sinagiledas
sinagiledas
Nice-Suddenly?
796 posts
It's not about where you came from, it's all about where you wanna go.
Don't wanna be here? Send us removal request.
sinagiledas · 8 years ago
Photo
Tumblr media
57K notes · View notes
sinagiledas · 8 years ago
Photo
Tumblr media
My little odd baby
(submitted by @daydreamingaquarius)
3K notes · View notes
sinagiledas · 8 years ago
Photo
Tumblr media
5K notes · View notes
sinagiledas · 8 years ago
Photo
Tumblr media
🍂
73K notes · View notes
sinagiledas · 8 years ago
Photo
Tumblr media
34K notes · View notes
sinagiledas · 8 years ago
Text
Menjaga Kebugaran Fisik, Seberapa Pentingkah?
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
(Mens sana in corpore sano. Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Katanya sih.)
Istilah tersebut sudah sangat akrab di telinga saya sejak mendapatkan pelajaran Olahraga di bangku sekolah dasar. Mendadak, terputar di ingatan lagu latar dari senam SKJ. Menyebalkan, sekaligus merindukan karena saya tidak pernah melakukan aktivitas senam pagi lagi setelah menamatkan pendidikan tingkat sekolah. Berarti, apakah jika tubuh saya tidak cukup mampu untuk menopang aktivitas fisik harian, jiwa saya dapat dikatakan terganggu, begitu?
Berhadapan dengan berbagai kegiatan dalam rangka menunaikan kewajiban sebagai mahasiswi dan seabrek aktivitas lainnya di luar kehidupan perkuliahan tentu menuntut fisik dan stamina yang tak jarang menguras hingga rasanya kehilangan tenaga. Karena saya kurang gerakan fisik, justru letih yang saya dapatkan, terkadang juga bonus masuk angin jika beruntung. Serba salah dan sulit juga ternyata menjaga kondisi tubuh agar tetap fit.
“Istirahat lah, Nis. Sibuk benar gak banyak kegiatan tuh.”
“Jangan lupa kesehatan, Nis. Nanti saket susah nak ngape-ngape.”
Pernyataan yang terlontar dari orang-orang sekitar saya tersebut makin ke sini makin gencar didapatkan. Memang, dengan didukung memiliki tipe warna kulit yang ‘nanggung’ pula, alhasil saya pun kerap disangka dalam kondisi drop. Padahal saya sengaja tidak memoleskan make-up apapapun karena terkadang saya merasa bosan juga. Jika waktunya tubuh minta istirahat, saya memastikan dulu apakah sekedar butuh istirahat sebentar atau total dengan melihat warna di area pergelangan tangan. Saya adalah orang yang cukup konservatif dalam urusan keluarga, pun salah satunya kesehatan, yang lebih percaya dengan kerokan ketimbang obat medis jika dirasa belum terlalu parah. Kecuali jika bagian pernafasan mengalami gangguan, memang harus segera mendapat bantuan dari nebulizer. Seiring bertambah usia pun, aktivitas fisik saya seperti terpangkas. Mengeluarkan keringat bukan berarti kegiatan yang dilakukan sudah cukup menyehatkan. Sadar betul, sepertinya saya butuh meluangkan waktu untuk berolahraga demi stamina yang stabil dan tidak terlalu mengalami ketergantungan dengan obat-obatan medis.
Akhirnya saya mencoba untuk mengunjungi salah satu pusat kebugaran yang ada di kota Pontianak. Baru kali pertama, tentu ada perasaan canggung melihat kiri dan kanan. Beberapa pengunjung dengan memiliki body goals ala seleb instagram mengasah kemampuan fisiknya dengan alat-alat yang tersedia di ruangan tersebut. Glek. Tumpukan lemak di tubuh seolah ingin menertawai diri sendiri. Tingkat percaya diri saya berasa jeblok dan seolah merasa bersalah dengan diri ini yang dulu terlalu dimanjakan dengan makanan dan jajanan kaki lima yang masuk tanpa mempertimbangkan porsi. Asal perut kenyang, hati senang, kemudian bisa melanjutkan aktivitas dengan mood yang baik. Begitu prinsip saya sampai akhirnya saya telat menyadari sebenarnya asupan makanan saya kurang cukup dari segi kelengkapan gizi yang baik.
Untunglah pengoperasian alat-alatnya terbilang mudah dan jelas petunjuknya, sehingga saya yang sungkan bertanya kepada operator dapat langsung menggunakannya. Satu jam berselang, keringat dari tubuh pun mengucur lumayan deras berkat treadmill dan sepeda statis. Awalnya, saya hanya mampu untuk berolahrga dengan durasi setengah jam saja. Namun, mungkin ada benarnya olahraga dan gaya hidup sehat itu adalah candu yang menyenangkan. Tentu saya tidak memforsirnya, takut cedera otot. Dan saya belum juga berniat untuk menjajal alat lainnya karena atas saran dari teman yang juga rutin ke pusat kebugaran, saya lebih baik fokus kepada latihan cardio terlebih dahulu untuk kebugaran dan pembakaran lemak yang menumpuk di beberapa bagian seperti lengan, perut dan juga paha.
Agar hasil yang diinginkan juga maksimal, saya juga mencoba mengiringinya dengan pola makanan yang sehat pula. Menghindari makanan gorengan dan nasi adalah langkah awal yang saya lakukan, karena pada hakikat sebenarnya jika berniat menginginkan berat badan yang ideal, porsi makan tidak dikurangi, melainkan diukur sesuai dengan takaran yang dibutuhkan sebagai asupan gizi. Jangan sampai kurang, serta melebihi. Selanjutnya, istirahat teratur, ini yang saya agak kesulitan namun tetap saya coba agar semuanya berjalan dengan baik sesuai rencana.
Karena hidup sehat itu, gampang-gampang susah juga ternyata. Sudahkah kita semua menjalani hidup sehat secara teratur?
0 notes
sinagiledas · 8 years ago
Text
‘Mengapung’ di Sungai Kapuas, Bikin Hati Puas!
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
(Terlampau menikmati pemandangan dan baterai ponsel yang keburu habis, saya jadi punya sedikit dokumentasi.)
Eh, apa nggak salah nih saya bikin judulnya? Tentu, saya sedang dalam kondisi sadar sepenuhnya, sehat walafiat walaupun kesehatan agak menurun karena pilek yang menyergap sejak dua hari lalu. Saya pun juga barusan menegak sebotol air putih, jadi, tenang saja, saya masih waras. Tapi mungkin postingan ini tetap nyeleneh seperti biasa, khas postingan yang saya tuliskan.
Berbicara soal sungai Kapuas, bukan warga Pontianak ataupun Kalimantan Barat bila tidak mengenalnya. Menjadi urat nadi penyambung kehidupan, sungai Kapuas seolah salah satu anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada tanah Kalimantan. Menjadi sungai terpanjang di Indonesia, sungai Kapuas memiliki banyak kelebihan yang dapat dimanfaatkan bagi masyarakat sekitar. Meskipun, tidak sedikit pula masyarakat kota Pontianak yang belum memiliki waktu yang dapat diluangkan untuk menikamati pemandangan di sekitar sungai Kapuas.
Selain menjadi sarana sanitasi dan transportasi, sungai Kapuas juga memiliki fungsi dalam bidang rekreasi. Sungai Kapuas, dapat kita nikmati pemandangan sekitar dengan kehidupan penduduk yang hidup dan tinggal di tepiannya. Merasakan pergerakan waktu yang detak kehidupan yang bergulir melawan arus, mulai dari fajar menyingsing hingga matahari tergelincir, pulang dan beristirahat hingga kembali terbit keesokan harinya. Ada yang memanfaatkannya dengan melakukan aktivitas olahraga seperti renang, perahu kano, wake skate, hingga latihan perahu naga pun dilakukan di sungai Kapuas. Sementara, tak ada salahnya juga menikmati secangkir kopi atau teh hangat di kafe-kafe yang berdiri di tepian sungai, ataupun justru bersantap sambil menikmati pemandangan di kafe terapung yang mengitari seputaran sungai Kapuas.
Sore itu, saya mendapat kesempatan bersama beberapa rekan yang tergabung dalam kelas Dasar-Dasar Fotografi untuk menyusuri sungai Kapuas dengan menggunakan sampan. Akhirnya! Setelah terakhir kali saya naik sampan ketika sekolah dasar, saya dapat memberanikan diri walaupun sempat dilanda sedikit rasa takut. Alasannya sederhana, karena saya bukanlah perenang yang baik. Belum lagi ditambah berat badan yang membuat sampan bergoyang di pijakan pertama, sepertinya saya akan meneguhkan niat untuk mencoba berdiet hingga akhir tahun nanti.
Sampan yang digunakan, sedikit mendapat sentuhan modern karena telah menggunakan mesin. Beberapa sampan yang bersandar di tepian sungai Kapuas juga masih menggunakan sistem konvensional, alias, menggunakan tenaga kayuh penarik sampan. Tidak hanya mengangkut penumpang yang ingin melintasi dan menyusuri sungai dengan jumlah yang bisa dihitung menggunakan jari, namun hingga belasan penumpang. Sungguh perjuangan yang kuat demi mendapatkan kepingan Rupiah untuk menyambung hidup, dan menjaga agar transaksi kehidupan di sungai Kapuas ini terus berlangsung.
Rute perjalanan dimulai dari tepian samping Pelabuhan Ferry, atau yang biasa disebut pelampong, yang berada di sekitaran Taman Alun Kapuas. Dengan merogoh kocek sebesar Rp30.000,- untuk menyewa sampan bersama beberapa orang yang ikut dalam perjalanan sore itu, kami pun duduk menyebar di beberapa bagian sampan. Mesin pun dinyalakan, sampan pun bergegas meninggalkan tepian sungai. Tingginya air pasang pada waktu itu sempat membuat cemas karena seperti tak berjarak dengan sampan yang kami tumpangi, namun, karena ingin mendapatkan momen foto yang baik, saya lebih memilih bersemangat untuk mencari titik foto terbaik yang sebanyak mungkin dapat ditangkap oleh kamera ponsel pintar saya dengan daya baterai yang tersisa sedikit, karena saya lupa membawa powerbank.
Syukurlah, cuaca sore itu cerah, dan sungai Kapuas memang selalu menyimpan pesona estetiknya tersendiri, bagaikan sebuah sihir. Awan yang bergumpal dengan pemandangan langit biru, ditambah terpaan angin dan pancaran hangatnya sinar mentari di sore hari mengingatkan saya untuk bersyukur dilahirkan dan tinggal di kota yang mengagumkan ini. Sungguh kesempatan yang sangat saya rasakan nikmatnya, apalagi ketika sampan melambatkan kecepatannya di tengah sungai. Bagaikan mengapung, sampan seolah menyatu dengan aliran sungai yang tak bertepi. Rasanya seperti moodbooster terbaik yang saya temukan setelah merasakan penatnya aktivitas harian. Sebuah kesempatan yang sangat jarang saya lakukan dan dapatkan, yang mungkin justru menjadi keseharian sesama penduduk kota Pontianak lainnya.
Setelah berkeliling selama belasan menit menyusuri sekilas sungai Kapuas, ada sekelibat perasaan yang berkecamuk di batin. Perasaan senang dan puas karena dapat menikmati kekayaan yang dimiliki oleh kota ini walaupun masih belum dirasa cukup.
Jadi, kapan mau menikmati sungai Kapuas lagi?
0 notes
sinagiledas · 8 years ago
Text
Tren Kuliner Kekinian, Benarkah Cita Rasanya Sepadan?
Tumblr media Tumblr media
(Seblak dan Salted Egg Chicken yang telah saya coba, memiliki perbedaan dari segi harga dan rasa.)
Berbicara soal kuliner, Pontianak adalah salah satu kota yang memiliki keunikan tersendiri di Indonesia. Dipengaruhi oleh tiga etnis mayoritas, Melayu, Dayak dan Tionghua, kota Pontianak dapat dikatakan memiliki kekayaan kuliner disertai cita rasa khas yang sulit ditemukan di wilayah lain di tanah air. Bisa dikatakan, makanan di Pontianak, baik yang halal maupun non-halal, hingga yang vegetarian sekalipun punya kelezatan tersendiri. Meskipun, mayoritas masyarakat Pontianak menyukai masakan dengan cita rasa asam dan pedas. Wajar apabila bisnis kuliner pun tumbuh dengan subur di Pontianak, silih berganti mengikuti tren pasar yang sedang diminati oleh para konsumen.
Dalam sepuluh tahun terakhir, saya termasuk salah satu yang tertarik melihat fenomena tren kuliner di Pontianak. Bukan, saya tidak mencemplungkan diri secara khusus untuk menjadi foodies ataupun kritikus kuliner. Saya hanya milenial konsumen kuliner kelas menengah ngehe yang terkadang menyesal setelah mengonsumsi produk makanan tersebut. Biasanya, saya menyesal karena harganya tidak dirasa sesuai dengan porsi yang dihidangkan, tampilan makanan yang disajikan kurang menggugah selera, hingga rasa dari makanan tersebut yang lidah saya rasakan sangat beragam. Mulai dari hambar, terlalu manis, hingga terlalu asin sudah pernah saya alami.
Dimulai dari tela (ketela--singkong) goreng yang sempat ngehits ketika zaman saya masih duduk di bangku sekolah dasar dahulu. Bahkan salah satu franchise-nya membuka cabang di dekat sekolah. Alhasil, ketika selesai menunaikan shalat Dzuhur berjamaah dan memasuki waktu istirahat kedua, saya dan teman-teman cukup sering membeli tela tersebut. Katakanlah, saya termasuk generasi micin pada eranya, sebelum akhirnya bertobat di usia yang memasuki kepala dua karena tubuh dan pencernaan tidak sekuat dulu kala.
Kembali ke tela ini, sebenarnya tidak ada bedanya dengan singkong goreng yang biasa dapat kita temui di penjual gorengan. Namun, karena dipotong menyerupai kentang goreng dan berbagai macam bumbu penyedap rasa yang dapat ditambahkan untuk melezatkan tela, membuat konsumen khususnya anak-anak menggemari makanan yang satu ini. Dari rasa Balado, Barbeque, hingga Keju menjadi salah satu varian yang menjadi favorit para konsumen. Dengan rasa singkong goreng yang sudah familiar di lidah masyarakat Indonesia, tidak heran menjadi salah satu cemilan favorit di masa itu, meskipun riwayatnya kini tak seindah masa jayanya.
Saat ini, pertubuhan dan ragam kuliner di Pontianak pun tidak hanya dimasuki oleh panganan khas nusantara saja. Beberapa makanan khas luar negeri pun menjadi tren dan memasuki pertarungan kuliner di Pontianak. Mulai dari makanan khas Jepang yang sudah akrab terlebih dahulu seperti Takoyaki, Ramen, Sushi, Shabu-Shabu, Katsu, Bento, dan lainnya yang dari segi rasa sudah disesuaikan dengan lidah penduduk lokal, sehingga menjadi salah satu primadona kuliner dengan beberapa gerai dan restoran memulai bisnisnya dan berada hampir di beberapa titik strategi di kota. Selang beberapa tahun kemudian, negara tetangga Jepang, yaitu Korea Selatan, juga menyebarkan ‘demam’ lewat saluran hiburannya dan tanpa terkecuali, kulinernya. Sangat lumrah dan cukup terbilang mustahil apabila menonton drama, reality show ataupun film Korea tetapi tidak tergiur dengan sajian kulinernya, mulai dari yang mengangkat tema kolosal maupun kehidupan masa kini. Kimbab, Bibimbap, hingga mi instan yang dikenal dengan rasanya yang pedas (walaupun menurut saya tidak pedas), Samyang, menjadi perburuan pecinta kuliner ataupun yang sekedar ingin mencoba karena dilanda rasa penasaran.
Namun, namanya saja tren kuliner, seperti roda yang berputar, tentu akan kembali kepada asalnya, ada posisinya ketika di atas maupun di bawah. Masakan khas Indonesia kembali digemari karena harganya yang relatif terjangkau dan lebih akrab dibandingkan masakan khas negara luar. Kali ini, Ayam Geprek dan Seblak yang berasal dari Jogja dan Tanah Pasundan menjajal tren kuliner di Pontianak. Intinya, makanan ini langsung menjadi kegemaran masyarakat Pontianak karena dua hal; rasanya yang pedas dan harganya yang terjangkau.
Tren kuliner pun kembali berputar, dengan mengadaptasi dengan makanan khas negara tetangga, Singapura, sebagai salah satu kuliner kegemaran masyarakat Pontianak saat ini. Salted egg, alias telur asin, masyarakat Pontianak mana yang belum pernah mencicipinya? Minimal, pernah melihat penampakan fisiknya seperti apa. Tetapi, di tangan Singapura, telur asin naik kelas menjadi hidangan yang diburu pecinta kuliner. Pengolahannya biasa dijadikan saus, kemudian disiramkan ke ayam goreng krispi dan jadilah, Salted Egg Chicken, alias Ayam Goreng Telur Saus Asin yang didampingi dengan seporsi nasi maupun kentang goreng. Dan yang terkini, produk mi instan yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia, yaitu Indomie, juga ikutan naik level menjadi kuliner kekinian dengan berbagai macam pengolahan. Ada Indomie Carbonara, Indomie Bulgogi, Indomie Sambal Matah, Indomie Kikil Cabe Ijo, dan masih banyak lagi. Sampai saya akhirnya menyadari dan bisa menarik kesimpulan, memang paling enak makan mi instan itu jika dibuatkan oleh orang lain. Dan jangan lupakan juga jasa ibu kantin yang membuat sajian mi instan standar hanya dengan tambahan telur dan sawi, namun selalu gagal menyerupai rasanya ketika saya mencoba membuatnya sendiri di rumah.
Tentu saja, apapun menu yang tertulis dengan bahasa asing, akan menjadi lebih mahal harganya. Ah, bagi kaum milenial, itu sesuatu yang tidak penting, karena yang paling penting, update postingan di instagram story kalau sudah mencicipinya!
0 notes
sinagiledas · 8 years ago
Text
Menemukan Zona Nyaman Tanpa Merasa Kesepian
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
(Senja tiba di penghujung ketika saya menikmati dari balik jendela kaca gerai cepat saji ini.)
Tiada yang lebih menyenangkan dari bersantai di akhir pekan. Menikmati waktu dan menghilangkan penat sejenak dari segala rutinitas yang menyergap hampir setiap harinya. Saya masih berstatus sebagai mahasiswa, dengan memiliki kegiatan kerja sampingan otomatis juga membuat waktu saya untuk sekedar bersantai menjadi berkurang. Melelahkan memang apabila tidak diimbangi dengan istirahat yang cukup. Namun, segala kegiatan masa muda ini sangat saya nikmati untuk menambah pengalaman di usia yang relatif muda.
Mencari tempat bersantai yang nyaman di kota Pontianak, tidak mungkin bisa didapatkan dengan gratis. Jikalau ingin ke taman kota yang sedang giat dibangun oleh pemerintah, masih tetap merogoh kocek untuk membayar parkir. Dan mesti diingat juga, Pontianak justru sedang memasuki musim di mana hujan jarang sekali turun. Matahari siang hari tentu akan menyinari dengan teriknya, tanpa ampun. Akhirnya, kulit saya pun terbakar, kembali menghitam karena terpapar sinar matahari yang juga membuat kering. Ampun!
Memasuki akhir bulan, keuangan saya menjadi semakin menipis. Sedangkan saya selalu berprinsip, tidak boleh membawa pekerjaan kuliah dan kerja apabila sudah sampai di rumah. Mending saya pulang agak larut demi menyelesaikan tugas. Dan mau tidak mau, tentu saya harus mengeluarkan uang untuk sekedar membeli minuman ringan. Saya penganut home sweet home yang sangat taat, sehingga memang menjadikan rumah tempat istirahat seutuhnya. Notifikasi telepon seluler yang kadang menderu pun saya abaikan jika terlampau lelah. Kecuali, seseorang memerlukan saya untuk urusan yang sangat penting dan mendadak, bisa saya tolerir.
Saya pun kembali mencari tempat mana yang bisa saya jadikan untuk mengerjakan tugas, ramah di kantong, buka setiap saat, adem, tidak bising dan yang paling penting, punya colokan dan WiFi! Hampir semua tempat memenuhi kriteria tersebut, namun, selalu terkendala oleh dua syarat yang membuat saya mundur, tidak memilih tempat tersebut.
Pengunjung bebas menyalakan dan menyemburkan asap rokok maupun vape seperti seekor naga, yang membuat saya akhirnya bernafas seperti ikan yang melompat keluar dari akuarium. Belum lagi ditambah remaja-remaja maha heboh—kebanyakan berusia SMP dan SMA—bebas semau hati berisik, lebih tepatnya cenderung ribut, dengan gerombolan kelompoknya. Padahal, kan saya pesan dan bayar juga!
Setelah melakukan pencarian, akhirnya saya menemukan sebuah gerai cepat saji yang memenuhi syarat yang saya idamkan. Texas Fried Chicken cabang Simpang Flamboyan. Sebelum lebih jauh, saya ingin menegaskan ini bukan postingan berbayar, tapi, jika ingin dibayar pun, saya tidak menolak.
Eh. Maaf, jadi buyar. Hehehe.
Sedikit informasi mengenai Texas Fried Chicken, gerai makanan cepat saji ini didirikan di Atlanta, Amerika Serikat pada tahun 1953. Kemudian masuk ke Indonesia pada tahun 1984. Saya lupa kapan tahun pastinya Texas masuk ke Pontianak, karena perasaan saya ketika masih di bangku TK untuk gerai cepat saji ini juga ikut diresmikan bersamaan dengan sebuah mal di daerah Jendral Urip. Pun saat ini, di mal tersebut, cabang Texas yang ada sudah ditutup. Menyisakan dua cabang di Flamboyan dan Ayani Megamal yang masih bertahan hingga saat ini.
Kembali ke Texas Simpang Flamboyan, awalnya saya menilai langkah cukup berani diambil oleh gerai cepat saji ini, mengingat sebelumnya bangunan yang ditempati saat ini telah banyak mengalami pergantian tempat usaha. Terakhir yang saya ingat, sebuah restoran khas Minang menempati lokasi ini. Entah apa yang menyebabkan mereka tutup, padahal kata teman saya hidangan Ayam Pop-nya enak. Pas saya mau coba, eh nasib kurang beruntung malah restorannya terlanjur tutup. Bangunan tersebut pun akhirnya menjadi kosong dalam waktu yang cukup lama, dan terkesan mistis di malam hari. Padahal, daerah sekitarnya adalah sentra bisnis dan perdagangan di Pontianak. Siapa yang tak kenal Gajah Mada dan Tanjungpura? Salah satu wilayah di Pontianak yang tidak pernah tidur dengan segala pesona gemerlap yang ada.
Secara keseluruhan, yang pertama saya rasakan ketika membuka pintu masuk adalah, rasa sejuk. Jarang sekali saya mampir di gerai cepat saji di luar mal yang bisa merasakan hawa sejuk dalam satu kali langkah dan bertahan hingga saya selesai makan, mengerjakan tugas, dan akhirnya pulang. Malah cenderung, jika mendapat tempat duduk di dekat pintu masuk belakang dan pengunjung tidak terlalu ramai, dinginnya AC semakin bertambah. Dari segi harga, memang relatif hampir sama dengan gerai cepat saji lainnya. Namun yang paling saya sukai di Texas adalah menu es krim Sundae, sup ayam dan nasi pedasnya. Enak!
Texas Simpang Flamboyan pun juga menyuguhkan suasana yang menyenangkan untuk sekedar bersantai, baik bersama teman maupun sendirian. Suasana ini mengingatkan saya kepada Pontianak di pertengahan tahun 2000-an, tidak terlalu ramai namun tetap mengasyikan. Jadi, jika datang hanya seorang diri untuk makan ataupun mengerjakan tugas, juga tidak akan merasa kesepian dan dapat menikmatinya.
Tempat ini juga menyediakan parkiran mobil dan motor yang cukup luas serta colokan sebagai kebutuhan sekunder kekinian, di mana hampir semua orang memiliki telepon seluler dan membawanya kemanapun. Sebagai upaya menarik pelanggan, Texas pun juga menyediakan WiFi gratis dengan kecepatan yang tidak mengecewakan. Ditambah selalu buka 24 jam, membuat tempat ini menjadi salah satu primadona baru untuk gerai makanan cepat saji dan dapat dipilih bagi para pendatang di kota ini maupun yang ingin bersantap sahur dan melaksanakan ibadah puasa. Patut dicoba!
0 notes
sinagiledas · 8 years ago
Text
Si Manis yang Berkumis
Tumblr media
(Perkenalkan, ini Torres, kucing saya yang manja dan penurut.) Siapa tak kenal makhluk ciptaan Tuhan yang menggemaskan ini? Banyak orang yang menjadikan kucing sebagai hewan peliharaan—bahkan tak jarang menganggapnya sebagai keluarga— karena sifatnya yang manja. Begitu pula dengan saya, yang memilih kucing sebagai peliharaan di rumah karena saya takut jika pelihara anjing dan mendadak melolong di tengah malam, sense saya akan ikut menajam dan bisa-bisa tiap hari tidak bisa tertidur nyenyak hingga kumandang adzan Subuh terdengar.
Di rumah saya ada beberapa ekor kucing, jumlah pastinya saya lupa karena hanya ada tiga ekor yang selalu menyambut saya tiap pulang ke rumah. Belum lagi kucing tetangga atau kucing tidak diketahui dari mana asalnya yang terkadang mampir dan hilir mudik di belakang rumah untuk meminta makan. Entah karena badan saya bau ikan asin setelah seharian beraktivitas di luar rumah atau memang perangai saya yang ramah dan mereka sukai, sehingga mereka seperti mengajak untuk bersenda gurau dan bermain setiap saat. Padahal andaikan mereka tahu, badan dan pikiran saya butuh istirahat dan berharap mereka bisa memijat ataupun membantu tugas kuliah saya.
Mungkin ada beberapa yang bilang, kucing termasuk hewan yang pemalas, dan tidak terlalu bisa diandalkan seperti anjing. Namun, menurut saya, tergantung lagi bagaimana sang pemilik dapat melatih dan berkomunikasi dengan hewan peliharaannya. Jika melakukan kesalahan, ada baiknya hewan peliharaan —bahkan yang terhitung liar sekalipun— tidak dibentak, dipukul, apalagi disiram dengan air panas. Biasanya, saya langsung reaktif, “Hussh... hussh. Nakal kamu, ya!” saja ketika kucing di rumah berusaha mengambil makanan di wadah hidang. Miris rasanya ketika terkadang saya sedang menikmati semangkuk bakso di pinggir jalan sebagai penghilang lapar, seekor kucing bertubuh kurus ikut menghampiri saya. Pupilnya membesar, dengan penuh belas kasihan ia mengeong, seolah ingin mengungkapkan maksud meminta sedikit bagian dari yang saya makan. Ingin saya memberi, tapi takut berdosa karena mangkuk bakso saya sudah ditambahkan beberapa sendok sambal. Saya takut karma does exist, mana tahu suatu saat saya kelaparan saya diberi makanan yang rasanya terlalu manis dan banyak kecap, seperti yang saya hindari selama ini.
Kembali lagi menyoal perilaku kucing. Jika ada yang mengatakan kucing dapat menghilangkan stres, saya sangat setuju dengan pernyataan ini. Apalagi jika saya sedang bingung ingin menumpahkan perasaan saya yang bercampur aduk. Terkadang, ada waktunya dunia pun tidak cukup ramah bagi saya untuk berinteraksi dan berbagi cerita dengan sesama manusia. Syukurlah, saya tidak curhat dengan makhluk gaib. Biasanya, saya akan mulai menanyakan kabar kepada kucing saya, layaknya penyiar radio yang sedang membuka siarannya dan menyapa pendengar. Kucing saya lalu menjawab, “Meouwwwng...” dengan suaranya yang lumayan cempreng (duh, apa belum akil balig, ya?) dan berguling manja di depan saya. Mungkin setara dengan tarian penyambutan Hula-Hula khas rakyat Hawaii.
Tapi memang dasarnya seekor kucing, di mata saya mereka begitu menggemaskan walaupun berkumis (ini apa hubungannya?) dan tak jarang, terkadang tingkahnya sungguh menjengkelkan. Wajarlah, mereka hanya makhluk hidup yang diberikan nafsu dan insting belaka. Tahu beresnya hanya makan, tidur dan buang air, atau kawin ketika waktunya tiba. Begitu terus siklusnya selama seharian. Kedua tangan saya adalah saksi, bekas cakaran tersebar cukup merata akibat memberi makan, bermain, dan memandikan mereka. Luka memang bisa disembuhkan dalam beberapa hari, namun tidak seberapa jika saya harus kehilangan mereka.
Saya pernah melihat di depan mata, kucing saya sekarat, meregang nyawa dan akhirnya meninggalkan saya dan keluarga untuk selamanya beberapa tahun lalu, tepatnya ketika saya SMA. Masih mengenakan seragam sekolah, sesampainya di rumah, saya melihat kucing tersebut sempoyongan. Mabuk kah? Tentu tidak karena saya tidak pernah mengajarinya minum alkohol. Belakangan pun ia tidak menunjukkan gejala sakit sedikitpun, semuanya terlihat baik-baik saja, aktif dan lincah ketika diajak bermain. Namun, mungkin waktunya sudah cukup memberikan warna di rumah, sehingga ia tutup usia. Mulutnya mengeluarkan busa. Entah kenapa sempat curiga ia diracun oleh seseorang. Namun hati ini lebih memilih untuk mengikhlaskan kepergiannya.
Last but not least, kecintaan saya terhadap kucing hitam sudah tak dapat terbendung lagi. Bisa dikatakan, saya cukup terobsesi dengan mereka. Baik dalam bentuk nyata, maupun pigura. Kebetulan, di rumah ada beberapa kucing hitam. Dan entah kebetulan apa lagi, mereka semua terhitung lebih ‘manut’ ketimbang kucing berwarna lain.
Banyak mitos yang menyebutkan, kucing hitam pembawa sial, malapetaka atau seperti itulah kurang lebihnya. Tapi, bukannya Allah telah memberikan jatah rezeki yang cukup bagi tiap umatNya yang berusaha untuk mencari penghidupan yang telah disebar ke penjuru Bumi? Makanya saya berkomitmen untuk tetap momong mereka dengan baik, termasuk di saat mereka sakit. Jangan sampai hanya mencintai hewan peliharaan hanya saat mereka sedang dalam kondisi lucu dan menggemaskan saja.
Alhamdulillah, rezeki saya dicukupkan, bahkan cenderung bertambah, mungkin karena doa yang mereka panjatkan juga. Karena rezeki bukan hanya dalam bentuk uang semata, kan? Intinya, sayangi dan hargailah sesama makhlukNya. Termasuk, si manis berkumis ini. Rawatlah ia dengan penuh keikhlasan, insya Allah akan berbalas kebaikan dan berkah kehidupan yang berlimpahan.
0 notes
sinagiledas · 8 years ago
Photo
Tumblr media
17K notes · View notes
sinagiledas · 8 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media
223 notes · View notes
sinagiledas · 8 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media
George Ezra performs at Stradbally Hall Estate on September 5, 2015 in Dublin, Ireland. 
648 notes · View notes
sinagiledas · 8 years ago
Photo
Tumblr media
George Ezra, 2014 © Heide Prange
3K notes · View notes
sinagiledas · 8 years ago
Photo
Tumblr media
323 notes · View notes
sinagiledas · 8 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media
“I’ve not tried to shy away from what I am. I think that’s a common thing where people think, ‘Well, I’ve got this audience but those guys don’t like me’ so they start trying to write songs that appeal to that audience but the thing is, they’ve got their fix. They’ve got something else. Honestly, I think that happens more often than we realise so I was really keen to stay true to what I am.”
George Ezra for Dork Magazine, September 2017  (Photoshoot by Phil Smithies ) 
158 notes · View notes
sinagiledas · 8 years ago
Photo
Tumblr media
1K notes · View notes