Semua tentang dia yang selalu menjadi primadona di atas alam semesta
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Bumi kepada Ambara

Surakarta, 14 Februari 2025.
Izinkan aku menuangkan perasaan yang selalu memenuhi hati. Perasaan yang acap kali banyak mengelabui debaran hati yang tak pernah ingin berhenti. Kerap kali mendorong untuk berdiri di tepian batas logika dan kenyataan yang diyakini. Inilah sebuah pengakuan tanpa mengenal dosa untuk diampuni.
“Aku mencintaimu lebih dari yang bisa diungkapkan oleh kata-kata, lebih dalam dari lautan yang tak berujung dalamnya, lebih luas dari cakrawala yang membentang luasnya.”
Menghabiskan waktu bersamamu adalah anugerah, setiap detik yang kita lalui adalah kenangan yang tumpah ruah. Aku selalu memujamu, tak peduli fajar hingga petang, dalam sepi maupun riuhnya zaman. Kau ialah keindahan yang tak pernah pudar, pelita yang lahir dari kegelapan layaknya rembulan.
Kau bukan hanya sekadar yang kucinta, melainkan rumah yang memelukku ketika lelah. Tempat dimana aku merasa paling aman dan diharapkan. Menghalau badai yang sedingin pilu dan merengkuh hangat yang sedamai rindu.
Hadirmu bagai melodi merdu dari harap semestaku, mengalun lembut di setiap ruang hati. Tuturmu adalah nyanyian yang menenangkan, tatapanmu adalah ketenangan yang selalu dicari-cari dan aku selalu turut ikut menyelami.
Kau begitu indah, begitu memesona, hingga membuatku bertanya-tanya,
“bagaimana bisa seorang yang seistimewa dirimu sudi hadir untukku?”

Berpuji syukur setiap hari atas hadirmu, atas cinta yang kau suguhkan dengan tulus, atas semua hal kecil yang kau lakukan untuk membuatku menelan suka. Kuingin kau tahu bahwa kau yakni alasan di balik seutas senyum, kau adalah akhir yang selalu ingin kutuju.
Kaulah gemintang malam, cahaya yang tak pernah redup meski badai mencoba menggoyahkan. Kaulah mentari yang tak pernah lelah menghangatkan bumi.
“Dalam genggaman tanganmu, aku menemukan ketenangan, dalam dekapanmu, aku menemukan dunia yang lebih indah dari yang pernah kubayangkan.”
Kaulah tempatku pulang, tempat dimana aku tak perlu takut untuk dihakimi sekawanan angin topan. Denganmu, aku cukup, aku dicintai, dan aku hidup.
Kuingin kau tahu bahwa aku akan selalu ada. Dalam suka maupun duka, dalam tawa maupun air mata, dalam putih maupun jelaga. Aku akan mencintaimu di setiap musim yang ada, di setiap perjalanan yang kita tempuh bersama. Keinginanku menjadi tempat dimana kau bersandar saat zamin terasa berat, menjadi tangan yang selalu siap menggenggam, menjadi hati yang selalu menerima dan mengasihi.
Mencintaimu selayaknya bumi kepada ambara. Kaulah sang rembulan dan mentari yang dicintai bersamaan. Tak ada garis waktu yang terbatas, tak ada masa yang harus tuntas. Sebagai bumi, aku hanya ingin menjaga secercah sinar yang diberikan. Menerimanya dengan keadaan yang paling damai, menjaganya dari tiap pukulan yang menghancurkan. Bumi hanya tahu jika ambara adalah takdir yang dilahirkan bersamanya.
Itulah bumi kepada ambara. Bila pesan ini tiba di ujung angkasa, maka jadilah ambara yang seindah nirmala. Dan bumi akan menjadi hamba yang paling setia.

4 notes
·
View notes
Text
Bolu Pisang

Jalanan tampak dipenuhi genangan air di beberapa sudutnya. Hujan telah membasahi pinggiran kota dan menyisakan hembusan angin yang basah, siap menggilas kulit hingga ke tulang. Surya kala itu tidak mau menyapa barang sebentar, ia sibuk bersembunyi di balik awan pekat seharian. Dingin turut pula ambil bagian dalam menyelimuti bumi di sore hari yang tak begitu bersahabat.
Suasana ini tak lantas membuat seorang pemuda yang sedang duduk di atas jok sepeda motornya gentar. Hoodie biru membungkus tubuh atasnya dari kedinginan, selagi ia berteduh di emperan ruko sembako seorang diri. Ia tampak sibuk membenarkan letak kaca spion yang miring, sesekali ia curi-curi pandang untuk becermin. Segera merapihkan tatanan rambutnya yang semrawut akibat terpaan angin.
Bola matanya bergulir melihat satu bingkisan yang tergantung di motor matic miliknya. Tangannya membuka sedikit bingkisan itu, menampakkan sekotak bolu pisang yang menggugah selera. Aromanya langsung menguar begitu saja, manis dan gurih. Ia bernapas lega kala bolu yang ia beli tadi masih apik bentuknya, mengingat perjalanan ke sini menempuh banyak jalan yang berlubang. Ia tersenyum tipis membayangkan antusias yang memakan bolu ini nanti.
Tepat di seberangnya, ada bangunan yang baru beberapa bulan berdiri. Catnya masih mengilap dan berbau khas, tercampur dengan bau tanah basah di sekitarnya. Kegiatan ia selanjutnya adalah menggosok-gosokkan telapak tangannya untuk menghalau rasa dingin yang semakin menggerogoti. Ia lakukan itu berulang-ulang sembari menunggu sosok yang akan keluar dari bangunan itu sebentar lagi. Berharap nanti ia akan diberi pelukan hangat dan nyaman setelahnya. Memikirkannya saja sudah membuat ia tidak sabaran.

Sayup-sayup terdengar suara langkah-langkah kaki yang memecah genangan air dan menciptakan cipratan telak. Terlihat segerombol remaja usia awal yang berkejaran dengan gerimis. Mereka menghiraukan bercak lumpur yang memeluk alas kaki mereka. Saling bersahutan dan melempar umpatan satu sama lain selagi kaki mereka terus bekerja. Gurat wajahnya tidak ada rasa khawatir jika nanti tetesan air hujan itu membasahi dan menyerap ke dalam kulit kepala, lalu terserang demam keesokannya. Mereka tampak semakin bersemangat ketika tujuan mereka semakin dekat. Membuat perlombaan dadakan di atas jalan yang cukup basah nan licin ini, sekali lagi mereka tidak peduli. Rasanya, ia rindu ingin bergabung merasakan kebebasan seperti para remaja itu tanpa memikirkan apa itu konsekuensi setelahnya.
"TIO!!!!"
Kepalanya langsung berputar pada sumber suara. Memutus bayangan iri dari aksi kejar-kejaran gerombolan remaja tadi. Ia lihat sosok yang ditunggui berdiri di seberang sana sembari melambaikan tangan dengan semangat. Berbanding terbalik dengan raut wajahnya yang kelelahan. Ia balas lambaian itu, tak lupa memasang senyum paripurna yang ia miliki untuk menyambut pemuda bersurai madu tersebut. Pemuda yang telah mencuri semua atensinya di saat pertama kali bertemu, mengubah rasa asing itu menjadi suatu keharusan di mana ia menjadi pusat dunianya.
Tidak ada yang banyak ia lakukan saat tungkai jenjang sosok itu mulai menyebrang. Rasanya matanya hanya bisa menangkap sosok manis itu saja. Hidung mancungnya yang mungil serta surai madunya yang ikut tertiup angin, mempertontonkan celah pada keningnya. Tampak sangat menawan meskipun gumpalan awan kelabu itu asyik bergelantungan di atasnya. Bibir tipis yang merekah itu berkomat-kamit sendiri seperti sedang mengutuk suhu dingin yang memeluknya. Pipi gembilnya ikut bergoyang ketika bibirnya bergerak, terlihat sangat lembut dan empuk seperti bolu pisang yang ia bawa. Tetapi memang benar, serius, ia sering mengecupi pipi tersebut, itu salah satu bagian favoritnya.

"Udah lama nunggunya ya?" Tanya Albi, pujaan hatinya. Tio menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Lantas jemarinya membantu mengeringkan tetesan gerimis yang membasahi rambut lembutnya dengan diusap.
"Capek ya? Tadi kamu ke lapangan?" Hanya dengusan kasar yang ia terima setelahnya. Bisa Tio tebak, kali ini pasti tepat sasaran. Kekasih mungilnya itu sedang menahan kesal setengah mati. Pasti ada cerita menarik yang akan Albi keluarkan. Tentu saja Tio langsung memasang telinganya untuk bersiap-siap mendengarkan keluh kesah yang terlontar.
"Nggak, aku nggak ke lapangan. Tapi aku capek banget! Hah, kamu tahu nggak sih? Sistemnya berubah lagi! Nggak sesuai sama rencana awal dari pusat, bikin bingung dan keteteran. Atasan aku juga kenapa deh marah-marah mulu. Kalau begini terus kerjaan aku makin numpuk, Tio!"
Selanjutnya yang Tio tangkap hanya omelan Albi yang sangat pedas. Ia menggebu-gebu dalam melempar ocehan penuh kekesalan itu. Ia heran mengapa Albi tidak merasa pegal di bibirnya ketika ia terus melontarkan bentuk protes yang tiada henti itu. Alangkah baiknya jika bibir itu menempel dengan miliknya. Alih-alih mendapat pelukan yang diiming-imingi rasa kangen sebagai sambutan, Tio sekarang malah menjadi tempat sesi curhat kekasihnya itu.
Sejujurnya Tio bukanlah seorang yang awam dengan istilah-istilah dalam bidang pekerjaan yang ditekuni oleh Albi. Ia tidak mengerti saat Albi menceritakan semua tentang hasil rapatnya. Ia tidak mengerti apa itu SRO, RO, business leader, dan istilah perbankan lainnya. Yang ia tahu bagaimana cara mengajar, mengoreksi, dan mengolah nilai. Mampu mengurus hewan ternak dan bercocok tanam adalah sedikit bonus yang ia miliki.
Meskipun begitu, Tio tetap menyanggupi dengar dengan saksama dan penuh minat. Ia tidak keberatan sama sekali ikut terjun dalam percakapan itu meski ia belum pernah berkecimpung sebelumnya. Baginya, menjadi pendengar adalah bentuk rasa peduli dan perhatiannya kepada sang pujaan hati. Ia akan menanggapi semampunya, memberikan pengertian kepada Albi bahwa semua pekerjaannya berjalan dengan baik dan tidak sia-sia. Meyakinkan dirinya jika semua itu akan cepat berlalu.
Tio tidak masalah sama sekali, ia cukup senang selama Albi masih mempercayakannya sebagai tempat mencurhatkan isi hati. Selama kehadirannya membuat Albi mampu melepaskan beban itu untuk mengabur terus ke udara, ia akan lakukan.
"Harusnya kamu marahin balik aja. Kamu kan lebih galak dari dia. Habis itu kamu resign, terus ikut aku deh ternak embek. Udah ah, mau nggak? Aku beli tadi sewaktu jalan ke sini." Balas Tio sekaligus mengulurkan bingkisan bolu pisang yang ia gantung.
"Ih kamu mah! Kalau kamu yang jadi embeknya aku baru setuju. Apa nih? Eh bolu?!" Manik kelam itu jadi berbinar-binar.
Dengan segera Albi membukanya, menggeser kotak bolu itu hingga tercium bau harum kue dengan aroma pisang yang menggelitik penciumannya. Ia ambil secuil bolu tersebut, membiarkan kue empuk itu meleleh di mulutnya. Perpaduan rasa manis, gurih, serta harumnya pisang berkawin dengan pas. Bersatu padu mengisi kekosongan lidahnya yang belum mengecap apa pun selepas bekerja. Bibirnya langsung menyunggingkan senyum secerah mentari.
Tio yakin bibir Albi kali ini pasti lebih legit dari biasanya. Bisa ia lihat sekarang, kekasih mungilnya mengambil potongan yang cukup sedang untuk kembali dinikmati. Rasa-rasanya ingin ikut terlibat juga, membiarkan lidahnya turut andil dalam menyesapi rasa manis yang tersisa dari mulut Albi. Membayangkannya saja membuat Tio menelan air liurnya dengan susah payah. Apa ia harus mencium Albi di lampu merah nanti? Pikirnya.
"Enak banget! Bolunya lembut, rasanya manis tapi nggak kemanisan. Terus pisangnya juga berasa banget. Pinter deh Martio beli bolunya, aku kasih empat jempol buat kamu! Kira-kira pakai pisang apa ya ini?" Albi menaruh bingkisan itu untuk kembali tergantung. Yang ia rasakan setelahnya hanya rasa hangat, ketika Tio memakaikan jaket parasut berwarna tosca yang tersampir di kepala motor begitu saja ke tubuhnya. Tak lupa membantunya mengenakan helm di kepalanya yang kecil.
"Nggak tahu, aku kan belum kenalan sama pisangnya. Yuk, cepet naik."
"Hih! Nyebelin kamu tuh. Kok aku doang yang pakai jaket tapi kamu cuma pakai hoodie itu lagi? Emang anget? Jangan sok romantis ya kamu Tio! Kalau kamu sakit aku yang pusing."
Tio hanya tergelak mendengarnya. Omelan Albi sudah bagai lagu dalam album band kesukaannya. Setiap hari akan diputar tanpa diminta. Tio tidak pernah risih, ia tentu sangat memaklumi. Apalagi ia tahu itu hanya salah satu bentuk guyonannya yang diselingi dengan omelan.
"Bawel banget sih kamu. Aku cium nih? Udah yuk kita pulang. Nanti keburu hujan lagi, kasian bolunya." Begitu pula dengan Tio, ia suka sekali menjahili kekasihnya itu. Albi tidak kembali menanggapi setelah ia sudah duduk menjadi penumpang di motor Tio. Langsung melingkarkan kedua tangannya di perut lelaki itu dan menyamankan posisi kepalanya agar tidak berbenturan dengan helm milik Tio. Memilih bahu kiri Tio sebagai sandarannya.

Tio menikmati semuanya. Ia menikmati di kala motor matic jadulnya melenggang pergi meninggalkan lokasi tempat Albi bekerja. Ia menikmati saat pemuda manis ini bersandar di bahunya dengan nyaman. Ia menikmati saat hidung bangir nan mungil itu menghirup aroma tubuhnya sangat rakus dari belakang. Ia menikmati pelukan yang Albi berikan, selagi ia menjadi pengemudi dan Albi penumpang setianya. Seseorang yang sangat berarti dan menempati hatinya di waktu yang cukup lama.
Seolah perjalanan pulang kali ini terasa lebih menyenangkan dan menghangatkan di tengah cuaca yang dingin serta lembap. Ia hanya berdoa agar jarak menuju kos Albi lebih panjang dari biasanya. Ia benar-benar ingin menikmati semua ini lebih lama.
"Tio, kamu wangi sabun, enak! Tapi lebih enak bolu pisang yang ada di cantolan motor kamu. Nanti aku mau makan bolunya dicelup kopi boleh? Kayaknya nikmat banget pas habis hujan begini. Boleh kan, boleh kan?" Anggukan kepala yang Albi terima setelahnya. Tangannya kembali melingkar lebih erat, lalu memasukkan pergelangan tangan kanannya ke dalam kantung hoodie Tio. Menggerakkan telapak tangannya mengusap-usap di sana.
"Kamu mau pakai apa? Kamu nggak boleh ikut minum kopi loh."
"Pakai susu jahe anget aja." Jawab Tio, melirik reaksi kekasihnya pada pantulan spion sebelah kiri.
"Ih udah gede masih minum susu, huuu dasar bayi gede!!!" Ejek Albi dibarengi dengan tubuh yang semakin menempel pada punggung Tio, "bayi gedenya akuuu hihihihi!" Imbuhnya.
Tio ikut bergabung dengan tawanya. Perutnya terasa geli menanggapi celotehan Albi yang menurutnya sangat membangkitkan mood. Albi itu sangat menggemaskan, ia punya cara tersendiri untuk mengekspresikan rasa sayang dan cintanya pada Tio. Seperti itu tadi salah satunya.
Tio menyodorkan telapak tangannya ke arah Albi setelah motornya terjebak di lampu merah. Memerintahkan kekasihnya itu untuk meletakkan dagunya di sana. Albi memejamkan mata, menikmati setiap belaian yang diberikan Tio pada dagunya. Membuatnya semakin mengapit jemari Tio di antara dagu dan lehernya. Tentu saja hal itu mengundang perhatian Tio, membuat ia menahan gemas dengan tingkah Albi. Jika dilihat dari sudut pandang orang-orang di sekitar, mereka bak anak ABG bau kencur yang baru pertama mengenal cinta. Bermesraan tidak tahu tempat dan bermuka tebal. Seolah motor yang ditumpangi adalah bahtera dari dunia mereka sendiri.

Tentu saja Tio tidak ambil pusing. Bodoh amat, pikirnya. Selagi tidak merugikan orang lain, Tio akan tetap acuh tak acuh. Ia menyukai ketika tangannya mampu merasakan lembutnya kulit Albi, sangat lembut persis kulit bayi. Sekarang siapa yang bayi gede sebenarnya di sini? Niat untuk mencium Albi di lampu merah pun tiba-tiba terlintas, namun dengan cepat ia tepis. Sudah dicap bermuka tebal, ingin jadi sinting pula? Oh tidak, kasihan Albi harus menanggung malu memiliki kekasih yang agresif seperti ini.
"Mau mampir dulu atau langsung pulang, hm?" Tanya Tio yang sudah menarik tangannya kembali dan berpindah untuk menyentuh lengan yang masih setia melingkar di perutnya.
"Mau pulang dulu aja, Tio. Aku mau cepet-cepet makan bolunyaaa." Jawabnya, "tapi kalau nggak hujan lagi, habis itu kita jalan-jalan ya. Pahamkan prajuritku?"
Tepat ketika lampu sudah menyala hijau, motor mereka kembali melaju. Tio lantas mengiyakan permintaan tersebut sambil berkata 'Siap laksanakan komandan!'
Biarlah, apa pun yang membuat pujaan hatinya senang akan selalu ia turuti. Cuma perkara jalan-jalan itu tidak sulit untuknya, bahkan sampai tangki bahan bakar miliknya mengering pun ia sanggupi. Ia percayakan semuanya pada sepeda motor kesayangannya, kemana pun roda itu berputar membawa mereka. Melintasi berbagai persimpangan, lampu-lampu merah yang tersebar di kota, bahkan dari jalan aspal berubah menjadi bebatuan juga tetap ia patuhi.
Semua terasa mudah, terasa sangat berarti meskipun nantinya sinyal GPS tidak berfungsi lagi. Asalkan ada sosok manis ini yang selalu mengisi jok belakangnya. Sudah ia katakan kan? Albi sangat berarti baginya. Pusat segala dimensi yang ia punya. Berada di sisinya, menemani setiap langkahnya, menjadi sosok yang dapat merangkul jemarinya, serta bagian dari tokoh yang ada di setiap ceritanya, adalah keinginannya, harapannya. Selagi Tuhan mengizinkan, selama itu pula ia menaruh segala kasihnya pada yang tercinta.
"Sayang?"
"Hum?"
"Selamat ulang tahun ya."
Entah Albi mendengarnya dengan jelas atau tidak. Suara bising kendaraan berlalu-lalang di sekitar mereka membuat Tio harus sabar bila Albi tidak terlalu mendengar apa yang ia ucapkan.
"Kamu ingat? Kirain udah saingan sama mbah-mbah, pikunan." Ternyata Albi mampu mendengarnya. Renyah tawanya memanjakan telinga Tio yang sudah memerah gemas ingin membawa tubuh itu ke pelukannya. Ditambah wajah mungil itu semakin ditenggelamkan pada bahunya, menahan semburat merah muda di pipinya.
"Kalau kata orang-orang di Twitter, terima kasih kepada dinosaurus yang telah punah akibat hujan meteor. Lalu tertimbun, menjadi minyak bumi dan diolah untuk dijadikan bensin yang digunakan mobil ambulans menghantar Mamah pergi ke rumah sakit. Terima kasih kepada seluruh petugas medis yang memperlancar proses persalinan Mamah hingga lahirlah Albi ke dunia. Terima kasih juga buat bidan posyandu yang setia memberikan imunisasi kepada Albi, sampai Albi tumbuh jadi anak yang sehat hingga sekarang. Bisa ketemu cowok ganteng macem Martio pula. Terima kasih semuanya, terima kasih ya Tuhan."
Tidak ada ucapan terima kasih kembali maupun kata sama-sama sebagai balasannya. Tetapi ia menangkap gelak tawa yang terdengar cukup geli sampai terbahak-bahak. Membuat dirinya mau tidak mau turut terlibat di dalamnya. Selanjutnya hanya gigitan main-main yang ia terima di bahunya, sudah pasti pelakunya adalah orang yang sudah mencuri semua perhatiannya.
Gerimis yang sempat menemani perjalanan mereka kini telah berhenti, meskipun mendung masih ada. Sepertinya doa Tio dikabulkan. Dengan begini ia dapat mengurangi kecepatan laju motornya. Ingin lebih berlama-lama menikmati kebersamaan dengan cintanya. Bercerita serta menertawakan hal-hal kecil bersama, bahkan setelah lampu jalan mulai menyala dan menyoroti kepergian mereka.

2 notes
·
View notes
Text
Laksamana

Ini bukan sebuah kisah romansa yang hadir seperti biasanya. Hanya sebuah cerita bagaimana cara memperkenalkan seorang yang dipuja kepada alam semesta.
Ia, Sang Laksamana.
Insan yang memiliki senyuman sehangat matahari, dan menciptakan samudranya sendiri. Ia yang mempunyai segalanya di balik matanya.
Aroma cengkeh yang mengebul dalam cangkir tehku tak menyulut temu pada penciumanku. Seakan semuanya sirna berkat siluet tubuh tegapnya bermandikan piagam atas pengabdiannya.
Namun coba lihat baik-baik, hidung bangirnya yang mungil serta warna ranum yang menempel pada indra pengecapnya. Seakan mengundang untuk dijamah sekian kalinya. Ia tarik kedua sudutnya sembari menebarkan jaring pikatnya.
Gila
Ia dan senyumnya.

Malam itu, kulihat Sang Laksamana berdiri di bibir pantai ditemani indurasmi sebagai pelindungnya. Maniknya menangkap gugus bintang yang menyebar dalam bumantara. Sebegitu indahnyakah seorang yang terguyur cahaya rembulan? Entah apa yang dibisikkan alam olehnya, senyumnya tak pernah mangkir dari paras menawannya.
Begitu renyah gelak tawanya beriringan dengan deburan ombak yang menggelitiki telapak kakinya. Tampak ia sangat bersahabat dengan genangan air terbesar di jagat raya ini. Ya, tentu. Dia Sang Laksamana, pemilik sejuta pesona bagi seluruh umat manusia.

Pekan demi pekan, Laksamana menjamu tugasnya kembali. Pilaunya ia bawa berkelana pada samudra yang menunggunya. Sirat matanya menghantarkan komando pada penjuru negeri bahwasannya ia akan kembali. Seolah semua jadi mudah berkat campur tangannya. Membuatnya tampak sempurna.
Di ujung jemarinya tergumpal payoda yang siap ia gulingkan kapan saja. Sudah kubilang, ia mempunyai dunia dalam genggamannya.
Kepergiannya membuat sarang resah yang tiada sudahnya. Membuatku seperti seonggok tak punya warna. Kelam, mengabu, hilang. Bibirku senantiasa merapalkan doa untuk Sang Laksamana, berharap mala itu menjadi debu di atas cakrawala.
Aku merindukannya
Selepas senja, di saat dedaunan mulai menutupi kemungkinan dinginnya hembusan angin, pilaunya menyapa mata. Ia berdiri di sana dengan sumringah.
Sorak-sorai mereka menyambutnya kembali ke atas tanah. Suara mereka menyatu sampai ke langit. Memancarkan koloni burung camar yang mengepakkan sayapnya, mengelilingi sosoknya seakan pertanda alam semesta jua menerimanya.
Aku tak tahu apakah ini benar atau memang sudah salah kaprah. Tungkaiku bergerak dengan sendirinya, tak peduli dengan sepasang-sepasang bahu yang kuhantam sendiri. Tujuanku hanya Sang Laksamana, memberanikan wujudku terpampang nyata di depannya. Kerlingan matanya membuat napasku tercekat. Tak sadar bibirku menyebut seluruh bentuk keindahan dari kosakata yang kumiliki.
"Laksamana! Perkenalkan aku, serdadu dari pulau yang sedang kau naungi. Seorang pemuda yang terpikat atas keelokan yang kau miliki. Bawa aku pergi menjelajahi samudra rasa yang ada engkau di dalamnya. Mengarungi tiap benua dengan segala cinta yang tak kalah hebat dari gulungan ombak di bumi jagat samesta."

11 notes
·
View notes
Text
Kita yang berwicara

"Serdadu?"
Kerutan di dahinya seakan menyiratkan kebingungan yang luar biasa. Namun tidak dengan wajahnya yang tetap tampak keras, menampik semua persepsi sepasang mata yang melihatnya. Kerah bajunya yang tinggi dan sedikit bergelombang, ikut terkibar dibelai angin dari arah samudra. Aku menatapnya penuh damba sebelum ukiran itu tercetak jelas di bibirku.
"Ya, Laksamana."
Sedikit menundukkan pandanganku untuk menunjukkan kesan baik dalam sebuah penghormatan formal. Kilat matanya masih mengambang, bibir tipisnya hanya diam, mempersilakanku kembali untuk menjelaskan. Kekehanku lantas menguar pelan.
"Sudilah Laksamana membawaku menuju samudra yang kau janjikan. Aku hanya serdadu tak bertuan dan meminta engkau, Laksamana, sebagai lenteraku di perabadian."

Detik berikutnya bibir ranum itu menarik seringai yang menggairahkan. Kedua netra kami bersirobok satu sama lain, tak ada yang memutus pandang, kian lama manik kelam itu tersembunyi di balik bulu matanya.
"Memangnya apa keahlianmu dan apa yang kau bawa, tampan?" Ucapanya.
Tubuhnya sengaja ia sandarkan pada pagar pembatas dermaga yang memisahkan ia dan bahteranya. Dagunya terangkat angkuh, mempertontonkan bekas bengisnya air laut di hamparan samudra. Jemari lentiknya mendayu-dayu seakan memerintahkan hempasan debu untuk menyingkir dari parasnya yang ayu.
Aku tersenyum lebar dibuatnya. Jantungku semakin menggila memicu pecutan adrenalin untuk segera membawa tubuhnya ke dalam dekapan. Menenggelamkannya dengan rasa lebih hangat daripada malam di atas lautan. Tidak, jangan dulu, tahan, biarkan aku bermain-main dengan syairku agar ia tahu siapa aku.
"Aku ahli dalam menyusun kata, bermain nada dengan instrumen sederhana yang memikat hati manusia. Aku bisa menyanyikan secarik mantera tidur untuk para penghuni laut," ucapku terjeda sesaat. Secara lancang aku ikut pula mendongakkan kepalaku dengan cengiran khasku yang terpampang.
"Atau juga menidurkanmu, Laksamana. Aku bisa. Bahkan memanjakan telingamu dengan segala syairku yang penuh rindu untuk meluluhkan hatimu itu. Dan ini, aku membawanya sebagai tamengku."
"Cih", jawabnya mencela. Jangan lupakan wajah indah itu yang setengah memerah di telinganya.
"Dasar penggombal ulung, kapalku tidak menerima orang beromong kosong sepertimu. Kau lupa, jika syairmu tidak ada apa-apanya dari suara meriam kapal berhantu? Satu lagi, dawaimu tidak bisa melindungi aku."
Ia murka, hanya di mulut saja. Tapi lihat matanya, tepat di matanya. Sorot geli dan antusias itu tak dapat dimungkiri. Membuatku membawa dawaiku ke dalam pangkuan, memetik senarnya menjadi dentingan. Senyumku tak pernah luntur, semakin kusudutkan logikanya dengan tutur gilaku.
"Maka bawalah aku, Laksamana. Akan aku tunjukkan bagaimana itu semua bekerja. Setidaknya, hadirku mampu menjadi obat penatmu dalam menghalau badai. Petikan jemariku cukup membantu dalam membentang layar. Bahkan, bibirku bisa memujamu terus-menerus tanpa kenal waktu. Semua anggota tubuhku menjadi pengabdimu tanpa pamrih. Jiwaku akan kusuguhkan kepada penguasa lautan, agar ia dapat mengajarkanmu arti dalam menuai kasih sayang."

Untuk sekalian kalinya ia berdecak sebelum membalikkan tubuhnya memasuki bahteranya. Kaki jenjangnya mulai bergerak dalam dua langkah. Selanjutnya, hanya aku dibuat gila olehnya.
"Naiklah, serdadu. Buktikan semua bualanmu sebelum aku berubah pikiran untuk menjadikanmu santapan laut. Buat hatiku berdebar dengan segala syair picisanmu. Buat aku menginginkan dirimu untuk melebur bersamaku. Bersumpah dulu atas nama nirmala, kau menjadi pengabdiku sampai waktu yang tak menentu."
"Dan terima kasih atas surat yang kau tulis itu. Bawakan aku lebih banyak lagi nantinya."
Meski sosoknya sudah menyatu dengan siluet dari mentari yang redup, aku bisa melihat ranumnya melengkung bak bulat sabit. Ia, Laksamana yang diagungkan penjuru dunia mempersilakan aku masuk ke dalam dunianya. Seperti apa katanya, atas nama nirmala, aku akan selalu berada di sisinya, melindungi sosoknya sepenuh jiwa. Tak peduli apa yang akan datang menerjang dan susahnya dalam merayunya, aku siap membuat ia mendamba jua.
Ah, jatuh cinta membuatku gila!

2 notes
·
View notes
Text

Untuk Laksamana,
Orang bilang aku ini sang petualang. Mereka mengenalku serdadu tanpa tuan. Kakiku bebas berpijak dimana saja. Tapi yang mereka tahu, aku selalu pulang jika bulan sudah ingin mengekang.
Aku tak membawa senapan yang diselipkan di antara pinggang. Tak juga belati yang tajam menusuk sanubari. Aku hanya membawa dawai sebagai tamengku dari kesepian.
Aku tak mengenal musuh, tak mengenal kawan, tak mengenal apapun yang disebut taktik peperangan. Aku hanya serdadu yang awam dengan kekejaman. Tugasku hanya memastikan penduduk suka cita dengan petikan dawai yang kupunya.
Hari itu, saat rembulan muncul di permukaan angkasa, aku melihat ujung geladakmu yang perdana. Helaian suraimu berkibar bersama alunan angin yang terperangah.

Tak ada yang mengerti tentang apa arti debaran yang bersarang terbungkus jantung dan terpenjara rusuk. Semua bermain dengan nada yang sembrono serta tidak terpaut kunci yang sesungguhnya. Hanya secarik bibirmu yang melengkung membentuk busur. Kiranya, baru kali ini aku lihat senyum selayak madu yang dihasilkan oleh ratunya.
Manis
Tatkala aku hanya ingin bersikap naif, tak ingin lebih jauh menjamah bahteramu yang berbau air laut itu. Membiarkan sayup tutur puja dari para pujangga yang menggilaimu. Tiap bait yang tercecah tinta itu tersusun rapih membentuk bait-bait puisi. Nyatanya, semua itu hanya untukmu.
Yang dipuja menorehkan kesan luar biasa di tiap hati manusia. Kau memimpin samudra dengan cakap, mengarungi puluhan badai tanpa gegabah. Kau memiliki dunia hanya di atas genggamanmu saja.
Nyaris, aku terpana, terperangah, nan terpesona.

Kelam yang membujur dari khatulistiwa lantas membuatku menemukan sang pelita, kau, Laksamana. Kedua obsidianmu membidik langsung ke dalam jantung hatiku. Menancapkan panah rindu yang tiada sudahnya. Kelak, ingin aku tabung rindu itu agar engkau tahu bagaimana aku dibuat kaya raya oleh daya pikatmu.
Aku menyerah pada egoku sendiri, ternyata aku memang menggilaimu sepanjang hari tanpa aku sadari. Lain halnya dengan para pujangga itu, sajakku tak pernah ingin lahir dari jemariku. Ia hanya membentuk syair lirih yang sudah berkawin dengan semilir angin. Terkadang kutemani dawaiku untuk mengiringinya. Berharap suatu saat telingamu menangkap kidungnya.
Sial, tampaknya itu tidak berhasil jua. Engkau semakin tenggelam dalam pesona lembayung di ujung samudra. Tak menghiraukan apapun bentuk partikel yang menyapa pancaindramu seutuhnya.
Syairku akhirnya terbit juga

Kadang kala aku merasa malu dengan para pujangga yang tampak percaya diri melayangkan hasil karyanya kepadamu. Meskipun entah kau lirik atau bahkan berakhir kering dibawa kembali sang burung merpati. Mereka tak gentar jua.
Aku pun sama, kupaksakan aksara itu terbentang di atas putih. Memainkan segala bentuk guru lagu agar larik ini semakin merdu meski hanya sekadar kau baca. Mungkin ini rasanya akan sangat picisan dan terkesan membual. Aku harap kau sudi membacanya hingga akhir, Laksamana.
Aku, serdadu tak bertuan, seorang amatir yang teguh pendirian. Aku mengaku sudah terjatuh atas pusaran rasa yang kau terbarkan. Menaruh harap pada kepercayaan diri untuk mengabdikan tanggung jawabku setelah sekian waktu memujamu.
Terlalu lama aku kurang ajar dalam mengambil rindu secara diam-diam padamu. Membiarkan rasa pelik yang tak temu titik terangnya menggerayangi tubuhku tanpa ada penawarnya. Semua menemui puncak setelah kau kembali di telan riak air yang menghantarkan pilaumu ke laut lepas. Dawaiku tak menemukan nada yang seharusnya, jemariku hanya semakin membuat goresan tak berarti pada melodinya. Aku kehilangan separuh jiwaku yang kau bawa berlayar di atas deburan ombak.
Namun pilu itu redup, menghilang perlahan tergantikan harapanku yang terbit. Kau kembali ke sini, membiarkan jangkarmu mengakar di dasar dan menuntunmu untuk berdiri di zamin ini. Begitupun dengan mawar di dadaku yang tumbuh mekar, mengundang banyak kupu-kupu untuk bersarang di sekujur tubuh.

Kurasa, aku telah menemukan tuan baru. Mematahkan segala pendirianku untuk tidak tanduk pada siapapun. Menjaganya dari kejamnya hukum lautan, meski aku tahu kau lebih menguasai dari segalanya. Menanamkan benih merah muda di atas geladak bahteramu. Menyelimuti dirimu sendiri dengan taburan rindu dan kasih yang kupunya. Menjadi teropongmu dalam memaknai kehidupan. Bahkan, aku siap menukarkan jiwaku pada sang penguasa demi bisa melebur bersamamu.
Laksamana,
Sudilah kiranya engkau menarikku ke dalam mahligaimu. Ajak aku dalam menyelami hatimu bersama-sama. Jangan beri aku upah, aku tidak butuh emas dan permata. Lekaslah beri cinta pada serdadu yang dirundung suka, yaitu aku. Ciptakan percikan temaram romantis hingga penghuni nirwana enggan untuk mengutuk kita. Biar aku membawa dawaiku, memetiknya, dan bersenandung merdu untuk kembali membuat syair pujaan atas dirimu.
Sungguh, kaulah Laksamana, sang pelita pujaan hatiku.
Dari aku,
Sang Serdadu penggilamu.

24 notes
·
View notes