sinemeter
sinemeter
Sinemeter
222 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
sinemeter · 2 years ago
Text
memoria
Tumblr media
“I’m like a hard disk. And somehow you are an antenna.”
Jessica terbangun di tengah malam gara-gara suara dentuman. Suara yang amat keras itu terdengar baru dan misterius, tidak diketahui dari mana sumbernya. Yang jelas, suara itu datang lagi di beberapa momen dan hanya Jessica yang bisa menangkapnya.
Oke, dari mana saya harus memulainya? Ini adalah film pertama karya sutradara Apichatpong Weerasethakul yang saya tonton. Reputasi Apichatpong sebagai sutradara arthouse yang brilian sudah saya kenal lebih dahulu jauh sebelum saya menonton filmnya. Namanya kerap malang-melintang di jajaran film-film yang berkompetisi di Festival Film Cannes, bahkan ia sempat memenangkan salah satunya. Asalnya yang dari Thailand, Asia Tenggara, tentu menjadi nilai tambah yang semakin membesarkan nama beliau dalam dunia sinema, dan semakin memupuk rasa penasaran saya akan kualitas dari karya yang dikreasikannya.
Lalu, film Memoria ini hadir. Film berbahasa Inggris (dan berbahasa Spanyol) pertama yang digarap Apichatpong. Dibintangi oleh Tilda Swinton yang sudah tidak perlu saya ragukan lagi kualitas aktingnya. Banyak review dari media-media internasional yang kurang-lebih menyimpulkan film ini sebagai salah satu yang terbaik di sepanjang tahun dan tentu saja saya percaya itu. Maka, tanpa membaca ulasan apa pun dan tanpa mengetahui sinopsis film ini lebih dahulu, saya pun menontonnya.
Dan lalu… saya pun… mengantuk di sepanjang film.
Ya, di sepanjang film. Saya mengantuk, tapi saya terus berupaya menonton film ini sampai beres. Pertama, mungkin karena sebenarnya saya memang sudah agak mengantuk saat mulai menonton film ini malam-malam, seharusnya saya bikin kopi hangat dulu tapi niat itu diurungkan karena berharap, seperti yang sudah-sudah, cerita dalam film ini bisa secara bertahap mengenyahkan rasa kantuk. Ternyata saya salah dan itu menjadi alasan yang kedua, yaitu ini adalah film yang termasuk sebagai slow cinema, alurnya berjalan lambat, nyaris seperti tidak ada sesuatu yang penting yang terjadi di setiap adegan, ditambah lagi banyak long take dalam adegan-adegan yang cenderung statis. Slooow cinema.   
Salah satu review di IMDb menyebut film ini sebagai: “It’s essentially just Tilda Swinton trying to find the perfect kick drum for two hours.” Saya menyebut pengalaman menonton film ini sebagai pengalaman masokis melawan rasa kantuk. Bayangkan mencoba menahan kelopak mata agar terus membuka di tengah terjangan kantuk saat menonton adegan Tilda Swinton duduk sendirian di sebuah taman sepi selama beberapa menit. Tidak ada yang terjadi di sana, selain kedatangan seekor anjing liar yang tiba-tiba menghampiri Tilda. Setelah itu, tidak ada apa-apa lagi. Masalahnya, saya tetap berusaha menyelesaikan film 2 jam ini karena murni ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam ceritanya. Benar-benar menyiksa diri.
Saya menyangsikan apa yang telah saya saksikan dalam film ini, termasuk hal yang mendasari pujian kritikus terhadapnya. Di titik inilah saya menyadari kalau saya bukan kritikus, atau belum bisa disebut kritikus. Pasti ada hal-hal yang luput saya tangkap dari film ini, ada alegori yang pemaknaannya tidak sampai ke otak saya. Atau barangkali saya menontonnya dengan cara yang “salah”. Di luar faktor ngantuk tadi barangkali saya yang salah karena memperlakukan film ini seperti film-film pada umumnya. Bisa jadi.
Sebelum membahas lebih jauh, saya akan coba menelusuri ulang ceritanya.
Ceritanya Sejauh Ini
Jessica (Tilda Swinton) terbangun di tengah malam gara-gara mendengar suara dentuman yang sangat keras. Suara misterius itu terdengar begitu baru, tak dikenal, itu sebabnya Jessica sempat termenung agak lama di atas kasurnya, menerka-nerka suara apa yang muncul barusan. Saat itu ia sedang menginap di rumah adik perempuannya di Bogota, Kolombia.
Paginya ia menemui beberapa orang untuk mencari tahu suara tersebut. Sempat ia mengira tetangga sebelah sedang melakukan pekerjaan renovasi tapi hal itu dibantah oleh suami adiknya. Maka ia pun diperkenalkan kepada seorang sound engineer bernama Hernán dan datang ke studionya untuk merekonstruksi suara yang mengganggu itu.
Jessica: “It’s like… a big ball… of concrete, that falls into a metal well… which is… surrounded by seawater.” Hernán: “How big is the concrete ball?” Jessica: “Um… bang! And then it shrinks. I mean, it probably sounds differently in my head.” Hernán: “Okay, listen this.” Jessica: “It has a different echo. More metallic. It’s more… tierra. It’s more earthy. It’s like… a rumble from the… core of the Earth.”
Setelah lama berjibaku mendeskripsikan suara dengan kata-kata, akhirnya Hernán berhasil memproduksi suara dentuman yang sama persis, atau setidaknya sangat mendekati, dengan apa yang didengar oleh Jessica. Hernán bahkan punya ide untuk menjadikan suara tersebut sebagai sample untuk lagu baru dari band punknya.
Lalu, apakah Jessica senang? Suara itu tetap tidak diketahui sumbernya dan masih tetap mendatangi Jessica di momen-momen tertentu. Hanya Jessica seorang yang bisa mendengar suara itu. Keadaan menjadi semakin aneh ketika suatu hari Jessica mendatangi studio tempat Hernán bekerja dan mendapat informasi bahwa tidak pernah ada orang bernama Hernán di sana.
Lebih aneh lagi adalah ketika suatu hari Jessica jalan-jalan sendirian ke pedesaan, di tepi sebuah sungai kecil ia bertemu dengan seorang nelayan tua bernama Hernán. Bisa jadi itu adalah wujud lain dari Hernán yang sempat ia temui, bisa jadi juga bukan sama sekali, entahlah. Yang jelas Hernán ini lalu menjelaskan bahwa dirinya terkoneksi dengan Jessica lewat mimpi, memori, pengalaman (“I’m like a hard disk. And somehow you are an antenna”) sehingga keduanya bisa saling bertemu.
Ketika Jessica berada di dalam rumah Hernán, sekonyong-konyong ia bisa mengingat pengalaman masa kecilnya berada di sana sebagai Hernán. Misterius, tak terjelaskan. Ia mendengar lagi suara dentuman itu di sana, tapi kali ini ia bisa menerimanya sebagai bagian dari dirinya.
Akhirnya, diperlihatkanlah bahwa suara dentuman itu berasal dari mesin pesawat alien yang sedang berlabuh di tengah hutan rimba di Bogota. Pesawat itu terbang dan melesat pergi meninggalkan tempatnya diiringi suara yang Jessica dengar. Entah apa maksud kedatangannya, entah apa yang dihadirkannya. Semuanya berakhir dengan tanda tanya besar dan saya dibuat bingung oleh apa yang baru saja saya tonton ini.
Tumblr media
Apakah Ada yang Bisa Diceritakan?
Ada satu adegan di awal-awal film yang terus saya ingat setelah menonton. Terlihat sebuah tempat parkir di daerah pemukiman warga yang penuh oleh mobil di kala dini hari. Tidak ada orang sama sekali, sepertinya semua masih tertidur pulas. Lalu tanpa sebab yang terlihat, alarm salah satu mobil yang terparkir berbunyi nyaring. Tak lama kemudian alarm di mobil-mobil yang lain pun ikut berbunyi, satu per satu sampai semua mobil yang ada membunyikan alarm masing-masing. Entah apa yang menyebabkan itu semua. Bukan gempa, bukan suara petir, tapi mungkin ada gelombang misterius nan tak kasat yang memantik reaksi elektronik dari mobil-mobil tersebut. Selang beberapa saat satu per satu alarm dari mobil-mobil itu pun padam. Nyaris bergiliran, persis seperti ketika mereka saling bergiliran berbunyi. Sampai akhirnya tidak ada satu mobil lagi yang membunyikan alarmnya dan suasana malam kembali sunyi seperti sediakala.
Saya menunggu-nunggu di sepanjang film kaitan dari adegan tersebut dalam plot yang dinarasikan, tapi sampai akhir saya tidak menemukannya, tidak bisa menyambungkan benang merah kepada adegan tersebut, entah karena ada detail yang saya lewatkan atau entah karena memang adegan itu tidak berkesinambungan dengan adegan-adegan yang lain.
Maka di titik itulah saya kemudian menyadari perspektif baru dalam menikmati (atau memaknai) film, yaitu dengan tidak memperlakukannya sebagai satu kesatuan cerita, sebagai satu jalinan benang merah, tetapi sebagai scene-scene yang terpisah dari gambar besar, yang berdiri sendiri sebagai sinema itu sendiri. Sebab saya gagal memaknai Memoria sebagai satu jalinan cerita. Usaha saya melakukannya malah membuat saya mengantuk (di samping tidak adanya asupan kafein di tengah malam), usaha tersebut ujung-ujungnya juga malah membuat saya tidak bisa menikmati apa yang saya tonton. Tapi ketika saya coba mengunjunginya lagi dengan cara yang baru, film ini jadi punya nilai tambah keunikan.
Contoh lain adalah dalam adegan ketika Jessica menemani adiknya Karen yang tengah terbaring tidur di ruang opname ruang sakit. Ketika Karen bangun, keduanya terlibat percakapan ramah dan santai tentang beberapa hal. Karen kemudian mengungkit tentang mimpinya yang kemudian berkaitan dengan semacam perasaan bersalahnya ketika memperlakukan seekor anjing liar.
Karen: “I was just having a dream about a dog. This dog got run over in front of my house and was just left there to die. So, I picked him up and I took him to the vets. And at the vets, they said he was really sick. He needed either a blood transfusion or to be put down. So, I asked them to keep him there while I went home, to speak to Juan about it. But that night I started feeling all these symptoms. And I forgot about the dog. And now I was just dreaming about him. Do you think the dog has put a curse on me?” Jessica: “Do you want me to go and check on him?” Karen: “Hm. You know when I saw the dog out there, I really thought, ‘God, people can be so cruel.’ And then I went and did the same to the dog.”
Itu kisah yang menarik. Tanpa harus memvisualisasikan narasi mimpi Karen dengan memunculkan anjing-anjing, kisah dalam dialog tersebut tetap saja menarik. Selanjutnya anjing itu atau mimpi buruk itu tidak pernah dibahas lagi baik oleh Karen ataupun Jessica. Jessica sempat bertemu seekor anjing liar saat dirinya tengah duduk sendirian di sebuah taman kota, tapi kemudian tidak terjadi interaksi yang berarti di antara keduanya. Artinya, isu tentang anjing itu sudah selesai dan diselesaikan di scene tersebut. Ketika Karen muncul lagi di beberapa scene setelahnya ia bahkan sudah sehat walafiat dan tidak khawatir lagi tentang mimpi anjingnya, atau tentang anjing mana pun.
Oleh karena itulah memaknai scene tersebut sebagai satu elemen yang terpisah dengan keseluruhan film, tanpa mencoba menyambung-nyambungkannya dengan satu benang merah (yang tak tampak), justru membuat segalanya jadi terasa lebih masuk akal. Saya menangkap ketidakpastian, kecemasan, dan ketakutan yang dialami Karen dari dialognya sebagai perpanjangan dari perasaannya sebagai seorang pesakitan yang mesti terbaring di ranjang rumah sakit.
Adegan yang paling “menyiksa” adalah adegan pertemuan Jessica dengan Hernán tua menjelang akhir film. “Menyiksa” karena sulit sekali menghubungkan adegan ini dengan keseluruhan cerita yang ditampilkan dari awal film. “Menyiksa” karena segalanya berlangsung dalam tempo yang lambat dan setelah semuanya selesai hanya satu pertanyaan yang langsung muncul di benak: apa maksudnya itu semua?
Namun, ketika saya coba memisahkan adegan itu dari film, menikmatinya sebagai scene yang berdiri sendiri, adegan tersebut justru punya efek yang magis sebagai sebuah sajian sinema yang surreal, unik, dan absurd. Keabsurdannya justru jadi lebih mudah diterima ketimbang keabsurdan yang terasa saat mengaitkan adegan tersebut sebagai bagian dari satu film panjang. Aneh memang.
Diceritakan Jessica yang sedang berjalan-jalan seorang diri melewati suatu pemukiman di pedalaman hutan Bogota, tanpa sengaja bertemu dengan Hernán yang sedang membersihkan sisik ikan-ikan hasil pancingannya di tepi sungai. Mereka baru ketemu tapi percakapan yang terjalin di antara keduanya tidak seperti percakapan normal dua orang yang baru kenal. Percakapan mereka juga tidak terdengar seperti dua orang yang sudah akrab. “I’ve never left this town,” kata Hernán, “I remember everything. So, I try to limit what I see.”  Seperti itulah, misterius dan mendistraksi.
Siapakah Hernán ini? Apakah sama dengan Hernán yang ditemui Jessica untuk membantunya merumuskan suara dentuman yang ia dengar? Tidak ada jawaban yang pasti dan sepertinya itu juga tidak terlalu penting. Yang pasti Hernán menampilkan dirinya sebagai seorang perantara dari setiap kejadian-kejadian, setiap memori-memori yang dialami oleh orang-orang, termasuk Jessica sendiri (atau mungkin, justru Jessica juga merupakan perantara dari memori yang dialami orang lain karena Jessica kemudian bisa mengingat masa kecil yang dialami oleh Hernán).
Hernán: “I hear a man. He was on his lunch break. Two of his friends punched him and stole his pendant. One of them said, ‘Hey… psst! Let’s take his food, too. It looks delicious.’ They took his bag and ran away. He was beaten up again for following them. Did you know him?” Jessica: “No.” Hernán: “It happened a long time ago, but the vibrations were embedded here, in this stone. This stone was part of the rock he was sitting on. The rocks, the trees, the concrete… they absorb everything. I, too, can feel the vibrations stored in my body. I remember everything I’ve eaten. The weather we’ve had every day. The movement of my hand here, on this fish.”
Apakah Hernán alien? Mungkin. Apakah Jessica juga alien? Mungkin juga. Terlepas dari itu semua saya menangkap bahwa kunci konektivitas antarmanusia (atau mungkin antarspesies) adalah memori. Memorilah yang bisa menyatukan manusia dari berbagai latar belakang, berbagai negara, berbagai bahasa, dan itu menciptakan ikatan relasi yang terkuat. Ketika suatu peristiwa hanya dialami seorang diri maka tak ada memori yang bisa dibagi, sehingga menjadikan seseorang teralineasi dari lingkungannya, persis seperti yang dialami Jessica yang hanya bisa mendengar dentuman misterius itu seorang diri. Dentuman itu menjadi “kutukan” Jessica yang memisahkannya dari konektivitas bersama orang-orang di sekitarnya karena ia tidak bisa membagikan pengalamannya bersama-sama.
Scene-scene yang “tercerai-berai” dalam film ini pada akhirnya juga menjadi memori bagi saya yang kemudian menjadi “kutukan” ketika saya tidak bisa membagikannya dengan orang lain. Tentu saja sangat sulit rasanya merekomendasikan film seperti ini kepada orang lain karena kerumitan dan segala keanehan yang terkandung di dalamnya. Namun, kalau saya bisa meyakinkan orang-orang bahwa film ini seharusnya dinikmati sebagai potongan-potongan scene, barangkali hambatan tersebut akan teratasi.
Kesimpulan
Ya, pengalaman pertama saya menonton film karya Apichatpong Weerasethakul memang “berkesan” karena telah memberikan perspektif baru tentang cara menikmati film ─ perspektif yang sepertinya hanya berlaku untuk film-film semacam ini. Jika saya tidak mengingat atau menangkap isi ceritanya tapi bisa mengingat satu-dua scene secara lepas dari keseluruhan film, mungkin itu merupakan parameter keberhasilan yang dicanangkan oleh sang sutradara sebagai bagian dari manifestasi konsep memori yang ia cetuskan. Siapa tahu?
Tumblr media
oleh: Ikra Amesta
1 note · View note
sinemeter · 2 years ago
Text
pig
Tumblr media
“I remember every meal I ever cooked. I remember every person I ever served.”
Ketika babi peliharaannya diculik, Rob keluar dari hutan tempatnya tinggal menuju ke kota untuk memburu si pelaku. Ia kembali lagi menemui orang-orang yang dulu pernah menaruh hormat teramat besar kepadanya sebagai seorang chef terbaik di Portland.
Rob (Nicolas Cage) tinggal di sebuah gubuk di dalam hutan Oregon selama kurang-lebih 15 tahun. Ia ditemani seekor babi yang kerap membantunya mencari jamur truffle untuk dijual kepada supplier restoran-restoran kelas atas di kota. Setiap hari Kamis, Amir (Alex Wolff) datang ke gubuk Rob untuk mengambil jamur-jamur truffle yang sudah dikumpulkan, jamur-jamur kualitas terbaik yang akan diolah menjadi hidangan spesial, lalu membayar upah Rob atas hasil pekerjaannya itu. Keduanya terpaut umur yang lumayan jauh, Rob sekitar 50 tahunan sementara Amir berada di pertengahan 20 tahunan. Penampilan mereka pun terpaut beda yang sangat mencolok. Rob dengan rambut gondrongnya yang kusut, pakaian belel, dan persona seorang gembel yang tidak mandi selama beberapa hari, sedangkan Amir selalu tampil dengan gayanya yang klimis, setelan jas yang rapi, dan mobil Camaro kuning yang mengkilap. Keduanya dipertemukan oleh industri kuliner dalam mekanisme supply & demand bahan pangan berkualitas tinggi.
Interaksi mereka sebenarnya berlangsung dingin. Rob bukan tipe orang yang suka menanggapi basa-basi Amir setiap kali mereka bertemu pada Kamis pagi. Ia terlampau cuek dan lebih memilih asyik mengerjakan sesuatu yang lain ketika Amir menyapanya atau mencoba membuka topik obrolan dengannya. Amir sendiri sebenarnya tidak terlalu peduli tapi bagaimanapun juga ia tidak bisa mengabaikan Rob begitu saja yang terbukti selalu bisa memberinya jamur truffle terbaik dari hutan. Amir pun tahu betapa berharganya babi peliharaan Rob bagi kelangsungan “karier” dan hidup Rob di hutan terpencil yang dihuni sekumpulan coyote itu.
Maka ketika babi itu diculik oleh beberapa orang tak dikenal yang mendobrak gubuk Rob di tengah malam, dunia Rob pun jungkir balik. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama ia keluar dari hutan dan masuk ke kota. Untuk pertama kalinya juga ia menelepon Amir dan bicara kepadanya meminta bantuan tumpangan yang akan mengantarnya ke beberapa tempat (“You want your supply, I want my pig”). Amir tentu mengira Rob hanya bicara asal bunyi saat menjelaskan niatnya untuk mencari si penculik babi di kota mengingat statusnya sebagai “orang hutan” yang tak jelas asal-usulnya. Sebab bagaimanapun juga, kota adalah tempat yang lebih kompleks daripada hutan, ada lebih banyak orang dan lebih banyak tempat yang ada di sana, maka urusan datang ke kota untuk “balas dendam” ini idealnya memang membutuhkan kalkulasi yang matang serta perencanaan yang efisien, tidak bisa asal datang.
Namun, satu hal yang di luar dugaan Amir adalah bahwa Rob punya daftar di dalam kepalanya berisi orang-orang yang harus ia datangi untuk meminta babinya kembali. Rob sudah tahu tempat-tempat mana saja yang harus dituju, siapa-siapa saja yang harus ditemui, seolah-olah ia memang sudah meyakini dengan pasti oknum yang bertanggung jawab atas penculikan babinya itu. Semua tempat dan orang yang didatanginya di Portland itu terkoneksi dalam jaringan restoran dan bisnis kuliner yang merupakan para pemain lama di industri ini, nama-nama besar dan berpengaruh. Dan Amir pun hanya bisa terbelalak setelah mengetahui bahwa Rob si “orang hutan” itu adalah Robin Feld, seorang chef terhormat nan legendaris yang memang telah lama menghilang dari peredaran (“Half the restaurants in Portland owe you a debt”).
I. Deconstructed Chef
Di atas kertas, kisah Rob mencari babinya ini bisa menjadi kisah balas dendam yang dramatis, bahkan menjurus brutal. Rob yang terbiasa hidup di dalam hutan dengan segala keterbatasan dan kemampuan bertahan hidupnya sangat mungkin menggunakan kebuasan untuk mengobrak-abrik kota yang telah lama ia tinggalkan. Di atas kertas, Rob juga sebenarnya tervisualisasi sebagai sosok yang agak konyol. Ia sama sekali tidak membersihkan luka dan ceceran darah di area sekitar kening dan kerah bajunya yang didapat ketika dirinya dilumpuhkan oleh pencuri babi. Semuanya itu dibiarkan tetap pada tempatnya selama hari-hari petualangannya di kota. Barangkali visualisasi tersebut memang disengaja untuk menguatkan citra Rob sebagai seseorang yang terluka, tersakiti ─ atau lebih tepatnya lagi sebagai representasi fisik, simbol, akan kondisi batinnya yang selama ini masih belum bersih/dibersihkan dari lukanya. Ya, petualangan mencari babinya itu dalam kacamata yang lain memang terlihat sebagai proses penebusan Rob untuk berdamai dengan hal-hal yang belum selesai di dalam dirinya.
Alasan Rob menyepi di dalam hutan selama bertahun-tahun memang tidak pernah diutarakan secara jelas, tapi kita bisa menduga bahwa faktor utamanya berhubungan dengan kematian istrinya. Indikasinya terlihat ketika Rob coba menyetel kaset rekaman suara istrinya tapi kemudian segera ia matikan lagi setelah beberapa detik. Belum kuat ia menerima kehilangan istrinya, belum siap ia membangkitkan lagi memori kehadiran sang istri lewat rekaman suaranya. Ada luka yang masih menganga yang terus ia biarkan selama bertahun-tahun, luka yang sulit ia deskripsikan secara fasih dan sulit ia terima secara penuh. Dengan berlandaskan pada asumsi tersebut maka film ini memang kurang tepat dilihat sebagai film balas dendam tapi lebih dekat sebagai film duka, yang mana setiap momen yang dijalani Rob berlaku sebagai penyingkapan pelan-pelan atas alasan dirinya menghilang ke hutan.
Penyingkapan pertama adalah tentang kenapa Rob nekat “melepas” kariernya sebagai chef hebat demi hidup menyendiri di hutan. Status Rob sebagai seorang chef sebenarnya sudah membawanya ke posisi yang terhormat dalam bisnis kuliner, setidaknya untuk Portland (“I remember a time when your name meant something to people”). Namanya punya pengaruh yang sangat kuat, bahkan setelah dirinya menghilang sekian lama pun orang-orang masih tetap bergidik saat mendengarnya. Hal itu pula yang memudahkan ia dan Amir mereservasi tempat di sebuah restoran kelas atas Portland dalam misi mendapatkan kembali babinya. Tinggal sebut nama “Robin Feld” maka segala urusan administrasi bisa dimudahkan.
Ketika Rob datang ke sebuah restoran haute-cuisine yang dijalankan oleh mantan muridnya dulu, secara tidak langsung ia menyingkap alasannya melepas pekerjaannya sebagai chef. Si mantan murid diketahui sedang mempersiapkan menu baru berbahan dasar truffle, menu besar nan ambisius yang ditargetkan akan mengangkat reputasi restoran dalam industri kuliner lokal. Namun Rob ingat bahwa dulu mantan muridnya itu bercita-cita untuk membuka sebuah pub, bukan restoran mewah, dan ia menangkap bahwa ada mimpi lama yang dikorbankan demi memenuhi tuntutan hidup yang lebih prestise dan praktis. Kepada mantan muridnya itu, Rob mengonfrontir:  
Rob: “They’re not real. You get that, right? None of it is real. The critics aren’t real, the customers aren’t real, because this isn’t real. You aren’t real. Derek, why do you care about this people? They don’t care about you. None of them. They don’t even know you because you haven’t shown them. Every day you wake up and there’ll be less of you. You live your life for them and they don’t even see you. You don’t even see yourself. We don’t get a lot of things to really care about.”
Dari dialog yang diucapkan Rob tersebut, ada nada keras yang menyimpulkan bahwa segala hal yang berkaitan dengan bisnis kuliner, bisnis restoran, termasuk segala penilaian dan pencapaian yang terwujud di dalamnya, tak lain hanyalah hal-hal semu semata. Secara tidak langsung, dialog tersebut merefleksikan keputusan yang dulu ia ambil saat ia menanggalkan kariernya sebagai chef. Pekerjaan yang dilakukan dengan segenap tenaga dan pikiran hanya untuk melayani orang-orang itu, yang bahkan tidak akan mengucap terima kasih, menjadi pertimbangan besar akan nilai eksistensi Rob.
Kematian istrinya telah membangun ruang kehampaan yang besar untuk merespons ketiadaan orang yang benar-benar peduli terhadap Rob, terhadap kariernya, terhadap pencapaiannya sebagai seorang juru masak, dan terhadap hidupnya. Bagaimanapun juga, Rob tentunya menyadari bahwa menjadi chef berarti mendedikasikan dirinya untuk selalu mempersembahkan hidangan terbaik kepada orang-orang asing yang datang ke restoran. Namun, kematian orang yang sangat disayanginya itu membuat profesinya jadi terasa kosong, seolah tidak ada lagi alasan baginya untuk terus mendedikasikan diri kepada orang lain setelah tidak ada lagi sosok yang dengan tulus peduli dan memperhatikannya dari dekat. Maka profesinya itu menjadi tak berarti, dan ia pun meninggalkannya demi mencari arti yang lain di kedalaman hutan yang dianggapnya tak terjangkau kenangan akan kehidupan yang lama.   
Tumblr media
II. Deconstructed Feeling
Ketika Amir mengetahui bahwa identitas asli Rob adalah Robin Feld, kenangan lamanya sebagai seorang anak kecil langsung terbangkitkan. Ia mengingat lagi bagaimana dulu Rob secara tidak langsung sempat menyulap hubungan kedua orangtuanya menjadi harmonis untuk beberapa waktu.
Amir: “You know, when I was a kid, my parents used to do this date night thing. I mean, not a lot, my dad was really busy. They’d usually come back fighting and screaming at each other. And my mom would get all mopey. But, this one night, I remember going to this restaurant and they came back, and they were so happy. Like, they were smiling and talking about the food and the wine and really, really, really drunk. They talked about that meal for years. Even after the chef, this huge chef, just disappeared.”
Sekarang kondisi keluarga Amir sebenarnya tidak begitu membaik. Ayahnya adalah seorang raja bisnis kuliner di Portland, bisa dibilang sebagai penguasa sebagian besar jaringan restoran yang ada di kota tersebut. Sedangkan ibunya terbaring di ranjang pesakitan, mengalami kelumpuhan atau mungkin koma yang tidak memungkinkannya untuk berinteraksi dan “berfungsi” seperti manusia normal. Amir sendiri sedang mencoba merintis jalur kariernya sendiri di industri kuliner, melepaskan dirinya dari pengaruh sang ayah yang tentunya terlalu sering mengabaikan dirinya demi mengurusi bisnis.
Untuk urusan bisnis pula, pencurian babi Rob didalangi oleh ayahnya Amir. Rob mendatangi kediaman ayah Amir, meminta babinya dikembalikan, tapi kemudian tidak berhasil karena ayah Amir terlalu berkuasa untuk bisa diancam atau dituntut. Rob malah ditawari sejumlah uang untuk tutup mulut dan membeli babi peliharaan yang baru. Proses negosiasi berujung buntu dan Rob terpaksa harus pergi dengan tangan kosong.
Bagi Amir sendiri “kedatangan kedua” Rob dalam hidupnya terlihat sebagai peluang bagus untuk kembali menghangatkan hubungan emosional dengan sang ayah. Memang terkesan aneh ketika dalam babak ketiga cerita, Rob kembali ke rumah ayah Amir lalu bersama Amir membuat kembali masakan yang dulu pernah membuat kedua orang tua Amir “mabuk kepayang”. Masakan berbahan dasar daging burung itu rencananya akan dihidangkan sebagai menu makan malam spesial kepada ayah Amir, lengkap dengan sebotol wine kualitas tinggi yang selama bertahun-tahun disimpan Rob di kompleks krematorium istrinya. Tujuannya, tentu untuk meluluhkan kekerasan hati ayah Amir lewat efek Proustian dari rasa makanan masa lalu. Di titik ini saya semakin menyadari bahwa film ini memang bukan film balas dendam, tapi murni sebuah film tentang duka, memori, dan kehilangan.
Benar saja, baru beberapa kunyahan daging burung itu di mulut, ayah Amir langsung tak kuasa membendung air matanya yang otomatis merangsek keluar. Ingatannya otomatis terlempar ke satu momen indah yang ia lalui bersama istrinya di sebuah restoran, walaupun itu semua memang tidak diutarakan secara gamblang dalam film tapi dari caranya sesenggukan menahan tangis, berteriak ke arah Rob dengan ekspresi kalah, dan bersamaan dengan itu menanggalkan aura kekuasaannya di depan sang anak, ia tak bisa mengelak dihunjam oleh rasa penyesalan. Hidangan Rob telah mempereteli habis-habisan perasaan yang selama ini tertahan di lubuk hati ayah Amir yang selama ini terkesan membeku. Rasa makanan memang sangat memungkinkan untuk menciptakan momen yang seperti itu, bukan?
Satu hal unik yang saya tangkap dari momen “penaklukkan” ayah Amir itu adalah tentang bagaimana satu kenangan indah justru secara ironis mampu memantik derasnya air mata kesedihan. Jika demikian yang terjadi, maka itu artinya orang tersebut sedang berada dalam fase tidak bahagia saat ini ─ yang barangkali sepanjang waktu terus disangkal habis-habisan dengan menenggelamkan diri dalam banyak kesibukan. Oleh sebab itulah, memori kebahagiaan masa lalu memancing tangisan berat, tangisan atas pilihan-pilihan hidup yang telah diambil, yang setahap demi setahap semakin menjauhkan dari kebahagiaan yang seharusnya terus dirawat.  
III. Deconstructed Loss
Kenapa Rob bisa sebegitunya melakukan upaya-upaya untuk mendapatkan kembali babinya? Apakah babinya itu memang sebegitu hebatnya dalam mendetekasi jamur truffle kualitas terbaik di hutan? Awalnya alasan itulah yang saya percaya sebagai motivasi Rob, sampai akhirnya Rob menjelaskan fakta lain:
Rob: “I don’t need my pig to find truffles.” Amir: “What?” Rob: “The trees. The trees tell you where to look.” Amir: “Then why the fuck did we do all this?” Rob: “I love her.”
Cinta? Kepada seekor babi? Benarkah?
Dialog di atas membuka tabir baru yang menjelaskan bahwa ini semua bukanlah tentang babi. Babi itu bahkan tidak bisa dimaknai hanya sebagai babi peliharaan. Dalam kacamata simbolis, babi itu bagi saya adalah manifestasi dari istrinya.  
Maka, perjuangan Rob keluar dari hutan untuk merebut babinya kembali sejatinya menjadi “perjalanan spiritual” Rob untuk menerima kepergian istrinya dengan ikhlas. Hutan yang melindunginya selama ini bisa jadi merupakan alegori terhadap fase penyangkalan yang sedang ia jalani terkait kematian istrinya. Hutanlah yang menjaganya selama ini, menjauhkan dirinya dari kesedihan dan Portland yang pastinya bakal banyak memancing memori kesedihan lebih dalam lagi, Babi kemudian menjadi temannya, sekaligus pengganti posisi istrinya sebagai sosok tempat Rob bisa mencurahkan rasa sayangnya yang masih tersisa. Babi itu adalah tempat penyaluran perasaan cintanya yang masih terpendam karena ia menolak menerima kematian istrinya.
Indikasinya terlihat dari ketika di awal Rob mencoba menyetel kaset rekaman suara istrinya lalu tak lama kemudian ia buru-buru mematikan tape. Dari situ terlihat bagaimana Rob masih belum sanggup memunculkan lagi memori indah yang telah terlewat, belum siap menerima kenyataan bahwa istrinya sudah tiada.
Indikasi berikutnya terlihat ketika ayah Amir mengakui bahwa babi peliharaan Rob mati beberapa saat setelah diculik. Mendengar itu Rob langsung menangis sejadi-jadinya sambil berlutut lemas, menguras segala perasaan sentimentalnya menjadi air mata dan histeria. Menangis sekuat itu untuk kematian seekor babi tentu terlihat aneh, kelewat dramatis, sangat berlebihan. Semuanya menjadi masuk akal ketika babi tersebut ditempatkan sebagai sosok atau entitas yang mewakili keterikatan perasaan Rob terhadap mendiang istrinya.   
Mari cermati kalimat yang diucapkan Rob setelah ia sudah lebih tenang menerima kematian babinya dan siap diantar Amir kembali menuju ke gubuknya di dalam hutan: “I was thinking if I never came looking for her, in my head, she’d still be alive.” Agaknya konsep tersebutlah yang berlaku selama ini bagi Rob dalam merespons kematian istrinya. Dalam realita, atau sebutlah Portland, istrinya sudah meninggal dunia, tapi dalam realitas Rob, atau kepala Rob, atau sebutlah hutannya Rob, istrinya masih hidup dan diproyeksikan kepada si babi peliharaannya itu. Ada ruang pembatas antara realita dan imajinasi (memori) yang pada akhirnya bisa diruntuhkan oleh Rob setelah ia bisa menerima dukanya sebagai hal yang tak perlu disesali.
Semuanya itu berakhir ketika Rob menyetel kaset rekaman istrinya dan mendengarkannya sampai habis. Ia telah menerima segalanya dengan hati lapang. Dalam upaya mencari babinya ia ternyata menemukan dirinya yang baru, yang lebih kuat, yang lebih berani lagi dalam menghadapi kehilangan di hidupnya. Yah, sungguh sebuah peran besar yang bisa diberikan oleh seekor babi terhadap kondisi psikologis manusia.
Tumblr media
oleh: Ikra Amesta
0 notes
sinemeter · 2 years ago
Text
bergman island
Tumblr media
“I don’t like it when artists I love don’t behave well in real life.”
Pasangan sineas itu datang ke Kepulauan Fårö untuk mencari inspirasi. Mereka menginap di bekas rumah Ingmar Bergman─sutradara favorit keduanya yang tanpa disadari menghantui alam bawah sadar salah satu dari mereka selama di sana.
Pasangan sineas itu adalah Tony (Tim Roth) dan Chris (Vicky Krieps), keduanya adalah sutradara sekaligus penulis naskah, mirip seperti Bergman. Mereka mengunjungi Kepulauan Fårö dalam rangka residensi untuk proyek film masing-masing, sekaligus menghadiri acara screening, dan tentu saja menapak tilas jejak-jejak kehidupan Bergman yang tersebar di setiap bagian pulau. Di tempat inilah Bergman menggarap sebagian besar filmnya, juga tinggal dan mati. Konon ketika Bergman pertama kali menginjakkan kakinya di sini, ia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap segala dimensi yang meliputi pulau di kawasan lautan Baltik tersebut (“It was as if he had found his own landscape, one that already existed inside of him”). Tidak heran kalau Fårö sekarang identik dengan Bergman, ada toko, tur, dan museum Bergman yang bisa dijadikan “surga” oleh para cinephile.  
Seperti banyak seniman, penulis, atau desainer sebelumnya, Tony dan Chris menyewa bekas rumah Bergman untuk ditinggali selama beberapa hari dan menulis naskah film di dalamnya. Tony menulis di bekas ruang kerja Bergman sementara Chris menulis di dalam bangunan kincir angin yang letaknya tak jauh dari rumah utama. Di sela-sela itu mereka juga menyempatkan diri mengunjungi museum Bergman dan mengikuti tur untuk melihat spot-spot yang pernah digunakan di dalam film-film sutradara kebangaan Swedia tersebut.
Mereka menikmati segala fasilitas yang tersedia sebagai pasangan turis. Di rumah Bergman mereka bisa mengakses barang-barang pribadi (seperti piano milik istri keempat Bergman), ruang tempat syuting (seperti kamar dalam film Scenes from A Marriage), dan bioskop pribadi Bergman yang kemudian mereka pakai untuk menonton ulang Cries and Whispers. Ditambah lagi mereka juga bisa mengendarai sepeda ke perpustakaan pribadi Bergman atau berkumpul dengan warga lokal sesama penyuka film untuk berdiskusi tentang Bergman.
Fårö memang tempat yang tepat untuk mendekatkan diri kepada Bergman. Namun bagi Chris, Fårö adalah tempat yang berangsur-angsur membangkitkan kekhawatirannya akan relasi yang sedang ia jalani dengan Tony; kekhawatiran yang justru timbul dari perasaannya terhadap Bergman yang kemudian ia ejawantahkan dalam draf naskah filmnya yang masih setengah jadi. Kekhawatiran yang timbul dari dorongan untuk memilih salah satu komitmen antara film dan cinta yang seperti dalam hidup Bergman, tidak bisa dipersatukan atau berjalan beriringan.
Selubung Rasa di Balik Kisah Fiksi
Ini bukan film yang mudah dipahami dalam sekali jalan. Sebenarnya bukan termasuk film kompleks juga yang penuh teka-teki atau alur acak-acakan yang bikin dahi berkerut. Bukan science-fiction, bukan fantasi, tapi murni drama, tanpa efek-efek spesial yang sophisticated, semuanya ditampilkan dalam kebersahajaan visual lanskap Fårö yang eksotis nan memikat.
Kalaupun ada yang berhubungan dengan science-fiction atau fantasi, adalah tentang peleburan realitas dan fiksi yang dialami tokoh Chris dengan protagonis yang ia ciptakan untuk proyek film yang sedang ia garap naskahnya, Amy (Mia Wasikowska). Itu pun tidak ditampilkan dengan terlalu bias atau dramatis. Amy muncul di layar ketika Chris tengah menceritakan outline naskahnya kepada Tony yang membuat penonton sangat sadar memilah mana yang “realitas” dan mana yang “fiksi”. Tapi penonton tidak bisa langsung sadar bahwa kisah Amy yang diceritakan itu berhubungan secara emosi dengan kegundahan di dalam diri Chris, setidaknya sebagai katarsis bagi perasaan terdalamnya.
Draf pertama naskah Chris itu berjudul The White Dress. Chris menjelaskan kepada Tony bahwa kisah yang ditulisnya itu lebih menyerupai sebuah episode dari satu rangkaian kisah yang lebih panjang. Chris sendiri masih bingung menentukan ending dari kisah tersebut dan itu yang membuatnya sangat terganggu. Tapi, sekarang mari kita telusuri dulu seperti apa jalan ceritanya.
The White Dress berkisah tentang Amy dan Joseph (Anders Danielsen Lie), sepasang mantan kekasih yang dipertemukan kembali di Kepulauan Fårö selama tiga hari untuk menghadiri acara pernikahan seorang teman. Hubungan mereka sudah lama putus, tapi sisa benih-benih cinta di antara keduanya ternyata belum sepenuhnya hilang walaupun sekarang mereka sudah punya pasangan masing-masing. Awalnya pertemuan tersebut disikapi dengan biasa, nyaris tanpa beban, tanpa masa lalu, bahkan di depan orang-orang mereka bisa memperlihatkan diri seperti dua orang yang baru kenalan di Fårö. Di atas dek kapal feri sempat ada momen Amy dan Joseph mengobrol hanya berdua, tapi tak ada pembicaraan yang istimewa, hanya obrolan basa-basi tentang karya film Amy. Oh, seperti halnya Chris dan Tony, Amy dan Joseph pun berprofesi sebagai filmmaker.  
Tanpa harus ditunggu-tunggu atau diduga-duga, momen pertemuan yang cukup sering di antara Amu dan Joseph─di acara ramah tanah, upacara akad, resepsi, pesta pasca-resepsi─memberi mereka ruang dan kesempatan untuk mengikat koneksi lagi. Cumbuan kilat di tepi keramaian pesta, main-main ke pantai di siang bolong, menikmati sauna menjelang subuh, lalu berujung kepada aktivitas seks di dalam kamar penginapan. Seks itu berlangsung intim, tentu saja, dan akrab karena seolah mengembalikan sosok mereka lagi ke usia remaja, usia ketika keduanya saling bercinta dalam perasaan yang penuh. Senyum merekah tersungging di wajah masing-masing, tubuh telanjang mereka saling berpaut dalam kehangatan kasur yang seolah mengasingkan keduanya dari realita; dengan nyamannya, dengan nikmatnya.
Namun, seks itu pulalah yang membuyarkan angan-angan mereka dengan seketika─tentu saja ketika seks itu sudah selesai dilakukan. Seks itulah yang menyadarkan bahwa mereka tidak mungkin bersama lagi karena mereka sudah punya kehidupannya sendiri-sendiri. Seks itulah yang menerbitkan rasa bersalah akibat telah melakukan hal yang seharusnya tidak mereka lakukan.
Joseph: “You’re unfaithful, too.” Amy: “I love two people. That’s different.” Joseph: “I love you, too, but I also love Michelle and I’m building something with her.” Amy: “Why her and not me?” Joseph: “I don’t know, it’s just life. You had a child.” Amy: “I wanted one with you.” Joseph: “You wanted two children with two men at the same time, it was absurd.”
Setelah seks itu, rasa ketidakpastian dan kehilangan jadi terasa begitu menghantui. Amy merasakan dirinya terombang-ambing dalam rasa yang mengganggu antara harus melepaskan Joseph sepenuhnya atau percaya pada kesempatan kedua. Di sebuah bar ia berjoget dengan begitu lepas menikmati lagu ABBA tapi sejurus kemudian ketika ia mendapati Joseph telah hilang dari pandangannya, kegelisahannya pun menguasai dirinya dengan cepat. Sisa harinya di Fårö membuatnya jadi semakin rapuh, terutama lagi ketika ia mendapati bahwa Joseph telah meninggalkan pulau tanpa pamit. Saat itulah, entah untuk yang ke berapa kalinya, Amy menangisi dunianya lagi.
Tepat di situ cerita menggantung. Chris belum bisa menemukan cara untuk mengakhirinya. Ia ragu untuk memutuskan.
Bukan hanya itu, sebenarnya Chris ragu menentukan perasaannya sendiri. Apa yang dirasakan Amy secara tidak langsung adalah bentuk kecamuk pribadi Chris yang mengendap di ruang kesadaran terdalamnya. Ia merasa bahwa sewaktu-waktu kehilangan yang dialami Amy akan menjadi kehilangan miliknya juga.
Tumblr media
Meta Tiga Lapis tentang Kegelisahan Seorang Sutradara
Menarik untuk menelusuri bagaimana awalnya kegelisahan Chris timbul. Ini bukan semata-mata kasus writer’s block yang memang diakui Chris turut menghambat proses kreatifnya dalam menulis (“It’s torture. It’s self-inflicted agony. It’s blood from a stone”). Bukan pula semata-mata akibat homesick merindukan anak perempuannya yang ia tinggal jauh di rumah. Namun, ini adalah tentang pengaruh Bergman, sutradara idolanya sendiri, yang “hantu reputasinya” ternyata mengganggu kondisi mental Chris sebagai seorang perempuan.    
Semua bermula ketika Chris dan Tony tiba di rumah Bergman tempat mereka menginap di Fårö. Seorang pengurus rumah lalu menunjukkan kamar utama yang dulu dipakai untuk syuting film Scenes from a Marriage, serial fenomenal Bergman yang disebutnya sebagai “The film that made millions of people divorce”. Ungkapan tersebut memang ada benarnya dan sudah menjadi bagian dari reputasi Bergman sebagai seniman terkemuka. Didorong oleh fakta tersebut, ditambah dengan dukungan takhayul, Chris pun menolak untuk tidur bersama Tony di kamar utama dan lebih memilih untuk menggunakan kamar lain yang lebih “aman”.
Sore harinya ketika Chris dan Tony bertemu dengan beberapa guide dari Yayasan Bergman di sebuah kafe, kisah lain tentang kehidupan Bergman mengusik kesadaran Chris akan sosok panutannya tersebut. Mereka terlibat pembahasan yang menarik tentang kehidupan pribadi Bergman sebagai seorang suami dan seorang ayah dalam keluarga yang ternyata tidak sebaik perannya sebagai seorang sutradara film.  
Chris: “So, do you think you can’t create a great body of work and raise a family at the same time?” Guide: “A body of work of that scope? At the age of 42, Bergman had directed 25 films, run a theatre, staged many plays. How do you think he would have done that if he was also changing diapers?” Chris: “How do you feel about that?” Tony: “In practical terms? Raising nine kids, directing 50 films, not to mention the plays, seems like a tall order.” Chris: “Yeah, but in non-practical terms, the mothers raised all the nine kids and he didn’t do a thing. How do you feel about that?” Tony: “I should feel bad, right?”
Bergman memang dikenal mengabaikan anak-anaknya sendiri, menyerahkan segala urusan domestik kepada istrinya. Ditambah lagi ia pun menjalani beberapa relasi kawin-cerai sampai kemudian menikahi istrinya yang kelima. Ia terlalu sibuk membuat film; film-film yang dinikmati jutaan manusia, membesarkan namanya, membanggakan Swedia sebagai tanah airnya, dan membuat Bergman abadi dalam reputasinya sebagai sineas legendaris.
Fakta itu mengganggu perasaan Chris perlahan-lahan. Fakta yang menyimpulkan bahwa sebagai seorang sutradara wanita dirinya tentu tidak bisa memiliki “privilege” seperti yang dimiliki Bergman (“I would like to have nine kids from five different men”). Sebagai seorang ibu satu anak saja ia sudah merasakan bagaimana Fårö telah membentangkan jarak yang begitu luas antara dirinya dan anak semata wayangnya di rumah. Ia tidak bisa melepas sepenuhnya peran sebagai seorang ibu dan terus mengejar hasrat-hasrat kreatifnya untuk berkarya. Pada satu titik ia bahkan merasa tidak bisa menerima kehebatan Bergman sebagai kemilau terang yang menutupi celanya dalam kehidupan di luar kamera.   
Maka kekhawatiran Chris itulah yang termanifestasikan dalam jalan cerita kehidupan Amy, sebuah fragmen yang merepresentasikan “pengabaian” Bergman yang menyakiti perempuan di sekitarnya. Lewat Amy, Chris mencurahkan segenap perasaannya yang ia bayangkan sendiri seandainya seorang lelaki seperti Bergman bisa “dengan mudah” menanam perasaan kepada seorang perempuan lalu pergi saat perasaan tersebut sedang tumbuh. Chris membayangkan rasa takutnya berada situasi di mana hatinya “tergantung bebas” oleh perasaan yang tak menentu. Chris, pada satu titik, membayangkan situasi perasaan yang akan terjadi jika ia, atau tokoh rekaannya, menjalin hubungan romansa dengan Bergman.
Uniknya lagi, apa yang dialami Chris juga merupakan manifestasi dari apa yang dialami sendiri oleh sutradara film ini, Mia Hansen-Løve, yang sempat menjalani residensi dan liburan di Kepulauan Fårö bersama pasangannya, Olivier Assayas, yang juga berprofesi sebagai sutradara. Mereka menjalin hubungan selama kurang-lebih 15 tahun sebelum akhirnya berpisah pada tahun 2017 yang lalu. Mia seolah mempertanyakan perannya sebagai seorang perempuan yang berkarier dalam dunia kreatif, mempertanyakan sejauh mana seorang sutradara perempuan dapat konsisten untuk terus berkarya tanpa harus mengorbankan tanggung jawabnya dalam kehidupan domestik. Namun, sama halnya seperti Chris yang bingung menentukan ending ceritanya, Mia pun tidak menyajikan jawaban yang jelas dalam filmnya ini, yang ia sajikan adalah batasan-batasan mental yang menghalangi ruang-ruang eksistensinya sebagai seorang perempuan.  
Namun, di sisi yang lain, yang juga berdampingan nyaris bersamaan, saya cenderung menangkap bahwa di balik kekhawatiran atau ketakutan Chris (dan Amy) akan persona Bergman, film ini juga menyajikan “kecintaan” Mia terhadap Bergman. Sosok itu justru tidak bisa dilepaskan dalam bayang-bayang karena masih ada kekaguman yang sulit dijelaskan terhadap karisma yang tersembunyi. Ekspresi akan hal itu diwakili oleh Chris yang setelah menonton ulang Cries and Whispers di penginapan, berkomentar tentang “keterikatan” terhadap Bergman.
Chris: “Movies can be terribly sad, tough, violent, but in the end they do you good.” Tony: “His don’t?” Chris: “No. They just hurt me.” Tony: “Why do you watch them, then?” Chris: “Because I love them.”
Bergman telah “menyiksanya” tapi Chris tetap tidak bisa melepaskannya karena ia tetap mencintainya. Sama halnya dengan Amy yang tidak bisa melepaskan Joseph walaupun ia telah disakiti hatinya. Mia, bisa jadi merasakan hal yang sama terhadap hubungannya dengan Olivier yang harus kandas setelah terjalin selama beberapa tahun. Rasa sakit itu tak kunjung hilang karena dibarengi oleh besarnya juga rasa cinta yang timbul.
Lebih luas lagi, saya menangkap semuanya sebagai analogi terhadap kehidupan ini sendiri. Ya, kehidupan kerap juga menyakiti kita dengan, masalah, kejahatan, musibah, kecelakaan, atau kesalahan, tapi tetap itu tidak membuat kita berhenti untuk menumbuhkan cinta, harapan, kebaikan, pertolongan, dan kegembiraan, apa pun itu bentuknya. Tidak membuat kita berhenti untuk mencoba bertahan meskipun tahu kalau kita akan dikecewakan lagi nantinya. Sebagai seorang sutradara, memang tidak salah kalau Mia, Chris, dan Amy menganggap Bergman sebesar kehidupan itu sendiri,  
Tumblr media
oleh: Ikra Amesta
0 notes
sinemeter · 2 years ago
Text
petite maman
Tumblr media
“Is it music from the future?”
Ketika bermain di dalam hutan sendirian, Nelly tidak pernah menyangka kalau ia akan dipertemukan dengan seorang anak yang mirip dengannya. Lebih tidak menyangka lagi saat ia tahu bahwa anak itu adalah ibu kandungnya dari masa lalu.
*
Apalah artinya sebuah film kalau bukan untuk memberikan kesan bahwa kisah di dalamnya juga bisa dialami oleh kita para penonton? Tidak harfiah tentu, melainkan secara perasaan, spirit, energi, roh, atau apa pun itu, yang ditransfer secara tak kasat di sepanjang durasi.
Setidaknya, film-film yang menurut saya bagus adalah film-film yang bisa membuat saya merasa seperti demikian. The Dark Knight misalnya, bukan karena saya merasa bisa menjadi Batman suatu hari nanti, tapi karena saya merasa bahwa kebuntuan yang dirasakan Batman sebagai pembela kebenaran ketika berhadapan dengan kondisi di mana anarkisme seolah menjadi solusi terbaik untuk bertahan di dunia yang korup adalah hal yang sangat mungkin terjadi pada realitas saya.  Atau film Wall-E yang begitu pasnya memproyeksikan kekhawatiran saya tentang kondisi peradaban (atau kemanusiaan lebih tepatnya) mendatang ketika teknologi bisa menggantikan dan memudahkan segala hal.
Dalam konteks yang serupa, Petite Maman (2021) hadir sebagai film berikutnya yang memiliki kualitas narasi jempolan yang mampu menembus banyak dimensi personal para penontonnya. Ini adalah film kedua karya sutradara Prancis Céline Sciamma yang saya tonton setelah Portrait of a Lady on Fire (2019). Kebetulan kedua film itu sama-sama menampilkan dua karakter perempuan sebagai tokoh sentralnya, hanya saja kali ini kedua perempuannya adalah bocah berusia 8 tahun yang punya relasi sebagai ibu dan anak. Ya, dua perempuan 8 tahun, satu adalah seorang ibu dan satu lagi adalah anaknya, bertemu dalam satu ruang dan waktu yang sama!
Secara plot, kisah pertemuan seorang anak dengan orang tuanya yang seumuran memang bukan hal baru yang diolah dalam film. Back to the Future (1985) melakukan itu lebih dulu, di mana Marty McFly terlempar ke masa lalu dan bertemu dengan ayah dan ibunya versi SMA. Pertemuan tersebut tidak hanya menampilkan momen yang canggung tetapi juga kocak. Kemudian di balik itu semua, perjumpaan lintas waktu itu akhirnya menjadi semacam jalur pintas bagi Marty untuk lebih memahami sifat kedua orang tuanya di kemudian hari, termasuk memperbaiki relasi yang sebelumnya diwarnai kesalahpahaman. Petite Maman bisa dibilang mengadopsi tujuan yang mirip walaupun tanpa bantuan mobil mesin waktu DeLorean yang melesat ke masa lampau.
Nelly (Joséphine Sanz) adalah seorang anak tunggal yang baru saja kehilangan neneknya yang meninggal dunia. Bersama ayah dan ibunya ia lalu mengunjungi rumah neneknya yang tanpa penghuni itu untuk membereskan barang-barang yang masih tersisa, harus menginap selama beberapa malam di rumah yang terletak di pinggir sebuah hutan yang masih asri. Ibunya, Marion (Nina Meurisse), ternyata tidak kuat menahan duka yang semakin menerjang di rumah masa kecilnya itu, sehingga suatu hari ia memutuskan untuk pergi sementara meninggalkan keluarganya, healing seorang diri entah ke mana demi melepas depresinya. Maka, sekarang di rumah nenek itu hanya ada Nelly dan ayahnya yang masih melanjutkan urusan beres-beres barang dan perabotan.
Bosan berada di rumah, suatu kali Nelly memutuskan pergi ke dalam hutan. Ia ingat cerita ibunya yang waktu kecil dulu sempat membangun sebuah pondok kayu sederhana di dalam hutan. Nelly menemukan pondok kayu tersebut. Tak hanya itu, ia juga menemukan seorang bocah perempuan yang tengah menggeret sebatang kayu lalu melambai ke arahnya meminta bantuan. Bocah itu sedang membangun pondok kayu yang sama. Bocah itu sepantaran usianya dengan Nelly. Ketika mendekat, penonton bisa lebih jelas lagi melihat kalau bocah itu ternyata punya wajah yang serupa dengan Nelly (tentu karena diperankan langsung oleh kembaran pemeran Nelly, Gabrielle Sanz). Mereka pun berkenalan. Dan bocah itu namanya Marion.
Kejutan Tanpa “Kejutan”
Setelah perkenalan itu, seperti yang bisa diduga Nelly dan Marion menjadi sahabat. Mereka menghabiskan hari-hari kebersamaan mereka yang sebentar dengan bermain. Marion membawa Nelly datang ke rumahnya, dan sebaliknya Nelly pun mengajak Marion bermain ke tempatnya. Keduanya bekerja sama membangun dan menghias pondok kayu mereka di tengah hutan, bermain peran dalam drama detektif yang mereka tulis sendiri, merayakan ulang tahun Marion yang sederhana di malam hari, naik perahu menelusuri Pyramide de l’Axe Majeur di tengah Sungai Oise, sampai mendengarkan “musik masa depan” yang datang dari linimasa Nelly.
Jelas sudah bahwa bocah bernama Marion itu adalah ibu kandung Nelly saat masih berusia 8 tahun. Ketika Marion mengajak Nelly singgah ke rumahnya, Nelly pun bisa melihat sendiri bahwa rumah tersebut tak lain adalah rumah neneknya berpuluh tahun lalu. Begitu pula ketika Nelly diperkenalkan ke ibu kandung Marion, ia segera menyadari kalau sosok yang ditemuinya itu adalah neneknya sendiri saat usianya masih lebih muda daripada yang ia ingat.    
Namun, yang mengejutkan dari penyingkapan demi penyingkapan yang berlangsung itu justru tidak tampak ekspresi kejutan dari para karakter di dalam layar. Nelly tidak merasa ada kejanggalan ketika ia bertemu dengan ibu dan neneknya yang masih muda, atau ketika dia masuk ke rumah yang sama dengan yang didiaminya saat itu. Neneknya juga tidak kaget ketika dipertemukan dengan Nelly yang wajahnya jelas mirip dengan anak perempuannya sendiri. Pun demikian ketika Nelly memperkenalkan Marion kecil kepada ayahnya yang kemudian langsung menyambutnya dengan ramah seolah-olah seperti kepada teman Nelly yang lain. Bahkan ketika akhirnya Nelly mengungkapkan kepada Marion kalau dia adalah anak kandungnya di masa depan, Marion dengan mudah menerima fakta tersebut tanpa ada perlawanan.
Aksi-aksi yang ditanggapi tanpa kejutan berarti oleh para karakter tersebut justru membuat saya sebagai penonton terkejut. Ketika saya sibuk sendiri menunggu dan menanti-nanti penjelasan terkait bagaimana perjalanan menembus waktu itu bisa terjadi, atau letak dan bentuk portal mesin waktu yang mungkin berada di hutan, film ini malah terus mengalihkan fokusnya kepada hubungan pertemanan antara Nelly dan Marion. Tak ada penjelasan yang muncul sampai akhir film, dan itu cukup menjelaskan bahwa sutradara Sciamma memang sengaja tidak menekankan drama fantasinya ini sebagai film time travel pada umumnya. Beliau mengajak penonton untuk lebih dalam lagi memaknai film ini sesuai dengan porsi yang telah disiapkan, yaitu sebagai film tentang duka serta konsekuensinya terhadap seorang anak kecil.
Lebih hebatnya lagi, ini adalah film tentang duka yang bahkan tidak mengandung tangisan ataupun ratapan. Tidak ada adegan kematian yang diperlihatkan di sini, yang terekam jelas adalah kekosongan, penyesalan, dan reaksi atas kepergian sosok yang dekat dalam keluarga. Nelly bisa dibilang tampil tanpa menunjukkan ekspresi melankolis atas kematian neneknya, sesuatu yang awalnya saya kira bakal dieksplorasi lewat scene-scene penuh air mata. Namun kemudian saya terkecoh mengira Nelly tidak begitu terdampak atas kematian yang terjadi (tak seperti ibunya yang memilih pergi untuk menenangkan diri). Kesedihannya itu termanifestasikan dalam kata-kata yang keluar lewat kepolosan yang khas anak kecil saat Nelly tidur bersama ibunya, semalam sebelum ibunya itu pergi.
Nelly: “I’m sad too.” Mom: “Tell me…” Nelly: “I didn’t say goodbye to her.” Mom: “You always said goodbye.” Nelly: “The last goodbye was not good. That’s because I couldn’t know.” Mom: “She couldn’t know either.” Nelly: “We don’t know about that.” Mom: “You’re right. We don’t know.”
Curahan hati Nelly tersebut setidaknya membuat saya menangkap suatu kondisi yang jamak bahwa dalam pengertian anak kecil, kematian adalah peristiwa yang sangat membingungkan. Kematian adalah kepergian yang tidak bisa diprediksi, tak bisa direncanakan, tak bisa dipersiapkan. Nelly tidak sempat mengucap pamit yang layak kepada neneknya karena ia tidak tahu kalau neneknya itu bakal pamit untuk selama-lamanya, dan itu membuatnya gundah. Ada perasaan bersalah dalam diri Nelly, lalu rasa bersalah itu malah semakin memuncak ketika esok paginya ia menemukan ibunya juga pergi tanpa pamit. Rasa bersalah itu seolah semakin menebalkan bahwa situasi duka memang sangat membingungkan bagi seorang anak karena tak banyak yang bisa dia lakukan untuk memperbaikinya. Dan saya rasa, dalam situasi duka di keluarga mana pun, anak kecil memang “terpaksa” harus memahami kesedihan yang dirasakan oleh orang-orang dewasa padahal mereka belum tuntas memahami konsep tentang hidup dan mati.
Tumblr media
Time Travel untuk Memahami Duka
Terkutuklah orang-orang dewasa oleh rasionalismenya masing-masing untuk selalu melogiskan segala hal. Mereka tidak bisa menerima begitu saja kalau time traveling dalam film ini terjadi sebagaimana adanya yang ditampilkan, termasuk saya. Namun, ketiadaan penjelasan itu sepertinya sengaja digunakan Sciamma untuk membuka ruang-ruang interpretasi dalam mempersepsikan makna cerita. Oleh karena itu, dalam kacamata lain, saya pun menangkap Petite Maman sebagai proyeksi imajinatif Nelly dalam upayanya untuk mencoba memahami perilaku dan perasaan ibu kandungnya.
Ketika Nelly memangkas jarak usia antara dia dan ibunya dengan “memunculkan” Marion yang sepantaran, kurang lebih itu adalah caranya untuk menjalin kedekatan yang lebih intim dengan ibunya. Sang ibu yang mendadak pergi tentu menyisakan lubang komunikasi yang menganga, bukan karena tidak mau tetapi lebih karena tidak mampu. Ada gap yang lebar antara ibu dan anak dalam hal kematangan, proses berpikir, cara mengolah perasaan, yang seringkali sulit diterjemahkan kata-kata, terutama lagi dalam mengungkap stres atau depresi. Jangankan kepada anak kecil, kepada sesama orang dewasa pun terkadang sulit untuk menyampaikannya. Maka dalam merespons kondisi tersebut, saya membayangkan pertemuan Nelly dengan Marion sepantaran itu sebagai terjemahan dari ungkapan harapan personal Nelly terhadap ibunya: “Seandainya dia seusiaku, aku akan mengajaknya bermain agar dia senang.”
Dalam diri Marion sepantaran itu Nelly menemukan setidaknya dua hal yang sudah jarang tampak pada ibunya, yaitu senyum dan tawa. Kesenangan yang mereka rasakan saat membangun pondok kayu bersama, bermain drama, merayakan ulang tahun telah menciptakan kedekatan yang tak ternilai. Walaupun Marion sebenarnya dihadapkan pada situasi yang cukup membuat stres juga, yaitu menjelang operasi medis untuk penyakit yang diturunkan dari ibunya (tidak dijelaskan secara rinci). Marion mengaku tegang menunggu hari-hari operasi yang semakin mendekat, tapi keberadaan Nelly justru membuatnya lebih senang, berkebalikan dengan kondisi riil Marion dewasa.
Dalam dialog singkat sebelum Marion berangkat ke rumah sakit, tersampaikan pula kekhawatiran Nelly akan situasi yang dihadapi ibu kandungnya di dunia nyata, situasi yang menyisakan rasa bersalah tak terjelaskan di dalam dirinya.
Marion: “Are you afraid?” Nelly: “Afraid of what?” Marion: “Afraid I won’t come back.” Nelly: “Everything will be fine.” Marion: “I’m talking about the future. I’m talking about your mom.” Nelly: “Yes, a bit. Because you’re often unhappy. You’re not often happy to be here.” Marion: “I think it’s not your fault.” Nelly: “Do you think so? Sometimes I think that.” Marion: “You didn’t make me sad.”
Tentu jawaban Marion di atas mewakili ekspektasi Nelly terhadap apa yang ingin ia dengar terucap dari mulut ibu kandungnya. Jawaban yang setidaknya bisa memastikan bahwa segala hal buruk dan hal berat yang sedang menimpa ibunya itu terjadi bukan karena kesalahannya. Kalaupun iya, setidaknya maaf bisa sangat mengobati. Di sisi lain, percakapan di atas sepertinya memang sulit terjadi antara Nelly dan ibu kandungnya. Oleh karena itu “perjalanan menembus waktu” Nelly berperan sebagai kendaraan rekonsiliasi yang mendobrak batas-batas fisik yang mengungkung proses komunikasi. Nelly bukan hanya melakoni perjalanan lintas waktu, tetapi juga perjalanan lintas perasaan yang memberikan banyak ruang gerak untuk mewujud satu demi satu.
Terus terang, bagi saya pribadi apa yang disajikan oleh Petite Maman ini mentransfer sebentuk perasaan eskapisme yang membuncah terhadap realita. Di antara semua gagasan multiverse yang sedang populer diangkat dalam film, gagasan realitas alternatif yang inilah yang terasa paling dekat dengan perasaan. Saya membayangkan kalau setiap anak di dunia ini punya kesempatan untuk bertemu dan bergaul secara sadar dengan orang tua mereka dalam usia yang sepantaran, maka peluang untuk memperbaiki celah komunikasi akan menjadi lebih lebar.
Apa yang dialami oleh Nelly saya rasa bisa terjadi di dalam benak banyak orang ketika mereka dihadapkan pada situasi tak mengenakkan dalam keluarga, dan film ini berhasil membuat apa yang tak terpikirkan menjadi mungkin. Petite Maman membuktikan sekali lagi bahwa film adalah medium seni yang sanggup memvisualisasikan hal-hal yang tak terungkap menjadi “bahasa baru” dalam dialektika interaksi antarmanusia. “Bahasa” yang tak hanya sanggup menembus ruang dan waktu, tetapi juga menembus batas-batas definisi dan makna dalam kata-kata yang digunakan manusia. Semuanya tersampaikan dengan manis dalam durasi 72 menit, cukup singkat untuk ukuran feature film.
Secara umum, Petite Maman adalah sebuah film belasungkawa yang cukup kuat, sekaligus inovatif dan otentik karena tidak menampilkan tangisan. Lebih tepatnya lagi, ini adalah film tentang bagaimana anak kecil menghadapi dan berurusan dengan duka yang pastinya punya skala traumatisnya tersendiri untuk mengubah jalan hidup atau pola pikir seorang anak. Pada akhirnya, ketika Nelly memeluk ibu kandungnya seraya menyebut nama “Marion”, saya menangkap makna bahwa kunci dari segala konflik batin adalah rasa memahami dan menerima dari support system terdekat. Sebab berbelasungkawa itu sebaiknya tidak cukup hanya dengan mengucap “turut berduka cita” tapi perlu juga dengan turut memahami duka cita dari orang-orang yang ditinggal pergi.
Tumblr media
“A secret is not necessarily a thing you want to hide. It’s just that you don’t have anyone to tell them to.”
oleh: Ikra Amesta
0 notes
sinemeter · 2 years ago
Text
da 5 bloods
Tumblr media
“Five Bloods don’t die, we multiply!”
Empat veteran Perang Vietnam kembali ke lokasi perang mereka dahulu untuk menebus sebuah janji. Perang itu memang sudah lama usai, tapi perang di dalam pikiran dan batin masing-masing tampaknya masih belum juga reda.
Otis, Paul (Delroy Lindo), Melvin, dan Eddie adalah tentara kulit hitam Amerika Serikat yang terjun ke dalam Perang Vietnam selama kurang lebih empat tahun, dari 1967 sampai 1971. Mereka tergabung dalam sebuah infantri yang dipimpin oleh Norman (Chadwick Boseman), seorang prajurit karismatik yang dijadikan role model oleh keempatnya. Mereka berlima membentuk geng yang menamakan dirinya Five Bloods.
Suatu hari mereka ditugasi mengantarkan satu peti penuh emas batangan kepada suku Lahu sebagai bentuk ucapan terima kasih dari pemerintah AS karena telah membantu memerangi Vietcong. Di tengah hutan mereka disergap oleh musuh, menyebabkan aksi tembak-menembak yang seru selama beberapa menit sebelum akhirnya mereka menang.
Dengan peti emas di tangan, Norman kemudian mengusulkan agar emas itu mereka simpan sendiri. Norman mengusulkan agar setiap emas batangan itu dikubur di suatu tempat untuk diambil kembali di kemudian hari. Mereka semua setuju karena Norman berencana menggunakan emas-emas itu untuk meningkatkan kesejahteraan kaum kulit hitam di Amerika yang masih sering jadi korban diskriminasi.  
Norman: “We bury it. For now. They ask, we say the V. C. got it. Later on, we come back and collect.”
Paul: “You mean rip it off.”
Norman: “We ain’t ripping off shit! Who feel like they’re ripping something off? We was the very first people that died for this red, white and blue. Yeah, that’s right. It was a soul brother, Crispus Attucks at the motherfuckin’ Boston Massacre. We been dying for this country from the very get, hoping one day they’d give us our rightful place. All they gave us was a foot up our black asses. Well, fuck that. I say the USA owe us. We built this bitch! I’m saying, we repossess this gold like they about to come repossess your cash yield convertible now. We repossess this gold for every single black boot that never made it home. Every brother and sister stolen from Mother Africa to Jamestown, Virginia way back in 1619. We give this gold to our people.”
Namun, Norman kemudian mati di tengah pertempuran. Perang berkembang jadi semakin ganas dan tentunya tidak ada kesempatan untuk menggali emas-emas yang telah dikubur di tengah hutan itu. Kesempatan itu baru datang kurang lebih lima dekade kemudian, saat keempat Bloods sudah termasuk lanjut usia dan Vietnam sudah berkembang jadi negara yang lebih modern.
Keempat Bloods bereuni di tempat yang dulu mereka perangi. Kali ini mereka tidak membawa senjata api dan peluru karena perang yang mereka hadapi bukan lagi perang fisik, tapi perang menghadapi masa lalu, melawan trauma, dan melawan diri sendiri. Mereka tidak sekadar kembali untuk menggali emas, tapi juga menggali luka yang mereka tinggalkan di sana.
Tentara Kulit Hitam dalam Perang Milik Kulit Putih
Rasanya sulit menilai keterlibatan para tentara kulit hitam yang membela bendera Amerika Serikat di medan perang itu sebagai bentuk patriotisme. Yang lebih kentara terlihat adalah sebagai bentuk lain dari perbudakan, sebagai salah satu bagian dari tradisi panjang perbudakan kulit hitam di Amerika di mana kelompok masyarakat yang masih dimarjinalkan ini kemudian dikorbankan dalam perang yang sebenarnya bukan milik mereka.
Tahun ’60-an, di Amerika sendiri kaum kulit hitam masih mengalami segregasi dan diskriminasi secara terang-terangan. Hak-hak kewarganegaraan mereka masih dibedakan dari warga kulit putih. Tentunya kesejahteraan mereka pun tidak mendapat perhatian yang layak dari pemerintah. Namun, untuk urusan perang, negara seolah-olah langsung merangkul mereka lalu mengutus mereka berperang di bawah embel-embel patriotisme.
Kenyataannya, sebuah ironi disampaikan oleh penyiar radio Hanoi Hannah kepada seluruh tentara kulit hitam yang berperang di Vietnam. Ironi yang memicu gambaran situasi moral tentara kulit hitam yang terombang-ambing karena sesungguhnya mereka terlibat di “perang” yang salah.
Hanoi Hannah: “Black GI, in Memphis, Tennessee, a white man assassinate Dr. Martin Luther King who heroically opposed the cruel racial discrimination in the USA. Dr. King also opposed the US war in Vietnam. Black GI, your government sent 600.000 troops to crush the rebellion. Your soul sisters and soul brothers are enraged in over 122 cities. They kill them while you fight against us, so far away from where you are needed. Black GI, the South Vietnamese people are resolute against these fascist acts against Negroes who struggle for civil rights and freedom. Negroes are only 11% of the US population, but among troops here in Vietnam, you are 32%. Black GI, is it fair to serve more that the white Americans that sent you here? Nothing is more confuse than to be ordered into a war to die or to be maimed for life without the faintest idea of what’s going on.”  
Maka, tepat seperti yang diungkapkan oleh Paul, “We fought in an immoral war that wasn’t ours for rights we didn’t have.” Perang Vietnam tampak seperti lelucon bagi tentara kulit hitam Amerika. Tiada lain mereka seperti memerangi perang yang sedang dihadapi oleh musuh mereka sendiri, sementara saudara-saudara mereka di Amerika masih terus diberangus dan dipersekusi.
Tentu perlu pemikiran jernih untuk menyikapi situasi seperti itu. Bagaimanapun juga, situasi tersebut membuka pemahaman yang lebih lebar bahwa negara dan pemerintah merupakan dua entitas yang berbeda. Negara adalah apa yang diwakili oleh bendera kebangsaan, yaitu tanah air, identitas, kehormatan, juga kebanggaan. Sedangkan pemerintah mewakili kepentingan politik, kebijakan, regulasi yang sudah pasti bergantung kepada integritas, sifat, dan moral dari para pejabat negara. Apa yang terjadi saat itu membuktikan bahwa Amerika tengah dinodai oleh pemerintahannya sendiri yang mencederai nilai universal kemanusiaan dengan melancarkan aksi diskriminasi rasial.
Penembakan terhadap Martin Luther King bukan hanya dinilai sebagai aksi kriminalitas, tetapi juga aksi pembungkaman terhadap demokrasi dan pengkhianatan terhadap warga Amerika sendiri. Kemarahan yang dilampiaskan oleh para anggota Bloods atas berita penembakan tersebut adalah buah dari kesadaran mereka atas fakta miris bahwa sekalipun mereka turun mengorbankan nyawanya membela Amerika, mereka masih tetap tidak diterima di negaranya sendiri.
Untungnya Norman bisa segera meredakan ketegangan yang terjadi. Dengan caranya sendiri ia seolah mengingatkan kepada kawan-kawannya itu bahwa keberadaan mereka di Vietnam adalah demi membela negara, tanah tumpah darah, bukan sebagai tameng dari para pejabat yang korup. Mereka berada di sana membawa identitas sebagai warga negara Amerika, bukan “hanya” sebagai orang kulit hitam Amerika. Tidak ada warna kulit di bawah bendera Amerika, semuanya menyatu dalam perbedaan, bersama-sama membangun kekuatan demokrasi yang utuh.
Pada akhirnya, Five Bloods tetap berada di Vietnam, menyelesaikan misi yang diemban di kedua pundak mereka sebagai para patriot yang percaya bahwa Amerika bisa menjadi negara yang lebih baik di kemudian hari. Namun, sayangnya mereka baru menyadari bahwa efek buruk dari sebuah perang akan terus membayangi kehidupan mereka di kemudian hari.
Tumblr media
Sekali Perang, Selamanya Berperang    
“After you’ve been in a war, you understand it never really ends. Whether it’s in your mind or in reality,” ujar Vinh menyimpulkan segenap peristiwa yang terjadi. Vinh adalah seorang guide yang disewa oleh para Bloods untuk mengantarkan mereka ke hutan tempat puluhan emas batangan dikubur puluhan tahun silam. Vinh tak asal bicara. Ayah dan pamannya adalah mantan tentara Vietcong yang memerangi Amerika. Jadi, sedikit-banyak ia tahu seperti apa perang berefek kepada keluarganya. Selain itu, ia pun menyaksikan langsung bagaimana para “turis” Amerika-nya itu menunjukkan gejala PTSD (post traumatic stress disorder) selama berada di Vietnam, terutama lagi Paul.
Datang kembali ke Vietnam, reaksi Paul terhadap warga pribumi yang berinteraksi dengannya cenderung paranoid. Ia risih ketika seorang pengemis pincang datang mendekatinya untuk meminta sedekah. Ia rishi ketika beberapa orang tua Vietnam terus memandanginya dari meja seberang di dalam bar lokal. Ia juga rishi dan bahkan sampai pecah adu mulut ketika di pasar terapung seorang pedagang terus-menerus menawarinya seekor ayam jago.
Memang, di antara anggota Bloods lain, Paul adalah yang paling terpukul atas kematian Norman. Selepas perang sampai sekarang ia terus memimpikan Norman, mengaku bicara dengan arwah Norman yang konon rajin mendatanginya setiap malam. Di antara anggota Blood yang lain Paul juga adalah pribadi yang kehidupannya paling kompleks. Ia kehilangan istrinya yang meninggal saat melahirkan anak laki-laki satu-satunya, David. Ia tidak bisa memberikan kasih sayang yang cukup kepada David dan pada satu titi kia bahkan terang-terangan membenci kehadirannya ─ apalagi ketika David tiba-tiba datang menyusul ke Vietnam karena ingin mendapat jatah emas dari ayahnya (“You ain’t been nothin’ but an anchor around my neck since the day you were born”). Yang lebih kompleks lagi, Paul mengakui kalau dirinya adalah pendukung Donald Trump─sosok yang tentu paling dibenci oleh kalangan Afro-Amerika─dan dengan bangganya ia mengenakan topi “Make America Great Again” di hadapan para sahabatnya yang hanya bisa geleng-geleng kepala.
Paul adalah sebuah kontradiksi yang menarik karena dirinyalah yang paling mewakili efek panjang psikologis dari horor perang. Ia jelas menyimpan banyak urusan yang belum selesai di Vietnam, urusan batin yang mengganjal kewarasannya untuk kembali pada tempatnya. Ia begitu menggebu-gebu ingin menemukan dan menggali sisa-sisa tengkorak Norman, melepas segala beban yang ia rasakan yang berada di persimpangan antara kerinduan dan penebusan. Satu rahasia besar yang tidak bisa ia ungkapkan kepada teman-temannya adalah bahwa ia tak sengaja menembak perut Norman dalam sebuah baku tembak yang menyebabkan Norman kehilangan nyawa. Maka dosa itulah yang selalu memberatkan langkahnya ke mana-mana, merenggut jam-jam tidur yang seharusnya nyeyak, dan menghantui perasaannya setiap waktu dengan rasa bersalah.
Karisma Norman, kepemimpinan Norman, bisa dibilang memang merupakan hal paling esensial yang tidak hanya menjaga kekompakan para Bloods, tetapi juga kewarasan mereka. Norman adalah akal sehat dan nyali yang membimbing mereka di medan perang, membangkitkan kesadaran mereka tentang sejarah dan perjuangan kaum kulit hitam (“He was our Malcolm and our Martin”), mengingatkan mereka tentang hak-hak sebagai warga negara Amerika yang sah, Oleh karena itu pulalah, tanpa kehadiran Norman, berpuluh-puluh tahun kemudian para Bloods malah terpecah oleh kepentingan masing-masing terkait pembagian emas-emas yang mereka dapatkan.
Eddie: “You remember what Norman said. ‘That gold should go to our people.’”
Paul: “Whoa, what are you trying to say, man?”
Eddie: “That gold should go towards black liberation.”
Paul: “Yeah, our black liberation. You do for self.”
Eddie: “I’m talking about black reparations, man.”
Melvin: “I got mine’s.”
Eddie: “What about our people?”
Melvin: “What about my people? You do what you want with your share, and we’ll each decide for ourselves.”
Otis: “That’s what Norman said now.”
Eddie: “Now, see? See? Otis knows. Norman wanted that gold to go towards the cause.”
Paul: “Yeah, that’s easy for you to say, Eddie. You rich. Money don’t mean shit to you.”
Pada akhirnya mereka sepakat membagi emas-emas tersebut ke setiap personel dan mereka dibebaskan untuk menggunakannya sesuai keimginan sendiri-sendiri. Sirna sudah cita-cita Norman yang ingin menggunakan emas-emas tersebut untuk kepentingan komunal kaum kulit hitam Amerika. Padahal urgensi kepentingan itu masih tetap relevan di zaman sekarang, di mana kaum kulit hitam Amerika masih saja mengalami tindak diskriminasi yang serius.
Paul sendiri memilih mengambil jatah emasnya, tidak berbagi dengan anaknya, lalu pergi meninggalkan para Bloods lain yang menurutnya sudah tak sejalan dengannya. Ia memang sosok yang keras kepala, menolak dijinakkan oleh keadaan, dan menolak segala yang bertentangan dengan dirinya. Ia menempuh jalannya sendiri menelusuri belantara Vietnam yang masih tidak bersahabat kepadanya. Ia mengutip ayat-ayat Bible, meracau tak keruan, masuk ke dalam mode perang melawan realitasnya sendiri.
Di ujung jalannya yang tertatih-tatih itu Paul pun berjumpa dengan sosok Norman lagi. Masih muda seperti yang terakhir kali ia ingat, tampak gagah dan karismatik seperti biasanya. Sempat Paul berusaha mengusir penampakan tersebut tapi Norman meredakan ketakutannya lewat senyuman dan pelukan. Layaknya seorang Messiah, Norman membisikkan kata-kata yang seolah menebus dosa-dosa Paul: “I forgive you. Ain’t no thing, Blood,” dan Paul pun bergetar menitikkan air matanya.
Memang, tak lama setelah momen itu Paul mati dibunuh oleh gerilyawan lokal yang merampas emas-emasnya. Ia kehilangan segala-galanya: hartanya, anaknya, teman-temannya, dan kemudian nyawanya. Namun setidaknya ia sudah menebus rasa bersalahnya yang telah berkerak selama bertahun-tahun, walaupun prosesnya sangat mungkin terjadi dalam khayalannya sendiri.
Lalu, apa yang tersisa untuk penonton? Tak lain sebuah prasangka yang menyatakan bahwa setinggi atau seluhur apa pun alasan sebuah perang tetap tidak akan sebanding dengan efek alienasi yang dialami para pelaku setelah perang usai. Alienasi yang seringkali membuat seseorang jadi tampak menyedihkan dan banal.
Tumblr media
oleh: Ikra Amesta
0 notes
sinemeter · 2 years ago
Text
promising young woman
Tumblr media
“Hey. I said, what are you doing?”
Setiap malam Cassie pergi ke klab sendirian, pura-pura mabuk berat demi memancing laki-laki asing datang mengantarnya pulang. Tujuannya satu: membuktikan kalau semua laki-laki pasti mencuri kesempatan menidurinya karena dikira sedang teler.
Inferioritas Perempuan Sebagai Ladang Eksploitasi Kaum Adam
Dalam menjalankan perannya sebagai perempuan yang mabuk berat, Cassie (Carey Mulligan) membuat badannya lunglai, jalannya gontai, dan bicara dalam ritme yang dilambatkan. Kedua kelopak matanya seringkali tertutup, mengesankan orang yang sudah beranjak menuju alam realitas yang lain. Namun, makeup yang dikenakannya masih tetap kinclong, masih dengan kuat menempelkan aura kecantikan dalam tubuhnya meskipun gesturnya tampak hancur-hancuran. Riasan itulah─yang diserasikan juga dengan pilihan busana yang dikenakan─yang sukses “memanggil” setiap laki-laki sober di klab malam untuk menghampiri dan menawarkan bantuan.
Bantuan datang dalam bentuk uluran tangan untuk membopong Cassie keluar dari kelab, mencarikannya taksi, lalu ikut mengantarnya sampai rumah. Namun seringkali rute perjalanannya berubah di tengah-tengah jadi ke apartemen atau rumah si pengantar. Alasannya karena kebetulan tempat tinggal mereka searah dan lebih dekat sehingga Cassie bisa numpang istirahat lebih cepat. Begitu sampai di rumah, bantuan tersebut berubah sepenuhnya jadi kesempatan dalam kesempitan untuk meniduri Cassie, melakukan seks gratis mumpung Cassie tak bisa melawan dan kemabukannya itu bisa diklaim secara sepihak sebagai persetujuan.
Tentunya, begitu celana dalam Cassie dipelorotkan dan siap disetubuhi, Cassie akan langsung bangkit dari posisi tidurnya, membuka kedua kelopaknya lebar-lebar, memasang ekspresi wajah yang tegas seraya menegur si laki-laki tentang apa yang sedang terjadi. Tentunya lagi, laki-laki mana pun akan langsung kaget, bahkan sampai mengempaskan badan mereka ke belakang, ketika mendapati perempuan yang disangka tak berdaya itu meminta penjelasan dari perbuatan mereka dalam kesadaran penuh. Semuanya terjadi dalam hitungan detik, sangat cepat sampai tidak menyisakan ruang sama sekali bagi si pelaku untuk berkilah. Dalam situasi terjepit seperti itu, pembelaan yang biasanya keluar dari mulut mereka adalah pengakuan lemah bahwa sebenarnya mereka itu laki-laki baik-baik.  
Neil: “What are you trying to say? That I’m, like, a predator or something?”
Cassie: “I don’t know. Are you?”
Neil: “I am a nice guy.”
Cassie: “You keep saying that. You’re not as rare as you think. You know how I know? Because every week, I go to a club, and every week, I act like I’m too drunk to stand. And every fucking week, a nice guy like you comes over to see if I’m okay.”
Mungkin yang dimaksud “baik” oleh para laki-laki itu adalah fakta bahwa mereka telah menghampiri Cassie dan mengantarkannya keluar dari klab menuju tempat yang lebih “aman”. Sebatas itu, karena baik sebelum dan sesudah perbuatan “baik” itu dilakukan faktanya mereka tak bisa menampik kalau pikiran “jahat” memang jadi penggerak utama dari aksi yang dilakukan.
Di awal ketika mereka mendapati penampakan Cassie yang lunglai seorang diri di tengah hiruk-pikuk musik dan kegaduhan, mereka bahkan sudah bisa menilai kalau perempuan itu berada di posisi yang empuk untuk dimanfaatkan (“I mean, that is just asking for it”). Segera setelah Cassie berada “di tangan” mereka, di balik niat baik yang dilancarkan, mereka pun memaknainya sebagai peluang lebar untuk cinta satu malam. Mereka tidak mau mengakui diri sebagai predator seks atau penjahat kelamin─mungkin karena penampilan mereka yang gentleman berikut profesi yang terhormat di tengah masyarakat─tapi begitu mendapati seorang perempuan teler di dalam rumah, mereka malah bisa memanipulasi kondisi tersebut sebagai persetujuan untuk senggama suka sama suka.
Ironis memang, ketika seorang perempuan merasa tidak berdaya dan mengharap bantuan dari sosok laki-laki, yang secara gender sudah umum dianggap sebagai yang lebih kuat, mereka justru berpeluang besar dicelakai oleh penolongnya sendiri. Pengalaman Cassie sebagai seorang vigilante yang “memburu” laki-laki di klab malam seolah menyadarkan bagaimana pikiran laki-laki selalu mencari peluang untuk melakukan seks terhadap perempuan yang mereka temui. Seolah-olah itu sudah jadi setelan default dalam pola pikir mereka: perempuan adalah objek kepuasan berahi dan ketika objek itu tidak bisa melawan maka seks dianggap sebagai kesepakatan bersama.
Celakanya, posisi Cassie sebagai perempuan juga tidak terlalu menguntungkan dalam persepsi masyarakat. Andaikan seks itu terjadi, penghkiman tentu akan sangat mudah dilayangkan kepada Cassie sebagai pihak yang tidak bisa menjaga diri dan mengundang syahwat laki-laki. Padahal yang laki-laku pun sebenarnya adalah pihak yang paling tidak bisa menjaga diri akan dorongan syahwatnya, tapi dalam banyak kasus mereka cenderung lebih mudah “dimaafkan” dan dimaklumi.
Cassie melakukan aksi pura-puranya itu bukan tanpa alasan. Ia terdorong oleh peristiwa yang menimpa sahabatnya sendiri, yang harus menanggung beban malu yang amat berat ketika di sebuah pesta, dalam keadaan mabuk, digauli oleh temannya sendiri sambil direkam di depan teman laki-laki yang lain. Kasus itu kemudian menguap oleh mekanisme sosial yang lebih berpihak kepada laki-laki. Sahabat Cassie itu jatuh dalam lubang depresi lalu memutuskan bunuh diri, sementara si pelaku tetap melanjutkan sekolahnya, lulus sebagai dokter, lalu menjalani hidup yang sempurna.
Walaupun dilakukan dalam skala yang amat kecil, aksi pura-pura mabuk Cassie itu ia yakini sebagai upaya untuk menyadarkan sekaligus mengevaluasi mindset setiap laki-laki terkait perempuan yang mabuk. Memang tidak ada implikasi hukum yang terjadi karena Cassie menghentikan para laki-laki yang menggerayangi tubuhnya itu sebelum terlalu jauh menyetubuhinya. Yang ia berikan hanyalah semacam shock therapy untuk membuat korbannya malu dan merasa bersalah, syukur-syukur kalau itu kemudian bisa mengubah perilaku mereka ke depannya agar lebih bertanggung jawab.  
Namun, apakah usahanya itu berhasil? Karena setiap kali ia selesai melancarkan aksinya, menambahkan turus di dalam buku catatannya, lalu menghapus riasan lipstik perfect blowjob lips dari bibirnya, ia tahu bahwa sahabatnya itu tak akan bisa hidup kembali. Ia tahu, bahwa di luar sana keadilan masih sulit memihak perasaan karena semuanya harus berlandaskan pada bukti-bukti fisik. Ia tahu bahwa laki-laki yang melecehkan sahabatnya itu tetap tidak akan mengakui kesalahannya dan terus menjalani hidup dengan normal.
Perempuan Menyikapi Perempuan dalam Kacamata Patriarki
Adalah Nina, sahabat baik Cassie yang secara tidak langsung memotivasi dirinya untuk menjadi semacam vigilante pengusung “hak-hak asasi” perempuan mabuk. Keduanya menjalani sekolah kedokteran bersama-sama dan termasuk dalam golongan murid yang pandai. Namun, di sekolah itu pulalah keduanya harus memupuskan cita-cita menjadi dokter saat di sebuah pesta yang liar Nina kedapatan disetubuhi oleh kawannya sendiri dalam kondisi mabuk berat. Insiden tersebut membuat Nina malu dan kemudian memutuskan drop out dari sekolahnya. Cassie pun menyusul drop out untuk merawat sahabatnya yang depresi itu walaupun kemudian ia tak bisa mencegah Nina bunuh diri.
Insiden yang terjadi bertahun-tahun lalu itu masih sangat membekas dalam diri Cassie. Hal itulah yang memicunya berhenti mengejar impian menjadi dokter dan lebih memilih kerja sebagai kasir di kedai kopi kecil. Ia bahkan masih tinggal di rumah orang tuanya walaupun usianya sudah 30 tahunan. Solidaritasnya terhadap Nina masih terus ia jaga dan praktekkan dalam pilihan hidup yang ia jalani. Atau barangkali, semua itu berlandaskan pada penyesalan karena ia tidak hadir di samping Nina saat insiden terjadi sehingga ia harus menebus dosanya dengan hidup sebagai “orang gagal”.
Jika menelusuri lagi ke belakang, yang menarik dari kasus Nina adalah bahwa selain Cassie tidak ada teman-temannya yang mempercayai apa yang menimpanya dan membelanya untuk menuntut keadilan. Walaupun bukti berupa video tersebar (secara terbatas) di kalangan teman-teman seangkatannya, penghakiman justru mengarah dengan kuat kepada Nina sebagai si perempuan mabuk. Seolah-olah karena Nina mabuklah segalanya terjadi dan perbuatan laki-laki yang menyetubuhinya di depan teman-teman laki-laki yang lain itu jadi bisa diwajarkan.  
Tumblr media
Ketika Cassie bereuni dengan seorang teman perempuannya dari sekolah kedokteran lalu ia mengungkit kasus Nina, tanggapan yang diterimanya adalah: “Don’t get blackout drunk all the time and then expect people to be on your side when you have sex with someone you don’t want to.” Ketika Cassie menemui dekan di bekas sekolahnya dulu, yang juga seorang perempuan, tanggapan yang diterimanya adalah: “We have to give these boys the benefit of the doubt.” Yang lebih buruk lagi, dekan tersebut bahkan sama sekali lupa dengan Nina dan kasus yang menimpanya. Beliau lupa bahwa Nina sempat mendatanginya, mengadu, dan meminta pembelaan. Namun sang dekan lebih memilih berada di pihak si pelaku tanpa mengusut laporan tersebut lebih dalam lagi.
Walker: “But, you know, also, if she was drinking and maybe couldn’t remember everything…”
Cassie: “So, she shouldn’t have been drunk?”
Walker: “I’m not saying that.”
Cassie: “I’m sorry, I don’t mean to sound critical, Dean Walker. I just want to be clear.”
Walker: “None of us want to admit when we’ve made ourselves vulnerable. When we’ve made a bad choice. And those choices, those mistakes, can be so damaging and really regrettable. I mean, because what would you have me do? Ruin a young man’s life every time we get accusations like this?”
Cassie: “So, you’re happy to take the boy’s word for it?”
Walker: “I have to give him the benefit of the doubt. Because innocent until proven guilty.”
Menarik untuk dikomentari bagaimana perempuan cenderung lebih mudah menghakimi sesama perempuan dan membela nilai-nilai patriarki secara kebablasan. Dari tanggapan temannya Cassie, kita bisa menarik kesimpulan bahwa perempuan mabuk adalah masalah sedangkan laki-laki mabuk tidak masalah. Laki-laki mabuk bisa dimaklumi kalau mereka berbuat hal-hal yang aneh termasuk menyetubuhi perempuan yang mabuk juga dengan tanpa izin. Sementara perempuan yang mabuk walaupun menjadi korban pelecehan, tetap saja jadi yang paling disalahkan karena dianggap tidak bisa menjaga dirinya dengan baik. Secara tidak langsung, itu menggambarkan bahwa dalam peradaban modern kita ini posisi perempuan tetaplah sebagai objek dari laki-laki yang bahkan bisa divalidasi oleh sesama perempuan yang lain.
Dari tanggapan mantan dekan Cassie, kita bisa menarik kesimpulan yang sama bahwa perempuan mabuk adalah masalah sedangkan laki-laki mabuk tidak masalah. Sang dekan bahkan mengambil sudut pandang yang lebih tegas lagi, ia tidak ingin mengorbankan masa depan murid laki-lakinya gara-gara kasus yang melibatkan murid perempuan yang mabuk. Padahal kedua-duanya adalah calon dokter tapi tampaknya dekan lebih rela “memperjuangkan” profesi tersebut diambil oleh pihak laki-laki dan mengorbankan yang pihak perempuan (bahkan ia sampai melupakan kasus Nina sama sekali). Ia lebih suka memilah antara tuduhan dan kejadian. Kasus Nina ia sebut sebagai tuduhan, berdasarkan kepada argumen “innocent until proven guilty”; tapi di sisi lain, ia juga lebih mudah mempercayai pembelaan pihak laki-laki (pelaku) yang bisa dengan mudahnya menyembunyikan atau memanipulasi bukti-bukti.
Bahkan di mata hukum pun, kasus Nina kurang-lebih ditanggapi dengan sikap yang sama. Cassie menemui mantan pengacara si pelaku─yang kini hidup dengan penuh penyesalan─yang mengakui kalau kliennya itu bisa menang karena satu hal: “One drunk photo at a party. You wouldn’t believe how hostile that makes a jury”. Lagi-lagi perempuan mabuk dianggap sebagai cela dan bagi juri itu sudah cukup menguatkan bahwa pihak laki-laki tidak bersalah, terbebas dari pencemaran nama baik, dipersilakan melenggang bebas melanjutkan hidup dan mewujudkan cita-citanya.
Rasanya sulit untuk menampik bahwa salah satu produk paling berbahaya yang dihasilkan oleh iklim patriariki adalah standar ganda yang memberatkan kaum perempuan. Dalam kondisi terburuk, itu berarti bahwa segala hal yang menyangkut status, perbuatan, harkat perempuan akan disepakati oleh kaum laki-laki sesuai dengan pemenuhan terhadap kepentingan mereka sendiri dan dunia harus menerimanya. Kerangka pikir tersebut, tanpa sadar, sudah membentuk pola perilaku kaum perempuan juga seperti yang dicontohkan oleh teman dan mantan dekan Cassie.
“I guess it feels different when it’s someone you love,” ujar Cassie kepada si dekan, dan pernyataan itu jadi satu-satunya pembeda yang memengaruhi hubungan antarperempuan di dunia yang patriarkis ini, sekalipun di Amerika Serikat yang konon katanya liberal itu.
Sementara Itu, di Kepala Laki-laki…
Adalah Al Monroe, sosok laki-laki yang melecehkan Nina di asrama sekolahnya dalam sebuah pesta yang memabukkan bertahun-tahun lalu. Disaksikan teman-teman laki-laki sebayanya, bahkan direkam, dengan penuh canda tawa ia menggauli perempuan malang itu dengan tanpa dosa. Selepas kejadian itu ia masih bisa melanjutkan sekolahnya dengan baik, lulus dengan predikat cum laude, berkarier sebagai dokter yang cukup sukses dan kini siap melangsungkan pernikahan dengan seorang model bikini.
Perbuatan tak senonoh Al terhadap Nina seolah menguap tanpa jejak, tak lagi berarti baginya. Ia lolos dari tanggung jawab, pihak sekolah menyebutnya tak bersalah karena tak ada bukti, hukum membebaskannya dari tuduhan sexual abuse, dan semuanya terlupakan. Bagi Al, dan teman laki-lakinya yang lain, peristiwa tersebut tidak perlu ditanggapi serius karena saat itu mereka semua mabuk, dalam kondisi bersenang-senang, sehingga ketika Cassie datang menuntut balas lalu mengonfrontasinya, pembelaan yang terucap dari mulut Al adalah: “I didn’t do anything. We were kids.” Sesimpel itu.
Cassie: “She dropped out. Top of her class, and she dropped out. I did, too, to take care of her. The two of us gone. You graduated magna cum laude, though. Did you ever feel guilty, or did you just feel relieved that she’d gone?”
Al: “You know I was affected by it too, okay? I mean, it’s every guy’s worst nightmare, getting accused like that.”
Cassie: “Can you guess what every woman’s worst nightmare is? The thing is you thought you’d gotten away with it because everyone had forgotten. But I haven’t.”
Maka, jelas ada kompas moral yang berbeda yang dimaknai Al terkait apa yang dimaksud dengan aktivitas seksual di bawah bendera bersenang-senang. Dari permukaan luarnya, konvensi sosial bisa menilai Al bukan sebagai sosok kriminal. Ia terlalu rapi, terlalu pintar, terlalu berprestasi, dan punya profesi yang terlalu terhormat untuk disebut sebagai pemerkosa. Mungkin hal itulah yang memudahkan jalan untuk memelintir pengaduan Nina sebagai klaim sepihak atau tuduhan belaka. Hal itu pula yang kemudian dengan mudahnya menghancurkan hidup Nina, reputasinya, dan harga dirinya (“It wasn’t her name she heard when she was walking around. It was yours”).
Ketika Al berhadapan dengan Cassie yang datang untuk menuntaskan dendam, ia masih coba berkelit dengan memanipulasi realita, coba menularkan pola pikirnya yang egosentris dengan menyebut insiden tersebut sebatas aksi main-main. Al tidak sendirian, ia dikelilingi dan didukung teman-teman laki-lakinya yang sebagian tutup mulut dan sebagian lagi menguatkan keyakinannya dengan kalimat toksik: “This is not your fault, Al. You did nothing wrong.” Bagi pelaku, tentu penguatan-penguatan semacam itu bisa dengan efektik menghindarinya dari perasaan bersalah dan melanjutkan hidupnya dengan sempurna.
Dunia sudah membuktikan berkali-kali bahwa korban perkosaan atau sexual abuse─yang dalam hal ini adalah perempuan─selalu menjadi pihak yang paling rentan dalam melanjutkan hidupnya secara “lurus”. Trauma yang dirasakan bukanlah sesuatu yang bisa hilang atau diperbaiki dengan kata-kata. Tidak semudah menyebut insiden yang telah terjadi sebagai “hanya main-main” atau “bukan apa-apa”. Bahkan pernyataan “tak bersalah” pun tak cukup memberikan penghiburan meskipun pada kenyataannya, baik secara hukum maupun moral, si korban memang tak bersalah. Tidak seperti pelaku, korban membutuhkan lebih banyak waktu, usaha, dan dukungan untuk “move on”─terlebih lagi ketika si pelaku bisa terbebas dari jerat hukum.
Lucu rasanya ketika melihat Al yang dihadapkan pada konsekuensi dari perbuatan bejatnya merespons nasibnya dengan naif: “What about my wedding and my job?” Lucu karena dengan begitu sebenarnya ia menyadari bahwa perbuatannya itu adalah sesuatu yang serius, bukan sekadar main-main. Lucu karena ia merasa bahwa implikasi dari perbuatan tersebut hanya berlaku serius terhadap hidupnya saja, masa depannya, kariernya. Tidak ada moral yang menyangkut-pautkannya dengan kepentingan hidup dari orang yang terkena imbas langsung dari kelakuannya.
Cassie berhadapan dengan laki-laki seperti Al setiap malam di klab, ketika ia pura-pura mabuk lalu “dibungkus” oleh laki-laki asing yang coba “menolongnya”, lalu coba menggaulinya dengan berlandaskan pada persetujuan yang dimanipulasi. Setiap malam Cassie coba menjadi Nina, mereka ulang peristiwa mimpi buruk itu lalu menghentikan semuanya sebelum terlambat. Setiap malam ia coba membuktikan bahwa seks dalam keadaan mabuk itu hanya bisa terjadi jika salah satu pihak berada dalam kondisi sober sementara pihak yang lain tanpa daya untuk melakukan perlawanan. Ia coba membuktikan bahwa society masih punya batasan yang kabur dalam mendefinisikan perkosaan terutama ketika si pelaku punya kekuatan untuk membela diri dengan menyatakan kalau semua yang terjadi hanyalah bentuk main-main dan senang-senang.
Sayangnya, barulah ketika perkosaan tersebut berujung kepada kematian society bisa menanggapinya sebagai hal yang serius. Itu pun kalau mereka masih mengingatnya dan bisa berempati seolah-olah hal tersebut menimpa orang yang mereka cintai. Oleh karena itu apa yang dilakukan Cassie termasuk sebagai aksi yang revolusioner. Walalupun dilakukan dalam skala yang kecil tapi setidaknya ia telah mengorbankan segalanya untuk mengumumkan sebuah peringatan yang tegas ke muka patriarki. Lengkap dengan ludah di cangkir kopi mereka.
Tumblr media
oleh: Ikra Amesta
0 notes
sinemeter · 2 years ago
Text
nomadland
Tumblr media
“I’m not homeless. I’m just houseless.”
Fern mengendarai mobil van-nya menuju Quartzsite di Arizona, sebuah gurun yang dijadikan titik kumpul tahunan para nomad yang─sama seperti dirinya─menghabiskan sisa hidup mereka mengembara ke setiap sudut Amerika tanpa pernah mau menetap.
Rubber Tramp Rendezvous (RTR) digelar tiap tahun di Quartzsite, Arizona. Acara kumpul-kumpul itu digagas oleh Bob Wells, “nabinya” kaum nomad di Amerika, suri teladan bagi orang-orang yang memilih tinggal di dalam van─atau mungkin juga mobil yang lebih besar lagi. Tujuan acara itu besar dan penting, yaitu sebagai wadah support system bagi para pelaku nomad yang walaupun mereka asing satu sama lain namun rasa senasib sepenanggungan membuat mereka saling menguatkan, saling mengisi energi, saling berbagi kisah dan tawa.
Tentu ada sesi ceramah dari Bob Wells yang disaksikan serentak oleh para nomad sambil duduk di atas kursi lipat masing-masing. Ia berapi-api mengutuk kapitalisme, mengutuk “tirani dollar”, dan mengakui para nomad sebagai korban dari sistem ketamakan yang berlangsung lama di Amerika. Ia tak segan menyebut nomad sebagai kelas yang terbuang dari masyarakat, kelas yang mungkin tidak diakui keberadaannya dalam sistem kewargaan modern karena pengembara tidak punya teritori pribadi yang tangible. Apalagi para nomad itu adalah manusia-manusia lanjut usia, yang sudah berada di luar barisan tenaga kerja produktif, merekalah para orang tua malang yang terusir dari rumah gara-gara situasi ekonomi dan harus “berjuang” di jalanan untuk menyambung hidup.
Resesi Besar yang menerjang Amerika mendorong banyak perusahaan gulung tikar atau memangkas banyak karyawan terutama karyawan usia senior yang “dipaksa” pensiun lebih cepat. Fern (Frances McDormand) adalah salah satu korban. Sebelumnya ia bekerja sebagai karyawan HRD di sebuah pabrik gipsum besar yang terletak di kota industri Empire, Nevada. Di kota itu ia telah tinggal selama bertahun-tahun di sebuah rumah dinas pemberian kantornya. Sayangnya, Resesi Besar membuat perusahaan itu bangkrut seketika. Bukan hanya itu, seisi kota Empire pun harus ikut “ditutup” karena tak bisa lagi beroperasi, sehingga Fern harus terkena imbas terusir dari rumah di usia 60 tahunan dan harus mencari pekerjaan baru.
Fern memilih menjual beberapa barang milik pribadinya demi membeli sebuah mobil van bekas. Ia memilih hidup mengembara di jalan, mencoba peruntungan dari pekerjaan-pekerjaan kecil dan temporer yang bisa ia dapatkan di daerah-daerah yang ia singgahi. Ia mendedikasikan dirinya sebagai pengembara full-time, tak mau lagi menambatkan hati di satu kota, rumah, atau perusahaan karena ia tahu bahwa yang dibutuhkan untuk berdamai dengan kesedihannya adalah perspektif yang baru. Dan untuk mendapat perspektif yang baru itu maka ia pun harus menjadi orang yang baru dengan menjalani pengalaman hidup yang baru pula.
Apa yang disampaikan Bob Wells dalam ceramahnya bukanlah sebentuk orasi untuk membakar semangat protes atau berdemonstrasi menggugat pemerintah. Yang duduk di hadapannya adalah orang-orang tua yang, sama seperti dirinya, sudah tidak pantas lagi membikin huru-hara. Apa yang disampaikan Bob justru sebenarnya bertujuan memadamkan api amarah, luka, atau sakit hati yang masih tersisa dalam perasaan para nomad. Ketika Bob mengumpamakan mereka sebagai, “The workhouse that is willing to work itself to death and then be put out to pasture. And that’s what happens to so many of us”: poin utama yang disampaikannya adalah mengenai empati, kebersamaan, dan kekuatan untuk menerima kondisi diri dengan perasaan lapang.
Sebagai outsider, yang terpenting bagi mereka adalah tidak berkubang terlalu lama mendefinisikan kekalahan. Yang terpenting adalah memanfaatkan waktu dan momentum yang ada dengan sebaik-baiknya agar bisa memaknai setiap keadaan yang menimpa sebagai peluang kelahiran diri yang baru.
Dan khusus bagi Fern, inilah fase terbaiknya untuk mengganti ingatan-ingatan lamanya dengan sesuatu yang lebih layak diingat lama-lama.    
Memutar Arah, Menyatu dengan Alam
Di usia 60-an, Fern sebatang kara. Suaminya meninggal dunia, perusahaan tempatnya bekerja bangkrut dan bersamaan dengan itu lingkungan tempat tinggalnya dikosongkan. Bahkan, seisi kota tempatnya tinggal dikosongkan. Dengan kemungkinan mendapatkan pekerjaan baru yang sangat kecil di kotanya itu, maka Fern memutuskan untuk pergi mengembara di dalam van, menyerahkan nasibnya kepada lintasan aspal yang akan membimbing pencariannya.
Ia memotong rambutnya jadi sangat pendek. Entah untuk buang sial atau sebagai pernyataan bahwa dirinya siap menjadi orang yang baru. Belum pernah sebelumnya ia tinggal di dalam van dan hidup di jalan, maka keputusannya itu tentu merupakan langkah yang amat besar sekaligus berani. Ia mempersiapkan banyak hal; kasur, kabinet kayu, toilet duduk, piring-piring peninggalan almarhum ayahnya, semua itu ia tempatkan di dalam van-nya. Jelas sekali ia merencanakan untuk hidup lebih lama di dalam van, bahkan mungkin sampai akhir hayatnya ia akan terus berperan sebagai nomad.
Bukan hal yang mudah untuk menjalani hidup sebagai nomad sendirian, apalagi di masa-masa permulaan. Setiap kali memasuki kota atau area baru, hal utama yang dicari Fern adalah motel atau perkemahan RV dan lowongan pekerjaan. Yang pertama cenderung lebih mudah didapatkan daripada yang kedua. Pasar tenaga kerja tidak lagi menyediakan kerjaan kantoran untuk orang-orang seusia Fern, orang-orang yang justru tidak boleh terlalu banyak melakukan aktivitas fisik. Tapi ironisnya, pekerjaan-pekerjaan kasar adalah opsi terbaik yang dimiliki Fern saat ini, tipe-tipe pekerjaan kontrak pendek yang tidak bisa menjamin pemenuhan kebutuhan finansial di hari tua.
Fern harus mengambil pekerjaan-pekerjaan seperti itu demi bertahan hidup sebagai seorang nomad. Maka ia pun bekerja sebagai karyawan packing di pabrik Amazon, staf kitchen di restoran cepat saji lokal, staf operasional di Taman Nasional Badlands, sampai buruh di sebuah pabrik pengolahan gula. Semuanya bukan pekerjaan tetap, tidak terikat kontrak panjang, dan gaji yang didapat tentu tidak cukup untuk disisihkan menabung. Namun Fern tetap membutuhkannya, bukan semata-mata karena butuh uang tapi karena ia juga butuh mengaktualisasikan dirinya dengan bekerja; tanpa gengsi, tanpa banyak minta, dan tanpa penyesalan.  
Justru dari melakoni pekerjaan-pekerjaan “remeh” itulah Fern dipertemukan dengan orang-orang yang senasib dengannya. Fern berkenalan dengan Linda May, seorang wanita yang rambutnya sudah dipenuhi uban tapi masih tetap enerjik, yang juga jadi korban Resesi Besar. Bukan hanya itu, Linda May juga adalah seorang nomad yang mengembara dengan mobil van-nya. Dengan cepat keduanya menjalin pertemanan, berbagi aktivitas bersama di waktu luang mereka, saling bertukar kisah tentang perjalanan hidup masing-masing.
Dari Linda May-lah Fern tahu tentang Bob Wells dan event RTR-nya. Walaupun awalnya Fern sempat tak tertarik untuk datang, namun hasrat untuk berbagi rasa dengan orang-orang lain yang senasib mengubah pikirannya. Keputusan tersebut tentunya layak disyukuri Fern. RTR membawanya lebih dari sekadar berkumpul bersama para nomad manula, tapi lebih jauh lagi membimbingnya untuk membangun relasi yang kuat dengan alam sekitar. “I think connecting to nature and to a real community and tribe will make all the difference for you,” begitu nasihat Bob Wells kepadanya. “Alam” yang digarisbawahi itu tampaknya memang bukan sekadar pohon, hewan liar, atau gurun pasir, tapi lingkup besar yang meliputi jalan hidup serta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Menyatu dengan “alam” adalah menyatu dengan diri, oleh karenanya ini juga adalah tentang penerimaan.
Swankie, salah seorang nomad yang kemudian sempat berinteraksi intens dengan Fern setelah acara RTR bubar, menuturkan konsep yang diyakininya tentang menyatu dengan alam:
Swankie: “I’m gonna be 75 this year and I think I’ve lived a pretty good life. I’ve seen some really neat things, kayaking, all those places. And, you know, moose in the wild. A moose family on a river in Idaho. And big, white pelicans landing just six feet over my kayak on a lake in Colorado. Or, come around a bend, was a cliff, and find hundreds and hundreds of swallow nests on the wall of the cliff. And the swallows flying all around. And reflecting in the water so it looks like I’m flying with the swallows and they’re under me, and over me, and all around me. And the little babies are hatching out and egg shells are falling out of the nests, landing on the water and floating on the water. These little white shells. It’s like, well, just so awesome. I felt like I’d done enough. My life was complete. If I died right then, that moment, it’d be perfectly fine.”  
Setidaknya ada dua hal yang sedang berusaha diterima Fern. Yang pertama adalah tentang kehilangan pekerjaan dan kehidupan lamanya sebagai seseorang yang bisa dikatakan “settled”.  Yang kedua adalah tentang kehilangan suami tercintanya yang membuatnya sekarang harus menghadapi kenyataan pahit hidup seorang diri. Pertemuannya dengan para nomad di RTR menyadarkan Fern bahwa dirinya membutuhkan support system untuk memproses segala kejadian yang menimpanya secara lebih bijak.  Bukan support system yang membantunya mengabaikan atau mengecil-ngecilkan masalah yang menimpanya, tetapi yang membantunya membuka perspektif baru dalam memandang masalah tersebut sehingga ia pun jadi lebih siap mengatasinya.
Artinya, Fern harus bisa menyikapi pilihan hidup nomadennya bukan sebagai pelarian tapi disadari sebagai perjalanan penting yang tidak seperti perjalanan lainnya.
Tumblr media
Merentangkan Kaki, Melebarkan Mata
Suatu ketika mobil van Fern mogok dan harus masuk bengkel. Kerusakannya cukup parah dan memakan biaya sampai-sampai montir bengkel menyarankan Fern agar menjual van-nya saja. Fern yang membutuhkan uang untuk memperbaiki “rumahnya” itu akhirnya menghubungi adiknya, Dolly, untuk meminjam sejumlah dana. Fern pun datang mengunjungi rumah adik satu-satunya itu yang tampak berdiri di sebuah kompleks perumahan elit.
Kondisi Fern dan Dolly memang berbanding terbalik. Fern tampak lusuh dengan kerut-kerut di wajah hasil terpaan angin dan cuaca jalanan yang tak selalu bersahabat. Sementara Dolly tampak rapi, elegan dari ujung rambut sampai ujung kaki, dengan kerut-kerut di wajah yang tampak selalu diterpa skincare dan produk-produk perawatan kecantikan lainnya. Namun, perbedaan tersebut tentu tidak menghalangi relasi hangat mereka sebagai kakak-beradik yang sudah lama tak jumpa.
Fern memang datang dengan kikuk dan mungkin juga banyak menahan rasa malu karena harus meminjam uang dari adiknya. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan hidup di jalan Fern akhirnya dapat kesempatan singgah di rumah lagi, tempat di mana segala kebutuhan manusiawi tersedia dalam ruang-ruang yang luas yang terlindung oleh atap. Ia pun bisa merasakan lagi tidur di atas kasur empuk di dalam kamar yang tidak membatasi ruang geraknya.
Fern boleh jadi merasa bangga dengan kehidupan mapan dan pencapaian yang dimiliki Dolly dan keluarga kecilnya. Namun, di balik itu semua, sang adik ternyata menyimpan kekaguman yang lebih besar terhadap sang kakak yang dilihatnya sebagai sosok yang tak mungkin tergantikan dalam hidupnya.
Dolly: “You left home as soon as you could, you married Bo after just knowing him a few months, and then you moved to the middle of nowhere with him. And then even after Bo passed away, you still stayed in Empire. I just didn’t get it. I mean you could have left…”
Fern: “Yeah. See, that’s why I can’t come here.”
Dolly: “I never said this to you before, and maybe I should have. You know, when you were growing up, you were eccentric to other people. You maybe seemed weird, but it was just because you were braver, and more honest than everybody else. And you could see me when I was hiding from everybody. And sometimes you could see me before I saw myself. I needed that in my life. And you’re my sister. I would have loved having you around all these years. You left a big hole by leaving.”
Bagi Dolly, Fern adalah perwujudan dari integritas dan karakter kuat yang terpupuk dari sejak mereka kecil. Bukan tentang kepemilikan harta, kelas ekonomi, atau status sosial, tapi Fern adalah tentang kepribadian, idealisme, dan yang terpenting lagi, orisinalitas, sehingga bagi Dolly dalam segala situasi Fern tetaplah sosok yang konsisten sebagai yang “satu-satunya”. Itu sebabnya Dolly tidak merasa malu sama sekali dengan kondisi kakaknya dan bahkan dengan senang hati menawarkannya untuk tinggal bersama, lebih lama.
Namun Fern tidak bisa menetap. Ia seorang nomad dan tempatnya bukan di rumah. Tawaran untuk tinggal di rumah tidak hanya datang dari Dolly, tapi juga dari seseorang bernama Dave, seorang nomad seperti dirinya yang pada satu titik memutuskan untuk “hijrah” sebagai penghuni rumah.
Fern dan Dave pertama kali bertemu di event RTR ketika keduanya terlibat barter di lapak barang bekas. Keduanya kemudian dipertemukan kembali di beberapa kesempatan secara tak sengaja dan menjalin hubungan pertemanan yang terbilang cukup dekat. Keduanya sempat mengambil kerja sambilan bareng di beberapa tempat. Tidak dipungkiri di antara keduanya memang sedikit terselip benih asmara, terutama berasal dari Dave yang beberapa kali menampakkan bentuk perhatian khusus kepada Fern.
Pada satu titik, Dave memutuskan untuk meninggalkan kehidupan sebagai seorang nomad. Pemicunya adalah kelahiran cucu pertama dari anak laki-laki yang hubungan dengannya selalu merenggang. Dave diminta untuk tinggal di rumah anak laki-lakinya itu agar bisa menjaga cucunya. Bagi Dave, ajakan tersebut merupakan kesempatan kedua untuk menebus “dosa” masa lalunya di mana ia kerap pergi meninggalkan keluarganya. Kehadiran sang cucu dirasakan Dave sebagai anugerah yang membawanya pulang dan mengikatnya kembali dengan rumah.
Maka Dave pun mengundang Fern untuk datang ke rumah anaknya. Dalam sebuah momen semi-privat, Dave bahkan mengajak Fern untuk tinggal bersamanya di sana. Namun Fern tidak bisa membohongi hatinya. Ia kesulitan tidur di atas kasur yang disediakan khusus untuknya di kamar tamu, dan di tengah malam ia lebih memilih beranjak tidur di dalam van-nya yang walaupun sempit tapi bisa membuatnya tidur lebih nyaman. Rasa nyaman yang didapatkan Fern di dalam van bututnya itu turut menganalogikan tambatan hati Fern terhadap kehidupan jalanannya yang secara tidak langsung memvalidasi komitmen cintanya kepada sang almarhum suami.
Disadari atau tidak, kehidupan nomaden yang dijalankan Fern memang seolah mewakili perjalanan spiritualnya dalam menelaah perasaan cintanya terhadap almarhum suami. Rumah bagi Fern bukan hanya perihal hidup menetap di dalam sebuah bangunan, tapi yang lebih penting lagi adalah tentang dengan siapa ia berbagi hidup serta tujuan-tujuan besar yang mendasarinya. Tawaran tinggal di rumah bersama Dave bisa jadi dirasakan Fern sebagai “godaan” untuk pindah ke lain hati, “godaan” untuk move on. Masalahnya adalah Fern pun ternyata belum siap untuk move on karena perenungannya terhadap kepergian suaminya itu juga masih belum tuntas. Ia masih bingung memaknai kesendiriannya, memaknai bentuk perasaan yang merasuki hati kecilnya berkali-kali.  
Seorang turis lokal yang sempat Fern temui saat sedang magang sebagai kru di Taman Nasional Badlands pernah menuturkan tentang makna di balik cincin pernikahan yang dikenakan Fern, “That ring is a circle. And it never ends. And that means that your love never ends”. Pernyataan yang tentu saja diamini sepenuh hati oleh Fern. Namun, sebenarnya bukan pengakuan cinta yang ia cari. Lebih dari itu, yang ia butuhkan adalah definisi baru akan relasinya dengan sang suami, pemaknaan terhadap segala memori dan emosi dari orang yang sudah tidak bisa lagi mendampinginya di dunia.  
Pertemuan dan perkenalannya dengan para nomad jelas telah memberikan Fern identitas baru terkait eksistensi dirinya. Dengan menjadi nomad Fern berarti tidak perlu menciptakan ikatan baru terhadap tempat, orang-orang, atau suasana tertentu yang ada di sekitarnya. Ia terbebas dari semua itu; ia bisa mendatangi atau meninggalkan suatu tempat kapan pun ia mau, ia membiarkan orang-orang datang dan pergi tanpa harus menunggu dirinya, ia bisa berpindah dari satu keadaan ke keadaan lain tanpa harus terbebani oleh keraguan.
Namun, untuk berdamai dengan kepergian suaminya Fern butuh lebih dari sekadar keyakinan bahwa almarhum suaminya itu akan tetap menjaganya di mana pun berada. Ia butuh pemaknaan lain, perspektif baru yang tidak hanya memberinya kekuatan asa tetapi juga kelapangan dada untuk mengikhlaskan situasi. Pada acara RTR tahun berikutnya, Fern mendapatkan pelajaran berharga dari Bob Wells yang membuka visi baru terkait kehidupan.  
Bob: “One of the things I love most about this life is that there’s no final goodbye. You know, I’ve met hundreds of people out here and I don’t ever say a final goodbye. I always just say, ‘I’ll see you down the road.’ And I do. Whether it’s a month, or a year, or sometimes years, I see them again. And I can look down the road and I can be certain in my heart that I’ll see my son again. You’ll see Bo again. And you can remember your lives together then.”
Bagi Bob, setiap manusia pada hakikatnya adalah nomad yang tak pernah menetap di suatu tempat. Kematian dipandang sebagai proses perpindahan tempat dari dunia ke alam lain, alam yang kelak juga akan didatangi oleh mereka yang hidup. Maka, tidak pernah ada kata perpisahan, melainkan selalu ada pertemuan kembali di tempat dan waktu yang tak pernah bisa kita tebak. Kemungkinan tersebut akan selalu ada, sehingga bagi Bob ucapan “Sampai jumpa lagi” bukan hanya sapaan khas milik kaum nomad tetapi juga seluruh umat manusia di dunia.
Dengan begitu, Fern setidaknya bisa melihat bahwa fase yang sedang dijajaki dalam hidupnya ini merupakan kesempatan besar untuk memperbarui dirinya kembali. Dia setidaknya bisa bersyukur karena tidak harus menghabiskan masa tuanya sebatang kara dengan cara menetap di suatu tempat yang lama-lama mengungkung dirinya dalam keterbatasan yang jelas. Dia setidaknya masih bisa bergerak maju meninggalkan kenangan lama dan merangkai kenangan baru yang akan turut dibawanya sampai akhir (“I maybe spent too much of my life just remembering”). Setidaknya Fern bisa mempersiapkan diri sebelum reuni bersama almarhum suaminya dengan sekumpulan pengalaman dan kenangan untuk dikisahkan. Karena pada akhirnya, badan memang bisa berpindah-pindah tetapi memorilah yang akan terus menetap.
Tumblr media
oleh: Ikra Amesta
0 notes
sinemeter · 2 years ago
Text
first cow
Tumblr media
“Why is a baker like a beggar? They both need bread.”
Seekor sapi betina didatangkan ke Oregon lewat jalur air. Tahun 1820-an tempat itu masih seperti hutan dengan tanah berlumpur dan udara yang lembab. Namun peradabannya sedang bergeliat, pelan-pelan merangkak coba meraih “mimpi Amerika”.
Gubuk-gubuk kayu berdiri agak berjauhan. Beberapa terletak di dekat sungai, tapi ada pula yang sengaja mengasingkan diri jauh di dalam belantara. Orang-orang memanggul bakul, menggarap kebun, mengumpulkan kayu bakar, mengolah masakan, atau berburu tupai yang biasa dilakukan dengan memasang jebakan batu di dekat pohon-pohon rindang. Ada pasar tempat orang-orang berkumpul, kebanyakan mereka berasal dari luar Oregon, di mana ramai terjadi interaksi dan transaksi untuk berbagai hasil olahan alam, hasil kerajinan, dan hasil panen. Ada pula kedai tempat minum-minum yang sering disambangi pria-pria yang ingin bermain kartu, bersenda gurau, sampai berkelahi tangan kosong.
“Everyone is here. We all want that soft gold,” kata King-Lu (Orion Lee), seorang imigran dari negeri Cina yang di Oregon sempat dikejar-kejar oleh para saudagar Rusia. Di Oregon memang tidak ada batas yang jelas antara pribumi dan pendatang, keduanya berbaur di tanah yang masih sama sekali asing bagi keduanya. Tanah ini masih belum tergarap banyak, masih tampak “purba”, dan karenanya mengandung banyak potensi yang bisa digali lebih dalam lagi. Ada “emas” yang tersimpan di sini, memang bukan secara harfiah, tapi seorang Cina yang rela menempuh jarak yang sangat jauh dan melintasi samudra demi sampai ke antah-berantah ini tentu mengendus “harta karun” tersembunyi.
King-Lu: “I see something in this land I haven’t seen before. Pretty much everywhere has been touched by now. But this is still new, more nameless things around here than you can shake an eel at.”
Cookie: “Doesn’t seem new to me, seems old.”
King-Lu: “Everything is old if you look at it that way. History isn’t here yet. It’s coming, but we got here early this time. Maybe this time, we can be ready for it. We can take it on our own terms.”
Peradaban memang sudah terbentuk di Oregon, tapi sejarah belum. Belum ada sesuatu atau momen yang bisa dikatakan sebagai sebuah permulaan. Belum ada peristiwa yang bisa membuat tempat itu bisa diingat. Belum ada peristiwa yang bisa membuat tempat itu diperhatikan. Bahkan, belum ada perisitiwa yang bisa membuat para penduduk di sana menyadari atau mendefinisikan identitas Oregon bagi mereka sendiri.
Oregon hanyalah sebuah area dalam peta Amerika Serikat, tidak lebih dari itu. Populasi berang-berangnya bahkan masih jauh lebih banyak daripada manusianya, sampai-sampai ada profesi yang khusus menangkap berang-berang di sana yang disebut trapper. Bentang alamnya masih asri. Setidaknya, manusia belum terpikir untuk merusaknya. Mereka belum terpikir untuk membuat sesuatu di sana. Belum terpikir untuk membuat sejarah yang bakal menandai langkah pertama modernitas di negeri berang-berang tersebut.  
Bagaimana Sejarah Bermula: Kedatangan
Konon, sapi pertama di tanah Oregon didatangkan dari San Francisco. Awalnya mereka berjumlah tiga ekor, satu keluarga lengkap: si jantan, si betina, dan si anak. Namun dalam perjalan si jantan dan si anak harus mati, menyisakan si betina yang datang sebatang kara ke daratan yang asing.
Sapi itu dipesan oleh Chief Factor (Toby Jones), seorang ekspatriat asal Inggris yang termasuk orang terkaya di Oregon. Rumahnya megah, dibangun dengan semen dan tembok, berikut keramik porselen dan jendela-jendela berkaca yang elok. Tentunya berkebalikan dengan mayoritas tempat tinggal orang-orang Oregon yang dibangun dengan kayu-kayu hutan dan berukuran seadanya. Posisinya sangat terhormat di kalangan warga Oregon, sangat elit, dan sangat berkuasa. Ia mendatangkan seekor hewan ternak yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh Oregon karena sapi juga termasuk binatang yang “terlalu elit” untuk hidup di tempat yang “tak terjamah” seperti ini. Namun para warga bisa maklum karena mereka tahu kalau Chief Factor setidaknya punya standar hidup yang berbeda dengan mereka (“Chief Factor wants milk in his tea. Like a proper English gentleman”).
Sapi pertama di Oregon tentu bisa dijadikan sebuah penanda sejarah. Warga-warga keturuanan Indian yang tinggal di bantaran sungai memandang dengan takjub ketika hewan berkulit kecoklatan itu diturunkan dari rakit lalu dituntun lewat tali di hidungnya memasuki belantara. Kemudian sapi itu diikat di pekarangan luas di belakang rumah Chief Factor, ia dikelilingi rerumputan hijau serta pepohonan rindang yang kadang dihinggapi burung hantu saat malam.
Akan tetapi orang-orang di Oregon urung menilai keberadaan sapi betina pertama itu sebagai aset yang penting. Manfaatnya tidak lebih penting daripada berang-berang yang bulunya bisa dikuliti lalu dijual sebagai komoditi fashion, atau juga tupai liar yang dagingnya bisa diolah jadi hidangan bakar atau berkuah. Bagi mereka, sapi hanyalah hewan eksotik yang susunya diperah khusus dijadikan pelengkap rasa dalam secangkir teh. Mereka bukan peminum teh, apalagi peminum susu, jadi sapi pertama di Oregon sama sekali tidak memberikan pengaruh sosial atau ekonomi yang penting. Rutinitas tetap berjalan seperti biasanya.
Namun, sekecil apa pun itu dampaknya, setiap kedatangan atau setiap hal yang pertama kali selalu membawa suatu kebaruan. Jika tidak bisa terlihat oleh mata, setidaknya kebaruan itu bisa muncul sebagai gagasan di dalam pikiran. Imajinasi, angan-angan, serta pengalaman adalah kombinasi yang pas untuk menerbitkan sebentuk gagasan yang berpotensi menandai momen sejarah dengan kebaruan.
Oregon dan Chief Factor mungkin masih terlalu naif memaknai dan memperlakukan susu sapi sebagai komplemen pemuas dahaga semata. Sementara di belahan dataran yang lain, susu sapi sudah bisa diolah sebagai bahan baku penghasil roti atau kue yang rasanya tentu berbeda dari roti atau kue biasanya. Oleh karena itulah, Cookie (John Magaro), seorang koki pengembara yang pernah belajar membuat roti di Boston, menanggapi kedatangan sapi pertama itu sebagai titik mula dari inovasi kuliner di Oregon yang tidak hanya berpotensi mengubah selera masyarakat di sana, tetapi juga berpotensi mendatangkan pundi-pundi uang ke kantongnya.  
Bagaimana Sejarah Bermula: Penemuan
Pada suatu siang yang mendung, Cookie dan King-Lu menggelar barang dagangannya di tengah pasar Oregon untuk yang pertama kali. Mereka menjajakan apa yang disebut oily cakes, roti ukuran sekepal yang digoreng garing dengan tepung, sesuatu yang baru mereka produksi, juga sesuatu yang baru bagi para warga Oregon.
Hari pertama yang dimaksudkan sebagai “uji coba pasar” itu ternyata berlangsung sukses. Tidak hanya dagangan mereka ludes dibeli, tapi juga laku dalam sekejap. Dimulai dari seorang warga yang membeli karena penasaran setelah menghirup aromanya, lalu tanpa bisa ditahan ia mengekspresikan rasa enaknya mengunyah kue tersebut yang langsung memancing orang-orang di sekitarnya untuk membelinya juga. Satu momen yang saling bergulir itu berlangsung dalam hitungan detik dan kue yang dijajakan, yang saat itu hanya berjumlah 8 buah, tentu langsung habis terjual.
Keesokan harinya, mereka kembali menjual kue di tempat yang sama dan kali ini beberapa calon pembeli sudah baris mengantri. Lagi-lagi dagangan mereka laku dalam sekejap. Begitu pula di hari-hari setelahnya dengan jumlah kue yang lebih banyak lagi, dan bahkan sampai pada satu titik satu orang hanya diperbolehkan membeli satu saja agar yang lain bisa kebagian.  
Para pelanggan tidak bisa menampik enaknya rasa kue tersebut, apalagi setelah diolesi madu dan ditaburi bubuk kayu manis. Rasa yang belum pernah ada sebelumnya di Oregon. King-Lu menyebutnya sebagai resep rahasia Cina kuno dan orang-orang pun percaya karena sejauh yang mereka ingat tak pernah lidah mereka mencicipi yang seenak itu.
Popularitas kue bikinan Cookie dan King-Lu sampai juga ke telinga Chief Factor yang pada suatu hari turun ke pasar demi mencicipi kue itu langsung. Setelah gigitan pertama, Chief Factor terbuai oleh rasa yang berpadu di lidahnya dan dengan senyum sumringah mengungkap, “I taste London in this cake”. Ia mengakui kehandalan Cookie, memujinya setinggi langit, lalu melayangkan janji untuk membeli kuenya lagi di kemudian hari.  
Apa yang tidak diketahui oleh Chief Factor dan warga Oregon yang lain adalah bahwa bahan baku utama dari kue enak tersebut adalah susu; tak lain adalah susu yang diperah diam-diam oleh Cookie dan King-Lu di tengah malam dari sapi milik Chief Factor.
Cookie sepertinya adalah satu-satunya warga Oregon yang tahu bahwa sapi pertama yang datang ke Oregon itu tidak hanya bisa menghasilkan susu untuk diminum, tetapi juga susu untuk diolah jadi makanan, kue, atau roti dengan rasa yang lebih enak dari yang ada. King-Lu mungkin satu-satunya warga Oregon yang melihat kesempatan bisnis besar di balik kedatangan sapi itu yang bisa dimanfaatkan untuk mengeruk profit (“I’ve heard a fortune is made on this”). Diawali dari celetukan Cookie yang merasa bosan dengan rasa roti di Oregon dan merasa bisa membuat yang lebih enak kalau ditambah susu, King-Lu pun menyambut dengan menggagas rencana nekat mencuri susu sapi milik Chief Factor saat semua orang masih terlelap. Paginya, susu yang dicuri itu pun sudah berubah jadi oily cakes yang diborong banyak orang di pasar.
Tumblr media
Maka setiap tengah malam keduanya mengendap-endap di hutan lalu masuk ke pekarangan rumah Chief Factor yang tidak dijaga, tempat di mana sapi betina itu diikat sendirian. King-Lu akan naik ke atas pohon untuk memonitor keadaan di sekitar sementara Cookie duduk merunduk di samping sapi, mengajak hewan memamah biak itu mengobrol dengan suara lembut sambil jemarinya menguras susu segar ke dalam baskom.
Si sapi tidak melakukan perlawanan, mungkin juga tidak ambil pusing dengan apa yang manusia lakukan terhadapnya. Ia juga tidak perlu repot-repot menjelaskan kepada Chief Factor kenapa susu yang diperoleh majikannya itu di pagi hari selalu sedikit. Ia tidak berteriak, melenguh, atau mengeluh karena ia tidak merasa dirugikan oleh urusan kepemilikan. Susunya bisa berguna dan dikonsumsi, dan itu sudah cukup baginya.
Tidak bisa ditampik bahwa oily cakes adalah sebuah penemuan baru yang menghidupkan Oregon. Bahkan bisa disebut juga sebagai sebuah fenomena mengingat banyaknya orang yang terpengaruh oleh kehadirannya yang sederhana itu. Sensasi kuliner yang bisa membuat para pria berebutan mengantri di depan lapak Cookie demi mencicipi kelezatan tak tertandingi dari sejak gigitan pertamanya. Maka jika fenomena sosial seperti itu bisa dicatat sebagai landmark dalam sejarah Oregon, inovasi hidangan Cookie adalah artefak penting tidak hanya secara rasa dan bentuk, tapi juga gagasan.
Gagasan utama Cookie dan King-Lu di balik oily cakes sebenarnya cemerlang. Mereka mendobrak persepsi umum tentang susu yang di Oregon masih dianggap sebagai bahan minuman, lalu “memperkenalkannya” dalam bentuk baru yang hanya bisa dikagumi orang awam. Mereka memperbarui selera masyarakat sekitar yang bukan tidak mungkin bakal jadi permulaan dari kemunculan kue-kue atau roti-roti baru lainnya di Oregon di kemudian hari. Mereka pun jeli melihat peluang yang tersedia dan berani menyambutnya dengan cepat. Di luar penilaian terhadap tindakan mereka sebagai aksi yang melanggar hukum, mereka adalah entrepreneur yang menerapkan prinsip utama ekonomi dalam melakukan bisnis: menggunakan modal sekecil-kecilnya, meraih keuntungan sebesar-besarnya.  
Bukan hanya kondisi ekonomi mereka yang terangkat, kesuksesan bisnis oily cakes pun menaikkan derajat sosial mereka. Chief Factor mengundang mereka ke rumahnya, meminta memasakkan clafoutis, memperkenalkan kepada tamu terhormatnya, dan bahkan mengajak mereka melihat sapi ternaknya dari dekat, secara resmi.
Namun, mereka juga tidak bisa mengelak dari rasa takut bahwa semua kesuksesan itu akan terbongkar juga keborokannya, terutama oleh Chief Factor, pihak yang paling kecolongan di balik segala perubahan ini.
King-Lu: “This is a dangerous game we’re playing here, and Chief Factor has a delicate palate. He’ll taste his milk in there eventually.”
Cookie: “We can’t say no. He’d be suspicious.”
King-Lu: “Where does he think the milk is coming from?”
Cookie: “Some people can’t imagine being stolen from. Too strong.”
King-Lu: “Let’s hope he’s one of those.”
Sapi yang pertama kali datang ke Oregon “ditemukan” kembali esensinya oleh sepasang manusia yang sedang mengadu nasib demi menggapai mimpi masing-masing. Sepasang manusia yang telah melihat bahwa laju peradaban hanya menyisakan mereka dengan dua pilihan: digilas atau menggilas zaman. Maka sebagai dua orang yang berjuang sebagai pengembara di tanah-tanah yang belum dijanjikan, mereka mengejar segala yang telah disajikan kehidupan di hadapan mata, walaupun hanya sisa, walaupun harus lewat mencuri.
Bagaimana Sejarah Bermula: Pencurian
Sejarah selalu dituliskan oleh pemenang. Lebih jauh lagi, sejarah adalah milik mereka yang paling banyak mencuri; mencuri kisah, mencuri rasa, mencuri kekuasaan, mencuri eksistensi, mencuri hal-hal yang bisa membuat mereka tercatat dengan gemilang dalam sejarah. Entah sebagai pembaharu, pelopor, pendobrak, pejuang, pendiri, penguasa, atau mungkin perusak dan penjahat.
Pencurian yang dilakukan oleh Cookie dan King-Lu terhadap susu sapi yang bukan milik mereka memang menciptakan perubahan tersendiri di lingkungan tempat mereka tinggal. Lewat kue yang mereka produksi dan jual, tanpa direncanakan mereka telah berhasil membawa angin segar dalam dinamika kehidupan masyarakat Oregon yang selama ini selera kulinernya memang payah. Namun, yang unik adalah pencurian tersebut baru bisa menciptakan sejarah justru setelah semuanya terbongkar. Karena bagaimanapun juga, pencurian yang tidak terungkap akan selamanya jadi rahasia tersembunyi, tanpa efek kejut, tanpa efek perubahan yang berarti.
Gara-gara sebuah keteledoran dalam satu sesi pemerahan susu sapi di tengah malam, ketika King-Lu yang sedang bertengger di atas pohon jatuh ke tanah dengan suara berisik yang membangunkan orang-orang di dalam rumah Chief Factor. Cookie dan King-Lu berhasil kabur, tapi ketika Chief Factor menemukan kursi kayu pendek yang tertinggal di samping tubuh sapi peliharaannya, tidak butuh waktu lama untuknya menuding kedua penjual kue baru itu sebagai pencuri susunya selama ini. Tak ayal, keduanya pun diburu sebagai buronan
Ada dua hal yang bisa dicatat dalam hal ini.
Pertama adalah tentang “pencurian bersejarah” itu sendiri. Efek yang akan ditimbulkan dari pencurian tersebut, walaupun bersifat hipotetis, tentu akan menciptakan pemaknaan baru terhadap Oregon dari para warganya. Mereka bisa saja melihat sapi pertama yang menjejak Oregon itu bukan lagi sebagai komoditi hiasan milik kaum kelas atas (dalam hal ini, susu dalam secangkir teh Inggris), tapi tenyata juga telah jadi produk yang bisa dimanfaatkan dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan dengan cara yang sangat positif (dalam hal ini, oily cakes yang dijual bebas di pasar).  
Pergeseran pemaknaan tersebut pastinya bakal mempengaruhi aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, dsb. yang ada di Oregon. Dari segi sosial, bukan tidak mungkin mayoritas warga Oregon akan menganggap aksi Cookie dan King-Lu itu sebagai sebentuk heroisme ala Robin Hood, di mana mereka mencuri “harta” milik orang kaya untuk “dibagikan” kepada orang banyak. Warga mungkin akan paham dengan kemarahan Chief Factor, tapi di sisi lain insiden itu juga akan menguatkan kesadaran kelas di antara mereka bahwa tidak selamanya kaum pemilik modal punya kepentingan yang sama dengan mereka.  
Dari segi ekonomi, fenomena oily cakes bukan tidak mungkin akan memunculkan pelaku-pelaku bisnis baru yang tertarik menjajakan produk sejenis. Mungkin akan muncul pula para investor yang memfasilitasi dengan toko-toko, bahkan pabrik-pabrik, lengkap dengan sekumpulan sapi yang dikirim ke Oregon, khusus untuk membangun bisnis kue dan roti. Implikasinya akan berpengaruh juga ke segi budaya, di mana orang-orang tidak lagi tertarik berburu berang-berang tapi mulai menekuni keterampilan mengolah kue dan roti.
Yang kedua adalah tentang perjuangan kelas dalam rangka mengejar “mimpi Amerika”. Pencurian yang dilakukan oleh Cookie dan King-Lu memang tidak sekadar demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Keduanya punya mimpi, mimpi yang sangat besar; Cookie ingin membuka hotel sendiri di San Francisco, sementara King-Lu ingin memiliki lahan perkebunan yang luas yang bisa memasok banyak bahan makanan ke segala penjuru Amerika, bahkan mungkin sampai ke Cina juga. Tak ada manusia yang bisa mengelakkan mimpi, apalagi yang besar seperti itu, untuk masuk ke dalam kepala mereka. Namun, setiap perwujudan dari mimpi apa pun tentunya ditentukan dari langkah atau perjuangan yang dilakukan secara riil.
Oleh karena itulah, mengingat “besarnya” mimpi mereka yang harus berpadu dengan “kecilnya” kondisi ekonomi mereka, tak ada jalan lain untuk mewujudkannya selain dengan cara kriminal, satu-satunya cara yang tampaknya paling memungkinkan untuk dilakukan.   
King-Lu: “No way for a poor man to start. You need capital, or you need some kind or miracle.”
Cookie: “You need leverage.”
King-Lu: “Or a crime.”
Dalam kacamata yang lebih jelas, Cookie dan King-Lu adalah “kekuatan alam” yang memang secara alamiah bergerak menggapai tujuan. Mereka tidak punya hasrat untuk menciptakan sejarah, tidak punya keinginan untuk mengubah sistem, tapi hanya ingin memenuhi nilai kemulian masing-masing. Sapi yang datang itu adalah alat, kendaraan, skema yang tanpa direncanakan membawa dua anak manusia menyambut segala kemungkinan besar yang dilimpahkan oleh alam ke dalam kepala mereka. Setidaknya mereka tahu, bahwa manusia tanpa impian tidak mungkin punya sesuatu yang bisa diperjuangkan; tanpa sesuatu yang bisa diperjuangkan, manusia tidak akan punya sejarah; dan tanpa sejarah, manusia  tidak punya kehidupan. 
Tumblr media
oleh: Ikra Amesta
0 notes
sinemeter · 3 years ago
Text
another round
Tumblr media
“I’d like for us to drink to the point of ignition and beyond. I’m talking about the ultimate catharsis. Total oblivion.”
Empat pria paruh baya sama-sama membuktikan kalau alkohol bisa menyelamatkan mereka dari kebosanan. Hidup memang jadi menarik lagi, sampai kemudian realitas membawa mereka ke ambang kesadaran antara menikmati atau membohongi diri.
Semua bermula dari pesta ulang tahun kecil-kecilan Nikolaj (Magnus Millang) yang ke-40. Ia mengundang ketiga temannya─yang juga koleganya sebagai guru di sebuah sekolah menengah atas─untuk makan malam di sebuah restoran, lengkap dengan sajian wine, vodka, dan kaviar sebagai hidangan perayaan. Ketiga temannya itu adalah Martin (Mads Mikkelsen), guru mata pelajaran sejarah, Tommy si guru olahraga, dan Peter yang mengajar seni musik. Nikolaj sendiri adalah guru mata pelajaran psikologi.
Apa yang diharapkan dari perayaan ulang tahun bapak-bapak? Yang terjadi di sana hanya obrolan membosankan tentang pekerjaan, keseharian, rumah tangga, juga beberapa lelucon garing yang hanya bisa menghibur kalangan mereka sendiri. Kalaupun ada yang “menarik” atau yang sifatnya intens secara emosional, paling topik obrolan tentang kekecewaan atau permasalahan hidup yang sedang dialami. Sama sekali bukan topik yang bisa dirayakan di pesta ulang tahun. Seperti yang dilakukan oleh Martin ketika ia tiba-tiba mengungkapkan tentang kesuntukan dalam hidupnya (“I don’t do much. I don’t see many people”) yang membuatnya tidak maksimal dalam mengajar, juga hubungan pernikahan dengan istrinya yang sedang berada di fase dingin/datar, sambil tumpah air matanya.      
Tidak ada yang menarik. Tidak ada yang bisa dikenang sebagai momen senang-senang dalam sewajarnya suatu pesta perayaan.
Sampai kemudian, di tengah-tengah obrolan Nikolaj memaparkan sebuah hipotesis unik dari seorang psikiater Norwegia, Finn Skårderud, dalam suatu studi saintifik yang dirumuskan puluhan tahun lalu.
Nikolaj: “There's this Norwegian philosopher and psychiatrist, Finn Skårderud. He thinks it’s sensible to drink. He claims humans are born with blood alcohol content that’s 0,05% too low.”
Tommy: “Just to be clear… So 0,05%... How much is 0.05%?”
Nikolaj: “1-2 glasses of wine, and you should maintain it at that level.”
Tommy: “So, you should just keep drinking?”
Nikolaj: “Yes. His claim is that when you have a 0,05% BAC, you’re more relaxed and poised and musical and open. More courageous in general.”
Intinya, manusia dilahirkan dalam kondisi defisit 0,05% kandungan alkohol dalam darah (blood alcohol content atau BAC), sehingga setiap orang dianjurkan menambal kekurangan tersebut dengan meminum alkohol dalam kadar yang pas agar bisa tercapai kondisi manusia yang “utuh/sempurna”.
Gagasan tersebut disambut yang lain hanya sebagai informasi unik, tidak lebih. Walaupun Nikolaj mengutarakannya dalam nada yang agak persuasif tapi tentunya ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan oleh yang lain sebelum menyambut usulan itu untuk dipraktekkan, apalagi pihak sekolah baru saja menetapkan aturan zero-alcohol policy sebagai reaksi atas perilaku beberapa siswa yang kedapatan mabuk dan membuat kenakalan di dalam subway. Sebagai guru, tentu mereka dituntut menjadi teladan terkait sikap tanggung jawab dalam mengonsumsi alkohol.
Tapi Martin diam-diam tergoda. Esok paginya, sebelum masuk ke kelas, ia menyempatkan diri menenggak alkohol di balik bilik toilet sekolah. Dengan alat penguji napas (breathalyzer) ia memastikan kadar alkohol yang diminumnya tepat di angka 0,05%. Botol minuman keras lalu dimasukkan ke dalam tas, kemudian Martin masuk ke dalam kelas, berhadapan dengan murid-murid yang menganggapnya guru membosankan, dan seraya cairan alkohol bereaksi di dalam darah ia pun mengajar sebagai orang yang sama sekali baru.
Kenekatan Martin memang cukup beralasan. Sebelumnya ia sempat “disidang” ramai-ramai di dalam kelas oleh beberapa murid plus perwakilan orangtua yang menuding gaya mengajar Martin menghambat proses studi di dalam kelas yang memang sedang bersiap menghadapi ujian kelulusan. Para murid menilai Martin tidak niat mengajar dan membuat mereka bingung karena materi sejarah yang disampaikan tidak runut, cenderung mengikuti mood Martin, bukan kurikulum. Martin sendiri sebenarnya menyadari kalau semangat mengajarnya memang sedang turun. Itu terkait pula dengan kondisi rumah tangganya yang dirasa kehilangan percikan.    
Mengajar di bawah pengaruh alkohol, meski hanya 0,05%, ternyata meringankan banyak beban di pundak Martin. Ia mengakhiri kelas dengan kepala agak pusing, ragu untuk menyetir mobilnya sendiri, lalu menemui Nikolaj dan minta diantarkan pulang. Ia mengakui aksinya kepada Nikolaj. Temannya itu terperanjat, tapi hanya sesaat, karena selanjutnya ia merayakan aksi Martin sebagai undangan terbuka kepada teman yang lain untuk mewarnai keseharian mereka dengan asupan alkohol (“Martin is a brave man who’s decided he wants to do something with his life!”).
Undangan tersebut disambut. Keempat guru itu, Martin, Nikolaj, Tommy, dan Peter, akhirnya sepakat untuk menguji coba hipotesis Skårderud untuk meningkatkan performa mengajar mereka di sekolah. Dibalut dalam konteks eksperimen sosial yang mereka praktekkan dengan tujuan “collecting evidence of psychological-verbal motor and psycho-rhetorical effects and study of increased social and professional performance”, keempatnya menyetujui aturan main, yaitu hanya minum alkohol saat jam kerja dan tidak minum di atas pukul 8 malam atau selama akhir pekan. Tentunya dalam kadar yang tidak melebihi 0,05% BAC.
Dan tidak butuh waktu lama bagi eksperimen itu untuk menghasilkan efek positif, di mana keempatnya bisa kembali menikmati profesinya sebagai guru sekaligus menikmati eksistensi mereka sebagai pria paruh baya. Menikmati kehidupan yang sebelumnya mereka pikir sudah tidak lagi “memabukkan”.
Kehidupan Adalah Adiksi yang Sesungguhnya
Secara berangsur-angsur eksperimen tersebut berjalan sesuai harapan. Keempat guru itu bisa menjalani kesehariannya jadi lebih baik, terutama dalam hal karier ketika mereka merasa tiba-tiba berubah jadi sosok guru yang lebih menyenangkan, lebih bersemangat, dan lebih disukai oleh murid-muridnya.
Martin merasakan efek perubahan tersebut secara lebih drastis. Kelasnya jadi lebih riuh, ramai oleh murid-murid yang berebutan menjawab pertanyaan atau meyampaikan gagasan. Semangat mereka merupakan bentuk respons atas gaya mengajar Martin yang jauh lebih dinamis dan hidup. Tidak lagi hanya duduk di depan kelas membacakan isi buku teks dengan kaku, kali ini Martin berdiri menyampaikan tebak-tebakan tentang beberapa tokoh penting sejarah, penuh senyum, berlaku dalam posisi yang setara dengan murid-muridnya.
Bukan hanya itu, suasana rumah tangga Martin pun jadi terasa lebih hangat. Ia bisa enak lagi mengobrol dengan istrinya sambil merencanakan liburan yang sudah lama tidak dilakukan keluarganya. Ia mengajak kedua anaknya berkemah di hutan yang dicapai lewat kano, kegiatan yang sudah lama sekali mereka abaikan dalam beberapa tahun terakhir. Martin merasakan semangat yang bergelora di dalam dirinya, yang mengarahkannya untuk bisa kembali merasa antusias menjalankan peran sebagai ayah dan suami dalam keluarga kecilnya.
Beberapa “kemenangan kecil” itulah yang kemudian mendorong Martin untuk melanjutkan eksperimen ke tahap selanjutnya. Ia siap mendapat kebaikan-kebaikan lain dari perubahan karakternya. Ia siap menenggak lebih banyak asupan alkohol lagi demi mengunci posisi mood-nya dalam akselerasi yang optimal. Ketiga temannya pun setuju karena mereka juga merasakan perubahan positif yang sama dalam hidup masing-masing.  
Martin: “I haven’t felt this good in ages. Something’s happening. Even when I’m sober. I think there’s more to this. Maybe even going a bit higher. I haven’t been teaching this well in ages. I just know there’s more to it.”
Nikolaj: “Something more unreserved?”
Martin: “Yes. We don’t know if we’ll react the same way to the same BAC.”
Nikolaj: “Peter, you love Klaus Heerfordt. He was a very gifted pianist. He could only play at the exact point of being neither drunk nor sober. And he was absolutely brilliant. And you want to take this to the Tchaikovsky level?”
Martin: “Yes. But I don’t know if we’ll all react the same way to the same BAC.”
Tommy: “Let’s have a drink to find out.”
Maka dalam eksperimen kedua ini setiap orang dibebaskan mengatur BAC-nya sendiri-sendiri. Tetap tidak terlalu banyak, hanya disesuaikan sampai masing-masing merasa cukup kondusif untuk tetap beraktivitas harian, tentu dalam suasana hati yang penuh semangat.
Namun, yang jadi masalah adalah bila tanpa ada batas yang disepakati, bisakah mereka, atau manusia, menentukan sebanyak apa kesenangan yang berhak mereka terima?
Tumblr media
Nyatanya, dengan keberhasilan eksperimen yang kedua, keempat pria itu akhirnya memutuskan untuk semakin meningkatkan porsi alkoholnya sampai ke jumlah yang paling memabukkan. Motivasinya sudah bergeser. Dari yang awalnya untuk memberikan tambahan energi dalam mengatasi keseharian yang menjemukan, kini beralih untuk memabukkan diri sepenuhnya. Eksperimen yang mereka ambil sekarang adalah meracik minuman bernama Sazerac (5 cl bourbon, 1 cl absinthe), berkadar alkohol tinggi, dan sanggup membawa kesadaran mereka ke awang-awang.
Lihatlah bagaimana keempat pria dewasa itu berkeliling kota sambil meracau dan mengacau. Berjalan sempoyongan, berjoget di atas meja bar, berteriak-teriak dan tertawa-tawa untuk alasan yang tak jelas, berguling-guling tak tahu malu di lantai mini market, bahkan sampai menceburkan diri ke pinggir laut.
Ujungnya, mereka terbentur oleh fakta bahwa menjadi pemabuk berarti menghilangkan responsibilitas dan kendali terhadap seluk kehidupan yang tengah mereka geluti. Pihak manajemen sekolah mulai mencurigai ada guru yang diam-diam meminum alkohol saat jam pelajaran sehingga mereka mencanangkan konsekuensi tegas kepada siapa saja yang ketahuan melakukannya. Sementara Martin yang tertangkap basah tertidur di teras rumah tetangganya semalaman gara-gara mabuk berat, mendapat penghakiman yang tegas dari istrinya yang kecewa; yang merasa dikhianati karena perubahan sikap Martin akhir-akhir ini ternyata dipengaruhi alkohol. Yang lebih utama lagi, ia kecewa atas “absennya” Martin di tengah-tengah keluarga mereka selama ini.  
Anika: “What’s going on, Martin? I don’t recognize you anymore.”
Martin: “I haven’t recognized you for a long time. We don’t talk anymore. 10 minutes on a vacation, and then you’re gone again.”
Anika: “You’ve been shutting me out for years. I couldn’t care less if you drink with your friends. That’s not the point. This entire country drinks like maniacs anyway. Don’t you see that our problem is that you’re never really present? You’re completely invisible! And when you have fun, it’s with someone other than me.”
Pernikahan Martin dan istrinya pun bubar. Tak ada yang bisa dilakukan Martin lagi atas rumah tangganya. Ia menyadari, dengan atau tanpa alkohol, keluarganya itu memang sudah pecah karena Martin sendiri merasa sudah tidak bisa lagi menjadi bagian di dalamnya.
Lalu, apa sebenarnya masalah yang dihadapi Martin dan koleganya? Benarkah itu semua semata-mata karena defisit 0,05% alkohol dalam darah yang menyebabkan kehidupan mereka dirasa tak lagi menarik? Bagian apa dalam kehidupan yang membuat mereka merasa kurang sebagai seorang pria, atau bahkan sebagai manusia?
Mungkin, biang masalah yang sebenarnya adalah waktu. Waktu tidak pernah menunggu siapa pun, selalu berjalan secara konstan, dan melewati segala yang tertinggal tanpa pernah memberikan kesempatan kedua. Penebusan terhadap waktu tidak akan pernah mengambil tindakan memutar ulang waktu yang telah terlewat. Seseorang yang sudah tua tidak bisa membalikkan waktu ke masa mudanya lagi sekuat apa pun ia menginginkannya─atau menyesalinya. Solusi terdekat dan termudah untuk mengatasinya adalah dengan mengabaikannya, masuk ke dalam dimensi lain yang tak tersentuh masalah-masalah real, lalu menjadi sosok baru yang sama sekali melepaskan masalah-masalah berat yang sedang dipangku tersebut.
Alkohol sanggup melakukan itu semua. Mengurai kepribadian seseorang lalu membongkar-pasang ceceran-cecerannya itu dalam formasi yang lebih “ideal” agar bisa menikmati hal-hal yang luput, walaupun hanya sesaat.
Namun, apa yang sepertinya dialami Martin dan kolega adalah kecanduan terhadap kehidupan itu sendiri. Mereka menyadari bahwa kehidupan menyediakan banyak sekali opsi cara hidup bagi manusia, sehingga ketika kesuntukan melanda yang dicari kemudian adalah cara alternatif yang bisa dilakoni untuk bisa membuat segalanya lebih menyenangkan. Mereka tergoda untuk menjalani hidup sebagai orang atau pribadi yang lain secara instan karena itu memang memungkinkan dilakukan, bukan mencari dan memperbaiki akar permasalahan yang menetap dalam diri masing-masing.
Inilah mungkin yang disebut dengan krisis paruh baya, semacam “kutukan” yang dialami seseorang karena terjebak dalam nostalgia masa muda dan terdorong untuk mewujudkan kembali energinya di masa yang sudah tidak lagi muda. Alkohol memang sangat membantu menciptakan ilusi tersebut, menerbitkan kembali semangat yang hilang dalam jiwa bersamaan dengan laju aliran darah yang melesat lebih cepat dari biasanya. Namun kutukan itu ternyata lebih kuat karena datang berboncengan dengan laju waktu yang tak bisa ditawar-tawar, sehingga sejatinya Martin dan kolega hanya mencicipi pelampiasan sesaat yang justru memanipulasi diri mereka sendiri, bukan hidup mereka.
“The world is never as you expect,” ujar Martin suatu kali saat sedang mengajar sejarah. Lebih tepat lagi kalau kalimat itu ditujukan kepada dirinya sendiri, yang agaknya sulit menerima kenyataan bahwa “masa mudanya” telah lewat. Suatu masa ketika ia masih bugar menarikan balet jazz, ketika ia dipandang oleh rekan-rekan guru yang lain sebagai kandidat paling cemerlang untuk melanjutkan Ph.D., ketika ia masih berdandan layaknya seorang punk dan berkeliaran di jalanan tanpa rasa takut. Ketika dikenang lagi, semua itu hanya bisa memantik linangan air mata penyesalan yang membuktikan bahwa dirinya memang belum siap menjalani peran baru yang dilimpahkan waktu kepadanya.  
Sayangnya Martin bukanlah satu-satunya orang yang mengalami kenyataan seperti demikian. Ada jutaan atau bahkan milyaran orang di dunia ini yang sedang atau pernah mengalaminya. Secara alamiah, krisis paruh baya memang tidak bisa terhindarkan kedatangannya. Di sisi lain, secara manusiawi, keinginan seseorang untuk bisa membalikkan waktu juga sulit dihapuskan, bahkan sampai kapan pun. Maka ketika dua hal yang alamiah dan manusiawi ini saling dipertemukan sebagai dua kutub yang saling berkontradiksi dalam diri individu, bisa dibilang, hasilnya adalah dinamika kehidupan. Ada masalah, ada pencarian solusi, dan setiap solusi pasti memunculkan masalah yang baru. Selalu seperti itu.
Jika tanpa alkohol, mungkin cara terbaik untuk mengimbangi waktu dan mengakali beban dari setiap detik yang berdetak adalah dengan melepaskan diri sepenuhnya kepada ritme kehidupan lewat gerak tarian yang memabukkan.  
Tumblr media
oleh: Ikra Amesta
0 notes
sinemeter · 3 years ago
Text
martin eden
Tumblr media
“I decided that I want to be like you. Speak like you, think like you.”
Setelah sekian laut diarungi, sekian pekerjaan kasar dilakoni, Martin Eden sampai pada satu titik pertemuan nasib yang membuatnya bercita-cita jadi seorang penulis. Bahkan ketika banyak cerita pendeknya diabaikan penerbit, keinginannya masih tetap teguh.
Titik temu nasibnya itu terjadi pada suatu pagi ketika Martin Eden (Luca Marinelli) terbangun di geladak kapal gara-gara suara ribut-ribut tak jauh di pinggir dermaga. Ia sehabis memadu kasih dengan seorang gadis lokal yang mengajaknya berdansa di sebuah bar. Gadis itu menghilang begitu Martin bangun, dan bersamaan dengan keributan dua orang yang sedang bertengkar itu ia pun merasa harus melibatkan diri ke sana demi melampiaskan kekesalannya ditinggal seorang diri.
Pertengkaran itu sebenarnya berat sebelah, dan lebih mirip seperti kemurkaan seseorang yang baru kemalingan lalu menghakimi si pelaku tanpa jeda. Martin tidak berusaha melerai tapi meminta si pemukul untuk menyudahi aksinya karena suara marah-marahnya itu sangat mengganggu. Namun karena tidak digubris Martin pun menghampiri si pemukul dengan sangat emosi lalu melayangkan bogem mentah ke mukanya, dan dengan serta-merta membebaskan si pesakitan dari persekusi.
Beruntung bagi Martin karena orang yang diselamatkannya itu adalah anak keluarga kaya di Naples. Sebagai rasa terima kasih ia pun diundang datang ke rumah keluarganya yang megah─keluarga Orsini namanya─untuk makan siang bersama.    
Di depan gerbang rumah tersebut Martin sempat ragu-ragu saat hendak masuk ke dalam. Belum pernah selama hidupnya ia masuk ke rumah orang kaya dan untuk sesaat ia merasa seolah-olah sedang berhadapan dengan pulau asing yang tak mungkin ia jamah. Begitu berada di dalam, kekagumannya seakan tak terbendung dan mewujud sebagai rasa penasaran yang polos. Dinaungi arsitektur bangunan bergaya kastil, dengan lukisan-lukisan barang antik, dan furnitur estetis yang mendekorasi ruangan, ia mencoba bersikap tenang sambil tetap menganalisis sekitarnya.
Ia tertarik dengan sebuah lukisan yang terpajang di sebuah ruangan perpustakaan pribadi karena ia bisa melihatnya langsung dari jarak dekat dan menangkap detail goresan kuasnya yang serupa bercak. Ia juga tertarik dengan buku puisi Charles Baudelaire yang terserak di sana dan mengintip beberapa bait yang menurutnya luar biasa. Lalu di atas itu semua, ia tertarik dengan seorang gadis yang datang menyambutnya di sana, putri sulung keluarga Orsini, Elena (Jessica Cressy), yang secara singkat mengajarinya cara melafalkan nama Baudelaire dalam aksen Prancis dengan benar.
Itu sebabnya sepulang dari rumah Orsini Martin melangkah pulang ke pelabuhan dengan wajah berseri-seri, bahkan temannya yang paling kasar dan tidak peka sekalipun bisa menebak dengan tepat bahwa perubahan mood Martin yang langka itu pasti gara-gara jatuh cinta.  
Kapal Penjelajah Dunia Baru Bernama Sastra
Setelah pertemuan di rumah keluarga Orsini itu Martin memborong banyak buku dari toko buku bekas pinggiran kota. Setiap malam ia melahap setiap halaman dengan penuh antusias seolah-olah ia sedang mempelajari peta pulau harta karun (“I read like an insatiable fisherman”). Ia tenggelam dalam setiap genre yang ia temukan; puisi, novel, sejarah, bahkan filsafat tak ketinggalan ia baca. Bukan hanya membaca tapi sekaligus juga mempelajari setiap ilmu yang melebarkan pemahamannya ke zona-zona baru yang mengisi kepala dan hatinya dengan banyak sesuatu. Setiap buku menghasilkan pencerahan dan Martin jelas merasakan kesenangan yang tak tergantikan oleh petualangan fisik.  
Seiring dengan banyaknya asupan bacaan yang masuk ke kepalanya, maka mumcul pulalah keinginan Martin untuk mulai menulis. Ia tertarik dengan fiksi. Ada banyak pengalaman hidup yang bisa ia puitisasikan atau tumpahkan ke dalam cerita pendek. Keinginannya semakin menggebu-gebu ketika ia tahu ada banyak majalah yang menawarkan honor besar untuk setiap cerita pendek yang dimuat. Maka berikutnya, ketika ia kembali menemui Elena di pekarangan rumahnya yang asri, dengan penuh percaya diri ia menyampaikan cita-cita besarnya untuk menjadi seorang penulis.  
Martin: “During these months I’ve reflected on my situation. And I felt a creative spirit burning inside, that urged me to turn myself into one of the eyes through which the world sees. I want to become a writer. This I resolved to do.”
Elena: “You see, I don’t know much about it. But I believe that the profession of writing is just like any other. And just like all the others it has its requirements.”
Martin: “So you disapprove of my decision?”
Elena: “It’s not that. I only fear that your enthusiasm could make you lose sight of the problems involved with the enterprise.”
Martin: “I don’t underestimate such problems. But let me ask you this: what if I were particularly gifted in writing?”
Elena: “But however talented, I’ve never heard of someone learning a trade without an apprenticeship.”
Martin: “Tell me what you advise.”
Elena: “You need a complete education, Mr. Eden. Even if you don’t become a writer.”
Elena memang menanggapi keinginan Martin itu dengan sedikit keraguan. Sebagai perempuan kelas atas tentunya ia punya kacamata berbeda dalam melihat Martin. Bagi seseorang yang mendapatkan akses pendidikan penuh sepanjang hidupnya berikut banyaknya privilese yang menyertai status sosialnya, tidak salah kalau Elena menilai tekad Martin sebagai lompatan jauh yang melewati banyak celah dalam hidupnya.
Namun Martin terlahir sebagai seorang petualang. Dari awal ia sudah terbiasa dengan kerja keras dan melewati jalur yang tidak gampang demi mencapai sebuah tujuan. Walaupun terhitung masih baru belajar, menjadi penulis adalah pekerjaan yang siap ia tempuh dengan semangat kegigihan yang sama yang selalu terpatri dalam setiap hembusan napasnya. Martin pun bersungguh-sungguh menjalani niatnya dengan terus menulis cerita, terus mengirimkannya ke majalah-majalah, meskipun ia juga selalu mendapat surat-surat penolakan yang mengembalikan naskah-naskahnya.
Bagi Martin, menulis bukan hanya sebuah kesenangan baru, tapi juga jalur harapan lain yang ia percaya bisa mengubah nasib hidupnya. Di balik itu, ia pun melihat kalau jalur tersebut adalah satu-satunya jalur yang bisa membawanya mengimbangi status sosial Elena, sebagai seorang intelek, sebagai seorang yang berbudaya, yang kemudian akan menyempurnakan perasaan cintanya.
Perjuangan Gigih untuk Naik Kelas
Martin sempat mengungkapkan kepada Elena tentang keinginannya untuk bisa jadi seperti Elena, berpikir dan berbicara seperti Elana. Sejatinya bukan hanya sastra yang telah menyilaukan mata Martin, tapi juga kehidupan kelas atas yang sarat akan akses terhadap budaya, seni, dan pengetahuan, yang begitu melenakan hatinya. Ia ingin mengubah nasibnya, ingin naik kelas dari kelas pekerja ke kelas intelektual, dan ia merasa sanggup mewujudkannya karena telah tercerahkan oleh gagasan-gagasan besar yang ia baca.
Perjalanannya “hijrah” tentu tidak mulus. Ia tetap harus menjalani kerja-kerja sambilan demi menghidupi kesehariannya dengan menjadi kuli kasar atau pergi melaut. Ia tetap harus berkubang dulu dalam peluh keringat, bara api, debu, dan asap untuk bisa memandu langkahnya pelan-pelan menaiki tangga sosial. Bahkan ia juga harus mendapat hinaan dan olok-olok dari sesamanya terkait “keinginan mulianya” menjadi seorang penulis (“Do you even know how to open a book?”). Apalagi karena tulisan-tulisannya masih belum bisa menghasilkan apa-apa, belum ada majalah yang mau menerima cerita pendeknya sehingga Martin lebih banyak mengoleksi surat penolakan daripada cek pembayaran.
Penolakan-penolakan tersebut tentunya sempat membuat Martin patah arang. Ia mendapat masukan dari kakaknya yang mengatakan kalau tulisan Martin terlalu gelap dan menyedihkan. Elena pun memberikan masukan yang kurang-lebih sama. Sayangnya masukan semacam itu memang agak sulit diterima Martin. Ia tidak bisa dan tidak mau menuliskan kisah-kisah yang bahagia, romantis, atau optimistis, karena semua itu bukanlah bagian dari realita yang ia rasakan (“You’d like me simply to erase anything that’s ugly and give hope. Tell it to the wretched of the earth”). Ia tidak menikmati film ceria yang ditontonnya di bioskop bersama Elena, dan ketika Elena mempermasalahkan hal tersebut ia pun dengan geram menyeret gadis itu menuju ke lingkungan tempatnya tinggal yang kumuh, kasar, dan kampungan untuk menegaskan argumennya. Dunia yang dikenalnya adalah dunia yang tidak bisa diromantisasi, bukan dunia yang penuh pengharapan, tapi dunia perjuangan tempat berkelindannya kekurangan dan keburukan yang harus digeluti tanpa henti oleh para manusianya.
Bagi Elena, fiksi dan puisi adalah medium yang memotret kehidupan dalam segala pernak-pernik keindahan yang membuai perasaan. Bagi Martin, fiksi dan puisi adalah medium yang memotret realita dalam kegamblangannya yang selama ini selalu ditutup-tutupi. Keduanya sama-sama memperlakukan karya sastra sebagai wahana eskapisme, bedanya, terikat dengan kecenderungan kelas, Elena menggunakannya sebagai teropong untuk menikmati pemandangan sedangkan Martin memperlakukannya sebagai mikfrofon untuk menyuarakan keresahannya.
Tumblr media
Namun, tentunya tidak mudah suara-suara itu diterima oleh publik. Sama halnya tidak mudah bagi Martin untuk meninggalkan teritori hidupya sebagai kelas pekerja, terlebih lagi, tidak mudah baginya untuk masuk ke dalam lingkungan kelas atas─bahkan ketika cintanya sudah diterima oleh Elena sekalipun. Ada sekat-sekat tak terlihat yang dibentangkan di hadapannya lewat pandangan-pandangan sinis, atau sindiran-sindiran halus, sampai ke gestur penolakan gamblang yang ditunjukkan oleh kalangan elit kepadanya. Latar belakangnya sebagai pelaut berikut tanda-tanda fisiologis warga kelas pekerja yang melekat pada diri Martin tidak bisa begitu saja dikesampingkan sebagai tanda pembeda kedudukan sosial. Apalagi keluarga Orsini termasuk sangat memuja pendidikan─sebuah fasilitas yang tentunya terlampau mewah untuk digapai Martin yang harus putus sekolah di usia 11─sehingga posisi Martin sebagai “pelajar otodidak” tentu tidak memenuhi standar kelayakan.
Perjuangan Martin untuk naik kelas juga terlihat dari caranya melepaskan diri dari isu yang dihadapi kaum kelas pekerja di Naples. Di sana para buruh, pelaut, kuli, dsb. sedang gandrung menyuarakan sosialisme sebagai ideologi yang dianggap bakal membebaskan mereka dari cengkeraman para bos kapitalis. Setiap hari orang-orang bergantian berdiri di atas mimbar lalu lantang menyuarakan ide-ide sosialisme kepada massa yang kemudian merangkulnya sebagai kunci pembebasan mereka dari buruknya kondisi kehidupan. Mereka berteriak, bertepuk tangan, bersorak menyambut gagasan utopis tersebut dan menghardik, menghina, serta melempari orang-orang yang coba menolaknya. Bagi mereka, siapa pun yang menolak prinsip kesamarataan adalah antek-antek industrialis yang gemar menguras habis hak-hak mereka.
Sementara Martin berdiri di sisi yang lain. Setelah tercerahkan oleh buku First Principles karya Herbert Spencer, Martin dengan percaya dirinya mengambil posisi sebagai figur intelektual yang coba meluruskan pemahaman rekan-rekannya itu tentang sosialisme. Ia menolak sosialisme bukan karena ia seorang industrialis atau kapitalis, tapi ia menolaknya karena sosialisme bukan kunci yang akan membebaskan para kaum pekerja dari konsep perbudakan itu sendiri. Baginya, perbudakan akan terus terjadi selama seseorang tidak mampu membebaskan dirinya dari kelompok massa lalu memupuk kekuatan menjadi individu yang lebih berdikari.  
Martin: “Man has always had a master. And this master is either nature or another man. That’s what I see all around me: slaves. Slaves for hundreds and thousands of years. Children of slaves, grandchildren of slaves, descendants of slaves, who have never worked without a master. Can you deny it? It’s the law of evolution: healthier, stronger individuals, better organized and possessing power and slaves, control the weaker ones. You dream of a society in which this law is abolished and where individuals are emancipated by the State. But how is it possible to abolish a natural law with a moral law? The aims are right: social justice, freedom. But to whom are they applied? To society in general. And individuals? What role do they have in your new society? You can’t pay attention only to the collective. So, as soon as a society of slaves starts to organize itself, without any respect for the individuals that compose it, so its decline begins. The strongest among them will be their new masters. But this time they’ll do it in secret through cunning scheming, flattery, coaxing, and lies, and worse than what your bosses do to you today. No society that ignores the law of the evolution can last. Or have you discovered another law of human evolution?”
Bagi Martin, pembebasan diri tentunya dimulai dari individunya sendiri. Yang terpenting adalah kesadaran akan kekuatan dan keistimewaan diri sehingga seseorang tidak perlu lagi selalu terikat nasibnya kepada suatu kelompok. Bukan kepada bos, presiden, atau pemimpin seseorang harus menggantungkan nasibnya, akan tetapi kepada dirinya sendiri. Dan Martin bisa mengatakan demikian karena ia telah sedemikian terpapar oleh dunia literasi. Bacaan telah terbukti membukakan pikirannya sementara menulis telah memberinya kebebasan untuk menjadi diri sendiri.
Sudah pasti gagasan radikal Martin itu ditolak mentah-mentah oleh kaumnya. Ia diminta turun dari mimbar sambil dihujani beberapa pukulan kesal. Dengan begitu ia menerima dua penolakan dari dua kelas sosial yang berbeda, kelas atas dan kelas pekerja, dan ketidaksesuaian itulah yang kemudian mencuat sebagai perjuangan sesungguhnya dari seorang Martin Eden.  
Penemuan Jati Diri Sebagai Perang Sepanjang Hayat
Ketika pertama kali menginjakkan kakinya di rumah keluarga Orsini lalu Martin tertarik menelaah sebuah objek di lukisan yang terpajang, ia kemudian menyampaikan kepada Elena impresi yang dirasakannya: “From a distance it’s beautiful. But close-up you only see stains.”
Terlepas disadari atau tidak oleh Martin, kalimat tersebut ternyata sangat kuat mewakili alur kehidupannya yang terikat oleh harapan-harapan semu. Keinginannya untuk menjadi orang yang “berbudaya” seperti Elena telah membutakan matanya dari identitas dirinya sendiri dan bahkan menjadikannya sosok yang angkuh. Elena yang awalnya dilihat sebagai wujud cinta yang sempurna itu perlahan-lahan juga meninggalkan Martin karena karier penulisnya mentok. Segala yang awalnya terlihat indah di dalam benak Martin mulai menunjukkan beragam celanya secara lebih dekat lagi.
Setiap penemuan jati diri yang dialami Martin tidak bisa dipungkiri membawanya ke arena yang lebih besar untuk melawan dunia. Bahkan ketika akhirnya sebuah belokan nasib berhasil mengangkatnya jadi penulis novel sukses yang tinggal di dalam rumah besar, Martin masih belum mencapai ketenangan batin sebab ia dihadapkan kepada media massa dan kritikus yang kerap melancarkan serangan kritik. Ia tidak menikmati hidup barunya sebagai “selebritas” yang diharuskan menjalani konferensi pers dan tur buku sampai ke luar negeri.
Satu hal yang paling membuatnya kosong adalah cinta. Martin menikahi Margherita, perempuan yang dulu menjalin cinta satu malam dengannya di geladak kapal, perempuan yang dulu sempat ia gunjingkan kepada Elena sebagai perempuan udik (“I’m sure if she spoke to you, you’d hardly understand her”), tetapi ia merasa pasangannya itu tak bisa cukup mengimbangi pemikirannya sehingga tak ada percikan yang menarik dalam rumah tangganya.
Elena juga sempat mendatangi Martin dan menyatakan keinginannya untuk menyemikan cinta mereka kembali. Martin menyambut perempuan pujaannya itu tapi kemudian ia berbalik melawannya karena merasa Elena hanya mau menerima dirinya setelah sukses dan kaya raya saja. Martin bahkan geram dengan pengakuan bahwa ibu kandung Elena, yang dulu tidak pernah menerima Martin sebagai kekasih anaknya, kali ini mendukung anaknya agar balik ke pelukan Martin. Dengan sangat emosional Martin mengusir Elena keluar dari istananya, berkebalikan dengan Elena yang dulu menyambut Martin ke dalam rumah mewahnya.
Di atas garis pertahanannya yang terakhir, agaknya Martin di samping ada banyak cara untuk menemukan diri yang baru, ada banyak pula cara yang dimiliki dunia untuk melawannya. Tidak ada tempat, posisi, atau kelas yang bisa menjamin terwujudnya cita-cita ideal seorang anak manusia karena dunia selalu menjawab dengan hal yang jauh lebih besar lagi daripada sekadar imajinasi individu. Keinginan arogan menaklukkan dunia, seperti yang banyak menjangkiti pikiran ambisius manusia “tercerahkan”, tidak pernah cukup kuat mengendalikan gerak dunia yang punya urgensi kosmiknya tersendiri. Ketidakpuasan dan kekosongan Martin dengan buruk menyulap perspektifnya terhadap segala perjuangan dan pencapaian itu sebagai kegagalan. Hidupnya kemudian jadi ironi besar yang mana setelah Martin mendapat apa yang diinginkan, ia malah ingin kembali ke masa sebelum semuanya berubah.
Martin: “So the world is stronger than me. Against its power I have nothing but myself, which, in any case, is quite something. For as long as I don’t let myself get overwhelmed, I am also a force. And my force is fearsome as long as I have the power of my words to counter that of the world. Those who build prisons don’t express themselves as well as those who build freedom.”
Martin Eden adalah sebuah manifestasi dari absurdisme kehidupan yang selalu berangkat dari kesalahan fatal manusia dalam memberikan makna terhadap angan-angannya. Masalahnya adalah dunia dan sistem kehidupan ini sudah lebih dulu hadir dan terbangun daripada semua manusia yang ada, sehingga tidak ada cita-cita manusia yang akan bertahan jika tidak menyesuaikan dengan mekanisme dunia yang berjalan. Walaupun Martin juga sebenarnya menjalani pola kehidupan yang sudah terus terjadi sejak lama bahwa setiap pencerahan akan menggiring individu menuju kesepian, siap atau tidak. Dan tentu saja, siapa pun yang siap dialah yang akan bertahan.  
Tumblr media
oleh: Ikra Amesta
1 note · View note
sinemeter · 3 years ago
Text
never rarely sometimes always
Tumblr media
“He’s got the power of/Power of love over me.”
Gadis itu datang ke New York ditemani seorang sepupunya. Ia menggeret sebuah koper besar walaupun ia tidak berencana tinggal lama. Tujuannya adalah klinik aborsi, sekaligus ia ingin memastikan bahwa apa yang ia lakukan tak akan ia sesali nanti.
Autumn (Sidney Flanigan) hamil. Ini di luar rencananya. Ia masih sekolah SMA dan merasa belum siap menjadi seorang ibu. Tidak ada yang tahu perihal ini, tidak keluarganya atau teman-temannya. Ia datang ke klinik kehamilan setempat dan diyakinkan bahwa dirinya tengah mengandung janin berusia 10 bulan.
Setelah melalui koridor keraguan dan kebingungan yang meliputinya seorang diri, Autumn akhirnya menyimpulkan bahwa aborsi adalah jalan terbaik. Namun, untuk melakukan aborsi di Pennsylvania ia harus mendapat surat izin dari kedua orang tuanya dulu. Tentu itu hal yang tidak mungkin bisa ia dapatkan karena ia tidak ingin kehamilannya itu diketahui siapa-siapa.
Maka, dalam upaya depresifnya untuk mematikan bayi di dalam perut, Autumn menelan sejumlah pil obat keras yang diyakininya bisa meluluskan praktek aborsi mandiri. Tak cukup sampai di situ, di depan cermin di dalam kamarnya, Autumn memukul-mukul bagian bawah perutnya yang mulai menggelembung itu. Ia menahan sakit, menghujani perutnya dengan luka memar, berharap mahluk yang berlindung di balik sana terbunuh dengan sendirinya.
Mungkin bukan janin itu saja yang coba Autumn bunuh saat ia memukul-mukul perutnya. Tindakan itu juga bisa berarti sebuah upayanya untuk membunuh penyesalan, seks yang tak diinginkan, juga realitas pahit tentang menjadi perempuan di dunia yang menolak memihak kepadanya.
Prosedur mandirinya itu sia-sia. Autumn kemudian memantapkan niat untuk pergi ke New York, tempat di mana ia bisa melakukan aborsi secara klinis dan aman tanpa menggunakan surat pengantar dari orang tua. Ditemani Skylar (Talia Ryder), ia pun berangkat menaiki sebuah bus umum menuju keputusan besar atas jalan hidupnya di kota yang sama sekali asing dan sesak.
Masalah Besar yang Direduksi Jadi “Girl Problem”
Di momen Autumn menyadari kalau dirinya tengah hamil, adalah momen ia pun menyadari bahwa ia akan menghadapi masalah-masalah yang muncul seorang diri. Seorang remaja mengalami masalah dewasa (serius) sementara dunia dewasa memandang remaja sebagai sesuatu yang tidak perlu ditanggapi serius
Masalah mood, asmara, atau pencarian jati diri kaum remaja memang seringkali tidak mendapat tempat dalam ruang perhatian orang dewasa. Di satu sisi memang cukup adil karena baik remaja dan dewasa punya pemaknaan masing-masing terhadap kehidupan ini yang seringkali sulit untuk saling dimengerti. Perbedaan kematangan, pengalaman hidup, tanggung jawab, dan bahkan filosofi jadi faktor kunci yang memisahkan dua kubu. Di sisi yang lain, perbedaan tersebut menyebabkan munculnya sikap apatis yang ujungnya malah mendiskreditkan problematika masing-masing.
Dan posisi Autumn sebagai remaja sekaligus juga seorang perempuan seakan melipatgandakan antipati terhadap dirinya─terutama lagi karena begitu kuatnya sudut pandang kaum laki-laki mempengaruhi norma atau nilai-nilai yang berlaku di sekitarnya.
Contohnya terlihat dari reaksi ayah tirinya yang menganggap emosi moody Autumn sebagai hal yang sepele (“It’s in her head. She needs to get her head checked”). Si ayah merasa tidak perlu meladeni kondisi emosi yang sedang dialami Autumn dan lebih suka langsung menghakiminya sebagai “kesalahan” Autumn sendiri. Ini terjadi setelah Autumn tampil sebagai penyanyi solo di acara pentas seni sekolahnya dan di tengah-tengah lagu ia tiba-tiba diolok oleh seorang penonton. Ayah tirinya terkesan acuh tak acuh dengan insiden tersebut dan barangkali menganggapnya sebagai hal yang biasa terjadi di SMA. Namun bagi Autumn itu bukan hal yang bisa diterima karena si penonton jahil itu meneriakinya “slut!” di tengah hadirin yang menyimak pertunjukan musiknya.
Contoh lainnya terjadi di sebuah supermarket tempat di mana Autumn bekerja paruh waktu sebagai kasir. Di tengah shift-nya ia merasa mual lalu muntah-muntah di kamar mandi karena efek dari kehamilannya. Ia meminta izin kepada supervisornya untuk pulang lebih cepat dengan alasan tak enak badan. Namun, si supervisor laki-laki itu tetap meminta Autumn menyelesaikan shift-nya yang tersisa dua jam lagi tanpa repot-repot, setidaknya, menginvestigasi sakit apa yang dialami Autumn. Dengan terkesan menyepelekan, si supervisor tidak periu memberi kompensasi kepada sakit yang barangkali disangkanya “hanya” gejala menstruasi semata.
Maka, tidak heran kalau di lingkungan yang tampak enggan memahaminya itu Autumn merasa masalah kehamilan dirinya adalah sesuatu yang perlu ia hadapi sendirian. Ia bingung juga terkekang dalam stigma-stigma yang nantinya malah akan menyudutkan dirinya, menimpakan kesalahan kepada dirinya seorang sebagai pelaku, bukan korban. Itulah mungkin yang membuatnya “terpaksa” menyebut sakit mual yang dialaminya itu sebagai “girl problem” ketika ditanya oleh Skylar. Dengan istilah itu ia masih mencoba memperlihatkan kepada orang lain bahwa apa yang menimpanya adalah sesuatu yang normal, sesuatu yang tidak perlu dirisaukan, karena ia tahu orang lain tak akan bisa mengerti.  
Ironis sekali memang ketika kehamilan di luar nikah direduksi jadi “girl problem” sementara pihak laki-laki yang turut bertanggung jawab atas kondisi tersebut seakan bisa bebas tereliminasi dari efeknya. Tiba-tiba Autumn jadi terdakwa yang harus mempertanggungjawabkannya sendiri, itu juga berarti bahwa pengakuannya tidak siap menjadi ibu adalah bumerang yang justru digunakan oleh kacamata sosial untuk balik menghakiminya dengan keras.
Sah-sah saja jika Autumn berpikir kodratnya sebagai perempuan sangat tidak menguntungkan dalam hal ini. Alegorinya ditunjukkan saat Autumn hendak menjalani tes kehamilan di klinik lokal dan dokter menjelaskan seperti apa tes tersebut akan bekerja.
Doctor: “Well, today, we’re going to be doing a self-administered test. But I want to let you know something. Even if it’s negative, it could still be positive.”
Autumn: “What does that mean exactly?”
Doctor: “Well, I mean, if it’s negative, you might want to redo the test in a few weeks if you’re still concerned.”
Dalam konteks alat tes kehamilan, seks yang dilakukan oleh perempuan harus selalu terkonfirmasi menghasilkan kehamilan. Seolah-olah perempuan tidak bisa melakukan seks selain sebagai aktivitas reproduksi. Hasil negatif masih harus diuji ulang sampai positif, sedangkan hasil positif tidak bisa dianulir menjadi negatif (“A positive is always a positive”), dengan kata lain, tujuan seks bagi perempuan diarahkan hanya kepada kehamilan. Tentunya ini sangat berbeda dengan yang dialami oleh laki-laki.
Maka, dalam kerangka yang demikian, pernyataan Autumn yang tidak siap menjadi ibu bisa dengan mudahnya mendapat penghakiman negatif sebagai bentuk pengabaian terhadap kodratnya sebagai perempuan. Penghakiman tersebut punya bobot yang teramat besar di mata sosial sehingga perempuan yang terlanjur hamil tersebut tidak lagi dianggap sebagai korban, melainkan pelaku utama, dan saking besarnya sehingga si pihak laki-laki jadi lebih mudah “dimaklumi”.
Kondisi itulah yang “menjustifikasi”, dengan sangat tidak adil, masalah yang menimpa Autumn tidak lebih dari sekadar “girl problem”.
Aborsi Sebagai Operasi Penghapus Trauma
Di klinik Pennsylvania, setelah Autumn mendapat hasil tes kehamilan pertamanya lalu secara tersirat menyatakan niat aborsi, dokternya bereaksi dengan coba meyakinkannya bahwa aborsi bukan pilihan terbaik. Si dokter meyakinkannya bahwa menjadi ibu dari seorang bayi adalah suatu anugrah yang luar biasa. Tidak cukup sampai di situ, si dokter pun memutar videop penyuluhan yang memperlihatkan tentang janin-janin “tak berdosa” yang terbunuh lewat praktek aborsi (“Every child abortion kills is already so fully-formed that her heart’s beating and her brain’s producing brain wave activity”). Tujuan utamanya agar Autumn memupuskan niatnya, sementara tujuan terselubungnya adalah memantik rasa bersalah di dalam diri Autumn.
Anehnya, alasan ketidaksiapan menjadi ibu seakan tidak digubris secara serius dalam situasi yang dihadapi Autumn. Padahal hal tersebut bicara banyak hal tentang membesarkan anak, dan hal yang lebih jauh lagi dari “sekadar” perkara melahirkan anak ke dunia.
Beberapa hipotesis bisa ditarik. Pertama, Autumn tidak siap menjadi ibu karena usianya yang masih belia, baru mau memasuki fase dewasa, dan itu bisa berarti masih ada banyak hal yang perlu ia lalui, banyak cita-cita yang ingin ia wujudkan, banyak pengalaman yang ingin ia hadapi sebelum akhirnya ia bisa siap secara mental menjadi seorang ibu.
Kedua, Autumn tidak setiap menjadi ibu karena ia belum menemukan role model yang tepat untuk menjalani peran yang penting itu. Hubungan Autumn dan ibu kandungnya memang baik tapi bukan berarti Autumn ingin menjadi seperti ibunya. Kehadiran ayah tiri dan beberapa adik tirinya di bawah satu atap bisa jadi memunculkan anggapan di benak Autumn kalau ibunya juga belum bisa membangun rumah tangga yang ideal, apalagi hubungan personal antara Autumn dan ayah tirinya itu tidak begitu baik.
Ketiga, Autumn tidak siap menjadi ibu karena ia tidak mau membesarkan anaknya sendirian. Siapa laki-laki yang telah menghamili Autumn? Laki-laki itu pastinya tidak tahu tentang kehamilan Autumn karena Autumn juga tidak mengabari informasi tersebut. Keputusan Autumn melakukan aborsi tanpa meminta masukan dari pasangannya mengindikasikan bahwa ia secara emosional tidak terikat hubungan berkomitmen. Maka, ketidaksiapan Autumn menjadi ibu itu berkorelasi erat dengan keengganannya berumah tangga bersama pasangannya itu, yang mungkin dinilai Autumn tidak bisa menjadi sosok suami atau ayah yang tepat.
Bisa disimpulkan, ketidaksiapan Autumn menjadi ibu merupakan puncak gunung es dari isu-isu mentalitas lain dirinya dalam merespons kesempatan membesarkan seorang anak. Ini belum bicara masalah biaya hidup, pendapatan dan pengeluaran bulanan, tempat tinggal, karier, tabungan, dan kebutuhan fisik lainnya.
Itu sebabnya Autumn tetap menginginkan aborsi dan nekat pergi ke New York tanpa memberitahu ibunya. Ia ditemani Skylar yang sengaja menilep uang kasir untuk ongkos transportasi dan makan. Sama sekali bukan perjalanan yang mudah karena ternyata proses aborsi tidak bisa berlangsung dalam sehari saja.
Hasil pemeriksaan sonogram di New York menunjukkan usia kehamilan Autumn sudah menginjak 18 minggu, bukan 10 minggu seperti hasil tesnya pertama kali. Usia 18 minggu memang masih memungkinkan dilakukan aborsi tapi syaratnya Autumn harus dipasangi alat untuk membuka serviksnya yang mana pembukaan tersebut akan memakan waktu satu hari. Setelah terbuka, barulah Autumn bisa menjalankan operasi aborsi dengan lebih aman.  
Dengan keterbatasan ongkos dan tanpa tempat tinggal, Autumn dan Skylar menempuh malam-malam mereka di New York dalam kondisi serba seadanya. Mandi dengan tisu basah di toiet umum, tidur di ruang tunggu termninal, makan kue-kue camilan atau roti mini dari kedai-kedai kecil di pinggir jalan. Tidak banyak pembicaraan yang terjadi di antara mereka. Suasana suntuk dan suram begitu menguasai keadaan hati Autumn yang tampaknya begitu sesak oleh argumen-argumennya sendiri.
Sesampainya di klinik aborsi, Autumn dan Skylar disambut oleh sekelompok warga yang sedang berdemonstrasi antiaborsi di depan gedung. Mereka mengutip ayat-ayat dari kitab suci, menyebut tentang dosa atau kutukan atas nama Tuhan, dan secara tersirat mengutuk para pelaku aborsi yang ada di dalam klinik. Sungguh pemandangan yang tidak mengenakkan bagi Autumn, yang turut memandangi mereka di bawah tuduhan-tuduhan serius yang secara membabi-buta menyerang moralitas dan nilainya sebagai seorang perempuan. Tentu Autumn tidak bisa melawan balik atau memberikan sanggahan saat itu juga, tapi kalau ia diberi kesempatan untuk bersuara barangkali ia akan bertanya: Apakah mereka mengerti dengan apa yang sebenarnya kurasakan?
Tumblr media
Bukan para pemrotes itu yang bersedia menyediakan waktunya untuk mengorek lebih dalam situasi yang dihadapi para pelaku aborsi; bukan mereka yang mau tahu alasan terpendam dan terbesar Autumn ingin melakukan aborsi. Semua itu justru digali oleh konselor aborsi yang melayani Autumn, yang memahami bahwa aborsi bukan sekadar perihal mematikan janin tapi, lebih jauh lagi, adalah tentang hubungan asmara toksik yang berkonsekuensi negatif terhadap pihak perempuan.    
Counsellor: “In the past year, your partner has refused to wear a condom. Never? Rarely? Sometimes? Always?”
Autumn: “Um, sometimes.”
Counsellor: “And your partner messes with your birth control or tries to get you pregnant when you don’t want to be. Never? Rarely? Sometimes? Always?”
Autumn: “Uh, never.”
Counsellor: “Your partner has threatened or frightened you. Never? Rarely? Sometimes? Always?”
Autumn: “Why are you asking me this?”
Counsellor: “I want to make sure that you’re safe. Your partner has threatened or frightened you. Never? Rarely? Sometimes? Always?”
Autumn: “Um, rarely.”
Counsellor: “Your partner has hit you, slapped you, or physically hurt you. Never? Rarely? Sometimes? Always?”
Autumn: “Some…”
Counsellor: “It’s okay. It’s just a couple more questions, all right? It’s okay. I want to make sure you’re safe, and I want to help you. Has anyone forced you into sexual act? Yes or no?”
Autumn: “Uh, yeah.”
Counsellor: “Do you want to tell me about it?”
Autumn: “No, not...”
Konten dalam satu set pertanyaan prosedural yang diajukan kepada Autumn sebelum proses aborsi dijalankan itu mengindikasikan adanya familiaritas isu dalam situasi yang dialami Autumn dengan perempuan pelaku aborsi lainnya. Secara sederhana Autumn mengakui kalau hubungannya diwarnai kekerasan seksual yang kemudian membekas sebagai aib yang dengan sekuat hati coba ia tutupi. Kehamilan Autumn adalah buah dari perlakuan kasar pasangannya, buah dari pemaksaan juga ancaman yang kerap ia dapatkan dalam aktivitas percumbuannya. Maka, janin yang ada di dalam perutnya itu tidak bisa hanya dilihat sebagai mahluk, tapi perlu dimaknai juga sebagai trauma yang terus melekat dalam jiwanya.
Autumn pasti membayangkan jika traumanya itu dibiarkan, lalu dilahirkan keluar, lalu dibesarkan, dirinya pun akan semakin tenggelam ke dalam penyesalannya sendiri. Depresi akan menyerapnya dalam lubang hitam tak berkesudahan yang mungkin akan memutus realitasnya juga hubungannya dengan anak yang tak diharapkan itu. Pada prakteknya, memang sulit mengakui anak sebagai sebuah anugerah ketika diri ini tak kunjung selesai mengingat seks yang menghasilkannya sebagai  duka yang pahit.
Dalam kasus aborsi, kita memang benar-benar harus meminjam kacamata si pelaku agar kita bisa lebih utuh memahami motif di balik keputusan mereka. Seorang perempuan yang hamil akibat diperkosa misalnya, tidak bisa disamaratakan dengan perempuan hamil pada umumnya. Situasinya jelas berbeda, begitu pula perasaan yang menaungi kehamilan tersebut. Tidak semua kehamilan mengandung kebahagiaan. Ada kalanya ia mengandung penderitaan dan luka yang teramat menyakitkan; luka yang sayangnya sulit dipahami oleh orang-orang di luar sana.
Bagaimanapun juga, tidak ada perempuan yang ingin terus menanggung status sebagai korban di sepanjang hidupnya. Itulah yang sebenarnya diinginkan dan diperjuangkan Autumn dalam “petualangan besarnya” di New York. Aborsinya itu tidak lagi dimaknainya sebagai upaya mematikan janin, tetapi sebagai cara menghapus trauma. Ini sangat penting baginya karena di balik aborsinya itu ada “kelahiran” dalam dirinya yang siap menyongsong langkah baru sebagai seorang individu. Dengan memutuskan aborsi itu, mungkin untuk pertama kalinya, Autumn menggunakan otoritasnya atas tubuhnya sendiri. Ia berdaya, berkuasa, dan berhak menentukan apa yang terbaik bagi dirinya tanpa perlu meminta validasi orang lain.
Dunia yang Tak Ramah kepada Perempuan  
Autumn bernyanyi di atas panggung sendirian di acara pentas seni sekolahnya yang digelar di ruang auditorium. Ia memainkan gitar akustik sambil membawakan lagu lawas “He’s Got the Power” dari The Exciters. “He makes me do things I don’t want to do/He makes me say things I don’t want to say,” nyanyinya dengan lantang di hadapan audiens sekalian.
Tiba-tiba, di tengah kesyahduan itu, seseorang dari bangku penonton tiba-tiba berteriak “slut!” ke arah Autumn. Si pelaku lalu ketawa-ketiwi bersama temannya di balik temaram cahaya auditorium sementara Autumn syok di atas panggung, lidahnya seperti tercekat, dan ia pun memelankan sapuan tangan di gitarnya. Ia merasa dipermalukan, tapi ia tetap melanjutkan pertunjukannya dan kembali bernyanyi meskipun dengan suara yang lebih bergemetar daripada sebelumnya.
Usai pentas Autumn memang sempat membalas perlakuan si pengolok tadi, yang ternyata adalah teman laki-laki sekelasnya dengan mencipratkan segelas air ke mukanya. Namun, tentu itu bukan balasan yang setimpal. Si pengolok tadi hanya perlu menyeka wajahnya lalu bisa kembali bersenang-senang dengan teman sebayanya menikmati bergelas-gelas bir. Sementara Autumn harus menerima rasa malu yang besar atas penghakiman serampangan terhadap identitasnya sebagai seorang perempuan. Bisa diprediksi kalau si pengolok itu akan lebih mudah lolos dari pandangan negatif masyarakat ketimbang Autumn yang dituduh pelacur, Masyarakat cebderung mewajarkan aksi pelecehan tersebut karena mereka cenderung tutup mata terhadap efek psikologis yang dirasakan oleh korbannya.
Perilaku mewajarkan tersebut berimbas kepada “pemberian ruang” terhadap aksi pelecehan lain yang, disadari atau tidak, terjadi di banyak kesempatan. Di supermarket tempat Autumn dan Skylar bekerja paruh waktu, bentuk pelecehan bisa datang dari sesama karyawan, atasan, atau bahkan pelanggan. Seperti ketika seorang pelanggan pria, yang usianya jauh lebih tua, dengan entengnya mengajak Skylar berkencan ketika mereka sedang bertransaksi di meja kasir. Hal tersebut membuat risih dan telah menerobos profesionalitas Skylar sebagai pekerja di jam kerjanya, tapi si pelaku mungkin akan menganggap wajar perilakunya sebagai “ajakan pertemanan” biasa yang tidak perlu dinilai sebagai gangguan di tempat kerja, apalagi sebagai ancaman terhadap kaum perempuan.
Selain itu, setiap kali Autumn dan Skylar menyetorkan hasil pendapatan mereka dari meja kasir, yang dilakukan dengan cara menyodorkan tumpukan uang kertas melalui celah sebuah loket, kedua punggung telapak tangan mereka pasti diciumi oleh pria di balik loket tersebut, yang tidak lain adalah supervisor mereka. Tidak ada perlawanan dari Autumn maupun Skylar. Keduanya hanya saling bertatapan dengan kosong saat “ritual cabul” itu dilakukan di penghujung shift mereka. Tidak ada kata maaf pula dari supervisor itu yang barangkali terbiasa melakukannya kepada setiap kasir perempuan muda yang bekerja di sana. Autumn dan Skylar pun tampaknya tidak bisa mengadukan hal tersebut kepada siapa-siapa karena mereka tidak punya kuasa untuk membela harga dirinya masing-masing.
Di New York, kondisinya tidak jauh berbeda. Konfrontasi yang ekstrem terkait pelecehan dialami Autumn dan Skylar di dalam gerbong kereta subway. Di gerbong yang sudah sepi itu seorang pria dalam setelan jas dengan wajah terlihat setengah mabuk terus memandangi Autumn dari jarak yang tidak terlalu jauh. Pria itu tidak mempedulikan ekspresi rishi yang ditunjukkan Autumn dan terus melancarkan tatapannya yang diliputi nafsu. Tak lama kemudian, pria itu membuka resleting celananya dan siap bermasturbasi sambil memandangi Autumn. Untung kereta segera berhenti di sebuah stasiun, Autumn dan Skylar pun bergegas turun sebelum situasi di gerbong semakin di luar kendali. Mereka selamat, tapi tetap saja pada akhirnya mereka tidak bisa membela diri atau melawan balik bentuk-bentuk pelecehan yang mereka terima.
Dominasi kaum pria dalam kehidupan pribadi Autumn dan Skylar membuka ruang pengandaian mereka kalau hidup bisa lebih mudah dijalani jika mereka tidak terlahir sebagai perempuan. Ada perbedaan isu yang dihadapi masing-masing gender, dan kesepahaman akan konsekuensi menjadi perempuan tampaknya sering diabaikan oleh pria yang terlanjur melihat lawan jenis mereka dengan kacamata egosentris yang sempit. Sayangnya, kacamata tersebutlah yang kemudian diakui sebagai nilai umum dalam masyarakat yang sebagian besar perspektifnya memang didominasi kaum pria. Dalam peradaban yang patriarkis ini perempuan di mana pun selalu berpotensi menerima tindak ketidakadilan yang sarat akan risiko fisik atau mental.
Skylar: “Don’t you ever just wish you were a dude?”
Autumn: “All the time.”
Memang selalu ada harga yang harus dibayar bagi perempuan seperti Autumn dan Skylar untuk bisa bertahan dan meraih tujuan dalam hidup ini; atau lebih tepatnya lagi, ada hal yang harus mereka gadaikan demi mendapatkan sesuatu. Entah itu “menggadaikan” punggung tangan mulus mereka untuk diciumi demi mempertahankan pekerjaan; entah itu “menggadaikan” tubuh mereka demi mendapat rasa aman dan empati yang dibutuhkan; entah itu “menggadaikan” janin di dalam perut demi mendapat kebebasan serta hak untuk menjadi seorang perempuan. Transaksi yang terjadi memang tidak selalu seimbang apalagi menguntungkan.
Ketika uang dalam dompet mereka hampir habis sementara mereka harus tinggal semalam lagi di New York dan bisa dipastikan mereka tidak punya cukup ongkos untuk naik bus pulang, skema “penggadaian diri” terpaksa digunakan demi keuntungan beberapa dolar saja. Saat itulah Skylar “nekat” menghubungi Jasper, laki-laki sepantaran yang sempat mengajaknya kenalan di bus, yang bertukar nomor handphone lalu cukup gencar mengajak Skylar pergi nonton konser di New York─sebuah langkah yang terindikasi “bahaya” dalam radar Autumn, yang traumanya akan perlakuan tidak adil laki-laki masih sangat segar (“Well, then delete, delete, delete”).
Namun, Skylar (dan tentu saja Autumn) tidak punya pilihan lain. Skylar mengundang Jasper datang lalu ia memainkan peran sebagai seorang gadis yang tertarik berteman dengan cowok asing tersebut. Ia mengikuti “permainan” itu dengan sabar, melakoni obrolan basa-basi, makan bareng satu meja, pergi karaoke bersama, sementara Autumn terus berada di sampingnya dalam kewaspadaan yang bercampur kekhawatiran. Semuanya berjalan lancar dan sampailah Skylar pada momen di mana Jasper harus pulang, titik krusial yang telah dengan sabar ditunggu untuk menyatakan tujuan utama dari misinya: meminjam uang.
Jasper menyetujui permintaan Skylar tanpa keberatan, tapi dengan dalih Skylar harus menemaninya mencari mesin ATM terdekat untuk menarik uang tunai yang dibutuhkan. Tentunya itu merupakan sebuah dalih, Autumn tahu benar hal itu, sehingga ia pun menyusul menemui mereka di lokasi mesin ATM, dan mendapati keduanya tengah berciuman mesra di balik tiang pancang stasiun subway. Ciuman itu lebih tepat disebut sebagai “upah” yang harus dibayar Skylar untuk mendapatkan pinjamannya. Aksi “pengorbanan” itu disambut dengan uluran tangan Autumn dari balik tiang yang diam-diam mencoba menenangkan Skylar yang sedang dicumbu, seolah menyampaikan pesan bahwa “harga dirinya” sebagai seorang perempuan tetap aman bersamanya.
Ciuman yang dilakoni Skylar itu memang tidak seberat mengandung bayi dalam perut Autumn, tapi situasi keduanya punya benang merah yang sama sebagai implikasi dari relasi kuasa yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Relasi di mana baik Skylar maupun Autumn telah menyerahkan “tubuhnya” kepada laki-laki tanpa melibatkan perasaan; bukan cinta, tapi pengorbanan; bukan cinta, tapi keterpaksaan; bukan cinta, tapi keharusan─dan seperti itulah tampaknya dunia berlangsung di sekitar mereka.
Itu mungkin sebabnya setelah proses aborsi Autumn berhasil dijalankan, ia masih menanggapinya dalam emosi yang terbilang dingin (“It was kind of whatever”).  Di satu sisi, ia memang kelelahan dan butuh istirahat. Di sisi yang lain, ia mungkin menyadari bahwa “kemenangan kecilnya” itu hanya bisa dirayakan oleh dirinya sendiri sebagai seorang penyintas kekerasan seksual, bukan oleh dunia luar yang akan menghakiminya sebatas sebagai pelaku aborsi saja.  
Tumblr media
oleh: Ikra Amesta
0 notes
sinemeter · 3 years ago
Text
minari
Tumblr media
“Minari, minari, minari. Wonderful, wonderful minari.”
Dari California ke Arkansas, keluarga Yi berpindah rumah. Namun, sesampainya di lokasi yang baru, sang istri langsung mengekspresikan kekecewaannya: Apa enaknya tinggal bersama di tempat yang bentuknya mirip seperti kontainer bekas?
Bentuk rumah baru keluarga Yi itu kotak persegi panjang yang fondasinya disangga oleh beberapa blok batu bata. Bahkan Jacob (Steven Yeun) sendiri mewanti-wanti kalau rumah baru itu bisa terempas dari tanah ketika tornado datang. Tapi di luar itu, Jacob-lah yang sumringah dengan tempat tinggal barunya itu. Dialah yang memutuskan untuk membeli tempat tersebut dan memboyong keluarganya pindah dengan membawa optimisme bahwa kehidupan keluarganya itu nantinya akan berubah ke arah yang lebih baik.
Ini bukan persoalan bentuk rumahnya yang terlampau sederhana sampai membuat Monica, sang istri, merasa malu. Ini juga bukan persoalan pekerjaan Jacob dan Monica di Arkansas yang jadi pemeriksa kelamin anak ayam di sebuah pabrik penetasan telur. Optimisme Jacob terbangun dari hamparan padang rumput luas di sekeliling rumah baru mereka; lokasi yang akan memenuhi ambisi sekaligus mimpi Jacob untuk menggarap lahan perkebunan yang luas.
Jacob: “Take a look at this. Look at the dirt. Look at the color. This is why I picked this place.”
Monica: “Because of the dirt color?”
Jacob: “This is the best dirt in America. Daddy’s going to make a big garden!”
Monica: “Garden is small.”
Jacob: “No. Garden of Eden is big. Like this.”
Jacob tidak akan menggarap kebunnya semata-mata untuk mengisi waktu luang, tapi ia mempersiapkannya sebagai ladang penghasilan keluarganya di kemudian hari (“Five acres is a hobby. But my dream is fifty acres”). Argumennya adalah fakta bahwa ada sekitar 30.000 orang Korea yang bermigrasi ke tanah Amerika Serikat setiap tahun, dan mereka pasti menginginkan makanan Korea untuk memenuhi perut mereka. Dengan target pasar yang sudah ditetapkan itu, maka Jacob pun berniat menanam segala jenis buah-buahan dan sayur-mayur Korea yang tidak ada duanya.
Praktis Jacob mempersiapkan segalanya sendiri, karena Monica lebih suka meyakinkan dirinya kalau keluarganya itu tidak akan tinggal lama di Arkansas. Semuanya berjalan lancar bagi Jacob. Ia membeli sebuah traktor bekas untuk membajak tanahnya, lalu merekrut seorang petani setempat untuk membantunya mengurusi ladang. Untuk pengairannya, ia menggali sendiri air tanah di area rendah di padang rumputnya, agar ia tidak perlu membayar tagihan air tambahan selain dari pasokan yang sudah ditetapkan untuk kebutuhan anggota keluarganya di rumah. Dua anaknya, Anne dan David, sesekali turut membantu ayahnya di sela-sela proses adaptasi mereka sebagai imigran Korea.
Bagi Jacob, proses awalnya ini berjalan lancar, juga semakin menguatkan semangatnya untuk menggapai mimpi kehidupan yang lebih baik (“In three years we can quit chicken sexing”), mimpi Amerika-nya yang besar nan menjanjikan. Dalam satu dan lain hal, ia pun coba membuktikan bahwa kerja keras merupakan kunci keberhasilan dan bertahan hidup di negeri Amerika, selain juga bahwa negeri asing ini adalah negeri yang akan mengulurkan tangannya untuk menjawab setiap mimpi manusia.
Namun, benarkah mimpi selalu berjalan mulus dengan realita walaupun di Amerika? Jacob kemudian membuktikan bahwa jawabannya adalah: tidak.
Setelah hasil perkebunannya panen dan tinggal dikirim ke distributor, Jacob justru mendapat panggilan mendadak bahwa distributor membatalkan pesanannya di menit-menit akhir. Semua buah dan sayur yang sudah dibungkus dan dipaketkan itu terpaksa harus terbuang sia-sia. Tentunya segala usahanya itu tidak menghasilkan keuntungan seperti dengan yang telah diharapkan.
Ditambah lagi, upaya panen berikutnya menemui hambatan dari pasokan air tanah yang telah digalinya. Tiba-tiba air tanahnya surut dan tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan ladangnya untuk tumbuh subur. Maka, mau tak mau, dengan diam-diam Jacob mengambil pasokan air untuk rumahnya yang kemudian membuat biaya tagihan airnya membengkak, sementara penghasilan bulanannya kurang mencukupi tanggung jawab pembayarannya.
Dalam ketidakpastian dan kekalahan yang ia rasakan itu, Jacob pun menyatakan pertaruhannya kepada Monica, bahwa seandainya usaha perkebunannya itu gagal lagi maka ia rela mempersilakan Monica pergi, bahkan membawa kedua anaknya, untuk meninggalkan pernikahan mereka.
Lidah Monica memang kelu untuk menanggapi ucapan suaminya itu. Tapi mereka berdua tentunya sudah tahu bagaimana beratnya Monica menerima kondisi kehidupan keluarga mereka yang baru ini. Sebelumnya, Monica sempat mengonfrontasi Jacob terkait rencana hidupnya yang tampak seperti terus mempertaruhkan kehidupan keluarga di atas ambisi yang kosong dan egois. Bukannya Monica tidak mau membantu, tapi ia merasa mimpi Jacob ini tidak melibatkan dirinya dan lebih menyerupai sebuah keputusan impulsif yang tak diperhitungkan dengan matang.
Perasaan tidak enak itulah yang membuat Monica membungkuk meminta maaf kepada ibunya atas bentuk rumah yang mereka tinggali di Arkansas. Monica sengaja meminta ibunya datang dari Korea untuk membantu menjaga kedua anaknya selama Monica dan Jacob pergi bekerja. Kedatangan Nenek Soon-ja (Youn Yuh-jung) itu jadi jalan tengah dari konflik Monica dan Jacob yang menyangkut upaya mengejar mimpi melawan bekerja demi pendapatan pasti. Kedua kutub itu “mengorbankan” anak-anak yang harus ditinggal sendiri di rumah sementara kedua orang tua mereka sibuk di luar.  
Kehadiran Nenek rupanya turut membawa warna baru dalam keluarga kecil Yi. Benturan antara budaya tradisional Korea dari Nenek dengan budaya “Amerikanisasi” yang dienyam kedua anak Yi sejak kecil jadi situasi baru yang mengekspos bagaimana identitas diri menuntut penerimaan dari kedua belah pihak.
David, si bocah bungsu, adalah yang paling “terganggu” dengan kehadiran Nenek. Menurutnya, Nenek tidak merepresentasikan sosok nenek yang biasa terwujud dalam keluarga Amerika (“She doesn’t look like a grandma”). Penampilan Nenek memang terbilang urakan, ia bahkan mengajari David cara bermain kartu tradisional Korea yang bernama hwatu, lengkap dengan kata-kata kasar yang sering diutarakan oleh para pemainnya selama permainan berlangsung. Ketika David bangun tidur mengompol, si Nenek malah menggodanya dengan bahasa Inggris yang terbata-bata: “Penis-uh broken”─beberapa kali sampai David merasa malu dan kesal.
Tapi di balik itu semua, justru Nenek-lah yang kerap meyakinkan David sebagai bocah yang kuat. Hal itu berkaitan dengan kondisi jantung David yang memang lemah sehingga ia selalu dianjurkan untuk tidak melakukan aktivitas seperti berlari atau mengangkat barang yang berat. Sedangkan Nenek justru selalu berusaha memancing David untuk coba berlari atau ikut berjalan kaki dengannya ke area hutan. Nenek pulalah yang pertama kali menyebut David sebagai “anak kuat” saat David bisa mengangkat lemari laci kayu yang menimpa kakinya. Hal-hal tersebut tentu belum pernah dialami David selama ia berinteraksi dengan kedua orang tuanya yang cenderung protektif.
Puncak konflik David dengan Nenek terjadi ketika ia dengan sengaja memberi gelas berisi air kencingnya saat si Nenek meminta segelas Mountain Dew. Jacob yang menilai aksi David itu sudah keterlaluan lalu memanggilnya untuk menerima hukuman. David diperintahkan mencari sebatang kayu yang nantinya akan digunakan oleh Jacob untuk memukul pantatnya. Si Nenek yang menyaksikan hal itu malah meminta Jacob agar memaafkan kenakalan David (“Who cares if I drank a little pee?”) dan melepaskannya dari hukuman. David yang mencari batang kayu di halaman rumahnya itu lalu kembali ke dalam dengan menyodorkan batang kayu tipis yang tidak akan memberikan efek sakit jika dipukulkan. Melihat itu si Nenek pun langsung menyoraki David sebagai “anak pintar” dan “pemenang” karena membuatnya tidak jadi dihukum pukul oleh Jacob.
Tumblr media
Sejak itu pun keduanya justru membangun hubungan yang semakin erat. David tidak keberatan tidur bersama Nenek, bahkan merasa lebih aman ketika berada di dekatnya.
Grandma: “Why aren’t you sleeping? What’s wrong?”
David: “Mommy said if I pray, I can see Heaven in my sleep.”
Grandma: “Like those kids who prayed to see Heaven? Are you scared? It’s all right. You don’t have to go see Heaven. Saying such nonsense to a kid.”
David: “But… I already prayed. I already asked to see it. But now, I don’t want to go.”
Grandma: “Then David, pray this instead: ‘No thank you, Heaven.’”
David: “But what if I go to Hell?”
Grandma: “Why are you worrying about that already?”
David: “I don’t want to die.”
Grandma: “Grandma won’t let you die.”
Suatu hari, si Nenek mengajak David jalan kaki ke hutan bersamanya. Setelah menemukan sepetak tanah yang cukup gembur di sisi rawa, Nenek pun mulai menanami bibit minari di sana. Minari adalah tanaman sayur asli Korea Selatan, dengan tangkai yang panjang dan bentuk daunnya mirip seperti peterseli. Itu merupakan tanaman tradisional yang telah lama dibudidayakan di Korea dan bisa digunakan sebagai bahan makanan juga obat kesehatan (“Rich or poor, anyone can enjoy it and be healthy”). Keunikan minari adalah walaupun tanaman itu banyak tumbuh di Korea tapi ia juga ternyata bisa tumbuh di mana saja, bisa menyesuaikan diri dengan cuaca di sekitarnya, dan tetap terpelihara rasa serta khasiatnya.
Bagi Nenek, walaupun tidak diutarakan secara langsung, menanam minari di Amerika adalah caranya untuk menanamkan identitas atau akar budaya keluarganya sebagai bangsa Korea agar senantiasa tidak terseret arus perubahan di negeri orang. Walaupun arus yang menyeretnya itu termasuk “Mimpi Amerika” yang oleh sebagian besar imigran dari segala penjuru dunia selalu dijadikan pegangan dan target utama saat mereka mulai menjejakkan kakinya di negeri Paman Sam.
Mengejar “Mimpi Amerika” seperti itu memang kerap jadi sesuatu yang tak terhindarkan, termasuk seperti yang kemudian dialami oleh Jacob. Saat panen keduanya berhasil dan ia pun sukses mendapat distributor pengganti yang kali ini benar-benar meneken kerja sama yang menguntungkan dengannya, pikirannya pun mulai berani beranjak menjajaki impian yang lebih jauh─saking jauhnya sampai ia pun menyatakan siap meninggalkan keluarganya.
Kalau sebelumnya Jacob sempat mempersilakan Monica untuk pergi meninggalkannya ketika ladang yang digarapnya tidak membuahkan hasil, maka sekarang, ketika ladangnya sukses ia malah tetap mempersilakan Monica untuk pergi karena ia jadi semakin terobsesi dengan ladangnya itu. Tentu Jacob sudah punya banyak bayangan tentang apa saja yang akan ia lakukan dengan ladangnya dan dalam setumpuk bayangan itu ia akan merasa lebih mudah jika semuanya bisa berjalan tanpa harus mengurusi keluarganya.
Maka, sesuai dengan permulaannya, impian/obsesi pribadi Jacob pada akhirnya memang hanya bisa memenuhi hasrat Jacob seorang. Jacob pun sepertinya baru menyadari hal itu belakangan─menyadari bahwa “Mimpi Amerika” selalu menyangkut ambisi dan pencapaian individu semata.
Monica: “You chose the farm over our family.”
Jacob: “It’s different now. Everything worked out.”
Monica: “We can live together when things are good, but when they’re not, we fall apart?”
Jacob: “Let’s just stop, okay? Now, we can make money and live without worries.”
Monica: “So, you’re saying, we can’t save each other but money can? Things might be fine now. But I don’t think they will stay that way. I know this won’t end well and I can’t bear it. I’ve lost my faith in you. I can’t do this anymore.”
Jadi, inilah sifat alamiah dari “Mimpi Amerika”. Bagi kaum imigran, awalnya itu berlaku sebagai sebuah undangan spesial untuk memulai hidup baru di tanah yang baru pula. Dengan segala kebaruan itu tak ayal jadi membangkitkan semacam energi terbarukan untuk meraih titik pencapaian yang benar-benar baru, yang belum pernah terjadi atau dialami sebelumnya di negeri asal. Lalu, seiring tumbuhnya optimisme, upaya meraih mimpi itu selalu diawali dengan kepercayaan besar bahwa semuanya dilakukan demi kesejahteraan bersama, baik itu kesejahteraan keluarga atau golongan. Tentu jalan yang ditempuh tidak akan mulus, ada rintangan terjal yang menghambat proses, dan pada titik inilah biasanya si pengejar mimpi mulai memikirkan pengorbanan yang lebih besar. Mereka menyadari bahwa mimpi mereka ternyata besar dan untuk menggapainya dibutuhkan juga pengorbanan yang besar: uang, tenaga, waktu, bahkan keluarga, dan bisa juga moral, nilai, serta kepercayaan. Dari setiap bentuk pengorbanan yang dilakukan si pengejar mimpi pun mulai menyadari bahwa mimpi besarnya itu ternyata tak lebih dari ambisi pribadi yang “membesar”─sebesar ego dan arogansi Amerika.
Bisa dibilang, Jacob akhirnya terjerembab ke dalam lembah arogansi tersebut yang membuatnya “rela” mengambil keputusan untuk meninggalkan keluarga kecilnya. Tapi di sisi lain, mentalitas tersebut juga dibutuhkan bagi seorang imigran yang punya tujuan bertahan hidup dan hidup makmur di Amerika. Amerika memang tanah yang menjanjikan setiap mimpi kesejahteraan untuk terwujud, tentunya lewat beberapa pengorbanan yang dilakukan, dan bagi imigran pengorbanan tersebut skalanya tentu akan dua kali, tiga kali, atau mungkin empat kali lebih besar dari yang dilakukan warga Amerika itu sendiri.
Akan tetapi bukan berarti proses pengejaran mimpi itu harus melulu jadi ambisi yang egois. Yang dibutuhkan para imigran itu untuk mengejar mimpi bersama adalah sebuah fondasi yang kuat; fondasi kuat yang menyatakan identitas, budaya, bahkan nilai tradisional yang merekatkan mereka sebagai satu kesatuan.
Dalam keluarga Yi, secara simbolis, fondasi kuat itu awalnya memang tak tampak. Rumah mereka, yang menyimbolkan keluarga, hanya ditumpu tumpukan batu bata yang tidak akan kuat menahan gempuran angin kencang. Kebun Jacob, yang menyimbolkan harapan, “disangga” oleh sistem perairan yang tak sempurna. Namun, tanaman minari yang ditanam Nenek di dalam hutan itu adalah fondasi sesungguhnya yang menyiratkan kunci bertahan hidup itu sendiri, yaitu dengan menjadi orang Korea yang teguh mempertahankan nilai jati diri mereka di tanah asing ini.
Pembuktian besarnya terjadi saat gudang tempat penyimpanan stok hasil panen ladang Jacob tanpa sengaja terbakar akibat ulah si Nenek. Seketika api melalap habis produk usaha Jacob yang siap dikirim ke distributornya yang baru itu. Jacob kelabakan coba menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan, tapi perhatiannya kemudian teralih untuk menyelamatkan Monica yang ikut masuk ke gudang berapi itu. Pada akhirnya, semua “mimpi” yang dipersiapkan Jacob itu lenyap jadi abu, tapi yang paling penting baginya sekarang adalah anggota keluarganya yang lain selamat.  Rumah tempat mereka tinggal pun selamat tak tersentuh api. “Mimpi Amerika” Jacob musnah tapi keluarganya tetap dalam keadaan utuh.
Insiden itu membuat keluarga Yi tumbuh jadi lebih kuat, dan yang terpenting, melibatkan diri pada “Mimpi Amerika” yang sama yang tidak lagi jadi ambisi pribadi individu. Kuncinya, tentu adalah kepercayaan─kepercayaan bahwa mereka berada di jalur yang sama, menuju tujuan yang satu, demi kesejahteraan bersama. Sebab “Mimpi Amerika” memang terlalu besar untuk ditanggung sendirian, terlalu berbahaya, dan bisa melahap balik si empunya sebagai tumbalnya. Setiap mimpi, apa pun namanya, memang sebaiknya dibagi dan diperjuangkan bersama-sama agar hasil yang dicapai pun bisa dinikmati oleh bersama.
Seperti tanaman minari yang mewakili keuletan, adaptasi, serta kekuatan, mereka pun menjejak dan menguat di tanah asing bersama-sama, tidak bertumbuh sendiri-sendiri.
Tumblr media
oleh: Ikra Amesta
0 notes
sinemeter · 3 years ago
Text
i’m thinking of ending things
Tumblr media
“Now is the time for the answer, just one question. One question to answer.”
Seorang gadis muda melaju di dalam mobil menembus jalanan bersalju yang panjang bersama pacarnya. Ia diajak bertamu ke rumah orang tua si pacar, tapi perjalanan yang seolah tak berujung itu membawanya berkontemplasi tentang akhir dari segala sesuatu.
Hubungan mereka baru berjalan sekitar dua bulan dan si gadis (Jessie Buckley) sudah merasa kalau hubungannya tidak bakal bertahan lama (“Jake is a nice guy but it’s not going anywhere”). Sementara Jake (Jesse Plemmons), pacarnya, punya optimisme perihal kelanggengan hubungan mereka sehingga ia pun berani membawa si gadis ke rumah orang tuanya di luar kota.
Tentunya pertemuan tersebut berlangsung canggung. Ayah (David Thewlis) dan Ibu (Toni Collette) Jake menyambut si gadis dengan hangat, menghidangkan makanan yang lezat, memperkenalkannya dengan situasi rumah yang sederhana, bahkan menawarinya untuk menginap semalam di sana. Namun, yang namanya kecanggungan memang tidak dinilai dari bentuk aktivitas semata, melainkan dari sikap, obrolan, dan karakter yang dibawakan saat perbincangan terjadi.
Memang pertemuan itu akhirnya bisa selesai dalam keadaan baik. Setidaknya tidak ada pertikaian atau permusuhan yang terjadi. Bagaimanapun juga orang tua Jake menerima gadis itu dengan baik, dengan cara mereka sendiri. Melajulah mereka menempuh perjalanan pulang yang panjang lagi, mungkin lebih panjang dari perjalanan berangkatnya, lebih jauh dan lebih lama. Lagi-lagi gagasan itu datang menyergap pikiran si gadis, bahwa segala halnya lebih baik ia akhiri saja dengan segera.
Entah dari mana awalnya, sebabnya, atau perkaranya. Yang jelas gadis itu bergulat dengan pikirannya sendiri. Atau, justru dialah yang merupakan produk dari pikiran seseorang…
Hukum Newton tentang Perasaan
“I’m thinking of ending things,” begitu suara perempuan si gadis muda saat perjalanan dimulai, ketika ia duduk di jok depan sebelah Jake yang menyetir mobil sedannya. Kondisi jalan relatif sepi, lurus dan panjang dengan balutan salju di kedua sisi jalan.
Percapakan di dalam mobil berlangsung mengalir sebenarnya, enak diikuti secara dua arah. Keduanya termasuk golongan intelek dan berbudaya, dengan cakupan topik yang luas dari mulai sains, puisi, sampai drama musikal. Mereka membahas tentang virus, lalu puisi William Wordsworth, dan Jake juga membahas tentang drama musikal Oklahoma! yang jadi favoritnya.
Pembahasan mereka tentang virus setidaknya menetapkan posisi atau prinsip masing-masing terkait cara memandang hidup. Si gadis muda mengambil pandangan yang lebih optimistis tentang virus sebagai bagian dari laju alam yang menginginkan hidup, sehingga caranya yang menulari setiap organisme adalah bentuk semangat bertahan hidup yang diaplikasikan virus. Sementara Jake mengambil pandangan yang lebih pesimistis dengan membeberkan fakta bahwa ada organisme yang punya kecenderungan mematikan dirinya sendiri, sehingga karenanya disimpulkan tidak semua yang hidup itu punya semangat untuk tetap melangsungkan hidupnya.    
Jake: “Viruses are monstrous.”
Young Woman: “Everything wants to live, Jake. Viruses are just one more example of everything. But, even fake, crappy movie ideas want to live. Like, they grown in your brain, replacing real ideas. That’s what makes them dangerous.”
Jake: “But, did you know there are insects that blow themselves up?”
Young Woman: “Yes. There are certain ants, certain aphids. There are suicide bombers.”
Jake: “Not everything wants to live. For the good of their community. So not everything wants to live, right?”
Young Woman: “True, well, they want their communities to live, which is sort of like themselves, writ large. Anyway, we don’t really know if they want anything. It’s just more likely how they’re programmed.”
Jake: “Maybe we’re all programmed, right?”
Perbedaan pandangan tersebut setidaknya menetapkan warna ke dalam karakter Jake yang sepertinya cukup dekat dengan hal-hal yang berbau kematian. Berbeda dengan gadis muda itu, yang bahkan kontemplasi pesimistisnya tentang hubungan mereka berdasarkan pada hasratnya agar bisa terus melanjutkan hidup. Ketika ia merasa tidak yakin dengan hubungannya bersama Jake, itu terjadi karena secara tidak langsung ia menatap masa depan hidupnya sendiri.
Gadis itu memang tidak bisa mengelak bahwa dirinya terjebak dalam hubungan ini. Namun, ia sendiri tidak bisa memutuskan apa penyebabnya atau aspek apa dalam diri Jake yang tak bisa ia terima. Sebab di sepanjang perjalanan ia pun tidak memungkiri bahwa Jake punya banyak kualitas yang baik dalam karakternya. Jake itu cerdas, sensitif, berbudaya, perhatian, dan pastinya seorang teman ngobrol yang menyenangkan karena punya wawasan luas. Semua nilai itu pada kenyataannya tidak mampu mengubah perasaan si gadis yang kemudian menganalogikan situasi dirinya dengan hukum dasar fisika, di mana sebuah obyek yang bergerak akan terus berada dalam gerakan itu dengan arah dan kecepatan yang sama. Seperti dirinya yang sedang berada di dalam mobil, dengan arah dan kecepatan yang sama, ia pun terikat oleh hubungan asmaranya tanpa bisa ke mana-mana (“People tend to stay in relationships past their expiration date. It’s Newton’s first law of emotion”). Mungkin dari sini ia pun mulai menyadari bahwa dirinya adalah obyek, ditempatkan di tengah-tengah situasi yang tanpa awal, tanpa motif, tanpa dasar, tapi hanyut dalam gerakan yang terus membawanya entah ke mana. Mungkin ini memang pertanda sebuah hubungan yang tidak baik, yaitu ketika salah satu dari pasangan merasa dirinya sebagai obyek dari yang lain.
Pulang ke Rumah Itu Tidak Menyenangkan
Si gadis muda mendeklamasikan sebuah puisi bikinannya sendiri di dalam mobil. Judulnya “Bonedog” dan secara kebetulan itu bicara tentang pengalaman pulang kembali ke rumah yang dibuka dengan bait: “Coming home is terrible.” Tanpa bermaksud menyindir, isi puisi tersebut memang diakui Jake terasa seperti bicara tentang dirinya. Tentang bagaimana rumah mengingatkannya kepada kesendirian, rasa sakit, keterasingan, bahkan keinginan untuk pergi darinya (“You return home, moon-landed, foreign”). Perjalanan yang panjang dan dingin itu seakan menempuh jalur pikiran dan perasaan Jake yang bergerak menuju penyesalan ataupun trauma dari masa lalunya.
Seperti Tur ke Alam Bawah Sadar Seseorang
Sesampainya di rumah, sebelum masuk ke dalam, Jake mengajak gadis muda itu ke peternakan orang tuanya yang terletak di bagian pekarangan. Seekor anak kambing tergeletak tak bernyawa di sana. Lalu sebuah kandang di pojok menarik perhatian si gadis karena itu kosong, menyisakan dua gumpalan hitam besar di atas alas jerami, seolah menyiratkan jejak mantan penghuninya di masa lalu.  
Jake mengisahkan dulu kandang itu dihuni oleh dua ekor babi yang gemuk-gemuk; kedua orang tua Jake rajin melemparkan makanan ke dalam kandang untuk mereka nikmati, sampai kemudian kedua babi itu terus berkubang di atas tempatnya tanpa pernah berdiri atau berjalan. Saat ayah Jake mengangkat babi itu baru diketahui kalau bagian perut bawah mereka sudah dipenuhi belatung. Babi itu membusuk lalu tubuhnya digerogoti belatung seraya melewati kematiannya yang perlahan dan menyakitkan.  
“Life isn’t always pretty on a farm,” kata Jake, tapi kisah babi itu juga seperti menggambarkan tentang dirinya. Tentang ketakutannya akan menjadi babi yang digerogoti belatung jika ia tidak keluar dari rumah. Tentang bagaimana hidupnya akan memburuk jika ia tetap tinggal bersama kedua orang tuanya atau menjalani karir di kota kecilnya itu.
Masuk ke dalam rumah, sambutan kedua orang tua Jake terhadap gadis muda itu terbilang hangat, walaupun di saat yang bersamaan juga terasa aneh dengan kecanggungan yang tak terjelaskan. Mereka berempat berbincang di meja makan sambil menyantap hidangan rumahan yang sederhana. Keempatnya mencoba berkomunikasi, atau membangun jalur komunikasi yang baik, dengan satu sama lain.
Si ibu tampak begitu gembira melihat Jake berpacaran dengan seorang perempuan dan bisa membawanya ke rumah. Beberapa kali si ibu tak ragu memuji Jake di depan gadis itu layaknya seorang ibu kepada bocah laki-lakinya. Si ibu juga kerap mengungkit beberapa pengalaman Jake ketika masih sekolah─seperti ketika Jake mendapatkan pin apresiasi sebagai anak rajin atau bagaimana ia keranjingan permainan papan Genus Edition─setiap kali menanggapi topik pembicaraan yang sedang dibahas.
Si ayah juga tampak antusias, tapi bisa dibilang antusiasmenya itu mendekati ke arah ganjil. Si ayah terkesan tidak menggubris kehadiran Jake dan lebih banyak menatap wajah si gadis dengan lekat-lekat. Ia membahas hobi si gadis yang senang membuat lukisan panorama, menengok beberapa hasil lukisannya dari layar smartphone, lalu menyimpulkan bahwa jenis lukisan semacam itu tidak mampu membangkitkan perasaannya. Menurutnya, tanpa kehadiran sosok manusia di dalam lukisan yang sedang sedih atau bahagia maka ia pun kesulitan untuk merasakan sedih atau bahagia dari lukisan panorama.
Sikap atau reaksi yang ditunjukkan ibu dan ayah Jake di meja makan itu setidaknya mencerminkan karakter keduanya. Si ibu punya kecenderungan overprotective, oversensitive, dan pencemas. Sementara si ayah cenderung kaku, kurang sensitif, dan agak sulit mengungkapkan perasaan.
Suasana di meja makan itu lalu semakin hidup ketika si gadis muda mulai menceritakan tentang pertemuan pertamanya dengan Jake. Semua dimulai ketika di salah satu sudut di sebuah pesta anak-anak kampus digelar pertandingan/kuis trivia yang diikuti dua regu mahasiswa. Jake berada di salah satu regu dan gadis muda itu bersama teman-temannya duduk menonton dari dekat. Si gadis mengaku tertarik dengan kecerdasan Jake dan ia membuka obrolan dengan membahas pemilihan nama regu Jake (Brezhnev’s Eyebrows) yang berujung kepada saling tukar nomor telepon masing-masing. Si gadis muda itu menimpali dirinya tertarik oleh karisma Jake yang merupakan gabungan antara kecerdasan dan kecanggungan. Dari malam itu keduanya pun akhirnya menjalin hubungan sampai sekarang.  
Makanan penutup lalu dihidangkan, kue coklat favorit Jake, dan itu artinya tak lama lagi Jake dan gadis itu harus segera beranjak pergi, apalagi malam semakin larut dan salju semakin tebal. Si gadis juga mengingatkan kalau ia harus pulang ke tempatnya malam ini karena besok pagi ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
Namun, situasi justru berubah jadi semakin aneh. Saat si gadis itu siap pamit pulang, ruang tengah mendadak kosong. Ia menaiki tangga lantai atas, masuk ke kamar Jake dan menemukan buku antologi puisi karya Eva H. D. dengan puisi “Bonedog” yang sebelumnya ia deklamasikan di mobil tertera di dalamnya. Si ayah datang menghampirinya, tapi kali ini dalam kondisi yang lebih tua dari sebelumnya dan menderita pikun sehingga mesti menempelkan label nama ke setiap benda yang ada di rumah. Si ayah pun mengenang Jake seolah anaknya itu sudah lama tidak pulang.
Si gadis muda lalu turun ke ruang basement dan ia menemukan satu sudut penuh lukisan panorama karya pelukis Ralph Albert Blakelock yang ternyata adalah lukisan-lukisan yang sebelumnya ia perlihatkan melalui smartphone di meja makan. Di dalam mesin laundry ia menemukan banyak seragam janitor yang sedang dibilas di sana, entah milik siapa.
Kembali ke ruang tengah, ia menemukan Jake tengah duduk di samping pembaringan ibunya yang mendadak menjadi uzur, sakit-sakitan, tak berdaya. Jake menemani ibunya yang tua renta itu sampai tertidur pulas setelah sebelumnya ia juga menyuapinya makanan. Jake meminta gadis itu untuk tenang, ia akan segera mengantarnya pulang karena ibunya sudah tertidur dan tak membutuhkan bantuan apa-apa lagi.
Maka keduanya pun kembali menaiki mobil sedan menempuh perjalanan panjang pulang di tengah malam bersalju.
Mereka kembali mengobrol tentang beberapa hal yang menarik. Mereka juga sedikit menyinggung tentang pertemuan dengan orang tua Jake yang kemudian mereka simpulkan sebagai pertemuan yang cukup sukses.
Namun, di sela-sela obrolan itu, gadis muda itu pun sesekali terhanyut lagi dalam renungan personal untuk mengakhiri segalanya. Di sela-sela kejanggalan yang ditemuinya di rumah tadi, ia juga sempat merenung tentang eksistensi dirinya yang dirasa seperti berada di luar dirinya sendiri. Ia adalah bagian dari kehidupan Jake, itu tak bisa dipungkiri, tapi ia tidak bisa merasakan ada eksistensi lain pada dirinya selain itu sehingga bisa dibilang bahwa dirinya hanyalah produk yang diciptakan Jake (“Jake needs to see me as someone who sees him”).
Lalu, kalau gadis muda itu adalah sosok fiktif, maka untuk apa Jake sampai harus menciptakannya? Siapakah Jake yang sebenarnya? Dan apa mungkin gadis itu juga punya otoritas sendiri untuk eksis di luar kendali fiksional Jake?
Tumblr media
Si Gadis Muda Sebagai Sosok Fiktif
Dimulai dari nama. Gadis itu punya beberapa nama panggilan berbeda dalam kurun waktu kurang dari sehari saja. Jake memanggilnya Lucy, Louisa, Yvonne, Ames, dan gadis itu pasti selalu menyahut. Ketika dipanggil Ames gadis itu bahkan sempat bertanya di dalam hatinya apakah panggilan itu merupakan kependekan dari Amy atau bukan, yang berarti ia sendiri tak yakin dengan identitas dirinya sendiri karena semuanya bergantung pada Jake.
Berikutnya adalah tentang pekerjaan. Gadis itu disebut sebagai mahasiswi/saintis yang mendalami fisika kuantum, juga gerontologi, juga pramusaji, kritikus film, bahkan penyair. Beberapa kali si gadis mengingatkan Jake bahwa ia mesti pulang malam ini karena besok ada pekerjaan yang harus dibereskan, tapi detail pekerjaannya berubah seiring waktu dari yang awalnya membuat paper ilmiah tentang infeksi rabies jadi membuat tulisan esai tentang film.
Kemudian tentang kisah pertemuan awal mereka, itu pun tidak konsisten. Di meja makan si gadis telah menjelaskan panjang-lebar tentang bagaimana dirinya pertama berkenalan dengan Jake di sebuah permainan trivia yang dimenangkan Jake. Namun, dalam kesempatan lain yang singkat, kepada ayah Jake keduanya mengaku bertemu di sebuah kedai ketika mereka kebetulan memesan menu burger yang sama.
Semua perubahan itu menimbulkan kejanggalan pada sebuah rangkaian narasi yang linier. Detail yang tidak konsisten tentu membuat eksistensi gadis muda itu jadi diragukan dan malah jadi masuk akal dengan menyimpulkan bahwa ia adalah sosok yang direka Jake di dalam pikirannya sendiri. Gadis itu tidak nyata, hanya fantasi, imajinasi, yang lahir dari hasrat terpendam Jake akan pasangan yang ideal.
Keberadaan gadis itu mengisyaratkan kebutuhan psikologis Jake akan afeksi sekaligus juga memberinya validasi sebagai pria yang utuh. Barangkali gadis itu pernah ia temui di dunia nyata secara sekilas atau mungkin hanya ia pandangi dari kejauhan tanpa pernah berkenalan─sehingga ia pun harus mengarang beberapa nama yang menurutnya cocok. Dari situ muncul imajinasinya untuk bisa jadi pacar si gadis serta bayangan-bayangan ideal tentang percakapan “berat nan mendalam” di setiap kesempatan berduaan. Ini berarti mengakomodasi kebutuhan lain di dalam dirinya, yaitu kebutuhan untuk diakui sebagai seseorang yang cerdas.
Keberadaan gadis itu juga berkaitan erat dengan momen pulang kampungnya ke rumah orang tua. Puisi “Bonedog” yang bicara tentang beratnya pulang ke rumah, yang seolah menjadikan rumah sebagai tempat segala trauma dan rasa sakit personal berasal, bisa jadi memang menyuarakan perasaannya. Jake butuh dikuatkan, dan keberadaan gadis itu di sisinya membuat momen pulang jadi bisa lebih dilalui sekalian juga jadi kebanggan karena dirinya bisa memamerkan seorang pacar yang brilian kepada kedua orang tuanya.
Semua itu diciptakan oleh Jake untuk menguatkan esensi dirinya, untuk membuatnya tidak lagi kesepian dan punya kebanggaan yang bisa ditunjukkan kepada orang-orang di sekitarnya. Walaupun memang fantasi Jake belum sepenuhnya solid, masih ada inkonsistensi di beberapa detail, tapi bisa dipastikan kalau ia melakukannya bukan karena sedang menulis karya fiksi. Ia melakukannya karena sedang menulis ulang jalan hidupnya sendiri baik yang sedang atau yang telah terlewati.
Maka, siapakah gerangan Jake yang sebenarnya?
Jake Si Janitor
Siapakah Jake? Jake adalah seorang janitor di sebuah gedung SMA. Di sana ia bekerja dari pagi sampai malam membersihkan lantai dan WC, merapikan bangku dan meja di kelas, membuang sampah, dan memastikan semua ruangan kinclong setiap hari.
Jake tidak punya pacar, ia hidup sebatang kara di sebuah rumah. Ia bahkan tidak lagi muda, rambutnya beruban dan kulitnya penuh kerut, usianya mungkin menginjak 60 tahunan. Dari perspektif dirinya sendiri, ia adalah seorang yang gagal atau setidaknya punya banyak hal yang belum jua ia raih di usia mudanya (“Old people are the ash heap of youth”). Maka Jake adalah seorang lansia yang sedang merefleksikan kehidupannya dengan menciptakan realitas anyar sebagai seorang pria muda yang punya seorang pacar yang bisa ia banggakan.
Ia menciptakan gadis muda itu dalam realitas alternatifnya sebagai alat yang bisa membantu membuat hidupnya jadi lebih berarti. Lebih dari itu, gadis muda tersebut ia hadirkan sebagai obyek yang kemudian memvalidasi banyak hal yang ia inginkan ada dalam dirinya, seperti kecerdasan, kesuksesan, karisma, sifat penyayang, dan kualitas alfa seorang pria.
Gadis muda itu sendiri adalah seorang gadis yang benar-benar pernah Jake temui. Seorang gadis cerdas dan periang yang pernah ia pandangi dari kejauhan tanpa keberanian untuk mendekatinya. Eksistensinya yang kabur itu ia hidupkan kembali di dalam khayalannya yang kemudian tanpa ia sadari malah mengambil peran baru yaitu sebagai akal sehat Jake yang mengevaluasi dirinya sendiri lewat ucapan dan tindakan otentiknya. Jadi si gadis khayalan yang ia tempatkan dalam plot fiktifnya itu kemudian seolah keluar dari rel takdirnya dan bertransformasi sebagai sosok yang punya logikanya sendiri.
Hal itu terjadi dalam perjalanan pulang dari rumah orang tua Jake. Si gadis muda yang tak kuasa menahan bosan dan semakin yakin akan keputusannya untuk memutuskan hubungannya dengan Jake akhirnya mengonfrontasi Jake dengan beberapa gagasan tandingan yang terlontar saat keduanya bercakap-cakap.
Ketika Jake menyinggung teori Sigmund Freud tentang bagaimana ibu selalu jadi sumber utama dari masalah psikologis yang dialami seorang anak─yang secara tidak langsung menyampaikan kecenderungan Jake untuk menyalahkan ibu kandungnya atas problemnya sendiri─gadis muda itu dengan tegas menyebut konsep Freud sebagai omong kosong. Atau ketika Jake hendak bercumbu dengan si gadis dan ia mengutip lirik lagu “Baby, It’s Cold Outside,” gadis itu pun mendebat dengan menyebut kalau liriknya mengandung konten tentang perkosaan, sama sekali bukan hal yang romantis.
Sepanjang perjalanan pulang itu percakapan yang terjadi di dalam mobil memang lebih sering mengandung perdebatan. Si gadis muda sering mempertanyakan keputusan-keputusan Jake di tengah perjalanan, seperti ketika ia mendadak ingin mampir ke kedai Tulsey Town membeli minuman es krim di tengah udara dingin, atau ketika ia memutuskan mampir ke gedung SMA-nya dulu untuk membuang sampah. Perbedaan pendapat yang terjadi itu agaknya menunjukkan sisi kelemahan Jake si janitor sebagai sang dalang yang seolah mengafirmasi inferioritasnya sendiri. Hal itu pula yang memberi ruang bagi si gadis fiktif untuk mewujud sebagai entitas lain yang berkesadaran sendiri dan mempertanyakan motif-motif Jake layaknya akal sehat.
Puncaknya terjadi saat si gadis muda bertemu dengan Jake si janitor di dalam gedung SMA yang sudah sepi. Gadis muda itu tengah mencari Jake yang tiba-tiba keluar dari mobil karena merasa ada orang yang mengintip mereka dari balik gedung SMA. Si gadis menyusulnya tapi ia tidak bisa menemukan pacarnya itu di mana-mana dan malah bertemu Jake si janitor tua yang sedang mengepel koridor. Keduanya pun terlibat obrolan singkat:
Janitor: “What does your boyfriend look like?”
Young Woman: “It’s hard to describe people. It was so long ago, I barely remember. We never even talked, is the truth. I’m not even sure I registered him. There’s a lot of people. I was there with my girlfriend. We were celebrating our anniversary, stopped in for a drink, and then this guy kept looking at me. It’s a nuisance. The occupational hazard of being a female. You can’t even go for a drink. Always being looked at. He was a creeper! You know? And I remember thinking, I wish my boyfriend was here, which is sort of sad, that being a woman, the only way a guy leaves you alone is if you’re with another guy. Like you’ve been claimed. Anyway, I can’t remember what he looks like. Why would I? Nothing happened. I think it was just one of thousands of such non-interactions in my life. It’s like asking me to describe a mosquito that bit me on an evening 40 years ago.”
Dalam obrolan itu si gadis muda seolah berpindah ke realitas baru sebagai gadis yang dulu pernah dilihat Jake dari kejauhan. Ia mengungkapkan pikirannya sendiri tentang Jake, seseorang yang tidak ia kenal, tidak ia ingat, dan bahkan keberadaannya itu tidak berarti di dalam hidupnya. Jika Jake si janitor memang sengaja menampilkan si gadis seperti itu dalam imajinasi yang dibangunnya, maka itu berarti ia mengakui kekerdilannya sendiri di mata masyarakat. Jika itu semua terjadi di luar olahan imajinasi Jake, maka berarti si gadis telah merangsek keluar dari dunia fiktifnya dan menjadi realitas lain yang mengobservasi Jake.
Pada akhirnya, Jake seperti mengakui bahwa plot fiktifnya, semenyenangkan apa pun itu, tidak akan bisa merevisi kenyataan yang telah ia lewati atau mengubah kondisinya sekarang. Ia tetap seorang janitor yang merasa gagal mencapai potensi terbaik dirinya dan gadis itu akan tetap jadi seseorang yang tidak mengingat kehadiran Jake di dalam hidupnya.
Sebuah Kontemplasi Panjang untuk Mengakhiri Segalanya
Di balik semua narasi, plot imajinatif, sosok-sosok fiktif yang dihidupkan, isi percakapan, dan peristiwa yang dilewati di tengah perjalanan panjang bersalju itu terkandung sebuah kontemplasi panjang dari Jake si janitor untuk mengakhiri semuanya. Rangkaian perjalanan tersebut mewakili penyesalan sekaligus ekspektasi yang tak bisa terwujud karena realitas telah mencengkeram Jake pada kondisi hidupnya yang tak menyenangkan.
Pada akhirnya Jake si janitor terpaksa mengakui bahwa akal sehatnya─dalam bentuk si gadis muda─yang berbalik mempertanyakan eksistensi dirinya secara kritis tidak mengizinkannya untuk terus hidup di dalam bayangan “what if” yang diciptakannya sendiri.
Pertemuannya dengan gadis muda di koridor sekolah yang mengungkapkan betapa mudahnya Jake dilupakan terasa seperti alarm yang membangunkan Jake si janitor dari harapan-harapannya. Ia pun tenggelam dalam proyeksinya sendiri bahwa jalur hidupnya akan membaik padahal pada realitasnya usia tua justru membuatnya pesimistis (“It’s a uniquely human fantasy that things will get better, born perhaps of the uniquely human understanding that things will not”).
Maka kalimat “I’m thinking of ending things” yang diungkapkan si gadis muda adalah perenungan Jake si janitor untuk mengakhiri hidupnya sendiri, dan plot yang ia imajinasikan itu jadi semacam motif penguat tentang kenapa dirinya harus berakhir.
Young Woman: “I’m thinking of ending things. Once this thought arrives, it stays. It sticks, it lingers, it dominates. There’s not much I can do about it, trust me. It doesn’t go away. It’s there whether I like it or not. It’s there when I eat, when I go to bed, when I sleep, when I wake up. It’s always there. I haven’t been thinking about it for long. The idea is new. But it feels old at the same time. When did it start? What if this thought wasn’t conceived by me, but planted in my mind, pre-developed. Is an unspoken idea original? Maybe I’ve actually known all along. Maybe this is how it was always going to end.”
Segera setelah semua imajinasinya selesai, Jake si janitor tak kuasa menahan serangan mental breakdown di dalam mobilnya sendiri. Ia tidak bisa mengontrol diri dari ketakutan-ketakutan yang menyergap pikirannya, pil-pil pahit dari masa lalu yang masih berkelindan dengan kondisi hidupnya kini. Ia pun mulai melepaskan pakaiannya satu per satu lalu berhalusinasi bertemu sesosok babi kartun yang bagian perut bawahnya telah digerogoti belatung.
“You, me, ideas. We’re all one thing,” ujar babi kartun itu yang kemudian menuntun Jake si janitor menjawab satu pertanyaan terakhir yaitu tentang apakah dirinya sudah siap mengakhiri hidupnya sekarang. Dan Jake sepertinya sudah kehabisan pilihan lain untuk menjawab pertanyaan pamungkasnya itu.
Sudah jelas bagi Jake bahwa sekuat apa pun ia coba mengimajinasikan hidupnya ia tetap tak bisa mengubah realitasnya. Ketika ia mulai mengimajinasikan hidupnya ia sebenarnya menyadari bahwa yang ia inginkan adalah untuk menyelesaikan hidup dengan sesedikit mungkin penyesalan. Namun penyesalan adalah emosi terkuat dan terjujur dalam diri manusia yang tak mungkin ditaklukkan, diubah, atau dibuang. Yang bisa manusia lakukan, dengan penuh kepasrahan dan segenap kekuatan yang tersisa di diri, adalah menerimanya.
Itu memang sulit, dan itu sebabnya terbersitlah: “I’m thinking of ending things.”
Tumblr media
oleh: Ikra Amesta
1 note · View note
sinemeter · 3 years ago
Text
the irishman
Tumblr media
“I heard you paint houses.”
Sebagai seorang hitman dari kelompok mafia Philadelphia, pekerjaan Frank selalu dilandasi oleh setidaknya tiga hal: aksi kriminal, loyalitas, dan upaya bertahan hidup. Tentu saja kariernya itu dihiasi oleh peluru, darah, dan air mata di sepanjang jalan.  
Frank Sheeran (Robert De Niro) adalah seorang veteran Perang Dunia II yang alih profesi sebagai supir truk pengantar daging. Pekerjaannya yang biasa-biasa saja itu cukup menjamin hidupnya sebagai orang yang biasa-biasa pula di Philadelphia. Sampai kemudian ia melihat sebuah peluang bisnis yang bagus untuk menjual daging-daging itu secara ilegal kepada restoran steak milik Skinny Razor, salah satu pentolan organisasi mafia setempat. Frank harus mencuri daging-daging itu dari pabrik secara diam-diam dengan memanipulasi catatan dan isi container truknya. Seiring waktu, permintaan daging dari restoran Skinny semakin naik dan itu membuat Frank nekat mengosongkan pasokan daging satu container yang seharusnya diantarkan ke distributor. Gara-gara itu ia pun dituntut ke meja hijau oleh perusahaan tempatnya bekerja dengan tuduhan pencurian.
Untungnya Skinny punya koneksi seorang pengacara dari Teamster, atau serikat buruh khusus Amerika Serikat dan Kanada, yang menyatakan siap membela Frank di pengadilan. Si pengacara lalu sukses membebaskan Frank dari dakwaan dan hukuman penjara, malah membuat perusahaan tempat Frank bekerja membayarkan sejumlah denda atas pencemaran nama baik. Kemenangan itu membuat Frank sendiri heran; ia menduga bahwa sang pengacara punya kekuasaan terselubung yang cukup untuk “menaklukkan” hakim dan penegak hukum─kekuasaan yang didukung oleh orang-orang kuat dan berpengaruh yang beroperasi di jalur bawah tanah.
Si pengacara lalu mengajak Frank ke sebuah restoran yang bisa disebut sebagai sarangnya “orang-orang kuat” itu (“There’s a lot of tough guys around here. You’re not afraid of tough guys, are ya?”). Mereka tidak tampak sebagai orang-orang berbadan besar dan berotot kekar, mereka justru tampak necis dan rapi dengan setelan jas lengkap, dan beberapa dari mereka juga malah tampak sudah cukup berusia untuk bisa berkelahi dengan tangan kosong.
Di situlah si pengacara memperkenalkan Frank kepada kakak sepupunya, Russel Bufalino (Joe Pesci), seorang pimpinan organisasi mafia yang paling dihormati dan bisa dibilang menguasai seluruh wilayah Philadelphia. Maka dari perkenalan tersebut, dimulailah profesi dan kehidupan baru Frank sebagai seorang centeng mafia (“I met what was gonna turn out to be the rest of my life”).    
Lapisan Terluarnya: Tindak Kriminal
Kesan pertama yang terpancar dari sosok Russell, yang mungkin juga diamini oleh para mafia yang telah lama mengenalnya, adalah sebagai seorang gentleman yang diliputi aura kebapakan. Ramah, murah senyum, mengayomi, nada bicaranya sopan dan mengandung kebijaksanaan yang tidak dibuat-buat. Dari jauh beliau terlihat seperti sosok orang tua yang punya banyak pengalaman serta nasihat hidup untuk dikisahkan.
Ia mengelola sebuah toko karpet dan gorden, berkantor di sana saat siang hari, walaupun sebenarnya ada banyak toko dan usaha bisnis lain juga yang ia kelola dari jauh di mana ia selalu mendapat jatah setoran secara rutin. Di toko karpetnya itu orang-orang “penting” berdatangan menemuinya, berbicara empat mata dengan serius di ruang kerjanya membahas tidak hanya bisnis tetapi juga tentang masalah hukum. Para tamu tentunya adalah mafia, businessman, politisi, yang datang meminta arahan serta nasihat kepada Russell karena mereka mempercayakan segala urusan hukum kepadanya. Tangan dingin Russell dan tutur halusnya sanggup menghilangkan masalah-masalah pelik yang terjadi, termasuk dengan menghilangkan nyawa dan jasad orang yang menyebabkan masalah tersebut.
Frank: “Russell had a piece of everything. He had this store in Pittston called Penn Drape & Curtains. And he ran everything out of there. Who knew what it all was? I mean, I’m sure the man had partners. They always have partners. Nobody keeps all the money. But everybody listened to Russ. That I can tell you. You wanted to bribe a judge, you asked Russell. You didn’t know how much to bribe him, Russell was gonna tell you. You want to promote one of your guys, Russ would tell you, you could or you could not. You want to make somebody disappear, you got to get Russell’s permission. You know, no two ways about it. And when you did something for Russ, you did it yourself. Like Russ used to say, ‘When I ask somebody to take care of something for me, I expect them to take care of it themselves. I don’t need to roads coming back to me.’”
Dengan bergabungnya Frank ke lingkaran “bisnis” Russell, maka ia pun harus siap dengan tugas-tugas kotor yang diberikan kepadanya. Sebagai hitman ia bisa jadi sesosok debt collector yang mengintimidasi korbannya dengan ancaman dan bahkan kekerasan fisik. Ia juga bisa ditugaskan untuk menyabotase saingan-saingan dari jaringan bisnis Russell dengan meledakkan tempat-tempat usaha mereka di tengah malam, tentu pengalamannya sebagai tentara Perang Dunia II membuatnya sangat akrab dengan bahan peledak. Dan tugasnya yang paling umum sudah pasti adalah pembunuhan. Frank tidak perlu khawatir dirinya akan tertangkap atau dipenjara polisi karena Russell melindunginya dari jerat hukum. Ia bisa menyaksikan berita hasil kejahatannya disiarkan di TV atau membaca artikelnya di koran pagi, tapi dijamin tidak akan ada yang menyebut namanya sebagai tersangka.
Mengenai pembunuhan, para mafia mengistilahkan tugas itu sebagai “mengecat rumah” yang terinspirasi dari limpahan darah merah yang menciprati tembok ketika peluru menembus bagian tubuh korban. Dalam hal ini Frank sangat mahir sebagai “pengecat rumah” walaupun beberapa tugas itu kerap pula ia tuntaskan di atas trotoar jalan atau di dalam sebuah kedai makanan, tidak selalu di rumah. Ia punya banyak pilihan senjata api di rumahnya, yang sepertinya dipasok oleh anak buah Russell karena setiap kali ia selesai membunuh pistolnya pasti selalu ia buang ke sungai Schuylkill (“If they ever send divers down there, they’d be able to arm a small country”). Rata-rata tugas berdarahnya itu dilakukan di tengah malam sehingga di pagi harinya ia bisa duduk di ruang tengah sambil menonton aksi kriminalnya diberitakan di TV.
Frank tentu saja tidak bisa memilih siapa yang harus dibunuh. Begitu Russell menyebut nama target maka Frank tidak punya wewenang untuk mengajukan opsi atau solusi lain. Contohnya adalah ketika ia harus membunuh seseorang yang malah telah menyewanya untuk meyabotase sebuah tempat laundry lokal. Masalahnya ia baru tahu kalau tempat itu ternyata dimiliki beberapa sahamnya oleh Angelo Bruno, salah satu pimpinan mafia yang berelasi erat dengan Russell. Maka mau tidak mau Frank harus mengganti tugas dan sasarannya sesuai instruksi Russell, yaitu menghabisi nyawa orang yang telah menyewa jasanya. Sambil berjalan di atas trotoar Frank melepas beberapa tembakan cepat yang seketika membuat sang korban ambruk, lalu Frank terus berjalan menembus gelapnya malam meninggalkan jasad seorang pria yang tergeletak berlumuran darah di belakangnya.
Pembunuhan lain sempat ia lakukan di tempat yang lebih terbuka dengan banyak saksi mata. Korbannya adalah Crazy Joe, seorang pentolan organisasi mafia juga yang beroperasi di wilayah yang berbeda dengan Russell. Penyebabnya adalah Crazy Joe menghardik Russell di sebuah acara makan malam gara-gara mengenakan pin asosiasi warga keturunan Amerika-Italia yang dianggap Joe sebagai lelucon. Sebelumnya Joe mengutus orang untuk membunuh orang penting di tengah-tengah berlangsungnya festival Amerika-Italia yang sedang dihadiri banyak orang.
Frank yang membawa beban rasa tersinggung Russell bersamanya lalu mendatangi sebuah kedai tempat Joe merayakan ulang tahunnya bersama rombongannya di larut malam. Dengan gerakan yang cepat dan efektif ia memberondong Joe dengan beberapa peluru dari pistolnya sampai targetnya itu tidak lagi berdaya. Insiden itu tentunya mengancam timbulnya perang antargeng mafia tapi lagi-lagi tangan dingin Russell bisa meredakan itu semua, membuat kelompoknya bersih dari tuduhan dan Frank bisa terus menjalankan hidup bersama keluarganya dengan aman.  
Tak bisa dipungkiri bahwa tindak pembunuhan yang dilakukan oleh Frank itu jadi satu elemen penting yang sangat identik dengan aktivitas mafia. Namun, yang membedakannya dari aksi kriminal pada umumnya, pembunuhan dalam mafia berfungsi sebagai proses bisnis yang menjamin keberlangsungan organisasi tersebut. Sama halnya seperti bagian pemasaran dalam suatu perusahaan, pembunuhan dalam mafia juga mewakili prinsip yang sama setidaknya untuk mempromosikan dua hal: kekuatan dan imej. Tujuannya tentu saja menumbuhkan respek dan segmentasi pasar yang dituju, berhubung jalurnya berada di bawah tanah, adalah sesama pelaku kriminal bawah tanah lainnya. Maka dalam hal ini fungsi Frank bisa dikatakan sebagai brand ambassador dari sebuah “merek” yaitu Russell.
Peran yang dijalankan Frank itu nyatanya telah berhasil melebarkan sayap “merek” yang diwakilinya ketika seseorang dari kalangan penguasa tinggi Amerika menghubunginya, lalu secara langsung memintanya untuk “mengecat rumah” untuknya.
Lapisan Menengah: Loyalitas
Jimmy Hoffa (Al Pacino) adalah salah satu bintang besar yang turut menghiasi wajah politik dan bisnis Amerika (“In the ‘50s, he was as big as Elvis. In the ‘60s, he was like the Beatles”).  Ia adalah presiden dari International Brotherhood of Teamsters, buruh terbesar yang menjangkau Amerika dan Kanada. Dengan kekuasaan sebesar itu tentu saja ia punya musuh dan godaan yang besar pula. Ia diincar oleh keluarga Kennedy, terutama Bobby Kennedy selaku jaksa agung yang sampai membentuk tim khusus untuk meringkus Jimmy dengan tuduhan penyelewengan dana. Jimmy sampai harus beberapa kali bolak-balik persidangan menghadapi Bobby yang begitu geregetan ingin memenjarakannya.
Melalui Russsell, Jimmy kemudian menyewa Frank sebagai hitman pribadinya. Koneksi antara Russell dan Jimmy sendiri memang sudah berlangsung cukup lama dalam hubungan simbiosis bisnis yang saling menguntungkan. Para mafia itu selalu mendapat dana pinjaman dari Teamsters untuk melancarkan bisnis mereka tentunya atas izin Jimmy sementara Jimmy sendiri mendapat banyak “bantuan hukum” untuk menyingkirkan para pesaingnya. Hal itulah yang membuat Jimmy selalu aman dari jerat hukum walaupun ia telah melakukan penipuan, pencucian uang, dan korupsi dana pensiun di Teamsters.
Jimmy dan Frank dengan cepat menjalin hubungan akrab. Keduanya diam-diam saling mengagumi dan menghormati. Kedekatan keduanya bahkan juga melibatkan keluarga masing-masing yang bahkan membuat salah satu putri Frank, Peggy, merasa lebih kerasan bersama Jimmy dibandingkan bersama Russell. Jimmy juga kemudian mengangkat Frank jadi presiden di salah satu cabang Teamsters yang seketika membuat pria gagah itu terharu mengingat dirinya yang dulu hanyalah sopir truk biasa.
Namun, seiring berjalannya waktu hubungan antara Jimmy dan para mafia mengalami sedikit kerenggangan. Penyebabnya adalah karena Jimmy punya ambisi dan mafia punya bisnis, kedua kepentingan itu pada satu titik jadi saling kontradiktif. Contohnya adalah ketika para mafia mendukung John F. Kennedy pada pemilu Amerika dengan cara menggelembungkan suara voting agar JFK bisa terpilih sebagai presiden. Di sisi lain Jimmy yang membenci keluarga Kennedy tentu menghendaki skema yang berlawanan karena ia tidak ingin ambisinya untuk terus bertahan sebagai presiden Teamsters diusik oleh mereka. Namun, bagi para mafia kemenangan JFK memberi mereka harapan akan kejatuhan Fidel Castro yang berarti membuka kembali pintu masuk untuk bisnis kasino mereka di Kuba. Bahkan, Frank sendiri sempat diutus oleh Russell untuk mengantarkan satu kontainer senjata ilegal kepada orang pemerintahan untuk digunakan pada invasi Teluk Babi di selatan Kuba.
Kerenggangan lainnya timbul ketika Tony Pro mencalonkan diri sebagai presiden Teamsters. Tony Pro adalah pentolan organisasi kriminal di New Jersey yang tentunya punya relasi yang kuat dengan para mafia. Kalau Tony Pro bisa menduduki jabatan penting di Teamsters maka dengan kata lain para mafia itu telah menempatkan “orang dalam” yang bisa memperlancar aliran dana untuk urusan bawah tanah mereka. Walaupun Jimmy sudah sering berbisnis dengan para mafia tapi ia memang dikenal sangat selektif dalam memberikan pinjaman.
Maka dalam kerenggangan itu Frank selalu berada di posisi penyeimbang sebagai jembatan yang menghubungkan dua kutub, Jimmy dan Russell, agar suasana tetap kondusif. Ia berada di antara dua sosok kuat yang sama-sama menuntut loyalitasnya sebagai orang kepercayaan. Pada satu titik ia adalah seorang penyambung pesan yang tidak hanya menyampaikan apa yang tersirat tetapi mengerahkan empatinya kepada kedua belah pihak demi mempertahankan hubungan baik. Karena sedikit saja Frank keliru menyampaikan pesan yang dimaksud bisa jadi masalah besar yang akan datang.
Tumblr media
Situasinya mulai berubah ketika Jimmy akhirnya berhasil dipidanakan atas tuduhan penipuan dan harus dipenjara di Lewisburg selama 5 tahun. Secara de facto, posisinya sebagai presiden Teamsters digantikan oleh wakil presidennya. Sang wakil dan bendahara Teamsters ternyata jadi tempat empuk yang mudah dipengaruhi para mafia untuk mendapatkan lebih banyak dana. Jimmy tidak bisa berbuat banyak dari balik jeruji besi selain merasakan bahwa Teamsters perlahan-lahan lepas dari genggamannya.
Oleh karena itulah ketika Jimmy mendapat remisi dan bebas dari penjara, ia bertekad untuk kembali merebut posisinya di Teamsters. Ia siap mengerahkan segala kemampuannya dan upaya, termasuk dengan melobi Tony Pro agar mau mendukungnya jadi presiden lagi. Dengan Tony Pro di belakangnya maka ia bisa mendapat kepercayaan penuh dari para mafia lagi yang tentunya bakal semakian memperkuat posisinya.
Namun sayang, perundingan dengan Tony Pro tidak berjalan baik gara-gara dua hal yaitu Tony telat datang 15 menit dan Tony datang mengenakan celana pendek. Bagi Jimmy keduanya termasuk bentuk sikap tak hormat yang tidak bisa ditolerir oleh standarnya yang tinggi.
Jimmy: “I never waited for anyone who was late more than ten minutes in my life.”
Tony: “I’d say fifteen. Fifteen’s right.”
Jimmy: “No, ten.”
Tony: “I don’t think so, ten’s not enough. You have to take traffic into account.”
Jimmy: “That’s what I’m doing. I’m taking traffic into account. That’s why it’s ten.”
Tony: “Fine. We disagree on that.”
Jimmy: “More than ten, you’re saying something. You saying something to me?”
Tony: “I’m here. It says what it says.”
Pertemuan yang seharusnya diplomatik itu berakhir dengan baku hantam antara Jimmy dan Tony di mana keduanya bergulat di atas lantai seperti dua berandalan sekolah. Insiden itu seolah mendeklarasikan kepada Jimmy putusnya hubungan dengan pihak mafia. Maka dengan berapi-api dalam sebuah talk show TV ia pun mengkampanyekan keinginan untuk membersihkan tubuh Teamsters dari “kotoran-kotoran” di dalam (“It’s time for the rats to abandon ship”) yang berarti juga menyiratkan sikap menjauhnya dari para mafia. Rumor pun segera beredar dan sampai ke tangan para petinggi mafia perihal rencana Jimmy yang ingin memutus habis pasokan keuangan dari Teamsters di masa mendatang yang pastinya membuat mereka agak khawatir (“Whenever anybody says they’re a little concerned, they’re very concerned”).
Di sinilah dilema menghinggapi Frank. Ia berada di persimpangan jalan untuk memilih berada di pihak mana. Hubungannya dengan Russell adalah hubungan yang sifatnya ekonomi sedangkan hubungannya dengan Jimmy sudah menjurus ke hubungan personal. Di sinilah loyalitasnya dipertaruhkan. Mau loyal ke pihak yang mana akhirnya jadi keputusan yang bersandar kepada cara pandang Frank terhadap kehidupan itu sendiri.
Maka ketika datang perintah dari Russell untuk menghabisi Jimmy, keputusan Frank pun digantungkan kepada akar yang mendasari pilihan jalan hidup dan kariernya sebagai seorang mafia selama ini.
Lapisan Paling Dalam: Upaya Bertahan Hidup
Frank tidak bisa menolak permintaan Russell untuk membunuh Jimmy. Keputusan itu bukan hanya milik Russell semata tetapi disepakati oleh para petinggi mafia yang lain yang menganggap bahwa Jimmy sudah tidak menaruh hormat kepada mereka lagi (“If they can whack a president, they can whack a president of the union”). Upaya negosiasi sudah bolak-balik dilakukan Frank untuk meredakan ketegangan antara Jimmy dan para mafia, bahkan Russell pun sampai turun tangan bicara empat mata langsung dengan Jimmy. Namun, Jimmy tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak gentar terhadap ancaman apa pun, ia sendiri merasa berada di atas angin karena punya berbagai macam bukti yang bisa memberatkan para mafia di depan hukum (“If something funny happens to me, they’re done”). Ambisi Jimmy kembali ke tampuk pimpinan Teamsters dan menjalankan bisnis sesuai dengan caranya tampaknya memang sudah jadi cita-cita final yang tak bisa diintervensi.
Sementara para mafia pun sudah memutuskan: “It’s what it is” ─ “yang terjadi, terjadilah”. Yang terjadi adalah mereka akan melakukan sesuai cara mereka untuk menghentikan langkah Jimmy karena balik lagi, bagi mereka ini adalah tentang bisnis dan dalam bisnis setiap penghalang harus diatasi.
Pada permukaannya, Frank terlihat seperti mengkhianati kepercayaan Jimmy kepadanya yang telah terpelihara bertahun-tahun lamanya dalam hubungan yang bahkan sudah seperti keluarga. Bahkan sampai di menit-menit terakhirnya pun Jimmy sama sekali tidak mencurigai kalau Frank yang membawanya masuk ke sebuah rumah kosong bakal menembak kepalanya. Frank tentu tidak mengeksekusinya dengan enteng, ada beban teramat berat yang terus ia tanggung di sepanjang perjalanannya menemui Jimmy. Ia harus menahan perasaannya, ekspresinya, air matanya saat memeluk badan Jimmy yang menyambut hangat kedatangannya.
Namun, pada lapisan yang terdalam, keputusan yang diambil oleh Frank setidaknya menyadarkannya bahwa apa yang selama ini ia lakukan adalah upaya bertahan hidup. Ia tergabung di sebuah rimba yang penuh dengan orang-orang kuat yang siap menggilas siapa saja yang menghadang dan di dalam sini aturan yang berlaku adalah yang kuat yang bertahan. Frank tahu betul kalau dirinya membela Jimmy maka itu berarti dirinya dan juga keluarganya yang akan tamat. Frank tahu betul kalau Russell dan para mafianya adalah karnivora teratas yang punya kuasa dan kenekatan untuk mendobrak hukum yang berlaku. Dan ketika hukum ada di tangan mereka, sudah pasti tidak ada yang lolos dengan selamat.
Eksekusi terhadap Jimmy dilakukan di tempat tertutup. Frank “hanya” bertugas menembaknya saja sampai mati, setelah itu ia diperintahkan untuk segera naik pesawat dan menemui Russell di luar kota. Ironisnya, dulu di awal pertemuan Jimmy meminta Frank untuk “mengecat rumah” dan di akhir pertemuan justru darah Jimmy-lah yang “tercat” ke tembok rumah oleh tembakan pistol Frank. Sudah ada personel yang mengurus mayat Jimmy yang kemudian dihilangkan tanpa jejak dan jadi satu berita nasional yang menghebohkan bahwa Jimmy telah hilang. Tidak ada yang tahu keberadaan Jimmy dan tentu tidak ada satu pun dari mereka yang tahu yang membocorkan rahasia. Kepolisian yang mengusut kasus ini selama bertahun-tahun akhirnya harus sampai pada kesimpulan bahwa Jimmy telah hilang dan tewas, tanpa mereka tahu lebih detail di mana jasadnya dan apa penyebab ajalnya.  
Bahkan Frank sempat menelepon istri Jimmy yang terus menangis sesenggukan lalu memberinya nasihat agar tetap berpikiran positif dan tabah. Tak ada yang membocorkan fakta. Frank, Russell, dan beberapa gerombolannya memang akhirnya ditangkap dan dipenjarakan tapi mereka jadi terdakwa atas kasus lain, bukan kasus kematian Jimmy. Selamanya kematian Jimmy tetap jadi misteri yang dibawa oleh para mafia itu sampai akhir hayat mereka.  
Apakah Frank merasa menyesal? Di masa tuanya ia sempat ditanya oleh seorang pendeta muda tentang penyesalan dan ia menjawab tidak merasakannya sama sekali. Tua, renta, tinggal di panti jompo, Frank hanya tinggal berharap bahwa kematiannya nanti bisa berlangsung damai dan tidak menyakitkan. Bagaimanapun juga ia sudah merasa teryakinkan oleh Russell, “I picked us over him,” bahwa pilihannya itu senantiasa telah menjamin keselamatan bagi dirinya dan keluarganya.
Semuanya adalah tentang upaya bertahan hidup. Seperti yang diutarakan oleh Frank kepada salah satu anak perempuannya, Dolores:
Frank: “I just want to say I’m sorry. That’s all.”
Dolores: “For?”
Frank: “Look, I know I wasn’t a good dad. I know that. I know that. I was just trying to protect her. Protect all of youse. I mean, that’s what I was doing.”
Dolores: “From what?”
Frank: “Well, everything. I mean, youse had a sheltered life, in a way, because you didn’t see what I see and what I’ve been through. There’s a lot of bad people out there. What else am I gonna do?”
Dolores: “Daddy, you have no idea what it was like for us. I mean, we couldn’t go to you with a problem ‘cause of what you would do. You know, we couldn’t come to you for protection because of the terrible things that you would do.”
Frank: “I was just… I didn’t want to see youse get hurt, that’s all.”
Meskipun di hari tuanya hubungan Frank dengan anak-anak perempuannya renggang dan bahkan anak-anaknya itu menyimpan rasa takut terhadap ayahnya, tapi Frank merasa konsekuensi tersebut memang diperlukan demi melindungi keluarganya. Bentuk perlindungan itu terwakili oleh satu peristiwa yang melibatkan Peggy saat masih beranjak remaja. Suatu hari Peggy tampak murung setelah ia didorong keluar dari sebuah toko roti oleh pemiliknya, tanpa alasan yang jelas. Dengan marah Frank pun membawa Peggy kembali mendatangi toko itu lalu ia menghajar si pemiliknya sampai tersungkur di atas aspal dengan jari-jari yang patah. Peggy hanya berdiri diam menyaksikan aksi kekerasan itu, syok dan mungkin malu; sementara bagi Frank tindakannya itu adalah satu bentuk proteksi yang dibenarkannya demi keselamatan dan kehormatan anak-anaknya.
Maka, menjadi anggota mafia sebenarnya adalah bukan tentang aksi kriminal, loyalitas, atau bisnis, tetapi sama seperti pekerjaan lainnya yaitu upaya bertahan hidup. Yang membedakan adalah dalam pekerjaan mafia ambang antara hidup dan mati benar-benar terlihat jelas di setiap langkah atau keputusan yang diambil. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan menjadi orang kepercayaan untuk orang yang paling berkuasa di dalam organisasi mafia. Dan menjadi orang kepercayaan berarti siap sedia melaksanakan apa saja yang diperintahkan, dengan tangan bersih maupun tangan kotor, dengan pisau atau pistol, kepada teman atau lawan.
Namun, di ujung hari, Frank yang renta dan sebatang kara itu seakan menyadari bahwa dirinya adalah korban dari kebungkaman yang besar. Ia tinggal sendirian setelah Russell meninggal dunia berikut beberapa anggota mafia lain yang ia kenal. Putri-putrinya pun menjauh darinya, bahkan Peggy tak mau lagi bicara atau bertemu dengan Frank lagi karena ia punya dugaan kuat kalau ayahnya punya kontribusi dalam menghilangkan jejak Jimmy. Dengan keadaannya yang sendiri itu maka Frank seperti ditodong pistol oleh kehidupannya sendiri yang tinggal melakukan hitung mundur untuk menarik pelatuknya. Tak ada yang bisa melindunginya lagi selain dirinya sendiri dan keyakinannya bahwa apa yang telah ia perbuat itu memang hal yang dirasa benar.
Barangkali memang tidak ada penyesalan yang bersarang di hatinya, barangkali tidak ada rasa bersalah yang menetap di sana. Ketika ia mengingat perkenalan pertamanya dengan Jimmy di telepon, ia seakan coba mengingat hal-hal yang bisa menghentikan masalahnya dari awal, sebuah pembenaran yang menjustifikasi dirinya. Seandainya ia tidak menjawab telepon dari Jimmy yang memintanya untuk “mengecat rumah” (“What kind of man makes a phone call like that?”), yang jadi titik mula pertemanan mereka selama bertahun-tahun, barangkali ia bisa menembak kepala Jimmy dengan perasaan yang lebih lengang.
Tumblr media
oleh: Ikra Amesta
0 notes
sinemeter · 3 years ago
Text
once upon a time in... hollywood
Tumblr media
“To my wife and all my sweethearts. May them never meet.”
Dulu dipuja sebagai koboi jagoan di layar kaca, sekarang Rick Dalton lebih sering berperan sebagai tokoh antagonis yang dikalahkan jagoan-jagoan baru. Di Hollywood, pamornya kian meredup seiring bertambahnya usia dan bergantinya era.
Rick Dalton (Leonardo DiCaprio) telah membintangi banyak film laga di tahun ’50-an. Penampilannya yang paling ikonik adalah sebagai koboi pemburu hadiah di serial Bounty Law yang ditayangkan setiap minggu di saluran NBC. Ia tampil gagah dan macho di hadapan para penonton Amerika yang masih menikmati tontonan dalam balutan warna hitam-putih. Karier Rick juga sempat melesat di periode ’60-an ketika sinema sudah bisa menampilkan warna yang kaya di layar. Ia kembali jadi sosok pahlawan Amerika dalam film The Fourteen Fists of McCluskey di mana Rick berperan sebagai prajurit yang menumpas Nazi dengan menggunakan alat penyembur api (“That’s one shit-fuck crazy weapon”).
Namun masa Golden Age of Hollywood yang turut ditunggangi Rick akan segera berakhir. Industri sedang menyambut masa New Hollywood yang mengambil referensi dari gebrakan gerakan new wave di Eropa, yang menganut sinematografi dan storytelling yang bisa dibilang mendobrak pakem-pakem lama. Seiring dengan kemunculan periode yang baru ini maka bermunculan pula sineas-sineas baru yang perlahan menduduki takhta Hollywood. Rick tidak lagi jadi pilihan utama dan mau tidak mau dirinya harus menerima fakta bahwa kariernya di Hollywood sedang menuju ujung jalan.
Oke, sampai di sini izinkan saya keluar dari cerita dan coba memaparkan kisah ini kepada Anda sebagai film. Kenapa? Karena saya merasa sutradara Quentin Tarantino pun ingin para penontonnya menyadari bahwa mereka memang sedang menonton film. Tarantino ingin memperlihatkan dengan jelas bahwa filmnya ini adalah sebuah revisinya terhadap sejarah yang sebenarnya telah terjadi. Mungkin itu memang caranya mempersembahkan tribute terhadap Hollywood, yaitu dengan mengajak saya selaku penonton menikmati imajinasi dan “komentar” terselubungnya terhadap dunia yang digemarinya.
Maka, jika selama ini saya selalu memaparkan dan menggali film sebagai suatu peristiwa atau realitas, lebih dari sekadar kisah fiktif, sekarang saya akan menuliskannya sebagai semacam panduan di mana saya coba menjelajahi setiap aspeknya “bersama” Tarantino di sisi saya.
Film dibuka dengan cuplikan serial Bounty Law yang menampilkan koboi Jake Cahill memburu para buronan demi mendapatkan imbalan. Serial tersebut tentu masih tampak hitam-putih karena ditayangkan di tahun 50-an dengan Rick Dalton berperan sebagai si tokoh utama. Popularitas serial tersebut membuat Rick jadi bintang layar kaca lalu diwawancarai di acara prime time. Uniknya, wawancara yang berlangsung di lokasi syuting itu tidak hanya melibatkan Rick, tetapi juga Cliff Booth (Brad Pitt), stuntman-nya, yang duduk tepat di sampingnya.
TV Reporter: “So, Rick, explain to the audience exactly what it is a stunt double is.”
Rick: “Well… actors are required to do a lot of dangerous stuff. Say Jake Cahill gets shot off his horse. Now, can I fall off a horse? Yes, I can, and yes, I have. But say I fall off wrong and I sprain my wrist or I twist my ankle. Now, that can put an undue burden on production because now maybe I can’t work for a week. So, Cliff here is meant to help carry the load.”,
TV Reporter: “Is that how you’d describe your job, Cliff?”
Cliff: “What, carrying his load? Yeah, that’s about right.”
Petikan wawancara tersebut seakan memaparkan bahwa pada masa itu, profesi stuntman masih belum terlalu luas dikenal publik sehingga Rick harus menjelaskannya secara garis besar kepada para penonton. Mungkin inilah masa di mana film action begitu digandrungi massa karena berhasil memukau penonton lewat sejumlah adegan berbahaya yang dikira dilakukan langsung oleh para aktornya. Masa ketika pengetahuan penonton terhadap filmmaking masih terbatas sehingga apa yang mereka tonton atau nikmati adalah murni sebagai “keajaiban” tersendiri. Dan Rick merasa harus mengikutsertakan Cliff di bawah lampu sorotnya sebagai partner yang tak bisa dipisahkan dari karier aktingnya. Jelas sekali Tarantino menaruh hormat kepada profesi stuntman sebagai salah satu elemen penting yang membesarkan Hollywood. Dalam kasus Cliff, Tarantino bahkan mengangkatnya lagi tidak sekadar profesi semata, tetapi juga sebagai tangan kanan, sahabat, sopir, caretaker, bodyguard, merangkap motivator bagi Rick, sang bintang utama. Rick yang masih single dan menjelang post-power syndrome itu hampir bisa dipastikan akan kewalahan menjalankan rutinitasnya tanpa bantuan Cliff.
Ada satu karakter bernama Martin Schwarz yang diperankan Al Pacino. Ia termasuk sosok senior di industri Hollywood, tapi bukan sebagai aktor melainkan semacam konsultan karier para aktor yang juga merangkap agen. Entah sosok seperti ini memang benar adanya atau hanya rekaan Tarantino semata. Rick mendatanginya suatu waktu dan Schwarz memaparkan kepadanya sebuah realitas tentang bagaimana Rick sebenarnya sedang berada di ujung karier. Rick memang masih membintangi banyak serial seperti Man from U.N.K.L.E., Tarzan, F.B.I. tapi perannya sudah bergeser dari protagonis ke antagonis. Menurut Schwarz begitulah cara Hollywood “menyingkirkan” aktor-aktor lama, dengan menampilkannya sebagai karakter yang jahat dan dikalahkan. Schwarz menawarkan solusi untuk merestorasi karier Rick yaitu pergi ke Italia dan membuat film spaghetti western bersama sutradara Sergio Corbucci. Bukan langkah yang buruk sebenarnya tapi Rick terlanjur mengaitkan film spaghetti western sebagai filmnya para aktor “buangan” Hollywood (“It’s official, old buddy, I’m a has-been”). Itulah yang membuat matanya berkaca-kaca sambil memukul-mukul dashboard mobilnya, merasa harga diri dan kepercayaan dirinya turun. Ia tidak bisa menampik kebenaran dari ucapan Schwarz karena ia juga tidak bisa menampik bahwa usianya terus bertambah dan aktor-aktor muda terus bermunculan. Sosok Schwarz ini memang sangat menarik karena ia merupakan “tangan-tangan tak terlihat” yang seolah mengatur dunia perfilman. Bukan dari aspek finansial tapi murni dari segi kecintaannya terhadap film itu sendiri. Ia punya passion yang besar terhadap film dan karenanya tahu apa yang terbaik buat para aktor ─ mungkin inilah karakter yang paling mendekati sosok Tarantino. Kelak Rick pun harus berterima kasih atas nasihat karier yang diberikan Schwarz kepadanya.
 Sebelum terbang ke Italia, Rick harus menyelesaikan syuting sebuah serial western berjudul Lancer, arahan sutradara Sam Wanamaker. Di sana tentu ia berperan sebagai tokoh antagonis, lengkap dengan dandanan kumis dan rambut panjang yang akan membuatnya hampir tidak dikenali penonton. Ia giat melatih dialognya sepanjang malam karena ia sangat ingin membuktikan bahwa dirinya belum habis. Sebelum take gambar ia berkenalan dengan aktris cilik Trudi Frazier yang akan berperan sebagai sanderanya. Yang unik adalah walaupun usianya masih 12 tahun tapi Trudi sudah menunjukkan kedewasaan dalam sikapnya termasuk juga dalam hal profesionalisme. Trudi terus mempertahankan karakternya selama di lokasi dan memperkenalkan diri sebagai Mirabella Lancer, tokoh yang ia perankan sendiri dalam film. Setelah berkenalan, Rick dan Trudi lalu berbincang tentang buku yang sedang mereka baca masing-masing selagi menunggu waktu take syuting. Di sini Tarantino sangat piawai membeberkan masalah yang tengah meliputi Rick dengan mengkomunikasikannya lewat kisah novel yang ia baca. Konsep “show, don’t tell” dibuat berlapis dalam dialog dan ekspresi sehingga apa yang kelihatannya sebagai “tell” ternyata adalah bentuk samar dari “show”.  
Trudi: “What are you reading?”’
Rick: “Well… it’s about this guy who’s a bronco buster. It’s the story of his life. Guy’s name is Tom Breezy, but everyone always calls him Easy Breezy. Now, when Easy Breezy was in his 20s and young and good-looking, he could break any horse that you could throw at him. Back then, he just had a way. Now he’s into his, uh, late 30s and he takes a bad fall, and it messes up his hip. He’s not… he’s not crippled or anything like that, but… he’s got spine problems he never had before, and he spends, uh… more of his days in pain than he ever did before.”
Trudi: “Jeepers, this sounds like a good novel. What’s happening to Easy Breezy now?”
Rick: “Uh, he’s, um… he’s not the best anymore. In fact, far from it. And… he’s coming to term with what it’s like to be slightly more… useless each day.”
Trudi: “It’s okay. It sounds like a really sad book. Poor Easy Breezy. I’m practically crying, and I haven’t even read it.”
Rick: “About 15 years, you’ll be living it.”
Mungkin karena lawan bicaranya saat itu adalah anak kecil yang tentunya masih innocent dan tak berbahaya, Rick tidak ragu mengeluarkan emosi sedihnya. Matanya berkaca-kaca dan suaranya bergetar menahan tangis, sampai-sampai Trudi menghampiri dan menepuk pundak Rick dengan maksud menenangkan. Bayangkan, seorang aktor kawakan sekelas Rick ditenangkan emosinya oleh seorang newbie yang usianya terpaut jauh di bawah. Secara alegoris barangkali ini caranya Tarantino menarasikan bagaimana transisi era Hollywood berlangsung. “Hollywood lama” yang putus asa menghadapi senjakala sinarnya ditenangkan oleh “Hollywood baru” yang siap menyongsong fajar kebangkitan. Pada konteks ini sah-sah saja kalau Rick menganggap Trudi sebagai “monster” yang siap menelannya bulat-bulat. Apalagi sikap Trudi yang terus mempertahankan karakternya selama di lokasi syuting seolah menggurui Rick tentang metode akting yang mutakhir di era Hollywood yang baru. Sudah pasti Rick pun terintimidasi. Ia berusaha keras menampilkan yang terbaik di depan kamera. Semua dialog sudah ia hapalkan tapi mungkin karena gugup, atau mungkin masih ada sisa mabuk semalam, ia tiba-tiba kelupaan beberapa baris.Take-nya terpaksa berhenti di tengah jalan dan Rick harus mengulang dialognya lagi dengan benar. Kesal dengan penampilannya, Rick pun marah-marah sendirian di dalam trailer-nya, mengutuk kebiasaan mabuknya, dan bahkan bersumpah akan menembak kepalanya sendiri kalau sampai dirinya gagal lagi. Maka di kesempatannya yang kedua Rick pun mengerahkan seluruh kemampuan terbaiknya. Ia tak sekadar mengucap dialog tapi juga mengeluarkan energi Shakespeare dalam aktingnya dan melakukan beberapa improvisasi yang brilian untuk melengkapi karakternya. Setelah sutradara berteriak, “Cut!” sontak tepuk tangan pun terdengar dari para kru yang mengapresiasi penampilan aktingnya. Tak lupa Trudi turut menghampirinya dan berbisik: “That was the best acting I’ve ever seen in my whole life.”  Kedua mata Rick kembali berkaca-kaca tapi kali ini karena ia merasa sangat terharu. Pujian dari Trudi tadi membuatnya merasa jadi lebih berarti sekaligus memulihkan krisis identitasnya. Pujian tersebut tentunya punya nilai lebih karena bisa dilihat sebagai bentuk apresiasi dari seorang aktris muda yang telah menangkap inspirasi dari kualitas akting Rick. Juga datang dalam bentuk penghormatan dari ruh “Hollywood baru” kepada dunia “Hollywood lama” yang diwakili Rick.  Dalam kacamata penonton, anggaplah scene pujian tersebut sebagai sebuah seremoni penyerahan tongkat kekuasaan ala Tarantino dari generasi tua ke generasi muda di industri perfilman.
Tumblr media
 Cliff Booth sedang kebanyakan nganggur akhir-akhir ini. Selain karena Rick Dalton sudah tidak lagi dapat porsi banyak main di film action Hollywood, reputasinya juga agak tercoreng di kalangan pelaku industri perfilman karena ia dituduh telah membunuh istrinya sendiri. Tarantino tidak memperlihatkan dengan jelas bagaimana insiden itu terjadi, yang terlihat adalah Cliff sedang berargumen dengan istrinya di atas sebuah perahu di tengah laut dan ia menaruh sepucuk senapan di pangkuannya, dengan moncong mengarah ke arah sang istri. Jadi, kita tidak tahu apakah penembakan tersebut terjadi secara disengaja ataukah sebuah kecelakaan yang tak disengaja. Sekarang ini Cliff lebih tepat disebut sebagai asisten pribadi Rick. Ia menyupiri Rick ke mana pun Rick pergi, membetulkan antena TV di rumah Rick, memberi satu-dua masukan akting kepada Rick, dsb. Sepintas keberadaan Cliff sepertinya tidak punya banyak peran terhadap jalan cerita, tapi kemudian saya menyadari bahwa karakter ini sepertinya sengaja disiapkan Tarantino sebagai tokoh sentral perevisi sejarah Hollywood. Ya, seorang stuntman akan membelokkan takdir kelam Hollywood ke arah yang lebih cerah dan optimistis. Mungkin ini adalah tribute manis yang dipersembahkannya kepada profesi stuntman, profesi yang tentunya turut andil membesarkan nama Hollywood, yang fisiknya ada di depan kamera tapi eksistensinya selalu ada di belakang layar.
 Peran utama Cliff dalam film ini dimulai ketika ia mengangkut seorang perempuan hippie di pinggir jalan L. A. lalu mengantarkannya pulang. Pussycat, nama sebutan hippie tersebut, sudah tiga kali berpapasan dengan Cliff yang sedang menyetir di lampu merah. Setiap kali kedua mata mereka bertemu Pussycat selalu menampilkan ekspresi centil untuk meminta tumpangan, tapi baru di kesempatan ketiga barulah Cliff mempersilakannya masuk ke mobil. Mereka lalu meluncur ke Spahn Movie Ranch, sebuah peternakan yang dulu sempat digunakan sebagai lokasi syuting beberapa film koboi Hollywood dan sekarang sudah terbengkalai. Dulu Cliff pernah syuting beberapa episode Bounty Law di sana bersama Rick dan menjalin hubungan dengan Bob, si pemilik peternakan. Namun sekarang peternakan itu sudah ditinggali oleh para hippies yang ternyata merupakan anggota sekte The Manson Family, pimpinan Charles Manson. Charles Manson, seperti yang kita tahu, adalah kriminal yang nantinya jadi otak utama dari insiden pembantaian paling berdarah di Hollywood. Cliff tentunya belum tahu akan hal itu, tapi saat ia menginjakkan kakinya lagi ke Spahn Movie Ranch ia merasakan ada yang tidak beres dengan kehadiran para hippies, yang kebanyakan perempuan, yang memandanginya dengan tatapan sayu dari kejauhan. Kecurigaannya itu mendorong Cliff untuk mendatangi satu gubuk yang sepengetahuannya adalah tempat Bob biasa beristirahat. Ketegangan langsung menyeruak saat beberapa anggota sekte itu seperti berusaha menghalang-halangi Cliff dengan berbagai dalih. Cliff tetap teguh pada pendiriannya dan dengan bernyali ia masuk ke dalam gubuk, lalu ke kamar Bob, dan menemukan Bob yang sudah uzur kini penglihatannya kabur dan sudah pikun. Di luar perkiraan Cliff, dan juga penonton, Bob justru merasa betah tinggal bersama para hippies yang telah “menduduki” peternakannya dan merasa semua baik-baik saja. Berlawanan dengan pernyataan Bob, Tarantino menunjukkan kondisi interior gubuk tersebut yang kumuh, kotor, tak terawat, lengkap dengan bangkai tikus yang dibiarkan di lantai sehingga memberikan efek perasaan kontradiktif kepada penonton yang langsung bisa mengendus ada hal tidak beres di sana. Cliff juga mengendus hal yang sama tapi ia tak bisa berbuat banyak, Bob malah mengusirnya keluar karena Cliff telah menganggu waktu tidur siangnya. Jadi, apakah sebenarnya ada yang salah atau tidak, jawabannya masih dibiarkan menggantung oleh Tarantino. Di sini terbentuk semacam persimpangan interpretasi yang sengaja dibentuk oleh Tarantino terkait nilai-nilai yang diusung oleh kaum hippies. Seperti yang umum dipahami, hippies di tahun 60-an merepresentasikan generasi pencinta kedamaian yang menolak perang, kekerasan, dan segala bentuk diskriminasi yang sering dipraktekkan para otoritas di Amerika. Lihatlah bagaimana Pussycat mengacungkan kedua jari tengahnya ke arah mobil polisi yang melintas dan dengan menggebu meneriakkan ekspresi perlawanan. Dengar pula pendapat jujurnya tentang aktor yang dibumbui oleh sentimennya terhadap perang: “Actors are phony. They just say lines and pretend to murder people on their stupid TV shows. Meanwhile, real people are being murdered every day in Vietnam.”  Tapi di Spahn Movie Ranch, semangat cinta damai yang dianut oleh para hippies itu seolah juga menyelubungi niat buruk yang tersembunyi di balik permukaan. Para anggota sekte itu seolah menyimpan rapat sebuah agenda gelap yang tak boleh diketahui orang luar. Semua yang tampak di sana memang terasa tidak beres, berkebalikan dengan aura “bunga-bunga” yang ditunjukkan Pussycat selama dirinya berkeliaran di trotoar-trotoar L. A. Cliff akhirnya pergi dari peternakan itu setelah ia menggebuki seorang anggota sekte laki-laki yang dengan cengengesan telah menggembosi satu ban depan mobilnya. Hidung laki-laki malang itu patah, darahnya muncrat ke tanah, sementara anggota lainnya yang perempuan hanya bisa mengelus dada sambil berteriak simpati. Jika itu caranya Tarantino untuk menunjukkan kekonyolan mereka, maka ia sukses melakukannya. Sayangnya, sang pemimpin, Charles Manson, tidak hadir di tempat saat itu karena bisa jadi situasinya akan lebih konyol lagi.    
 Tokoh lain di dalam film ini, yang bisa disebut sebagai tokoh sentral dari revisi Hollywood yang dilakukan Tarantino adalah Sharon Tate yang diperankan oleh Margot Robbie. Tentu Sharon bukan tokoh fiktif seperti Rick dan Cliff, melainkan aktris nyata dunia perfilman yang menikah dengan sutradara visioner Roman Polanski dan tinggal di Los Angeles pada tahun 1969. Sharon diketahui dibantai oleh beberapa anggota Manson Family yang menyusup masuk ke rumahnya di suatu malam lalu menusuknya dengan pisau beberapa kali. Sharon, yang sedang hamil 8 bulan, bersama ketiga kawannya jadi korban kebiadaban sebuah sekte sesat dan kematian tragisnya itu dianggap sebagai titik berakhirnya kampanye “summer of love” dari generasi bunga. Darahnya digunakan oleh para pelaku untuk menuliskan kata “PIG” di pintu masuk, menjadikan kematiannya tampak sebagai tragedi yang keji. Di film ini Tarantino meromantisasi kehadiran Sharon dengan penuh nostalgia. Sharon dan Polanski digambarkan baru saja pindah rumah di sebuah komplek elite Hollywood yang kebetulan bertetangga dengan rumah Rick. Ketika pertama kali melihat pasangan itu datang, Rick langsung termotivasi membayangkan dirinya bermain di film garapan Polanski karena dengan begitu karier aktingnya bisa kembali terpulihkan. Namun kesempatan itu tak pernah terjadi karena Rick tidak pernah bertemu Polanski secara langsung. Tarantino membawa penonton mengikuti Sharon mengambil buku Tess of d’Ubervilles karya Thomas Hardy yang dipesan Polanski di sebuah toko. Kelak, Polanski yang asli akan mengadaptasi novel tersebut jadi film berjudul Tess yang ia dedikasikan khusus untuk Sharon. Tarantino juga mengajak penonton mengikuti Sharon menonton film yang dibintanginya sendiri di bioskop. Film berjudul The Wrecking Crew itu menampilkan akting kocak sekaligus juga jurus-jurus kung fu Sharon yang disambut decak kagum para penonton di studio teater. Dengan kedua telapak kaki telanjangnya disandarkan ke atas kursi, Sharon tampak tersipu campur bahagia mendengar reaksi para penonton yang terhibur itu. Semua romantisasi dari Tarantino itu berujung di babak terakhir film di mana ia menjauhkan Sharon dari maut yang semestinya datang dan memparodikan tragedinya jadi situasi kesialan yang menimpa anggota Manson Family. Di suatu malam empat anggota Manson Family─Tex, Sadie, Katie, Flowerchild─mendatangi kediaman Sharon dengan menaiki mobil. Tapi mereka datang ke rumah yang salah karena malah parkir di halaman depan rumah Rick. Rick yang melihat hal itu dan membenci kaum hippies sontak langsung keluar dan mengusir mereka dengan keras. Keempatnya mundur perlahan, ragu-ragu menimbang kelanjutan misi yang telah diamanatkan oleh Charles Manson (“And you heard him yourself. He said, ‘Make it witchy’”), sampai akhirnya salah satu dari mereka mencetuskan ide untuk mengganti sasaran dari Sharon ke Rick Dalton.
Tex: “I can’t believe that asshole in the robe was Jake Cahill. When I was a kid, I had a Bounty Law lunch box. That was my favourite of all my lunch boxes.”
Sadie: “Dig this! When we’ve been having our trip sessions, I’ve been expanding on this one idea in my head. We all grew up watching TV, you know what I mean? And if you grew up watching TV, that means you grew up watching murder. Every show on TV that wasn’t ‘I Love Lucy’ was about murder. So, my idea is we kill the people who taught us to kill. I mean, where the fuck are we, man? We are in fucking Hollywood, man! The people an entire generation grew up watching kill people live here. And they live in pig-shit fucking luxury. I say fuck them. I say we cut their cocks off and make them eat it.”
Maka, mereka pun kembali mendatangi rumah Rick dengan senjata tajam dan senjata api di tangan─kali ini hanya bertiga karena Flowerchild memutuskan kabur di tengah jalan. Mereka datang dengan penuh amarah (“Okay, pig killers, let’s kill some piggies”), mendobrak pintu masuk rumah Rick lalu menyampaikan maksud kedatangan mereka lewat jargon yang menyeramkan: “I am the devil, and I’m here to do the devil’s business.” Sialnya, mereka harus berhadapan dengan Cliff dan anjing pitbull-nya yang langsung membantai mereka dengan gigitan, benturan, koyakan yang mengekspos darah, daging, dan tulang mereka secara menjijikan. Tarantino sepertinya menikmati kepuasan tersendiri terutama ketika Cliff membentur-benturkan wajah Katie sampai remuk ke setiap bidang keras yang ada di dalam rumah Rick. Rick juga turut ambil bagian dalam pembantaian tersebut, ia menggunakan alat penyembur api dari film The Fourteen Fists of McCluskey miliknya untuk membakar Sadie sampai gosong. Para pembunuh itu pun terbunuh dengan cara yang tak kalah sadis dan bombastis dari yang mereka lakukan di kenyataan. Maka secara tak langsung, nyawa Sharon dan teman-temannya pun selamat dan kesakralan Hollywood terjaga dari noda-noda hitam gerakan counterculture yang destruktif. Tarantino seolah mengajak para penontonnya bertepuk tangan menikmati imajinasi “what if” yang pastinya sangat memuaskan banyak penggemar Hollywood di luar sana.  
  Lalu, sebenarnya apa yang ingin disampaikan Tarantino lewat filmnya ini. Sudah jelas, ia membicarakan tentang rasa cintanya terhadap Hollywood dan dunia sinema. Film ini juga di luar kebiasaan Tarantino yang seringkali menghujani karyanya dengan banyak adegan kekerasan serta dialog-dialog intimidatif. Bisa jadi, “kebaruan” tersebut adalah caranya untuk memisahkan dirinya dari posisi sutradara dan mengambil posisi sebagai penonton biasa yang terkesima dengan industri perfilman di Hollywood. Ya, setidaknya itu yang saya rasakan betul terjadi pada Tarantino. Inilah filmnya di mana ia tidak duduk di kursi sutradara tapi duduk di kursi penonton dan menikmati khayalan-khayalan yang terbit tentang semua pahlawan layar kaca kesukaannya.
Tumblr media
oleh: Ikra Amesta
0 notes
sinemeter · 3 years ago
Text
uncut gems
Tumblr media
“Holy shit, I’m gonna cum!”
Sebuah batu opal langka ditemukan di sebuah pertambangan Ethiopia pada tahun 2010. Dua tahun kemudian batu itu sampai ke New York, diselundupkan di dalam ikan tuna, diterima oleh seorang pecandu judi yang hidupnya langsung jungkir balik karenanya.
Howard, Mau ke Mana Kau?
Howard Ratner (Adam Sandler) punya sebuah rumah besar dan sebuah keluarga di dalamnya. Dia juga punya sebuah apartemen mewah yang ditempati simpanannya dan sebuah toko perhiasan di Distrik Berlian kota New York. Dia punya keluarga, selingkuhan, dan juga pekerjaan; tentu saja dia juga orang kaya ─ seorang Yahudi yang sukses menjalankan bisnisnya di jantung Manhattan, yang membuat barisan giginya tampak berkilau setiap kali ia tersenyum.
Tapi di rumahnya, Howard tinggal seatap dengan seorang istri yang siap menceraikannya selepas perayaan Paskah; istri yang saking muaknya kepada Howard sampai tidak mau menampar pipi sang suami karena tidak sudi kulit mereka bersentuhan. Maka di tengah malam Howard menyelinap ke apartemen untuk memadu kasih bersama Julie, selingkuhan sekaligus karyawannya di toko perhiasan. Tapi tentu saja Howard tidak bisa setiap malam berada di sana karena bagaimanapun juga ia punya tiga anak di rumah yang butuh perhatiannya. Selain itu, Julie yang masih muda lebih suka berkeliaran dari pesta ke pesta di setiap malam, yang seringkali membuatnya terlambat masuk kerja di pagi hari. Howard bisa datang dan mengunci diri di toko perhiasannya seperti yang sempat ia lakukan di suatu malam yang suntuk. Tapi suasana malam di toko perhiasan terasa sangat sepi, sedangkan siangnya di sana ramai oleh banyak orang dan banyak masalah yang kerap menimpa Howard tanpa ia duga-duga.
Seorang Howard tidak bisa menikmati pagi berjalan kaki menuju toko perhiasannya dalam mood yang tenang atau santai. Ia bisa memancarkan senyumnya kepada siapa saja yang menyapa di jalan tapi itu pasti terjadi dalam keadaan buru-buru. Telepon genggamnya selalu berdering dan Howard selalu sibuk menjawab panggilan entah dari seseorang yang tak sabar menagih utangnya, atau dari karyawannya sendiri yang mengabarkan kalau tokonya sudah kedatangan debt collector yang tak sabar ingin menemuinya.
Maka setiap Howard menjejakkan kakinya masuk ke toko perhiasan─setelah melewati dua pintu kunci otomatis, yang salah satunya dilapisi kaca antipeluru─ia berpotensi disambut oleh dua jenis tamu. Tamu yang pertama adalah konsumen potensial yang tentunya berasal dari kalangan high profile yang siap membeli beberapa koleksi perhiasan di etalase; salah satunya seperti Kevin Garnett atau KG, pebasket NBA terkenal. Tamu jenis kedua adalah para penagih utang yang lebih tertarik bertemu Howard daripada membeli perhiasan, yang tidak segan-segan melabrak bahkan menggampar Howard di depan mata karyawan dan pelangggan,
Relasi Howard dengan utang-piutang memang selalu erat tapi tak pernah baik-baik saja. Bukan karena penghasilannya kurang, bukan karena terdesak oleh kebutuhan yang urgen, tapi karena Howard keranjingan berjudi. Permainan favoritnya adalah taruhan pertandingan basket NBA dan ia selalu memasang taruhan dalam jumlah besar, berisiko tinggi dengan harapan bakal mendatangkan untung yang besar pula. Tumpukan uang cash selalu jadi impuls kuat untuk mempertaruhkan semuanya dalam undian tebak-tebakan skor NBA yang berlandaskan pada insting dan nyali buta. Masalahnya adalah ia mengandalkan judi untuk melunasi utang-utangnya terdahulu, yang mungkin juga timbul akibat judi, sehingga apa yang dilakukan olehnya tidak lebih sebagai aksi “gali lubang, tutup lubang” yang tak berkesudahan.
Suatu contoh, ketika Howard mendapat cincin NBA Championship 2008 dari KG sebagai jaminan atas transaksi peminjaman perhiasan langka di tokonya. Tanpa sepengetahuan KG, cincin itu digadaikan Howard ke tempat langganannya dengan janji akan ditebus dalam tempo tiga hari. Seluruh uang hasil gadai lalu ia berikan kepada bandar langganannya untuk pasang taruhan pertandingan Celtics vs. Sixers, dalam sistem six-way parlay di mana ia bertaruh untuk enam event sekaligus dalam pertandingan tersebut. Kalau menang, uang yang didapatnya akan digunakan untuk menyicil sisa utangnya kepada Arno, seorang lintah darat yang diutangi Howard dalam jumlah besar.
Tapi sebagai seorang lintah darat, tentu Arno menilai upaya Howard itu bermasalah. Pertama, Howard tidak disiplin menuntaskan utangnya tepat waktu. Itu sebabnya Arno sampai menyewa debt collector alias tukang pukul untuk mengintimidasi Howard agar segera menunaikan janjinya. Kedua, tentu Arno tidak bisa mengandalkan hasil taruhan Howard sebagai jaminan pelunasan utang. Arno tentu berada dalam posisi kesal ketika tahu sejumlah uang cash di tangan Howard malah digunakan untuk berjudi, bukannya untuk melunasi utang. Kalau Howard kalah maka uang tersebut akan hangus dan ia bakal semakin terlambat, semakin tidak pasti kapan bisa melunasi utangnya.
Sadar merasa terus dipermainkan dan terpaksa harus mengikuti permainan Howard, tak salah kalau Arno perlu menyewa tukang pukul untuk mengambil langkah-langkah preventif agar Howard tidak kebablasan menunaikan tanggung jawabnya─termasuk dengan menghentikan taruhan NBA Howard di tengah jalan
Howard: “I made a bet. And guess what? Here’s the thing. I hit. I hit the bet big, okay?”
Arno: “You think I’m stupid? You think I’m stupid, Howard. You and your whole fucking family.”
Howard: “I’ll call the book right now, you’ll get on the phone, and he’ll tell you.”
Paul: “I saw your bookie; you are talking about Gary?”
Howard: “You spoke to Gary? About what?”
Arno: “About you. About how you’re taking my money. All of the time and placing bets. You know what that does to me? You know how offensive it is to me?”
Howard: “What? You stopped the bet?”
Paul: “What do you think, asshole?”
Howard: “Congratulations, Arno, you fucked ourselves out of six hundred…” 
Arno: “Take his clothes off.”
 Dengan lifestyle seperti itu, maka tak heran kalau Howard menjalani kesehariannya seperti selalu dikejar-kejar dan berlari menghindari banyak hal. Utamanya, ia selalu terikat oleh uang, baik dalam bentuk tuntutan maupun ekspekstasi, sehingga ia tak pernah berada di satu tempat dengan tenang. Ia selalu diawasi dan dibuntuti oleh uang-uang yang belum ia bayarkan, dan pada waktu yang sama ia pun selalu mengawasi peluang-peluang yang ada untuk menggandakan nilai uangnya. Tanpa disadari ia pun membentuk pola dalam hidupnya di mana setiap kali ia mendapatkan sesuatu ia juga kehilangan sesuatu yang lebih banyak.
Seperti ketika ia mendapatkan sebuah batu opal hitam yang diimpor dari negeri Ethiopia, yang ia taksir harganya bisa mencapai 1 juta dollar.
Opal Hitam, Sang Berhala
Batu opal hitam diantar oleh seorang kurir ke toko perhiasan Howard dalam sebuah kotak pendingin. Kedatangannya disambut dengan teriakan bahagia oleh Howard yang langsung membongkar paketnya dengan mata berbinar-binar dan fokus, sampai-sampai tak mengindahkan keluhan seorang karyawannya yang nyerocos tak berhenti. Karyawan itu memutuskan resign tapi pikiran Howard sudah melanglang ke tempat lain. Setelah membelek perut ikan tuna di dalam kotak pendingin, ia memungut batu perhiasan yang sudah ia tunggu selama 17 bulan itu, menatapnya serius dan seketika seolah mendapat visi bahwa hdupnya akan berubah.
Batu itu berbentuk lonjong. Sebagian besar permukaannya berwarna kelabu namun di beberapa titik terdapat bitnik kristal warna-warni yang membuat benda tersebut terlihat anggun dan elegan. Batu itu tidak seperti perhiasan lain yang dipajang di tokonya, bahkan bisa dibilang tidak seperti perhiasan yang umumnya beredar di New York. Unik dan langka. Tentu harganya pasti mahal.
Dalam suasana euforia Howard menunjukkan “mainan” barunya itu kepada KG yang kebetulan sedang mampir ke toko. Howard mengisahkan tentang betapa langka dan berharganya opal yang ia genggam itu, dengan penuh gembar-gembor tentang “kemuliaannya” dibandingkan batu-batu lain yang ada di dunia, bahkan dari sejak zaman prasejarah.
KG: “How many carats is this?”
Howard: “What, four, five thousand carats? 3000 dollars for a carat, I don’t know.”
KG: “What?”
Howard: “I’m not fucking bullshitting you.”
KG: “Why does it have so many colors in it, man, what is this?”
Howard: “That’s the thing, they say you can see the whole universe in opal. That’s how fucking old they are.”
KG: “Holy shit.”
Howard: “I’ve been telling you. That’s why I wanted you to see it. That’s fucking from stone to stone. Garnet’s a stone, you know that. That’s a million-dollar opal you are holding. Straight from the Ethiopian Jewish tribe. I mean this is old school. Middle-Earth shit.”
Demany: “You got a motherfuckin’ dinosaur gem.”
Howard: “That’s right. The dinosaurs were fuckin’ staring at this thing.”
KG seolah terisap oleh pesona opal itu. Ia memandanginya dengan penasaran bercampur takjub, menyusuri ke dalam warna-warni kristal yang secara misterius seperti mengikatnya secara spiritual. “Bitch ass nigga, this fucking thing makes me feel like I can fly,” serunya, dan tak berapa lama ia pun merasa harus memilikinya sebagai jimat yang bakal membantunya bermain bagus di atas lapangan.
Batu itu tidak untuk dijual karena Howard berencana melelangnya. Tapi KG sudah terlanjur kepincut dan ia memohon untuk meminjamnya semalam saja untuk laga play-off melawan Sixers. Sekali lagi, ia sangat yakin batu itu bisa membawa keberuntungan, meningkatkan performanya, dan membawa kemenangan bagi timnya.
Maka dengan agak berat batu itu pun berpindah tangan. Dipinjamkan dengan jaminan cincin NBA Championship 2008, yang akan dikembalikan sebelum deadline pendaftaran acara pelelangan barang-barang antik. Dengan berpindahnya batu tersebut, keberuntungan dan kesialan Howard pun ikut berpindah-pindah dari dirinya dalam hitungan hari.  
Tapi setidaknya KG benar. Dengan batu itu ada padanya, ia pun tampil menggila di atas lapangan dan membawa Celtics memenangkan pertandingan dengan meyakinkan. Terbukti pula, ketika batu itu diambil darinya, ia memang tampil melempem dan harus dicemooh fans di dalam arena.
Tumblr media
Howard, Tunggu Dulu Sebentar!
Sebagai seorang pejudi berpengalaman, satu prinsip yang selalu dipegang Howard adalah: jangan menunggu. Waktu adalah uang, setiap detik bernilai, dan setiap kesempatan, sekecil apa pun, harus segera dimanfaatkan. Bertaruh tidak cukup hanya mengandalkan data statistik, perlu ada insting yang membakarnya, yang tak peduli seirasional apa pun bentuknya insting tetaplah insting. Kecepatan adalah salah satu elemen adrenalin utama dalam bertaruh yang harus dinikmati, yang bahkan kesenangannya terasa lebih besar daripada ketepatan hasil berjudi itu sendiri.
Maka tak heran begitu Howard meminjamkan batu opal kepada KG dan mendapat cincin NBA-nya sebagai jaminan, tanpa pikir panjang ia langsung bergerak mendatangi bandar judi. Instingnya bilang kalau KG bakal benar-benar terpengaruh oleh batu opal tersebut dan berefek kepada permainan gemilang malam nanti; irasional memang, tapi itulah insting. Maka setelah menggadaikan cincin tersebut dengan cepat dan yakin ia mempertaruhkan uang untuk kemenangan Celtics sekaligus poin-poin besar yang akan diraih oleh KG secara individual. Ia harus segera bergerak memasang taruhan karena kalau sebentar saja ia tergoda untuk memikirkan peluang-peluang KG, ia akan mulai memkirkan risiko-risiko yang bakal terjadi sehingga bukan tidak mungkin ia takkan berani memasang taruhan.  
Oleh karena itu, kakinya harus segera bergerak menuntaskan setiap langkah dalam bertaruh. Barulah setelah taruhannya itu terpasang, ia bisa bernapas lega dan kembali menjalani sisa hari dalam ritme normalnya. Begitulah seni bertaruh.
Masalahnya adalah kecepatan seperti itu membuatnya abai terhadap konsekuensi. Kasarnya seperti: pasang dulu, mikir belakangan ─ dan langkah yang seperti itu membawanya pada banyak kehilangan.
Ia kehilangan waktu bersama keluarganya. Ketiga anaknya sudah terbiasa dengan kondisi ayahnya yang secara fisik hadir tapi pikirannya berada jauh di tempat lain. Howard memang kerap mengantar dan menemani anak bungsunya tidur setiap malam, tapi matanya tak lepas dari smartphone di tangan yang menyiarkan live pertandingan basket yang mana uangnya sedang dipertaruhkan di sana. Ia datang menghadiri pentas drama yang diikuti putri sulungnya, tapi tepat sebelum drama dimulai ia bergegas keluar gedung untuk menyelesaikan urusan dengan tukang pukul Arno. Urusan kilat itu berakhir di bagasi mobilnya sendiri di mana istrinya menemukan Howard terkurung di sana dalam kondisi telanjang bulat. Howard tidak punya banyak waktu bersama keluarganya; si putri sulung juga lebih memilih bergosip dengan temannya di telepon daripada menerima pujian dari Howard tentang penampilannya di atas panggung drama.
Dengan istrinya, Dinah, kehilangan itu lebih terasa lagi. Dinah sudah tidak menginginkan apa-apa lagi dari Howard, termasuk ajakan rujuk yang ditolaknya dengan senyum sinis (“I think you are the most annoying person I’ve ever met. I hate being with you. I hate looking at you”). Satu-satunya yang bisa dilakukan oleh Howard untuk merekatkan rumah tangganya yang retak adalah dengan meminta Dinah menunda perceraian sampai perayaan Paskah. Harapannya adalah momen kumpul bersama keluarga besarnya nanti bisa memberinya peluang untuk menyatakan rekonsiliasi dengan kondisi pikiran Dinah yang lebih jernih. Tentunya itu malah terlihat sebagai upaya menyedihkan yang sia-sia.
Ia pun sempat kehilangan Julie, selingkuhannya, pada suatu waktu. Ia cemburu saat mengetahui Julie tengah berduaan dengan penyanyi The Weeknd di dalam kloset di sebuah klab malam. Ia menyeret Julie keluar, menghajar The Weeknd, lalu memberondong Julie dengan makian di sepanjang trotoar yang padat di dini hari. Ia menuduhkan hal-hal yang sebenarnya tidak terjadi. Tapi reaksinya yang murka barangkali didorong oleh rasa takut kehilangan yang bermukim di sudut hatinya yang paling gelap, terpelihara oleh ketakutan aktualnya terhadap kehilangan keluarga intinya, kehilangan batu opal hitamnya, kehilangan sejumlah uang yang dipertaruhkannya.  
Opal Hitam dan Harga yang Ditawarkannya
Sebenarnya berapa nilai dari batu opal hitam Ethiopia itu? Menurut Howard harganya bisa mencapai 1 juta dollar atau bahkan lebih. Tapi tentunya penilaian itu hanya taksiran belaka yang diiringi oleh klaim khas penjudi dari Howard, yang berarti bukan harga yang terverifikasi secara resmi.
Saat batu itu diserahkan ke tempat lelang, ahli permata di sana “hanya” berkisar antara 155 ribu sampai 175 ribu dollar. Howard memprotes hasil taksiran tersebut karena jauh dari harga yang ia harapkan tapi pihak lelang sudah menetapkannya dan tak bisa diubah lagi. Apalagi mereka punya ahli permata yang telah tersertifikasi, yang pastinya punya penilaian yang paling mendekati akurat.
Batu itu berhasil dilepas di pelelangan dengan harga 190 ribu dollar. Bahkan KG yang mengikuti acara tersebut tidak berani menawar dengan harga segitu, padahal ia mengaku sangat membutuhkannya sebagai jimat. Howard coba mempermainkan lelang dengan “mengutus” mertuanya sendiri sebagai lawan penawar KG, harapannya penawaran bisa terus naik sampai menembus harga 200 ribu dollar. Tapi KG tidak berhasil terpancing. Alhasil, malah mertuanya yang harus membayar 190 ribu dollar untuk batu yang “tak sengaja” dimenangkannya itu.
Bagi KG harga itu terlalu tinggi, sedangkan bagi Howard harga segitu jauh di bawah klaimnya. KG akhirnya bersedia membeli langsung batu itu dengan membayar 165 ribu dollar, dan suka tidak suka Howard pun menerimanya sebagai kompensasi atas segala kerugian yang didapatnya. Kepada KG pula Howard mengaku kalau dia membeli batu itu “hanya” seharga 100 ribu dollar. Jadi, sebenarnya opal hitam itu tidak pernah seharga 1 juta dollar di pasar mana pun.
Namun, bagi Howard nilai “asli” yang dimiliki opal hitam itu adalah seharga adrenalin yang ia kejar dalam hidupnya, terutama yang mampu memberi sensasi kemenangan pada dirinya. Opal itu bukan sekadar batu perhiasan tetapi juga trofi yang ia pertaruhkan bersama hidupnya.
KG: “You gave some niggas from Ethiopia a hundred grand for something you thought was worth a million dollars? You don’t see nothing wrong with that, Howard?”
Howard: “Ethiopian miners, you know what these fucking guys make? A hundred grand is fifty lifetimes for these fucking guys.”
KG: “A million dollars is more, that’s my point, you understand?”
Howard: “You wanna win by 1 point or fucking 30 points, KG? I see you out there when the fucking stadium all’s booing you. You’re 30 up, you’re still going full tilt? Let’s see what Vegas got you guys at tonight. Take a look. Look at this shit, the Sixers are supposed to win the game tonight, they think. They think on game 7 you’re not gonna get fucking 18 points. They don’t think you gonna get 8 rebounds.”
KG: “These guys don’t know shit about me.”    
Howard: “Doesn’t that make you wanna fucking kill them? Doesn’t that make you wanna say. ‘Fuck you, for doubting me’? Doesn’t that make you wanna step on Elton Brand’s fucking neck? Come on, KG, this is no different than that. I’m not a fucking athlete. This is my fucking way. This is how I win.”
Bagi Howard, berjudi atau bertaruh adalah cara yang digunakannya untuk menaklukkan kehidupan. Karena mungkin hidup ini sendiri adalah pertaruhan. Semuanya diliputi oleh ketidakpastian dan segala hal punya peluang untuk menang atau kalah, jatuh atau bangun, jadi besar atau kecil, tergantung pada perspektif yang digunakan seseorang. Tuhan seolah menciptakan dunia ini sebagai meja judi raksasa bagi umat manusia sehingga mau tidak mau setiap orang harus jadi penjudi yang mempertaruhkan segala hal demi kemenangan. Bukan kemenangan atas Tuhan, tetapi kemenangan atas sesama manusia yang ditakdirkan menjalani hidup di dunia. Jadi, konflik batu opal hitam itu bukan semata-mata tentang harga jualnya, melainkan lebih tentang upaya meraih harga diri dan posisi sebagai manusia yang seutuhnya.
Di pertaruhan yang keduanya Howard sempat “memanas-manasi” KG sebelum bertanding tentang bagaimana di luar sana banyak petaruh yang tidak percaya kalau dirinya bisa mencetak banyak poin. Banyak yang beranggapan kalau KG sudah terlalu “tua” untuk bisa meraih di atas 30 poin dan masa primanya sudah lewat. Tapi Howard bertaruh kalau KG masih sanggup melakukan yang terbaik. Tersulut oleh fakta tersebut KG pun membuktikan diri dengan mendulang banyak angka kemenangan bagi Celtics. Maka Howard memenangkan taruhannya dan KG memenangkan pertandingan play-off. Keduanya pun menggunakan caranya masing-masing dalam menaklukkan kehidupan di sekitarnya.
Ini Semua Karena Ulahmu, Howard!
“Everything I do is not going right,” aku Howard sambil menangis. Ia merasa terpuruk setelah skema lelang yang dikoordinirnya gagal dan opal hitam itu tidak pernah terjual dengan harga 1 juta dollar. Maka dengan begitu utang besarnya masih belum bisa dilunasi dan ia malah menambah utang kepada pihak lain. Ditambah lagi hidungnya berdarah setelah dipukul anak buah Arno yang kesal dengan janji-janji muluknya. Lebih jauh lagi, barangkali ia juga memikirkan rumah tangganya yang bakal retak dalam hitungan hari. Sekarang ia hanya punya Julie yang kembali kepadanya dengan sebuah tato baru bertuliskan “Howie” di bagian bokongnya.
“Howard, you did this to yourself,” ujar Arno di malam-malam sebelumnya, ketika Howard diseret dari gedung sekolah anaknya ke jok belakang mobil, diapit oleh para tukang pukul yang mempreteli pakaiannya satu per satu. Arno tentu tidak perlu sampai harus menyewa tukang pukul kalau Howard tertib membayar utangnya secara berkala. Barangkali Arno juga tidak akan keberatan memberinya kelonggaran-kelonggaran dalam hal deadline atau jumlah cicilan utang, toh pada dasarnya Arno dan Howard masih terikat hubungan keluarga. Yang jadi masalah bagi Arno adalah kebiasaan berjudi Howard yang selalu memakai uang pelunas utang sebagai modal taruhan, yang kemudan secara tidak langsung “memaksa” Arno untuk ikut harap-harap cemas mendukung kemenangan taruhannya.
Padahal sebenarnya Howard adalah petaruh yang ulung. Dua kali ia bertaruh dalam pertandingan Celtics vs. Sixers dan dua-duanya ia menang besar. Insting bertaruhnya memang sudah terasah dengan baik sehingga ia bisa jor-joran menetapkan banyak poin terhadap permainan KG dan timnya di atas lapangan.
Tapi yang jadi masalah adalah ia terikat oleh banyak orang dalam setiap ekspektasi yang ia miliki─selain dari fakta bahwa ia adalah seorang pengutang dan penaksir lelang yang buruk. Setiap langkahnya seolah jadi langkah yang diambil oleh orang-orang yang berkepentingan dengannya. Ketika Howard mengandalkan keputusan orang lain, seperti dalam berutang dan melelang opal, segala urusannya jadi berantakan, Tetapi ketika ia mengandalkan diri dan instingnya, seperti dalam bertaruh, hasilnya justru memuaskan.
Jadi, pada dasarnya Howard mendapat apa yang diinginkannya ketika ekspektasinya ditempatkan kepada instingnya sendiri. Sedangkan ia mendapat kerugian ketika ekspektasinya diserahkan kepada orang lain. Yang jadi paradoks adalah untuk bisa meraih kemenangan dalam taruhan sebelumnya ia harus mengumpulkan modal dari berutang kepada orang lain. Dan itu terus terjadi sampai pada taha pia tidak bisa membedakan mana uang yang harus dibayarkan untuk melunasi utang dan mana uang yang harus dipertaruhkan.
Tak ada yang bisa memprediksi kapan Howard akan berhenti, meskipun ia tahu telah kehilangan keluarga dan orang-orang terdekatnya dalam perjalanan. Itu semua telah membentuk lingkaran setan yang terus mengantarkan Howard kepada konsekuensi dari utang dan perjudian. Pada akhirnya ia pun tidak bisa diandalkan oleh siapa-siapa dan Howard seorang diri tidak cukup menghadapi dunia yang penuh pertaruhan kompleks dalam ketidakpastian yang absolut. Sepertinya memang perlu intervensi dari sebutir peluru untuk menyudahi segala kekacauan dari perputaran uang yang digelontorkan Howard di hari kemarin, sekarang, ataupun besok-besok.
Tumblr media
oleh: Ikra Amesta
0 notes
sinemeter · 3 years ago
Text
bacurau
Tumblr media
“A man is judged by the evil he does, not the good.”
Di tengah malam, kuda-kuda tanpa tuan berderap masuk ke desa. Siangnya, sinyal telepon seluler mendadak lenyap. Belum lagi sempat dilaporkan ada penampakan UFO dan beberapa penduduk tewas ditembak. Bacurau sepertinya sedang diserang.
Selamat Datang di Bacurau
Bacurau adalah sebuah desa kecil di sebelah barat Pernambuco, di daerah Brasil Selatan. Bagian dari wilayah kotamadya Serra Verde, dan tergolong sebagai sertão atau pedalaman yang cukup terisolir dari peradaban kota. Apalagi Bacurau sekarang sedang diasingkan oleh otoritas Serra Verde, akses jalan yang menghubungkan kedua tempat ditutup, termasuk akses terhadap air bersih yang sengaja diputus. Usut punya usut, memang sedang terjadi ketegangan hubungan politik antara Bacurau dan Serra Verde, konflik yang bisa jadi terus terpelihara selama bertahun-tahun. Walaupun kecil, tertinggal, dan terpencil, Bacurau bukan desa yang mudah dikuasai atau dibujuk rayu oleh kuasa politik dan kapital. Desa telah melahirkan banyak pemberontak serta perlawanan, seraya turun-temurun hidup rukun dan damai antarsesamanya.
Tapi, sebelum kita menyinggung permasalahan yang mereka dialami, mari kita tengok bagaimana Bacurau menjalani kesehariannya.      
Pagi selalu dimulai dengan bersahaja di sini. Pasar jadi tempat yang ramai dikunjungi para penduduk. Di sekitar sana ada seorang DJ yang mangkal dengan mobilnya yang dilengkapi pengeras suara untuk memutar musik serta layar besar untuk menayangkan video atau film. Dengan mikrofon di tangan sang DJ bertugas memberikan pengumuman-pengumuman, baik tentang kondisi cuaca, berita lokal, atau pemberitahuan tentang panggilan telepon untuk warga sekitar. Tak jarang ia juga melaporkan peringatan dari perbatasan tentang pihak-pihak luar yang hendak memasuki Bacurau.
Ada orang-orang yang bertugas memantau situasi di perbatasan Bacurau. Jika ada mobil atau motor mencurigakan yang siap masuk ke Bacurau, dengan sigap mereka melaporkan via walkie-talkie agar para warga bersiap. Mereka yang masuk ke Bacurau memang seringkali bukan orang yang bersahabat, seringkali adalah musuh, terutama untuk kondisi Bacurau saat ini yang tengah bertikai dengan kota tetangga.
Selain itu, di pintu masuk Bacurau juga terletak rumah seorang tetua bernama Damiano, yang sehari-hari mengurus perkebunan pribadinya yang penuh aneka jenis tanaman. Dari beberapa koleksi tanamannya itu, Damiano memproduksi semacam “obat herbal” yang berfungsi layaknya psikotropika lokal. Ia kerap menyuapi para penduduk dengan “obat herbalnya” itu yang sebesar benih tumbuhan, yang disinyalir punya efek menenangkan dan bahkan membangkit nyali mereka yang menelannya. Damiano ini adalah warga veteran yang tentunya sangat dihormati di Bacurau.
Setiap pagi para pelacur dan germo bersiap melakukan pekerjaannya dengan mandi di tempat pemandian terbuka di balai desa. Mereka diangkut menggunakan sebuah truk trailer yang disupiri langsung oleh germonya, seorang wanita tua yang terlihat masih bugar. Para pelacur itu terdiri dari tiga orang: seorang gadis muda bertubuh ramping, seorang perempuan MILF bertubuh gemuk, dan satu lagi seorang pria muda bertubuh atletis. Mereka adalah warga pribumi, dan karenanya sudah sangat akrab dengan warga Bacurau. Mereka mulai berbisnis dari pagi, menjajakan diri mereka dengan menyingkap alat vital kepada para konsumen yang prospektif. Mereka bisa melakukan pekerjaannya di dalam trailer, atau di dalam rumah pelanggan, atau tempat publik seperti kamar rawat klinik ─ tergantung permintaan. Yang jelas, semua bisa berlangsung dengan damai dan selaras.
Bicara klinik, Bacurau punya satu dokter senior yang menjamin kesehatan mereka. Dialah Nyonya Domingas (Sonia Braga), satu-satunya dokter yang bertugas di sana, siap melayani semua penyakit dan penanganan medis, dari mulai pusing akibat hangover sampai persalinan. Kliniknya memang tak pernah sepi. Selalu ada saja orang yang berobat, atau melacur, atau sekadar numpang tidur di kasur pasien.
Woman: “Migraine, nausea, feeling like death.”
Domingas: “That’s a hangover.”
Man: “Morning, doctor.”
Domingas: “Morning.”
Man: “I was drunk so my wife kicked me out. I need a bed to get some sleep.”
Domingas: “Take number 2. Draw the curtain, please.”
Man: “Thank you.”
Ada pula sekolah dan perpustakaan di Bacurau, khusus untuk anak-anak, karena di sana ada banyak juga anak-anak yang berkeliaran. Urusan pendidikan dikelola oleh Mr. Plinio, salah satu warga senior Bacurau yang lain. Bagaimanapun juga pendidikan tetap jadi hal penting bagi generasi muda, terlebih lagi untuk menguatkan amunisi otak mereka dalam mempertahankan keutuhan Bacurau di masa-masa mendatang. Pengajaran dilakukan secara hibrida dengan memanfaatkan sarana-sarana konvensional seperti buku, yang sebagian besar hasil sumbangan, dan sarana modern seperti tablet.
Tapi tempat yang paling “kompeten” memberikan pelajaran tentang sejarah Bacurau bukanlah bangku sekolah, melainkan museum lokal yang berdiri kokoh sebagai salah satu bangunan kebanggaan warga. Bisa jadi ini bangunan yang paling terawat, terurus, dan pada satu titik, disakralkan di Bacurau. Di dalamnya tersaji berbagai jenis dan bentuk saksi sejarah tentang segala hal yang membentuk identitas Bacurau sampai saat ini.
Kita bisa melihat foto-foto hitam-putih yang mengabadikan semacam peperangan, atau bentrokan, atau pertumpahan darah yang dilakukan oleh para pendahulu Bacurau di masa lalu. Salah satu foto memotret kepala-kepala yang terpenggal dari tubuhnya, dijejerkan sebagai pertanda trofi kemenangan. Ada pula beberapa guntingan artikel koran yang memberitakan tentang peristiwa pemberontakan yang pernah dilakukan warga Bacurau dalam kurun waktu tertentu. Tak lupa sebuah dinding yang khusus didedikasikan untuk memajang artefak kebanggaan Bacurau yaitu deretan senjata api vintage seperti senapan Mauser, senapan Winchester 44, pistol Colt 38, dan lain-lain ─ di samping koleksi senjata tajam sebangsa golok dan machete. 
Inilah Bacurau. Sebuah tempat anomali di mana segala hitam dan putih benar-benar melebur jadi abu-abu yang pekat. Bagi pendatang atau turis yang terbiasa menganut nilai dan moralitas yang terstandarisasi peradaban modern, tempat itu mungkin tampak “barbar”. Bagaimana mereka bisa tahan menonton video Top 10 aksi seorang berandal Bacurau yang tertangkap kamera CCTV menembak mati orang-orang di beberapa tempat? Sedangkan warga Bacurau terus menyetel dan menonton video itu di big screen sambil mengagumi si pelaku sebagai hero mereka? Bagi warga kota lain aksi tembak-tembak itu termasuk perbuatan kriminal berat, sedangkan bagi warga Bacurau aksi tersebut mewakili kepahlawanan. Sebab selama ini mereka selalu tersisihkan sebagai korban ketidakadilan, perampokan, pengabaian dalam permainan politik penguasa.
Bukan berarti pendatang atau turis dilarang datang. Tentu pintu Bacurau akan selalu terbuka selama mereka berlaku seperti slogan yang tertera pada rambu penunjuk jalan Bacurau: “Se for, va na paz” atau dengan kata lain, “If you go, go in peace”.
Sekarang ini warga Bacurau sedang berduka. Carmelita, salah satu sesepuh di sana baru saja meninggal dunia. Seluruh warga berkumpul di rumah Carmelita untuk melayat. Ruang tamu penuh sesak, kursi-kursi plastik digelar di halaman luar, para warga siap siaga mengantar jenazah menuju liang kubur. Cucu perempuan Carmelita pulang kembali dari luar kota membawa sebuah koper besar yang diusung dari tangan ke tangan oleh para pelayat sampai masuk ke dalam rumah. Isinya terdapat sejumlah vaksin dan obat-obatan dari kota.
Di tengah suasana berkabung itu Domingas sempat membuat kegaduhan dengan berteriak dan melabrak Carmelita dan keturunannya sebagai orang hina. Tapi semua orang tahu kalau Domingas sedang emosional oleh kesedihannya sendiri sehingga mereka pun hanya memaklumi aksinya.  
Setelah itu atmosfer kelabu kembali menaungi langit Bacurau. Jenazah Carmelita dibaringkan ke dalam peti kayu lalu beberapa pria mengusungnya menuju kuburan. Tak lupa sang DJ memberikan pidato penghormatan terakhir kepada almarhumah. Mereka lalu berjalan kaki dipimpin oleh seorang “maestro” gitar yang menyenandungkan kidung perpisahan, sementara di belakang para pengangkut peri mati itu rombongan warga setia membuntuti sambil turut bernyanyi.
Dengan khidmat mereka mengikuti prosesi penguburan. Tak ada yang aneh di sana kecuali cucu perempuan Carmelita yang seolah-olah melihat peti mati neneknya itu dibanjiri air yang meluap dari dalam. Barangkali itu efek dari benih “psikotropika” yang disuapkan Damiano ke mulutnya beberapa jam lalu. Selesai pemakaman, setiap warga mengibar-ngibarkan sapu tangan putih ke angkasa selama beberapa menit. Entah apa maksudnya. Mungkin mereka merayakan arwah Carmelita yang terbang menembus langit, atau justru menyambut arwah Carmelita yang menetap di Bacurau bersama mereka sebagai malaikat penjaga.
Bagi mereka, sepertinya Carmelita tidak pernah pergi. Seperti yang disampaikan oleh Plinio, “Carmelita and Bacurau live on in all of them”. Siapapun yang telah hidup dan disayangi di Bacurau, selamanya akan tetap berada di sana.
Bacurau Sebagai Korban Lawak Politik
Di suatu pagi yang cerah, walikota Serra Verde Tony Jr. mendadak datang berkunjung ke Bacurau. Ia datang bersama beberapa rombongan, di antaranya sebuah truk yang penuh berisi buku, sambil diiringi jingle disko yang menyanyikan tentang “keagungan” dirinya sendiri. Tentu kedatangannya sudah terpantau lebih dahulu oleh penjaga perbatasan yang bergegas menyebarkan informasi kepada para warga lewat walkie-talkie dan grup chat. Makanya tidak heran begitu Tony Jr. menjejakkan kedua kakinya di tanah Bacurau, ia hanya disambut oleh kekosongan karena semua warga sudah berada di dalam tempat tinggalnya masing-masing. Semuanya tampak sepi dan hening.
Aksi itu dilakukan bukan karena mereka takut kepada Tony. Justru sebaliknya, mereka menunjukkan rasa tidak respek dan masa bodoh lewat kebungkaman yang serentak. Mereka tak perlu capek-capek menyambut atau bertemu muka dengan Tony, karena ia hanyalah musuh dalam selimut yang picik dan bermuka tebal, khas politisi.
Tumblr media
Lihat saja bagaimana ia coba memancing simpati warga dengan gimmick sumbangan ribuan buku yang diluncurkan dari belakang truk. Tak lupa ia meminta anggota rombongannya untuk merekam adegan tersebut. Semua itu ia lakukan demi mendulang dukungan untuk pemilihan walikota sebentar lagi, rencananya adalah untuk kembali menjabat di periode yang kedua.
Untung saja para warga Bacurau lebih memilih mengurung diri di dalam ruangan daripada mendengar koar-koar kampanye Tony Jr. yang kosong substansi, khas bujuk-rayu politisi kelas kakap.  
Tony: “I come to you with an open heart. I bring you all kinds of goodies. Books for the school, which has the best library in the region, for sure. I also bring supplies. Food. Always important. And coffins. Medication. I’m there for you, that’s the honest truth. Elections are coming, as everyone knows. We are going to continue moving forward together. I’m standing for another term, so that we can unite. Starting with retinal scans. I brought this reader device, which makes life easy for those who cannot come to vote. So come on out. There’s nothing to worry about.”
Man: “Open the dam, you crook!”
Woman: “Release the water!”
Padahal Tony pulalah yang bertanggung jawab atas keputusan menahan pasokan air daerah dari bendungan ke Bacurau; sebuah keputusan yang disinyalir sebagai upaya politik untuk menaklukkan Bacurau. Tentunya ini aneh, Tony yang membungkam Bacurau sekarang malah “mengemis” suara dari Bacurau agar sudi memilihnya lagi jadi pemimpin. Ia coba mengambil hati dengan menggelontorkan sumbangan buku, sembako, dan obat-obatan. Tapi kebanyakan buku-buku itu adalah buku bekas yang sampulnya lepas atau kertasnya sobek; sebagian dari produk sembako yang ia kirim sudah lewat masa kedaluwarsanya, bahkan ada yang lewat sampai 6 bulan; obat-obatan yang dibawa adalah sejenis obat penenang yang efeknya bisa membahayakan tubuh (“Addictive, and it dulls your wits”). Semua itu adalah harga yang ditawarkan Tony Jr. kepada Bacurau, harga yang tentunya jauh dari sepadan.
Jika memang itu cara diplomasi yang diterapkan Tony Jr, di Bacurau maka pada dasarnya ia terang-terangan melegitimasi kedudukan warga Bacurau tidak lebih dari sekadar voter. Kalau begitu, entah dirinya memang naif atau mungkin ia sudah pasrah untuk mencoba pendekatan lain karena tahu Bacurau pasti tak bisa ditaklukkan. Tony mengakui bahwa Bacurau adalah kaum voiceless, kelompok yang senantiasa dibungkam dan diabaikan, tapi mereka tetap punya hak politik di mata hukum sebagai pemberi suara (“Listen, for your information, whores vote too”).
Sepertinya pendekatan Tony Jr. itu merupakan praktek yang umum terjadi dalam situasi politik di mana pun di dunia ini. Para politisi yang dipilih oleh rakyat secara demokratis itu kerap kali justru berjarak cukup jauh dengan rakyatnya sendiri. Kaum marjinal, kaum miskin, kaum minoritas, mereka semua tak lebih hanyalah jumlah suara dalam hitung-hitungan politik yang selalu diangkat sebagai dari strategi minta dukungan ─ strategi khas politisi yang busuk tentunya.
Dan adalah hal yang umum pula ketika sekelompok masyarakat seperti itu selalu terjerat oleh strategi yang dijalankan para politisi. Dengan kondisi kehidupan mereka yang serba kekurangan (baik secara alamiah maupun dikondisikan secara sistemik) seringkali mereka tak punya pilihan lain selain mempercayai janji-janji kampanye politisi, bergantung kepadanya dalam harap penuh. Bahkan ketika mereka sadar bahwa probabilitas realisasinya kecil sekalipun.
Dengan begitu maka keputusan warga Bacurau untuk menolak Tony, mengolok-oloknya, melabraknya, termasuk sebuah keputusan kolektif yang sangat bernyali. Mereka menolak dijadikan bahan lawakan politik karena mereka punya harga diri yang tak bisa ditertawakan. Harga diri yang terbentuk dari semangat kebersamaan dan kekeluargaan yang telah melekat selama bertahun-tahun, termasuk berasal dari spirit historis mereka yang penuh dengan kisah-kisah perlawanan terhadap kekuasaan.  
Sedangkan bagi Tony, keputusannya untuk datang dan berkampanye di Bacurau dengan menerapkan strategi busuknya itu tak lebih dari upaya bunuh diri politik, karier, dan karakternya. Itu sebabnya politisi selalu dituntut punya muka tebal sehingga mereka tidak perlu banyak fokus kepada etika dan rasa malu, cukup pada perkara menang dan kalah saja─seperti kebanyakan politisi busuk di luar sana.
Supremasi, Kolonialisme, dan Rasisme
Sekelompok “turis” asal Amerika Serikat bersiap mendatangi Bacurau. Mereka bukan turis biasa, tujuan mereka bukan wisata melainkan pembantaian. Laki-laki dan perempuan menenteng senjata, berseragam militer, dan sambil menyeringai mereka siap menghabisi seluruh warga Bacurau (“I came for the body count!”).
Tak sulit menebak kalau mereka disewa Tony Jr. untuk memuluskan langkah politiknya. Di saat warga Bacurau terang-terangan menolak memilih Tony di pemilihan nanti maka jalan keluar terbaik adalah memastikan kalau mereka tidak bisa memberikan suaranya sama sekali. Bagi Tony ini adalah masalah politik, selalu; tapi bagi para “turis” tersebut ini adalah olahraga berburu yang memuaskan adrenalin.
Dipimpin oleh Michael (Udo Kier), para pemburu itu melancarkan aksinya secara sistematis. Mereka menggunakan sebuah drone berbentuk piring terbang untuk memantau situasi Bacurau dari langit. Mereka mengumpulkan banyak informasi dari sana, termasuk juga dengan menyewa informan lokal untuk menyusup masuk ke Bacurau sebagai pelancong.
Dengan teknologi canggih lainnya mereka “menghapus” jejak Bacurau dari peta satelit sehingga siapa saja yang mengakses internet tidak akan menemukan desa itu, mau di-zoom sedekat apapun. Penghapusan tersebut tentunya sengaja dilakukan agar kelak pembantaian yang terjadi tidak diketahui oleh dunia, sebuah proses genosida yang dilakukan dengan sangat rapi dan tertutup (“I have documents that prove that we are not here”). Selain itu mereka juga memutus sinyal telepon seluler di Bacurau, membuat para warga benar-benar terisolasi dari dunia luar.
Selanjutnya adalah teror. Di suatu malam yang tenang Bacurau tiba-tiba kedatangan sekelompok kuda yang berderap membangunkan warga. Kuda-kuda itu berasal dari sebuah peternakan keluarga yang tak jauh dari Bacurau, milik kawan yang mereka kenal yang kemudian diketahui tewas sekeluarga karena ditembak. Paginya, truk tangki air Bacurau juga ditembaki sampai bocor. Siangnya, dua warga lokal tewas ditembak yang membangkitkan kesedihan sekaligus kemarahan seluruh warga desa. Ketika mayat-mayat lain menyusul berjatuhan, mereka pun sepakat untuk mendeklarasikan perang kepada penyerang yang tak dikenal itu.
Baik pihak yang diserang maupun penyerang memang saling tak mengenal. Tapi sebagai pihak yang punya sejarah panjang perlawanan tentunya mereka memiliki insting kolektif untuk siaga menyerang balik. Maka dari itu mereka segera mempersiapkan diri menghadapi pertumpahan darah yang segera datang.
Sementara para “turis” itu, meskipun mereka sudah diam-diam memantau warga Bacurau dari jauh, tapi mereka pun masih tetap tidak mengenali sasaran mereka secara komprehensif. Mereka lebih cenderung berpegang pada penilaian berbau stereotip yang mereduksi banyak aspek karena biasnya cara mereka memandang. Mereka merasa lebih superior sehingga mereka merasa bangga dengan apa yang mereka tahu tentang Bacurau, walaupun pengetahuan tersebut tidak menyeluruh dan punya potensi keliru, dan dengan superioritas tersebut mereka mengganggap yang tidak mereka tahu bukanlah hal penting. Dengan mengenakan kacamata arogansi, maka bagi mereka Bacurau tak lebih dari sekadar denah dan angka yang bisa dikuasai dalam tempo singkat.
Arogansi tersebut tentunya sangat khas bangsa kolonial yang kerap membagi dunia ke dalam dua golongan, pemangsa dan mangsa. Mengingat wilayah Bacurau yang terpencil maka jadi hal yang “wajar” untuk menganggap peradaban di sana masih jauh tertinggal dari supremasi peradaban kulit putih di dunia Barat. Para “turis” itu selalu merujuk kepada ras mereka sebagai yang paling maju dan paling berkuasa sehingga mereka pun tak ragu mengumbar “kebesarannya” di depan ras lain, tidak lupa dengan gaya yang merendahkan.
Joao: “We come from south of Brazil. It’s a very rich region. With German and Italian colonies, more like you guys.”
Willy: “Like us? They’re not white, are they? How could they be like us? We’re white. You’re not white. Right?”
Terry: “I don’t know. Well, you know, they kinda look white, but they’re not. Her lips and her nose give it away, you know. More like white Mexicans, really.”
Bob: “You could be Italian. She could be Polish.”
Julia: “I think he’s a handsome latino guy.”
Justru cara mereka yang memandang sebelah mata itu jadi bumerang yang menghabisi nyawa mereka satu per satu. Mereka luput memandang Bacurau sebagai “bangsa pemberontak” yang punya rentetan historis perlawanan yang panjang. Para “turis” itu dengan kacamata kudanya hanya menilai masyarakat Bacurau dari apa yang mereka yakini terkait bangsa terbelakang, sehingga apa yang tadinya mereka anggap sebagai invasi berubah jadi misi bunuh diri tragis.
Mereka datang ke Bacurau disambut oleh kesunyian yang mereka kira adalah sinyal-sinyal ketakutan. Mereka luput akan kolektivitas warga yang tak segan membalas satu peluru yang mereka tumpahkan dengan sepuluh kali lipat tembakan. Satu per satu para “turis” itu berjatuhan, tak ketinggalan kepala mereka dimutilasi machete sebagai suvenir penanda kemenangan; sebagai penanda bahwa sekuat apa pun upaya penaklukkan terhadap Bacurau akan berakhir dengan takluknya ego di bawah kesadaran bersama.
Bacurau sejatinya adalah potret masyarakat kelas bawah yang selalu dijadikan sasaran pemasaran politik dan arogansi golongan kelas atas. Posisi politik dan sosial mereka yang tak menguntungkan memang kerap mendatangkan asumsi-asumsi inferior dari kelas yang berkuasa. Anggapan yang demikian itu sering menjebak para pemikirnya dalam pengerdilan dan pengabaian yang berhiaskan ilusi semu terkait superioritas. Masalah itulah yang terus berulang dalam sejarah bangsa-bangsa dengan polemik kelas, ras, dan etnis yang penuh kesalahpahaman. Jika begitu, golok dan pistol warga Bacurau setidaknya jadi pengingat akan perjuangan menebas dominasi dan mematikan supremasi otoritas dari mereka yang menolak direndahkan.
Tumblr media
oleh: Ikra Amesta
0 notes