Text
Memasuki sisi lain Korea melalui Kumpulan Puisi āApa yang Diharapkan Rel Kereta Apiā

Ditulis oleh Ariqa Muqsitha Syafitri
Identitas Buku
Judul Buku: Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api?
(Cholgili Hwimanghanun Koteun)
Penulis: Moon Changgil
Penerjemah: Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Bulan dan Tahun Terbit: Desember 2021
Jumlah Halaman: 116 + x
SAAT mendengar kata āKoreaā, orang-orang pasti akan dengan sigap mengaitkannya dengan budaya-budaya populer Korea Selatan yang sejak tahun 90-an memang sudah membentangkan sayapnya di seluruh pelosok dunia. Baik muda atau tua, pasti setidaknya bisa menyebutkan satu kebudayaan Korea Selatan jika seseorang tiba-tiba datang dan menanyakan. Entah itu musik dan tariannya (kita semua tahu yang ini), serial televisi dan film layar lebarnya, makanannya, produk-produknya (terutama elektronik dan kecantikan), mungkin beberapa juga akan menyebutkan gim atau komik dan novel grafiknya. Pokoknya, kalau sudah ada huruf āKā di depan, orang langsung tahu dari mana itu berasal.
Bahkan, rasanya sekarang tiada hari tanpa terpapar kebudayaan asal Negara Ginseng tersebut. Bukan hal yang asing lagi melihat para idola menari dengan lincah sambil menyanyikan lagu tentang cinta di musim panas atau aktor dan aktris beradu peran begitu menyalakan televisi di pagi hari. Bukan pula hal yang asing mendengar anak-anak sudah heboh bermain āLampu Merah, Lampu Hijauā di luar rumah (kemungkinan besar dipengaruhi oleh āSquid Gameā, agak mengkhawatirkan sebenarnya). Atau saat berniat untuk mengembalikan energi yang sudah terkuras habis selepas bekerja seminggu penuh dengan window shopping di pusat perbelanjaan hanya untuk melihat deretan artis ternama asal Korea Selatan memamerkan barang dengan niat menaikan penjualan. Bisa dibilang, Korea Selatan seperti perlahan masuk dan bercampur aduk dengan masyarakat di Indonesia.
Sebagai pemudaāyang tentunya tidak terlepas dari paparan ādemam Koreaā iniāsering kali saya mendengar teman-teman sebaya saya mengimpikan untuk menetap di sana, entah itu karena jatuh cinta pada suasananya atau mungkin pada sang oppa. Anggapan bahwa Korea Selatan adalah negara indah, āserba enakā sepertinya sudah merasuki sebagian besar masyarakat. Tidak mengherankan, sih. Mengingat manusia pada masa modern ini umumnya menyukai hal-hal yang bersifat praktis dan instan, langsung saja menelan yang disajikan tanpa terlebih dahulu melakukan check and recheck.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat masa kini, terutama generasi millenial ke bawah yang sudah terlalu bergantung pada internet dan menjadi ākorban utamaā globalisasi, terlalu banyak mengonsumsi kultur pop. Terlalu menjadikan media-media populer sebagai buku panduan, termakan utopia buatan yang dirancang sedemikian rupa oleh senimannya, lama kelamaan jadi āhaluā. Bukan hal yang buruk juga sebenarnya karena itu menandakan bahwa para seniman itu sukses memengaruhi pola pikir mereka. Padahal yang namanya āenak terusā itu hanya lah fiksi, bukan kebenarannya. Manusia terkadang menutup mata padahal kebenaran selagi menyaksikan kenikmatan.
āSama halnya dengan koin, semua hal di dunia ini memiliki dua sisi.ā
Dulu sekali, seseorang mengatakan kalimat bijak itu pada saya. Penulis Moon Changgil dengan buku kompilasi puisinya yang berjudul āApa yang Diharapkan Rel Kereta Apiā berhasil mengingatkan saya pada realitas itu. Juga, cocok untuk dijadikan tamparan pada orang-orang yang hanya melihat Korea Selatan sebagai āsurga di duniaā saja. Bagaimana tidak? Buku dengan setidaknya 58 puisi yang kemudian terbagi dalam empat bagian (dalam buku ini disebut sebagai āRangkumanā) ini membawa langsung pembacanya pada sisi lain Korea Selatan yang kemungkinan besar belum diketahui banyak orang.
Puisi-puisi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah ini dengan jelas menggambarkan kehidupan masyarakat menengah ke bawah Korea Selatan dan bagaimana mereka melewati hari-hari di tengah perekonomian tak menentu. Nelayan yang dengan senantiasa menunggu ikan meski sudah sakit-sakitan, petani, juga buruh dan pekerja kecil lain. Selain ketimpangan sosial antara kaum atas dan bawah, ketidakadilan dan kecurangan yang tak terhindarkan atas nama tahta pada masa-masa setelah kemerdekaan Korea di tahun 1945 juga hadir pada buku ini. Bagaimana terpuruknya Korea saat dua negara AdikuasaāAmerika Serikat dan Uni Sovietāmencampuri urusan mereka dan memaksanya sampai akhirnya terpisah, bagaimana mereka tidak memperlakukan masyarakat di sana sebagaimana layaknya manusia atau bahkan makhluk hidup pada umumnya.
Topik-topik berat tersebut secara apik dikemas dengan diksi yang halus ke dalam puisi imajis. Penulis dengan cermat menyusun puisinya dengan kata-kata indah sehingga kritik yang hendak dilontarkan terasa lebih menohok, membawa pembacanya ikut merasakan sakit yang dirasakan oleh tokoh di dalamnya. Deskripsi suasana, tempat, juga perasaan yang melengkapi puisi-puisi dalam buku ini tidak sekedar membawa pembacanya pada kejadian yang tergambar di sana, akan tetapi langsung āmasukā ke dalam puisi tersebut. Seakan-akan pembacanya adalah salah satu warga Samyang-dong atau ikut berunjuk rasa di Yeouido.
Meskipun banyak dari puisi dalam buku tersebut menyuratkan kesedihan dan kejadian tragis, akan tetapi tiap-tiap tokoh di dalamnya tidak menyerah begitu saja. Tekad mereka yang kuat nampak pada kegigihan mereka dalam menjalankan tugas, cinta untuk menghidupi keluarga dan orang-orang terkasih, juga pada harapan yang disuarakan di penghujung tiap-tiap puisinya. Semangat tersebut seakan-akan tersalurkan pada pembacanya agar dapat lebih semangat dalam menjalani hidup.
Dari segi tipografinya sendiri, penulis banyak menggunakan rata kiri. Tetapi dalam beberapa puisinya, penulis tidak menggunakan tanda baca sama sekali dalam satu paragraf. Seakan tidak memberi pembacanya jeda. Misal seperti pada puisi yang berjudul āKepada Diaā pada akhir Rangkuman 2 berikut ini.
Bayangan panjang ilalang yang menegakkan tulang punggungnya ke arah matahari yang muncul seperti harapan bergoyang lalu berbaring sementara rerumputan mengangkat kepalanya dengan gelisah dan air sungai pun menyimpan duka di hati terdalam.
Tahukah kau tentang kerinduan yang meluap⦠jika di punggung tangan Ibu yang kasar bagaikan pegunungan terbentuk embun dan jiwa Ayah yang bagaikan urat darah kecil dibasahi kegelapan apakah kau akan bangkit dengan sayap pepohonan bersama dengan bayangan bodohmu harapan tetap hidup di mana-mana asal terkena cahaya menghapus sinar bulan yang berkunjung sia-sia pada tubuhmu. (Halaman 53)
Secara garis besar, buku kumpulan puisi ini memberikan ilustrasi kehidupan nyata di Korea Selatan saat ini. Buku ini juga membuat pembacanya menilik setitik penderita rakyat Korea pada masa-masa setelah kemerdekaannya di tahun 1950. Memberikan pandangan baru terhadap negara Korea yang selalu terlihat berkilauan melalui puisi dengan cara yang secara tidak disangka āhangatā.
(Ariqa Muqsitha Syafitri)
0 notes
Text
ALAK PAUL: Dari Peribahasa ke Film Pendek
Ditulis oleh Ariqa Muqsitha Syafitri
āAlak Paulā adalah film pendek karya sutradara Ari Kpin, dengan kontribusi Komunitas Jamuga, yang tersedia dalam layanan berbagi video daring YouTube sejak tanggal 7 Oktober 2021 melalui kanal Panggung Virtual. Film pendek berdurasi 26 menit dan 15 detik tersebut merupakan ekranisasi dari peribahasa yang sudah ditransformasikan ke bentuk prosa dengan judul yang sama dalam buku āParibasa Nyambungā atau Parbung yang juga ditulis oleh sutradara filmnya juga, Ari Kpin (nama asli Yari Jomantara). Beliau sudah banyak menulis lagu-lagu untuk lembaga di Indonesia, seperti Politeknik Negeri Bandung dan Tridaya. Selain itu, beliau juga menorehnya rangkaian prestasi dalam hal puisi dan musikalisasi puisi. Sedangkan dalam bidang pendidikan, beliau kerap kali mengajar di berbagai jenjang pendidikan formal, baik dari SD sampai dengan Perguruan Tinggi. Dengan bantuan ekranisasiāatau pengalihwahanaan suatu karya sastra ke dalam bentuk film, film pendek dalam kasus iniāmakna dari peribahasa āAlak Paulā tersebut dapat lebih mudah dimengerti dan menjangkau masyarakat luas, terlebih media penyebarluasannya adalah internet yang kini dipakai orang banyak.
Film pendek āAlak Paulā mengangkat tema pernikahan dengan jarak umur luar biasa yang, ironisnya, sampai saat kini masih menjadi masalah di tengah masyarakat. Dinormalisasi pula. Selain dari tema di atas, erat pula kaitannya dengan konsep kisah cinta terhalang restu yang penerapannya dalam karya sastra tidak mati dari masa ke masa. Jauh pada tahun 1597 di Italia, yang mungkin sudah familier di tengah masyarakat luas, William Shakespeare menghadirkan konsep tragedi ini melalui naskahnya yang dikenal dengan judul āRomeo & Julietā. Baik Romeo, Juliet, maupun kisah cinta mereka berdua berakhir tidak bahagia akibat tidak direstui oleh kedua pihak keluarganya. Sedang di Indonesia sendiri, topik yang sama juga sudah muncul dalam karya sastra sejak awal tahun 90-an dengan āSitti Nurbaya: Kasih Tak Sampaiā karya Marah Roesli di tahun 1922. Permasalahan sejenis masih ramai di tengah masyarakat. Dibuktikan dengan menjamurnya sinetron dan media-media lain yang mengangkat konsep tersebut, termasuk dengan film pendek āAlak Paulā ini.
Film ini menceritakan tentang Euis (diperankan oleh Shela Salpa) yang dipaksa oleh Abah (diperankan oleh Abah Zaenal) dan Ambu (diperankan oleh Lenny Noviani) untuk menikahi Juragan Jarot (diperankan oleh Wa Ratno), orang terkaya di Srimagantiāyang nantinya berubah nama menjadi Sukamurniādengan maksud mengubah nasib keluarga.
Euis yang jauh lebih muda dan sudah memiliki kekasih bernama Kartaji (diperankan oleh Apung S. Lukman) tentu saja menolak tawaran sembrono itu. Euis menyuruh adiknya, Asih (diperankan oleh Qiyan Ayuni Mustari), untuk memanggil sang kekasih ke kediaman mereka. Di saat yang bersamaan, salah seorang penduduk desa mengabari Ambu bahwa rombongan Juragan Jarot tengah diserang oleh kelompok begal yang diwakili oleh Bojeg Borejeg (diperankan oleh Dado Bima). Mendengar ini tentu membuat Ambu syok, bergegas untuk mengabari Abah mengenai berita tersebut. Namun saat semua orang sedang sibuk mengurusi Juragan Jarot, Asih memanfaatkan kesempatan ini untuk melarikan diri bersama Kartaji yang baru saja sampai. Keduanya berlari menjauh, meninggalkan Sukamurni.
Asih menjadi orang pertama yang menyadari bahwa Kakaknya baru saja kabur bersama sang kekasih. Ia pun langsung mengabari keluarganya serta rombongan Juragan Jarot yang kemudian berhamburan mengejar keduanya. Bojeg Borejeg yang ditinggal di tengah pertarungan sengitnya dengan Juragan Jarot pun tidak terima dan mengikuti yang lain tanpa pikir panjang. Mengikuti Asih dan Kartaji yang berlalu pergi, Juragan Jarot tidak menyadari bahwa Bojeg Borejeg masih mengejarnya sehingga dirinya dan Darman (diperankan oleh Rian), pengikutnya, diserang tanpa ampun oleh ketua begal itu. Film pun berakhir dengan Abah yang berteriak tidak terima bahwa putri kesayangannya telah dibawa pergi ke Alak Paul, yang berarti tempat nun jauh dan tidak bisa didatangin oleh siapapun.
Dari sinopsis di atas, dapat dia ambil pelajaran bahwa sebagai orang tua sebaiknya kita mendengarkan terlebih dahulu kemauan anak dan tidak secara gegabah mengambil keputusan yang malah membawa penyesalan. Hal ini pun berlaku pada pihak anak. Komunikasi yang baik dalam keluarga akan menghasilkan hubungan yang baik pula, sehingga tidak perlu ada perseteruan atau pertikaian dalam keluarga. Selain itu, pernikahan dengan perbedaan umur yang terlampau jauh antara kedua mempelai sebaiknya tidak lagi menjadi hal yang dinormalisasikan. Pernikahan adalah penyatuan dua hati, dua keluarga yang perlu dipikir matang-matang dan tidak hanya didasari oleh satu atau dua faktor saja. Dalam kasus ini, faktor keuangan.
Pengambilan gambar dalam film singkat ini didominasi dengan close-up, mid shot, juga two shot yang memfokuskan pada tokoh-tokoh dan interaksi mereka. Selain itu big close-up juga beberapa kali dimunculkan, terutama saat menyorot tokoh Euis. Berlokasi di Sukamurni, keindahan latar tempatnya pun disorot dengan wide shot. Sesekali, terjadi blocking seperti pada halnya adegan saat Juragan Jarot memeriksa bawaan rombongannya sebelum mendatangi rumah keluarga Euis untuk melamar yang sebenarnya akan lebih baik jika difokuskan pada sang juragan dengan memanfaatkan noddy shot ataupun over the shoulder shot. Sehingga film terasa lebih mengalir dengan berbagai macam jenis pengambilan gambar yang ada.
Mengingat film ini diambil menggunakan kamera ponsel, sebagaimana yang disebutkan dalam Zoom Meeting pada Kamis (25/11/2021) dengan orang-orang yang berkontribusi dalam pembuatannya, kualitas videonya memang lah tidak sebagus bila diambil dengan kamera profesional. Gangguan audio semacam noise dan ketidakstabilan volume pun tak jarang muncul yang dapat dimaksimalkan dengan penggunaan microphone atau aplikasi perekam suara yang juga tersedia di ponsel. Walau pada akhirnya terbantu dengan takarir bahasa Indonesia yang menggunakan jenis huruf, warna, juga ukuran yang pas. Akan tetapi, ini dapat menjadi penyemangat bahwa siapa saja dapat membuat film selama ada niat dan kemauan.
Para pemain kerap kali terlihat kagok saat membawakan peran, misal pada bagian awal saat Ceu Nining (diperankan oleh Diana Ratna Inten) dan Ceu Empat (diperankan oleh Oky Lasminingrat) berbincang di sungai sambil mencuci pakaian atau saat Abah dan Ambu membicarakan tentang anak-anak tetangga sepantaran Euis yang telah menikah dan mempunyai keturunan. Hal tersebut dikarenakan oleh dialog dalam film tidak lah tertulis, melainkan diperankan secara spontan oleh tiap pemainnyaādisebutkan dalam acara yang sama dengan sebelumnya. Di luar hal tersebut, akting yang disuguhkan secara keseluruhan patut diacungi jempol. Salah satu adegan yang menunjukan hal tersebut adalah saat Juragan Jarot terkejar oleh Bojeg Borejeg dan terpaksa harus bertarung dengannya.
Tempat yang dipilih untuk setiap adegannya sesuai dengan suasana yang hendak ditunjukan pada penonton, baik dari Sungai Sukamurni sampai dengan rumah Juragan Jarot dan rumah keluarga Euis. Selain itu, properti tambahan seperti domba adu yang hendak dihadiahkan pada Euis juga rokok yang terbungkus kertas dirasa menambahkan kesan kampung yang damai dan asri. Belum lagi kostum tiap pemain sangat menggambarkan masyarakat pedesaan di masa itu, seperti kostum para pembegal. Ditambah dengan background music dan sound effect yang melantunkan musik khas Sunda sekali. Faktor-faktor tersebut bahu-membahu mendukung film pendek ini menjadi film yang memberikan perasaan aman dan tentram ala pedesaan Jawa Barat di masa lampau, meski terdapat beberapa permasalahan yang tidak bisa terhindari di tengahnya.
Film pendek Alak Paul memiliki alur cerita yang simpel namun unik sehingga dapat dengan mudah diikuti dan dinikmati oleh orang banyak. Selain itu, dialog satu dengan lainnya sarat akan pelajaran dan makna yang dapat direnungi oleh berbagai lapisan massa. Pemanfaatan peralatan yang sederhana seperti kamera ponsel menjadi salah satu highlight dari film ini. Meski dengan peralatan sederhana, karya yang dapat dinikmati dan memperkenalkan suatu hal baruāsalah satunya peribahasaāseperti ini dapat tercipta.
0 notes