Tumgik
simple0plain-blog · 8 years
Text
Tamat
So this is it. Jadi, entah bagaimana ceritanya, saya kehilangan akses ke akun ini. Jadi, beginilah akhirnya. Jika Anda ingin tahu sekuel dari @simple0plain, Anda dapat mengikutinya di omteo.tumblr.com Ciao!
1 note · View note
simple0plain-blog · 8 years
Quote
SYUUUUU......CUK JAN#@!#*$%^$(&^$%^#! TAEK!
ketika kamu ngerjain TA lalu stuck dan tidak menemukan sparing-partner buat brainstorm. begitulah ~
0 notes
simple0plain-blog · 8 years
Photo
Tumblr media
“he cah enek sing nduwe soft-file foto buken gak?”
pertanyaan di atas mengantar saya untuk membuka grup yang entah sudah berapa lama tak terbuka dan kemudian menemukan foto yang lumayan sensasional ini. percayalah bahwa sesungguhnya di ujung belakang sana, nun jauh di belakang para gadis anggun, pernah terjadi perang sipil yang lebih dahsyat daripada pertarungan di film Civil War yang hits itu. pertarungan maha dahsyat antara ali melawan lingga. sungguh, pokoknya dahsyatlah ~
1 note · View note
simple0plain-blog · 8 years
Quote
OOFIS OY LOIMEYLUVIN OY WUTCHASNOW
Kiiara - Gold
1 note · View note
simple0plain-blog · 8 years
Text
Kontekstualitas
Kita ini semua engineer, kecuali kamu. Jadi, bagaimana sudut pandangmu? hayolo ~
Sekarang coba kamu perhatikan, data wajib pajak yang dipunya sama kantor pajak sinkron nggak sama data kependudukan di dinas kependudukan? Kalau datanya sinkron, Dirjen Pajak nggak perlu mundur itu. Wong kalau itu sinkron target pajaknya jadi measureable banget.
Oke, katakanlah semua infrastruktur dibangun melalui skema pembiayaan (re: utang) dan aset-aset kita yang jadi jaminannya. Kalau memang skema itu dianggap kurang baik, lalu apa dampak negatif yang nyata-nyata dirasakan masyarakat? Toh kalau infrastruktur memadai, pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan masyarakat sejahtera. Jadi, apa ruginya?
Anak-anak muda punya banyak karya luar biasa kreatif. Beberapa akan mengajukan proposal ke pemerintah dengan harapan pemerintah akan mau membeli dan menggunakan karyanya. Tapi ketika pemerintah tidak memberi tanggapan positif, tidak semua bisa legawa. Sebagian akan lari ke media dan kemudian publik akan heboh. Lha kalau memang pemerintah merasa belum butuh, kalau kreatif tapi tidak sesuai dengan kebutuhan, gimana dong?
Dengan status PTNBH kampus-kampus memang punya ruang yang lebih luas dalam mengelola keuangannya. Sumber-sumber keuangan jadi lebih beragam dan terdiversifikasi. Tapi sepertinya keleluasaan itu malah membebani mahasiswa karena UKT jadi naik. Di satu sisi kampus-kampus butuh duit untuk mewujudkan visi world class, tapi di sisi lain mahasiswa juga butuh pendidikan murah. Jadi, ke mana sebenarnya arah pendidikan kita ini? Apa masalah itu muncul hanya karena kampus-kampus kurang kreatif dalam menyusun formulasi sumber dana?
Aku mau mulai investasi karena pengembaliannya lumayan, bisa sampai 10%. Jadi, gimana cara sederhana buat ngitung nilai saham perusahaan yang mau IPO? Aku mau yang angka eksak, bukan pakai Porter, PESTEL, atau yang sejenisnya.
Jadi dalam suatu kerangka kesatuan, apakah Indonesia sedang menuju ke arah yang lebih baik?
Ada banyak pertanyaan di luar sana yang lebih sulit dari sekedar menghitung NPV atau IRR. Pertanyaan-pertanyaan yang menyadarkan saya betapa beratnya konsekuensi dari embel-embel "Punggawa Keuangan Negara", betapa beratnya konsekuensi dari embel-embel "Insan-Insan Kekayaan Negara", betapa beratnya konsekuensi dari embel-embel "Agent of Change."
5 notes · View notes
simple0plain-blog · 8 years
Audio
“Will I see heaven in mine?”
0 notes
simple0plain-blog · 8 years
Conversation
Obrolan - Obrolan Sang Penylimur
Besu (B), Saya (S), dan Edot (E) adalah tiga orang sahabat yang terpisah oleh jarak. Tiba-tiba entah mengapa, dalam suatu obrolan kami menyinggung soal rencana Pesta Rakyat yang akan diadakan salah satu kampus negeri yang ada di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 2016. Seperti biasa, bahasan ini diobrolkan dalam suasana guyonan yang khas ~
B : Pie sesuk jare ### ana pesta rakyat? // Gimana besok katanya ### ada pesta rakyat?
S : Demone nganggo gladi jare wkwkwk // Demonya pake gladi katanya wkwkwk
B : Kan jare God Bless dunia ini hanya panggung sandiwara, yo gladi sik ben pertunjukane sukses. // Kan kata God Bless dunia ini hanya panggung sandiwara, ya gladi dulu biar pertunjukannya sukses.
S : Ojo jotos-jotosan yo, ngko ndak dibubarke kaya Smansa Cup wkwkwkwkwk // Jangan rusuh ya, nanti bisa dibubarin kaya Smansa Cup wkwkwkwkwk
E : Mbok kira aku nggagas ko ngonoan. Sinau sing bener sik lagi protas-protes. // Kalian kira aku peduli yang begituan. Belajar dulu yang bener, baru protes-protes.
Sebagaimanapun banyaknya mahasiswa di luar sana yang tidak setuju, tapi satu hal yang saya pelajari dari kampus saya adalah untuk tidak menjadi tong kosong yang nyaring bunyinya. Tugasmu belajar dan tidak belajar berarti drop out. Selesai belajar harus sanggup ditugaskan entah di Tarakan, Rote, Pulau We, Merauke, atau di mana pun itu. Dilarang menolak!
Intinya saya belajar bahwa jika kamu mau perubahan, lakukan. Caranya? Belajar lalu mengabdi. Perubahan itu dilakukan dan bukan sekedar disuarakan. Sulit memang, tapi itulah perubahan. Tidak pernah mudah. Dan yang paling penting kalau mau melakukan perubahan kepalanya harus berisi, jangan kopong.
1 note · View note
simple0plain-blog · 8 years
Quote
But it's not that simple
Mike Posner - Not That Simple
1 note · View note
simple0plain-blog · 8 years
Text
Pulang
“jadi pulang itu apa? pulang itu ke mana? karena sejak saya kecil ya yang namanya pulang itu pasti ke rumah. lha terus kalo saya sekarang sedang ngekos, ya tidak perlu pulang toh?” 
Jujur, itulah yang ada di otak saya ketika masa-masa awal lulus dari SMA. Suatu masa yang kata kebanyakan orang adalah masa-masa genting karena di saat itulah seorang manusia harus mulai memilih dunianya sendiri. Mau ke mana, mau jadi apa, mau ngapain, mau sama siapa, dan beraneka macam mau lainnya. Mau itulah dunia, dunia yang harus mulai dipilah dan dipilih sendiri. Singkatnya, masa-masa awal lulus SMA bagi saya adalah titik kulminasi dari pencarian jati diri seorang remaja dan, di masa itulah pertanyaan paling labil dan sulit dijawab itu muncul, “Jadi, pulang itu apa? Pulang itu ke mana?”
Kampus ini telah mengajarkan kepada saya, dengan cara yang paling sabar dan elegan, tentang arti dari pulang. Kampus ini telah mengajarkan bahwa pulang tidak harus kembali ke tempat yang secara fisik disebut dengan rumah. Selama hampir tiga tahun belajar di sini saya menyaksikan dan mengalami sendiri bagaimana para mahasiswa akan langsung pulang ke kosan setelah sesi perkuliahan selesai. Di kampus ini saya bahkan untuk pertama kalinya menyaksikan sekaligus mengalami kejadian di mana para mahasiswa akan mati-matian berusaha untuk mengutak-atik jadwal perkuliahan demi durasi pulang kampung yang lebih panjang. Bukan sekali dua kali dan juga bukan oknum karena itulah tradisi di kampus ini. Awalnya saya kesulitan untuk hidup di lingkungan dengan ritme seperti itu. Ritme yang menurut saya pokoknya pulang, pulang, dan pulang. Pikir saya waktu itu, “Lah ini orang-orang pada ngilang kemana, sih? Ngapain coba pulang ke kosan? Kosankan bukan rumah.” atau, “Hei ini orang-orang merantau tujuannya mau kuliah apa mau pulang?”. Situasi seperti itu kemudian mendorong saya untuk belajar hingga pada akhirnya terjawablah pertanyaan, “Jadi, pulang itu apa? Pulang itu ke mana?"  
Setelah hampir tiga tahun, sekarang saya paham bahwa pulang adalah tentang kembali. Pulang bisa ke mana saja. Tidak ada batasan untuk pulang. Kita bisa kembali ke suatu komunitas dan menyebutnya pulang. Kita bisa kembali ke suatu hubungan dan menyebutnya pulang. Kita bisa kembali ke masa lalu dan menyebutnya pulang. Kita bisa kembali ke tempat orang tua kita tinggal dan menyebutnya pulang. Atau bahkan kita bisa kembali kepada Tuhan dan menyebutnya pulang.
Setelah hampir tiga tahun, sekarang saya paham bahwa pulang adalah tentang kebahagiaan. Sama seperti kebahagiaan yang saya rasakan ketika berdiskusi dan bertukar ide dengan orang-orang di sekitar saya. Sama seperti kebahagiaan yang saya rasakan ketika menyusuri sudut-sudut kota Jogja. Sama seperti kebahagiaan yang saya rasakan ketika bertemu ayah, ibu, dan adik-adik saya.
“jadi pulang itu apa? pulang itu ke mana? karena sejak saya kecil ya yang namanya pulang itu pasti ke rumah. lha terus kalo saya sekarang sedang ngekos, ya tidak perlu pulang toh?”
Jawabnya mudah. Pulang itu adalah kembali kepada hal-hal yang membuatmu bahagia. Pulang itu bebas, bisa ke mana saja. Dan, di manapun kamu berada kamu perlu pulang. Kamu perlu pulang karena terkadang kepenatan itu menghampiri. Ketika kamu penat kamu perlu pulang. Pulang tidak harus ke rumah karena kebahagiaan ada di mana-mana. Bisa ada di rumahmu, kamarmu, kosanmu, kontrakanmu, temanmu, pacarmu, lagumu, filmmu, atau bahkan kesendirianmu. Ayo pulang!
1 note · View note
simple0plain-blog · 8 years
Text
oke. jadi wahana ini sudah eksis sejak saya masih SMA. sejak saya masih sering nulis tulisan g jelas entah di mana-mana dan sejak dashboard masih sepi karena waktu itu tumblr belum terlalu booming -emang pernah booming? wkwkwk. pokoknya wahana ini dahulu ditujukan untuk membuat tulisan yang lebih jelas daripada tulisan saya yang g jelas dan ada di mana-mana itu. tapi ya ternyata hanya wacana, lebih dari setengah dekade dan saya bahkan sempat berhenti nulis sama sekali wkwkwkwk
jadi initinya saya merasa belum ada tulisan berbobot di wahana yang usianya sudah lebih dari setengah dekade ini. untuk itulah akhirnya saya memutuskan untuk bikin writing project saya sendiri. writing project yang paling-paling cuma dibaca sama project officernya sendiri wkwkwk. writing project ini nanti akan berisi 22 pelajaran -cieee 22 cieee- yang saya dapat selama tiga tahun masa kuliah saya. iya tiga tahun aja, karena kalo empat tahun masa kuliah pelajarannya ada ratusan hahahaha
0 notes
simple0plain-blog · 8 years
Quote
Bisa nggambang yo mas, ora bisa ndemung. Bisa nyawang ora wani nembung
Walang Kekek
0 notes
simple0plain-blog · 8 years
Quote
Our blind pursuit of technology only sped us quicker to our doom
9
0 notes
simple0plain-blog · 8 years
Text
pring pring petung
anjang-anjang peli bunting
ojo menggok ojo noleh
ono turuk gomblah-gambleh
-Rep Kedhep-
0 notes
simple0plain-blog · 8 years
Quote
Why do we have our idols? Why do we wanna be them?
Happy Home - Lukas Graham
3 notes · View notes
simple0plain-blog · 8 years
Note
Heh to, ditto. Kwe tau menyesali suatu hal, gak? Saka sikapmu selama iki, le
sikap sing endi, bos? yen saka sikap sing loso sih ora, soale yo wis pancen ngono kui setelanku wkwkwk. nanging yo pancen ora kabeh uwong isoh nampa sikapku sing loso kui, paling yo mung beberapa uwong tok ning donya iki sing temenan paham karo kelosoanku. Contone yo kaya keluargaku dewe utawa kanca-kanca kenthelku. Sak liyane kui yo biasane rada angel anggone nampa sikap losoku iki. nanging yakin wae bos, sak loso-losone sikapku, niatku ki mesti apik. ora tau aku nduwe niat sing ala-ala, sing pengen nyilakani apa maneh ngasorake. lha nanging pancen dasare kahanan, niat apik yo ora kabeh iso dumadi barang sing uga apik. sok-sok niat apik ki malah iso nekakake mala. yo wis ngono kui, jenenge wae kahanan.
yo wis semono wae jawabanku. mbok bilih panjengan ngrumangsani menawi sikap kula menika kedah dipun “sesali” nggih kula nyuwun agenging samudra pangaksami.
matur sembah nuwun.        
2 notes · View notes
simple0plain-blog · 8 years
Conversation
Hey, it's twenty two!
Terence Fletcher: I don't think people understood what it was I was doing at Shaffer. I wasn't there to conduct. Any fucking moron can wave his arms and keep people in tempo. I was there to push people beyond what's expected of them. I believe that is... an absolute necessity. Otherwise, we're depriving the world of the next Louis Armstrong. The next Charlie Parker. I told you about how Charlie Parker became Charlie Parker, right?
Andrew: Jo Jones threw a cymbal at his head.
Terence Fletcher: Exactly. Parker's a young kid, pretty good on the sax. Gets up to play at a cutting session, and he fucks it up. And Jones nearly decapitates him for it. And he's laughed off-stage. Cries himself to sleep that night, but the next morning, what does he do? He practices. And he practices and he practices with one goal in mind, never to be laughed at again. And a year later, he goes back to the Reno and he steps up on that stage, and plays the best motherfucking solo the world has ever heard. So imagine if Jones had just said: "Well, that's okay, Charlie. That was all right. Good job. "And then Charlie thinks to himself, "Well, shit, I did do a pretty good job." End of story. No Bird. That, to me, is an absolute tragedy. But that's just what the world wants now. People wonder why jazz is dying.
Andrew: But is there a line? You know, maybe you go too far, and you discourage the next Charlie Parker from ever becoming Charlie Parker?
Terence Fletcher: No, man, no. Because the next Charlie Parker would never be discouraged.
**********************
I think that story of Charlie Parker is the perfect picture of my vision in shaping up a cadre. For some reasons I awe Terence Fletcher. His method, his judgement, the way he manipulates things and situations, I kinda see the incomplete version of myself. We share the same vision and reasoning, I just don't think I share his obsessive personality.
And just like Terrence Fletcher, I have ever crushed people, I have ever made people cry, I have ever pressurized people, and I have ever broken an already good relationship. All for one reason, to push people to the very edge of their limit so they will achieve beyond what's expected of them. And I always feel "morally-obliged" to do such thing.
In the end some might say true leader will inspire you en route to glory. Well, I'm not the good one then. Because I don't want glory, I want to sculpt milestones.
************************
Untuk semua hati yang saya lukai, untuk semua mata yang saya basahi, untuk semua pitam yang saya naikkan, dan untuk segala hal yang saya hancurkan.
Hanya ada serangkai kata.
Saya mohon maaf.
************************
0 notes
simple0plain-blog · 9 years
Text
Ulama Kuntul
Ulama kuntul itu bersifat kumisum kaya-kaya weruha. Angkuh, sok tahu pula. Sedikit-sedikit menuding-nuding, membid’ah-bid’ahkan, menyesat-nyesatkan, mengkafir-kafirkan, dan hal-hal sejenisnya. Ulama kuntul bagaikan telur, luarnya putih tapi dalamnya kuning. Warna kuning mencirikan emas yang merupakan simbol keduniawian. Inilah ulama paling berbahaya, di luar terlihat alim dan anti maksiat namun di hatinya punya kepentingan untuk memperkaya diri sendiri.
dikutip dan disarikan dari esai karya Muhammad Autad An-Nasher yang berjudul “Ulama ‘Kuntul’: Sindiran Sunan Bonang” dalam Kumpulan Esai-Esai Kaweruh Jumatan Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta.
0 notes