Text
Autoimun (part 3)
sepertinya tidak.
aku belum siap.
namun, tangisan di setiap sudut ruangan tidak juga berhenti.
semakin aku mencoba mendengar dan melihat mereka, semakin aku merasa bahwa aku berada di frekuensi yg berbeda.
apa yg mereka ucapkan, seolah-olah menjadi pedang untukku.
apa yg mereka lakukan, seperti sebuah ancaman untuk diriku.
“coba tolong dipanggil ustad aja, ndok. siapa tau anakmu lg diganggu”
seorang ustad menghampiri dan memandang wajahku. aku hanya terdiam. apa? apakah ada yg salah? aku kesurupan? hahaha kesurupan apa? engga loh, engga. aku baik-baik saja.
sang ustad mengajakku membaca surah an-nas, dan aku mengikutinya dengan lancar. tidak ada jeritan. atau penolakan. ah.. rasanya tenang sekali membaca kalimat Allah dituntun begini, pikirku.
tidak lama kemudian beberapa dokter datang. mereka berbicara dengan orang tuaku. mereka bicara apasih? aku tidak bisa mendengar dengan jelas. bukan, bukan karena suara mereka tidak terdengar.. tapi memang aku yg tidak bisa paham.
hampir semua orang di ruangan itu memandangiku.
aku teringat wajah kebingungan dan keputus-asa-an di situ.
“coba saya panggilkan dokter spesialis saraf ya bu”.
tidak lama kemudian, seorang dokter tua (aku ingat betul, dia sudah tua) menghampiriku dan memandangiku seperti ustad sebelumnya. selama beberapa menit, beliau melihatku dan mencoba membuat kontak mata denganku. aku pada saat itu, melihat beliau dengan tatapan kosong dan juga bingung.
“anak ibu ketakutan ini mah, dibawa pulang saja. di sini bikin dia stress bu, anak ibu tertutup orangnya, banyak masalah yg dia pendem tuh udh pada numpuk. kalau ngga dikeluarin, kasian dia. udh ketakutan bgt bu. kebanyakan obat, kebanyakan diagnosa.. haduuh siapa yg tidak stress.”
dokter keluar mengajak ayah dan ineku untuk membicarakan mengenai kondisiku. “ine mau kemana, jgn tinggalin aku sendirian.” aku merintih lemah, lalu tanteku yg berada di dekatku menjawab, “gpp kok, ine keluar sebentar aja ya.”
ruangan kemudian mulai sepi, satu persatu keluargaku melanjutkan aktivitas mereka. hanya tinggal beberapa orang saja yg tidak tega untuk pulang. tidak ada yg berubah. ruangan masih tetap sama. orang-orang masih menunggku.
tapi tidak dengan pikiranku.
setiap detik yg berlalu, adalah seperti aku semakin dekat kematianku. aku terdiam. terbayang kegelapan. dan aku ketakutan. aku berteriak dan tbtb menangis, orang-orang di situ terkejut, dan mencoba menenangkan aku.
“tidak! bagaimana aku bisa tenang kalau aku tau kematian akan datang? bagaimana bisa? oh ya Allah, Engkau bercanda bukan? tolong bilang padaku ini hanya lelucon! hahahahaha” aku berteriak dalam hati. aku menangis, meronta, dan tertawa. berdebat dengan pikiranku. berdebat dengan diriku.
oh ayolah, aku tidak sakit..
aku tidak sakit.
aku baik-baik saja.
setelah menangis dan tertawa, aku kemudian terdiam kembali. sudah waktunya makan malam, tanteku mendekat dan mengajakku makan. “tante.. aku sakit ya? atau sudah gila? aku gila ya? kasihan ine, tante..” aku bertanya, tanteku hanya terdiam. raut wajahnya murung. “ngga kok sayang, kamu sebentar lg pulang. kamu yg tenang ya, kita makan dulu..” terdengar isak tangis dari bangku di ujung sana. ineku. ibu yg paling cantik dan sabar di dunia.
semenjak itu, yg kulakukan hanya terdiam, kosong, melamun, terlalu larut dalam pikiranku. dokter mendiskusikan kondisi ku berhari-hari. dan aku, masih sama. terdiam. kosong. dan terlalu larut.
aku mulai tidak mengerti diriku. tidak mengerti sekitarku. sebenarnya apa yg terjadi? siapa saja, tolong. jelaskan padaku.
sementara aku terlalu asik dengan pikiran negatifku, pihak dokter semakin putus asa karena tidak mengetahui secara pasti apa yg terjadi padaku. selama beberapa hari, akupun hanya terdiam seperti orang yg ‘lain’. akhirnya, semua dokter yg menanganiku berkumpul untuk menjelaskan apa yg sebenarnya aku alami.
“bu, sebelumnya kami minta maaf karena blm bisa mengetahui apa yg terjadi sama anak ibu.” dokter penyakit dalamku mulai berbicara. “bagaimana bisa, dok? anak saya di sini berhari-hari, bahkan sekarang ia tidak sadar sepenuhnya. seperti orang yg kehilangan arah. bagaimana bisa dokter blg tidak tahu anak saya kenapa?”, “kami mohon maaf, bu.. kami sudah melakukan banyak test namun negatif semua.” “anak saya begini ya karena transfusi yg kalian lakukan! sekarang kalian blg kalian gatau?” ine benar-benar marah. lalu kemudian, salah seorang dokter mengatakan “ya mau bagaimana, bu? darah yg sudah masuk kan tidak mungkin keluar lagi?” mendengar hal tersebut, ine tersentak. marah. dan benar-benar kehilangan kendali, memarahi semua dokter yg ada di sana.
aku, tetap terdiam dan tidak mengerti.
“kenapa kalian ribut sekali, dan tidak bisa membiarkan aku menunggu dijemput malaikat saja? aku lelah.” batinku.
dokter berjanji akan memberikan jawaban setelah berunding.
kemudian, dokterku kembali. “bu, kami menduga anak ibu terkena autoimun.. setelah kami berdiskusi dan mengobservasi kembali semuanya, itu yg dapat kami simpulkan. atau lebih jelasnya, ada kesalahan dengan sistem kekebalan tubuhnya, kami minta izin untuk melakukan test ANA, untuk mengetahui anak ibu positif terkena autoimun apa tidak.” “autoimun? apalagi itu dokter? yasudah lakukan saja. lakukan apa saja supaya anak saya sembuh.” jawab ine dengan pasrah.
setelah dua hari, hasil test ANA selesai. “anak ibu positif terkena autoimun, tp kami mohon maaf bu.. kamu tidak memiliki dokter yg menangani penyakit ini. saya akan merujuk anak ibu ke rumah sakit lain, yg memang ada ahlinya di sana.” setelah pernyataan dokter itu, aku diizinkan pulang. dirujuk ke rumah sakit lain untuk ditangani oleh ahlinya.
ya, aku pulang ke rumah untuk sementara dengan kondisiku yg sangat memprihatinkan.
sadar tapi tidak sadar.
seperti orang tidak waras.
atau memang aku sudah tidak waras?
aku dengan pikiran negatifku yg tak kunjung berhenti, berfikir bahwa sudah saatnya aku pulang. malaikatku sudah datang. aku sudah dijemput. orang-orang di rumah menungguku sambil menangis. sudah saatnya. aku memang harus pergi dalam gelap, meninggalkan semua orang yg aku cintai.
ah, dasar pikiran yg jahat…
tbc.
0 notes
Text
Autoimun (part 2)
setelah beberapa hari di rumah sakit, kondisiku tidak juga membaik. ruam di tubuh dan wajahku semakin menghitam, aku selalu diam dan hanya tersenyum sesekali, untuk meyakinkan ine bahwa “aku baik baik saja, tidak perlu khawatir.”
setiap pagi aku disambut dengan sarapan bubur dan jarum di lenganku, untuk diambil darahnya. setiap sore juga aku menunggu dokter visit dan memberikan jawaban, tidak terasa, seminggu berlalu.
bingung? sudah pasti. bosan? aku tidak pernah merasa sebosan ini selama hidupku. takut? bisa dibilang.. iya.. tapi aku hanya terdiam dan lagi-lagi tersenyum mengisyaratkan bahwa “aku baik baik saja, tidak perlu khawatir.”
segala test dilakukan, mulai dari test darah, rontgen, usg, bahkan ekg (jantung), namun hasilnya tetap sama. tidak ada yg salah pada bagian organ tertentu dalam tubuhku, kecuali fungsi hati yg diakali dengan pemberian obat lambung sebelum makan. selebihnya, organ dalam tubuhku sangat baik. lalu, kenapa aku?
aku, ine, ayah, dan saudaraku mempertanyakan hal yg sama, bagaimana mungkin aku dirawat tetapi tidak membaik. mereka selalu bilang “sabar ya nak, sabar. inshaaAllah semua ada hikmahnya.” dan lagi-lagi aku hanya tersenyum.
entah hari keberapa, dokterku visit dan bertanya beberapa hal kepadaku, “kamu bisa lihat cahaya ngga?” “bisa dokter.” “terasa lemas sekali atau letih?” “biasa saja kok dokter" jawabku. “ah, mungkin bukan.. saya kira anak ibu terkena lupus, itu loh bu penyakit kekebalan tubuh, karena dilihat dari ruam di wajahnya yg seperti kupu-kupu, tapi sepertinya tidak. pasien lupus tidak dapat melihat cahaya, dan anak ibu bisa. semoga saya salah diagnosa.” dokter menjelaskan dengan ragu-ragu, dan aku hanya terdiam dan bertanya dalam hati, “lupus? bukannya itu judul film jaman dulu? iyagaksih?”.
setelah hari itu, ayah dan ine sibuk sekali mencari informasi tentang lupus, walaupun dokter masih ragu, dan tidak menegaskan diagnosanya. mereka tetap mencari info sebanyak mungkin. akhirnya diketahui bahwa, lupus merupakan penyakit kekebalan tubuh, yg menggerogoti tubuh pasien setiap hari, menjadikan pasien lemah dan tak berdaya, dan.. biasanya berakhir dengan kematian. siapa yg tidak kaget? siapa yg tidak takut? siapa yg tidak khawatir? mungkin hanya aku di ruangan itu. selebihnya, hampir seluruh keluargaku sibuk mencari informasi lebih lanjut.
mungkin saja dua atau tiga minggu telah berlalu, aku tidak tahu pasti.
kosong.
pikiranku melayang.
tidak memiliki arah.
gelapku baru saja dimulai.
sore itu, aku tiba-tiba menjadi orang yg sangat diam. tidak mau makan, mengobrol, nonton tv ataupun aktivitas lainnya. aku hanya diam dan tidak memikirkan apa-apa. kosong. aku merasa sepertinya duniaku akan berakhir. hanya tinggal menunggu malaikat maut muncul dihadapanku. terlalu larut.. akhirnya, aku pun tertidur.
keesokan paginya..
hari itu datang dengan tiba-tiba.
aku terbangun sebelum subuh, sendirian di tempat tidur. ine tertidur pulas di bangku bersama dengan adikku yg paling kecil. aku ketakutan luar biasa, entah kenapa aku merasa waktuku sudah hampir habis. aku terdiam dan mencoba kembali tidur, dan berharap ini hanya mimpi buruk. aku tertidur kembali.
kemudian aku terbangun, dengan nafas sangat sesak dan gelap, seperti itu adalah nafas terakhir yg akan keluar dari tubuhku. aku kejang sesaat. “ine.. tolong.” tapi aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata apapun, dan hanya menangis di tempat tidur. lalu, entah bagiamana caranya.. aku kehilangan kesadaranku.
semuanya berubah, seolah-olah aku melihat dan mendengar dengan frekuensi yg berbeda. aku ketakutan. penglihatan dan pikiranku tidak sinkron. mataku hanya fokus ke sebuah foto di dinding dengan tulisan Allah dan Muhammad, aku bershalawat dalam hati. merasa ada yg akan datang. air mataku mengalir pelan-pelan, dan tubuhku kaku.
“kakak udh bangun, mau sarapan?..” lalu ine tersentak melihat kondisiku. “kak? kok nangis? kamu kenapa? jawab ine dong, kak?” akhirnya, aku mencoba menjawab.. “ne, ada yg mau datang. ine gapapa kan, kalau aku pergi? udh ada yg mau jemput.” hanya kalimat itu yg dapat keluar dari mulutku. ine hanya terdiam. air matanya mengalir. ine berusaha tenang dan mengambil handphone, menghubungi ayah dan juga omku untuk datang ke rumah sakit detik itu juga. kemudian dengan suaranya yg lembut, ia berkata “gapapa kok kak, gaada yg mau jemput. kakak tenang ya..” aku hanya menangis dan menangis.
tiba-tiba saja kamarku ramai.
tangisan pecah dari setiap sudut ruangan.
sepertinya hampir semua keluargaku hadir di situ.
“ah.. apa ini sudah waktunya?”
“apa aku akan siap?”
“aku akan sendirian.. aku akan di tempat yg gelap.. tidak ada ine, ataupun ayah.”
“meninggalkan wajah-wajah yg bingung itu?”
“aku harus bagimana?”
“diam atau berteriak?”
“apakah.. aku sudah siap?”
aku terdiam, hatiku pasrah.
tbc.
0 notes
Text
Autoimmune (part 1)
autoimun.
bagi sebagian orang kata tersebut terdengar asing. sama halnya bagiku 3 tahun yg lalu, aku sama sekali tidak mengerti mengenai itu.
hidupku baik-baik saja, bahkan kelewat baik sebelum aku mengenal kata tersebut, yg sampai hari ini seperti menjadi nama belakangku.
tidak, tidak. hidupku masih baik-baik saja sampai sekarang.
bahkan kelewat baik sampai aku berani menuliskan kisah si autoimun ini kepada kalian.
so, here i am.
dan ini awal mula perjalananku.
sebelum aku mulai, dan untuk yg tidak mengerti, aku akan menjelaskan sedikit mengenai definisi singkat dari autoimun.
autoimun, adalah salah satu penyakit (yg bisa dibilang serius) langka dan cukup sulit untuk disembuhkan. dikatakan autoimun, ketika sistem kekebalan tubuh menyerang tubuh itu sendiri dengan membuat lawan menjadi kawan, dan kawan menjadi kawan. mudahnya, autoimun akan mendeteksi virus atau yg lainnya sebagai kawan, dan menganggap bahwa vitamin dsb adalah lawan.
autoimun sendiri terdiri dari berbagai type dan level, kalau kalian pernah dengar SLE (lupus), multiple sclerosis, graves disease, diabetes type-1 autoimun, itu adalah sebagian penyakit dr autoimun.
beberapa kemungkinan yg menjadi faktor penyebabnya, yaitu genetik, lingkungan, dan infeksi atau virus.
itu hanya definisi singkat, untuk lebih jelasnya aku ingin berbagi sedikit mengenai autoimun, dalam kasusku. hepatitis autoimun.
waktu itu, tahun 2014.
2014 menjadi tahun yg sangat berarti bagiku. pertama, karena aku lulus sma dan diterima di salah satu ptn. kedua, karena aku memutuskan untuk memakai hijab. dan ketiga, karena aku bertemu dengan autoimun ini.
aku ini termasuk orang yg tidak bisa diam, dulu ikut tari saman, organisasi, les setiap minggu, belajar untuk un, namun malas makan dan istirahat yg cukup.
pengumuman sbmptn yg bertepatan dengan bulan puasa, sungguh sangat bermakna bagiku, diterima di salah satu ptn dan memutuskan untuk berhijab, tentu suatu pencapaian sendiri bagi aku yg saat itu sangat ingin masuk ptn dan jurusan yg aku pilih, psikologi.
namun, bertepatan dengan pengumuman itu pula aku sudah mulai merasakan tubuhku sedang sakit, aku sering merasa lelah, dan juga demam. waktu itu, aku hanya berfikir kalau itu cuma kecapekan biasa krn aktivitas yg sangat padat (saat itu, aku dan teman-teman menggalang dana untuk gaza selama kurang lebih dua minggu). karena itu, aku hanya ke klinik dan diberi obat serta vitamin. aku pun santai dan pulang dengan “ah, cuma kecapekan, tidur juga sembuh.”
seminggu, dua minggu, tiga minggu.
hampir setiap hari badanku demamnya naik turun, dan kepalaku pusing.
sampai akhirnya, aku pergi ke rsud di dekat rumahku, dan ambil darah untuk mengetahui apa yg salah pada diriku. setelah hasilnya keluar, ternyata fungsi hatiku sudah membengkak di angka 150an (normalnya 15) dan aku dirujuk ke dokter penyakit dalam.
akhirnya aku ke salah satu rumah sakit rujukan kantor ayahku, dan menemui dokter penyakit dalam di sana.
“anak ibu sepertinya terkena dbd sudah lama, tp baru ketahuan sekarang. diberikan obat ya lewat infus.” aku dirawat selama 3 hari dan diizinkan pulang, dan harus kembali checkup seminggu kemudian. lega rasanya, karena hanya tinggal menghitung hari sebelum aku perdana kuliah di bulan september.
namun ternyata, kondisiku di rumah tidak membaik, akhirnya waktu check up, aku harus dirawat kembali untuk diobservasi lebih lanjut.
“hb nya rendah bgt, cuma kisaran 6. transfusi darah ya bu, abis itu boleh pulang.“ aku ditransfusi darah untuk pertama kalinya (fyi: aku takut darah) dan 2 hari setelahnya aku diizinkan pulang.
kejanggalan mulai terjadi sejak saat itu.
tiga hari setelah aku transfusi darah (aku sudah di rumah) muncul ruam merah hampir di seluruh tubuh dan wajahku, namun tidak terasa gatal ataupun panas. tidak seperti alergi. ruam tersebut terlihat seperti luka bakar yg sangat merah, ine sampai panik dan akhirnya menghubungi rumah sakit, aku sih santai.. emang anaknya kelewat santai, sih. hehe.
esoknya aku kembali ke rumah sakit dan lsg di rawat, aku masuk ruang isolasi karena kondisi tubuhku sangat drop dan untuk menghindari kemungkinan masuknya virus dari pasien lainnya.
diagnosa pertama dokter adalah, ruam tsb efek dari transfusi darah. aku dirujuk ke dokter spesialis kulit untuk diberikan salep, dan setelah hasil darah keluar.. ternyata fungsi hatiku meningkat di angka sekitar 250.
selang beberapa hari, ruamnya tidak juga hilang. semakin menghitam dan rata di hampir seluruh tubuh dan wajahku.
dokter meragukan diagnosa pertamanya, akhirnya aku dirujuk ke dokter spesialis hematologi, untuk mempelajari kondisi darahku saat itu. semuanya normal kecuali hb, hematokrit, leukosit yg bermasalah (eh, ngga normal ituya?). namun akhirnya, diagnosa dokter tetap pada ruamku adalah efek dari transfusi darah.
aku dirawat beberapa hari, hanya untuk menunggu agar ruam menghilang, dan menunggu hasil diagnosa dokter yg tepat.
tbc.
0 notes