Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
ÁRTEMIS

Alma
ÁRTEMIS, one of the largest clubs in Bali, owned by the Sinclair Corporation. ÁRTEMIS not only features a club but also includes a bar, golf course, restaurant, library, and business room. All the members are business people and notable figures in town. Terletak di jantung Seminyak, jauh dari area wisata yang sibuk, ÁRTEMIS menjadi salah satu tempat yang nggak pernah sepi sejak dibangun.
Pada intinya, ÁRTEMIS lebih dari sekadar bangunan mewah; tempat ini bisa dibilang sebagai komunitas dari orang-orang paling berpengaruh di Bali. Daftar anggotanya mencakup pemimpin bisnis, selebriti, dan pengusaha, yang masing-masing tertarik ke ÁRTEMIS bukan hanya karena kemewahannya tetapi juga karena rasa kebersamaan yang ditawarkannya. Ini adalah tempat di mana koneksi terjalin, kesepakatan dibuat, dan persahabatan dipupuk dalam lingkungan yang nggak tertandingi dalam kenyamanan dibalut dengan gaya.
Am I the members of ÁRTEMIS? Sadly not. Gue hanya seorang pekerja di tempat ini sebagai bartender tetap sejak tiga bulan yang lalu. Setelah perusahaan percetakan yang menaungi gue selama empat tahun terakhir bangkrut dan gue dipecat, awalnya gue nggak pernah berpikir akan menjadi bartender di tempat ini. I'll be honest, I need money for life, dan gue sudah menganggur hampir setengah tahun dengan menjadi editor freelance dengan gaji yang nggak seberapa. Gue butuh gaji tetap, karena itu gue apply sebagai bartender setelah mendapat informasi dari Valerie.
Sejauh ini, gue cukup menikmati pekerjaan sebagai bartender di ÁRTEMIS. Keindahan tempat, keramahan orang-orang, dan suasana mewah yang terpancar dari setiap sudutnya, membuat gue merasa betah. Menurut gue bekerja di ÁRTEMIS bukan hanya soal meracik minuman, tetapi juga soal pengalaman hidup yang memukau. Maksud gue adalah, empat tahun bekerja dibalik komputer, lalu bekerja dengan suasana baru adalah momen paling keren yang pernah gue lakukan.
Salah satu aspek yang paling gue nikmati dari pekerjaan ini adalah kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Setiap malam, gue bertemu dengan pemimpin bisnis terkemuka, selebriti, pengusaha sukses, dan orang-orang yang memiliki cerita menarik. Setiap interaksi memberikan gue wawasan baru yang sebelumnya nggak pernah gue dapatkan selama bekerja di kantor. Berada di tengah-tengah komunitas yang beragam ini, gue merasa seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar dan lebih bermakna.
Sebagai bartender di ÁRTEMIS, gue memiliki kebebasan untuk mengekspresikan kreativitas gue. Meracik minuman di sini bukan hanya tentang mencampur bahan-bahan, tetapi juga tentang menciptakan karya seni. Gue lumayan sering bereksperimen dengan anggur langka dan bahan-bahan eksotis untuk menciptakan cocktail yang unik. Setiap kali seorang pelanggan tersenyum puas setelah mencicipi minuman buatan gue, perasaan bangga dan kepuasan itu nggak bisa diukur dengan kata-kata.
"So, who's the guy?" tanya gue pada Cassandra terkait partner exhibition yang dia maksud.
For your information, Valerie Soraya and Cassandra Lee are the members of ÁRTEMIS. Mereka adalah salah satu orang terkenal yang gue maksud. Valerie adalah seorang model dan Cassandra adalah seorang artist. Dan kita berteman sejak duduk di bangku perkuliahan.
"Sarasvati?" Sarasvati Manggala, salah satu artist lokal yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan orang. Karya terakhirnya berhasil masuk dalam pameran internasional di Paris beberapa bulan yang lalu, which is pencapaian yang luar biasa. Berkat kesuksesan itu, Cassandra punya harapan besar Sarasvati bisa ikut dalam exhibition solo miliknya yang dua bulan lagi akan terealisasi.
"Nope." Gue dan Valerie pun saling pandang. Dengan ekspresi wajah yang nggak bisa ditebak, Cassandra dengan tenang mengaduk Gin miliknya. Lalu kami mengikuti arah pandangnya pada sekelompok laki-laki di ujung dengan penuh pertanyaan. When realization hits us, gue dan Valerie langsung menutup mulut kaget.
"Bohong banget..." ujar Valerie nggak percaya.
"Enrico fucking Ronan?" kata gue berbisik yang hanya dibalas dengan helaan nafas oleh Cassandra.
"Sumpah, emang lo nggak apa-apa? You hate him, Cas."
Cassandra benci Enrico lebih dari apapun. Mereka pergi ke sekolah yang sama ketika SMA, mereka pernah menjadi teman satu kelas, tapi semua berakhir nggak baik. Singkatnya, mereka adalah rival. Bahkan sampai sekarang ketika mereka sudah sama-sama menjadi artist.
"Gue udah nggak ada waktu. Udah nggak ada harapan buat Sarasvati dan gue butuh orang berpengaruh supaya exhibition ini tetap jalan. And sadly this fucker was the only way left. Dan gue benci dia punya power sekuat itu." Gue dan Valerie hanya mampu gigit jari ketika mendengarnya.
Kita bertiga hidup di dunia yang berbeda-beda. Hidup dengan kebahagiaan dan juga struggle masing-masing. Kami bertiga amat sangat dekat, we got each other back ketika ada yang membutuhkan.
"Gue yakin semuanya akan lancar. Put your hate towards him aside for a while. Lo udah kerja keras sejauh ini dan lo nggak akan biarin ego lo ngerusak segalanya. We trust you, Cas." ujar gue berusaha memberikan support yang semestinya.
"Always." imbuh Valerie yang pada akhirnya membuat wajah Cassandra yang sejak awal ditekuk itupun berubah tersenyum.
Pukul setengah sebelas malam ÁRTEMIS berubah menjadi ramai. Gue izin meninggalkan Valerie dan Cassandra untuk kembali melakukan tugas gue.
Gue berjalan ke arah Enrico dan dua teman lainnya ketika mereka memanggil gue.
"I'd like to order a drink, please."
"Your usual?" Rum.
"Yes, please." jawab Enrico dengan senyum khas miliknya. To be honest, he looks like a horse. A handsome horse.
"Lo mau apa?" tanya Enrico pada teman satunya yang baru pertama kali gue lihat.
"I'm okay."
"Can I get Mojito, please?" ujar Dimitri yang gue agguki dengan senyuman.
I straightened my shoulders, pasted on my best customer service smile when he look at me. I couldn't help but soften a little at the sound of his voice. Rich, silky, and soothing, wrapped in a British accent. For fuck sake.
"Hurricane coming right up."
Hurricane Rum, biasanya mempunyai rasa yang unik. It combines the smoothness and sweetness of light rum with the deeper, more robust flavors of dark rum. Rasanya mencakup karamel, buah tropis contohnya seperti sirup markisa dan jus jeruk nipis. Efek keseluruhan rasanya adalah perpaduan yang seimbang antara manis, buah, dan sedikit asam dari jeruk, dengan rum yang memberikan rasa hangat dan sedikit pedas.
Fascination and an unusual breathlessness slowed my pace as I carried Enrico's drink. Enrico's was on the phone, yet my steps felt increasingly weighted.
"Thank you, Alma." ujar Enrico yang gue balas dengan senyuman.
Gue nggak begitu sadar sosoknya saat itu sedang menatap gue singkat sebelum akhirnya kembali fokus pada handphone di tangannya.
"Gue pikir tadi salah lihat, ternyata emang Adrian." kata Cassandra begitu gue kembali ke tempat mereka berdua berada.
Perhatian gue pun langsung teralih pada sosok yang dimaksud Cassandra yang nggak lain adalah teman Enrico barusan.
"Dia beneran pensiun dini, ya?" tanya Valerie yang membuat gue sukses dibuat bingung.
"Pensiun dini?" ujar gue mengulang pertanyaannya.
"Adrian Sinclair, known as MotoGP rider. Dia udah jadi pembalap dari dia masih kecil. Dan dia satu-satunya perwakilan Indonesia yang udah pernah juara dunia dua kali."
Adrian Sinclair. He's Sinclair after all.
"Lo tahu apa yang lucu? Dari yang gue baca soal statement dia, he's kinda like unhappy with his job."
"Nggak bahagia gimana? Dia udah jadi pembalap belasan tahun." kata Valerie bingung.
Dari jarak sejauh ini, dia kelihatan tampan sampai hampir menyakitkan untuk menatapnya langsung. Rambut hitam tebal yang menyentuh dahi, tulang pipi tegas menurun ke rahang yang kokoh dan bibir yang terpahat, sementara mata cokelat gelap berkilau di balik kacamata yang justru menambah daya tariknya.
Gue bisa membayangkan tanpa kacamata, ketampanannya akan terasa dingin, hampir mengintimidasi, tapi dengan kacamata itu, dia jadi kelihatan lebih mudah didekati. Lebih manusiawi.
"Alma."
"Yes?" gue langsung menoleh ke arah Valerie dengan bingung.
"The gentleman needs your attention."
I jolted back to reality with an unwelcome shock. While I’d been busy with staring at Adrian, new customers had started to filter into the bar.
Shit.
Bersamaan dengan perginya gue, Valerie dan Cassandra pun memilih untuk pamit.
Gue membawa pesanan terakhir itu menuju ke arah pelanggan dan tanpa sadar menabrak Dilah yang baru muncul dari gudang suplayer.
Mata gue membulat sempurna ketika gelas itu tumpah mengenai seseorang. I was so stunned at the back of counter when the cocktails splashed over his shirt. He was about ordering a new drink, but...
Fuck.
"I'm so sorry."
"Yeah, you should."
I splashed a fucking cocktail over Adrian Sinclair shirt. Shit...
0 notes
Text
The Finish Line

Adrian
Retirement is a celebration of old memories and new beginning. It was supposed to be that way, but it wasn't. Gue nggak pernah bohong kalau gue amat sangat menyukai pekerjaan ini. Amat sangat suka sampai gue nggak tahu caranya untuk berhenti meskipun sangat lelah.
Balapan sudah menjadi bagian dari hidup gue sejak 17 tahun yang lalu. Dengan rentan waktu selama itu, gue terus melakukan hal yang sama dan berulang tanpa tahu kapan berhenti.
Bukan sebuah langkah yang mudah untuk sampai disini. Menang lalu kalah, lalu menang dan kalah lagi, seolah kehidupan ini hanya berputar untuk dua hal itu saja. Menang bagi mereka yang ingin berjuang, kalah bagi mereka yang nggak melakukan apapun. Lalu bagaimana dengan mereka yang berada di tengah-tengahnya? Nggak ingin menang dan juga kalah, hanya ingin hidup apa adanya, semaunya, tanpa rasa khawatir tentang hari esok.
"Banyak yang mau ada di posisi kamu, Adrian!" Gue menghela nafas panjang sembari diam terduduk mendengarkan Ayah.
Tatapan Harris terpaku pada gue sejak Ayah mulai buka suara terkait wawancara gue dengan media Malaysia dua hari yang lalu. Sejak awal memang nggak ada sedikit pun terbesit keinginan mendiskusikan hal ini dengan orang lain, termasuk dengan keluarga gue, karena gue tahu mereka akan menentangnya.
"Setelah ini apa? Kamu mau apa kalau tidak bertanding?"
Ayah kecolongan kali ini. Biasanya kalau ada berita tentang gue, orang pertama yang akan mastiin adalah Ayah lalu kemudian Harris dan setelahnya Enrico dan Dimitri. Tapi kali ini berbeda, satu jam ceramah setelah mendapatkan berita nggak enak belum gue dengar sejak dua hari yang lalu sebelum kejadian hari ini.
"Kamu sudah 28 tahun, harusnya kamu bisa mikir semua ini tidak segampang omong kosongmu itu buat mundur!" Tanpa sadar gue malah tertawa, tawa frustasi karena gue sadar sampai kapanpun nggak akan ada yang paham bagaimana rasanya berada di posisi gue.
I love this job. I do. But love can also be exhausting. The pressure to constantly perform at a high level might be one of the reasons I'm quitting. Semua hal berbicara tentang standar; kemenangan, skill dan ability. Dan untuk memenuhi hal itu perlu kerja keras yang nggak mudah.
But, I'm tired. Gue amat sangat lelah menjalani hari-hari dengan melalukan hal yang sama selama belasan tahun tanpa henti. I wasn't allowed to enjoy my life for a second because I'm afraid I might ruin everything that I have done so far.
"You're ruining your life!"
"I'm saving my life!" Jawab gue nggak terima.
"I'm maintaining what little sanity I have left before everything sends me over the edge!" Karena gue tahu, sedikit lagi gue berusaha bertahan menjalani semua ini gue akan benar-benar kehilangan segalanya. Kehilangan kendali untuk hidup sesuai dengan keinginan gue sendiri.
"Jangan pernah datang ke saya jika suatu saat nanti kamu menyesal!"
Penyesalan...
Gue nggak pernah berada di posisi itu hingga detik ini. Setiap pilihan yang gue buat sepanjang hidup, gue udah membentuk perjalanan panjang yang membawa gue ke tempat ini hari ini. Setiap keputusan, baik yang membawa kebahagiaan atau tantangan, semua itu udah berkontribusi membantu pertumbuhan dan perkembangan pribadi gue. I fully accept and support every one of these choices without looking back, knowing they’ve all been a vital part of my life’s journey.
Seperginya Ayah, Harris hanya menatap gue dengan raut wajah yang gue sendiri pun nggak tahu artinya apa. Kecewa, sedih, iba, gue nggak tahu emosi mana yang menggambarkan ekspresinya saat ini.
Gue hanya mampu mengedikkan bahu, menjawab pertanyaan yang nggak terlontar dari bibirnya itu. "So, where we going now?"
"Lo nggak kelihatan kayak orang umum yang sedih setelah mutusin pensiun." celetuknya sembari beranjak dari duduk mengikuti langkah gue menuju mobil.
Gue terkikik geli sebelum akhirnya masuk kedalam mobil disusul sosoknya yang sudah siap dibalik kemudi.
Harris hanya terpaut dua tahun lebih tua dibanding gue. Technically, he's my older brother. Harris bukan panutan gue, tapi gue menghormati dia sebagai Kakak dan juga sahabat. Setelah Ibu meninggal sepuluh tahun yang lalu, kita selalu ada untuk satu sama lain. Saling support dan memberi wejangan kalau memang dibutuhkan.
Dengan kedekatan kita yang terjalin cukup kuat, gue paham perasaanya sekarang ini. Gue tahu dia cukup kecewa dengan langkah yang udah gue pilih, tapi gue tahu Harris akan mengerti dengan posisi gue sekarang ini.
"Dengerin kata-kata gue, retirement is a time to enjoy the freedom you’ve worked so hard for, not to look back with regret." ujar gue dengan bangga yang hanya dihadiahi berupa rolling eyes yang membuat tawa gue meledak.
"Shut up, asshole."
1 note
·
View note
Text
Dive Into You
Genre: Fluff & smut
Words: 2.5K
Warnings: Pool sex, unprotected sex, teasing, fingering, nipple play, semi-public sex, talking about pregnancy.
Playlist: It's you by Zayn Malik
Alessia
Kesibukan pekerjaan agaknya menjadi momok yang nggak bisa gue ataupun Damian hindari hingga detik ini. Momen kita bersama hampir bisa dikatakan cukup singkat sebab kegiatan masing-masing yang amat padat. Gue bisa menghabiskan lebih dari dua puluh empat jam di rumah sakit lalu pulang hanya untuk singgah tidur, sedangkan Damian sibuk menjajahi berbagai sirkuit selama berbulan-bulan dan menetap selama beberapa hari lalu menghilang bak seperti rutinitas.
Hubungan ini tetap berjalan baik, bahkan jauh dari kata baik sebab gue sendiri merasa semua hal berjalan dengan semestinya. Awalnya gue khawatir hubungan ini nggak akan berjalan mulus seperti kebanyakan orang karena kita terlalu fokus dengan diri sendiri, tapi ternyata dugaan itu malah terjadi sebaliknya. Gue menemukan keseruan disana, kita menemukan keasikan menjalin hubungan ditengah kesibukan ini. Akan ada banyak stock cerita yang kita simpan untuk diceritakan pada masing-masing saat waktunya tiba, dan menurut gue itu adalah hal yang seru.
Hari ini Damian pulang. Seperti halnya seorang istri yang baik, gue akan membuatkan masakan kesukaannya, merapikan seisi rumah, lalu menyambutnya dengan hangat. Kalau boleh jujur, perasaan kangen yang menghantui gue selama dua minggu terakhir ini cukuplah menyiksa. Bahkan mendengarkan suaranya melalui telepon pun nggak mampu menghilangkan rasa kangen itu.
Senyum gue merekah ketika mendengar suara pintu yang terbuka. Kaki gue berjalan dengan penuh excited beserta senyum lebar saat sosoknya menatap gue bingung.
“Hai!” sapa gue dengan perasaan bersemangat disertai dada gue yang terasa begitu penuh saat wajah lelah dan seringai khasnya itu merontokkan rasa kangen ini.
Gue masih diam beberapa langkah di depannya sambil merentangkan kedua tangan dengan percaya diri. Dia terkekeh kecil sembari mengerutkan alisnya, mungkin merasa bingung sebab istrinya ini terlihat jauh lebih bersemangat daripada sebelum-sebelumnya.
“Are you okay?” tanyanya lalu mendekat untuk kemudian menarik tubuh ini masuk kedalam pelukan hangatnya.
Lega. Rasanya benar-benar lega seolah semua masalah gue bisa terselesaikan hanya dengan masuk ke dalam dekapannya. Jantung gue masih berdetak begitu cepat, sensasi excited yang timbul ketika melihatnya seperti tidak pernah hilang hingga detik ini. Bahkan pipi gue sering kali memerah tanpa sebab yang jelas ketika berada didekatnya. Gila, gue benar-benar udah gila karena cowok satu ini.
“Ini mah bukan kangen lagi namanya.” cibirnya kembali mengolok-olok gue karena masih terlalu gengsi untuk bilang kangen secara langsung.
Gue nggak tahu bagaimana mendeskripsikannya, tapi pelukan Damian adalah pelukan paling nyaman yang pernah gue rasakan. Lebaynya gue nggak akan bisa hidup tanpa pelukan ini untuk waktu yang lama. He's so comfortable, He has a warm chest, broad shoulders, soft touch and he smells good.
“Mau berdiri aja atau gimana?” tanyanya dengan nada lembut yang membuat gue semakin nggak ingin lepas dari pelukannya.
“Diam dulu, ini aku masih sharing energy sama badan kamu.” jawab gue asal yang kemudian mengundang gelak tawanya.
“Bisa gitu, ya?” Gue hanya mampu memberikan cengiran kecil lalu kemudian melepaskan tautan diantara kita.
Gue kembali mengikuti langkah kaki Damian menuju kamar untuk meletakkan beberapa barang-barangnya. Saat dia mulai sibuk mengeluarkan beberapa baju dari dalam kopernya, gue hanya berdiri tegap seperti anak kecil sambil menunggu sosoknya kembali mengalihkan atensinya pada gue.
Hari ini gue kenapa, ya? Iya, gue juga cukup bingung dengan sikap gue hari ini yang menjadi sangat manja dari sebelumnya. Gue cukup sadar akan rasa kangen ini, tapi gue nggak menyangka akanmenjadi bersikap clingy seperti ini.
“How's your day, sayang?” Pertanyaan sederhana itu hampir nggak pernah terlewat dia lontarkan setiap harinya. Hal simple yang menurut gue punya impact yang besar tanpa gue sadari.
“Aku hari ini cuma rapi-rapiin rumah, terus baca buku sebentar sama tadi tidur siang dua jam an. It was good, jarang-jarang juga aku bisa tidur siang.” jawab gue dengan mata yang masih sibuk menatap punggung lebarnya itu.
“Terus tadi sempat telepon sama Mama juga sebentar.”
“Oh, ya? How is she?” Damian kembali menutup kopernya lalu menyisihkannya ke sisi lain begitu barang-barangnya sudah kembali ke tempatnya masing-masing.
“Sehat kok, dua hari lalu udah aku cek gula darah, tensinya dan lain-lain, semuanya normal. Orangnya telepon nanyain mantunya udah pulang apa belum.” ujar gue yang membuat Damian langsung tertawa.
Damian berjalan untuk kemudian membuka pintu samping kamar yang membuat angin malam itu sukses menyapu kulit gue. Gue mengikuti langkah kakinya munuju luar kamar, lalu terdiam saat dia menepuk-nepuk pahanya, meminta gue untuk duduk diatas pangkuannya.
Damian
“Kamu mau berenang?”
Gue hampir terkekeh kecil begitu melihatnya mengalihkan pandangan ke arah kolam renang untuk mengabaikan instruksi gue. Gue nggak langsung menjawab pertanyaannya untuk mengamati gerak-gerik salah tingkahnya yang begitu lucu itu.
Masih sama. Ales nggak pernah benar-benar berubah sejak dulu, tingkahnya masih seperti anak kecil yang ajaib. Kadang membuat gue hilang kata-kata, atau sakit perut karena terlalu lama tertawa.
“Iya, habis ini sekalian mandi.” jawab gue lalu kemudian beranjak untuk duduk bergabung bersamanya di pinggiran kolam.
Ales adalah tipe orang yang cukup gengsi untuk mengungkapkan perasaannya, tapi dia selalu punya cara tersendiri supaya perasaannya itu bisa tersampaikan meskipun nggak melalui kata-kata secara langsung. Seperti hari ini contohnya, melihat dia excited ketika menyambut gue lalu memeluk gue dengan manja sudah cukup menggambarkan bagaimana perasaannya.
“Tapi airnya dingin, nanti kamu—” Tawa gue nggak tertahan begitu dia dengan reflek mengalihkan pandangan saat gue dengan jahil langsung membuka baju.
“Ihhhh, kan aku belum selesai ngomong!” serunya dengan wajah cemberut sambil sesekali melirik gue.
“Kenapa lihat ke arah lain? Masih malu lihat suami sendiri nggak pakai baju?” goda gue sambil mencolek dagunya.
“Nggak! Siapa juga yang malu?!” jawabnya sambil pura-pura berani menatap kearah gue. Pipinya tiba-tiba merona saat dengan iseng gue mengangkat alis kiri gue sembari tertawa.
“Apasih, nggak usah ketawa! Udah sana renang!”
“I'd love to.” jawab gue lalu dengan kecepatan kilat mencium bibirnya itu untuk kemudian masuk kedalam kolam.
***
Tentu saja Alessia tahu bahwa suaminya itu sangat-sangat jahil. Sifat yang dari dulu tidak pernah berubah dan sering kali membuatnya jengkel. Meskipun begitu, tak jarang sifat menyebalkan Damian yang satu itu sukses membuatnya tersipu malu, seperti saat ini contohnya.
Ia hanya mampu terdiam dengan tingkah laki-laki itu. Dalam hati ia ingin berteriak karena sudah dibuat salah tingkah seperti ini. Alessia berdehem singkat, kemudian memperhatikan Damian yang masih sibuk berenang kesana kemarin di kolam renang mereka. Ia sempat bergidik singkat karena air kolam yang terasa begitu dingin ini menyelimuti kakinya.
“Yan,” Alessia kembali bersuara saat laki-laki itu berenang menuju ketepian.
“Hmm?”
“Kayaknya aku telat datang bulan deh.” Gadis itu sempat ragu dengan asumsinya sendiri. Pasalnya memang benar jika sudah seminggu lebih tamunya itu belum datang. Awalnya ia berpikir jika semua itu disebabkan karena stress semata, tapi Alessia ingat jika kesibukannya akhir-akhir ini cukuplah normal.
“What does it mean?” tanya Damian dengan polos yang membuat Alessia pun tiba-tiba menjadi kikuk.
“Ya, telat. Biasanya kan siklus menstruasiku datangnya tepat waktu, tapi udah semingguan ini nggak dateng-dateng.” Damian berenang mendekat kearah Alessia dengan berbagai macam pertanyaan di kepalanya.
“Kamu hamil?” tanya laki-laki itu spontan yang membuat Alessia hampir tersedak air ludahnya sendiri.
“No! I mean, I don't know yet. But, what if I did?” ujarnya lemas yang membuat Damian malah tambah dibuat bingung.
“Come in.” ujar laki-laki itu yang langsung dibalas gelengan kuat oleh Alessia.
Mungkin Alessia pikir penolakannya barusan sudah cukup membuat Damian paham, tapi ia baru ingat jika Damian bukanlah Damian apabila keinginannya tidak terpenuhi.
Laki-laki itu menarik pinggang Alessia masuk kedalam kolam yang membuat istrinya itu memekik kaget.
“Yan!!”
“Kamu apaan sih! Dingin airnya!” seru Alessia dengan kedua tangan yang bertaut erat pada leher suaminya itu. Ia menatap Damian kesal lalu memukul dadanya yang malah mengundang senyum menyebalkan khas milik Damian.
Kini tubuh dan juga rambutnya basah kuyup, angin malam yang berhembus hari itu membuat air kolam yang sudah dingin bertambah dingin.
“Stay still.” ujar Damian sambil mengeratkan tautan tangannya pada pinggang istrinya itu.
"Nanti airnya nggak bakal dingin." ujar Damian yang membuat Alessia tidak bergerak. Tak lupa ia masih mengalungkan kedua tangannya pada leher Damian supaya dirinya tidak tenggelam karena tidak bisa berenang.
Alessia cukup dibuat kaget karena kata-kata Damian barusan benar adanya. Air yang membalut seluruh tubuhnya itu secara perlahan terasa lebih hangat menyesuaikan suhu tubuhnya.
“What if I'm pregnant?” tanya Alessia kembali.
Selama dua tahun menikah, obrolan tentang memiliki anak di antara mereka masih belum begitu sering. Bukan karena mereka tidak menginginkan hal itu, tapi dua tahun masih belum cukup bagi mereka untuk menghabiskan waktu hanya berdua. Damian dan Alessia masih ingin melanjutkan hubungan seperti halnya pacaran itu sedikit lebih lama.
“Then I'll be the luckiest husband in the world.” jawab Damian yang membuat Alessia pun langsung terdiam.
“Maaf ya?”
“Kenapa jadi minta maaf?” Damian mengusap pipi kanan istrinya itu saat tiba-tiba ekspresi murung menghiasi wajah cantik Alessia.
“Ya, aku nggak nyangka aja bakal secepat ini. Apalagi dari awal kita masih mau habisin waktu berdua dulu.”
Hati Damian pun sukses dibuat tersentuh. Laki-laki itu kembali tersenyum lalu memeluk Alessia kuat, mencium pipi dan juga bibirnya secara bergantian.
“But still, itu masih asumsiku aja. Aku nggak berani ngecek sendiri.” ujar Alessia.
“Nanti kita cek bareng-bareng.” tutur Damian yang dijawab berupa anggukan kecil oleh istrinya itu.
Untuk beberapa saat dua insan yang berpelukan erat itu hanya saling bertatapan. Berjalan perlahan menuju sisi lain kolam tanpa niat untuk melepaskan tautan di antara mereka.
"Aku nggak bohong soal I'm the luckiest husband in the world, because I am. Kalau kamu pikir aku nggak bahagia, kamu salah. I'm more than happy and grateful, Al. I swear to God." kata Damian yang entah mengapa membuat Alessia seperti ingin menangis.
"Me too, thank you, Yan." jawab Alessia dengan senyum lebarnya.
Tidak ada perasaan kecewa sedikitpun yang Damian rasakan. Mungkin berita yang disampaikan istrinya barusan masih belum tentu kebenarannya, tapi ia sangat bahagia. Dan mungkin ia akan menjadi orang paling bahagia di bumi ini jika istrinya itu benar-benar hamil.
“I think I wanna learn how to swim.” celetuk Alessia ketika tubuhnya jauh lebih relax setelah beberapa kali berjalan ke sisi-sisi kolam bersama Damian.
“I'll teach you.” jawab Damian sambil tersenyum tipis.
Damian brought the two of them closer to the edge, so she could hold onto the pool stairs. Alessia felt Damian's wet lips and tongue in her neck, causing her to moan his name.
“Wait—” Interupsi Alessia sambil menahan dada telanjang Damian supaya sedikit menjauh darinya.
“Yes?” Alessia menelan ludah susah payah saat tatapan Damian kembali menusuk ke arah matanya. Rasanya ia kini seperti seekor kelinci yang hendak diterkam singa yang lapar.
“Kalau misal ternyata aku nggak hamil gimana?” tanyanya kembali dengan khawatir.
Kemungkinan penyebab ia telat datang bulan tidak benar-benar condong pada satu hasil saja. Meskipun setengah bagian hatinya berharap ia hamil, tapi rasanya akan cukup sulit jika ia menerima hasil yang sebaliknya, apalagi pernikahan mereka sudah berjalan selama dua tahun dan mereka tidak benar-benar menggunakan pengaman saat berhubungan seks.
“I'll get you pregnant then.”
She whined softly, being sensitive to his touch. Alessia membekap mulutnya ketika suara tak senonoh itu lolos begitu saja dari bibirnya saat ciuman Damian di bagian lehernya menjadi brutal.
He's craving her all day long, and he deserves to get his meals. Damian mengarahkan tangan Alessia pada rambut laki-laki itu saat ia mulai bermain di sisi lain leher istrinya itu.
With the light of the moon, the stars and the burning torches it felt special. Alessia melingkarkan kakinya di pinggul Damian dengan erat ketika tangan laki-laki itu mulai menjarahi area lain tubuh Alessia.
He slipped his fingers between her legs, rubbing her clothed core, then slid her mini dress bottom to the side and slowly entered her pussy with his fingers.
“Ahhh…” Her fingers danced through his hair, drawing him in as a delicious wave of pleasure washed over her. Alessia found herself breathless, her body trembling with anticipation. Damian felt her growing intensity, his touch deepening as shivers ran down her spine.
Damian tersenyum menang saat melihat ekspresi wajah Alessia yang tidak karuan. Laki-laki itu menarik tengkuk istrinya untuk kemudian menyatukan bibir mereka. Damian mencium, menyesap bahkan menggigit bibir bawah Alessia tanpa ampun seolah tidak akan ada hari esok.
Alessia tried to stay quiet. Meskipun ia tahu tidak ada orang lain selain mereka berdua di rumah ini. Tapi tetap saja ia tidak ingin erangan menjijikkannya itu menggema di seluruh rumah mereka.
“Let me hear your voice, sayang.” His index finger trailing down in between her breasts, Alessia felt herself going insane. She couldn't help but let a moan slip from her lips.
“Damian…” Kepala Alessia terasa begitu penuh. She loves it, she loves every touch of Damian's hands all over her body. It's so overwhelmed that she couldn't think insanely.
“Nervous?”
She shook her head and met his eyes again, “No. Are we going to do this here?” tanya Alessia dengan nada polos yang membuat Damian tidak mampu menahan rasa gemasnya. Laki-laki itu mengangguk lalu kembali mencium bibir istrinya itu.
“Pool sex sounds so much interesting.” bisik Damian lalu menjilat telinga Alessia dengan sensual.
“Please…” ujar Alessia lirih yang membuat senyum miring Damian kembali terbit.
He was so goddamn cocky and she's begging did nothing to help that. Alessia couldn't help but think the smug look on his face would be there all night.
Damian pressed his wife firmly against the cool surface of the pool wall. A fleeting sensation brushed against her back, but lost in the intensity of the moment, it barely registered.
“Relax, sayang.” Damian kissed her cheek, her jawline, then stopped to nibble on the pulse point on her neck.
He undress himself and help her to unbutton her underwear. Tubuhnya yang setengah telanjang dan basah itu terlihat begitu sexy di mata Damian. His eyes went darker when Alessia grabbed his neck to kiss his lips.
She kissed him, then he kissed her back like he was about to eat her alive.
Alessia moaned as the both of you let out a guttural moan when he pushed himself deeper inside her hole. “Ahh, Damian…”
"Are you okay?" He rasped.
“I'm fine.”
She held onto Damian tightly, making him smile. He kept her close as they moved together. The water made things a little slow, but Damian enjoyed being close.
Alessia moans grew louder with every thrust, and she felt as if her bodies were colliding in the dance of pure desire under the moon's ethereal glow.
“Ahh, Damian I’m—”
Her big breasts bounced lightly, splashing the warm water on his chest. He took her right nipple in his mouth, giving it a harsh suck.
“Ahhh, no…”
Damian beralih pada sisi buah dada Alessia untuk dimainkan dengan lidahnya. He moved into her deep and hard, that makes her eyes rolling back out of pleasure.
“Dam— Ah…”
He nearly made Alessia scream with how hard he fucked her. The tears disguised by the pool water were enough to describe the pleasure that Alessia felt.
Damian looked down at her, his eyes filled with lust, watching her write underneath him. He shook his head, his pace increasing,
“Shit, I’m not gonna last much longer,” he grunted out another moan, cursing under his breath.
Damian kembali bergerak cepat mengikuti puncaknya yang hampir sampai. Gerakannya yang begitu lambat karena bertarung dengan air tak membuat laki-laki itu tertahan. He adjusted himself slightly, sending both of them over the edge as he buried himself deeper inside of her.
Only a minute later Alessia felt herself climax on his dick, sending herself into a heavenly headspace. Her body shook around him, her nails digging in his shoulders as she felt his cum over her womb.
Nafas mereka memburu, berebut untuk menyerap oksigen sebanyak-banyaknya setelah pertarungan penuh hasrat itu. Air kolam yang semula terasa dingin kini berganti menjadi panas sebab nafsu membara mereka.
Damian menggendong tubuh Alessia naik ke atas sebagai wujud usainya aktivitas panas mereka. Laki-laki itu menggendong sang istri ala bridal dengan kondisi tubuh mereka yang polos.
“Oh, God… What have we done…” ujar Alessia lirih sambil menyembunyikan wajahnya yang memerah di antara leher suaminya itu.
“Having the hottest intellectual conversation with the hottest wife on earth.”
“Oh, shut up…” jawab Alessia yang membuat tawa Damian pun seketika meledak memenuhi kamar mereka.
19 notes
·
View notes
Text
How can I?

Damian
Gue mempunyai mimpi. Gue mempunyai mimpi yang besar untuk menjalankan peran keluarga yang baik bagi rumah kecil gue ini. Janji yang gue ikrarkan didepan Tuhan dan semua orang tiga tahun yang lalu nggak hanya perkara sepele gue harus menjadi suami yang baik untuk Ales, tapi juga orang tua yang baik untuk anak-anak kita.
Obsesi gue untuk menjadi yang terbaik nggak pernah hilang sampai hari ini. Banyak hal baru yang gue pelajari untuk mewujudkan kata terbaik itu. Banyak tantangan baru untuk mewujudkan kata terbaik itu. Apa gue capek? Belum. Belum pernah ada kata capek yang terbesit dalam benak gue selama hampir tiga tahun hidup menjadi sepasang suami istri.
"If you don't love my daughter anymore, please don't hurt her, just bring her back to me."
How can I? How can I stop loving her? Setiap detik rasanya gue ingin terus bersujud didepan Papa mertua karena sudah percaya dengan kegigihan gue selama ini.
Loving her isn't enough, gue perlu memuja Ales dengan segala cara supaya dia nggak pernah berpikir cinta gue akan luntur semudah itu. In an endless garden full of flowers I will always pick her, I will always choose her because I don't know how to fall for someone else while she gave me everything.
"Is everything okay?" Gue langsung mematikan puntung rokok yang tinggal setengah itu begitu sosoknya berjalan mendekat dengan sedikit susah payah sebab perutnya yang semakin hari semakin membesar.
"Kamu kenapa disini?" Gue menghela nafas panjang ketika sadar dia harus berjalan jauh kemari. Saat posisinya berada didepan gue, tangan gue membawanya untuk duduk diatas pangkuan gue.
"Kenapa nggak tidur hmm?" Surainya yang sudah kembali memanjang itu tertiup angin malam dengan teratur. Tangan gue beberapa kali menyingkirkannya supaya wajah cantiknya itu terlihat sempurna.
"Nggak bisa tidur, I told you I can't sleep if you're not around." Tanpa sadar gue menyunggingkan senyum ketika mendengarnya. Sejak hamil, sifat Ales sering kali berubah nggak beraturan. Dia bisa amat sangat bahagia dengan hal-hal sederhana, tapi juga bisa menangis untuk hal yang sepele, dan kadang tanpa sadar dia juga marah untuk hal kecil.
"Aku pikir kamu tadi udah tidur makanya aku mau keluar sebentar." kata gue dengan perasaan bersalah karena meninggalkannya tidur sendirian.
We have two upcoming kids. Yeah, two... Gue bahkan nggak pernah berespektasi tubuhnya akan dihuni dua jiwa suci sekaligus. Gue bahagia, tapi gue juga merasa sedih karena harus melihatnya kelihatan lelah sebab kandungannya yang besar.
"Maaf ya hari ini aku marah-marah terus." Today isn't a good day for her. She wakes up not in a good mood dan beberapa kali marah karena hal-hal yang gue lakukan untuknya terasa nggak benar di matanya.
"Aku ngaku hari ini resek banget, nyuruh kamu ini itu tapi berakhir marah-marah, bikin kamu capek. Aku nggak tahu aku kenapa." Suaranya yang tiba-tiba mengecil itu pun seketika membuat gue tertegur.
"Loh kok nangis?" tangan gue dengan spontan menangkup wajahnya ketika satu persatu air matanya itu terjun bebas.
"Hey, it's okay... Aku nggak apa-apa, I don't mind about it at all. Aku tahu mood swings ibu hamil emang sering berubah." ujar gue lalu membawanya masuk kedalam pelukan gue. Bukannya semakin tenang, suara tangisnya yang pecah itupun sukses membuat dada gue terasa begitu ngilu.
She's been through a lot. Dealt with the reality and her emotions for this past eight months. It's not even her fault and never be her fault because I understand she tried her best.
"I– I didn't– mean to..."
"I know, sayang. You're all right, shttt udah nangisnya..." ucap gue sambil menyeka air matanya yang nggak terlihat akan berhenti.
Staying thankful, in my opinion, is the secret to still being in love. Don't look for anything better when you already have something and someone good. Karena kadang manusia sering kali merasa nggak puas atas apa yang mereka miliki. Terus mencari yang lebih baik dan tanpa sadar meninggalkan yang terbaik di hidup mereka. Recognize the value of what you already have. Discover that relationships where you don't give up on each other are the greatest.
Kita hidup di generasi dimana seseorang dengan mudah untuk move on dan menyerah saat keadaan menjadi sulit. Don't do that. Cherish what you have. Be that story that says - "We made it because we never gave up on each other or turned our backs on the love we found." We made it because we kept reminding ourselves how fortunate we were each and every day.
"Don't give up on me, Yan."
I gave up on her once and I regret it because I thought she'll never get hurt, but everything happens the other way around because we realize we are still too concerned with each other's egos. In fact, what we need at that time is to understand each other.
"Never, Al."
Semakin dewasa lo, lo akan semakin sadar bahwasanya menyerah bukanlah sebuah jalan akhirnya. Menyerah bukanlah sebuah keputusan terbaik ketika lo sudah berada sejauh ini. Nggak apa-apa kalau lo belum bisa, nggak apa-apa kalau lo gagal, dan nggak apa-apa kalau semuanya belum berjalan sesuai dengan keinginan lo. Karena semua ini adalah pertama kalinya untuk kita. Pertama kali menjadi dewasa, pertama kali belajar sesuatu yang baru, dan pertama kalinya menjalani kehidupan dunia nyata.
Gue selalu berusaha untuk nggak menyerah, entah menyerah pada Ales ataupun diri gue sendiri. Gue sadar bahwasanya nggak salah untuk terus mencoba, nggak salah untuk belajar sesuatu yang baru supaya menjadi pribadi yang lebih siap, pribadi yang paham bahwasanya kehidupan memanglah begini, berjalan sesuai alur dengan penuh teka-teki.
"I'll watch my attitude from now on, karena aku sadar kamu nggak pantas dibentak-bentak kayak tadi pagi." ujarnya yang membuat hati gue pun langsung terenyuh.
"Iyaa, udah dong jangan nangis lagi... Ikut sedih nih aku." kata gue sembari melayangkan ciuman di kedua pipi cubbynya.
"Aku ngerasa bersalah banget karena sering marah-marah ke kamu. Padahal kamu udah prepare belajar banyak hal sendirian. Aku lihat kamu nonton YouTube buat belajar gimana caranya pasang pokok bayi, gimana caranya mandiin bayi, tapi aku kayak orang nggak bersyukur dan malah marah-marah nggak jelas." Gue sempat tertegur untuk beberapa saat karena kata-katanya barusan.
"Kamu tahu dari mana kalau aku belajar pasang popok bayi sama mandiin bayi dari YouTube?" Karena jujur saja gue nggak pernah benar-benar memberitahu siapapun tentang hal itu ke orang lain apalagi Ales.
Dia tiba-tiba diam saat tatapan kita kembali bertemu. "Ya, aku nggak sengaja lihat aja pas pinjam hp kamu." jawabnya yang membuat gue langsung malu setengah mati.
"Oh, that's embarrassing..."
"Malu-maluin gimana? You're such a gentleman. Aku yang ngerasa malu karena harusnya aku yang ngajarin aku."
"No, aku tahu kamu capek. It's not your fault, don't blame yourself."
Semua hal yang berkaitan dengan "cara menjadi orang tua yang baik" akan gue lakukan tanpa banyak bertanya. Termasuk bagaimana caranya menjadi Ayah yang bisa diandalkan, bukan untuk memberatkan peran Ibu ketika mengurus anak.
"I will teach them how to respect their Mom more than I did because you've did your best to bring them in this world. They have to, they have to treat you better." kata gue sembari mengusap perutnya dengan penuh sayang.
"Aww... Oh God,"
"Kenapa?? Kamu kenapa?!!" seru gue ketika dia meringis kesakitan.
"He kicked me." jawabnya yang membuat jantung gue hampir mencuat.
"Is that hurt?" tanya gue sedikit panik yang dijawab dengan gelengan kecil oleh Ales beserta senyum tipisnya.
Tangan gue berjalan kearah perutnya untuk kemudian kembali mengusapnya dengan teratur. Gue mendekatkan wajah gue tepat didepan perutnya, "Hey buddy, that's rude... Be nice to Mommy." celetuk gue yang membuatnya langsung tertawa.
"Beneran nggak apa-apa?" tanya gue kembali untuk memastikan.
"Nggak apa-apa, Yan. Ayo masuk, aku ngantuk." jawabnya sambil berusaha berdiri dari atas pangkuan gue. Gue turut beranjak lalu kemudian menarik tangannya itu untuk gue gandeng masuk kedalam rumah.
"We really need to talk, Buddy." gumam gue kembali yang mengundang gelak tawa Ales untuk kesekian kalinya.
5 notes
·
View notes
Text
It's Our First Time

Damian
Waktu menginjak kepala dua, gue ngerasa kalau kehidupan itu makin hari seolah nggak ada ujungnya. Kita nggak tahu kapan kita mati, karena itulah rasanya kita selalu dituntut untuk terus bekerja keras sampai nggak tahu kapan. Untuk apa? Ya, untuk hidup tadi.
Balapan dan segala dunianya adalah hal pertama yang menggambarkan kehidupan gue. Hidup gue seolah cuma untuk berotasi untuk hal ini aja. Dan kadang gue nggak bisa bohong kalau sesuka apapun gue terhadap sesuatu, rasa bosan pasti seenggaknya singgah beberapa kali. Ya, nggak apa-apa, namanya juga kehidupan. Kita ngelakuin hal yang sama hampir setiap hari seolah hal itu udah bukan lagi masuk kategori rutinitas, tapi udah bagian dari hidup kita.
Sepuluh tahun lebih berkarir bukan berarti gue nggak ngerasain yang namanya capek. I got lots of scars all over my body, gue hampir kehilangan nyawa beberapa kali, yet I still can't get over this thing. Karena apa, ya? Gue juga nggak tahu.
Lalu menginjak kepala tiga, masih belum ada yang berubah. Kegiatan menjamah sirkuit terkenamaan masih gue lakoni sampai detik ini. Tapi ada yang sedikit berubah dengan kehidupan gue. Kalau biasanya cuma Alex, team engine dan teman-teman gue yang menemani, kini sosok lain turut hadir di barisan garage menunggu berita kemenangan gue.
Ternyata benar kata Alex, review kehidupan pernikahan orang lain itu nggak bisa dijadikan patokan sebelum kita benar-benar mengalami pernikahan itu sendiri. Banyak yang beda, bukan cuma dari aspek nyata kalau gue udah nggak sendiri lagi, tapi lebih ke arah aspek krusial yang jauh lebih penting, kayak emosional contohnya.
It's our first time. Pertama kalinya menjadi sepasang suami istri dan menjalani kehidupan pernikahan yang sering kali kita lihat di lingkungan sekitar.
"How does it feel, Yan?" Hari ini adalah perayaan ulang tahun anak pertama Mas Theo yang menginjak umur dua tahun. Posisinya gue sedang berada di halaman depan dengan Mbak Nadine yang lagi gendong Saint.
"What?"
"Jadi orang tua." Umur pernikahan gue dan juga Mas Theo cuma berjarak dua tahun. Yang lucu adalah kita sama-sama punya anak ditahun yang sama, jadi bisa dibilang anak kita seumuran. Paling yang beda anak mereka cuma satu sedangkan gue langsung dua.
It's fun. Kehidupan ini berjalan menyenangkan semenjak orang-orang baru mulai datang satu persatu. I feel like this family's getting bigger and that's wonderful.
"It's hard," gue tertawa kecil sembari menatap Saint yang tertidur pulas diatas pangkuan Mbak Nadine dengan wajah polosnya. He's like Ales when he's asleep.
"But wonderful at the same time. It feels hard when I see my wife carrying them because they can't stop crying. She has to stay up all night because they catch a fever and have the same activity all day long non-stop."
"Kayak apa ya, Mbak… Our responsibility doesn't stop until Ales's give birth to them after nine months and I am responsible for their needs, tapi masih terus berlanjut sampai mereka benar-benar jadi orang. Sampai Saint sama Noah bisa ngurus diri mereka sendiri."
"And sometimes I also feel afraid of failing as a parent to them."
Jadi orang tua adalah salah satu hal yang paling gue takutin sejak dulu. Bukan karena gue nggak mampu dalam segi finansial untuk menuhin kebutuhan anak gue, tapi gue takut jadi orang tua yang gagal buat mereka. Gagal menjadi contoh nyata ketika mereka tumbuh nantinya.
"Parents are not perfect nor are they saints, Yan. Kita juga bisa bikin salah, karena ini pertama kalinya kita jadi orang tua."
It's our first time to be parents…
"Kita mungkin dididik untuk jadi anak yang baik, tapi kita nggak dididik untuk jadi orang tua yang baik. Yang perlu kita lakuin adalah berusaha yang terbaik, nggak perlu perfect, yang penting terbaik."
Hampir dua tahun jadi orang tua rasanya nggak mudah. Kalau biasanya gue sama Ales masih sering pentingin ego masing-masing, sekarang udah nggak bisa lagi. Semua rasa egois itu seolah runtuh begitu mereka berdua hadir di hidup kita.
"Dan kamu juga harus paham kalau non of you two are perfect."
Banyak wejangan datang ke gue semenjak kehidupan pernikahan datang. Banyak yang berguna, tapi juga banyak yang kadang nggak begitu realistic buat diwujudin. Kalau jodoh mendatangkan banyak kebaikan termasuk datangnya orang-orang baik ke hidup gue setelah Ales datang, maka Saint dan Noah mendatangkan jauh lebih banyak kebaikan yang nggak bisa gue deskripsikan satu persatu.
"Kok kayak serius banget lagi ngobrol apa?" Mbak Nadine langsung menyambut kedatangan Ales dengan senyuman begitupun dengan gue.
"Biasa lah, suamimu lagi curhat." jawab Mbak Nadine yang cuma gue respon dengan tawa kecil.
"Tumben banget kamu curhat." ujar Ales sembari menyenggol lengan gue. Tangan gue reflek menariknya sedikit mundur karena posisinya yang terlalu dekat dengan api panggangan.
"Lagi pengen aja." jawab gue sambil lanjutin manggang kloter daging terakhir.
"Noah mana?" tanya gue karena dia cuma datang sendirian.
"Lagi main sama Vivian sama Alex di dalam." jawab Ales sambil ngambil alih Saint dari pangkuan Mbak Nadine buat digendong karena anaknya tiba-tiba kebangun.
Itungannya sekarang di keluarga ini yang masih bertahan ngejomblo cuma Alex. Semenjak dia sama Regina putus, gue lumayan sungkan buat nanyain kapan dia mau nyusul nikah kayak biasanya. Ditambah lagi dia juga kayaknya malah lebih enjoy jalanin hidup akhir-akhir ini setelah putus.
"Mbak ke dalam dulu ya, mau lihat yang lain. Kalian kalau udah selesai langsung nyusul, udah mulai dingin." kata Mbak Nadine sambil beranjak dari duduk.
"Ini Mbak bawa ke dalam sekalian, ya?"
"Iya, bawa aja. Nanti sisanya aku bawa." jawab Ales sebelum akhirnya Mbak Nadine pergi masuk sambil bawa dua piring daging panggang yang udah matang.
Tangan gue masih sibuk bolak-balikin daging terakhir sambil sesekali ngeliatin Ales yang masih sibuk bikin Saint balik tidur lagi. Bibirnya tersenyum tipis waktu Saint tiba-tiba senyum sambil matanya merem.
"Dia mirip kamu kalau tidur." kata gue yang bikin dia langsung mendongak.
"Masa?" ujarnya nggak percaya yang gue jawab dengan anggukan.
"Iya, you guys look precious. Tenang, peaceful, and beautiful." jawab gue yang bikin tawa kecilnya itu kembali terbit.
She's pretty. Dia selalu kelihatan cantik di kondisi apapun, termasuk waktu dia lagi capek ngurusin anak-anak. She's never complained, kalau capek dia cuma akan datang pada gue untuk minta dipeluk selama beberapa saat.
"Dasar gombal!" responnya yang kemudian mengundang gelak tawa gue.
"Oh iya, kamu tadi emangnya curhat apa sama Mbak Nadine?"
Sebelum datang kesini, gue tahu kalau dia belum punya waktu istirahat karena sibuk jagain anak-anak dan bikin surprise kecil buat Vivian. Begitu Grand Prix India selesai, gue milih buat pulang duluan karena gue tahu dia pasti kerepotan dan baru sampai pukul empat sore tadi di Bali. Semuanya udah siap begitu gue sampai rumah, termasuk juga kue ulang tahun buatannya sendiri untuk Vivian dan juga anak-anak yang udah rapi dan juga wangi. Yang gue lakuin begitu sampai adalah langsung menghampirinya dan memeluknya seerat mungkin karena dia udah banyak kerja keras selama ini.
"I told her that I have an extraordinary wife. She is a good wife and mother to my children and I am lucky to be her husband." ujar gue sambil berjalan mendekat ke arahnya.
"Am I?" tanyanya dengan senyum yang nggak bisa lagi buat ditahan.
"Yes, Ma'am. Yes, you are." Tubuh gue condong ke bawah menyesuaikan posisi Ales yang sedang duduk tenang dengan Saint yang udah kembali tidur pulas. Gue lalu mencium bibirnya itu singkat, lalu kemudian menciumnya lagi beberapa kali.
"I love being my husband's wife." katanya yang membuat senyum gue pun kembali merekah dan kembali menciumi bibirnya lagi.
Ciuman itu berlangsung cukup intense selama beberapa saat sebelum suara melengking dari arah belakang bikin aktivitas itu terganggu.
"Daging lo gosong noh!" Teriak seseorang yang bikin Ales langsung dorong badan gue buat ngejauh. Alex si pelaku utama cuma ngasih tampang nggak berdosa terus balik lagi masuk kedalam yang bikin kita berdua langsung ketawa.
"Kamu sih!" seru Ales sambil nahan malu yang bikin gue nggak bisa berhenti ketawa. Sialannya daging terakhir beneran gosong gara-gara gue tinggal ciuman.
7 notes
·
View notes
Text
Fate is cruel to everyone

Alessia
I always wondered if I could get through this after what happened.
He's disappeared. He's disappeared and thought he would make me live again with all this.
What should I do? Those were probably the first words that popped into my head after he was gone. Rasanya seolah gue nggak mampu lagi untuk memikirkan kata-kata lain untuk mewakili isi hati gue selain bertanya-tanya untuk apa hidup gue setelah ini. Untuk apa gue menjalani hidup ini lagi ketika gue kembali dibawa tenggelam pada hal yang sama untuk kesekian kalinya.
He's probably somewhere, far away from here. And that's how it all happened. That's what made me realize how cruel fate is.
Something beautiful in my life always disappears. Dan gue akan selalu di sana, kembali terdiam seolah hal itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Tapi kadang terasa begitu menyakitkan ketika semua hal itu selalu pergi dari hidup gue.
"Lo beneran nggak apa-apa sendirian? Maksudnya kalau lo mau ikut gue malah lebih bagus. You don't have to be alone here." Gue tersenyum ke arah Rere sambil dorong badan dia buat keluar dari villa karena ada sesuatu yang perlu dia urus.
"Gue nggak apa-apa, beneran. Lo pergi aja…" kata gue berusaha yakinin dia kalau gue nggak bakalan kenapa-kenapa di tempat ini sendirian untuk beberapa jam kedepan.
Bali selalu memberi gue kenyamanan tersendiri terlepas banyaknya hal yang pernah terjadi. Termasuk hal-hal yang berkaitan dengan dia. It's been one hundred days after he's disappear. Rasanya tetap sama, kosong. Sampai kadang-kadang rasa kosong itu terasa begitu menyakitkan pada beberapa kesempatan. I'm living my life now, without him. Without his hand that has always made me feel less afraid to face the world.
"Beneran, ya? Kalau ada apa-apa langsung telepon gue." ujar Rere yang kemudian gue balas dengan anggukan dan juga senyum tipis.
I'm living my life now. Still working, catching up with friends, eating sate taichan, and occasionally coming for a visit to a place he goes to every month.
"Kalau bosan lo jalan-jalan ke pantai aja, I'll back soon! Make sure buat nggak pergi jauh-jauh, okay?!"
"Iyaa!"
Gue menghela nafas panjang. Berjalan menuruni tangga, mengikuti langkah kaki ini yang entah akan membawa gue pergi kemana. It feels like I'm lost. Gue selalu membiarkan kaki ini berjalan dengan sendirinya dengan tujuan yang nggak pasti. Tapi semuanya akan selalu sama, kaki ini selalu membawa gue ke tempat yang berakhir mengingatkan gue kembali kepada sosoknya.
Gue tertawa, tawa penuh rasa nggak percaya sebab rasa putus asa. Bahkan kaki ini pun nggak membiarkan gue untuk pergi sejauh-jauhnya sama seperti dia.
"I always wondered if you could hear my voice…" Pathetic. Mungkin kata itulah yang bisa mewakili hidup gue saat ini.
"Haahh… Gue nggak pernah berpikir rasanya akan jauh lebih sakit dari sebelumnya." Mata gue menatap lurus jauh ke hamparan lautan di depan gue saat ini. Berusaha menikmati sapuan angin sore yang menjadi menyakitkan semenjak kepergiannya.
"There's no happy ending in my life, Yan. And I knew that ever since we met again at the airport that day."
Di momen itu, untuk pertama kalinya gue kembali ngerasain yang namanya bahagia. Dia mungkin orang pertama yang menarik gue ke permukaan, tapi dia juga yang pada akhirnya membiarkan gue kembali tenggelam pada jurang yang sama.
How cruel is fate that let us meet again when one of us ended up disappear.
"I wish we could go back in time before it all went wrong, so I don't have to feel this kind of pain anymore." Dia pergi. Dia pergi dari hidup semua orang. Semua orang yang cinta sama dia.
"Dissipating from the world didn't scare me, Yan. But not be able to see you anymore scared me."
"Because if you're not in my life, my life would be worthless to me."
8 notes
·
View notes
Text
Alex Marini

Menghabiskan waktu enam puluh sampai sembilan puluh jam dalam sepekan sebagai residen pediatri, kadang kala membuat seorang Regina Alyskia Bahrain kelelahan. Sebagai calon dokter spesialis anak, Regina nampaknya harus sering berlatih untuk tetap mengedepankan profesionalitas ditengah rasa kantuk yang sering kali datang sebab kurangnya waktu istirahat.
Weekend, hari yang seharusnya menjadi waktunya beristirahat kali ini nampaknya tidak sesuai dengan perkiraan, sebab ia baru ingat jika orang tuanya memiliki agenda yang harus dihadiri olehnya.
"Shit..." Sambil menggosok-gosok matanya yang setengah terbuka, Regina pun bangkit dari kasurnya. Ia menghela nafas panjang ketika suara sang Ibunda yang menggelegar terdengar dari luar kamarnya.
"Iya, Mi! Udah bangun!" Seru Regina yang tak lama setelah itu suara yang mengganggu tidurnya berangsur menghilang bersamaan dengan suara tapak kaki yang juga ikut menjauh.
Rutinitas pagi Regina sangatlah sempurna. Teriakan sang Ibunda yang tak pernah absen setiap pagi sudahlah cukup membuatnya kenyang tanpa harus sarapan. Mungkin saja jika ia memutuskan untuk tetap tinggal di apartemen, paginya akan terasa damai. Dan justru hal itulah yang malah membuatnya merasa tidak betah tinggal sendirian, sebab suara teriakan sang Ibunda jauh lebih membuatnya merasa seperti di rumah.
Regina beranjak dari kasur miliknya untuk kemudian merapikan bantal dan juga selimut miliknya yang kusut sambil melamun memikirkan agenda hari ini.
Ia tahu mereka akan pergi untuk bermain golf, hanya saja perkataan sang Ayahanda tentang seseorang yang ingin sekali bertemu dengannya membuat gadis itu sedikit khawatir. Ia khawatir jika asumsinya sejak kemarin menjadi kenyataan. Meskipun sebetulnya kedua orang tuanya tidaklah menyinggung apapun terkait perjodohan. Namun tetap saja ia tidak bisa menghilangkan rasa was-was itu saat kedua orang tuanya terlihat mencurigakan ketika ditanyai siapa yang ingin bertemu dengannya.
Regina
Selalu ada banyak hal yang bikin hari Sabtu gue terganggu. Entah itu karena Mami yang tiba-tiba minta diantar ke pasar traditional pagi-pagi buta, Refal yang kadang nyuruh gue ini itu, atau kalau nggak Papi minta ditemani pergi ketemu temannya.
Gue nggak pernah ngerti olahraga golf, pun ini juga pertama kalinya gue datang langsung buat lihat gimana bentukan lapangan golf. Ternyata sama aja, ya? Iya, sama aja kayak lapangan-lapangan pada umumnya — hijau. Gue pikir bakalan beda karena katanya olahraga ini punya budget yang lumayan fantastis. Mungkin kalau dilihat baik-baik, yang bikin beda dari lapangan pada umumnya adalah lapangan golf cenderung nggak landai. Ada bagian sisi lapangan yang kelihatan bergelombang dibandingkan dengan lapangan bola yang semua orang tahu dari berbagai sisi kelihatan rata.
"Kamu tahu ndak kenapa olahraga golf itu mahal?" Gue menoleh kearah Papi begitu selesai meneliti apa Istimewanya tongkat golf yang ada di tangan gue sekarang.
"Tongkatnya mahal?" ujar gue dengan asal yang bikin Papi terkikik kecil. Kayaknya orang juga bakalan berpikir sama kayak gue waktu ngeliat baja mengkilap satu ini deh?
"Bukan tongkat aja yang mahal, tapi semua peralatan yang dipakai juga sama mahalnya. Ada juga lapangan." Gue lumayan agak ternganga ketika lapangan masuk dalam list yang bikin golf jadi malah. Ini lapangan loh? Cuma hamparan tanah kosong sama rumput?
"Jangan salah kamu. Sewa lapangan golf itu juga mahal, pemeliharaan sama air untuk bikin lapangannya tetap bagus juga butuh uang yang banyak."
Nggak salah. Iya, nggak salah. Perspektif orang soal golf itu olahraga mahal emang nggak salah kalau lapangan aja jadi alasan kenapa olahraga satu ini punya orang-orang berduit.
"Ngomong-ngomong ini teman Papi kok nggak datang-datang, ya?" celetuk gue karena udah hampir dua puluh menit kita berdua nunggu.
Mami hari ini nggak jadi ikut karena Refal nggak jadi pergi dan malah pacarnya yang mau datang ke rumah. Mungkin pikir Mami nggak bakal enak kalau tuan rumah semuanya pergi dan biarin tamu yang jauh-jauh datang dari Surabaya nggak disambut langsung.
"Sabar, pasti udah dijalan."
Yang nyebelin disini adalah Refal selalu lepas tanggung jawab kalau udah berkaitan sama orang-orang yang ada di bisnis Papi. Kalau ditanya kenapa alasannya, dia bilang jokes mereka nggak masuk di telinganya. Ya... Nggak salah juga, namanya bapak-bapak? Maksud gue adalah, Isn't is good opportunity for him, buat belajar hal baru? Kalau gue yang pergi kan makin nggak ngerti, karena ranah gue bukan di bisnis?
"Emang Papi kenal sama orangnya dimana?" tanya gue penasaran, karena kayaknya sejak kemarin kelihatan excited banget dibandingkan ketemu teman-temannya yang lain.
"Di Bali. Papi dikenalin sama Pandu waktu itu. Terus Papi ngobrol-ngobrol banyak sama beliau soal properti." Skill bapak-bapak tuh gitu, ya? Paling gampang nyari teman, asalkan nyambung aja.
"Mas Haris, gimana kabarnya..." Gue dan Papi spontan menoleh kearah sumber suara.
Deg.
Gue terdiam seribu bahasa ketika sadar siapa orang yang ada didepan gue saat ini. Oke, katakanlah gue bodoh atau lupa, did my father mentioned his name before or I'm just being deaf at the moment?
Sial, jadi yang dimaksud Papi itu Regis Marini...
"Mas Regis... Gimana tadi perjalanannya?"
"Puji Tuhan bisa keluar dari macet." Otak gue tiba-tiba ngeblank begitu pandangan gue dengan beliau bertemu.
"Ini anakku, namanya Regina." Dengan senyum kikuk gue menjabat tangan beliau. Agaknya beliau juga sadar kalau gue sedikit tremor.
"Dia jadi residen di rumah sakitmu." Ujar Papi yang bikin Om Regis kelihatan makin penasaran.
"Departemen apa kalau saya boleh tahu?"
"Saya di bagian Pediatric, Pak." Jawab gue yang membuat Pak Regis langsung mengangguk-angguk kecil.
Dalam hati gue cuma bisa senyum karena gue yakin beliau nggak kenal gue. "Mungkin Pak Regis belum lihat saya karena tidak lama setelah itu Pak Theodore yang jadi direktur." Gue ingat pernah bertatap muka dengan Pak Regis itu cuma tiga kali, itupun bukan cuma gue sama beliau, tapi seluruh residen yang ada di rumah sakit. Jadi kemungkinan buat beliau tahu Regina yang mana udah kelihatan susahnya kayak gimana.
"Benar juga. Gimana rasanya punya atasan seperti Theodore?" Jebakan. Benar-benar salah gue ikut Papi kesini hari ini...
"Sejauh ini menurut saya Pak Theodore sangat bertanggung jawab. Beliau juga bukan tipe orang sungkan dengan bawahannya." Jawab gue nyari aman karena gue tahu kalau gue ngomong banyak karir gue udah pasti berakhir.
"Santai saja dengan saya. Theodore hari ini tidak ikut saya karena ada urusan lain, jadi kamu tetap aman hahaha." Mau nggak mau gue ikutan ketawa kaku dengan perasaan bingung. Bingung kalau tiba-tiba gue cuma di prank terus Pak Theodore beneran datang.
"Datang sendirian Mas berarti?" tanya Papi ingin memastikan.
"Nanti anakku Alex nyusul. Kamu kenal Alex, kan?" Senyum gue seketika memudar saat itu juga, berbarengan dengan sosok tinggi berpakaian serba hitam tak lupa leather jacket miliknya yang tertangkap oleh indra penglihatan gue berjalan mendekat.
Astaga, kenapa gue nggak kepikiran kalau dia juga kemungkinan ada disini...
"Ini dia anaknya..." Alex sempat beradu tatapan dengan gue untuk sesaat lalu kemudian menyunggingkan senyum ke arah Papi.
"Alex, ini Om Haris. Ini orang yang Papa ceritain kenal di acara Pandu." Mereka berjabat tangan dan saling menyapa satu sama lain.
"Terus ini ada Regina, dia juga residen di rumah sakit kita kayak kamu." Gue sempat diam lumayan lama waktu Alex menyodorkan tangannya didepan gue untuk mengajak jabatan tangan.
"Alex." Katanya yang gue balas dengan senyum kaku, "Regina."
Alex Marini...
Nggak banyak yang bisa gue ungkapkan soal cowok satu ini. Berawal dari hilangnya kunci apartemen gue waktu itu, gue akhirnya tahu kita bertetangga. Pun setelah itu kita nggak benar-benar mengenal satu sama lain karena nggak ada hal yang mendasari, gue tetap senang dia bukan tipe orang yang dingin.
Setahun menjadi tetangga seorang Alex Marini nggak membuat gue akhirnya bisa berteman baik dengan dia. Kita cuma akan bertegur sapa singkat ketika bertemu, lalu kembali dengan urusan masing-masing.
"Lo suka golf?" Gue sedikit terperanjat ketika suara miliknya itu berada di sekitar gue.
"Menurut lo?" tanya gue balik yang bikin dia terkikik geli setelah melihat gimana cara gue memegang baja mahal satu ini.
Senyumnya...
Alex punya sesuatu didalam senyumnya itu. Tapi gue nggak tahu itu apa.
"Lo tahu bokap kita temenan?" tanya gue sambil memperhatikan dua orang insan di ujung yang sedang asik bercanda tawa, sebelum akhirnya menoleh menatap Alex yang sedang mengambil ancang-ancang bak seorang pro dengan mata yang fokus pada bola putih sebagai sasaran pukulannya.
"Mungkin?" ujarnya sebelum akhirnya mengayunkan tongkat miliknya itu yang mengenai tepat sasaran.
Begitu memutuskan untuk nggak lagi tinggal di apartemen dan kembali tinggal ke rumah, interaksi antara gue dan juga Alex pun juga ikut berhenti. Gue ingat kita kembali bertegur sapa setelah Damian dan Alessia pacaran. Pun memang ketika ada kesempatan.
"Kenapa pindah?"
"Pardon?" Dia kembali tertawa kecil yang bikin gue pun seketika terdiam.
"Lo kenapa pindah apartemen?" Ini nggak salah kan? Dia nanya kayak gini setelah setahun berlalu?
"Pengen balik ke rumah aja. Suka kangen masakan Mami." jawab gue klise yang dia respon dengan anggukan kecil.
One of the worse thing about homesick itu ya ini. Sekalipun gue bisa aja bolak-balik ke rumah, tapi feelsnya beda banget waktu gue mampir cuma buat minta makan, dibandingkan pulang yang benar-benar pulang terus langsung disuguhi masakan Mami.
"Kenapa?" tanya gue bingung. "Kenapa apa?" respon dia balik.
"Kenapa baru nanya sekarang?" Karena harusnya dia nanya hal ini begitu tahu gue nggak lagi tinggal di lingkungan apartemen yang sama kayak dia lagi.
"What's stopping you?"
What's stopping him to ask me those questions at the first place?
"You."
8 notes
·
View notes
Text
Defending

Saint terdiam ketika pandangannya dengan sang adik Noah bertemu. Mereka berdua tidak langsung menuruni tangga karena sibuk terdiam seperti orang bodoh sambil memandangi wajah satu sama lain. Saint dengan wajahnya yang berhiaskan luka lebam itu membuat Noah sedikit bergidik ngeri, bahkan ia bisa merasakan betapa perihnya luka-luka pukulan itu secara tidak langsung.
"Are you okay?" Tanya Noah sedikit kikuk. Ia tiba-tiba merasa bersalah karena bagaimanapun juga semua ini gara-gara ulahnya. Andai saja ia tidak berurusan dengan Joel mungkin saja Saint tidak akan menjadi seperti ini. Dan andai saja ia punya cukup keberanian untuk menghajar balik cowok berandal itu.
"Menurut lo aja." Jawab Saint sedikit ketus lalu kemudian turun lebih dahulu membiarkan Noah yang masih terdiam.
Nyali Saint tiba-tiba menjadi ciut begitu sosok Alessia menyambutnya dengan posisi berkacak pinggang, seolah bersiap akan melayangkan pukulan lain kepadanya. Dengan perasaan campur aduk sekaligus merasa bersalah Saint berjalan mendekat menghampiri Mama tercintanya itu.
Ia hanya bisa menggaruk lehernya yang tidak gatal begitu Alessia memberikan isyarat secara tidak langsung kepada mereka berdua untuk duduk. Saint dan Noah pun seketika saling pandang dan mau tak mau menuruti isyarat Alessia tanpa melayangkan protes.
Ada jeda yang cukup panjang karena Alessia masih sibuk mengamati dua anak laki-lakinya yang sudah mulai beranjak dewasa ini. Tentu saja semuanya terasa sulit, mengurus dua anak laki-laki yang punya dua kepribadian yang berbeda kadang kala membuatnya menjadi stress.
"It was my fault." Ujar Noah tiba-tiba yang kemudian sukses mendapatkan hadiah pukulan keras dari sang Kakak.
"No, It's not. Bukan salah Kakak atau Adik." Bela Saint tidak mau kalah.
"Terus salah siapa?" tanya Alessia dengan suara lembutnya.
"It was misunderstanding between me and Joel. Long story short, aku ada buat janji sama perempuan minggu lalu yang ternyata perempuan ini dekat sama Joel, aku baru tahu fakta itu dua hari setelahnya. And then he found out dan jadi salah paham. Dia ngira aku rebut perempuannya itu." jelas Noah panjang lebar
"Terus kenapa jadi Kakak yang kena imbasnya?" tanya Alessia bingung.
"Actually I did it first. I mean, dia duluan yang jelek-jelekin Noah didepan aku, then I punch him in the face. Sebelumnya udah hampir berantem cuma sama teman-temanku dipisah, tapi hari ini dia uday keterlaluan. That's how I end up like this."
Alessia terdiam, bukan marah. Lebih seperti perasaan terenyuh karena dua anaknya ini. Bukan berarti ia menormalisasi sebuah kekerasan yang terjadi, ia hanya tidak menyangka jika kedua anaknya ini memiliki kepedulian yang besar satu sama lain.
"Ayah bakal pulang setengah jam lagi." Jawab Alessia yang sukses membuat Saint dan Noah memucat.
"It's okay, Ayah nggak akan marah kalau kalian ngomong jujur." sambung Alessia.
"How about you, Mom? Are you mad?" tanya Noah dengan polosnya yang kemudian dijawab berupa gelengan kepala oleh Alessia.
"No, I'm not. Kakak sini duduk deketan, Mama obatin lukanya." Saint pun berpindah posisi menjadi lebih dekat dengan Alessia. Dengan telaten Alessia membersikan luka anaknya itu penuh hati-hati.
"I'm sorry for making you worried." Ujar Saint lirih begitu Alessia selesai mengobati lukanya.
7 notes
·
View notes
Text
Quality time

DISCLAIMER! Read at your own risk, Name and character are fictional, Minor know your place.
Cw // explicit mature content, praise kink, male soft dom, female riding, unprotected sex.
Playlist: Sweet by Cigarettes After Sex
Damian
Makin kesini gue makin sadar kalau sebenarnya waktu itu segalanya. Bahkan kalau dibandingin sama uang, nilai waktu lebih mahal sekalipun uangnya bernilai miliaran rupiah. Yang gue maksud adalah, kita nggak akan pernah bisa memutar waktu kalaupun kita ingin. Karena itu waktu detik ini lebih berharga daripada apapun.
Bisa dibilang gue adalah orang yang sering kali menyesal karena sering buang-buang waktu. Karena apa, ya? Semuanya pun bakalan percuma pada akhirnya. I lost everything because wasting my time. Family, opportunity, and more. Karena itu gue mulai belajar menghargai waktu gue bersama orang-orang yang gue sayang, karena gue takut waktu bakal mengikis kesempatan itu lagi.
Setelah setahun lebih pindah ke Bali, gue jadi agak nggak betah lama-lama di Jakarta. Bukan karena orang-orangnya, tapi hiruk-pikuknya yang sering kali bikin gue berakhir migrain. Well, Jakarta emang ditakdirin jadi kota yang sibuk, nggak heran gue sering kali dapat kenalan orang-orang ibu kota di Bali waktu surfing. Balik lagi, kesibukan itu pasti ada kaitannya sama waktu. Mereka, orang-orang sibuk yang gue maksud adalah contoh orang yang menghargai waktu. Mereka menghargai waktu mereka dengan nggak cuma berdiam diri di rumah nunggu duit mereka habis. They waste their time for making money, dan mungkin itu hal positif daripada habisin waktu.
"Udah akhir musim Champions gini makin sibuk banget kan, ya?" tanyanya begitu gue hendak menutup pintu kamar setelah dari dapur.
Today is special day. Sebenarnya bukan cuma hari ini, tapi hari itu bakalan spesial bagi gue waktu kita bisa habisin waktu bareng. Gue nggak bingung harus respon apa waktu Alex ngasih julukan kita couple sok sibuk, cause we are. Tapi ajaibnya adalah hubungan ini masih berjalan mulus sampai detik ini, karena gue yakin kalau cewek gue bukan Ales pasti udah di putusin jauh-jauh hari. Kita tuh apa, ya? Tahu posisi, tahu kondisi, dan tahu yang mana yang perlu di prioritaskan. Kita hampir jarang berantem mengenai hal-hal besar, karena kita akan selalu datang buat satu sama lain untuk cerita soal apa yang terjadi hari ini. Hubungan yang minim konflik itu menyenangkan.
Setelah diskusi beberapa bulan ini, Ales akhirnya setuju sama rencana pindahannya. Dia makin sibuk karena harus urus surat pindah tugas ke Bali begitu tanggal pernikahan gue sama dia ditetapkan. Kita berdua setuju buat tinggal di Bali karena udah sama-sama capek sama keramaian Jakarta. Sebenarnya gue memberi opsi buat tetap tinggal di Jakarta, tapi dia lebih suka di Bali, karena katanya biar setiap hari kayak honeymoon.
"Not really, lagian juara dunia tahun ini udah kelihatan jelas siapa. Aku cuma butuh maksimalin performa aja biar nggak dnf." jawab gue sambil mengusap puncak kepalanya.
Masih berkaitan soal kepindahan, Ales udah mulai packing barang-barang pribadi punya dia buat gue bawa ke Bali lebih dulu. Tujuannya lebih karena nggak mau ribet di akhir-akhir nanti, karena kita butuh langsung pindah tanpa mikirin barang-barang yang banyak.
"Ini serius nanti nggak bakal capek bawa koper segede ini?" tanyanya lalu kemudian bangkit dari duduknya untuk setelahnya mendekat kearah gue yang tengah berbaring di atas kasur.
Gue menggeser posisi sedikit ketengah supaya ada ruang buat Ales di samping gue. Gue menggeleng, barang yang dia packing sebenarnya nggak sebanyak yang dipikirkan.
"Nggak. Segini doang lemari kamar kita juga masih longgar." Goda gue sambil senyum-senyum kecil yang sukses dapat cubitan kecil di pinggang.
Gue bakal pulang ke Bali lebih dahulu karena Mas Dani ternyata di sana. Dia baru sampai di Bali sehari yang lalu begitu gue tiba di Jakarta. Sebenarnya gue nggak tahu apa bikin dia akhirnya balik ke Indonesia, karena dia lebih sering pulang ke Singapura. Jujur menurut gue ini kesempatan yang langka, gue minta dia buat stay lebih lama karena ada hal yang mau gue bicarain berkaitan soal akhir musim balapan yang tinggal beberapa race lagi. Gue butuh beberapa saran dari Mas Dani karena dia adalah orang cukup kompeten buat ngasih gue advice yang tepat, karena itu gue berencana pulang duluan.
"I'm so proud of you. Aku nggak tahu kata apa lagi yang lebih baik daripada bangga sama kamu. You made it, Yan. Cita-cita yang kamu bangun penuh pengorbanan bikin kamu sampai di titik ini. No, bukan cuma aku yang bangga, tapi banyak orang."
Kalau gue bilang Ales adalah hal baik yang benar-benar baik datang di hidup gue, itu bukan omong kosong. Ketika gue sering berpikir kalau gue nggak pantas buat ada di titik ini setelah keegoisan gue selama ini, di situ sosoknya selalu bilang kalau gue pantas. Gue pantas, karena dia tahu gue udah bekerja keras.
Tangan gue bergerak untuk menarik tubuhnya itu mendekat, mendekapnya dengan erat seolah dia adalah satu-satunya.
"Thank you." Dia tersenyum, senyum yang selalu terlihat tulus dimata gue sekalipun senyumnya tidaklah selalu lebar. Jemari lentiknya mendekat kearah wajah gue dengan lembut, mengabsen setiap indra yang ada dengan mengusapnya penuh kasih. Ketika Ibu jarinya sampai pada bagian bibir gue, dia berhenti. Mata Ales terpaku sesaat seolah dia sedang menata kalimat untuk menyampaikan maksud daripada aksinya itu.
"Damian,"
Gue hanya merespon panggilannya dengan gumaman kecil karena masih sibuk menatap wajah cantik naturalnya yang tanpa riasan.
"Aku boleh cium kamu nggak?"
Hal yang paling gue suka dari Ales adalah, she always ask me for a permission buat hal yang sebetulnya nggak perlu. Dia bisa aja cium bibir gue tanpa harus bilang ke gue karena itu udah jadi haknya.
"All yours, Al."
Dia mendekatkan wajahnya kearah gue hingga bibir kita saling bersentuhan. Gue nggak membalas lumatan bibirnya seintens biasanya, karena gue ingin tahu seberapa besar dia menginginkan gue.
And surprisedly she's not give up easily.
***
Alessia merubah posisi tubuhnya dengan bibir mereka yang masih saling bertautan yang mana membuat Damian pun juga ikut merubah posisi tubuhnya menjadi duduk. Mereka saling berhadapan dengan Alessia yang sibuk mencari kepuasan.
"Kamu kenapa nggak balas?" tanya Alessia dengan polos yang membuat Damian gemas setengah mati.
Damian tertawa terbahak-bahak yang membuat Alessia menjadi bingung. Gadis itu sebenarnya kesal karena Damian seperti tidak niat membalas ciumannya dan terkesan seadanya.
"Just wanna know how much you crave me" jawab Damian lalu kemudian dengan rakus melumat bibir Alessia hingga membuat gadis itu dibuat kaget bukan main.
Ia luar biasa kewalahan mengimbangi permainan Damian seolah laki-laki itu akan memakannya hidup-hidup. Tanpa melepaskan tautan diantara mereka Damian melepas kaos oblong miliknya yang membuat Alessia pun seketika termenung, karena ia tahu akan dibawa kemana permainan ini.
"Yan," Alessia menghentikan aktivitas Damian sesaat ketika laki-laki itu mencoba untuk bermain-main diarea lehernya.
"Yes, Ma'am?"
Bukannya langsung menjawab pertanyaan laki-laki didepannya ini, Alessia justru terdiam sambil menatap wajah Damian lama. Damian yang merasa aneh pun dengan spontan mengecup pipi kiri gadisnya itu yang kemudian membuat Alessia kembali dibuat sadar.
"Are we gonna do this?" tanya Alessia dengan pipi yang tiba-tiba terasa begitu panas. Ia langsung mengalihkan pandangannya, menghindari kontak mata dengan Damian karena rasa malunya.
"Do what?" Pancing Damian dengan iseng karena ia sangat suka membuat Alessia terlihat linglung untuk menjelaskan.
"Ya ituu..." ujarnya dengan bibir sedikit maju yang sukses membuat Damian diselimuti gelak tawa.
Alessia yang merasa dipermainkan pun sudah bersiap akan melayangkan pukulan-pukulan kecil pada Damian, tapi buru-buru ditahan oleh laki-laki itu.
"You wanna do this?" tanya Damian sambil menatap mata Alessia, menyelam didalamnya untuk mencari kejujuran di sana.
"Emang kamu nggak mau?"
Tanpa pikir panjang Damian pun mendorong tubuh Alessia untuk kembali berbaring. Alessia yang masih speechless pun baru sadar jika lehernya kini sudah di jajahi oleh laki-laki diatasnya ini. Alessia kembali menahan nafas ketika Damian menuntunnya untuk melepaskan kaos dan juga bra miliknya. Tidak sampai disitu, Damian juga membantu Alessia melucuti kain yang tersisa dibagian bawahnya hingga kini tubuh polosnya terpampang nyata dibawah laki-laki itu.
"Sakit?" Alessia menggeleng yang kemudian dihadiahi berupa senyum manis Damian.
Laki-laki itu kembali mendekat kearah wajah Alessia untuk kemudian mengabsen setiap Indra gadis itu untuk dicium. Bibir Damian kemudian semakin turun kearah leher Alessia, menyesapnya lembut karena itu adalah spot favorit Damian. Atmosfer di kamar gadis itu seketika berubah ketika tangan Alessia mulai meremas rambut belakang Damian yang mulai memanjang sebagai wujud kenikmatan.
"Ah— Damian—"
Mata Damian mulai menggelap ketika suara desahan-desahan kecil Alessia terdengar oleh telinganya. Bibirnya bergerak semakin turun menuju dada Alessia. Hembusan nafas hangat yang menerpa puncak payudara gadis itu membuat Alessia seketika menggelinjang. Lidah Damian bermain-main dibagian dada Alessia secara bergantian. Ia juga meremasnya lembut yang membuat Alessia hampir kehilangan akalnya.
"Please..."
"Please what, Al?"
Ketika gerakan Damian semakin turun, Alessia sontak menutupi bagian kemaluannya. Kekhawatiran yang cukup jelas itupun nampak di wajah Alessia. Damian mengubah posisi wajahnya sejajar dengan wajah Alessia, "It's okay, kalau sakit kamu boleh pukul aku." ujar Damian menenangkan Alessia sebelum akhirnya jari-jemarinya pun turun kebawah untuk melakukan aksi.
Mata Alessia melotot terkejut ketika jari-jemari Damian mulai keluar masuk di area sensitif miliknya. Gadis itu membekap mulutnya sendiri ketika sensasi aneh mulai melandanya.
"Damian, stop aku—" Tubuh Alessia bergerak tidak karuan ketika sinyal-sinyal ia akan keluar semakin dekat.
"Damian, I'm gonna... C—um, ah—" Jemari Damian masih terus bergerak keluar masuk, membantu gadisnya itu untuk mencapai pelepasan pertamanya.
"You can cum, sweetheart."
Setelah mencapai orgasme yang pertama Damian memberikan waktu untuk Alessia bernafas selama beberapa saat. Damian mulai melucuti bagian bawah miliknya hingga mereka sama-sama polos.
Damian menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang sambil menatap Alessia yang masih telentang dengan nafas yang memburu. Ia membantu gadisnya itu untuk bangun, "Kamu mau apa?" tanya Alessia bingung ketika laki-laki itu malah menuntunnya untuk duduk di atas pangkuannya.
"You can ride me." jawab Damian yang membuat Alessia pun seketika melotot. Tidak-tidak posisi ini sangatlah asing dimatanya. Ia tidak pernah mencoba hal ini sebelumnya.
"I can't, I'm gonna hurt you—"
"You're not gonna hurt me." Potong Damian cepat lalu kembali menuntun Alessia untuk naik di atas pangkuannya.
"Damian—"
"Nggak apa-apa, Al. Just move like this for a while before you put it in." kata Damian sambil mengajari Alessia untuk bergerak maju mundur di atas kejantanannya. Pipi Alessia terasa begitu panas dan nyeri. Ia benar-benar merasa sangat malu dengan posisi seperti ini. Rasa tidak nyaman karena kelamin mereka yang saling bergesekan menimbulkan sensasi yang begitu aneh bagi gadis itu. Sebuah benda panjang yang semakin lama mengeras dan juga membesar seiring gerakan pinggulnya.
Gadis dibuat terkesima ketika suara desahan halus Damian mulai terdengar akibat gerakan yang ia lakukan. Ekspresi wajah Damian yang begitu jelas didepan wajahnya membuat Alessia tidak mampu mengalihkan pandangannya. Damian benar-benar terlihat begitu seksi dengan ekspresi seperti itu.
Alessia kembali mendapatkan pelepasan keduanya tak lama setelahnya karena kewanitaannya sudah sangat basah
Damian membawa tangan Alessia untuk dikalungkan diarea lehernya agar posisi gadisnya itu menjadi lebih nyaman."You don’t need to concern yourself with anything except riding this thigh right here. Got it?" Alessia mengangguk mengiyakan ucapan Damian.
His warm big hands rest on her thighs as she slowly sink further down his cock. Damian's mind fogging up as he feels her warm, soft, dripping cunt wrapping around his shaft perfectly. The only thought he can think is her. Alessia on top of him.
"Good girl..."
Sensasi aneh yang ia rasakan membuat kepalanya terasa begitu kosong. Ia tidak bisa mengatakan hal ini buruk, karena rasanya benar-benar menyenangkan.
Alessia hide her face in Damian's neck while her body keep moving up and down following the rhythms. "Are you still here, Al?" tanya Damian memastikan.
"Y-you're so full—"
Damian bisa melihat Alessia yang mulai kewalahan. Sekalipun posisi ini menguntungkan bagi Alessia karena tautan mereka akan menjadi lebih dalam dan ia mengambil kendali, gadis itu tidak bohong jika ia merasa sedikit lelah. Alessia kembali bergerak dengan teratur, tidak cepat ataupun lambat ketika ia merasa sudah akan sampai pada puncaknya.
"Damian—"
"You're doing great, you can cum."
Damian continue to move as he helps ride out both of them orgasms. Tubuh Alessia pun lunglai dalam pelukan Damian. Laki-laki itu melayangkan banyak kecupan di puncak kepala sebagai apresiasi bawah yang dilakukan Alessia adalah hal yang luar biasa.
Pertempuran masih belum selesai sampai situ. Damian membaringkan posisi Alessia kembali telentang. Gaya basic yang merupakan favorit laki-laki itu.
"Can we do this one more time?"
Gadis itu terdiam ketika bisikan Damian mengusiknya. Butuh beberapa saat untuk Alessia menjawabnya karena ia masih berpikir. Ia sudah cukup lelah dan mendapatkan orgasme ketiganya, tapi ia baru sadar kalau Damian hanya mendapatkan satu.
"Kalau mau udahan it's okay, I'll clean up now." ujar Damian yang sudah bersiap untuk beranjak tetapi ditahan oleh Alessia.
"No, please. I'd love to."
Damian kembali memposisikan miliknya pada kewanitaan Alessia. He pushes the rest of himself inside of her, he can't help but think about how good she feel around him, so warm and so tight.
"Ahh, please..."
Damian started in slow motion, observing closely the way his cock disappeared into her pussy. The scenery was nothing short of pornographic, and he gritted his teeth to stop himself from huffing too fast. It wasn't her fault that she looked so beautiful.
Hembusan nafas yang menerpa telinga Alessia membuat libido gadis itu kembali bangkit. Suara kelamin yang saling beradu kini terdengar begitu merdu ditelinga mereka. Gerakan pinggul Damian terlihat semakin cepat seiring orgasmenya akan datang. Dalam kesempatan ini ia kembali menyatukan bibir mereka, melumatnya dengan begitu rakus seolah tidak akan ada kesempatan hari esok.
"Hnggh..."
"Together, Al..." Pussy clamping around Damian's length as she feel herself start to approach her high.
"Ahhh— Damian..."
Alessia's sob when she feel Damian bury himself deeper into her, forcing some of his cum to leak out of her, trickling down past his balls and onto the bedcover. Her insides feel so full and warm as the both of them stay in each other's embrace.
Damian menyingkirkan tubuh besarnya itu setelah beberapa saat lalu kemudian menarik Alessia masuk kedalam pelukannya. Mereka sama-sama memejamkan mata setelah puncak yang luar biasa. Heart's full of love, body feels so warm.
Tidak ada pembicaraan yang terjadi selama lebih dari lima menit lamanya. Damian membuka matanya ketika laki-laki itu teringat akan sesuatu.
"Al," Alessia hanya mampu membalasnya dengan gumaman kecil karena tenaganya sudah terkuras habis.
"Are you on the pills? I forgot to put on the condom and I'm cumming inside you..."
42 notes
·
View notes
Text
Brotherhood

Damian
Ngomongin soal si orang sibuk yang lagi liburan di Bali a.k.a Mas Dani, gue rasa ada hal lucu diantara hubungan kita. Gue nggak tahu orang-orang menganggapnya lucu atau pathetic, whatever. Everyone know him as team manager, pun gue yakin banyak yang menganggap kedekatan gue sama Mas Dani cuma sebatas omongan di dalam kerjaan doang. It's fine actually, a lot of people thought the same thing when they found out we're more like brother than partner. Yang lucu di sini adalah, gue malah lebih dekat sama Mas Dani dibandingkan dengan Mas Theo yang jelas-jelas saudara gue. Pathetic or funny? I don't give a shit about that tho.
Bisa dibilang gue menghabiskan hampir setengah umur gue bareng Mas Dani bahkan sebelum gue bergabung di Honda Racing School. Karena hubungan kita yang bisa dikatakan dekat, kejadian tahun lalu bikin gue sakit hati. But everything seems fine now. Kita selesaiin semua kesalah pahaman dengan kepala dingin beberapa bulan setelah gue pindah kelas.
Sekalipun kita cukup dekat, Mas Dani termasuk orang yang cukup tertutup mengenai kehidupan pribadinya. Gue bahkan sampai detik ini nggak pernah tahu rumah asli dia dimana karena keseringan pindah sana-sini. Gue cuma tahu sebatas dia punya satu adik cewek seumuran Alex yang tinggal di Manchester. Mas Dani punya teman banyak, lebih banyak dari yang gue bayangin sampai kadang-kadang gue pikir seluruh orang di planet ini kenal sama dia. Boleh dibilang itu hal yang positif, karena bagaimanapun punya teman dan relasi yang banyak di dunia kerja bakalan membantu banget.
Kekurangan Mas Dani cuma satu, jomblo. For your information aja, umur Mas Dani sama Mas Theo nggak beda jauh, tapi Mas Theo udah nikah dari setahun yang lalu sedangkan Mas Dani masih betah ngejomblo sampai sekarang. Dan kalau ditanya kapan mau nikah, dia bakalan dengan enteng bilang, sebelum lo nikah gue nikah.
"Gimana, Mas?" Gue membenarkan posisi handphone gue susah payah sambil membawa satu koper berukuran sedang bersama gue yang isinya barang-barang Ales yang mau dipindahin ke rumah gue yang ada di Ubud. Setelah wacana yang kita buat lima bulan terakhir ini, akhirnya dia mutusin buat ikut gue begitu tanggal pernikahan gue sama dia udah ditetapkan.
Gue tiba di bandara Ngurah Rai beberapa saat lalu sesuai janji gue kemarin. Gue ngambil flight pagi karena Ales sendiri punya urusan sampai sore dan dia kekeh mau nganterin gue ke bandara.
"Lo di mana? Gue udah di depan sama teman gue." Gue reflek menoleh kearah sekeliling gue, mencari sosoknya.
"Tumben ngajak teman?"
"Iya, si Gilang juga mau jemput orang." jawab Mas Dani bersamaan dengan gue yang mendapati sosoknya melambaikan tangan ke udara begitu melihat gue.
Gue mematikan handphone gue lalu berjalan mendekat. Gue juga langsung mendapati sosok teman Mas Dani yang bernama Gilang ini tersenyum kearah gue.
"What's up..." Mas Dani menyambut gue dengan pelukan hangat yang kemudian gue balas dengan senang hati.
Semenjak pindah kelas awal tahun ini, kita lumayan jarang keep in touch langsung karena sama-sama sibuk, sekalipun kita tetap aja di satu tempat yang sama.
"You must be Gilang, right?"
"Exactly, good to see you, Man..." Kita saling berjabat tangan sebelum kehadiran sosok lain yang baru datang mengalihkan perhatian kita bertiga.
I think I've seen him somewhere...
"Damian, this is Harvey. Harvey this is Damian." ujar Gilang memperkenalkan kita berdua.
Benar... Gue sempat lihat orang ini di Soekarno Hatta karena postur tubuhnya yang tinggi dan kelihatan begitu kontras di tengah orang-orang.
"Damian," kata gue sambil membalas jabatan tangan Harvey. "Harvey, Bang." Gue hampir keselek ludah gue sendiri waktu dia panggil gue Bang. Bukan gimana-gimana, karena to be honest lebih banyak yang manggil gue Kak dan pertama kalinya gue dipanggil pakai sebutan Bang.
"Just Damian, please. Kalau pakai Bang kesannya kayak senioritas. Tapi lo tetap boleh panggil dia pakai Bang karena udah tua." jawab gue sambil menunjuk Mas Dani yang bikin dia berakhir menyumpah serapahi gue.
I heard a lot about this dude. Namanya sering kali nangkring di televisi nasional karena pencapaian dia di umur segini. Gue pikir televisi-televisi nasional Indonesia harus lebih banyak liput berita-berita yang membanggakan daripada tayangan-tayangan yang gue yakin lo semua tahu sesampah apa.
"Kalian semua janjian atau..."
Harvey menggeleng, "No, sebenarnya gue mau ke Turkey awalnya, tapi karena suatu dan lain hal akhirnya gue ke Bali. And surprisedly Gilang juga di sini."
Gue mengangguk sebagai jawaban. Gue punya hubungan pertemanan yang baik dengan beberapa atlet di Indonesia, especially mereka-mereka yang ada di bidang yang sama dengan gue. Thanks to Mas Dani, berkat dia teman gue nggak cuma Davin.
"Dua kebanggaan Indonesia di satu frame menurut lo apa yang bakal terjadi?" celetuk Mas Dani yang bikin gue cuma berakhir geleng-geleng kepala.
4 notes
·
View notes
Text
Right person

Alessia
Sampai detik ini, agaknya gue masih sering berpikir kalau jalan hidup gue benar-benar jauh dari kata nyata. Gue percaya sama takdir Tuhan, cuma kadang gue berpikir kalau semua ini terlalu nggak mungkin terjadi.
Gue hampir lupa. Iya, gue hampir lupa pernah mengenal seorang Damian Marini pada saat itu, sebelum akhirnya takdir Tuhan mempertemukan kita kembali dalam momen yang nggak pernah kita duga.
Sebenarnya klise, tapi entah kenapa gue ngerasa semua ini adalah sebuah keberuntungan. Dan tolong jangan bilang ini ke Damian karena dia pasti bakalan besar kepala.
When you meet the right person at the right time, itu artinya keberuntungan sedang ada di pihak lo.
Gue selalu berpikir kalau Damian adalah orang yang tepat untuk gue. Meskipun gue tahu betul betapa nggak sukanya gue sama dia dulu. Karma benci sama orang terlalu berlebihan emang beneran nyata adanya, ya? Kalau diingat-ingat lagi gue selalu berakhir tertawa karena beneran jilat ludah gue sendiri.
Damian adalah orang yang tepat. Ketika orang lain nggak pernah memberi gue kesempatan untuk mengutarakan isi dalam otak karena gue terlalu banyak diam dan takut berbicara salah, disitu dia selalu yakin kalau dibalik diamnya gue ada banyak kata yang siap mengudara.
Damian adalah orang yang tepat, karena dia akan selalu membiarkan gue berbicara dan menjelaskan sekalipun yang gue lakukan adalah sebuah kesalahan. Lalu dia akan menjelaskan dimana letak kesalahan gue dan berusaha nggak menyakiti perasaan gue.
Damian adalah orang yang tepat, karena dia nggak pernah menuntut gue untuk selalu mengikuti perintahnya and he always ask me for a permission.
Dan Damian adalah orang yang paling tepat, karena dia selalu menghargai gue sebagai seorang wanita karir yang bertanggung jawab atas pekerjaan gue.
"Kamu kemarin ngobrolin apa aja sama Papa sampai malam?" Gue melirik sosoknya yang sibuk bermain stick PlayStation. Tiga bulan lalu gue dibuat kaget karena kedatangan paket segede gaban yang mana isinya tak lain dan tak bukan adalah PlayStation baru punya dia. Jelas aja gue marah, karena gue tahu Damian sama Alex udah punya PlayStation di apartemen mereka. Dan lo tahu apa jawaban dia waktu gue marahin kenapa beli beginian lagi? Ya, soalnya kan sekarang aku nginepnya sering di apartemen kamu, yaudah beli baru lagi. Yang gue lakuin waktu itu cuma memijit pelipis gue yang tiba-tiba jadi pening.
"Kepo banget sama urusan cowok." jawabnya yang kemudian sukses membuat bantal di samping gue melayang ke arah kepalanya.
Damian memutar bola mata malas lalu tiba-tiba mematikan PlayStation nya begitu aja yang bikin gue sukses mengerutkan alis bingung. Tubuhnya tiba-tiba mendekat kearah kasur dimana gue sedang berbaring sambil memperhatikan sosoknya yang udah hampir setengah jam didepan layar televisi.
Tangan gue dengan spontan menarik selimut hingga menutupi setengah wajah gue ketika Damian memposisikan badannya tepat di atas gue. Dia cuma diam selama beberapa saat sambil menatap gue lama sebelum tubuh besarnya itu lemas dan berguling ke samping gue.
"Emang tadi sakit pas kena bantal?" tanya gue penasaran karena perasaan gue ngelemparnya nggak pakai tenaga sama sekali.
Ketika tangan gue sibuk mengusap-usap bagian kepalanya yang terkena bantal, Damian tiba-tiba menarik tangan gue cukup kuat hingga gue memekik kaget. Sekarang posisi gue masuk kedalam pelukan dia yang selalu terasa hangat. Karena bahunya yang lebar, tubuh Damian hampir bisa menutupi badan gue yang kecil.
"Ngomongin Papa kamu mau punya cucu berapa."
"AWW!" Pekiknya kaget ketika cubitan gue berhasil mengenai perut jeleknya.
"Ngeselin banget! Aku lagi serius loh ini." Protes gue kesal. Sekarang gue nggak bisa jelasin kalau Damian sama cewek lain. Karena gue tahu nggak ada cewek yang bisa sesabar itu ladenin sifat jahilnya.
Kalau boleh jujur, gue selalu was-was ketika Damian dan Papa udah ngobrol. Gue tahu Papa nggak pernah ada masalah sejak gue bawa Damian ke rumah ini. Papa termasuk orang yang sensitif ketika menyangkut soal kehidupan gue. Dan sampai detik ini pun gue masih nggak percaya sebelum Damian lamar gue di Bali, dia konsultasi dulu ke Papa tanpa sepengetahuan gue, which is hal itu nggak pernah terpikirkan oleh gue.
"Our wedding." katanya yang seketika membuat gue terdiam.
"Oh ya? Terus kata Papa gimana?" tanya gue sambil mengubah posisi kepala gue pindah ke dadanya. Gue bisa mendengar suara detak jantung Damian yang berdegup teratur.
"He said, go ask my daughter, did she want to marry you or not. And now it's depends on you, Al."
★★★
Damian
"Saya lihat permainan kamu di setiap race banyak berkembang. Meskipun kalau boleh jujur kamu patut dapat team yang lebih memadai." Beliau adalah orang kesekian yang bilang kalau gue salah team. Gue nggak pernah masalah soal pandangan orang lain mengenai hal itu. Karena gue percaya sekalipun gue berada di sebuah team yang tergolong biasa-biasa aja tapi gue punya skill yang baik. Dan sejauh ini LCR belum mengecewakan gue.
"A lot of people thought the same thing. But, thank you so much." jawab gue sambil memindahkan bidak catur milik gue.
"Kamu orang yang gigih, Damian. Saya bisa lihat itu di diri kamu sejak pertama kali kamu menginjakkan kaki di rumah saya."
Masih teringat jelas di benak gue soal hari itu. Hari dimana Om David lupa buat jemput Ales di tempat les karena beliau terlalu asik membaca buku-buku di perpustakaannya. Dengan mengendarai sepeda BMX gue membonceng Ales pulang. Selama perjalanan dia nggak henti-hentinya ngedumel karena tahu betul sifat Papanya yang dari dulu nggak pernah berubah.
"Dan saya juga bisa lihat kalau kegigihan kamu dalam mencintai anak saya tidaklah main-main." Kita hampir nggak pernah membahas soal Alessia waktu mengobrol. Om David lebih banyak menanyakan soal pekerjaan dan isu-isu pemerintah yang sedang ramai, maka hal itu gue cukup kaget waktu mendengarnya.
"I've been thinking about this long ago. Saya kenal Alessia sudah cukup lama. Tapi sayangnya saya belum bisa memahami Ales sebanyak Om memahaminya." Gue kembali menjalankan bidak gue ketika waktunya.
"Dan mungkin itulah alasan saya pernah kehilangan anak Om sebanyak dua kali. Karena saya belum benar-benar bisa memahami dia."
David Schäfer, seorang politikus yang hampir separuh umurnya mengabdikan dirinya melayani masyarakat. Ketika orang-orang berpikir beliau adalah orang yang angkuh, gue mengenalnya sebagai orang yang lemah lembut.
"Tidak ada orang bisa memahami Alessia sebaik dirinya sendiri, termasuk saya ataupun kamu. Yang perlu kita lakukan ya berusaha memberikan yang terbaik untuk dia." Beliau mengambil secangkir kopi hitam pekat miliknya sebelum akhirnya menyeruputnya dengan perlahan. Gue mengeluarkan rokok dari dalam saku yang membuat beliau terkikik sesaat lalu kemudian mengambil sepuntung untuk kemudian dinyalakan.
Gue hampir nggak pernah merokok. Dan kalaupun iya berarti isi kepala gue sedang dalam kondisi yang penuh. Tangan gue ikut mengambil puntung rokok itu lalu menyalakannya.
"Saya suka bagaimana kamu menyampingkan sikap egoistis kamu ketika berbicara. Karena itu artinya kamu sedang berkata jujur."
Kedatangan gue tentu aja bukan tanpa tujuan. Sebenarnya tanpa gue tanya pun Om David pasti bersedia memberi gue izin, tapi kuncinya bukan di situ, tapi Alessia.
"Kalau kamu butuh jawaban, go ask her, did she want to marry you or not. Keputusan saya tergantung jawaban Alessia."
Minggu lalu gue membicarakan topik yang sama dengan Bokap Nyokap, Mas Theo dan juga Alex. Kaget? Pasti. Gue bahkan masih gedeg dan dendam waktu ingat Alex tiba-tiba mukul kepala gue keras banget karena dia pikir gue lagi ngelantur.
Instead of scared she'll reject me, gue lebih takut kalau dia nyesel sama keputusan dia sendiri.
"I'd love to marry you, Damian." ujarnya yang membuat dada gue seketika menghangat.
Kita udah sejauh ini ternyata... Jauh banget sampai kadang gue masih nggak percaya masih diberi kesempatan nggak kehilangan dia untuk kesekian kalinya.
"I'm going to ask this for the last time. Aren't you regret it? Kamu nggak nyesel sama apa yang udah terjadi sama kita?" Karena gue takut dia akan menyesal di akhir ketika kita udah semakin jauh dan nggak ada kesempatan untuk kembali.
"Never."
Dia merubah posisinya menjadi miring yang kemudian gue ikuti, hingga posisi kita kini saling berhadap-hadapan.
"We're almost fight about small things, kita bahkan jarang komunikasi kayak pasangan-pasangan pada umunya, we rarely going for a date like normal couple. Aren't you regret it, Al?" tanya gue kembali.
"Never.
"Sampai kapanpun aku nggak akan pernah nyesel ketemu sama kamu or something we've been through back then."
Karena gue pun begitu. Nggak ada persamaan menyesal sedikitpun didalam hati gue sekalipun hal-hal menyakitkan yang pernah kita lewati. Karena gue tahu... Gue tahu kalau hal itu nggak pernah terjadi kita nggak akan pernah ada di titik ini.
"I'm going to ask you this for the last time. Am i allowed to marry you?" dia mengangguk, mengiyakan lamaran kedua gue untuk akhirnya bisa memilikinya seutuhnya.
"Yes."
Gue menarik tengkuknya untuk mendekat hingga bibir kita saling bersentuhan. Gue mengusap bibir bawahnya singkat sebelum akhirnya menciumnya begitu dalam, menyalurkan perasaan bahagia gue padanya.
5 notes
·
View notes
Text
Covetous; Despair of losing

Damian
Semakin dewasa, gue makin sadar kalau ada banyak perubahan besar yang terjadi di dalam hidup gue. Entah itu perubahan yang bersifat positif ataupun negatif. Lalu kemudian gue paham kalau semua itu termasuk dalam proses hidup yang memang semua orang akan mengalami. Ketika fase itu datang, ada sedikit rasa takut didalam benak gue. Gue takut kalau perubahan besar yang terjadi pada diri gue akan mempengaruhi orang-orang terdekat dan berakhir membuat gue jadi orang jahat.
Setelah resmi bertunangan, sifat posesif gue ke Alessia makin kelihatan. Entah kenapa setiap kali gue jauh dari dia, perasaan cemas sering kali menggerogoti hati gue. Aneh— iya, aneh. Kadang gue berakhir maki-maki diri sendiri begitu sadar udah ngatur dia ini-itu.
"Lo dimana deh? Gue bentar lagi keluar." Mata gue melirik jam tangan untuk mengkalkulasi sudah berapa jam yang gue habiskan selama perjalanan Austria–Jakarta.
Hasil pertandingan kemarin Minggu nggak jauh beda dari Grand Prix Inggris minggu kemarin. Gue masih konsisten finish di sepuluh besar dan memperoleh poin tambahan. Sekalipun belum bisa menyentuh posisi pertama, gue lumayan puas dengan performa gue di tahun pertama kelas MotoGP. Seperti halnya orang lain, gue juga percaya sama yang namanya proses. It's not easy, and everyone know that. Gue cuma butuh waktu buat beradaptasi dengan rival baru gue di kelas ini, lalu mempelajari strategi mereka.
"Lah, kan Ales yang jemput lo?" Alis gue sedikit terangkat karena bingung.
"Gue udah bilang lo yang jemput gue. Dia hari ini sibuk."
"Yee, gue pikir dia ke airport sekalian jemput lo."
Gue makin bingung begitu Alex bilang Ales lagi ada di airport. Dia jemput siapa?
"Tunggu-tunggu, dia ngapain ke airport?"
"Kan jemput teman satu residennya waktu di US? Emang dia nggak ngomong ke lo?"
Teman? Di US?
"Yaudah bentar, gue on the way sekarang."
***
Begitu sambungan telepon Alex mati, Damian buru-buru menghubungi Alessia untuk mencari tahu siapa teman yang Alex maksud.
Damian tahu beberapa teman dekat Alessia, termasuk juga Lily yang sering kali mereka jadikan sebagai bahan obrolan di setiap kesempatan. Tapi bukankah seharusnya tunangannya itu akan sangat heboh jika temannya itu akan datang?
Laki-laki itu hanya mampu menghela nafas panjang ketika ia tidak menemukan sosok Alessia yang katanya juga ada di sini. Bukankah sangat aneh?
"Woy!" Damian sedikit terperanjat ketika suara Alex mengejutkan dirinya dari lamunan.
"Ngelamun aja lo kayak orang kesurupan. Udah gue panggil dari tadi juga." ujar Alex lalu menyabet tas milik Damian untuk laki-laki itu bawa dan berjalan mendahului Kakaknya itu.
Damian mau tak mau mengikuti langkah Alex menuju mobil sambil sesekali menatap sekeliling untuk mencari sosok Alessia yang mungkin saja masih ada di sekitar sini.
"Is she told you siapa yang datang?" tanya Damian penasaran sambil memasang seatbelt sebelum akhirnya mobil Alex melaju meninggalkan bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Kini Alex yang malah dibuat bingung atas pertanyaan saudaranya itu. "Emang Ales nggak bilang ke lo?" Damian menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
Alex menghela nafas panjang lalu kemudian menatap Damian singkat, "Kalau lo tahu Lily, nah abangnya yang datang."
"You mean Cedric?"
"Gue nggak tahu namanya siapa, that's probably him."
Benar. Kekhawatiran Damian sejak tadi ternyata benar-benar terjadi. Laki-laki itu menyandarkan punggungnya lemas karena bingung kenapa Alessia tidak mengatakan apapun mengenai kedatangan Cedric ke Jakarta.
"Katanya dia pernah confess ke Ales." Dibandingkan seperti pernyataan, kata-kata Alex barusan lebih terdengar seperti pertanyaan bagi Damian.
Tentu saja Damian tidak tahu soal ini. Laki-laki itu hanya tahu sebatas Cedric menyukai Alessia, mengenai confession yang Alex maksud ia malah baru mendengarnya.
"Maybe?" tanggap Damian berusaha bersikap sesantai mungkin.
"Antarin gue ke apartemen Ales aja. Gue nanti balik sendiri."
Hal tidak beres semakin jelas begitu laki-laki itu sampai di tempat Alessia. Bagaimana tidak, gadis itu malah tidak memperbolehkan Damian untuk masuk dan menyuruh Damian menunggu di lobi apartemen.
Tentu saja Damian masih berpikir positif. Ia hanya berharap teman Alessia itu tidak berbuat macam-macam, seperti memutuskan untuk tinggal di apartemen gadis itu misalnya.
"Hey!" Damian menyunggingkan senyum tipis begitu Alessia berlari kecil kearahnya untuk mendekat.
Ia merindukan gadisnya itu. Ingin rasanya ia menarik Alessia masuk kedalam dekapannya untuk menyalurkan rasa rindunya.
"Kenapa aku nggak boleh masuk? Are you alright?" tanya Damian dengan perasaan penuh khawatir. Tangan laki-laki itu berjalan untuk mengusap pipi Alessia ketika ekspresi gadisnya itu terlihat sama khawatirnya.
"I'm fine. Kamu kenapa di sini? Aku pikir kamu datangnya besok." ujar Alessia dengan sedikit gugup.
Alis Damian seketika terangkat ketika perasaan janggal itu semakin terlihat jelas. Tidak-tidak, dugaannya tidak lah mungkin benar. Cedric tidak mungkin semiskin itu dengan menumpang di apartemen sempit milik Alessia.
"I'm so tired now, i wanna lay down on your bed—"
"You can't!" Alessia memejamkan matanya sesaat lalu kemudian menghela nafas panjang, bingung bagaimana ia menjelaskan situasi ini kepada Damian.
"What you mean? Kamu kenapa sih dari tadi kayak sembuyiin sesuatu gitu?" suara Damian yang sebelumnya tenang kini terdengar sedikit menuntut.
"Kamu istirahat di apartemen Alex aja, ya? Aku anterin kamu sekarang." Dengan cekatan Damian menahan lengan Alessia ketika gadis itu hendak beranjak. Ia butuh penjelasan yang konkret mengenai hal apa yang membuat ia harus tertahan di sini dan tidak bisa masuk kedalam.
"Who's in your apartment?"
Wajah Alessia seketika berubah menjadi pucat pasi. Ia tahu Damian akan sangat marah padanya karena keputusan yang ia ambil secara buru-buru.
"Damian listen, I don't have a choice, I—"
"Answer my question."
Ia rasanya ingin menangis didepan Damian saat ini juga. Tentu saja laki-laki itu akan marah. Siapa juga orang yang tidak marah ketika ada laki-laki lain yang tidur di apartemen tunangannya?
"Cedric."
Damian tertawa tidak percaya ketika dugaannya kembali benar. Ia semakin bingung ketika Alessia justru membiarkan laki-laki itu dengan begitu mudah memasuki apartemennya.
"Please listen to me, aku nggak punya pilihan lain, okay? Cedric kabarin aku satu jam sebelum dia landed. I don't know about his plan."
"Oh ya berarti the problem is on him. Kamu nggak perlu repot-repot buat nampung dia dong?"
Beberapa orang yang berlalu lalang di lobi pun seketika mengalihkan perhatian mereka menuju dua insan yang tidak mau saling mengalah. Alessia menarik tangan Damian untuk keluar ketika ia sadar sudah mengganggu orang lain.
"He's my friend, Yan."
"And I'm sure he's not that poor buat booking hotel?" sahut Damian tidak mau kalah karena yang dikatakannya adalah sebuah fakta. Persetan dengan alasan teman, ia tahu jalan pikiran seorang laki-laki. Dan alasan klise semacam itu tidak bisa dijadikan excuse untuk menormalisir hal seperti ini.
Alessia menghela nafas panjang sambil memijat pelipisnya ketika ia kembali dihadapkan dengan sifat Damian yang seperti ini.
"Where is he?" tanya Damian lalu kembali melangkah masuk.
"No Damian, please! Aku tahu aku salah but please let him stay, aku nggak enak sama Cedric." Damian tidak mempedulikan Alessia yang kini berjalan membuntutinya.
Begitu sampai didepan pintu apartemen milik gadis itu, perasaan Damian seketika terbakar. Ia yakin betul jika mana perkataan Alex beberapa saat lalu memang benar adanya, Alessia tidak mungkin semudah itu lupa.
Suasana awkward seketika menyelimuti mereka bertiga ketik pintu apartemen gadis itu terbuka dengan posisi Cedric yang tengah terduduk manis di sofa. Laki-laki itu beranjak dari duduknya lalu menyambut Damian dengan senyum terbaiknya.
"I'm sure you're Damian Marini. I'm Cedric by the way. I heard a lot about you, also you're quite famous." Cedric menyodorkan tangannya untuk mengajak Damian berjabat tangan namun tidak dihiraukan oleh laki-laki itu.
"Damian—"
"Thanks. It's already late, I think you should go now. My fiance wanna take a rest and she's s not used to being around strangers." Damian tersenyum tipis sambil mengusap puncak kepala Alessia.
Perasaan tidak enak pun seketika menggerogoti gadis itu. Ia hanya mampu menunduk karena tidak sanggup menatap wajah Cedric yang saat ini pasti merasa tidak nyaman dengan kata-kata Damian.
"I'm so sorry—"
"No, please don't say that. It's not your fault." Potong Alessia yang membuat Damian memutar bola mata malas.
Cedric berlalu untuk mengambil barang-barang miliknya, bersiap untuk meninggalkan tempat ini.
"I'm sorry, Cedric." ujar Alessia penuh penyesalan. Laki-laki itu menggeleng kecil lalu tersenyum, "It's okay, I got it."
Cedric sempat menatap Damian sekilas sambil tersenyum kaku.
"I booked a hotel for you. It's not far from here." sambung Damian sebelum Cedric keluar dari tempat ini.
Tentu saja Damian masih punya rasa belas kasih apalagi saat ini sudah cukup larut.
"Thanks."
Ketika punggung laki-laki itu tidak terlihat Alessia pun kembali menghela nafas panjang. Ia benar-benar merasa tidak enak karena mempermalukan Cedric seperti ini.
"What's wrong with you? Harusnya kamu nggak perlu bilang begitu ke dia. He's my friend, Damian."
"He likes you. He confessed his feeling to you and you're not tell me about that."
Damian melempar tas ransel miliknya ke sembarang arah lalu kemudian berkacak pinggang sambil menghela nafas panjang. Ia tidak ingin memperpanjang masalah ini dan memulai keributan di antara mereka. Masalah pertandingan kemarin sudah membuatnya benar-benar pusing.
"Jesus, it's been a year dan kita nggak ada apa-apa. Kamu nggak percaya sama aku? Why you always make things up?" Damian benar-benar terganggu dengan nada bicara Alessia yang mulai meninggi.
"You don't understand, he's a man, Al."
"Ya terus masalahnya apa kalau dia cowok? I told you he's just friend!"
Gadis itu menatap Damian dengan penuh perasaan tidak mengerti mengenai jalan pikiran tunangannya itu. Tentu saja ia membawa Cedric kemari dengan alasan yang jelas karena ia ingin menolong Kakak temannya itu.
"How about him? Did he called you as a friend? No, Al. Dia nggak akan semudah itu nyerah buat berhenti suka sama kamu."
Alessia terdiam. Tidak— ia yakin Cedric tidak mungkin masih memiliki perasaan padanya, apalagi semua kejadian itu sudah berlalu satu tahun lebih.
"I'm so tired now, let's talk about it later." lanjut Damian lalu mengambil tas ranselnya itu kembali.
Masalah ini tidak akan usai jika mana mereka sama-sama masih kerasa kepala dan tidak bisa berbicara dengan nada yang tenang.
"Why you always get jealous over him? I'm yours, Damian! Aku nggak akan sebodoh itu juga buat khianatin kamu!"
Langkah Damian kembali terhenti ketika ia sudah sampai didepan pintu. Damian berbalik menatap Alessia dari jarak dua meter, mengamati wajah marahnya yang terlihat terluka karena berpikir ia tidak mempercayainya.
Ia tahu maksud daripada perbuatan Alessia. Hanya saja ia tidak akan membiarkan Cedric mengambil celah yang sudah diberikan Alessia sebagai kesempatan untuk mengambilnya dari laki-laki itu.
"I'm not talking about you, Al. I trust you. I know what's Cedric capable of doing selama kamu belum sepenuhnya terikat sama aku,"
Damian terdiam sejenak untuk mengatur nafasnya yang kembali memburu. Ia tahu perbuatannya sangatlah kekanakan, tapi jika langkah ini adalah yang terbaik maka ia tidak akan ragu untuk melakukannya.
"You call it jealousy but i call it fear of losing you."
Punggung Damian menghilang dibalik pintu meninggalkan Alessia yang kini hanya mampu berdiri diam.
Damian tidak bohong jika ia benar-benar takut kehilangan Alessia. Sudah cukup ia kehilangan gadis itu dua kali, ia tidak akan membiarkan Alessia pergi karena orang lain kecuali jika gadis itu menginginkannya sendiri.
Kadang kala bersikap egois menjadi pilihan yang terbaik untuk tidak kehilangan orang yang kita sayangi. Dan mungkin itulah Damian.
8 notes
·
View notes
Text
True game

genre: smut
warning: male soft dom, sucking, praising, morning sex, protection sex 🔞
the weeknd — call out my name
READ AT YOUR OWN RISK!
Ketika ditanya soal tempat paling indah mana yang pernah Damian kunjungi, laki-laki itu tak akan bosan menjawabnya dengan Bali. Lahir dan juga tumbuh di Bali merupakan sebuah keberuntungan bagi Damian. Bagaimana tidak, tempat yang kaya akan budaya dan juga kulinernya itu tak pernah gagal memanjakannya.
Keputusannya untuk menetap di sini adalah hal paling tepat yang pernah laki-laki itu ambil. Kesibukan pasca kejuaraan beberapa bulan terakhir kerap kali membuatnya merasa penat dan juga jenuh disaat yang bersamaan. Tentu saja hal itu sangatlah wajar. Akan sangat aneh ketika hampir separuh hidup Damian dihabiskan di atas lintasan tetapi rasa suntuk tak pernah menghampirinya. Dan Bali adalah tempat yang pas untuk laki-laki itu merileksasikan diri.
Summer break merupakan kesempatan yang baik untuk laki-laki itu bisa beristirahat full. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya Damian habiskan sendirian, kali ini ia mendapatkan kesempatan lain untuk berlibur bersama banyak orang.
"Hey pass the ball!" seru Alex dengan suara lantang mengintruksikan kepada Alessia untuk mengoperkan bolanya kepada laki-laki itu.
Damian tersenyum begitu lebar ketika melihat semua orang begitu riang dan juga bersemangat. Laki-laki itu jadi menyesal karena selalu melewatkan kesempatan seperti ini dan memilih sendirian.
Permainan bola voli itu berakhir dengan kemenangan team Damian Theodore, sedangkan team Alex Erland harus mengakui kekalahan mereka. Mereka menghabiskan hampir setengah hari di pantai hingga sore menjelang sampai sang fajar akan menyingsing.
"Kayaknya Davin habis ini sampai Ngurah Rai." celetuk Damian sambil menghampiri Alessia yang tengah duduk di gazebo depan villa yang mereka tempati.
Davin memutuskan untuk datang ke Bali satu hari lebih lambat karena masih ada urusan yang penting begitu mereka sampai di Indonesia satu minggu yang lalu. Ia memilih untuk menyelesaikan urusan pribadinya itu lebih awal karena setelah ini Davin akan menetap di Bali sampai batas waktu yang belum laki-laki itu tentukan.
"Oh ya? Kamu mau aku ikut ke airport sama kamu?" Damian menggelengkan kepalanya kecil, "Nggak, aku sendiri aja."
Dua orang insan itu berjalan beriringan untuk masuk kedalam villa ketika hari mulai gelap, bersiap untuk membersikan diri dan beristirahat untuk mempersiapkan kegiatan esok hari yang sudah menanti.
***
Alessia
"Kita nanti satu kamar."
Gue hampir tersedak air liur ketika Damian tiba-tiba membisikkan kata-kata itu tepat ditelinga gue begitu kita sampai didepan villa pagi tadi.
Dari ekspresi wajahnya yang kelihatan bangga dan sumringah, gue yakin dia mati-matian buat dapat izin ini dari Pak Direktur, karena gue tahu beliau nggak akan semena-mena kasih Damian izin buat satu tempat tidur sama gue. Gue nggak tahu trik apa yang dia pakai sampai Kakaknya cuma iya-iya aja.
"Kok ekspresi kamu kayak nggak senang gitu sih?" Dia mulai menggerutu karena gue nggak merespon apa-apa sejak tadi. Daripada nggak senang soal kabar ini gue lebih nggak tahu harus menanggapinya dengan apa karena jujur gue kehabisan kata-kata.
"Terus aku musti joget-joget gitu?" sahut gue sewot yang bikin dia tiba-tiba langsung jalan mendekat kearah kasur dimana gue sedang berdiri sambil membereskan beberapa baju.
Langkah gue semakin mundur waktu jarak gue dan Damian semakin dekat hingga tanpa sadar punggung gue bertabrakan dengan dinding kayu.
Sial... Gue nggak pernah tahu kalau semakin erat hubungan gue dan Damian akan membuat rasa takut gue ke dia sedikit demi sedikit tumbuh.
"You want it?" katanya yang membuat alis gue sedikit terangkat bingung. "What?"
"Dance." jawabnya dengan jarak tubuh kita yang entah kapan hanya tinggal sejengkal.
Fakta bahwa Damian lebih terang-terangan ketika menginginkan sesuatu dari gue sering kali membuat gue kehilangan kata-kata. I don't know, gue kadang cuma berpikir mereka bukanlah orang yang sama. Aneh, Iya— aneh. Padahal sifatnya itu pernah dia tujukin sejak lama. Sifat dominan yang membuat bulu kuduk gue sering kali berdiri merinding.
"Nggak!" Gue reflek mendorong tumbuhnya menjauh lalu berjalan melewatinya tanpa membuat kontak mata karena gue pikir sifatnya itu kembali muncul. Tapi diluar dugaan tiba-tiba suara tawanya yang khas itu memenuhi kamar ini.
"Heh, mau kemana tuh?!" serunya ketika gue memilih untuk keluar tanpa mempedulikan sosoknya yang kini sedang berjalan mengikuti gue.
Tuhan, dia ini punya berapa kepribadian...
***
Damian
"Lo nggak bawa cewek?"
Gue cukup kaget karena bocah tengik satu ini cuma datang sendirian. Gue menjemputnya di Bandara Ngurah Rai seperti janji gue minggu lalu sebelum datang ke Bali.
"Ntar juga dapat di sana." Tangan gue dengan reflek melayang kearah kepalanya yang membuat Davin berdecak sebal.
Hampir semua orang yang ada di villa bawa pasangan, Mas Theo sama Kak Nadine, Erland sama Ellen, Gue sama Ales dan Alex? Oh kalau dia masih nyantai-nyatai aja sendirian. Gue sempat tanya kenapa dia nggak bawa cewek tapi malah cuma dijawab kalau dia lagi jomblo. Jelas gue nggak percaya, karena beberapa hari lalu gue mergokin dia teleponan sampai jam dua pagi sama orang yang pastinya nggak mungkin soal kerjaan. Gue nggak tahu apa yang bikin dia main rahasia-rahasiaan sama gue.
"Lo sama Ales gimana?" tanya Davin lalu kemudian menenggak Jack Daniels punyanya.
"Baik. I'm planning to marry her next year."
Kalau boleh jujur, sebenarnya gue nggak pernah berpikir hubungan gue dan Ales bakalan sampai di titik ini. Bukan— gue bukan mikir kalau kita nggak deserve sampai di tahap ini. Yang gue maksud adalah ternyata gue bisa. Untuk ukuran orang yang nggak terlibat dalam sebuah hubungan dan sekalinya komitmen bisa sampai tunangan gue pikir itu salah satu biggest flex yang gue punya. Iyalah, siapa juga yang nggak bangga sama diri sendiri bisa bikin anak orang naruh kepercayaan masa depannya ke gue?
Am I ready for the next step? That's obvious. Entah kenapa gue amat sangat excited buat akhiri skenario singkat ini dan beralih ke sebuah lembaran baru dan memulai cerita hidup yang sesungguhnya.
Kalau dipikir-pikir gue terlalu naif nggak sih? I do understand kalau sebuah pernikahan bukanlah berbicara soal seks dan cinta. Daripada ngomongin soal desire yang nggak ada habisnya, menyatukan dua kepribadian seseorang yang berbeda akan jadi tantangan yang besar nantinya. Sebuah perbedaan yang mencolok dipaksa untuk duduk di satu tempat yang sama untuk memahami satu sama lain agar langkahnya tetap selaras.
"Lo nggak takut, Yan?" Gue menoleh singkat kearah Davin lalu kemudian kembali menenggak Jack Daniels milik gue.
"Takut apa?"
"Pernikahan. Maksud gue, gue tahu lo mampu secara finansial dan juga fisik, tapi mental lo? Married life it's not easy as you think, Man." Gue terkekeh kecil ketika mendengarnya. Gue jadi ingat obrolan gue sama Alex beberapa hari yang lalu dengan topik yang sama. Oh ya tentu aja adik gue yang satu itu punya kekhawatiran yang serupa.
Tapi yang menarik dari obrolan gue dan Alex waktu itu adalah, gue jadi tahu kalau dia ternyata nggak percaya sama pernikahan. Kaget? Ya tentu. Gue bahkan harus mastiin beberapa kali dia nggak ngelantur pada saat itu. He doesn't believe in marriage. Dan jujur aja, dari dulu gue nggak pernah paham sama masalah percintaan dia yang kelihatan normal-normal aja tapi terkesan aneh. Alex sering kali gonta-ganti pasangan dan kalau gue tanya kenapa alasannya, jawaban bosan akan jadi langganan. Seolah dia selalu menempatkan diri sebagai si brengsek padahal ada alasan lain dibalik semua itu.
"Gue juga nggak sebego itu buat lamar Ales kalau belum siap kali, Vin. Kayak yang lo bilang tadi, pernikahan nggak semudah kelihatannya, gue setuju. Sebenarnya pacaran sama nikah nanti nggak ada bedanya. Ales tetap temenin gue, support karir satu sama lain, semua hal yang kita lakuin selama pacaran bakalan tetap sama. Cuma yang beda adalah, gue udah milih dia. Gue udah milih dia buat ngelakuin semua kegiatan itu sama gue sampai akhir hidup kita, dan bukan orang lain."
***
Alessia sedikit terperanjat kaget ketika sebuah gedoran pintu membuyarkan lamunan gadis itu. Ia buru-buru turun dari atas kasur untuk memastikan siapa yang mengganggu ketenangannya di jam seperti ini.
"Hey, Al." Sapa Davin sambil tersenyum kaku begitu gadis itu membukakan pintu.
Tanpa menunggu tanggapan gadis didepannya ini, Davin langsung berjalan masuk dengan susah payah karena sibuk membantu Damian berjalan karena terlalu mabuk.
Tatapan Alessia berubah khawatir karena ia tidak pernah melihat Damian mabuk separah ini. "Is he alright?" tanya gadis itu bergantian menatap Davin yang terlihat terengah-engah karena kewalahan membantu Damian berpindah ke kasur.
"As you can see." jawab Davin sambil berkacak pinggang.
Alessia menyodorkan satu gelas air minum kepada Davin yang langsung disambut baik oleh laki-laki itu. "Thanks, Al."
Kadar toleran alkohol Damian bisa dibilang tidak terlalu tinggi dan juga rendah. Damian jarang sekali terlihat semabuk ini, dan hal itulah yang membuat Alessia sedikit khawatir.
"I got to go." ujar Davin sambil kembali menyerahkan gelas minumnya itu kepada Alessia. "Makasih, Vin."
Sepeninggalan Davin beberapa saat lalu hanya dimanfaatkan Alessia untuk diam sambil menatap sosok laki-laki disampingnya ini. Wajah teduh milik Damian ketika tertidur membuat gadis itu lega.
Posisi Alessia masih sama, yaitu duduk di samping Damian yang terlelap dengan tangannya yang sibuk membelai lembut rambut dan juga wajah Damian secara bergantian. Ketika Alessia hendak beranjak, tiba-tiba pergelangan tangan gadis itu ditahan oleh Damian.
"Yan? Are you awake?" Tidak ada jawaban yang diberikan Damian karena mata laki-laki itu masih setia terpejam, sebelum akhirnya Damian menarik tangan Alessia lebih kuat hingga tubuh gadis itu jatuh di atas tubuhnya.
"Damian what are you—"
Alessia seketika dibuat speechless ketika tiba-tiba Damian menindih tubuhnya hingga posisi mereka sekarang jadi terbalik. Damian masih diam tak bersuara yang mana membuat Alessia ikut diam pasi.
Tangan Damian bergerak untuk melepas pakaiannya sendiri yang seketika membuat gadis dibawanya ini menelan ludahnya dengan susah payah. Alessia mengalihkan tatapannya kearah samping ketika wajah Damian mulai mendekat. Bau alkohol yang begitu khas itupun menusuk hidung Alessia ketika bibir Damian mulai menyapu leher jenjang miliknya. Alessia terdiam dan memejamkan mata ketika laki-laki itu mulai berani turun kearah dadanya.
"Damian, stop. Please..." Ajaibnya Damian langsung menghentikan aktivitasnya itu lalu menatap Alessia dengan matanya yang sayu.
"Let's stop here. Aku nggak mau kalau kamu lagi mabuk." jelas Alessia yang kemudian dibalas berupa anggukan kecil Damian yang entah kenapa terlihat lucu di mata gadis itu.
Damian turun dari posisinya kearah tempatnya semula, menarik tubuh Alessia untuk mendekat dan bersandar di dada telanjang miliknya.
"Geez, I regret it now. Shouldn't drink and have a nice night with you." ujar Damian yang membuat Alessia terkekeh kecil.
Mereka tidak sesering itu melakukannya selama dua tahun menjalin hubungan. Daripada seks, Damian lebih suka menghabiskan waktunya dengan Alessia untuk mengobrol banyak hal atau sampai batas ciuman saja. Tapi kadang seks memang diperlukan ketika mereka sama-sama butuh.
"Al," Alessia bergumam singkat lalu sedikit mendongak. "Have you ever having sex with someone before?"
Entah kenapa pipi Alessia seketika menjadi panas ketika topik pembicaraan mereka menjadi seperti ini.
"No. You're my first." jawab Alessia yang membuat Damian seketika terdiam.
Damian kembali bergerak tidak nyaman dan mengubah posisinya menjadi duduk bersila di samping Alessia yang sedang berbaring.
"Even your ex boyfriend never did? I mean you guys almost fourth years together. Is he actually gay or never felt desire?"
Alessia tertawa karena laki-laki disampingnya ini terlihat marah, dan hal itu menurutnya hal yang aneh.
"Nggak semua orang yang pacaran harus berhubungan seks kan? Aku juga nggak lihat kalau nggak ngelakuin seks itu salah." jelas Alessia.
"Why do I look like I'm the villain here? I mean, I took your virginity on my birthday. And you never told me that it was your first time."
Damian hanya mampu mengerutkan alisnya ketika perkataannya itu hanya mampu dibalas berupa tawa oleh Alessia. Ia jadi berpikir kalau sebelumnya Alessia memang berniat untuk menjaga hal berharganya itu hingga menikah, sebelum dirinya yang egois ini datang.
"Are you feeling guilty?" tanya Alessia. "Are you?" tanya Damian kembali tanpa menjawab pertanyaan gadis itu.
"We did it with a consent. So, the answer is no." jawab Alessia mematahkan kekhawatiran laki-laki itu.
"Yeah?" Alessia mengangguk.
Damian kembali mendekat kearah gadis itu untuk kemudian menyatukan bibir mereka. Ciuman itu semakin panas ketika tangan Alessia berpindah untuk meremas rambut belakang Damian.
"Don't ever do that with someone else. You're mine. Only mine." ujar Damian posesif lalu kemudian kembali menyambar bibir ranum Alessia tanpa mempedulikan gadis itu yang belum cukup menghirup banyak udara setelah ciuman awal.
He's never addicted with anything before. But everything completely changed when Damian met Alessia.
Everything about her was so addictive to Damian. her lips, her smile, her smell, everything. Feels so addicting that makes him going crazy.
Damian mengerjapkan matanya beberapa kali ketika ia tidak melihat sosok Alessia di tempat tidur. Laki-laki itu melihat sekeliling dan mengumpulkan kesadarannya sebelum suara senandung dari arah kamar mandi membuat laki-laki itu beranjak.
Langkahnya sedikit semboyan akibat efek alkohol yang ia tenggak semalam. Damian beberapa kali mengerjapkan matanya sebelum akhirnya berjalan mendekat kearah kamar mandi lalu terdiam sesaat ketika siluet tubuh polos milik Alessia nampak dari balik kaca yang buram.
"Oh My God! You scared me!" Seru Alessia dan dengan reflek membalikkan badannya hingga kini memunggungi laki-laki itu.
"Damian what are you doing here?! Aku lagi mandi, please keluar sekarang!"
Damian tidak mendengarkan instruksi Alessia dan lebih memilih untuk menyalakan shower yang mati. Ia juga ingin mandi. Dan juga sedikit pemanasan.
"Turn away." ujar Damian yang membuat Alessia seketika menjadi kaku di tempat. Badannya terasa begitu panas karena ia benar-benar telanjang bulat sekarang ini.
"No! I'm naked!"
Jantung Alessia berdegup semakin tak karuan ketika tubuh Damian yang setengah telanjang itu semakin mendekat kearahnya.
"It's getting cold, Al." ujar Damian masih mencoba berusaha agar Alessia mau menatapnya dengan berjalan semakin mendekat hingga tubuhnya menempel pada punggung polos gadis itu.
"I know." jawab Alessia singkat.
"I'm sober." lanjut Damian kemudian setelahnya.
Alessia membalikkan badannya dengan kaku dibawah guyuran air shower yang masih menyala di atas kepala mereka. Ia menutupi payudara miliknya dan juga bagian bawahnya dengan kedua tangannya secara susah payah.
Kepalanya masih setia menunduk karena rasa malu yang luar biasa. Alessia yakin pipinya kini begitu merah seperti tomat rebus.
Damian mendekat, menarik tubuh polos itu masuk kedalam pelukannya. Merasakan dinginnya tubuh Alessia dibawah guyuran air.
"Can I?" tanya Damian sedikit berbisik yang kemudian dijawab berupa anggukan kecil gadis itu.
Tangan Damian dengan reflek mengangkat tubuh Alessia lalu menggendongnya ala bridal menuju kasur. Damian dengan cepat melucuti celana bagian bawahnya hingga kini mereka sama-sama telanjang bulat.
Bibir gadis itu terasa begitu kelu karena perasaan malu yang melanda. Bahkan ketika bibir Damian mulai bermain-main di bagian leher miliknya, hanya erangan kecil yang mampu lolos dari bibir Alessia.
His lips moved to Alessia's neck and she tilted her head to give Damian more access and he took the opportunity to mark her with open-mouthed kisses, his fingers playing with her nipples.
"Damian, Ahhh—"
Tidak sampai situ bibir Damian kembali beraksi dengan ikut mencicipi payudara Alessia. Menyecapnya lalu memainkan sisi kirinya menggunakan jemari lentiknya.
Tubuh Alessia bergerak semakin tidak karuan ketika tangan Damian bermain di bagian bawah sana.
"You're doing amazing, Al."
He moved in and out in a slow but deep manner, both feeling completely lost in that new feeling. Their gazes met, chests heaving up and down.
Damian pull his head away from her so that he could look at her, and smirked when he noticed her pleased expression.
"Damian, please—" She moaned, hands caressing his pecs up to his shoulders, slowly.
Damian kembali mencium bibir Alessia dalam sebelum akhirnya masuk kedalam permainan yang sebenarnya.
"It's okay, you were doing good. You can do it." ujar Damian lalu memasangkan kondom pada kemaluannya. Ia akan terus bermain aman karena tidak ingin mengambil risiko.
Laki-laki itu memposisikan dirinya tepat didepan kewanitaan Alessia yang sudah begitu basah. Menggesekkan kemaluannya dengan pelan.
"Ahh, please..." Erang Alessia dengan frustasi.
"Please what? Use your words honey. I'm not gonna judge you." jawab Damian masih terus memperhatikan gadis dibawahnya ini.
Melihat ekspresi Alessia yang dipenuhi oleh gairah membuat libido Damian naik dua kali lipat. Ia melihatnya, ekspresi membutuhkan di wajah Alessia yang hampir membuatnya kehilangan akal sehatnya.
"Please, fuck me..." jawab Alessia dengan suara bergetar karena perasaan malu yang luar biasa. Ia tidak tahu lagi sudah berapa kali harga dirinya jatuh seperti ini didepan Damian.
"Fuck," Mata Damian seketika menggelap. With his one hand, he made her wrap one of her legs around his waist.
He pushed himself inside, their breaths hitching as his cock streched her inner walls.
Tubuh Alessia melengking ketika Damian mulai bergerak keluar masuk yang membuatnya hampir dibuat gila.
"Ahhh, Damian—"
Alessia menarik leher Damian untuk mendekat kearah wajahnya, lalu mencium bibir laki-laki itu lebih dahulu. Damian menyambutnya dengan respon yang lebih ganas dengan bagian bawah mereka yang masih beradu.
Damian bergerak semakin cepat ketika ia merasakan gejolak yang luar biasa semakin menghampirinya.
"Damian I—"
It only took a few more trusts for them to let out moans of pleasure, bodies shuddering and shrinking before releasing the tension.
"Ahhh..."
They go back to doing it repeatedly until they reach orgasm which brings them to extraordinary pleasure.
***
Mereka tidak mempedulikan jadwal hari ini bersama yang lain karena masih sibuk bergulat dengan nafsu beberapa saat yang lalu. Kini gadis itu tengah merajuk dan tidak mau berbicara kepada Damian.
"Keluar dong, kamu mau sampai kapan di kamar mandi terus? Nanti kamu masuk angin." ujar Damian yang mulai bingung dengan tingkah Alessia yang tiba-tiba.
"Makanya kamu keluar dulu! Aku nggak mau lihat kamu!" seru Alessia dari dalam kamar mandi.
Ia benar-benar luar biasa malu ketika diingatkan soal kegiatan panas mereka tadi. Bahkan untuk menatap Damian saja gadis itu kembali dibuat ciut.
"Ini aku mau ngomong loh. Masa kamu di dalem gini sih." Alessia tidak merespon dan tetap diam.
Damian yang mulai kesal dan khawatir pun akhirnya menyerah. Ia menghela nafas panjang kemudian memilih untuk keluar dari dalam kamar mereka.
Ketika suara Damian sudah tidak lagi terdengar, Alessia pun memilih untuk keluar karena ia hampir mati kedinginan.
Langkahnya seketika terhenti ketika ia melihat secarik kertas dan juga baju ganti dan juga satu nampan sarapan sudah rapi tertata di atas kasur mereka.
"Maaf ya kalau hari ini aku bikin kamu ngomong kata-kata yang buat kamu malu. I don't know what happened to me since yesterday, but I'm truly sorry. I won't do it again. Please, take some rest and eat your breakfast. I'll come back soon. I love you, sayang." — Marini
Dada Alessia seketika terasa begitu menghangatkan ketika selesai membaca kalimat terakhir.
She's lucky to have someone like him. He's mine, only mine.
23 notes
·
View notes
Text
Ready to fight

cw // heavy make out , soft dom
Damian
Menurut gue komitmen dalam hubungan itu nggak semudah membalikkan telapak tangan. Ketika lo sepakat untuk berada di suatu hubungan, godaan dari dunia luar akan semakin bikin lo ketar-ketir ketika lo menganggap kalau komitmen hanya sekedar ikatan nggak berarti.
Well, gue emang nggak pernah dalam sebuah komitmen sebelumnya, karena itu gue selalu bilang ke Alessia untuk terus mengedukasi gue ketika ada hal-hal yang melenceng ditengah komitmen yang kita jalanin.
Pacaran tuh komitmen nggak sih? Tergantung. Iya, tergantung— ketika lo mengharapkan hubungan itu akan berlanjut kearah pernikahan maka bisa dibilang hal itu adalah sebuah komitmen. Tapi kalau lo berada di suatu hubungan dan hanya sekedar untuk memuaskan nafsu belaka maka hal itu bukanlah komitmen.
Diumur segini gue paham betul kalau orang-orang akan bertanya kapan gue akan lanjut ke hubungan yang lebih serius. Nggak salah, cuma kadang memang lama kelamaan bikin gue risih. Kayak hari ini contohnya waktu selesai pemberkatan Mas Theo sama istrinya, gue dicecar habis-habisan sama pertanyaan yang sama dari umur gue dua puluh empat tahun hingga sekarang yang mau menginjak dua puluh delapan. Sebenarnya gue lumayan udah kebal, cuma kayaknya hal ini nggak berlaku buat cewek di samping gue yang tiba-tiba jadi diam.
"You good?" tanya gue ketika akhirnya kita berdua berhasil bebas dari kerumunan keluarga besar gue.
Dia kelihatan lumayan kaget karena tahu kalau gue mengikutinya sampai toilet. Sejak pacaran sama dia, gue jadi hafal kalau Alessia emang bukan tipe orang yang banyak bicara. Dia lebih banyak mendengarkan daripada berujar karena selalu ada keraguan dalam hatinya untuk mengutarakan isi kepalanya yang berakhir menyakiti orang lain. Dia akan berbicara ketika dia benar-benar ingin.
"Lo kenapa di sini? Bukannya tadi masih ngobrol sama Mas Dani?" Lagi-lagi dia akan selalu mengalihkan topik ketika mencoba menutupi sesuatu.
"I'm looking for you."
Gue menyandarkan tubuh gue pada pintu kamar mandi sambil menyilangkan tangan didepan dada. Menunggunya dengan sendiri menjelaskan apa yang dia rasakan.
"Sorry, gue cuma agak sensitif sama pertanyaan-pertanyaan tadi."
Pernikahan Mas Theo bakal di adain di dua tempat yang berbeda. Pertama Jakarta yang mana itu hari ini, lalu lusa di Bali yang rencananya bakal di gelar sedikit tertutup karena memang dikhususkan untuk kerabat dekat aja.
Dan gue semakin bingung ketika dia juga jadi salah satu orang yang paling sibuk dengan persiapan pernikahan Mas Theo bareng Nyokap dan Ellen istrinya Erland. Kalau dipikir-pikir juga selama persiapan itu dia pasti udah dicecar pertanyaan yang sama secara berulang hingga sampai bikin dia bete kayak gini.
"You want to talk about it?" Dia menggeleng yang kemudian hanya gue balas dengan senyuman. Gue menarik tangannya untuk kembali ke ballroom hotel mengikuti serangkaian acara yang masih berlangsung. Bedanya gue memiliki untuk mengajak dia bergabung bersama Alex dan juga teman-temannya karena gue tahu mereka nggak akan bikin moodnya tambah jelek.
...
Alessia
Gue selalu ngerasa impresif ketika melihat orang hebat yang pernah gue temui. Apalagi ketika orang tersebut memberikan impact yang luar biasa terhadap orang lain. Nadine Halderman adalah salah satunya. Waktu pertama kali dengar siapa orang yang akan dinikahi oleh Pak Direktur, mulut gue menganga lebar karena nggak percaya. Gue cuma kagum gimana sosok Pak Direktur bisa kenal mantan Puteri Indonesia yang notabene levelnya luar biasa. Tapi setelah dipikir-pikir mereka juga berada di level yang sama karena Pak Direktur juga orang yang cukup berpengaruh di dunia medis.
Setelah resepsi di Jakarta dan hari ini di Bali, akhirnya rasa kangen gue sama tempat ini bisa terobati. Mungkin sekitar dua bulan lebih gue nggak singgah karena kesibukan gue yang nggak bisa di tinggal, apalagi Damian juga mulai aktif kesana-kemari karena Grand Prix yang udah dimulai lagi.
"Lo sama Damian udah jalan berapa tahun sih, Al?" Gue menoleh singkat kearah Ellen sambil ngambil makanan. Gue reflek mengalihkan pemandangan kearah sekeliling setelahnya untuk mencari sosok Damian yang entah pergi kemana.
"Dua tahun bulan kemarin sih. Lo sendiri dulu sama Erland pacaran berapa lama sebelum nikah?"
Kita kembali ke tempat duduk semula sambil melanjutkan obrolan dan juga menikmati suara indah penyanyi plus pemandangan pantai Seminyak di malam ini. Gue suka konsep pernikahan Mas Theo yang terkesan sederhana tapi begitu sakral. Dan mengenai vibesnya yang kekinian abis menambah nilai plus.
"Lumayan singkat sih, enam bulan." jawabnya yang bikin beneran kaget. Enam bulan langsung nikah?
Umur pernikahan Erland dan Ellen menurut gue cukuplah lama. Tapi herannya di empat tahun umurnya itu mereka belum punya momongan. "El, sorry banget kalau pertanyaan gue cukup menyinggung lo. Kalau boleh tahu kenapa kalian belum mau punya anak?"
Dia nggak tersinggung dengan pertanyaan gue dan malah justru tertawa. "Apaan sih lo? Mana ada menyinggung, gue udah biasa ditanyain beginian." katanya sembari mengusapkan makanannya kedalam mulut.
"Erland sama gue emang belum mau program hamil aja. Kayak yang gue bilang tadi karena kita pacarannya singkat, akhirnya kita mutusin buat memahami satu sama lain dulu, ngabisin waktu berdua. Intinya nggak ada hal yang harus dikhawatirin, we're fine. Dan good news nya adalah kita mulai bahas program anak akhir-akhir ini." jelasnya yang membuat gue pun bernafas dengan lega.
"You know what, ketika lo belum siap dalam suatu hal dan lo terus memaksakan keadaan dengan meyakini diri bahwa lo telah siap menjalani itu, sebenarnya itu yang akan menghancurkan lo nantinya." Dia menjeda ucapannya yang membuat gue penasaran setengah mati dengan apa yang akan Ellen katakan selanjutnya.
Ellen menatap gue sejenak lalu tersenyum tipis yang gue nggak tahu artinya apa.
"Gue tahu kok sekarang lo lagi nunggu kepastian dari Damian. Cuma lo juga harus paham kalau sebenarnya dia juga lagi nunggu kesiapan lo. He's ready to fight as long as you told him that you're ready."
...
"Heh," Alessia sedikit terperanjat kaget ketika tiba-tiba Damian muncul dari balik pintu kamar miliknya dengan senyum tanpa dosa yang terlihat begitu menyebalkan di mata gadis itu.
Acara malam ini berjalan begitu lancar. Semua orang senang dan berbahagia karena pernikahan anak tertua di keluarga ini. Terlebih kedua orang tua dan juga dua saudara Theodore yang tak henti mengumbar senyum.
"Lo pasti udah gila jam segini datang ke kamar gue." celetuk Alessia dengan tatapan penuh selidik begitu sosok Damian berjalan masuk kedalam kamar gadis itu. Bagaimana tidak, jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari tapi Damian malam memilih kelayapan.
Tentu saja kali ini mereka tidur di tempat yang terpisah. Damian sempat ingin melayangkan protes kepada Kakak Theodore karena tidak membuatnya dan Alessia berada di satu villa yang sama dan justru menempatkannya bersama Alex.
Laki-laki itu berjalan dengan santai menuju sofa lalu mendudukkan dirinya di sana hingga posisi mereka pun saling berhadapan dengan Alessia yang masih enggan untuk beranjak dari kasur miliknya.
"I miss you." ujar Damian yang membuat Alessia pun berdecak sebal. Damian yang melihatnya pun hanya mampu terkikik geli karena ia sudah hafal dengan tanggapan kekasihnya itu.
Gadis itu beranjak dari tidurnya untuk kemudian duduk mendekat di samping Damian. "Lo kenapa belum tidur hmm?" tanya Damian sambil mengusap rambut milik Alessia dengan lembut.
"I have a lot of thought in my head." Alessia memposisikan kepalanya untuk tidur di atas pangkuan Damian yang langsung disambut baik oleh laki-laki itu.
Tangan Damian bermain-main di area rambut Alessia ketika gadis itu mulai membicarakan harinya. Ia beberapa kali tersenyum menanggapi cerita Alessia yang sering kali membuatnya merasa terhibur. Damian merasa harinya tidaklah lengkap ketika belum mendengar cerita keseharian Alessia yang selalu ada saja yang meresahkan gadis itu.
Alessia tiba-tiba kembali beranjak yang membuat Damian pun menghentikan aktivitasnya. "Kak Nadine cantik banget nggak sih? Udah baik, pintar, cantik, apa lagi coba kurangnya dia?"
Damian sangat setuju dengan pernyataan Alessia barusan. Sebenarnya laki-laki itu lumayan kaget ketika Kakak dan juga Kakak iparnya dulu menjalin hubungan cukup lama hingga akhirnya menikah. Mungkin yang menyebabkan Damian dan Alex terkejut adalah karena Theodore baru memperlihatkannya di publik beberapa bulan sebelum memutuskan untuk meminta restu dari orang tua mereka. Bahkan bodohnya Damian pernah berpikir jika Kakaknya itu tidak normal karena terlalu lama melajang hingga umur tiga puluh dua tahun.
"Mhmm, also don't you think she's hot?" ujar Damian dengan jahil yang sukses mendapatkan hadiah cubitan di bagian pinggang miliknya yang membuatnya mengaduh kesakitan.
"Sakit!" serunya sambil menahan pergelangan tangan Alessia yang hendak melayangkan cubitan lainnya. "Kebiasaan banget sih suka nyubit!" Protes Damian yang membuat Alessia semakin dibuat sebal.
"Ya abisnya apa coba maksud kata-kata lo barusan?!"
Damian semakin tersenyum menang ketika gadis disampingnya ini dilanda rasa cemburu. Ia begitu senang ketika Alessia mulai menunjukkan sifat aslinya. Sifat akan takut merasa tersaingi dalam suatu hal ataupun sifat egois miliknya yang tidak ingin kehilangan sesuatu. Menurut Damian hal-hal seperti itu membuat Alessia terlihat begitu sexy dan semakin menarik.
Laki-laki itu berdehem singkat lalu kemudian memiringkan tubuhnya hingga menghadap sepenuhnya pada Alessia. Damian menyanggahkan tangannya pada kepala kursi agar ia bisa mengamati wajah Alessia yang sedang cemberut.
"Heh," Alessia tidak menggubrisnya dan justru malah mengalihkan pandangannya ke arah lain agar tatapan mereka tidak saling bertemu.
"Should I go now?" tanya Damian sambil berancang-ancang akan beranjak dari duduknya yang buru-buru ditahan oleh gadis itu, "Hiihhhh, ya udah sana pergi! Nggak usah ke sini lagi." katanya tapi dengan tangan yang masih setia meremas ujung kaos milik Damian yang membuat laki-laki itu sukses terbahak.
Damian kembali duduk pada posisi semula dengan perasaan yang luar biasa senang. Tidak sampai di situ, Damian tiba-tiba menarik tubuh Alessia untuk duduk di atas pangkuannya yang membuat gadis itu sukses dibuat terkejut. "Damian, what—"
"Shtttt..."
Bibir Alessia seketika bungkam ketika atmosfer di ruangan ini perlahan berubah. Tatapan mata laki-laki didepannya ini juga menjadi berbeda yang membuat nyalinya tiba-tiba menciut.
"Look at me." Damian mengangkat dagu milik Alessia dengan jemarinya hingga tatapan mereka pun akhirnya beradu.
Alessia menggigit bibir bawahnya dengan gugup ketika sisi lain Damian mulai mendominasi. Jantungnya berdegup dengan kencang sampai-sampai ia berpikir jika laki-laki didepannya ini mampu mendengarnya.
Damian mulai mendekat, mengikis jarak diantara mereka. Menarik tengkuk Alessia untuk semakin dekat dengan wajahnya lalu kemudian menyatukan bibir mereka. Laki-laki itu tidak langsung bergerak agresif karena ia masih sibuk menyecap bibir ranum Alessia dengan hati-hati.
Tangannya bergerak untuk melepas kaos polos miliknya sendiri hingga menampakkan tato berukuran kecil dibagian collarbone miliknya yang terlihat begitu cantik di mata Alessia.
Jari-jemari lentik milik gadis itu berjalan untuk menyentuh tato bergambar capung itu dengan penuh hati-hati seolah ia takut sentuhannya akan menyakiti Damian. "May I ask you something?" tanya Alessia.
"Go ahead."
"Why dragonfly?" lanjut Alessia yang sampai sekarang masih tidak paham dengan arti daripada tato milik Damian.
Damian mengusap pipi Alessia lembut lalu kemudian tersenyum sebelum akhirnya menjawab rasa penasaran gadis itu.
"Happiness, purity and speed. Three hopes that I wish will not leave me."
Ia tidak semena-mena memilih gambar apa yang akan terlukis di bagian tubuhnya. Damian memilih Dragonfly karena menurutnya hewan kecil itu memiliki tiga poin yang menggambarkan dirinya selama ini.
Kebahagiaan, ia berharap setelah apa yang terjadi dengan hidupnya belakang ini hanya kebahagiaan lah yang akan mendominasi. Kemurnian, ia ingin selalu dikenal oleh orang lain sebagai Damian yang terlahir murni untuk mewujudkan cita-citanya. Kecepatan, ia berharap bisa melaju secepat capung di atas lintasan suatu saat nanti.
"It's beautiful." ujar Alessia sambil tersenyum tipis.
Jari-jemari Alessia kembali menyentuh tato itu yang membuat mereka berdua pun kembali terdiam. Gadis itu menatap wajah Damian cukup lama, mengamati setiap bentuk wajah laki-laki itu yang terlihat begitu sempurna. Mulai dari alis, mata, hidung hingga bibir ranumnya. Dengan berani Alessia menyentuh bibir bawah Damian dengan ibu jari miliknya yang membuat mata laki-laki itu seketika menggelap.
Alessia mencium Damian lebih dahulu yang kemudian dengan senang hati dibalas oleh Damian. Bibir Damian menyunggingkan senyum kecil ketika melihat keberanian Alessia yang membuatnya hampir menggila.
Lidah laki-laki itu bermain dengan sedikit lebih egois dengan membelit milik Alessia hingga membuat gadis itu kewalahan. Gadis itu mengalungkan tangannya pada leher Damian hingga posisi mereka terlihat semakin intim.
"Hnghh..."
Cecapan demi cecapan yang beradu membuat Alessia semakin tidak paham dengan dirinya sendiri. Ia merasa ada dorongan lain dalam benaknya yang selalu menginginkan lebih ketika Damian mulai bermain sedikit lebih kasar dari biasanya. Ia beberapa kali mengutuk dirinya sendiri karena ikut hanyut dalam ciuman itu.
Darah Damian terasa begitu berdesir ketika tangan Alessia mulai meremas rambut miliknya ketika bibirnya mulai bermain dengan bibir bawah milik gadis itu.
Tangan Damian bergerak kebawah untuk membuka tiga kancing baju tidur milik Alessia. Ciuman mereka semakin memanas ketika Damian mulai bergerak kearah leher gadis itu, lalu semakin turun hingga dada milik Alessia.
"Damian—" Alessia membekap mulutnya ketika laki-laki itu meninggalkan bercak-bercak kemerahan di area dada miliknya.
Damian menghentikan aktivitasnya sejenak untuk melihat kondisi Alessia yang kini terlihat begitu berantakan di atas pangkuannya dengan kancing baju yang hampir terlepas sepenuhnya serta tanda-tanda kepemilikan miliknya yang mulai memerah.
"Can i marry you?" ujar Damian dengan tiba-tiba yang membuat gerakan Alessia yang hendak turun dari pangkuan laki-laki itupun terhenti.
"Pardon me?"
Laki-laki itu tidak langsung mengulangi pertanyaannya karena masih sibuk mengulangi pertanyaannya yang sama pada dirinya sendiri mengenai keputusan yang barusan ia ambil.
"It's not funny, Damian." ujar Alessia dengan tatapan seperti hendak menangis.
Damian menahan pergelangan tangan gadis itu ketika Alessia hendak kembali beranjak dari pangkuannya.
"I'm not joking. I've been thinking about this long time ago. And until the end my decision can not be changed. I want to marry you, Al. Only you."
Alessia menutup wajahnya dengan tangan ketika air matanya tiba-tiba terjun bebas.
"Loh, kok nangis?" Gadis itu mulai terisak ketika Damian menarik tubuhnya masuk kedalam pelukan laki-laki itu. Damian mengusap punggung Alessia perlahan ketika suara tangisnya semakin kencang.
"I thought you'll not gonna say that..."
Senyum laki-laki itu mengembang ketika mendengarnya. Tangan Damian berjalan untuk mengusap air mata Alessia lalu mengancingkan kembali baju milik gadis itu kemudian mencium kening dan kembali memeluknya.
Ketika Alessia selalu menganggap jika ialah yang membutuhkan Damian, maka laki-laki itulah yang paling membutuhkannya. Sejak hari dimana gadis itu kembali datang di dalam hidupnya, Damian berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak akan lagi meninggalkannya.
Alessia selalu diibaratkan segalanya bagi Damian. Kepercayaan dirinya yang telah hancur secara perlahan-lahan mulai dibangun kembali olehnya berkata kehadiran gadis itu. Ketika dirinya merasa tidak layak untuk kembali merasakan kebahagiaan setelah hari itu, disitulah Alessia datang padanya dan menyadarkan dirinya bahwa ia tetaplah manusia biasa. Ia tetaplah manusia yang sering berburuk sangka, berbuat kesalahan dan masih mengharapkan kebahagiaan dengan semestinya.
"I'm not gonna promise to give you everything, because I don't know what's gonna happened to us in the future. But I promise to give you the best of myself and ask of you no more than I can give. I promise to respect you as your own person and to realize that your interests, desires and needs are no less important than my own. I promise to love you in good times and in bad. Completely and forever."
20 notes
·
View notes
Text
Good parents

Damian
Being in relationships with someone sometimes makes everything messed up. Gue nggak mengatakan kalau kata-kata itu benar sepenuhnya, karena harus gue akui memang ada benarnya. Kadang kala kita nggak pernah tahu hal gila apa yang mendasari perbuatan kita atas nama cinta. Cinta itu apa ya, complicated. Semakin lo mencoba memahami apa itu cinta, semakin lo bingung apa makna dari cinta menurut diri lo sendiri. Mungkin secara harfiah semuanya jelas kalau cinta itu kelihatan indah, tapi bagi orang mungkin cinta itu juga masuk dalam definisi lain, seperti pengorbanan misalnya?
Satu hal gue tahu tentang pengorbanan adalah nggak semua orang bisa melakukannya ketika mereka nggak benar-benar tahu arti daripada cinta.
"Damian kalau udah gede mau ketemu Valentino Rossi."
Gue masih ingat kata-kata itu terucap ketika gue menginjak umur sepuluh tahun, duduk didepan televisi menyaksikan juara dunia kebanggaan gue kembali berduel di atas aspal memperebutkan gelar barunya. Hal paling satisfied ketika nonton pertandingan balapan adalah waktu duel overtake di setiap tikungan yang bikin jantung mau berhenti. Belum lagi kalau ada drama karena mesin motor, ataupun crash yang bikin gedek waktu lihat. Mungkin bagi banyak orang pertandingan MotoGP generasi sekarang nggak terlalu menarik dibandingkan yang dulu yang kelas rivalnya jauh di atas rata-rata sekalipun mereka satu team. Tapi namanya jaman, kan? Semuanya pasti berubah dan penikmatnya juga bukan hanya golongan mereka-mereka aja. Regulasi pasti ada dan tentunya pasti untuk yang terbaik.
Kecintaan gue terhadap balapan juga butuh banyak pengorbanan. Dan cinta Nyokap ke gue juga merupakan sebuah pengorbanan.
"Yan," gue menoleh kearahnya sejenak lalu kembali menatap batu nisan didepan gue lagi. Menatapnya tanpa rasa bosan seperti yang gue lakukan setiap kali singgah.
Hari ini adalah peringatan setengah tahun kepergian Nyokap. Rasanya masih aneh— Iya aneh. Gue merasa waktu yang diberikan Tuhan kepada gue tidaklah cukup banyak hingga membuat gue merasakan penyesalan yang teramat dalam. Waktu gue terlalu sebentar sampai gue belum sempat melihat senyum lebarnya lagi. Waktu gue terlalu sebentar hingga nggak mengizinkan gue untuk merasakan pelukannya lagi. Dan waktu gue teramat pendek untuk gue kembali mendengar beliau berkata bangga pada gue.
"How's your relationship with your Father?"
Kita beranjak dari pemakaman menuju mobil untuk pergi ke rumah gue. Setelah Grand Prix di Indonesia satu minggu yang lalu, gue pun memutuskan untuk nggak lagi tinggal di Gianyar dan milih buat nempatin rumah gue sendiri di Ubud. Setelah setengah tahun lebih mangkrak, gue pikir ini adalah kesempatan yang pas karena bagaimanapun juga gue harus move on dari kesedihan gue. Gue cuma berharap ini adalah langkah yang tepat dan menerima segala sesuatu yang udah ditakdirkan untuk gue.
"We're quite quick get along. It's a bit awkward actually, yeah it's good so far. Just need a more time and communicate." jawab gue yang dibalas berupa anggukan-anggukan kecil Alessia.
Kalau di telaah sebenarnya sifat Papa dan Mas Theo lumayan mirip. Mereka adalah contoh orang yang sama-sama kaku dan juga punya watak yang keras. Gue mengakui kalau berusaha untuk dekat dengan Papa sama sulitnya waktu gue berusaha dekat sama Mas Theo. Hal yang mungkin nggak terlalu membebani gue adalah bukan hanya gue disini yang berusaha untuk memperbaiki hubungan ini, tapi juga mereka berdua.
Butuh waktu yang nggak singkat karena gue masih sering cek-cok dengan ego gue sendiri mengenai apa yang udah terjadi belakangan ini. Tapi hal baiknya adalah gue belajar memahami perspektif orang lain termasuk jalan pikiran Papa pada saat itu. Papa nggak suka gue balapan, dan beliau mengakuinya. Alasannya cukup klise karena menurutnya balapan punya risiko yang cukup besar seolah memang sedang menantang maut. Dan menurutnya hal itu nggak sebanding dengan hadiah yang didapat dibandingkan harus kehilangan nyawa. Lalu kemudian seiring berjalannya waktu gue dipertemukan dengan Daniel Admaja sebagai bukti bahwa Bokap akhirnya mengaku kalah dengan kegigihan gue.
"Basic sih, cuma apa, ya? Mungkin beliau pernah gagal jadi keluarga atau Ayah yang baik buat lo, tapi beliau nggak gagal jadi orang yang baik."
Kadang gue iri ketika orang-orang begitu mudah melihat kebaikan Bokap sedangkan gue begitu telat menyadarinya. Deep down gue amat sangat haus kasih sayang orang tua sejak Nyokap pergi. Sekalipun ada Mama Ghian yang menempati posisi Nyokap pada saat itu, ada ruang kecil di hati gue yang selalu merasa kurang. Dan rupanya harapan kasih sayang itu ditujukan ke Bokap.
"He is." jawab gue singkat.
Gue berjalan masuk kedalam rumah diikuti oleh Alessia yang mengikuti langkah lebar gue. Sejak kedatangannya pagi ini, dia nggak henti-hentinya berdecak kagum dengan interior rumah ini. Rumah ini udah seratus persen selesai berkata bantuan Erland yang menghandel segalanya selama gue nggak ada. Gue nggak meragukan kinerjanya sama sekali karena gue memberikan tugas ini sepenuhnya kepada dia yang notabene ahli di bidang arsitektur.
"Kata lo kan rumah ini mau kita tinggalin kalau udah nikah. Nah, kalau misal kita putus gimana?" tanyanya tiba-tiba yang bikin alis gue terangkat sempurna.
Terhitung udah dua kali kita putus sejak jadian. Nggak bisa dibilang putus juga sih yang kedua, karena itu murni kegoblokan gue. Dari dua kejadian itu lumayan bikin gue sensi ketika secara random dia bahas masalah putus.
"Nggak bakal. Putus karena apa? We're fine now. Nggak ada hal yang bikin kita selek, kalau lagi berantem sekarang lebih banyak diskusi, lo juga nggak mungkin banget kalau selingkuh. There's no reason we broke up." Sekarang ini gue kelihatan kayak emak-emak yang ngeyel. Bisa dilihat sekarang ekspresi wajahnya yang kelihatan gondok karena gue.
Dia menenggak minumannya itu sampai tandas lalu kembali bergabung di samping gue yang lagi asik goleran sambil mainin hp.
"Yakan gue bilang misal, lo ngerti misal nggak sih, Yan?" tanyanya yang mulai kelihatan kesal. Jujur gue nggak paham poin dari omongan dia yang tiba-tiba bahas masalah ini.
"Gue paham. Cuma gue nggak lihat aja alasan apa yang bikin kita putus. So, please don't bring those topic again, I'm a get irritated." jawab gue sambil mengusap wajahnya lembut lalu kembali fokus bermain game online.
Dia kelihatan nggak puas dengan jawaban yang gue lontarkan yang mana akhirnya membuat gue menghela nafas panjang lalu meletakkan hp gue dan beranjak untuk duduk menghadap kearahnya sekarang.
"I want to add a new rule. Dilarang ngomong hal yang belum tentu bakal kejadian, especially soal putus." Dia hendak melayangkan protes tapi buru-buru gue menahannya karena omongan gue belum sepenuhnya selesai.
"You asked me what if we broke up? Kalau itu yang terbaik what can we do? As long as we're willing to put our ego down a bit and talk about it nicely, kata putus nggak bakal terealisasi. Ngerti sekarang?" Dia mengangguk dengan polos yang bikin senyum gue mengembang.
"Daripada ngomongin soal putus mending diskusi lo mau punya anak berapa." Matanya tiba-tiba membulat sempurna yang kemudian gue sukses dihadiahi berupa cubitan di pinggang gue.
"Apaan sih, kenapa jadi ngomongin anak? Nikah aja belum!"
Dia ini kalau lagi kesal mirip angry bird. Alisnya suka nukik tajam terus matanya jadi sipit dan bibirnya jadi cemberut. Bukannya kelihatan seram malah mirip anak kecil yang ngambek karena nggak dibeliin mainan.
"Ya abisnya mikirin yang negatif mulu. Coba gitu mikirin rencana bahagia." kata gue masih dengan muka jail andalan yang selalu sukses bikin dia kesal berat.
Ini mata gue yang salah atau emang pipi dia jadi kelihatan merah karena malu?
"Pikir aja sendiri!" katanya terus tiba-tiba langsung pergi ke dapur yang bikin gue sukses ketawa terbahak-bahak.
"Baby's Damian sounds good nggak sih?" goda gue kembali tapi sebetulnya adalah pertanyaan yang serius.
Dia yang sibuk mengobrak-abrik kulkas pun kemudian menyerah dan akhirnya mengalihkan atensinya pada gue. Gue menopangkan dagu pada punggung kursi agar bisa mengamatinya dari posisi gue saat ini.
"Genuinely asking, kalau misal Baby Damian nggak mau jadi pembalap kayak lo gimana? Are you gonna force him to follow your dreams?"
Gue nggak langsung menjawab pertanyaannya itu karena masih sibuk mengamati ekspresi wajahnya yang sebelumnya kelihatan kesal berubah menjadi serius dan penuh kekhawatiran.
Gue memilih beranjak dari posisi gue saat ini untuk mendekat kearahnya lalu kemudian mendudukkan diri didekat pantry yang berada didepannya.
"No, It's up to him. Kalau dia tertarik di dunia balap, I'll support him. Same goes if he want to be a doctor like his Mom, I will support him as well. That's good parents gonna do to their child. No matter what."
Karena rasanya akan berbeda ketika kita menjalani hal yang benar-benar kita inginkan dibandingkan dengan yang orang lain harapkan untuk kita lakukan. Pressure yang diberikan juga nggak akan seberat ketika harus memikul cita-cita orang lain untuk kita wujudkan. Karena gue tahu dibalik tekanan itu ada ketakutan besar membuat orang lain kecewa. Dan gue nggak akan membiarkan keturunan gue memikul beban yang nggak seharusnya mereka gendong demi memuaskan hasrat gue.
"Well, ekhem— that's a good answer." katanya sambil kembali pura-pura sibuk yang membuat gue tersenyum kecil.
Gue nggak akan jadi orang tua yang egois. Karena gue tahu semua keinginan orang tua nggak selamanya akan jadi yang terbaik untuk anaknya, tapi support orang tua akan membawa hasil yang baik untuk masa depan mereka.
"So, maybe twins sounds good?"
"Damian!!!"
10 notes
·
View notes
Text
Deja Vu

Alessia
"Why you didn't tell me about this?"
Damian menoleh kearah gue ketika bucket bunga itu gue taruh didekat batu nisan milik Nyokapnya. Rasanya aneh— benar-benar aneh ketika melihatnya lagi setelah sekian lama. Gue tahu Damian menghilang dari sosial medianya selama empat bulan ini. Dan setelah dia berpamitan pada gue hari itu, nggak ada lagi satu notifikasi pun dari dia. Lalu kemudian tiba-tiba dia muncul di hadapan gue lagi setelah penantian lama gue. Untuk sesaat gue pikir kejadian beberapa jam yang lalu cuma haluan gue semata, karena perasaan kangen gue padanya semakin menjadi ketika menginjakkan kaki di Bali. Tapi ternyata semua persepsi itu salah ketika sosoknya benarlah nyata.
Selama perjalanan pulang dari Ubud menuju Gianyar, gue bercerita soal rutinitas gue yang bolak-balik Jakarta-Bali tanpa sepengetahuannya. Mengingat selama ini gue meminta Alex untuk tutup mulut mengenai hal ini. Dan gue pikir Alex menepati janjinya itu sampai akhirnya gue menceritakan semuanya sendiri.
"Ya nggak apa-apa. I thought you'll mad because of it. Terus gue takut lo mikirnya gue gangguan lo." jawab gue begitu melihat ekspresi wajahnya yang terlihat lumayan kesal.
At first glance, gue pikir dia bukan Damian waktu di airport. Dengan kulitnya yang kelihatan jadi tan, rambutnya yang memanjang, no shaving, siapa coba yang nggak pangling? Gue nggak mengatakan dia jelek, gue cuma mikir kalau he's been through a lot this time, sekalipun dia jauh dari hiruk-pikuknya dunia. And I feel like, I wanna hug him so bad and tell him that I will never let him go again.
"Emang suka ngaco kalau ngomong. Siapa juga yang ngerasa ke ganggu?" Sekarang ini dia jadi kelihatan kayak anak kecil kalau ngambek. Bibirnya agak sedikit manyun waktu protes mengenai prasangka gue itu.
Yang terlintas di kepala gue saat ini adalah, Damian banyak berubah. Well, kalau sifat nyebelin sih nggak, ya, karena gue tahu itu udah mendarah daging. Maksud gue adalah gue bisa melihat sesuatu yang baru dalam diri dia. Positive wibes-nya juga kerasa banget waktu dia mulai berbicara. And I am glad with it.
"Lo tahu sepengin apa gue ketemu lo setelah hari itu? Fuck, I will never imagine that shit again cause it's fucking horrible. I feel like I wanna jump over the plane then grab your wrist and hug you. I don't wanna go, but I should. I feel like—"
"Shhtt, It's okay... You don't have to explain it. Gue ngerti kok." Potong gue ketika gue merasa dia kelihatan bersalah sejak kejadian hari itu.
Gue mengusap kepala bagian belakang miliknya sambil tersenyum tipis, menghilangkan segala kekhawatiran kalau gue akan marah akan perbuatannya.
Marah? Gue pikir sejak kenal sama dia kata marah punya definisi yang abu-abu di mata gue. Gue selalu ingin marah ketika ngerasa kangen sama dia, gue selalu ngerasa ingin marah ketika sadar kalau hubungan kita memang jauh berbeda seperti orang pada umumnya. Tapi semua marah itu seolah luntur begitu aja ketika gue sadar gue nggak akan bisa marah ke dia. Dan anehnya gue nggak tahu alasannya apa.
Damian menarik tangan gue untuk dia genggam dan cium sebelum akhirnya mengucapkan permintaan maaf yang sebetulnya nggak perlu. "I'm sorry. Harusnya gue nggak langsung ninggalin lo hari itu juga."
Sejak berita Damian menandatangani kontrak dengan team satelit Honda dan akan mulai bertanding sebagai MotoGP rider, gue tahu kepergiannya pada saat itu membawa progres yang cukup baik. Karena apa? Setelah hari dimana mendiang berpulang, dia benar-benar nggak bisa di hubungi oleh siapapun sekalipun oleh Alex yang notabene adiknya sendiri. Lalu kemudian satu bulan berlalu berita itu muncul, yang mana artinya Damian udah mulai membiasakan diri dengan realita didepannya. Dia udah mampu diajak bicara soal akan dibawa kemana karirnya nanti, meskipun gue tahu kondisinya belum stabil.
"Maaf di terima hehe." ujar gue lalu kembali tersenyum kearah dia.
***
Damian
Setelah dipikir-pikir sebenarnya tindakan gue lumayan dikatakan bodoh. Orang yang sok kuat ini mikir kalau dia bisa hidup ketika dihantui rasa kangen. Di satu sisi gue mau terus sama dia, tapi di sisi lain gue ngerasa lebih baik berhenti sementara untuk sembuhin luka ini. I missed her, like a crazy person. And I don't think I could live without her after this. Karena ketika punggungnya itu nampak di indra penghilangan gue, gue sadar kalau ini bakal jadi yang pertama dan terakhir kalinya gue bersikap bodoh lepasin dia.
"Lo nggak mau pulang ke Jakarta?"
Gue membantu dia untuk duduk didepan mobil Alex dengan menggendong tubuhnya. Gue bergabung untuk duduk di sampingnya sambil menunggu matahari sore itu yang hendak kembali terbenam.
"Belum kepikiran sih. Kenapa?" tanya gue sambil menatap side profile miliknya yang kelihatan begitu cantik.
Dia terdiam sesaat seolah tengah memikirkan jawaban yang tepat atas pertanyaannya itu. Sejauh ini nggak ada rencana yang terbesit dalam kepala gue buat kembali ke Jakarta. I don't know, mungkin karena gue udah terlanjur nyaman di sini?
"Ya nggak kenapa-kenapa. Cuma nanya aja." jawab dia dengan wajah yang kelihatan agak cemburu yang kemudian mengundang gelak tawa gue.
"Kok ketawa sih!" Wajahnya yang sebelumnya udah kelihatan kesal itu makin jadi kesal waktu dengar suara gue.
"Bilang aja kalau kangen, kan gampang." kata gue sambil mengacak-acak rambutnya yang bikin dia makin menjadi, "Ihhhh, berantakan, Yannn!"
Tawa gue semakin puas waktu dia memberikan pukulan-pukulan kecil pada lengan gue hingga sebuah cubitan kecil pada pinggang membuat gue mengaduh kesakitan.
"Udah-udah, Iya maaf." ujar gue sambil menahan tangan kecilnya itu yang akan beraksi untuk memberikan cubitan lain.
Her laugh...
Gue udah bilang belum sih kalau tawanya Ales itu candu banget? I don't think it's because she has a good vocal, cuma emang ketawanya merdu banget di telinga.
"Emang kangen! Lo nggak kasihan emang sama gue bolak-balik Jakarta-Bali buat ketemu lo habis ini? Masa buat ketemu pacar harus pakai pesawat?" Caranya berbicara yang menggebu-gebu dan dibuat sok galak itu malah justru bikin dia kelihatan kayak anak SMP baru puber.
"Kan bisa pakai mobil" tanggap gue yang seketika bikin ekspresi wajah dia jadi datar karena sebal. "Ih, lo mah gituuu... Gue lagi serius jugaa..."
Gue kembali tertawa lalu dengan gemas mencubit kedua pipinya itu yang bikin dia makin kesal dan kelihatan bete.
"Iya nanti pulang." Wajahnya yang tadinya cemberut itu tiba-tiba langsung kelihatan sumringah setelah dengar jawaban gue.
"Kapan? Kapan?!" tanyanya luar biasa excited. Gue mengucap pipinya lembut sambil membetulkan posisi rambutnya yang berantakan karena angin yang menerpa.
"Pas Mas Theo nikah." jawab gue yang langsung bikin badan dia lemas seketika. Tawa gue semakin meledak ketika wajah sumringahnya itu balik lagi jadi layu nggak bersemangat. Dengan reflek gue menarik tubuhnya itu masuk kedalam pelukan gue sambil tetap menertawakan tingkahnya.
Alex bilang tanggal pernikahan Mas Theo sudah resmi ditetapkan. Gue lupa tepatnya kapan tapi bisa dipastikan sekitar akhir bulan depan. Which is, lumayan ngepas juga sama jadwal balapan di Indonesia. Dan kemungkinan resepsinya juga bakal diadain di dua tempat, yaitu Jakarta dan Bali mengingat dia sering menghabiskan waktunya di sini juga.
"Lama dong kalau itu." katanya berbisik karena wajahnya masih tenggelam dalam pelukan gue. "Nanti kalau gue kangen gimana?" tanyanya lagi yang bikin gue tersenyum.
"Gue yang datang duluan."
***
Alessia terdiam sesaat ketika mendengarnya. Ia kemudian melepaskan pelukan mereka sambil memeriksa tatapan penuh selidik kepada Damian, mencoba mencari sumber-sumber kebohongan daripada ucapannya itu.
Damian yang melihat Alessia terus memperhatikannya tiba-tiba dibuat salah tingkah. "Gue tahu gue ganteng." kata Damian yang sukses dihadiahi berupa rolling eyes oleh Alessia.
"Yeee, PD banget!" seru gadis itu sambil melayangkan cubitan lain pada pinggang Damian yang membuatnya sukses mengaduh kesakitan. "Tapi, janji, ya?" kata Alessia kemudian mengacungkan jari kelingkingnya, menunggu untuk dibalas oleh Damian.
"Janji."
Alessia tersenyum samar setelahnya sambil memandang lurus kearah pantai dimana ombak bergulung dengan tenang. Angin Bali yang sepoi-sepoi itupun menambah kesan yang menenangkan ditambah pemandangan sunset yang begitu cantik.
Ketika diam cukup lama, gadis itu tiba-tiba diingatkan akan suatu. Suatu momen dalam hidupnya yang tidak akan pernah Alessia lupakan sampai kapanpun.
"Damian," laki-laki itu menoleh hingga tatapan mereka bertemu. "Hmm?" balas Damian bergumam singkat.
Alessia menatap wajah Damian yang terpapar sinar fajar yang hendak tenggelam dengan begitu teliti. Iris matanya yang sebelumnya terlihat cokelat gelap itupun menjadi terang ketika terpapar cahaya, menambah kesan indah nan menenggelamkan.
"Can you kiss me?"
Deja Vu. Tidak— momen ini pernah terjadi satu tahun yang lalu. Momen dimana mereka berciuman di pinggir pantai Kuta setelah resmi berpacaran.
Damian awalnya terkejut ketika mendengar kata-kata itu keluar dari bibir Alessia. Ia tahu Alessia malu untuk mengatakan hal itu, karena terlihat bagaimana gadis itu menunduk lalu menggigit bibir bawahnya karena perasaan yang gugup.
Tangan Damian berjalan untuk membebaskan bibir gadis itu dari gigitan. Alessia mendongak hingga tatapan mereka kembali bertemu.
"Don't bite it. It's my job."
Belum sempat gadis itu membalas ucapan Damian, laki-laki itu sudah menyatukan bibir mereka. Menciumnya dengan lembut, merasakan getaran hangat dalam dadanya ketika ia sadar betapa rindunya ia dengan gadis didepannya ini.
Bibirnya itu menyesap bagian bibir bawah Alessia penuh nafsu seolah hal inilah yang paling ia inginkan sejak bertemu gadis itu.
Damian menarik tengkuk Alessia semakin mendekat, mengusap pipinya penuh hati-hati ketika bibirnya kembali bermain dengan bibir bawahnya. Dengan gemas Damian menggigit bibir bagian bawah Alessia agar ia memberikan akses bagi Damian untuk bermain dengan lidahnya.
Alessia dibuat kewalahan karena permainan Damian hingga membuatnya hampir kehilangan nafas. Damian yang sadar akan hal itu kemudian menghentikan aksinya untuk sesaat, membiarkan Alessia mengambil nafas sebanyak-banyaknya sebelum akhirnya kembali menyatukan bibir mereka seolah tidak akan ada hari esok.
Damian tertawa ditengah ciuman mereka saat. Ia melihat Alessia dengan susah payah mengimbangi permainannya yang intens. Jangan salahkan laki-laki itu, karena bibir Alessia adalah hal tercandu yang pernah ia jelajahi.
"Why you laughing?" tanya Alessia dengan heran yang tidak membuat senyum lebar Damian luntur.
Damian menggelengkan kepalanya kecil lalu tangannya berjalan kearah bibir Alessia untuk merapikan lipstick milik gadis itu yang sedikit berantakan karena ulahnya.
"You're getting better at this." ujar Damian dengan senyum lembut mematikannya itu.
Pipi Alessia menjadi memerah mirip seperti tomat yang mana ia tidak sanggup untuk melihat ekspresi wajah Damian yang menunjukkan kemenangan. Ia mengalihkan pandangannya itu dengan malu yang membuat Damian semakin kesenangan.
"Heh, lihat sini." Alessia kembali menoleh dengan wajah yang sedikit menunduk karena ia masih merasa malu.
Laki-laki itu mengangkat dagu gadis didepannya ini hingga tatapan mereka kembali bertemu, "I miss you, Al." papar Damian lalu kemudian mencium kening Alessia begitu lama.
15 notes
·
View notes
Text
I miss you, I'm sorry

Damian
Dari sekian banyak hal di dunia ini, nggak ada yang benar-benar mengalahkan rasa cinta gue terhadap balapan. Lo tahu kan gimana rasanya ketika lo bisa ngelakuin sesuatu yang lo sukai? Gue nggak bisa mendeskripsikannya dengan kata-kata mengenai sensasinya, tapi yang jelas perasaan luar biasa itu pasti ada. Dan ketika lo melakukannya secara berulang, sering kali hal itu munculin adrenalin baru yang menantang.
Beberapa orang bilang kalau gue adalah orang yang haus akan sebuah pencapaian. Gue terlalu ambisius sampai kadang mereka sering berpikir gue mirip orang gila. Gue memang ambisius. Karena ketika gue menginginkan sesuatu, maka prinsip gue adalah gue harus mendapatkannya. Sekalipun hal itu bikin gue jatuh berulang kali.
Tapi anehnya kadang rasa yang timbul ketika akhirnya mencapai sesuatu yang kita inginkan malah nggak terlalu berkesan, karena bagian prosesnya lah yang justru lebih membekas. Proses dimana kita mengalami banyak hal yang nggak pernah terpikirkan dalam kepala. Entah itu capek, rasa ingin nyerah, muak, nangis, senang, dan masih banyak lagi. Semua proses itulah yang nantinya akan paling diingat ketika kita udah ada di atas.
Banyak orang yang meragukan gue sejak awal. Mereka ragu kalau kemampuan gue nggak akan ada apa-apanya dibandingkan dengan pembalap-pembalap lainnya yang punya jam terbang sama kayak gue. Lucu— Iya, lucu. Karena secara nggak sadar mereka nggak pernah berkaca pada diri mereka sendiri. Mereka nggak berkaca apakah pencapaian mereka sudah sesempurna itu hingga sampai meragukan kemampuan orang lain yang jelas-jelas masih berproses untuk menjadi sempurna.
Saat akhirnya gelar juara dunia kembali berada di tangan gue, sekarang gue jadi penasaran udah sampai titik mana orang-orang yang dulu meragukan gue itu. Nggak— gue nggak akan flexing ke mereka. Gue cuma mau bilang I made it with my own hands.
Mungkin lo semua udah muak mendengar soal sebesar apa cinta gue terhadap balapan. That's fine, lagi pula gue nggak akan berhenti mengatakannya dengan bangga ketika orang lain bertanya. Karena gue tahu bukan hanya gue yang berkorban ketika pada akhirnya bisa mencapainya.
Empat bulan berlalu sejak hari itu. Hari dimana hidup gue berubah hingga seratus delapan puluh derajat. Hampa— semuanya terasa begitu hampa selama beberapa bulan ini. Nggak ada hal yang menarik sekalipun kembang api di malam pergantian tahun karena gue masih sibuk merenung. Memikirkan semua hal yang udah berlalu tapi memorinya tetap melekat di otak gue.
Gue sadar bahwa sesuatu dalam hidup gue ikut menghilang ketika Mama pergi. Tapi anehnya gue selalu merasa ada hal lain yang juga menghilang tanpa gue sadar.
"Woy!" gue menoleh ketika suara familiar itu sedikit mengejutkan gue.
Yang gue lakukan pada saat itu cuma rolling eyes waktu dia lagi yang datang. Begitu Mama pergi, gue benar-benar mutusin buat menetap di Bali. Nggak, gue masih belum pindah ke Ubud tempat rumah gue yang baru di renovasi karena gue belum siap. Gue masih butuh waktu untuk kembali ke tempat itu dan gue nggak tahu kapan waktu itu datang. Gue mutusin buat tinggal di Gianyar tepatnya di villa punya Erland selama empat bulan ini. Dan kalau dihitung sejak gue pindah ke sini, kayaknya ini bocah dua minggu sekali pasti datang. Gue juga bingung kenapa, padahal kerjaan dia di Jakarta lagi banyak.
"Anjing lo, ada tamu bukannya di sambut!" seru dia tanpa turun dari mobil Rubicon warna hitamnya itu. Dan kalian harus tahu setiap kali Alex datang ke Bali, dia selalu pakai mobil yang beda-beda. Literally gue nggak tahu mobil siapa aja yang dia pinjam buat flexing ke gue.
***
"Minjam mobil siapa lagi lo?" tanya Damian sambil meletakkan papan surfing miliknya bersamaan dengan sosok Alex yang pada akhirnya turun dari atas mobilnya.
Beberapa bulan terakhir Damian sedang menggeluti hobi barunya itu, yaitu berselancar. Ia merasa olahraga air ini membantunya untuk kembali relax dan juga menghilangkan stress. Dan kebetulan ia masih bisa melakukan kegiatan ini ditengah jadwal kosongnya sebelum akhirnya kembali di sibukkan dengan kegiatan balapan musim ini sebagai rider MotoGP yang rencananya akan kembali dibuka pada akhir bulan.
"Mobil gue lah. Beli sendiri nih." ujar Alex dengan begitu bangganya.
Alex baru saja sampai di Bali beberapa jam yang lalu setelah perjalanan panjangnya menggunakan mobil. Laki-laki itu memang sejak awal lebih suka melakukan perjalanan pribadi daripada menggunakan transportasi udara. Karena ia pikir perjalanan jauh dan sensasi berlalu melewati aspal membantunya merasa lebih senang.
"Beli papan baru?" tanya Alex ketika ia menyadari papan surfing milik Damian yang terlihat berbeda saat terakhir kali ia datang.
"Yoi, yang kemarin patah." jawab Damian sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi panjang tepat dimana Alex berbaring untuk berjemur.
Alex tiba-tiba menurunkan kaca mata hitam miliknya untuk melihat arloji ditangannya ketika ia diingatkan akan sesuatu. Laki-laki itu mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk yang membuat Damian menaikkan alisnya dalam sambil memberikan adiknya itu tatapan penuh tanda tanya.
"Btw, She'll come." ujar Alex yang tidak ditanggapi oleh Damian karena laki-laki itu tidak mengerti apa maksud daripada perkataannya.
Melihat Damian yang tidak menunjukkan reaksi apapun, Alex dengan reflek mendorong tubuh shirtless laki-laki itu menggunakan kakinya hingga membuat sosok Damian terjatuh di atas lantai.
"Anjing!" seru Damian dengan perasaan gondok, bersiap akan memukul adiknya itu.
"Goblok, gue bilang cewek lo dateng. Lo budek apa gimana sih?" Alex kembali melirik arloji miliknya untuk mengkalkulasi kapan kemungkinan pesawat milik Alessia datang. "Lima menit lagi pesawatnya landed." lanjut Alex dengan wajah polos tanpa bersalahnya.
"Gimana?" tanya Damian kembali yang membuat Alex siap melayangkan tinjuan kepada kakaknya itu, tapi Damian dengan buru-buru menghindar.
"Ales di Bali, njing!"
Damian yang baru paham pun reflek memukul kepala Alex yang membuat laki-laki itu marah tidak ketulungan. "Kenapa lo nggak bilang dari tadi goblok!"
Damian berlari masuk kedalam villa untuk mengganti pakaiannya dengan buru-buru. Ia kembali berlari keluar dengan terburu-buru, namun ia tiba-tiba membeku di tempat ketika teringat akan satu hal.
"Kenapa?" tanya Alex dengan bingung saat melihat ekspresi wajah Damian yang sekarang terlihat konyol.
"Gue belum mandi, sat!"
Alex hanya mampu menghela nafas panjang melihat tingkah Kakaknya itu. Sejak awal kedatangannya, Alex memang sengaja tidak memberi tahu Damian jika Alessia datang, dan Alessia pun juga tidak tahu bahwa Damian yang harus menjemputnya.
"Lo nggak mandi juga dia tetap cinta sama lo. Dah sana buruan, kasian nungguin lama."
Damian hanya mampu mengacak rambutnya dengan frustasi lalu menyambar kunci mobil milik Alex dan kemudian berlari terbirit-birit karena dikejar oleh waktu.
"Shit..."
***
Alessia
Bali...
Apa, ya? Gue selalu punya kesan yang baik ketika tempat ini muncul di dalam benak gue. Selain karena Bali adalah tempat dimana gue dan Damian jadian, Bali juga adalah tempat dimana beliau diistirahatkan.
Hampir dua minggu sekali gue singgah di Bali untuk pergi ke pemakamannya. Awalnya gue pikir nggak akan ada orang yang mengetahui aksi gue, sampai akhirnya Alex memergoki gue secara langsung. Cuma Alex yang tahu. Dan gue meminta dia untuk tutup mulut mengenai hal ini agar jangan sampai Damian tahu.
Hari ini gue berniat datang seperti rutinitas gue sebelumya. Dan rupanya Alex pun demikian. Waktu gue mengajaknya untuk pergi bersama ternyata dia lebih memilih pakai kendaraan pribadi karena katanya dia mau stay di sini lebih dari dua hari. That's fine, toh gue sendiripun nggak ada rencana untuk stay di sini lebih dari dua hari karena akhir-akhir ini gue cukup sibuk.
Gue tiba di Bandara Ngurah Rai sekitar sepuluh menit yang lalu. Karena Alex tiba-tiba bilang bakal ada yang jemput, jadi gue memilih untuk menunggunya langsung di depan gerbang kedatangan untuk memudahkan dia mencari gue.
Lima belas menit berikutnya gue masih menunggu sosok Alex yang nggak kunjung datang sambil berpikir mungkin dia masih terjebak macet. Tapi kemudian gue sadar kalau hal itu agak nggak mungkin karena ini Bali dan bukan Jakarta. Hingga suara berat nan cukup familiar itu membuat tubuh gue membeku.
***
Damian
"Heh,"
Gue nggak tahu perasaan macam apa yang timbul saat ini. Ketika tubuh kecilnya itu terlihat oleh mata gue, untuk beberapa saat gue hanya mampu diam membeku beberapa meter di belakang dia. Meneliti objeknya itu seolah gue sedang memastikan apakah dia nyata atau nggak.
Sekitar bulan Desember lalu, gue memutuskan untuk konsultasi ke psikologi akibat trauma yang gue hadapi. Gue mengalami prolonged grief disorder yang membuat aktivitas gue menjadi terganggu akibat kesedihan berlarut-larut yang gue alami. Setelah konsultasi dengan psikiater dan berusaha untuk menerima semua ini, kondisi gue kini mulai membaik meskipun belum sepenuhnya.
Gue nggak pernah berpikir bahwa akibat dari kondisi gue itu menyebabkan hubungan gue dan Alessia kembali merenggang. Dan bisa dibilang kalau kejadian waktu itu adalah karena kondisi mental gue yang nggak kuat menerima kepergian Nyokap gue. Karena itu tanpa pikir panjang keputusan untuk pergi dari hidup dia untuk sementara waktu mungkin adalah pilihan yang paling tepat.
Dia berbalik menatap gue dari jarak dua meter yang memisahkan. Dia diam, sama halnya dengan gue. Dan mungkin dia masih sibuk mencerna apakah cowok brengseknya ini benar-benar nyata atau hanya haluan semata.
"Am I late?" tanya gue dari jarak sejauh ini tanpa berjalan mendekat sedikitpun karena gue masih belum yakin untuk mendekat kearahnya dan kembali memulai semuanya dari awal.
Dia masih terdiam, meremas tali tas ransel miliknya dengan pandangan lurus kearah gue, hingga gue berpikir mungkin dia nggak mengedipkan matanya sama sekali.
Cantik.
Masih sama cantiknya ketika gue diingatkan kembali awal kita kembali bertemu di Bandara Internasional Soekarno Hatta satu tahun yang lalu.
Cantik.
Dia masih sama cantiknya ketika angin Bali kembali menerpa wajahnya itu dan juga matahari kembali menciumnya lebih dahulu sebelum gue.
Cantik.
Sampai-sampai gue masih nggak percaya dia adalah milik gue.
"Damian..." Suaranya lembut. Selembut senyuman dan juga tingkah lakunya.
Dia nggak melanjutkan ucapannya dan kembali terdiam. Tangan-tangan kecilnya itu masih setia meremas tas ransel berwarna hitam miliknya. Kepalanya tiba-tiba menunduk dalam, tidak membiarkan gue untuk kembali melihat wajahnya itu.
"Jawab dulu pertanyaannya. Am I late?" ujar gue kembali untuk memastikan apakah masih ada kesempatan lain bagi gue.
Karena gue takut. Gue takut bahwa kedatangan gue sudah terlambat, yang mana artinya segalanya telah usai dihari ketika gue memutuskan untuk pergi lebih dulu.
Alessia menggeleng. Dia menggeleng dengan kuat dan mulai terisak. Nggak terhitung sebanyak apa dia menangis untuk gue. Nggak terhitung sebanyak apa dia berkorban untuk gue dan nggak terhitung selama apa dia akan berdiri di sana untuk kembali menunggu gue.
Gue ingin kembali. Kembali ke dalam pelukan paling nyamannya itu. Pelukan yang membuat gue merasa menjadi orang paling beruntung karena bisa merasakannya.
"I'm home, Alessia."
Ketika akhirnya gue mengikis jarak dua meter diantara kita, disitulah gue akhirnya sadar. Gue sadar jawaban atas pertanyaan gue selama ini sekarang ada di depan gue. Pertanyaan mengenai hal apa yang sebenarnya hilang dari hidup gue.
Iya, sesuatu yang hilang itu adalah sosoknya. Sosoknya yang membuat hati hampa gue ini semakin mati rasa ketika dia nggak ada.
58 notes
·
View notes