soyourown
soyourown
mengenai kehidupan
1 post
Don't wanna be here? Send us removal request.
soyourown · 4 years ago
Text
to live, to breath
PROLOG:
2017: tertatih 1
“Halo, Saija?”
“Fef


..” Suara serak dan isakannya membuat kaki fefia terasa lemas, dan hati terasa panas.
“Kali ini lo salah Fefiana
. ada banyak mimpi yang seharusnya tetap menjadi mimpi, karena yang paling menyenangkan adalah merencanakan mimpi bukan menjalaninya.”
Fefia terdiam, Ia gigit bibirnya sekencang mungkin.
Saija masih terisak, kemudian menarik nafas panjang sebelum melanjutkan,
“Harusnya gue gak pernah mempercayai lo, kalau saja kita gak pernah dipertemukan, mungkin gue gak akan pernah mulai berharap, berfantasi tentang masa depan, mimpi-mimpi yang berusaha lo hidupi. Kita itu berbeda Fef, lo perlu tau itu. Bokap gue udah meninggal, ibu gue cuma driver ojek online. Keluarga gue bukan orang berada seperti lo, gue punya keluarga yang harus gue kasih makan. Gue gak sepinter lo, karena gue cuma anak kampung miskin yang ditakdirkan untuk jadi budak korporat, seperti jokes lo tentang masyarakat yang lo sebut awam. Gue itu bagian mereka. Itu takdir yang tuhan berikan ke gue, dan gue terima, gue jalani! Dan perlu lo ingat Fef, kita ini berbatas, kita ini manusia terbatas, berhenti nantangin takdir. Berhenti berlagak tuhan.”
“Saija, tenang, tarik nafas, pelan-pelan, ada ap-“ telfonnya terputus. Ia berulang kali berusaha menghubungi Saija. Namun, saija menghilang begitu saja, seperti ditelan bumi. Tak pernah ada yang yang tahu dimana ia berada, begitu juga keluarganya.
 CHAPTER 1 :
2019: Lost and Found #1
 Fefia terbangun, ada kekosongan di hatinya, yang membuat ia bergidik, hatinya tergelitik, pelik. Kesedihan yang ia rasa, ditata baik-baik, agar muat ia tempatkan di dalam kolong kasurnya. Ia usap mukanya, dan menghela nafas dengan keras. Ia terdiam, menatap langit-langit kamarnya, sampai suara alarmnya berbunyi pukul 05.00 WIB.
Ia bersiap menjalani kehidupannya sebagai seorang dosen, mengemas tasnya. Ruangan kamar 3x4 yang ia tempati, terasa sangat besar untuk dirinya sendiri namun, terkadang ruangannya sangat mengintimidasi sampai ia kesulitan bernafas. Di sudut kasurnya, hanya ada satu foto, Saija dan dirinya, ada tulisan kecil milik Saija, ‘BFF 2012 sampai tak terhingga’.
 CHAPTER 2:
2011 : Pertemuan #1 (Saija)
 Pertemuan Fefia dan Saija di dalam ruang kelas 405 mata kuliah kewarganegaraan, tahun pertama, semester ganjil, menjadi transisi terberat untuk beberapa orang, kita dituntut proactive, karena kita disebut MAHAsiswa. Di kasta tertinggi dalam pyramidal pelajar, pikir Fefia, yang tidak suka masuk ke dalam pergaulan kelasnya. Mahasiswa kupu-kupu, begitu teman kelasnya memanggil dia. Bukan, bukan karena ia tidak ingin berteman, ia tidak pernah memahami caranya berteman dengan baik. Namun ia memahaminya, setelah bertemu dengan Saija.
Saija datang terlambat ke dalam kelas, dan berusaha mengendap-endap masuk ke dalam kelas. Ia sedang sial-sialnya hari itu, motornya mogok, setelah kemarin Jakarta dibasahi hujan semalam suntuk. Ia tersenyum penuh harap, agar diizinkan untuk masuk, dan berjanji tidak akan diulang. Tapi, memang sudah rahasia umum, betapa ketatnya kuliah. Saija meringis mendapatkan penolakaan dari dosennya berjalan keluar dengan lemas. Fefia melirik ke arah pintu, dan mendapati Saija mencuri-curi dengar penjelasan dosen.
Saat dosen keluar dari kelas, Saija terlihat berbicara dengan dosen itu. Fefia bergegas berlari keluar dari ruang kelas, sebentar lagi mata kuliah favoritnya mulai, walaupun berdempetan dengan mata kuliah lain, ia tetap keukeuh untuk ambil mata kuliah itu. Tentu seperti mata kuliah favorit pada umumnya, ada dosen yang menyenangkan saat menjelaskan, dan menyenangkan dipandang.
“Fefia!” dengan hentakan kecil di pundaknya, membuat ia tersentak. Dan berganti senyuman yang ditahan, saat ia tau siapa yang memanggil namanya. “Gue Saijaïżœïżœ, ia mengulur tangannya. “Gue fefia”, sambutnya.
“Ada apa?” Fefia melirik jam tangannya dengan was-was. “Gue mau pinjem buku catatan, nanti gue balikin setelah lo kelar kelas pak Suryo”, ujar Saija grogi, penolakan selalu membuat dia cemas.
“Gue kelar 17.05, lo ngerjain di mana?”, sambil mengulurkan buku dari tasnya.
“Makasih rencananya di perpust-“
“Oke, nanti gue kesana. Gue duluan”, potong Fefia, meninggalkan Saija.
Pukul 17.08.
Fefia tiba di perpustakaan, melirik ke dalam sudah gelap. Pintu sudah terkunci. Dia melirik ke kanan dan kiri mencari orang untuk ditanyai. Tiba-tiba ia mendengar suara tangis dari dalam, ia berusaha membuka pintunya, “halo, ada orang di dalam?”, teriak Fefia. Tak ada jawaban, mungkin ia salah dengar pikir Fefia. Kemudian saat ia mau berjalan pergi, ada yang menggedor pintu, “toloooong”. Fefia merinding, “ada orang di dalam?”, teriaknya. “Fef...” terdengar suara berbisik pelan. “SAIJA?!” pekik Fefia. “Tunggu, gue panggil petugas dulu.”
15 menit kemudian, pintu terbuka, Saija menangis memeluk Fefia. Fefia menahan ketawa dan mengajaknya pulang.
“Kok bisa lo kekunci di perpustakaan?”, Fefia terbahak sambil menyalakan mobilnya.
“Gue gak inget, tiba-tiba lampu mati pas gue mau keluar, pintu terkunci”, ucap Saija menahan tangisnya.
“Lo suka gultik Blok M gak? Gue lapar”, ajak Fefia.
“Gue gak terlalu lapar, tapi boleh aja kalau lo mau”
Fefia menatap Saija, menghabiskan piring ke-5nya. Saija tak banyak bicara, ia lebih sering melihat kearah mobil lalu-lalang, dan klakson yang bersahutan. Fefia melirik hpnya, jam 21.43 WIB.
“Gimana kuliah lo?” tanya Saija, memecahkan hening antara mereka berdua.
“Baik, sesuai ekspektasi gue waktu SMA, melebihi malah”, ucap Fefia sambil mengambil teh botol ke-3nya.
“Kok lo jarang nongkrong sama anak-anak? Gue jarang liat lo di grup juga.” Ia sudah lama ingin menanyakan ini ke Fefia. Tapi Fefia memang terlalu dingin untuk didekati.
Fefia hanya tersenyum kecil, mengabaikan. Dia memang berbeda sekali seperti Saija, yang sudah aktif di organisasi, dia aktif di grup, dia rasa semua orang menyukai Saija, yang hangat seperti rumah, selalu nyaman untuk tempat pulang.
“Kalau lo sendiri gimana kuliah lo?”
“Njir, gue capek banget sama tugas-tugas kampus, organisasi, urusan rumah juga belum kelar, dan gue rencana mau cari sambilan, gue suka malu minta uang ke nyokap, belum untuk bayar sekolah adik-adik gue, kontrakan rumah, danmakan sehari-hari.” Hp Saija berdering, Saija tak menggubrisnya.
“Kalau gue gak dapet kerja sampai akhir tahun ini, gue khawatir gak bisa lanjut kuliah.” Hp Saija berdering sekali lagi, tapi ia masih enggan mengangkatnya. Ia hanya melonggos membaca nama yang menelponnya.
“Emang lo cari kerjaan kayak gimana?” tanya Fefia
“Apa aja sih, yang gak ganggu kuliah, part-time gitu.” Hpnya berdering kembali, 28 panggilan tak terjawab, masih dari orang yang sama; ANDRI.
“Jawab aja Saija, kalau emang penting”
“Cowok gue, posesif banget, gue capek. Mau udahan”, gerutu Saija.
Fefia terdiam, dan akhirnya Saija mengangkat telfonnya.
“WOI PEREK, DI MANA LO? GUE LIAT DI APP LO DI BLOK M, LAGI MANGKAL LO? CARI OM OM BUAT NGEHIDUPIN LO? GUE GAK CUKUP LO POROTIN?!!”
Fefia tersentak mendengar suaranya yang sangat kencang, padahal tidak di loudspeaker.
“Gila lo Ndri, gue lagi sama temen gue, abis bela-“
“BOONG LO, CEWEK NAJIS. GUE JEMPUT LO SEKARANG. JANGAN KEMANA-MANA!” potong Andri.
“Gak usah, gue capek, gue gak mau berantem.”
“DIEM LO, TUNGGU”
Saija terdiam, menahan tangisnya.
“Maafin gue Fef, cowok gue gak suka kalau gue lupa ngabarin” Saija menjelaskan.
Fefia terdiam, dia tak ingin masuk ke dalam konflik yang tidak ia fahami. Saija menaruh piringnya dan meminum teh botolnya, dia tak ingin menangis di tempat umum untuk kedua kalinya, dan menarik nafas panjang.
“Gue bisa bantu apa Saija?”
“Gak ada Fef, lo udah baik banget ngajakin gue makan, dan ngasih buku catatan lo, gue balik sama Andri aja nanti. Gak mau ngerepotin lo.”
“Lo yakin gak mau balik sama gue aja?”
Saija menangis, ia terlalu lelah, untuk berdebat, ia merindukan kasurnya, ia tidak punya tenaga untuk bertemu Andri.
15 menit kemudian Andri datang, Bersama 2 temannya, dan menarik Saija untuk pulang. Ia terlihat kaget melihat Fefia, yang menatapnya dengan marah.
“Kayak gini Ndri, ngeperlakuin perempuan?” Ucap Fefia dingin.
Saija melihat bingung ke arah Fefia dan Andri. Andri berdehem, dan duduk di sebelah Saija, melunak.
“Kalian kenal satu sama lain?” tanya Saija, Fefia tidak menjawab, masih menatap Andri dalam.
“Cuy, kita makan dulu aja, pada laper kan?” Andri menurunkan suaranya.
“Sayang, kamu kenal Fefia?” tanya Saija lagi.
“Dia kakak tiri aku, yang aku ceritain waktu itu”, ucapnya berbisik.
Saija membelalak dan memilih diam.
Suasananya sangat mengintimidasi, membuat Saija kesulitan meneguk minumannya.
“Saija pulang sama gue”, kata Fefia dengan tegas.
“Lo jangan ikut campur urusan pribadi gue, dia cewek gue, gue punya hak buat ngontrol hidup dia”, ucap Andri meninggikan suaranya.
“Begitu dek?” Tanya Fefia penuh penekanan.
Andri menyenggol paha Saija untuk bicara, “Iya, Fef gue udah ngerepotin lo banget, biar gue balik sama Andri”, ucap Saija ragu.
Fefia tidak menjawab, hanya menatap Andri yang sedang salah tingkah, karena kelakuannya ketahuan oleh kakak tirinya, walaupun dia hanya berbeda beberapa bulan, tapi Fefia sangat menyeramkan di rumah, dia jarang berbicara, namun keberadaan Fefia sangat ia hindari, karena selalu mencekam. Dia hanya sekali melihat Ibunya dengan Fefia berantem, namun, cukup membuat ia tidak ingin berurusan dengan Fefia, Ayah dan Ibunya pun begitu. “Jaga sikapmu, saat kakak tirimu datang, jangan buat masalah”, pesan ibunya dulu.
“Bro, ayo cabut, biar Saija sama Fefia balik bareng. Gue duluan Fef. Aku duluan ya sayang, telpon aku saat sudah sampai rumah”, ia mengangguk ke arah Fefia dan mencium pipi Saija dengan memaksa, Saija tak menolak.
“Biar semua saya yang bayar pak”, ucap Andri, ia langsung masuk ke dalam mobil dan mengambil hpnya, ia langsung chat Saija mengancam, “gue gak suka lo berteman sama dia, lo tau perasaan gue tentang dia, kalau lo masih deket-deket sama dia, gue sebar foto bugil lo.”
Saija menghela nafas panjang, lega, “makasih Fef.” Fefia tersenyum kecil dan mengantar Saija pulang, ia melihat dari kaca spion depan, mobil Andri di belakangnya.
Sampai di depan rumah Saija, Saija menelan ludah, “Fef, gue tau hubungan gue sama Andri toxic, tapi dia gak kayak yang lo kira kok, dia sayang banget sama gue, gue juga sayang banget sama dia, dia selalu ngebantuin gue pas gue ada kesulitan, dia baik banget sama keluarga gue, 2 tahun gue sama dia, belum pernah gue selama ini sama orang, dia selalu peduli sama gue. Jadi jangan dipikirin ya, hari ini dia cuma lagi emosi aja”, Saija berusaha menjelaskan.
“Lo taukan Saija, lo gak perlu ngebela dia? Kalau dia emang orang yang tepat buat lo, gue yakin dia tau cara terbaik buat ngeperlakuin lo. Instead, he called you bitch, screamed at you, and didn’t try to listen to your explanation.”
Saija, menelan ludah, tenggorokannya terasa kering, dan tangannya terasa dingin.
“Kamu yang paling tau kapan kamu harus berhenti”, Fefia menatap Saija.
Pertemuan di malam itu, membuat Saija tak bisa tidur. Ia merasa sangat perlu mendengar apa yang Fefia bilang padanya, dan mengapa ia merasa yakin atas keputusannya untuk menyudahi hubungannya dengan Andri. Rasanya seperti ia menjadi manusia kembali, setelah kehilangan bagian dirinya yang paling penting, yaitu rasionalitas.
Setelah Saija turun dari mobil, dan masuk ke dalam rumahnya, sambil melambaikan tangan dan tersenyum senang. Fefia keluar dari mobilnya, berjalan ke mobil belakangnya. Kemudian mengetuk kaca mobil Andri, Andri terlihat kebingungan dan ingin memundurkan mobilnya, tapi jalannya rumah Saija hanya cukup satu mobil, dan membuat ia pasrah ketika Fefia turun dari mobil dan berjalan ke arah mobilnya.
Andri membuka kaca, “mau apa lo?” Fefia langsung menarik kerah baju Andri dengan kencang sampai kepalanya terbentur mobilnya, teman-temannya berusaha memisahkan mereka berdua. Ia menatap Andri dengan tajam, dan berbisik pelan “otak lo di mana? Gak usah berlagak anjing, lo lebih rendah dari anjing”. Andri mendorong Fefia, tangannya bergetar, “brengsek lo Fef, dasar pembunuh” ia menutup kaca mobilnya, dan memundurkan mobilnya.
Fefia terdiam, ia sering dipanggil begitu oleh sanak keluarganya, sampai kata itu gak menggetarkan hatinya lagi. Ia berjalan masuk ke mobil, dan pulang.
  CHAPTER 3 :
2011: Pertemuan #2 (Andri)
 “Anjing, psikopat tuh cewek” kata Mike salah satu teman baik Andri, yang selalu setia mendengarkan curhatan laki-laki ini, ia selalu sedia setiap saat untuk Andri, dari saat bapak abusernya yang dipenjara karena sering memukuli ibu Andri. Mungkin itu alasannya mengapa Andri sangat sentimen dan emosinal, pikir Mike. Ia belum pernah melihat Andri begitu ketakutan mengahadapi orang. Andri adalah laki-laki pemberani yang selalu membantunya saat ia dibully saat SMA dulu.
Mike melirik Andri, yang berusaha menahan amarahnya, nafasnya tertahan.
“Tenang bro, besok kita kempesin ban mobil dia.” Andri tak menggubrisnya.
Di belakang tempat duduknya, ada Angga yang terdiam, dia sudah muak dengan sikap Andri yang childish, tapi dia selalu mengingat jasa Andri saat dulu, selalu membantunya saat perekonomian keluarganya sulit. Karena Andri, dia bisa menyelesaikan SMAnya dan kuliah.
Ini bukan pertama kalinya ia melihat Fefia, dia selalu setangguh itu, ada perasaan yang selalu ia tahan, pembicaraan tentang Fefia selalu menjadi moodbooster baginya. Dia selalu menyembunyikan ini dari teman-temannya, karena Andri sangat membencinya. Ia tidak ingin merusak pertemanan yang ia bangun bertahun-tahun lamanya, walaupun ia sudah muak melihat tingkahnya.
Andri melirik Angga yang terdiam tak membelanya, atau menenangkan perasaannya. Angga selalu begitu saat persoalan percintaan Andri tak berjalan mulus. Dan itu membuat Andri sangat marah.
“Besok lo kempesin bannya Fefia, Ngga. Pilox kaca belakangnya” perintah Andri.
Angga mengangguk, “oke, tapi lo taukan itu gak menyelesaikan masalah? Malah memperburuk.”
“Lo gak usah ngajarin gue harus kayak gimana, lo bukan bokap gue” teriak Andri.
“Sikap childish lo, gak pernah berubah”, sambung Angga.
Andri menghentikan mobilnya. “Lo ada masalah sama gue? Gue emang kayak gini, dan lo tau kenapa”, teriak Andri, “udah ndri, ngga kita lagi di tol”, Mike memotong. “Emang anjing lo, Ngga. Gue tarik bayaran kuliah lo bulan ini juga, mampus lo.” Mike melotot ke arah Angga dengan isyarat jangan melanjutkan. Angga terdiam, dia benci apa yang di omongin Andri benar. Dia menghela nafas keras, Andri menyetir seperti orang kesurupan, emosinya selalu saja mengontrol dia.    
CHAPTER 4 :
2011: Pertemuan #3 (Fefia)
 Fefia sampai ke rumah, ia belum melihat mobil Andri terparkir. Ia teringat saat pertama kali Andri datang ke rumahnya Bersama ibunya, dia berusia 16 tahun. Dia terlihat senang pindah ke rumah Fefia, “Ayah, besok Andri mau motor vespa yang di garasi, ke sekolah.” Fefia melihat Ayahnya merangkul Andri, sambil berjalan ke dalam, sambil tertawa, di sampingnya ada istri Ayahnya yang tersenyum melihat Andri dan bapaknya begitu akrab, senyumannya hilang saat melihat fefia yang sedang makan siang sendiri, kemudian menyenggol tangan suaminya.
Ia menyadari adanya Fefia sedang makan, “kok anak perempuan ayah sudah makan duluan? Kan Ayah sudah telpon, mau ada mama Lila datang makan bersama. Fefia tak memberikan respon apa-apa, ia melanjutkan makan.
“Ayo duduk” perintah ayahnya kepada istri dan anak lelakinya. Fefia langsung bangkit dari kursinya, “mau kemana? Duduk!” bentak ayahnya.
“Aku sudah selesai makan”, ucap Fefia datar membawa piringnya.
“Dasar anak kurang ajar, gak pernah diajarin sopan santun ya sama ibumu?” Ucap Ibunya Andri setengah berbisik. Fefia melemparkan piringnya ke arah perempuan itu, ia sengaja tak mengenainya.
“FEFIA!!” bentak ayahnya tak percaya anaknya berani seperti itu didepan dirinya. Ada rasa dipermalukan sebagai orang tua yang membuatnya marah.
“Kenapa? Itu aku belajar dari ayah”, ucap ia tak berekspresi. “Dan lo,” ia menunjuk ke arah Andri “ini yang diajarin sama ibu lo, jadi selingkuhan”, suara tetap sama, hanya tatapannya lebih tajam melihat perempuan di depannya. Ia melihat Andri menangis, ia tak bermaksud menyakiti perasaan adik tirinya. Ibunya menyiram sop ayam yang ada di depannya ke Fefia. Fefia mengelap mukanya, dan tersenyum menang ke arah bapaknya, kemudian meninggalkan mereka.
 CHAPTER 5 :
2011: Akhir pertemuan
 “Andri, aku mau putus, aku rasa hubungan kita gak sehat. Aku ingin focus memperbaiki diri, aku ingin belajar mencintai diriku sendiri, sebelum aku mencintai orang lain.” Andri membaca chat dari Saija, tertawa kesal, ia menelfon Saija.
“Lo tau apa yang bakal gue lakuin kalo lo berani ngomong gini, gue punya foto bugil lo, pas lo mabuk di puncak, gue ancurin karir organisasi lo di kampus. Dasar perek murahan!”
“Lo yakin lo punya fotonya?” saut perempuan itu.
Andri kaget, dan mengecek apa ia salah telfon, tertulis di hpnya Saija dengan tanda love hitam
“Mana Saija? Lo kan yang nyuruh dia mutusin gue? Dasar psycopath! Kasih hpnya ke Saija sekarang juga.”
“Jawab aja dulu pertanyaan gue”, ucap Fefia dingin.
Andri menelan ludah, ia memang tak punya foto itu, ia hanya butuh alasan agar Saija tak meninggalkannya. Saija perempuan yang sangat ramah, ia selalu merasa gak enakan, dia sangat cantik, tercantik di sekolahnya dulu, walaupun dia tidak se-seksi perempuan yang selalu ia tiduri, tapi Saija selalu punya pesonanya sendiri di mata Andri.
Menurut Andri, jika ada yang merampok tas Saija, pasti Saija akan memberikan dengan cuma-cuma, bukan karena Saija dari keluarga kaya, atau memiliki materi berlebih. Hanya saja, dia percaya perampokan adalah bentuk dari kegelisahan masyarakat akan kondisi perekonomian di Indonesia. Kalau mereka punya kesempatan yang sama dengan Saija, kuliah atau memiliki skill tertentu, untuk bertahan hidup, mereka gak akan melakukan kejahatan.
Dulu Andri tertawa, ia tak pernah membayangkan perempuan dengan lesung pipi saat tersenyum itu, sepolos itu melihat dunia, kejahatan dan kebaikan adalah satu kesatuan yang harus balance, agar kehidupan gak membosankan.
“Lo gak punya, berhenti ngancem orang ndri, lo gak capek jadi bajingan?” suara datar Fefia membuat Andri kesal, terlebih karena yang ia katakan benar.
“Berhenti ikut campur urusan gue. Saija butuh gue dalam hidupnya. Get a life bitch! Urusin sana arwah ibu lo yang gentayangin lo, pembunuh.”
Fefia tertawa, dan Andri bergidik, ia tidak pernah mendengar Fefia tertawa, ia langsung mematikan telponnya.
Saija menatap Fefia awas, menunggu ia kelar bicara dengan Andri. Saija tau melibatkan Fefia ke dalam hubungannya tidak menyelesaikan persoalan dia dan Andri, tapi kedatangan Fefia, membuat dia merasa tenang, dan dia akan menang.
“Dimatiin”, ucap Fefia, memberikan hpnya ke Saija.
Apa semudah itu mengakhiri hubungannya dengan Andri? Seharusnya ia lakukan sejak lama, pikir Saija, sambil tersenyum.
“Lo yakin Fef, Andri gak bakal ganggu gue lagi?” tanya Saija
“Nggak, tapi inikan ide lo? Kalau gak yakin kenapa tetap dilakukan?” Kata Fefia sambil merokok.
Saija mendengus, Fefia selalu bicara dengan ketus, tapi itu yang membuat ia sangat menyukai Fefia, dia tidak palsu, seperti teman-temannya. Dengan siapapun Fefia, ia akan selalu menjadi Fefia.
Hari itu mereka berteman membawa mereka lebih dalam. Pertemanan mereka bergulir bertahun-tahun, bahkan ketika Saija diterima kerja di perusahaan swasta di kawasan Jakarta selatan dan Fefia melanjutkan magister di Universitas tertua di Indonesia.
   CHAPTER 6 :
2017: white lies or ugly truth
 Sudah 2 tahun Saija berkerja di perusahaannya, dia tidak menyukai pekerjaannya, sampai terkadang ia tidak sempat memikirkan hak tubuhnya. Ia juga tidak begitu menyukai bosnya, yang selalu mencuri waktu untuk mendekati dia, bosnya adalah bapak dari 3 anak, yang ia dengar anaknya lebih tua dari dirinya. Ia menghela nafas panjang, saat menstarter motornya, motor yang ia gunakan dari masa SMAnya, memang sudah terlalu tua untuk digunakan, ia kesulitan menyalakan motornya.
Mobil Nissan Teana hitam lewat di sebelahnya, ia kenal mobil itu milik bosnya, pak Arya.
“Saija, ayo saya hantar pulang”, ucap pak Arya dari bangku belakang.
“Tidak usah pak Arya, saya bawa motor, terimakasih atas ajakannya”, tolak saija berusaha sesopan mungkin.
“Sudah kau tinggalkan saja motornya di kantor, besok saya suruh Supri antar ke rumahmu, sini duduk disebelah saya, lebih enak pake mobil, di luar hujan”, paksa pak Arya.
“Tidak usah pak, terimakasih sekali. Rumah saya jauh, di Depok”, tolaknya lagi.
“SAIJA!” pak Arya meninggikan suaranya. “Masuk, saya ingin bicara soal kerjaan”, tegasnya.
Ia melihat pak Supri menyuruhnya nurut dan masuk dengan gerakan muka tak enak, “baik pak” ucap Saija takut.
Ia duduk disamping pak Arya, “banyak loh perempuan yang ingin duduk di mobil mewah seperti ini, kemarin sekretaris saya saja mau naik lagi. Kamu ini seperti perempuan kampung saja, takut masuk angin ya naik mobil seperti ini?” ucapnya sambil tertawa.
Saija tersenyum enggan, dia teringat Fefia, sering mencibir orang dengan mobil mewah “hasil eksploitasi manusia saja bangga.” Saija tertawa setiap Fefia membicarakan orang kaya, seperti dia bukan salah satunya, semenjak dia ambil S2 dia selalu bicara tentang kesejahteraan masyarakat dan mencibir dewan perwakilan, dan orang-orang yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar dengan melakukan eksploitasi manusia dan alam. “Jangan jadi budak korporat!” pesan fefia saat mereka lulus dulu.
Tiba-tiba Saija tersentak, ketika tangan Pak Arya menyentuh pahanya. “Badanmu bagus sekali, seperti model, sayang kamu konservatif dan kampungan”, ia tertawa terbahak-bahak, melihat pak Supri, mencari persetujuan.
“Pak, saya gak nyaman. Bapak tadi mau bicara apa soal kerjaan?” Saija menggeser badannya, sampai mentok ke pintu.
“Hahaha, kamu itu bisa saja, kalau mau saya buat nyaman bilang saja”, badannya bergeser mendekat ke Saija.
“Pak tolong jangan seperti ini”, ucap Saija meninggikan suaranya.
Pak Arya berhenti, dan menatap Saija, “kamu tau banyak perempuan yang meminta diperlakukan seperti ini. Kamu ini anak kampung, berapa banyak perempuan yang berharap ada diposisi kamu sekarang? Gak usah sok jual mahal, saya tau kamu perempuan seperti apa.” ucap pak Arya dingin “Pri, mampir dulu di tempat biasa” dibalas dengan anggukan Supri lewat kaca depan.
Tangan Saija mendingin, ia tidak tau harus berbuat apa, ia berusaha mencari jalan keluar dari sini. Apa yang akan dilakukan Fefia, kalau ia di posisi Saija. Ia sangat was-was, belum ia menemukan jalan keluar, ia berhenti di depan hotel. ia menahan tangis, kakinya lemas. Mengapa ia tidak bisa bertindak, mengapa ia tidak berteriak, meminta pertolongan.
Saija menatap pak Arya yang sedang memasang gesper sambil tersenyum puas, ia menaruh uang pecahan 100 ribu, di atas meja, kemudian meninggalkan Saija yang sedang menangis terduduk di ujung kasur, kasur yang sangat nyaman, dulu ia menjanjikan membelikan ibunya kasur seperti ini, agar bisa beristirahat dengan nyaman setelah pulang kerja. Namun sekarang ia tidak bisa merasakan kenyamanan di kasur ini, dia menangis meraung-raung.
Apa yang akan ibunya pikirkan, apa yang akan adik-adiknya pikirkan jika mereka mengetahui ini, apa yang akan Fefia pikirkan. ia teringat seminggu lagi ia akan ulang tahun yang ke-24, Fefia dan dia berencana akan pergi dengan keluarganya ke Bandung. Mereka tidak boleh mengetahui ini, ia akan simpan ini untuk dirinya saja.
Dia menatap kaca yang di depannya, dan tak mengenali dirinya sendiri, mengapa dirinya terlalu lemah. Ia menangis semalam suntuk. sampai akhirnya Ia memesan ojek online untuk pulang.
 CHAPTER 7:
2017: Menata Mimpi
 Fefia memberikan teh manis hangat kepada perempuan yang duduk di sebelahnya, ia merapatkan jaket yang ia gunakan, 23.39 beberapa menit lagi Saija akan bertambah 1 tahun. Usia yang mereka tunggu-tunggu, akhirnya datang.
Saija menatap Bandung City View, ia begitu bahagia mengingat apa yang ia miliki sekarang, rasanya dulu sangat tidak mungkin bisa pergi sejauh ini tanpa ada acara khusus, seperti pernikahan sepupunya, ulang tahun temannya, atau kabar duka dari kakeknya setahun lalu. Dia belum pernah menjadi alasan untuk meng-arrange sebuah acara untuk dirinya, tentang dirinya. Adik-adiknya sedang bermain xbox di ruang tv, dan ibunya sudah dari tadi terlelap.
“Makasih yah Fef”, ucap Saija sungguh-sungguh.
“Untuk?” jawab Fefia singkat.
“Liburan keluarga, dulu gue selalu ngejanjiin ke nyokap, tapi belum pernah dieksekusi seperti ini, memang memplanning kehidupan lebih mudah, daripada menjalankannya”, ucap Saija sambil terkekeh.
Fefia tertawa, Saija selalu se-sinis ini ketika bicara kehidupan. Bukan ia tak mengerti, hanya saja di hari ulang tahunnya, Saija selalu menarik dirinya terlalu dalam, tenggelam dengan pikirannya sendiri.
“Mimpi apa yang lo ingin hidupi tahun ini?” Tanya Fefia.
Saija terdiam, merapikan to-do-list di dalam pikirannya.
“Ada yang gue mau dalamin dari dulu Fef, gue mau jadi fotografer. Beberapa kali gue liat iklan workshop di instagram, tapi gue belum yakin ninggalin kerjaan gue yang sekarang. Gue mau kelarin cicilan rumah buat nyokap dulu, sama nabung buat kuliah buat si Tio. Dia mau ngambil jurusan teknik elektro, jadi gue belum bisa ngewujudin itu. Mungkin gue bakal bertahan sampai tahun depan di kantor.”
“Bukannya tahun lalu lo mau buka cafĂ©? Kemarin pas di kampus gue, ada prediksi cafĂ© bakal jadi trend anak muda. Kalau lo jadi ngebuka cafĂ©, lo bisa fokus mendalamin fotografi. Menurut gue, perspektif lo pas lagi ngefoto itu beda Saija, lo bisa ngeliat hal-hal yang banyak orang bahkan gak menyadari keberadaannya. Coba bikin rencana anggarannya aja. Konsep cafĂ© lo juga udah mateng, tinggal dieksekusi”, ucap Fefia, menarik rokoknya dalam-dalam.
Saija tersenyum, Fefia selalu rapi ketika merencanakan sesuatu. Fefia bukan hanya teman yang mengenal dengan baik kekurangan Saija, atau selalu hadir, siap telinga untuk bicara ketika Saija sedih dan bahagia, ia juga teman growing up, yang menopangnya saat hampir ambruk, atau ketika Saija keluar dari tracknya. Walaupun kadang ia tidak setuju dengan keputusan yang Saija ambil, namun ia tetap menemani Saija berproses, untuk menghidupi mimpi-mimpi Saija. Ia sangat membutuhkan Fefia dalam hidupnya.
Saija melirik Fefia yang duduk di sebelahnya, apa Fefia merasakan hal yang sama tentang dirinya. Ia menarik nafas panjang.
“Gue bakal pertimbangin. Thanks, Fef”, sambil merangkul Fefia.
Fefia tersenyum, Saija sangat dewasa dan berhati-hati ketika bicara tentang mimpinya, dan selalu mempertimbangkan keluarganya. Seandainya dia memiliki hati seperti Saija, apa ia akan setangguh perempuan ini.
“Happy Birthday, Njonja Saija! Pada akhirnya usianya hanya angka, namun bukan ukuran. Yang menjadikan dirimu saat ini masih berdiri kokoh adalah pilihan yang kamu ambil dan kamu gak pernah mengkhianati prosesmu. Look at you, you are tired, but you ain't giving up!” Fefia memeluk Saija.
Saija tak bisa menahan tangisnya, betapa ia merindukan diperlakukan sebagai manusia.
Terdengar dari nyanyian Happy Birthday dari belakang mereka. Ibunya membawa kue dan adik-adiknya meniup terompet.
Seandainya Saija bisa diberi pilihan untuk menghentikan waktu, walaupun hanya 1 detik, ia ingin berhenti di detik ini.
 CHAPTER 8 :
2017: Ugly truth
 Fefia masuk ke dalam mobil setelah selesai menyusun tesisnya. Ada yang membuat ia tak nyaman hari itu. Ia berusaha menelpon Saija untuk mengajaknya ngopi, tapi tidak ada jawaban. Seharusnya ia sudah pulang dari jam 5 sore tadi.
Ia menelpon ibunya Saija, dia bilang Saija belum pulang, ini sudah jam 20.46 WIB. Ia berpesan kepada ibunya, untuk menghubunginya jika Saija pulang nanti. Akhirnya, ia memutuskan untuk mampir ke kantornya Saija. Ia sangat ingin merayakan hari ini bersama dirinya. kantornya terlihat sudah gelap, ia bertanya kepada satpam di sana, apa ada lembur hari ini.
“Gak ada neng, hari ini kantor libur”, kata satpamnya.
Fefia menghela nafas, ada perasaan khawatir yang membuatnya sulit fokus menyetir pulang. Dulu Saija pernah mengingatkan, asumsi adalah kejahatan sebenarnya, bukan hanya ke orang yang kita asumsikan, tapi juga ke diri kita sendiri, karena asumsi tidak memiliki dasar yang jelas. Jadi lebih baik, kita membicarakan asumsi yang kita punya kepada orang yang bersangkutan. Ia tak ingat saat itu mereka sedang membicarakan soal apa.
Fefia memilih untuk menunggu di rumahnya Saija. Sudah pukul sebelas, Saija masih belum ada kabar.
“Sudah Fef, nginep di sini saja, sudah malam”, kata Ibu Saija, membawakan kopi instan kesukaan Fefia.
“Mungkin Saija sedang ada acara dengan teman-teman kantornya, jadi tak sempat mengabari”, lanjut ibunya.
“Makasih bu, iya bu. Ibu istirahat saja, biar saya yang menunggu Saija”, ucap Fefia, tak melepaskan pandangannya dari hpnya.
Ibunya tersenyum, sambil mengelus rambut Fefia, kemudian masuk ke dalam kamarnya. Ia sudah menganggap Fefia seperti anaknya sendiri, bahkan dia memberikan Fefia kamar khusus untuk dirinya.
Fefia keluar, ia tak berhenti merokok. Ia tau Saija tidak mungkin lupa mengabari keluarganya. Saat dia dekat dengan lelaki pun, dia selalu cerita ke ibunya, walaupun belum ada yang berjalan mulus seperti yang ia harapkan.
Hp Fefia berdering, ia langsung mengangkatnya.
“Halo, sudah dapat kabar dari Saija?” ucap suara laki-laki dari seberang telponnya.
Fefia menghela nafas, bukan telpon dari yang ia harapkan, “belum, Ngga. Gue masih nunggu telpon dari dia”, langsung menutup telponnya. Khawatir kalau Saija menelpon, saat ia berbicara lebih panjang dengan Angga.
Fefia menutup matanya, berharap ini bukan sesuatu yang buruk.
Saija menatap hpnya, 3 panggilan tak terjawab dari Fefia. Ia tengah menangis di hotel, dan terlalu takut untuk pulang, bila ibunya melihat kondisinya; bibirnya terluka, badannya lebam, namun itu tidak sesakit hatinya. Tangannya ingin sekali menelpon Fefia, ia ingin mengakhiri ini, ia sudah tidak tahan diperlakukan seperti ini oleh pak Arya.
Fefia pasti akan membantunya, namun ia terlalu takut dengan respon yang diberikan Fefia. Akankah ada yang berubah jika Fefia tau apa yang Saija lakukan saat ini. Ia mengutuk dirinya sendiri, mengapa ia terlalu takut untuk menolaknya, mengapa ia dilahirkan sebagai perempuan, yang hanya menjadi objek seksual para lelaki, akan lebih mudah jika dia menjadi laki-laki.
Ia menangis dengan suara tertahan, ia tak mau kamar ini menjadi saksi ketidakberdayaannya. Tubuhnya sudah lelah dengan Saija, sampai tangannya bergerak sendiri, mengambil telfon dan menelfon Fefia.
Saija menutup telponnya, setelah memberi tau keberadaannya. Nada bicara Fefia tetap sama, ia bertanya keberadaan Saija dan apa ia ingin Fefia menjemputnya. Saija mengangguk, tak mengeluarkan suara. “10 menit gue sampai”, ucapnya sedikit berbisik.
Saija masuk ke dalam mobil, ia sudah mencuci mukanya dan berusaha menutup luka-lukanya. Ia tak punya tenaga untuk bicara, dan Fefia pun mengerti itu, ia tak banyak bicara juga, hanya menanyakan apa Saija lapar, Saija tak menjawab. Fefia mengarahkan mobilnya ke gultik, Blok M. Ia tau Saija sangat menyukainya.
Fefia memperhatikan Saija, ia melihat Saija kesusahan untuk makan, perih luka di bibirnya pikir Fefia. Seingat Fefia, Saija tidak lagi dekat dengan laki-laki. Terakhir Pram, yang ingin menikahi Saija, namun Saija menolak, karena dia belum ada rencana menikah sebelum ia berusia 27 tahun. Fefia membakar rokoknya. Siapa yang membuat Fefia seperti ini, ia tak bisa mendapatkan satu nama dipikirannya. Dan ia tambah kesal, saat melihat pipinya membiru, ia berusaha sekali untuk menutupinya dengan blush-on, dan matanya lebam habis menangis.
Saija menyadari tatapan Fefia berubah, ia cukup mengenal temannya ini, banyak yang bilang dia tidak memiliki ekspresi, tapi ia selalu tau, kapan Fefia marah, sedih, senang.
“Gimana tesismu? Hari ini selesai, kan?” Tanya Saija, memecahkan suasana. Fefia tidak menjawab, artinya ia sangat marah. Saija meneguk teh botolnya. Diamnya Fefia sangat mengintimidasi, ini bukan sekali dua kali Fefia seperti ini. Dia tau Fefia menunggu penjelasan darinya.
“Fef gue bakal cerita, tapi gue belum siap.”
“Kenapa?” ucap Fefia sinis
“Karena,” saija terdiam, mencari alasan, “karena ini bukan hal yang mudah diceritakan”, suara Saija bergetar.
Fefia memalingkan mukanya, ia tak bisa melihat betapa Saija tersiksa karena ini, dan dia tak menyadari hal itu. Kemudian dia teringat, ada yang Saija ingin sampaikan, saat di Bandung 2 bulan lalu, tapi dia tak melanjutkan saat ibunya datang. Harusnya ia paksa Saija bercerita saat itu. Ia ingat, dia sempat menyinggung soal bosnya, pak Arya.
“Bukan bos mesum-mu kan yang melakukan ini?” Tanya Fefia berhati-hati.
Saija merinding saat mendengar nama pria itu disebut, air matanya tak bisa ia kontrol. Ia menangis tersedu-sedu.
“Gue
 udah.. berusaha.. menolak
 Fef.. tapi
 gue tak-“
Fefia memeluk erat Saija, Fefia menangis juga, melihat Saija meringis kesakitan saat ia memeluknya. Pertanyaan di dalam hatinya ia teguk kembali, otaknya dipenuhi emosi, ingin membunuh pria tua itu. Harusnya ia tak pernah mensupport Saija saat ia bilang ingin kerja di perusahaan itu. Harusnya ia menolak dengan tegas ide bodoh Saija.
“Kita ke rumah sakit sekarang, kita bikin laporan”, ucap Fefia.
“Nggak Fef, jangan, gue takut”, tolak Saija.
“I’m not asking your permission.” Fefia membayar makanannya, dan menyalakan mobilnya.
Saija terduduk di samping Fefia, menunggu namanya dipanggil.
“Fef, ibu gue jangan tau ya..” ucapnya pelan.
Fefia memutar bola matanya “gak usah mikirin orang lain, pikirin diri lo sendiri.” Fefia kesal dengan perempuan ini, yang masih memikirkan orang di sekitarnya.
Belum sempat Saija menjawab, namanya dipanggil. Fefia melihat Saija hilang di balik pintu putih. Ia menelpon Angga, mengabari dia di rumah sakit, “her fucking boss just raped her, i don’t know how many times”, suara Fefia bergetar saat mengucapkannya. Langsung membuat dia menancap gas ke rumah sakit tempat 2 perempuan ini berada.
Angga terpaku melihat Fefia menangis. Menyadari kehadirannya, Fefia bangkit dan memeluk Angga. Dia menangis meraung-raung, menyalahi dirinya ini bisa terjadi. Angga mengelus punggung perempuan itu, ia tak mampu berbicara, hatinya ngilu melihat ini terjadi. Pertahanan yang selalu Fefia bangun dengan kuat, hancur hanya dengan satu pukulan hebat.
Saija dari jauh menatap tangis amarah yang Fefia limpahkan ke Angga, ia remas tangannya kencang-kencang agar air matanya tidak tumpah, ia telah menyakiti perasaan sahabatnya. Dia diantar ke dalam kamar rawat inap menggunakan kursi roda meninggalkan Angga dan Fefia di ruang tunggu.
Saija dibantu suster naik ke kasur yang baunya seperti obat, Saija memperhatikan setiap sudut kamar yang akan ia tinggali, untuk beberapa waktu. “Diinfus ya mbak. Tarik nafas”, ucap suster sambil menyuntik tangannya. Dulu ia takut disuntik, namun rasa sakit yang ia rasa, tidak membuat ia ketakutan terhadap rasa sakit lain.
Fefia dan Angga masuk ke dalam ruangan dokter. “Gimana, Mil?” Tanya Fefia. Mila, salah satu kawan dari almamater kampusnya, yang kini jadi dokter umum di RS daerah Kuningan. Mila melepas kacamatanya, dan menghela nafas “lo udah hubungin polisi? Gue siapin keterangan dari rumah sakit”, ucapnya.
“Itu biar gue yang urus”, jawab Angga, Fefia menangguk.
“Kabar Buruknya dia hamil 3 bulan, tapi janinnya gak berkembang, blighted ovum. Harus segera dikuret”, tambah Mila.
Fefia mematung mendengarnya, mukanya pucat. Angga menggenggam tangannya, menguatkan.
“Luka-lukanya udah di foto untuk bukti, sekarang lagi diobati. Gue udah bikin resep, nanti bakal dianter suster ke kamarnya.” Mila menyudahi, dia berdiri dan memeluk Fefia.
CHAPTER 9:
2017: Ugly Truth #2
 Saija terbangun, mendengar suara ibunya bicara dengan adiknya. Ibunya tersenyum melihat anaknya terbangun, matanya sembab.
“Neng geulis, mau makan?” sambil membuka bekal yang ia siapkan dari rumah.
Saija menangis, “ibu, maafin Saija.” Dia bangkit dan memeluk kaki ibunya.
Ibunya menangis, “sudah nak, bangun, sekarang sudah tidak apa-apa, ada ibu disini.” Mengangkat anaknya bangun, adiknya menahan tangis membantu Saija bangun dan duduk di kasurnya.
“anak perempuan ibu tangguh, kuat. Ibu bangga sama Saija” ucapnya mencium keningnya.
Saija menangis dengan kencang, seperti dulu saat bayi ketika dia minta disusui ibunya. Ibunya memeluknya, saija merasa aman, seperti dulu ia di dalam rahim ibunya. Ibunya mengelap air mata Saija. Dan menyuapi dia makanan.
“fefia belum datang bu?” Tanya Saija
“iya, ibu suruh pulang, istirahat dulu, gantian sama ibu. Dia kalau gak dipaksa, gak bakal dengerin” ibunya terkekeh, Saija mengangguk setuju.
Dia mendengar suara Tio, adiknya sedang bicara dengan Angga.
“Mas Angga mau pulang, bu, mau pamit.” Kata tio di belakangnya ada Angga
Angga tersenyum melihat Saija, dan menangguk.
“Angga pamit dulu ya bu, Angga mau urus berkas-berkas dulu” ucap Angga.
“lho, gak makan dulu?” Tanya ibu Saija
“saya sudah makan bu, terimakasih. Saija, saya pulang dulu. Kalau butuh apa-apa hubungin saya.” Pamit Angga.
“fefia dia baik-baik sajakan?” Tanya Saija. Angga hanya tersenyum, ia menutup pintu.
CHAPTER 10:
2017: Menjemput Mimpi
 “Saija, lo sehaat? Sumpah gue kaget pas denger pak Arya ditangkap, gila ya kantor rame denger kabar ini, ada beberapa anak magang yang ikut ngelapor lho! Gara-gara lo berani bertindak banyak yang berani buat speak up tentang predator itu, walaupun banyak yang nyinyir soal lo, kayak si maya, sekretarisnya pak Arya. Tau gak dia ngomong kalau lo emang kegatelan aja sama pak Arya. Tapi Sumpah ya Saija, banyak yang ngedukung lo juga kok. Ya dimanapun lo kerja emang pasti digituin sih, jadi ya menurut gue, Cuma menurut gue lho, pasti seneng gak sih punya atm berjalan, sugar daddy gitu hahaha, gak usah repot-repot kerja deh, pantes ya waktu itu pak Arya sering ngasih project ke lo, ternyata oh ternyata hahaha, ih kok cemberut sih cuma becanda lho, kan cuma menurut gue”
Fefia bangkit dan menarik tangan teman kantornya Saija. Saija kaget melihat perlakuan kasar Fefia, dia tidak ingin memperkeruh suasananya. Dia terlalu lelah dengan semua hal yang terjadi, ia ingin segera pulang tanpa ada konflik apa-apa lagi.
“fef sudah, gapapa kok.” Ucap Saija tersenyum
“apaan sih sayakan cuma ngomong, kok situ yang sewot, saija aja gak masalah.” Ucap mbak Nining membela diri.
“mulut lo sialan, blaming the victim, mental penjilat. Budak korporat sampah masyarakat.” Fefia tak ada niat untuk melepas genggamannya.
“lho, kalau anda marah berarti bener dong yang saya omongin, saya emang orangnya kayak gini, Tanya saja Saija, dia sudah tau kok saya begini. Lepasin dong tangan saya. Perempuan kok kasar banget sih.”
“oh gitu, karakter saya juga begini lho, sama kasarnya sama mulut lo, logika lo berantakan, bikin malu perempuan saja, mau saya kuliahin dulu mulut lo?” ucap Fefia mencemooh cara bicara teman kantor Saija.
Saija tertawa terbahak-bahak, “sudah mbak ning pulang saja, sebelum digilas strada” ucap Saija berusaha mengatur nafasnya.
“pada gelo pisan, dia yang keguguran lo yang sensi, lagi mens lo” dia menarik tangannya dan berjalan keluar pintu sedikit membanting.
Saija terdiam mendengar ucapan mbak Nining teman sekantornya. Kemudian mereka bertatapan, dan tertawa.
“lo nemu di mana orang kayak dia sih Saija? Absurd banget” Fefia duduk di sebelahnya, Saija belum tertawa lagi setelah kejadian ini.
Saija menggeleng kepala sambil mengangkat bahunya.
“gue udah tanda tangan pengunduran diri Fef.” Ucapnya tersenyum
“lo tau kan lo gak perlu ngelakuin semua hal saat ini juga? Satu-satu Saija, gue takut otak lo meledak.” Ucap Fefia mulai serius
“iya, tapi emang ini yang dari dulu gue mau lakuin dan gue lega campur takut.” Ucap Saija memelankan suaranya
“takut apa?” tanya Fefia
“gak semulus yang gue bayangin, gimana kalau ternyata kedepannya akan lebih sulit, gue akan lebih banyak nemuin orang-orang seperti mbak nining, atau gue ada di lingkungan yang gak sesuai dengan gue.”
“ya emang gak akan mulus Saija, jangan muluk-muluk. Sampai tahap ini emang perjalanan yang lo tempuh lewat tol? Udah tenang aja, lo udah ngelewatin bagian tersulit, kita gak tau kedepannya akan gimana. Tugas kita saat ini merencanakan, apa yang akan lo lakuin setelah ini. Mungkin udah waktunya lo menjemput mimpi lo, dan menghidupi nya.” Jawab Fefia
Saija tersenyum mendengar omongan Fefia. Dia benar, dia harus bangkit. Sudah waktunya dia memilih jalannya sendiri.
“kata Mila, besok lo udah boleh balik.” Tambah Fefia.
“akhirnya. Gue tersiksa banget disini. Malah nambah pikiran.” Ia memeluk Fefia.
Namun ada yang ganjil dari pelukan Fefia saat itu, terasa dia kaku saat memeluk Saija. Apa dia telah kehilangan Fefia? Namun dia menepis pikiran itu.
 CHAPTER 11:
2017: Tertatih #2
 Tepat 2 minggu setelah Saija keluar dari rumah sakit, ia mendapatkan nelpon Saija mencaci maki dirinya tentang mimpi yang ingin dia jalani. Membuat Fefia gelisah, tak bisa tidur berhari-hari. dia  langsung datang ke rumah Saija, ada tulisan DIJUAL, fefia mengambil kunci dan kosong taka da apa-apa di dalam rumahnya, hanya ada kotak kardus tertulis FEFIA.
Ketakutan dia terjadi, Saija meninggalkannya. Dia mengambil menghubungi Angga.
“Saija tau kita gagal memasukan laki-laki itu ke dalam penjara, rumahnya diteror. Usaha cafe yang sedang ia kerjakan juga dibakar.” Ucap Angga lemas.
Fefia berusaha mencari keseimbangan, dia begitu yakin, bukti-bukti yang dia kumpulkan sudah cukup kuat untuk menjebloskan predator itu kedalam penjara.
“harusnya gue nemenin dia, bukan malah ngurusin sidang tesis gue, kenapa gue selalu salah mengambil tindakan, teman macam apa gue” tangis Fefia.
“itu bukan salah lo Fef. Bukan salah lo.” Ucap Angga.
Fefia terlalu lemas untuk mengangkat HPnya. Ia tak mendengar apa yang Angga ucapkan.
Ia menangis di ruang tamu, sampai tertidur. Ia mengerti kemarahan Saija, dia pantas mendapatkannya.
Fefia terbangun, ketika mendengar langkah kaki, ia langsung terduduk, “Angga?”
“maaf lo kebangun ya? Gue mau ke kamar mandi, di mana ya?”
“pintu sebelah kanan.” Jawab Fefia singkat. Ia membuka hpnya jam 02.00 pagi, dia tertidur sangat pulas. Rasanya asing sekali melihat rumah ini kosong seperti saat ia dan Saija, memutuskan untuk membeli rumah ini dengan dicicil. Ia mulai terisak, rumah ini terasa dingin.
“kita pulang yuk, Andri khawatir sama kondisi lo.” Ucap Anggap mengajak ia berdiri.
Fefia tak menjawab, ia takut meninggalkan rumah ini. Tubuhnya bergerak mengikuti ajakan Angga.
Ia menatap rumahnya dari luar, Angga memasukan barang-barangnya ke dalam mobil.
“yuk Fef.”
Fefia menangguk.
    EPILOG
2019: Lost And Found #2
“Fefia seperti robot sekarang pah, kerja, tidur, makan, kerja, tidur makan” ucap Andri saat makan malam keluarga.
Fefia tertawa, “Andri melebih-lebihkan yah.” Bapaknya tersenyum melihat Fefia, menurutnya dia tidak seperti robot, dia seperti manusia seharusnya. Dia terlihat lebih hidup dibandingkan dulu.
“gimana kerjaanmu Fef?” Tanya Mama Lila.
“don’t talk about work at dinner” kata Andri memotong.
“mungkin tanya kapan nikah.” Tawa Andri melirik Fefia.
Fefia mendengus, “pekerjaan baik Ma. Aku diminta mengisi kuliah umum besok”
Mama Lila tersenyum, menangguk, semenjak Fefia ditinggalkan Saija, dia mulai menghargai orang-orang disekitarnya. Kepergian selalu membawa perubahan, begitu yang ia yakini saat suaminya dulu meninggalkannya.
“hari ini Andri dan Putri punya kabar baik, kita akan melangkah ke hubungan yang lebih serius.” Ucap Andri memegang tangan putri. Perempuan yang lebih banyak menyimak, tersipu malu saat Andri mengucapkan itu di depan orang tuanya.
Ibu dan Bapaknya tersenyum, menangguk setuju. Fefia memberikan selamat dan memeluk Putri.
Setelah dia selesai makan malam, dia masuk ke dalam kamarnya, duduk di depan laptopnya. Seandainya momen bahagia ini bisa dirasakan bersama Saija, dia pasti heboh.
Fefia terengah, nafasnya tercekat, ada panas dalam hatinya yang tetap membuatnya sesak, yang kini pindah ke matanya. tangannya ia kepal keras-keras, berharap rasa sakit itu bisa menutup apa yang ia rasa saat ini. Selalu seperti ini saat dia mengingat Saija.
19.56 ia melirik handphone di sebelah laptopnya, ia menarik nafas panjang, belum sesaat ia berkedip, handphonenya bergetar, ada panggilan yang sudah 5 tahun ini ia tunggu, matanya membelalak seolah tak percaya apa yang ia baca; SAIJA
Walaupun ia sangat menghindari perasaan semacam ini, ia berusaha menggerakan jempolnya untuk membuka smartphone keluaran 2018 lalu.
Fefia terdiam, tumpukan kenangan dalam laci lost and found dalam laci otaknya, tumpah membasahi pipinya.
“Saija..” ia berusaha memanggil nama itu.
“Fefia, maafin gue. gue gak seharusnya bersikap seperti itu ke lo, gue gak pantes memperlakukan itu ke lo..” hening hanya ada suara tangisan dari ujung telepon. Fefia menelan ludah dan berusaha mengatur nafasnya.
“gue kangen banget sama kehadiran lo di hidup gue, Saija.” Fefia terbata. namun ia tak bisa berhenti tersenyum, dia menangis bahagia.
    Mampus tamat.
1 note · View note