh seketika tanpa peduli orang di sebelah gue yang nyatanya kerja buat orang asing juga.
“Mereka bilang mereka udah muak. Separah itu kah? Iya sih, Indonesia masih banyak banget yang harus dibenerin, gua mungkin terlalu idealis, tapi kalau kaya gini terus kapan Indonesia majunya, orang Indonesia tuh pinter-pinter loh, asset buat bangun Indonesia. Iya sih banyak aturan dan regulasi ngeribetin, tapi kalau ga ada yang ngubah, mau sampai kapan..”, masih belum selesai dengan ocehan gue.
“Temen-temen gue di kantor, banyak mahasiswa LPDP Indonesia. Mereka dikasih beasiswa dengan harapan mereka bakal balik ke Indonesia buat bangun bangsanya sendiri, tapi banyak diantara mereka yang ngakalin biar abis lulus bisa langsung kerja di sini”, suaranya  dengan tenang menjawab gue.
Gue mengamini dan kembali cerita. Tentang betapa hebatnya orang Indonesia, betapa pinternya mereka, dan gimana kita begitu beragam yang sayangnya kurang diapresiasi dan mengapresiasi negara asalnya sendiri. “Pinter sih, tapi orang Indo gampang diprovokasi juga”, jawabnya yang kemudian dibalas dengan lamunan dan pertanyaan ga terima dari gue sembari mencerna dan mengingat-ngingat mencari pembenaran sekaligus bantahan dari kalimat orang asing di sebelah gue ini.
“Gue pernah kerja di Thailand, pernah di Indonesia, pernah di Malaysia, berkali-kali pulang pergi Italia dan Dubai buat training, dan sekarang delapan bulan di Sydney. Kenapa expatriate? Jawabannya biar ketika gue pulang gue bisa punya pengalaman buat bangun negara gue sendiri”, timpalnya tanpa peduli dengan keluhan gue sebelumnya.
Gue cuma bisa melongo. Orang asing ini. Gue ketemu dia di hostel yang baru gue sewa sebagai tempat tinggal gue tiga hari ke depan. Gue kenal dia dari Couchsurfing dan dia jemput gue sekitar dua jam lalu, tapi dia selalu berhasil bikin gue bengong dengan jawaban-jawabannya yang sangat-jarang gue temui, biasanya ketika gue cerita kaya gini orang-orang akan terus mengungkit kejelekan Indonesia dan kemudian segera berganti ke topik selanjutnya. Gue tau gue masih belum punya solusi untuk idealisme gue yang satu ini, tapi seengganya gue punya semangat dan keyakinan kalau segala hal yang kurang dari Indonesia itu bisa diubah jadi lebih baik, selama Indonesia punya warga dan pemimpinnya yang punya tekad dan mau berusaha. Ternyata orang ini beda, orang asing yang peduli sama negaranya sendiri.
“Emang apa bedanya kerja di negara lo dan di sini?” tanya gue akhirnya. “Hmm, beda sih, di sini, pendapat kita lebih dihargai, gue bebas nyampein pendapat gue ke atasan gue tanpa birokrasi yang rumit”, jawabnya menggebu-gebu. Lucu, bahasan gue ketika liburan ini rasanya berat sekali, tapi gue menikmatinya.
Gue kembali cerita panjang lebar, mulai menganalisa apakah karena diri gue yang kurang melihat dunia yang luas, gue yang terlalu idealis, atau jalan pemikiran gue yang optimis tentang Indonesia ini udah bener ke dia. Gue juga sesekali motret, masih ditemani oleh dia yang sabar ngikutin gaya-gaya aneh motret gue dari mulai berdiri, miring kanan-kiri, sampai jongkok-jongkok.
“How’s Sydney? Menurut lo?” tanya dia ke gue.
“Hmm, nyaman. Setelah tiga hari gue di sini, sebenernya gue ngerasa Sydney kaya Bandung, kota tempat tinggal gue di Indo. Udaranya sejuk, penduduknya beragam dan ramah, landmarknya rapi. Cuma, yaa di sini lebih teratur kali yaa, lebih bersih dan rapi. Dan lebih ngga padet penduduknya. Dan kendaraan umumnya lebih nyaman. Hahahaha banyak yaa lebihnya?” gue tertawa mendengar pernyataan gue sendiri, dia pun mengikuti tertawa gue.
“Hahaha, wajar, penduduk Sydney cuma 5 juta jiwa itu pun udah sama pendatangnya”, jelas dia.
Kita jalan lagi, motret lagi, cerita-cerita banyak hal lagi. Gue cerita tentang cita-cita terbesar gue sejak SMP, pengen buka lapangan kerja buat orang, saking terlalu banyaknya gue liat orang Indonesia yang terbuang potensinya karena pengangguran dan jumlah lapangan kerja yang ga sebanyak usia  kerjanya. Dia juga cerita tentang negara dan kota asalnya, tentang orang tuanya, tentang sekolahnya, tentang bagaimana dia bisa sampai ke Sydney.
“Jadi gimana? Masih gamau tinggal di luar negeri?” tanyanya setelah cukup lama kita betukar pikiran.
...to be continued...
Sydney, 15 Maret 2017
0 notes