Tumgik
shifaturrahmah · 1 year
Text
Golden Yellow (Part 2 : Hujan)
“So, do you have any questions so far miss Naira?”
“Would you mind letting me know, what’s the next steps will be with my candidacy?” Entah energi dan rasa percaya diri dari mana yang menggerakkan Naira hari itu. Ia merasa dunia sedang menjadi miliknya. Ini pasti berkat doa bapak. Dan tak bisa dipungkiri, sepanjang interview dan presentasi singkat itu, senyum dan binar matanya sungguh memukau.
“We’ll probably want to get you back soon to meet with Mr. Wong, we’ll contact you later for the schedule”. Buncah bahagia itu tak bisa ia pungkiri. Berterima kasih se-elegan mungkin dan menjabat tangan interviewer satu per satu. Sebuah hal yang ia visualisasikan sedari dulu, sejak ia pertama kali membidik perusahaan ini menjadi tempat bertumbuhnya suatu saat nanti. Dan hari ini semesta memenuhi janjinya. Ia keluar ruangan interview dengan hati yang penuh rasa bahagia, namun ia putuskan menahan kebahagiaan itu sementara, hingga mendapatkan tempat yang tepat untuk menelpon dan membagikannya kepada bapak dan ibu di desa.
Jika aku harus jujur, senyum dan binar mata itu pula yang berhasil membuatku tersenyum dan merasa bahagia ketika menuliskan cerita tentangnya.
12 Panggilan tak terjawab.
Tulisan pertama yang mengalihkan perhatiannya ketika melihat gawainya di depan kaca toilet besar lantai dua puluh tujuh. Apakah ibu penasaran bagaimana hasil interviewku? Tapi kenapa harus menghubungiku sebanyak itu?
“Tuut.. tuuut..” Dengan tangannya yang sedikit gemetar dan jantungnya mulai tak karuan, ia mencoba menelpon balik ibu. Jujur saja perasaan tak enak itu seketika menggantikan buncah bahagianya. Naira berusaha menenangkan dirinya sebaik yang ia mampu. Menarik nafas dan membuangnya perlahan. Bukankah itu hal mudah yang sudah selalu ia praktekkan?
“Tuuuut..” Sudah kali keempat Naira coba menghubungi ibu. Tapi tak ada jawaban.
Untuk pertama kalinya ia tak pernah sekhawatir itu. Bahkan ia tak siap dengan kemungkinan terburuk yang ia harus hadapi. Bayangan yang ada ia tepis mentah-mentah. "Semua bakal baik-baik saja. Oke. Bapak baik-baik aja. Ibu baik-baik saja. Aku harus baik-baik saja." Ia diam sejenak. “Aku harus cepat pulang”. Ia memutuskan mengambil jadwal kereta tercepat yang bisa ia raih. Membiarkan tiket yang telah ia persiapkan sebelumnya hangus.
Lik Narto. Nama itu gantian muncul di handphone Naira. “Halo. Lik, bapak ibuk dimana? Dari tadi Nana coba telpon gak bisa.” Sepersekian detik Naira langsung mengangkat panggilan itu, suaranya parau. Tak bisa dipungkiri kini wajahnya sudah basah.
“Sing sabar ya nduk. Bapak nunggu kamu di rumah.” Sayup terdengar suara ramai di seberang sana. Bukan suara tawa. Hanya ada tangis dan ucapan samar bela sungkawa, turut berduka cita. Naira tak bisa berkata apapun lagi. Tubuhnya lemas di atas kereta Jayakarta.
“Nggak mungkin. Aku pasti salah dengar. Tapi kenapa Lik To menyuruhku sabar? Bukankan bapak memang selalu menanti kepulanganku? Tidak. Pasti Lik To salah. Semua baik-baik saja kan?” Seakan tak percaya atas apa yang barusan didengarnya, malam itu Naira bergelut dengan pikirannya sendiri. Air matanya sudah tak terbendung. Berkali-kali ia memegang kepala dan mengusap wajahnya. Mukanya memerah. Ia tak bisa berfikir jernih. Rasanya ingin tidur dan semua akan kembali membaik saat bangun. Naira ingin lari. Tapi bahkan menggerakkan kaki saja beratnya setengah mati.
...
Akhirnya pagi itu Naira membuka kembali matanya. Yang terakhir ia ingat hanya halaman depan rumahnya. “Bapak!” Seketika ia beranjak bangun tanpa aba-aba. Tenaganya habis. Ia kembali kehilangan kesadarannya.
Naira memandangi makam bapaknya yang tertutup bunga segar. Penuh. Hingga tanahnya tak lagi terlihat. “Seharusnya Nana nggak perlu berangkat ke Jakarta. Harusnya Nana paham maksud kata-kata Bapak. Nana egois. Nana e..goiiss.”
Ibu mengelus punggung anak sulungnya dengan lembut. Ia tak bisa berkata-kata. Kesedihan itu begitu membungkam, terlalu mencekam untuk bisa dicerna. Lisa hanya bisa memeluk erat tangan ibunya menyaksikan kakaknya begitu kacau. Ia ingin memeluk Naira, tapi juga tak kuasa membuyarkan Naira yang sedang bermesraan dengan kesedihannya. Ia tau ada jarak yang belum bisa ia tembus disana. Sebagaimana diamnya Lisa yang sangat sulit diterka, kecuali oleh ibunya.
Pria itu memohon pamit kepada Ibu setelah berdoa dan menaburkan bunga mawarnya untuk Bapak. Sesekali ia melirik Naira, bersimpati padanya. Tapi Naira, yang terlalu larut dalam tangisnya, sama sekali tak menyadari kehadirannya. Nak Andi, seorang yang sangat dekat dengan bapak belakangan ini, ia mencium tangan ibu dan mengusap kepala Lisa sebelum pergi. Ia begitu menghormati bapak, seseorang yang telah membantunya mewujudkan mimpinya di Karangbangun ini.
5 notes · View notes
shifaturrahmah · 1 year
Text
Golden Yellow (Part 1 : Pertanda)
Suara kipas angin terdengar sayup-sayup ketika Naira sedang mengepak satu per satu barangnya. Cuaca siang ini sangat cerah, ah lebih tepatnya panas. Hingga membuat dahi Naira basah. “Kemeja udah, jilbab krem, jilbab biru, kaos, celana, ah iya kaos kaki buat jaga-jaga. Hmm apa lagi ya?” Naira mengelist satu per satu barang yang akan dibawanya. “Hah rasanya seperti sauna.” Sambil sesekali dia mengeluh pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba dari balik pintu sepasang mata keriput memandanginya dengan seksama. “Banyak banget barang yang mau dibawa nduk, kayak mau pindah rumah aja, apa udah nggak betah tinggal sama bapak?”
Naira tersentak. "Ah bapak bercandanya nggak lucu. Nana sedang berusaha mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik ini Pak, biar besok interview nya sukses gitu. Bapak doain ya, kan bapak tau ini mimpinya Nana dari lama."
Bapak memandang anaknya dengan seksama. Takjub melihat anak mbarep yang ia besarkan dengan susah payah selama ini sudah besar, ia akan menentukan jalan hidupnya sendiri. "Nduk nek nanti bapak ndak ada, tetap jagain ibuk sama adikmu ya. Bapak bisanya ya cuma tani, cuma sekedar begini. Tapi bapak bersyukur anak bapak sing siji ini sebentar lagi mentas. Bapak lega."
Naira tak melihat ayahnya. Bukan tak ingin. Tapi ia sedih mendengar kata-kata itu. Ia tak ingin meneteskan air mata, sehingga ia mencoba mengalihkan perhatiannya dengan tumpukan baju dan tas ransel yang ada di depannya. Matanya panas. Apalagi hatinya. Kata-kata bapak kali ini, sama sekali tak ingin dia dengar. Ia belum siap. Sama sekali tidak siap. Tapi ia tak bisa membiarkan kata-kata bapak menguap begitu saja.
"Ah bapak ini lagi-lagi nggak ada angin nggak ada hujan kok ngomonge gitu. Pokoknya bapak sama ibuk doain Nana ya. Tugase bapak dan ibu doain dan bahagia lihat Nana sama dik Sasa sukses. Nana cuma pengen liat bapak ibuk seneng, dan lebih kepenak hidupnya. Nggak harus susah-susah kayak yang udah-udah. Habis ini biar gantian Nana yang banting tulang nyenengin bapak sama ibuk. Oke?"
Siang itu, Naira memutuskan untuk memeluk bapak. Panas di hati itu kini sudah terguyur hujan. Menyisakan hangat dan damai yang mendalam. Membulatkan tekadnya Naira untuk meraih mimpinya. Ia akan berangkat membawa sejuta harapan untuk keluarga Pak Karman.
Suara klakson kereta memekakkan telinga. Membuat kaget beberapa orang yang sedang asyik melihat gawainya. Menyungging senyum anak kecil yang terpesona melihat lokomotif kereta sambil melambai-lambaikan tangan. Sesekali ibunya mengejarnya yang tidak bisa diam. Kegirangan.
Suara berisik pengumuman, orang berbicara dengan lantang dan mesin kereta api mengisi ruang udara sore yang basah itu. Naira lega ia bisa sampai stasiun sesaat sebelum rintik ketiga hujan itu sempurna berlomba berjatuhan ke bumi dengan sesamanya. Naira duduk menatap handphone di tangannya. Ia terdiam sebentar, ingat lambaian tangan ke bapak barusan. Bapak pasti kehujanan. "Bapak hati-hati ya, kalau sudah sampai kabarin Nana." Seketika ia mengetikkan pesan WhatsApp ke nomor bapak, ingin memastikan bapak sampai rumah dengan selamat. Jarak stasiun dan rumah cukup jauh, tapi kali ini bapak bersikeras mengantar Naira. Biar berkah doanya sepanjang jalan katanya. Padahal biasanya Nana diantar Lik To, tetangga sekaligus tukang ojek langganan keluarga kalau ada apa-apa.
"Nduk nek nanti bapak nggak ada…" dan tiba-tiba kata-kata itu muncul lagi di benak Naira. Memenuhi ruang neokorteks dan amigdala secara bersama-sama. Memicu perasaan tak nyaman yang ia sebut sebagai sebuah kekhawatiran.
"Hfffhhhh" desahan nafas itu terdengar berat. "Ya Allah jaga bapak, semoga semua baik-baik aja.”
Suara pengumuman yang ia tunggu akhirnya terdengar. Sambil menatap jam di tangan kirinya ia mulai beranjak berdiri dan membawa barang-barangnya menuju peron kereta yang diarahkan oleh announcer, sembari mengingat nomor gerbong dan kursi yang telah ia pilih sebelumnya.
5 notes · View notes
shifaturrahmah · 1 year
Text
Cache (Part 1)
Retno termenung memegang undangan baru dalam plastik, berwarna krem muda berornamen bunga-bunga. Sampulnya terkunci lelehan lilin coklat tua bertuliskan huruf inisial nama. Masih rapat, sama sekali belum dibuka. Tertulis disana : Minggu, 23 April 2023. Ia berulang kali membaca nama di sampulnya. Dan, benar, memang itu ditujukan untuknya. "Kenapa aku harus menerimanya jika itu artinya hanya pura-pura ikut bahagia. Tak adakah yang memahami perasaanku sedikit saja. Aku muak dengan diriku. Rasanya ingin menghilang dari dunia." Retno berbisik dalam hatinya yang sudah hampir genap sebulan gelap gulita. "Fuhhhhh". Pelan ia menghela nafas. Tidak. Ia tidak sedang patah hati. Hanya ada rasa sedih, pedih dan sedikit sesak di dalamnya. Mendapati sahabat terbaik satu-satunya juga akan mengikat janji suci, setelah beberapa orang dalam lingkar pertemanannya mendahului. Padahal secara usia, Retno tak patut untuk dilangkahi. "No', kok diem e, kamu nggak bahagia apa aku mau nikah? Pokoknya kamu harus nyempetin dateng di hari bahagia aku lho ya." Sore itu, Nindi, teman seperjuangan Retno dari jaman SD, menghampirinya sepulang kerja untuk mengantarkan undangan langsung padanya. Mereka selalu bersama hingga SMA, sebelum akhirnya pilihan universitas dan kesempatan kerja memisahkan mereka. Lelah. Sesak. Tapi ia harus terlihat ceria menyambut kabar bahagia dari sahabatnya. "Ya pasti dateng to ya. Mosok yo ora." Retno memasang wajah ceria yang ia buat-buat sedemikian rupa. Ia tertawa, hanya bibirnya. Tidak dengan hati dan matanya. "Ya Allah Nin, akhire ora galau-galau meneh. Seneng aku ndelok koncoku akhire rabi. Ojo-ojo bar rabi malah kowe lali karo aku huhu". "Yo ora to besti. Wong rumahe bojoku lho juga cuma disitu. Yowis aku duluan ya mau lanjut muter ke tetangga". Nindi menunjuk gang sebelah rumah Retno. Lalu ia pergi. Menyisakan Retno dengan segala rasa lelah dan hampa, tanpa arah. Sulit untuk mengenalinya, entah apa yang sedang berkecamuk di dalam dada. Di atas dipan yang sudah menemaninya selama 30 tahun belakangan, ia ingin menangis. Tapi tak sedikitpun air mata membasahi pipinya. Matanya kering. Menatap kosong langit-langit kamar penuh sarang laba-laba. Terlalu sulit mengungkapkannya. Inikah sedih, hampa atau sebuah nestapa. Seperti melayang di luar angkasa. "Seharusnya dulu aku tak menyia-nyiakan lamaran Rama. Kalau aku mampu meyakinkan diriku sedikit saja, mungkin aku bisa merubah sikapnya yang tak aku suka. Tapi bukankah sekarang ia juga telah bahagia dengan wanita pilihannya? Kenapa dulu ia tak berusaha memperjuangkanku lebih keras lagi, sedikit saja? Semudah itukah ia beralih? Atau memang ia tak benar-benar mencintaiku saat itu?” Pekat kesedihan seketika memenuhi rongga hatinya. Beribu tanya berperang dalam kepala. Sesak. Hingga tangisnya tak bersuara. “Masih adakah seseorang yang mau benar-benar memperjuangkanku? Atau memang seburuk itukah aku?" Bersambung...
3 notes · View notes
shifaturrahmah · 1 year
Text
Dinda
"Mba Sin, jadi aku mewakili perusahaan mau menyampaikan. Karena dampak COVID ini, maaf banget, kita terpaksa harus nge-cut mba Sinta dulu untuk beberapa waktu. Insyaallah nanti ketika kondisi sudah membaik kita akan panggil mbak lagi. Maaf ya mbak, mau nggak mau saya harus menyampaikan ini." Kau tau apa yang aku rasakan saat itu? Seperti disambar petir di siang bolong. Aku sedang hamil tua anak kedua. Suamiku kerja serabutan dengan gaji seadanya. Aku sebagai tenaga outsourcing, kini diputus kontraknya tiba-tiba. Di rumah masih ada ibu, dan anak kakakku yang masih kecil. Belum lagi cicilan rumah. Biaya bersalin. Sekolah. Makan sehari-hari, dan lain-lain. Segalanya berputar di kepalaku. Tapi aku bisa apa. Aku memang tak punya kuasa apa-apa. "Iya mbak, gapapa. Terima kasih ya informasinya. Alhamdulillah bisa fokus ngurus anak dulu." Aku menjawab sekenanya. Tapi hatiku sudah terlanjur teriris, menangis, dan berteriak kencang sekencang-kencangnya. Aku pulang dengan hampa. Bagaimana kepada suamiku aku akan bercerita? Bagaimana kepada ibuku aku akan mengatakan semuanya? Dan begitu banyak pertanyaan tentang bagaimana yang tak kutemukan jawabnya. --- Rasanya aku tak ingin pulang. Ingin kutenangkan diriku barang sebentar. Seharusnya si kecil dalam perutku tak perlu ikut merasakan beban. Dan setidaknya anak pertamaku di rumah sudah aman bersama nenek dan kakak sepupunya. Kuputuskan turun dari angkot di pinggir jalan seberang perumahan. Dekat masjid besar. Ya, aku butuh kedamaian. "Ya Allah, maafkan aku jika hanya datang padamu di saat seperti ini. Aku malu. Tapi aku tak tau kepada siapa lagi harus mengadu." --- "Mas, nanti kalo udah pulang jemput aku di masjid dekat perempatan ya. Tadi angkot nya pecah ban." Aku berbohong padanya. Tapi setidaknya inilah caraku untuk berbicara padanya tanpa harus diketahui keluarga lainnya. --- Setelah berdiskusi dengan suamiku. Aku mulai mencoba menghitung sisa uang yang tersisa. Apakah akan cukup hingga setidaknya gaji terakhirku bulan ini cair? Apakah akan cukup bila dikurangi bayar cicilan rumah ini? Apakah masih cukup untuk biaya aku melahirkan dan merawat bayiku nanti? Ah tapi, bukankah Allah selalu menghadirkan rizki disaat yang tepat untuk setiap manusia di bumi? Suamiku menenangkanku dan memintaku percaya padanya, ia akan berusaha mencari cara. Bukankah sudah seharusnya dalam sebuah pernikahan, suami istri saling percaya? Aku tak meragukan upayanya, tapi jujur aku masih saja khawatir dengan kemungkinan terburuk yang ada. Karena secara matematika memang nyata-nyata tak cukup. Aku harus memutar otakku dan ikut berusaha mencoba berbagai cara.   --- "Mbak Nur, biasanya jualan gitu ambil dari mana ya? Aku kepengen coba jualan online nih." "Oh biasanya ada gudangnya sendiri mbak, nanti kita bisa reseller jadi nggak perlu ngestok, bisa kirim langsung dari gudangnya tapi pakai nama toko kita. Cuma modal upload gambar aja mbak kayak aku biasanya itu." "Wahh berarti modal share foto aja bisa ya mbak?" "Betul mbak." Akhirnya aku mencoba peruntunganku dengan jualan online. Kumulai upload foto jualan itu di WhatsApp ku. Setiap hari. Kubuka juga orderan jajan pasar, kue dan asinan, dengan modal kecil-kecilan. Tapi sungguh ini tak semudah yang kubayangkan. Hasilnya minim. Nyaris nihil. --- Mendekati akhir bulan. Aku pusing bukan kepalang. Aku tak sanggup lagi Ya Allah. Pintu rizki mana lagi yang harus kuketuk? Mungkin satu-satunya jalan adalah menghubungi sanak sudaraku. Barangkali mereka berkenan membantuku. Aku telan mentah-mentah harga diriku. Perlahan kukumpulkan semua keberanianku. Berani untuk menyampaikan kondisi dan maksudku, termasuk segala bentuk penolakan yang akan membenturkan aku. Dan benar saja. Aku terbentur untuk kesekian kalinya. Babak belur sudah hati ini rasanya. "Ya Allah aku tidak ingin menyerah untuk memperjuangkan hidup anak-anak dan keluargaku. Tolong berikan aku sedikit saja petunjukmu." --- Kuketik dan kuhapus ulang pesan itu. Satu nama terakhir yang ada di kepalaku. Dia jauh. Tapi aku tau ia selalu baik pada orang-orang di sekelilingku. Aku tau dia pernah dekat dengan keluargaku juga denganku. Aku tau ia akan mengusahakannya untukku. Bukankah begitu Ya Allah? Maka, semoga dia benar-benar adalah jawaban untukku dari Mu. Butuh waktu hampir 30 menit untuk menuliskannya. Hingga akhirnya kuputuskan mengirim pesan WhatsApp itu sambil menutup mata. "Assalamu'alaikum.. Halo Dinda, apa kabar disana?"
5 notes · View notes
shifaturrahmah · 1 year
Text
Renta
Bibit-bibit demam itu tiba-tiba datang menyerang. Kepalaku berat bukan kepalang. Suhu badanku rasanya agak naik sedikit. Tapi aku harus bergerak dan tetap memasak. Memastikan kebutuhan suamiku, dan anakku yang sebentar lagi akan berangkat. Aku sudah sangat terlatih untuk ini. Demam bukan lagi masalah besar. Sakit kepala bisa ditunda sebentar. Bukankah sudah fitrahnya seorang ibu bergerak atas dasar cinta dan pengorbanan? Bukankah itu yang sudah sering kulakukan sejak 25 tahun silam? "Mbak, nanti mau bawa kering tempe buat lauk di kosan? Atau mau ibu belikan peyek bu Kasan?" Anakku sudah besar, aku tau dia sudah tak selalu membutuhkanku seperti dulu. Tapi aku ingin selalu berusaha ada untuknya sampai kapanpun aku bisa. "Mau peyek aja." Ia menjawab sambil nyengir seperti biasa. Tapi kali ini sibuk dengan pekerjaannya di depan laptop. Sedari pagi, bahkan hingga beberapa menit terakhir sebelum keberangkatannya. Kuselesaikan pekerjaanku secepat yang aku bisa. Membeli peyek ke warung sebelah, menata makanan di meja dan menghadiri arisan sebentar untuk sekedar setor muka. Ternyata bukan hanya aku yang terkena flu. Tapi juga tetangga lain satu RTku. Berita kekhawatiran COVID-19 lanjutan tiba-tiba menyerangku. Riwayat pernah jadi penyintas menjadikanku terlampau waspada. Flu Singapura? Apa lagi itu? Aku buru-buru pulang. Beratnya kepala ini rasanya sudah tak kuat kutahan. Tapi ada satu hal yang harus aku pastikan, aku tak ingin suami dan anakku tertular. "Pak nanti antar Izza ke stasiun ya. Badan saya kok nggak enak. Tadi mbak Tutik juga kena flu pas arisan. Saya kok hawatir kayak COVID kemarin." "Yowis istirahat sik wae. Anake aku sing ngeterke." Kuputuskan untuk istirahat di kamar. Aku harus sembuh segera. --- "Bapak, ibuk dimana?" Izza sudah siap dengan tas backpack-nya. "Di kamar dek, tadi agak meriang habis arisan. Nanti bapak yang antar." Aku tak ingin anakku tau kondisiku. Tapi lebih tak ingin lagi ia tertular karena aku. "Ibuk sakit? Izza melihat ibunya berbaring berselimut tebal, menyentuh pipinya untuk memastikan kondisinya. Tapi ia tak punya cukup waktu untuk menemaninya lebih lama. "Ibuk udah minum obat? Dek Izza isikan air ya. Ibuk jangan lupa minum air putih yang banyak." --- "Bapak nanti habis dari sini mampir belikan Ibuk obat ya." Tak bisa dipungkiri Izza kepikiran ibunya. Ia merasa bersalah waktunya di rumah ia habiskan untuk sekedar pindah bekerja. Sedangkan ibunya pontang panting menyelesaikan semuanya. "Nanti sore bapak antar Ibuk berobat saja dek." --- Setelah semakin tua. Aku sadar bahwa suamiku adalah sahabat terbaikku satu-satunya. Ia adalah teman bicaraku tentang apa saja. Aku sudah tak peduli kekurangan apa yang ia miliki, kesalahan apa saja yang pernah ia lakukan dan kerepotan apa saja yang pernah dibuatnya. Selama ia mampu berbahagia dan sehat saja, aku telah mampu menikmati hidupku dengan baik. Apa lagi yang aku cari? Bukankah bersama-sama menjadi taat pada sang Pencipta sudah otomatis membuat hidup ini jadi lebih tertata? Setidaknya, aku sudah bahagia, semua beban dan remuknya banting tulang telah aku lalui pada masanya. Sekarang tinggal masuk pada giliran bersabar untuk melihat anakku bahagia menemukan pasangan hidupnya. --- "Ibuk gimana kondisinya? Sudah minum obat?" sebuah pesan WhatsApp masuk dari Izza. "Alhamdulillah sudah baikan mbak. Hari ini Ibuk sudah bisa nyuci 3 kloter wkwk." Kujawab pesan singkat itu dengan bersemangat. "Ibuk jaga kesehatan ya. Semoga sehat selalu dan bahagia." Aku tersenyum membaca pesannya. Ibuk baik-baik saja nak. Kamu jaga diri ya disana. "Aamiin. Ibuk selalu bahagia. Wes tuwo tidak boleh berduka. Dukanya sudah dijalani waktu Izza dan kakak masih kecil-kecil dulu hehehe" "Ibuuuk, Izza jadi sedih bacanya. Terima kasih ya Buk untuk perjuangannya membesarkan kami berdua." "Alhamdulillah, anak itu investasi akhirat bagi orangtuanya. Jadi harus diperjuangkan hehe" Aku mengakhiri pesan itu dengan tetesan air mata. Tuhan begitu baik, ternyata aku mampu melaluinya. Tak apa, aku terima bahwa tubuh ini sudah jadi renta. Bukankah tak perlu menguasai dunia untuk jadi bermakna? Menjadi seorang istri, ibu dan berjuang untuk keluarga. Bagiku, itu adalah segalanya.
3 notes · View notes
shifaturrahmah · 1 year
Text
Tanya
00.27 "Mas kok belum pulang?" Aku baca lagi pesan WhatsApp centang satu kesekian yang sudah kukirimkan kepada suamiku. Apakah kamu tau apa yang aku rasakan mas. Aku khawatir. Kesal. Geram. Gusar. Kepikiran. Kenapa pesanku tak kamu balas. Aku merasa tak berdaya. Kukirim pesan ke semua kontak terdekatmu yang aku punya. Perpikir positif saja sulit rasanya. Tak bisa melakukan hal lain selain bingung dan khawatir. Sudah semalam ini kenapa belum pulang, tanpa kabar lembur atau pergi bersama teman. Kamu kemana mas? Kuelus perutku yang sudah sebesar plastik isi laundry lima kilogram. Kutarik nafas berat sambil memegangi kepala. Seperti tak kuat lagi menyangga beban di dalamnya. "Tenangkan dirimu Lisa. Ada satu nyawa didalam sana yang sedang kamu bawa. Jangan membahayakan keselamatannya." Kutenangkan diriku sekuat tenaga. Terus mencoba kembalikan kesadaran dan keyakinan Allah adalah Sang Maha Penjaga. "Ya Tuhan. Aku khawatir, kenapa suamiku belum pulang. Jaga dia Tuhan. Ia tak pernah pulang selarut ini. Dia juga pasti menyempatkan membalas pesan. Apa yang sedang terjadi dengannya." Kini aku hampir menangis, tidak, air mata itu sudah terlanjur jatuh, meninggalkan aku yang terduduk diam sesenggukan. --- Terdengar suara gerbang pelan-pelan dibuka. Seperti tak ingin orang lain mengetahui kedatangannya. Aku kumpulkan kesadaranku, kucoba setengah berlari meski lebih tepat disebut tergopoh-gopoh. Kuputar kunci dan buka pintu untuk memastikan apa yang ada di luar sana. "Loh sayang belum tidur?" Kalimat itu yang pertama kali terucap dari mulutnya. Seakan tanpa dosa. Tanpa rasa bersalah meski hanya berisi permintaan maaf. Apa ia tak melihat kondisiku sekacau ini? Aku semakin menangis menjadi-jadi. "Nggakpapa, mas baik-baik aja. Diluar dingin, yuk kita masuk dulu." Dia memelukku, kemudian mengusap bayi yang ada di perutku. Mencoba menenangkan kami yang khawatir sedari tadi. Kudapati bajunya basah. Tapi bukankah hari ini sangat cerah? "Mas habis kehujanan? Kenapa WhatsApp adek nggak dibalas?" "Kita bahas besok saja ya. Sudah malam. Kita istirahat dulu saja." Jawabannya meninggalkan makin banyak tanya di kepala. Pikiranku mengembara. Tapi sudahlah. Setidaknya aku lega suamiku baik-baik saja.
2 notes · View notes
shifaturrahmah · 1 year
Text
Mamak
Angin sore itu seakan membungkam semua suara di sekitarnya. Sunyi, membelai helai rambut tipis Mamak. Perempuan tua berusia delapan puluh dua yang hidup di atas kursi roda. Aku hanya mampu terdiam memandangi perempuan itu. Tatapan kosongnya jauh memandang ke arah yang tidak aku tau. Tak beda denganku. Aku memperhatikannya dari balik pintu belakang dengan handuk terselempang, sebelum hendak mengelap tubuh kurusnya di kamar mandi bersumur yang letaknya terpisah dari rumah utama. Entah kenapa, kuputuskan hentikan langkah tanpa aba-aba, sibuk menata segala isi pikiran dan hati yang terurai tiba-tiba. Mamak. Sosok sepuh yang sudah setahun ini aku tinggal bersamanya, juga merawatnya. Kusebut ia ibu mertua, satu-satunya orang tua suamiku yang tersisa. Meski ia tak selalu ingat aku ini siapa. Aku memandanginya, mendapati rasa sesak itu kembali memenuhi dada. Rasa lelah dan jengah itu datang lagi. Kuijinkan sejenak mengambil alih kendali hati yang belakangan ini tak bisa diajak kompromi. Tuhan aku lelah menjalani ini, tapi siapa lagi yang akan merawat ibu dari suamiku ini? Semua saudara perempuannya telah dibawa pergi jauh dari desa. Tapi akulah yang justru rela melewati samudra untuk menjalani takdir mereka. Rela kukubur semua mimpiku untuk hidup mendampingi suamiku, tapi hidup macam apa sebenarnya yang sedang aku jalani saat ini? --- Suara tikus di loteng seketika mengembalikan semua kesadaranku. "Cukup Ragil, mertuamu adalah ibumu. Bukankah ini baktimu sebagai seorang istri dan menantu?" Sisi lain hatiku tiba-tiba menyadarkanku. Kutarik nafas berat ini kuat-kuat, kehembuskan melalui mulut sambil mengucap istighfar memohon ampun atas pikiran liarku. Sepersekian menit kemudian, kusambut Mamak dengan senyum simpul meski mataku terlanjur bengkak menahan tangis. Kuusap wajahnya seakan akulah yang paling memahaminya. "Ini baktiku, ini orang tuaku. Ada ridho Allah yang dititipkan padamu." Kutatap mamak lekat-lekat, dan rasa damai itu menyeruak hangat. --- Namaku Ragil. Seperti arti namaku, aku adakah anak terakhir kesayangan ibuku. "Nduk, nanti kalau kamu sudah ikut suamimu. Jangan lupa, harus bisa redam ego. Anak ibu satu ini paling manja, sukane ngalem." Ibuk masih terus mengelus kepalaku sambil bercerita. "Kalau sudah jadi istri, kamu yang harus nurut dan melayani suamimu. Ndak boleh manja minta dijadikan ratu." "Iya buk.. Meskipun Ragil anak bontotnya Ibuk, tapi Ragil udah gede lho Buk. Ibuk nggak perlu khawatir ya. Ragil bisa jaga diri, eh salah, membawa diri." Aku menutup pembelaan diriku dengan tawa. Tidak benar-benar tau apa yang akan terjadi pada diriku setelahnya. "Nanti, kalau kamu ketemu masalah, kok berat nahan emosi, pengen ngedumel sama suami atau anak. Inget pesan ibuk, ada Allah disana, ada ridho Allah yang tersembunyi disana. Kejar itu, ya. Insyaallah anak Ibuk jadi istri sholihah bidadari surga." --- Ibu, aku rindu. Rasanya ingin pulang meski sebentar. Aku tak tahan dengan kebisuan dalam diriku, aku butuh teman bicara di tengah sunyinya hari-hari dalam petak rumah yang katanya juga menjadi rumahku. --- Suara motor Honda Astrea terdengar memasuki halaman depan. Suara yang selalu kutunggu tiap petang menjelang. Suamiku pulang. "Dek, Mamak dimana? Mamak sudah makan?"
4 notes · View notes
shifaturrahmah · 1 year
Text
Akad
"Mau langsung apa latihan dulu?" Aku tau, suara itu bukan ditujukan untukku. Tapi tetap saja tak dapat kutolak sebuah rasa yang tiba-tiba mengacaukan detak jantungku. Suaranya seperti bergema di telingaku. Detaknya bertambah sepersekian detik lebih cepat dibanding lima menit lalu. “Langsung saja Pak.” Aku, duduk tersipu. Dan dengan ragu perlahan memandang seseorang yang ada di sampingku. Rasanya ingin kupastikan lagi. Sungguhkan itu dia? Bahkan aku tak menyangka ini nyata. "Nak Azam, Sebelum saya menikahkan anda dengan putri saya. Saya ingin berpesan sedikit. Bahwa mahar yang telah anda serahkan kepada putri saya adalah berupa seperangkat alat sholat. Itu tentunya mempunyai makna, mempunyai filosofi. Saya akan ungkapkan sedikit saja diantara filosofi itu. Bahwa itu adalah alat, tapi yang dituju...”
Mataku terasa panas. Tapi kutahan. Aku takut polesan wajahku luntur. Bahkan ketika makeup ini ditempel ke wajahku, aku sudah berjuang agar tidak tertidur. Tapi tidaaak. Aku tidak bisa. Aku tak kuat lagi menahannya. Hatiku kebas. Nafasku sesak. Air mata itu sudah mulai membasahi bulu mata. “…maknanya adalah fungsi dari alat tersebut yaitu digunakan untuk sholat. Artinya bahwa sholat itu adalah kewajiban umat islam. Kemudian sholat itu tidak sah kecuali dimulai dengan berwudhu, thoharoh. Baik hadats kecil maupun besar. Maknanya, bahwa…” Pikiranku seketika melayang ketika ayah mendongengiku 'si kancil' tiap akan tidur. Sesekali juga bercerita tentang keong emas, bawang merah bawang putih, juga semut hitam semut merah. Aku adalah gadis kecilnya. Yang selalu ia kasihi sepanjang hidupnya. Ia lindungi sekuat tenaga. Dia ayahku. Seseorang yang sedang berbicara di hadapanku. Ayah, kau selalu berhasil membuat dunia gadismu ini penuh tawa dan cinta. Tapi saat ini, kau serahkan semua tanggung jawab itu pada seorang pria yang baru saja kau kenal dua bulan lalu, apakah kau percaya dengan pilihanku? “…dengan wudhu itu, kita membersihkan badan kita. Tapi hakikatnya kita diminta untuk membersihkan hati kita. Yang kedua sholat dimulai dengan takbiratul ihram. Allahu akbar. Maknanya bahwa janganlah sekali-kali sekali-kali, khususnya dalam rumah tangga itu membesarkan diri. Dan saya ingatkan juga untuk putri saya, jangan mebesarkan diri. Tapi besarkanlah Allah, asma Allah. Allahu akbar…” Pikiranku berkelana semakin dalam. Kali ini ketika ayah mendapatiku kecelakaan. Ia seketika datang dalam jangka waktu yang sulit bisa dijelaskan, padahal normalnya butuh 2 jam untuk menempuh perjalanan. Ayah yang memelukku, membelai lembut kepalaku, memastikan kondisiku, dan memberikan segala yang ia mampu untuk kesembuhanku. Adakah yang akan sanggup menggantikan itu? “..Yang ketiga, tidaklah sah sholat kecuali dengan bacaan Al Fatihah. Dimulai dengan bacaan bismillah yang artinya demi nama Allah atau atas nama Allah. Artinya jika kita bersumpah atas nama Allah, kita harus menanamkan diri kita untuk berperilaku sesuai dengan sifat Allah yang Rahman dan Rahim. Kemudian, dalam berperilaku hendaklah bertanggung jawab. Semua adalah pemimpin dan kepemimpinan itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Tentunya adalah kepemimpinan yang berlandaskan Ar Rahman dan Ar Rahim. Begitu ya. Kalau saya teruskan akan panjang. Mari kita lanjutkan saja." Ayah mengakhiri pesannya. Tapi air mataku belum berakhir juga. --- "Saaah." Aku terbangun dari lamunan ku. Sudah basah semua pipiku. Sambil sesekali kuusap tisu. Apa kabar riasan ini? Aku sama sekali sudah tidak peduli. Kecuali sang MUA yang memandangiku dari seberang kursi sedari tadi. "Ah udah dibilang jangan nangis." Mungkin begitu ia berkata dalam hati. Seketika semua orang meminta ku berdiri. Berhadapan dengan seseorang yang akan menjadi rumah baru untukku berbakti. Air mata itu berganti senyum tulus saat mata kami melekat. Sosok yang sangat aku kenal, bersamanya pernah aku jelajahi gunung dan tepian pantai. Bersamanya aku tak lagi takut akan petir dan badai. Ia, lelaki yang selalu meyakinkanku bahwa mimpi dan harapan akan menjadi nyata, jika kita bertekad untuk berjuang dan tidak menyerah meski betapapun sulitnya. Air mata itu jatuh lagi, saat aku kecup tangannya untuk pertama kali. Baktiku kini akan berpindah untukmu, bukan lagi untuk ayahku. Ayah, ibu, tanggung jawabku berbakti kini telah berganti. Setiap detik hidup ini akan kuhabiskan bersama pria ini. Tapi bolehkan aku memohon tetap doakan aku sebagaimana yang selalu kalian lakukan untukku selama ini? --- Pipiku kini terasa hangat, wajahku perlahan penuh semburat. Kami tertawa untuk sesuatu yang aku tidak tau pasti. Kecuali karena menyadari ia telah menghapus air mataku dengan jemarinya, untuk pertama kali.
4 notes · View notes
shifaturrahmah · 1 year
Text
Tatah
Pagi itu adalah hari Minggu pertama bulan Ramadhan, tepatnya sekitar tahun duaribuan. "Bapak bikin apa?" sebuah suara kecil terdengar sangat berhati-hati, berharap tak membuyarkan konsentrasi. Seketika merekahkan senyum di bibir seorang pria yang sedang bersila di dihadapannya. Sheila dan Clara sudah mandi, bahkan setelah sahur berusaha tak tidur lagi, nonton tivi. Katanya "mau belajar puasa setengah hari". Pagi itu mereka seperti berada di sebuah pagelaran seni, menyaksikan sebuah proses mahakarya penciptaan sebuah benda, dalam kacamata keingintahuan kanak-kanak yang bebas merdeka. Sesuatu yang selalu gemar mereka lakukan setiap kali Bapak memperbaiki kabel setrika, atau ketika Ibu menyembelih ayam dan membedah isinya. Hanya melihat saja, tapi rasanya sudah menjadi paling keren sedunia. Mengamati dan sesekali bertanya. Kali ini Bapak membuat meja lipat untuk membaca Al Qur'an. Karena kedua anak perempuannya baru saja lulus Iqro' jilid enam. Alih-alih beli, Bapak memang suka berkreasi dan menyukai seni. Meski tak layak masuk galeri, tapi setidaknya bukankah karya adalah tentang kepuasan diri dalam berekspresi. Sheila dan Clara. Dua gadis jelita bak pinang dibelah dua. Bersama dengan Anita yang rumahnya hanya berjarak 50an meter saja, menjadi geng cilik yang sangat eksis di pertetanggaan kompleks pada masanya. --- "Dek, Bapak tolong dibelikan tatah di Toko Bahagia. Yang ukuran 3 per 4." Perlahan Bapak menjelaskan. Sheila mendengarkan dengan seksama. Ragu-ragu mencerna sebuah kata. Tatah. Dia belum pernah sekalipun mendengar apalagi tau rupanya. "Mbak, be-li tatah-ukuran tiga-per empat" Sheila sebagai utusan utama melakukan uji coba, mengulangi kata-kata Bapaknya. Menggemakan satu kata asing dalam benaknya. "Tatah. Tatah. Ta-tah". Bapak menangguk. "Sama dek Ara dan dek Nita ya." Mereka bertiga pun berangkat. Membuka pintu rumah dan melangkahkan kaki kecil mereka ke toko di seberang jalan utama. Sekitar 300 meter jaraknya. Sheila berusaha fokus dengan isi kepalanya. Mengulang ulang satu kata kunci utama. "Tatah. Tatah. Ta." Namun baru beberapa langkah dari halaman rumah, satu kata kunci itu sirna. Terdistraksi oleh obrolan lain diantara mereka. "Tadi Bapak bilang beli apa ya? Aku lupa." Ia  ragu-ragu bertanya kepada anggota geng ciliknya, dengan polosnya. "Yah tadi kan kamu yang dibilangin Bapak. Aku juga nggak ingat." Clara menimpali. Memang dia tidak fokus memperhatikan dari tadi. Karena baginya tugasnya adalah menemani. "Ya uwis takon meneh wae, mengko dienteni." Anita mencoba memberikan solusi. Sheila kembali kepada Bapak dengan cepat. Takut-takut dia bertanya. Tapi berhasil kembali dengan jawabannya. "Tatah. Ta-tah. Inget. Ta-tah." Lagi-lagi ia mencoba sekuat tenaga mengingat kosa kata yang sangat baru baginya. Sulit nempel di kepala. "Piye dek La?" Clara memastikan kembali ingatan saudaranya. "Ta-tah. Ta-tah." Mereka melanjutkan langkahnya, hingga harus terhenti lagi karena menyadari kata kunci lain yang tiba-tiba sirna. "Tadi ukuran berapa ya?" Separuh merengek Sheila bertanya. "Aku lupa." "Mosok kudu takon meneh. Tapi aku ndak berani tanya." Meski menurutnya bukan ide bagus. Anita berusaha memberi solusi kedua kalinya. Clara hanya menatap saudaranya memastikan. Tapi ia juga benar-benar tak mengetahuinya. "Ya mbok gentenan to yo sing takon, mosok aku terus" pinta Sheila berharap bukan dia. "Ayo tak terke, tapi kowe sing takon ya" Ara mencoba menguatkan Ila. Sheila takut harus bertanya untuk kesekian kalinya. Tapi dia sama sekali tak punya clue sedikitpun untuk menebaknya. Ah, bukankah Bapak membutuhkan alat itu untuk dibeli segera? --- "Ba-pak, tadi yang mau dibeli-." Kata-kata Sheila belum selesai, tiba-tiba sebuah bentakan terdengar memekakkan telinga kecilnya. Jangan tanya kata apa. Bahkan dia tak ingat apa yang didengarnya. Satu-satunya hal yang mampu dia lakukan hanyalah menangis sekencang-kencangnya. Yang mampu ia rasakan hanyalah sesak yang memenuhi dada. Ada satu hal yang belum akan ia sadari di saat yang sama. Bahwa itu adalah luka batin pertamanya. --- Sepersekian detik kemudian, Bapak bergegas meraih tubuh anaknya. Memeluk Sheila erat sambil mengucap istighfar sangat banyak. "Maafkan Bapak, Nak. Maafkan Bapak tidak sengaja." Batinnya meronta. Mengusap kepala anak gadisnya, meminta maaf dengan berbagai cara. Ingin memastikan anaknya akan baik-baik saja. Tapi terlanjur. Bukankah saat ini itu sia-sia? --- Dua ribu dua puluh. 
Disadari atau tidak. Kekakuan itu masih ada. Ketakutan itu sesekali menguasainya. Membuat sebuah jarak besar dan dalam, sungguh tak nyaman. Perlahan mendewasa. Sheila menemukan gunung es tinggi dan kacamata hitam yang masih sangat sering mengendalikan pikiran. Sekeras apa usaha Bapak untuk mencairkan, sulit rasanya bisa terbuka. Terkadang sesak dan takut itu masih berasa. Meski pada sehari-harinya, semua terasa normal-normal saja. --- Duaribuduapuluhdua. Sheila mulai membangun sebuah hubungan serius dengan seorang pria. Mereka bahagia tumbuh bersama. Saling bertukar cerita dan belajar dari setiap masalah yang ada. Hingga tiba pada satu titik sulit di depan mata. Jalan buntu. They have no clue. "Apa ini perihal restu? Atau masih ada hal-hal lain yang menjadi penghalang doa ku?" Mereka sudah berjanji akan berjuang hingga terlihat hasilnya. Sampai Tuhan memberikan jawabnya. --- "Efek dahsyat memeluk bapak." Begitu judulnya. Sheila menontonnya di sebuah video seminar pra pernikahan. Tentu saja tujuannya untuk membuka jalan yang sedang ia perjuangkan. Dan benar saja. Jalan itu terbuka. Tapi tidak untuk Sheila dan kekasihnya. Melainkan Bapak, yang cintanya jauh lebih besar, tapi rindunya harus ia redam. Untuk menjaga perasaan anak perempuannya. --- Mendekati jam tiga lebih dua puluh lima. Ia ingin membuat rekaman video dalam hatinya menjadi nyata. Cukup sebentar saja, sebelum ia kembali pergi dari tanah kelahirannya. Sheila meneluk Bapak tanpa bicara sepatah pun kata. Hanya diam menutup mata, berusaha memahami seberapa besar Bapak mencintainya. Dengan segala upaya yang ia bisa, Bapak selalu berusaha berdaya memberi sesuatu yang ia punya. Bermakna bagi anak perempuannya. Sheila masih memeluk erat Bapak. Meski sekarang sudah setengah empat. Perlahan ia usap punggung lelaki yang ia dekap, seperti saat peristiwa Tatah melukai hati kecilnya. Bapak tidak pernah sengaja mengucapkannya, Sheila tau Bapak sangat sayang sama Sheila. --- Bahkan hari ini saat menuliskan cerita tentang dirinya. Sheila menangis. Bukan untuk mengingat lukanya. Tapi untuk menyadari bahwa Bapak sudah sangat berusaha untuk menebus kesalahannya. Bahwa tidak ada Bapak yang sempurna, tapi ia selalu berikan yang terbaik yang ia punya. Bukankah seharusnya sedari lama ia sadar, bahwa ada sesuatu yang terasa tidak benar. Mulai dari sini ini ia bertekad besar. Bahwa perbaikan sudah semestinya harus dikejar. --- Duaribuduapuluhtiga. "Itu udah ditunggu Ibuk didepan". Bapak berusaha memastikan. "Iya sebentar masih kaos kakian". "Maaf ya bapak ndak bisa ngantar, Ila sudah bawa payung buat jaga-jaga?" "Hehe nggak usah Bapak kan nanti pakai kereta" Sheila tak ingin merepotkan, lebih tepatnya nggak suka ribet aja. Tanpa menunggu menit berikutnya, Bapak kembali membawa payung dan meletakkannya di samping ransel anaknya. "Jangan lupa dibawa ya". "Ah Bapak apasih, orang di luar nggak mendung juga" ego dalam hatiku sulit menerima. Tapi aku ingat janjiku untuk selalu menghargainya. Perlahan hatiku luluh untuk membawa payungnya. Menerima bahwa memang pada kenyataannya, Bapak selalu berusaha memberikan yang terbaik yang ia punya. Melindungi anaknya dengan apa yang ia bisa. Meski tak bisa selalu di sampingnya. --- "Ila sudah sampai stasiun. Ternyata hujan. Untung tadi dibawain payung sama Bapak jadi ndak kehujanan".
1 note · View note
shifaturrahmah · 1 year
Text
Dialog Senja
Tuhan, maafkan aku. Sudah lama ku tak mengajakmu bicara. Bertanya tentang setiap hal baru yang tak kuketahui sebelumnya. Meminta pertimbangan atas setiap kesempatan. Memohon diyakinkan atas bimbang dalam menimbang. Juga mengiba untuk disegerakannya pinta. Padahal memenuhi Hak-Mu saja belum mampu kujalankan dengan sempurna. Tuhan, maafkan aku yang terlalu sombong. Merasa paling bisa melakukan segalanya sendiri. Memecahkan masalahku seorang diri. Berfikir keras mencari cara lepas dari derita yang kubuat sendiri. Mengandalkan logika dan nalar manusia yang cakupannya cuma seujung jari. Maafkan aku Tuhan, ketika seringnya hanya mulut saja yang berucap, tanpa sedikitpun makna kudekap. Menyebut namamu hanya sekelebat. Tapi sudah merasa seakan paling hebat. Paling dekat. Mulutku senantiasa bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau, tapi mengapa rasanya hati ini masih saja risau? Terlalu mudah mendua, ketika sedikit saja dijanjikan dunia. Coba perlahan kau tengok kedalam sana, tidakkah kau lihat hatimu hanya berisi kosong dan hampa? Lantas bagaimana ucapanmu bisa Aku percaya? --- Tuhan, aku takut semua yang kukejar adalah fana. Padahal sesungguhnya yang kubutuhkan adalah Rahmat dan Ridho-Mu semata. Aku takut kehilangan makna. Dalam perjalananku yang seakan cepat, tapi justru terhambat. Terlambat menggapai hidayah dan meraih cinta-Mu, terlalu sibuk dengan segala pencapaian duniaku. Aku takut ketika pandanganku mulai semu. Hingga yang kurasa hanya jemu. Aku takut salah jalan. Takut hilang dan tersesat. Perlahan sirna karena tak temukan Cahaya. Bahkan menangis karena mengingat-Mu saja betapa sulitnya. Terhalang rasa yang telah membatu di dalam dada. Sudah penuh dosa. Tuhan, ampuni aku. Mohon bantu agar kubisa selalu menyertakanmu dalam setiap langkah hidupku. Tuntun dan bimbing aku. Pegangi tanganku agar aku tak lagi terjatuh. Usap peluhku saat ku mulai mengaduh. Peluk aku dengan Perlindungan terbaik-Mu. Karena hanya Rahmat-Mu lah yang dapat selamatkanku.
1 note · View note
shifaturrahmah · 1 year
Text
Tentang Waktu dan Kriteria
"Tadi sebenernya aku mau vcall kamu waktu ada si Andi dan Boy, tapi nggak jadi. Mereka sudah menyusun strategi buat nge-bully kamu" suara familiar itu sayup terdengar melalui sebuah benda yang kutempel di telinga. Aku mengernyitkan dahi, mencoba mencerna makna dibalik kata-katanya. "Lah emang mau nge-bully aku gimana?" setauku dua orang itu selama ini hanya suka bercanda, bertanya kabar dan haha hihi aja. "Emang kamu pikir hal apa lagi yang bisa dibully dari kamu?" tanyaku dibalas tanya, membuatku harus berfikir sendiri menemukan jawabnya. Ah iya, ternyata tak butuh waktu lama untukku menyadarinya. Tapi aku justru bahagia, mendapati bahwa diri ini sama sekali tak merasa terintimidasi. Apa mungkin rasaku sudah mati? Atau karena sudah terlalu banyak melalui proses vaksinasi. Aku mengenal mereka, dan meskipun tak sepenuhnya pas untuk dilakukan, aku tetap meyakini bahwa itu adalah salah satu bentuk kepedulian juga peringatan. Agar aku bisa lebih bersegera. Hm, segera? Baik, masing-masing kita pasti punya definisinya. Mungkin bagi mereka, aku terlampau tinggi dalam berkriteria. Bisa jadi yang mereka lihat, aku hanya mementingkan karir, sibuk kerja, cari uang biar bahagia dan kaya raya. Haha. Nggakpapa. Masing-masing orang bebas berasumsi dengan kacamatanya. Aku tidak menyalahkan, apalagi memaksa.
--- Dulu, ah tidak selama itu. Kemarin, tapi juga tak sesebentar itu. Waktu itu, aku pernah bertemu dengan seseorang yang menurutku tepat. Tapi ternyata setelah berusaha sekuat tenaga, dengan segala doa, ikhtiar dan air mata. Kami sadar, kata tepat itu lebih tepat tersemat hanya dalam sebutan 'sahabat'. Meski pada akhirnya ia juga sirna tanpa sapa, membawa sebuah tanya "apa kamu baik-baik saja?". --- Ngomong-omong soal waktu dan kriteria. Dalam sebuah webinar luar biasa yang nggak sengaja kuikuti suatu malam. Mbak pembicara berhasil menjawab salah satu pertanyaan dengan pembawaan positive vibesnya. Katanya, tidak sepantasnya kita menurunkan standar hanya karena apa kata orang. Tidak ada istilah standar yang terlalu tinggi ketika kita sudah menentukannya secara sadar dan bertanggung jawab. Tidak ada kata terlambat, yakin, mungkin memang belum ketemu aja sama yang tepat.
Tanggung jawab terbesar yang kita pegang adalah diri kita. Maka bahagiamu adalah tanggung jawabmu. Dan kebahagiaan yang kau titipkan kepada orang selainmu adalah palsu.
1 note · View note
shifaturrahmah · 1 year
Text
Ada Hikmahnya
"Tuhan, kenapa kau selalu saja memberiku sakit kepala? Aku sangat merasa terganggu karenanya" keluhku tak juga berhenti sedari tadi, bahkan setelah meminum obat penghilang nyeri dosis tertinggi. "Bagaimana ini, aku sudah janji akan mengirim naskahnya malam ini" setengah menangis kutenggelamkan kepalaku di atas meja, "stuck banget rasanya, mana ngantuk astagaaaaa." Semenit kemudian, kamarku kembali sunyi seperti sedia kala. Sesekali sayup terdengar suara kucing berantem di atas genteng tetangga. "Ah sepertinya aku butuh alunan melodi penggugah jiwa" kuambil handphone dan kupencet shortcut warna hijau bulat garis-garis. Tentu saja masih yang gratis. Lima menit berlalu. Makin syahdu. "Sepet mataku Ya Allah. Sepertinya semua melodi ini sia-sia. Udah lah tidur aja." dan begitulah aku mengakhirinya. --- Jadi ceritanya aku lagi ngomong sama diriku yang butuh ruang sambat meski sedang sendirian aja. Ohiya, aku ini tokoh cerita ya, bukan aku yang sebenarnya. Aku di dunia nyata kalo sambat ga sebegitunya, biasanya cuma di-hehe-in aja. Mencoba tegar dan menerima. Ya, aku tau kalau sedang tidak baik-baik saja, tapi setidaknya mari kita coba berprasangka baik kalau semua yang terjadi pada kita, memang sudah atas ijin-Nya. Sambil coba mengenali dan memaknai apa yang dirasa, jadi bisa jawab kalo ada yang tanya. Anggap saja sebagai pelebur dosa. Hikmah tadi malam ketiduran meskipun udah jadi draftnya adalah bisa nambahin pesan bijak di dalam cerita. Saat kepala sudah lebih dingin nggak se-nyut-nyut-an sebelumnya. Alhamdulillah isinya gajadi cuma sambat aja. Merevisi kalimat "Tadinya pengen menulis sesuatu yang bijak. Eh malah isine sambat." Alhamdulillah ya.
0 notes
shifaturrahmah · 1 year
Text
Lemah
My hands were shaking, holding this phone. Both of them were feeling so cold while writing this. Aku terdiam menganalisa, sambil berusaha mendeskripsikannya. Dan lagi-lagi, apa yang terjadi ini bukanlah yang pertama. Nafasku tersengal. Rasa panasnya seperti perlahan naik ke tenggorokan. Tapi justru dinginlah yang menguasai telapak tangan dan kaki, juga tubuhku, dalam satu waktu. Ditambah sedikit bumbu sakit kepala, keringat dingin, mual, dan perut yang seketika terasa penuh dengan udara. Obat kunyah rasa mint dan pil pereda nyeri adalah teman baikku, yang sebenarnya, tak pernah benar-benar aku inginkan kehadirannya. Namun dalam kasus ini, justru merekalah yang selalu aku butuhkan kontribusinya. Satu-satunya hal yang kuinginkan saat ini hanyalah tidur, agar tak sampai kurasakan sakit hingga ke akarnya. Harapanku berkata, aku akan bangun dalam kondisi sudah baik saja. Sungguh aku merasa sangat lemah sampai ingin menyerah. Apalagi ketika begitu banyak hal menunggu untuk diselesaikan. Makin tertekan.
---
Orang-orang selalu bilang "Jangan lupa makan. Makan yang banyak. Jangan berfikir terlalu berat." Tapi sesungguhnya, aku tidak pernah lupa makan, bahkan secara otomatis selalu mengingatnya di luar kepala. Meski sangat butuh effort untuk merealisasikannya dengan baik dan benar, sekuat tenaga. Aku tak bisa makan terlalu banyak, karena efeknya sama saja dengan telat makan atau tidak makan sama sekali. Maka biarkan aku makan sesuai porsiku sendiri. Aku tidak memikirkan hal berat yang tak kuanggap penting seperti perkembangan detil kehidupan percintaan orang lain. Aku hanya berusaha menganalisa hal-hal esensial dalam hidupku. Dan bagiku, hidup tak akan pernah lepas dari proses berfikir. Aku suka melakukannya. Lantas, haruskah aku berhenti jika berarti itu akan membuatku mati?
---
Makanan pedas, santan, asam, teh, dan kopi. Mereka selalu bisa memicu naiknya asam lambungku sesuka hati. Melumpuhkan aku yang tak hati-hati. Maka, definisi "makan enak" menurut kebanyakan orang menjadi tidak sama denganku. Yaitu ketika tubuhku bisa menerima makanan dengan nyaman dan aman, meski itu "hanya" nasi putih dan telur dadar. Angin, dingin, AC, kipas, lantai tanpa alas, tidur tengah malam atau menjelang pagi. Mereka tak ingin berkawan denganku, malah justru berkonspirasi memicu ambruknya tubuhku. Maka, definisi "kenyamanan dan kebiasaan" menurut sebagian besar manusia di luar sana menjadi tidak sejalan denganku. "Kayaknya aku lebih cocok tinggal di Afrika." Sesekali bercandaan itu keluar dari mulutku. Mentertawakan kondisi tubuh yang sama sekali tak bisa diajak kerjasama, ketika ruang kerja sedang dingin-dinginnya.
---
Setidaknya, meskipun dinamika kesehatan seminggu ini benar-benar menguji, ada sebuah pesan istimewa yang aku dapat pelajari dari sana. Maka ijinkan aku membagikannya, barangkali saja kalian membutuhkannya.
Sebegitu bergantungnyakah dirimu dengan obat-obat yang kau minum itu? Hingga tanpa sadar harapanmu sepenuhnya tertuju pada sebuah benda yang seakan bisa menyembuhkanmu.
Tidakkah kamu berfikir bahwa semua itu tak ada gunanya sama sekali ketika Dia tak berkenan menganugerahkan kesembuhan untukmu?
Lalu, sudahkah sakitmu itu membuatmu makin dekat pada Penciptamu? Atau justru malah menjadikanmu terlalu buru-buru hingga lupa mengadu?
Kalau takdirmu dipanggil sekarang, sudah siap belum kamu?
---
Maafkan aku Tuhan, ternyata bukan tubuhku yang sakit. Tapi hatiku.
Bukan tubuhku yang lemah, tapi imanku.
Ya, aku memang lemah, tapi bukankah aku adalah milik-Mu? Wahai Tuhan Yang Maha Kuat. 
Terima kasih, karena tak pernah sedetikpun Kau meninggalkanku.
8 notes · View notes
shifaturrahmah · 4 years
Text
Don’t Blame
Please don’t blame me for my life choices. Please don’t blame me for something I said. Please don’t blame me for something I wrote. Don’t blame me for my immature deeds. Don’t blame me for my irrational thoughts. For my sensitive heart. For my silence. My ego. My self.
Nothing’s perfect. Nothing will last forever. Live is dynamic and always changing. So do people. So am I. People can change their mind sometimes. You don’t know what they’ve faced through their path. You don’t know even just a little. Even you’ve seen it or heard it or face the same things. You’ll never know. Because experiences is personal. No one is better, no one is stronger. But one same thing : we can learn.
0 notes
shifaturrahmah · 4 years
Text
The Art of Choosing a Lifetime Partner
When everybody around me (even at same age, older or younger) get married recently. Here, I still battle with my own thought about this. How do people decide their big choice in life? How can they’re being so sure about their choice, their life partner? Is it complicated? The process of finding? Why a woman can say yes and trusted a man to become their husband, that easy?
Me? I still have so much things to figure out. I don’t know why. I still can’t find that beauty of choosing and being choosen by someone. How can I’m being so sure about it? Or as simple as a question, who will be that man?
0 notes
shifaturrahmah · 4 years
Text
My Terrible Cake
Malam ini hujan. Aku di mess sendiri, tapi pikiranku tak bisa diam. Aku hendak mengerjakan tugas laporan kantor, tapi hatiku dan diriku ingin bergerak untuk sesuatu yang lain.
Beberapa minggu terakhir aku tengah berada pada kondisi mental yang tidak begitu bagus. Aku merasa down. Aku merasa payah dalam hal apapun dan juga merasa tidak tertarik terhadap apapun, terlebih lagi kerjaan, memikirkannya saja aku tidak tertarik. Aku merasa tidak tenang, ingin lari dari segala hal, tapi tidak juga kutemukan tempat yang bagus untuk sembunyi.
Aku terlalu banyak membandingkan diriku dengan orang lain, memakai standar orang lain untuk dipakai di kehidupanku. Aku terlalu banyak khawatir. Terlalu takut untuk menghadapi apa yang akan terjadi, terlalu takut kehilangan apa yang sejatinya bukan menjadi miliku sendiri. Meskipun sejatinya tidak seseram yang dibayangkan.
Aku hanya takut, dan menjadi ragu untuk apapun itu. Rasanya bergerak saja tak berani. Jadi aku hanya diam di tempat. Terhimpit dalam kotak yang sesungguhnya aku buat sendiri. Merasa susah nafas, tak bisa melihat segala sesuatu dengan jelas, padahal akulah yang menutup mulut hidung mata dan telingaku sendiri.
Lalu, beberapa hari ini aku terlibat sharing dengan beberapa teman. Hingga aku disadarkan atas banyak hal. Aku mulai merasa percaya diriku kembali. Mulai bisa terbuka dan mengakui bahwa ada saat-saat dimana aku tidak baik-baik saja. Bahwa terkadang aku sedang berperang melawan monster dalam diriku. Dan saat itu terjadi, mungkin banyak diantara kalian akan menganggap dan merasa aku aneh, aku terlalu sensitive, aku terlalu berlebihan, aku tidak menghargai orang lain, aku muram, aku sombong tak mau diajak bicara dan tak mau tersenyum dengan ikhlas. Sungguh, maafkan aku. Aku tak bermaksud begitu. Aku hanya sedang berperang melawan diriku. Aku sedang larut dalam egoku. Dan terima kasih, untuk kalian yang berusaha memahamiku dan tidak menjauhiku karena kejadian berulang itu. Aku hanya butuh waktu dan tolong yakinkan aku.
Kini, aku mulai percaya bahwa apa yang aku alami sangatlah manusiawi. Bahwa aku tidak sendiri. Banyak dari kalian yang juga berperang melawan hal yang sama. Bahkan banyak yang jauh lebih berat dari apa yang aku hadapi saat ini. Kalian hebat. Bukankah kita hebat karena mampu bertahan hingga detik ini. Tapi tolong, jangan teruskan berjalan sendiri, cukupkanlah, sudah tiba saatnya berbagi.
Aku merasa semua bermula karena aku terlalu banyak menyimpan sampahku sendiri. Aku tidak pernah berfikir bahwa mungkin saja sampahku ini bisa jadi barang berharga bagi orang lain. Sesuatu yang mereka butuhkan. Seharusnya aku bisa dan mau berbagi. Bukankah berbagi itu bukan hanya soal kebahagiaan? Bukankah teman sejati seharusnya bukan hanya ada disaat bahagia tapi juga di saat terburuk kita? Lantas mengapa kita harus menarik diri dari mereka saat kita tidak baik-baik saja?
Aku pernah membaca sebuah postingan di Instagram, ia berbunyi “breath deep, turn around and show them your terrible cake”. Kata-kata itu sangat dalam bagiku. Its okay. Kita manusia dan kita pasti pernah melakukan kesalahan, pernah merasa payah, pernah jatuh, pernah terhina, pernah terabaikan, pernah malu, pernah marah, pernah sakit, pernah menyakiti, pernah jahat, pernah buruk, dan segala hal yang kita anggap buruk lainnya. Tapi ingat, kita bukan malaikat apalagi Tuhan. Kita manusia. Kita masih manusia.
Jadilah terbuka. Bukan hanya terbuka untuk berbicara. Maulah mendengar. Kami butuh pendengar yang baik, yang mampu mengembalikan suasana hati kami menjadi baik. Yang mampu membuat kami merasa bahwa kami berharga. Kami pantas pahagia. Dan kamu juga.
Temukan orang-orang itu. Jadilah orang-orang itu. Jika bukan disini mungkin ada di lain lokasi. Jika bukan sekarang mungkin dilain waktu. Tapi di luar itu, mari bertemu. Aku ingin menyelamatkanmu. Sebagaimana aku butuh untuk diselamatkan olehmu.
Mari meringankan beban satu sama lain. Setidaknya kita bisa merasa berguna bersama. Setidaknya hidup ini tidak terasa sia-sia. Bukankah kebahagiaan itu selalu ada di depan mata kita?
Tumblr media
0 notes
shifaturrahmah · 5 years
Photo
Tumblr media
CONVERSATION [26]⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ So, today I spent my day watching some inspirational videos, make some ammunitions to execute my goals. And I'm so amazed with the result I've made. ⁣⁣⁣ I need some spaces from horrible workdays and all of it's stuff (tasks and thoughts). Then, I like to do something new. It gives me extra confidence when I realize I can do it well. And I'm feeling thankful because of it.⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ Recently, I got a new hobby watching a YouTube channel. This started when I think I need some advices and extra motivation~with some self and listening skill development.⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ So, one of its videos talks about CONVERSATION. The speaker said that the key of successful conversation has 10 matters. But here're 3 of them.⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ 1.⁣⁣⁣ Don't do multitask when you have conversation with someone, moreover your kids. You just need to stop awhile and listen. ⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ Not just stop doing your work. But also stop to think about your boss arguments in the office or what you gonna eat for dinner. Just be present to them.⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ 2.⁣⁣⁣ Be neutral. Listen like you gonna learn something new. Stop to force on your own argument, or you'll get nothing more than just stuck on your own mind wall. ⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ 3.⁣⁣⁣ Don't equate your experience with others. Because all experiences in life are individual. We have our own way to value it.⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ It's not just about you. You don't need to show how amazing you are. Because conversations are not a promotional opportunity. ⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ Once again.⁣⁣⁣ ⁣⁣ Just be present to them. Listen. You'll get more. And be ready to be amazed of something that you don't know or you've never think about. Because everybody is an expert in something. They know what you don't.⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ Being present and having a good conversation is a big challenge we all should learn today. Maybe it's the hardest thing to do. But absolutely possible to make better changes in life.⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ Thank you⁣~ https://www.instagram.com/p/BxXeWkLhmHc/?igshid=4nw1nhechq8q
0 notes