splettering
splettering
splettering
15 posts
unorganized, splattered letter for my kpop boys and girls and else. welcome, i guess :)
Don't wanna be here? Send us removal request.
splettering · 1 month ago
Text
Tumblr media
The Reasons I Like You
"aku suka sama kamu"
masih dengan 'bakery date' dan apple slipper yang airis potong-potong, si perempuan melanjutkan. "kamu tau yang cakwe kamu ketinggalan? aku sengaja bikin itu ketinggal" airis memakan potongan kecil. "kamu lagi ngobrol serius sama mas adib, jadi aku pindahin kresek kamu ke pinggir counter. dikit aja aku pindahinnya, tapi ketutup coffee maker" airis membuat gesture cubit dengan telunjuk dan jempolnya.
"kamu lupa, gak notice lagi. terus aku dm kamu. it's not coincidence kamu bikin story mention ig srawung. aku log in akunnya"
"terus yang kamu reach out aku di twitter gara-gara komunitas today i walk, aku tau kamu like post-ku dari pertama. jadi aku ngepost terus biar di-like kamu. makanya, kalopun kamu gak ngasih disclaimer kalo kamu yang nge-dm aku, aku tau itu kamu. aku follow kamu juga di account-ku yang lain, yang rahasia" tambah airis dan kali ini demas tertawa. lelaki sawo matang itu menutup laptop dan menyisihkannya. perhatian sepenuhnya pada airis yang sekarang bersurai merah.
mungkin terkesan licik sebab airis nyatanya mengelabuhi demas sampai demas terbengong ketika janjian dengan pemilik akun 'temperness' tapi airis yang datang. turned out airis dan temperness adalah orang yang sama, it's all schemed tapi apa? demas bahkan tertawa saat ini mendengar kilas baliknya. how cute usaha airis menelusup ke hidupnya, pikir demas.
"terus?"
airis mengerutkan alis samar "yang aku ajak kamu ketemuan di kranggan, it actually wasn't in my plan. it's impulsivity, karena kamu ngasih aku soto hari itu. sebenernya aku gak marah diomongin di belakang, aku tau aku kurang tapi... sedih sih. dikit. makanya pas kamu ngasih soto, aku beneran makin suka kamu. nggak rela orang-orang kenal orang kayak kamu tapi aku nggak" demas terkekeh lagi.
airis itu datar, tapi nggak tahu kenapa kalau cerita gemesin. straightforward and blunt, percis anak kecil berceloteh.
"terus apa lagi yang bikin suka?"
"banyak. kamu mau disebutin satu-satu? but that'll make you looking narcissistic"
"and you don't like narcissistic man?"
airis mengedik. "i don't mind. narcissistic people is hot, i love hot man" demas memutar mata malas. dia nggak bisa menerima pujian jujur begitu.
"because your heart is warm" cetus airis.
"mungkin kamu gak tau tapi kita duduk sebelahan di kereta pas kamu ke jogja. pas kamu makan bekel mi goreng (i guess), kamu makannya beneran menghayati jadi kayak yang enak banget. terus pas diceramahin mas adib ini itu kamu juga dengerin padahal omongannya diulang-ulang. gak tau tapi aku pikir itu tandanya hati kamu baik.
kamu ngasih waktu ke hal-hal dan orang-orang di sekitar kamu. di tengah dunia yang judgmental dan sinis, you stay odd. aku mau deket-deket orang kayak kamu"
demas tertegun, mematri manik airis.
apa demas sudah pernah bilang kalau airis punya mata sebening bulan? kalau kamu lihat bulan, hati kamu nggak akan ngerasa apa-apa but serenity. bening yang seperti itu.
kesadaran merayapi demas pelan, ah mungkin bukan gesture airis yang kalau cerita mirip anak kecil tapi sorot matanya yang memang seperti anak kecil. tulus, lebih jujur dari ekspresinya yang datar. demas ternyata suka mata airis dan sepertinya akan selalu suka maka ia mengulum senyum.
"udah"
"udah apa?"
"tadi nanya kan aku udah suka sama kamu apa belum? jawabannya udah. aku udah suka sama kamu, sekar. selalu suka ternyata"
manik airis berdilatasi seiring pernyataan demas dan pelan-pelan, hatinya penuh. hati demas penuh, keduanya meluruh. pelan-pelan mereka paham, alasan-alasan yang mereka hipotesakan sepertinya memang cuma hipotesa sebab yang paling benar adalah rasa itu ada karena diri mereka masing-masing.
karena itu demas maka airis suka dan karena itu airis maka demas suka.
3 notes · View notes
splettering · 7 months ago
Text
gondry ― surreal thing
aeri menatap takjub pada mangkuk mengepul yang dibawa ibunya. uapnya menguar kemana-mana menimbulkan bau gurih harum khas sup rumput laut. aeri segera mengambil sikap tegak lantas bertepuk tangan.
"saengil chukka hamnida, saengil chukka hamnida, saranghaneun ma-i self... saengil chukka hamnida" nyanyi aeri meriah sementara sang ibu mendecihkan tawa.
"ulang tahunmu kan sudah lewat"
"memangnya kenapa? menyanyikan lagu ulang tahunkan boleh kapan saja" balas aeri sambil mengambil sendok tidak sabar. "hmmmm...." gumamnya setelah menyesap sesendok kuah sup rumput laut yang dihidangkan ibunya.
"buatan donghyeok pasti lebih enak kalo dia bisa bikin, tapi, bikinan mama tetap juaranya" kata aeri sambil mengacungkan jempol. lagi-lagi sang ibu mendecih.
"aku tidak yakin atas kebenarannya, kau ini sekarang apa-apa donghyeok. haduh capek sekali pasti jadi dia"
"kenapa? donghyeok suka aku repotkan" balas aeri acuh sambil menyantap banyak-banyak rumput laut. "ma, aku mau nasi" tambahnya manja. ibu aeri mendecak tapi tetap berdiri mengambilkan aeri semangkuk nasi. aeri tersenyum.
entah kenapa hari ini aeri ingin sekali makan sup rumput laut. tapi, karena donghyeok tidak doyan dan tidak bisa memasaknya, aeri ke rumah ibunya. kebetulan ibunya tidak sibuk hari ini, jadi sup rumput laut yang aeri idamkan bisa segera tersaji.
sembari makan, ibu aeri nyatanya tidak beranjak dari samping putrinya. perhatiannya justru tertuju pada maternity belt yang sebelumnya aeri lepaskan. "siapa yang membordir ini?"
"hm?" perhatian aeri teralih. ibunya menunjuk pada bordiran nama di sisi belt.
"oh, aku" aeri menjawab ringan seraya menelan. ia bawa korset hamil itu ke sisinya. "kemarin aku belajar jahit. i don't know but sewing is a basic skill a housewife should has(?)" aeri sangsi sambil mengedikkan bahu. "terus donghyeok ikutan belajar. ini kita jahit bareng. 애 ini donghyeok yang bikin, aku 리 nya. iya tau kalah rapi tapi kata donghyeok artistik" aeri mengulum tawa sementara ibunya geming. aeri menyendok lagi sup-nya.
"sepertinya besok mama harus minta maaf ke donghyeok banyak-banyak" kata ibu aeri lebih seperti monolog. ia lantas membawa pandangannya kepada aeri yang nyatanya mengerutkan dahi. "tapi yang utama, mama minta maaf kepadamu"
"huh? memang mama melakukan kesalahan apa? beli tiket ke alpen di hari pernikahanku?"
si paruh baya mendecak. "apa mama kelihatan segila itu?" tanyanya sinis yang digelaki aeri.
"who knows? coping mechanism orang beda-beda"
"what's that coping mechanism for? mama senang kau berakhir dengan donghyeok, yah walaupun caranya begini. tapi tetap saja, mama senang dan bersyukur lelaki itu donghyeok" tatapan ibu aeri melunak. beliau lantas membawa tangannya menyeka dagu aeri yang tercecer kuah sup.
"waktu kau kecil mungkin kita jarang ya duduk berdua begini. menemanimu makan. mama selalu sibuk dan mencari-cari entah apa. papamu juga sama saja. kami hanya tidak tau saat itu, aeri. bahkan untuk mengajarimu menjahit saja mama tidak bisa, ah jangankan mengajarimu. mama saja tidak bisa menjahit," ibu aeri mengulum tawa. "makanya mama jadi nggak tau bajumu ada yang sobek atau tidak, mama tidak bisa perbaiki. maaf ya" ucap beliau membuat aeri tertegun. aeri tidak pernah merasakan luapan emosi seperti yang ia rasakan saat ini jadi ia hanya bisa geming sambil menatap mamanya nanar.
"dalam hitungan minggu, kau sudah akan jadi istri. dalam hitungan bulan, kau sudah akan menjadi ibu. kau akan menjadi apa saja tanpa mama sempat mengajarkan. untuk itu, mama minta maaf" tambah sang ibu seraya menyelipkan rambut aeri ke belakang telinga. "nanti mama akan bicara ke donghyeok supaya dia banyak maklumnya. bukan salah kamu, tapi salah mama" pungkas beliau sambil berdiri, hendak menggantung maternity belt aeri bersama mantel yang tadi dipakainya.
malam itu, setelah menghabiskan sup rumput laut dan dibekalkan sekotak kecil untuk dimakan di rumah―kecil karena donghyeok tidak suka―aeri dijemput pulang donghyeok. di mobil tampak sepi sebab aeri tidak banyak bercerita dan donghyeok tidak ingin mengganggu. sebenarnya aeri banyak memikirkan ibunya. tentang hubungan mereka, tentang esensi beliau di hidupnya. pikiran itu semakin menjadi saat aeri mengeluarkan sup dari tasnya dan menemukan secarik kertas di sana. sebuah resep, dengan ps. yang sangat ibunya. katanya: setidaknya aku mengajarkanmu ilmu rumah tangga.
"aeri aku pul―loh, kamu kenapa menangis?" donghyeok kelabakan menemui calon istrinya sesegukan di dapur sementara ia sudah bersiap pulang. hari ini donghyeok memang tidak menginap tapi tampaknya ia harus urung. donghyeok bawa aeri ke sofa panjang di depan tv.
"kenapa? ada yang sakit? ada yang bikin nggak suka?" tanya donghyeok beruntun dan aeri konstan menggeleng. bila sudah begini maka donghyeok tidak bisa lagi bertanya. si lelaki lantas menunggui perempuannya menangis seraya mengantisipasi pergerakannya. bila aeri mau mendusal maka ia buka lebar tangannya, bila air mata aeri terlalu deras maka donghyeok akan selalu menyeka.
"dong―" panggil aeri tercekat.
"ya. gimana? ada yang sakit?"
aeri menggeleng lalu dengan mata basah ia tatap donghyeok. "nanti kalau mamaku minta maaf ke kamu, jangan dimaafin" katanya. sebenarnya donghyeok tidak mengerti tapi ia mengangguk saja.
"iya, nanti nggak aku maafkan"
"buat apa dimaafkan kan kalau dia nggak salah?"
"iya. memang seharusnya mama nggak minta maaf" donghyeok menepikan rambut aeri yang basah terkena air mata.
"iya" aeri menggangguk lucu sebelum mendusalkan diri ke dada donghyeok. "dong... setelah ada bayi di perutku aku jadi sadar kalau jadi mama itu surreal moment. the surreal thing that i have to live day by day. jadi karena kayak nggak nyata jadi banyak nggak taunya. nggak tau bukan karena mama nggak ngajarin but it's pure personal experience" gumam aeri didekapan donghyeok.
"mamaku mengajarkan aku kok" aeri tiba-tiba mendongak menatap donghyeok. "walaupun nggak banyak tapi mama mengajari aku. mama masukin aku ke sekolah internasional biar aku tau persaingan, jadi nanti aku bisa mengenalkan bayi macam-macam bahasa juga. mama ikutin aku kursus ini itu jadi aku tau apa yang sebenarnya aku mau, nanti aku bisa kasih tau bayi. mama jarang makan bersama tapi mama selalu kasih list makan apa yang harus dimasak jadi aku tau mana makanan sehat. nanti aku bisa filter buat bayi. kalau nanti pas jadi ibu atau istri kamu aku banyak nggak taunya, itu karena aku belum familiar saja. bukan salah mama. it's surreal thing you have to know" racau aeri seiring donghyeok merapikan rambut aeri yang berantakan kemana-mana.
"iya, aeri. jadi mama nggak harus selalu tau semua kok. seperti yang pernah aku bilang, rumah itu dirawat. bukan cuma oleh ibu tapi semuanya yang ada di rumah"
"iya. nanti bareng-bareng kan?" aeri bersembunyi lagi di dada donghyeok. donghyeok terkekeh seraya mengangguk.
"iya, bareng-bareng. sama aku, sama kamu, sama bayi" donghyeok mengelus lembut perut aeri. setelahnya lantas hening. donghyeok masih menawarkan keamanan yang aeri cari sementara pikiran aeri kembali melayang.
"dong"
"hm?"
"aku sudah menentukan siapa yang akan menemaniku jalan ke altar nanti"
"oh iya? siapa? papa atau ayah?"
aeri mendongak. kali ini senyum sudah terbit di wajah kuyunya. "bukan keduanya" katanya ringan lantas kembali bersandar di dada donghyeok. tiba-tiba rautnya tampak puas.
1 note · View note
splettering · 7 months ago
Text
mama & asa & naya
"lo sebenernya bisa pergi, sa" kata naya nyaris seperti gumaman membuat asa menghentikan aktivitas memotong rockwool-nya. si yang lebih muda mengernyit.
"apaan?"
naya menghela nafas. "itu, yang ke singapore. lo bisa pergi, ntar gue yang bakal sering-sering ke sini"
"kenapa jadi lo yang ngusir gua?" asa melanjutkan memotong rockwool―itu loh, yang jadi media tanam hidroponik.
"nggak ngusir. gue ngasih validasi"
"siapa yang butuh validasi emang?"
naya lagi-lagi menghela nafas. "gue jadi kakak lo udah dua puluh empat tahun gak sih, sa? you know, putting yourself first tuh nggak sama kayak jadi loser. cara bertanggung jawab tuh banyak" kata naya sambil ikut asa berjongkok memilah potongan rockwool berbentuk kubus. sejak pemerintah makin nggak jelas, asa kepikiran menuhin kebutuhan harian mereka―dia dan mamanya―secara organik. salah satunya, sok ngide bikin hidroponik. sementara naya asik, asa diam.
"mama juga nggak nyuruh lo stay di sini. you can trust us. pergi aja, that's once in billion chance for you"
kali ini asa yang menghela nafas. yang dibicarakan naya tentang tawaran kerja dari client di singapore. asa itu cemerlang, kemarin dia baru menyelesaikan projek bareng perusahaan dari singapore dan si client suka dengan output plus cara asa handling demand mereka. turned out mereka mau kerja sama asa lagi tapi sebagai asa bagian dari mereka. perusahaan asa jalan di bidang jasa―digital marketing―dan mereka sama sekali nggak keberatan kalau asa bisa lebih mengembangkan sayapnya. "it's not because i am not putting myself first, mbak"
naya menatap asa nanar yang dikembalikan asa sungguh-sungguh. "kayak yang lo bilang, tanggungjawab bentuknya banyak dan ini cara yang gue pilih. lewat presensi," asa memutus kontak dan memotong rockwool lagi. "lagian gue nggak ngambil tawaran itu karena tanggungjawab gue ke mama. dimana-mana, mbak, sebenarnya ibu itu bisa aja hidup tanpa anaknya. they're that tough. mama juga, mama kan nggak pernah takut apa-apa. yang bikin gue stay itu ya karena gue sendiri. gue yang nggak bisa kalo nggak ada mama. gue yang butuh"
hening. asa masih memotong rockwool sementara kanaya sibuk mencerna omongan asa. "but still, pikirin lagi..." ucap naya lirih. asa tertawa.
"mbak nayaaaa, lo kenapa sih khawatir banget? lo bukannya udah jadi kakak gue dua puluh empat tahun ya?"
"ck," naya mendecak. "justru karena gue punya pengalaman dua puluh empat tahun sama lo. lo tuh selalu nothing to lose di semua kesempatan padahal kadang lo perlu ngotot, sa. kejar yang jadi hak lo, ambil kesempatan lo, ngotot saaaa"
"ngotot capek, mending yang slow but sure aja" kata asa tengil seraya melirik naya dan membawa sisa rockwool ke meja di serambi. naya mendengus. dari balik gerbang, ia melihat avanza hitam berhenti dan menurunkan seorang perempuan bermantel coklat. rambutnya lebih terang dari terakhir naya melihatnya.
"tuh, yang pasti-pastinya lo"
"ha?" asa menengok clueless demi menyadari perempuan bermantel coklat tadi mendorong pagar rumahnya seperti rumah ia sendiri. belum lagi koper penuh stiker yang diseret.
"ngapain lagi sih?" dengus asa dan naya terkekeh.
dia kia, anakia, dan naya suka banget sama kia karena perempuan itu satu-satunya yang bisa bikin asa 'ngalah'.
"kiaaaaa" naya menyambut kia ramah.
well, manusia dan caranya itu memang menarik.
0 notes
splettering · 9 months ago
Text
gondry ― when we're married
donghyeok melipat kedua tangan di sebalik kepala sementara matanya melihat kosong pada langit-langit, aeri bergelung di dadanya. sedari tadi perempuan itu berceloteh yang tidak sepenuhnya donghyeok dengarkan. ah atau malah tidak donghyeok dengar sama sekali. di dalam kepalanya, lelaki itu sibuk bicara sendiri.
siang tadi mereka baru tiba setelah dua hari mengunjungi tokyo. mereka memang ke negera tetangga, bukan untuk berlibur tapi menemui papa aeri. aeri itu setengah jepang setengah korea, mamanya bercerai lalu menikah lagi dengan orang korea hingga akhirnya menetap. memang yang berdarah korea itu mama aeri sedangkan papanya, beliau di tokyo. ketika aeri menyampaikan pendapat untuk menemui papanya perihal pernikahan mereka, donghyeok sedikit rikuh. bukan apa-apa, tapi donghyeok tidak bisa berbahasa jepang. lantas bagaimana ia meminta izin?
aeri terkekeh seraya memeriksa kerapian cukuran donghyeok. "papa bisa bahasa inggris kok. lagian papa ngerti bahasa korea, kan mantan istrinya orang korea. easy"
aeri menenangkan pagi itu namun donghyeok masih belum tenang maka dengan sisa waktu seadanya, donghyeok belajar instan dari youtube dan buku saku yang diam-diam ia beli. sayangnya―untungnya―papa aeri justru bicara bahasa korea terpatah dan campuran bahasa inggris. tidak mengapa, donghyeok lega. setidaknya kendala pengungkapan maksudnya tertangani hingga, malam itu setelah aeri terlelap, donghyeok menyeduh kopi lantas menjumpai ayah aeri terpekur di depan bonsai dengan rokok di tangan. donghyeok sudah berhenti merokok, maka ia temani saja calon ayah mertuanya.
"aku paham cinta masa muda. aku pernah mengalaminya. kalian berapi-api" kata pria setengah baya yang bahkan rambutnya masih lebat dan legam. donghyeok kira aeri mewarisi rambut papanya itu.
"aku juga tidak menentang pernikahan kalian, begitulah cara kalian bertanggungjawab. tapi apa bayanganmu tentang pernikahan, donghyeok? kobaran yang membara dalam dirimu dan aeri itu pada akhirnya akan padam juga. kalau alasannya hanya anak, maka kusarankan tidak perlu menikah" papa menghembuskan asap dari hidung.
"anak bukan landasan pernikahan tapi kamu dan aeri lah landasannya. tidak harus selalu seirama tapi saling berkompromi," papa aeri mematri mata almond donghyeok yang sedikit terkesiap. "bisa kamu berkompromi? memaklumi kalau bagaimanapun juga aeri hanya seorang manusia? yang punya sisi egois, yang diam-diam mendambakan hidupnya seutuhnya. pada akhirnya dia bukan ibu dari anakmu, bukan istrimu, bukan juga putriku. she's just a girl... donghyeok, aku pernah menggagalkan aeri, maka aku harap kamu jangan"
"AK!" donghyeok menjengit ketika aeri mencubit kecil perutnya. rupa aeri sudah mengerut di sisi ketiak donghyeok. "kenapa, aeri??? sakit tahu"
"ya kamu, aku cerita panjang-panjang nggak dengerin. kan aku butuh pendapat kamu" aeri bersungut sementara donghyeok mendecak kecil.
"bukan nggak dengerin, tapi kamu udah ngomong hal yang sama sejak tadi dan aku udah ngasih pendapat juga 'kan?"
"ck, kamu tuh emang nggak ngerti. nggak nganggap serius kekhawatiranku! ini tuh penting, dong, milih antara papa dan ayah yang nganterin ke altar tuh krusial. aku nggak mau seakan ngecilin salah satu dari mereka"
"ya makanya aku bilang tanya. tanya ke mama, baiknya gimana. kamu jangan hidup dipikiran kamu sendiri. nggak semua hal yang menurut kamu krusial itu krusial, aeri. masih banyak hal yang lebih penting"
aeri seketika terduduk. "kok kamu ngomong gitu?!"
donghyeok melengos seraya mengikuti aeri bangun. "kamu emang gitu kan? melebih-lebihkan apa yang seharusnya nggak besar"
aeri melotot sengit. "kamu apa sih ngajak bertengkar?! kamu tuh dari di tokyo kemarin nyebelin tau nggak? sama sekali kayak orang nggak niat. ketemu temen-temenku juga kamu diem aja, kesannya kamu kayak nggak suka. apa kamu emang nggak suka aku ajak ke tokyo? iya?" aeri mulai meninggikan suara membuat donghyeok menghela nafas panjang seraya menunduk dan menggelengkan kepala kecil.
"aku keluar sebentar" desah donghyeok bahkan tanpa melihat ke aeri. ia melenggang ke luar begitu saja, menuju balkon rumah yang sempit.
pikiran donghyeok berkecamuk. ia merasa bersalah sebab berbicara cukup kasar pada aeri tapi donghyeok juga tidak bisa menolong diri. yang tadi itu ia sudah menahan diri sebab daripada turut ribut memikirkan siapa yang mengantar ke altar, donghyeok lebih khawatir soal hal setelah dari altar itu.
pertanyaan―dan pernyataan―papa aeri memang mengganggu donghyeok. bukan karena ia ragu dengan fakta kalau ia harus berkompromi dengan aeri (donghyeok bahkan akan dengan percaya diri menjawab "kim aeri" pada pertanyaan dengan siapa ia suka rela terdampar di galapagos), melainkan ia ciut memikirkan aeri setelah pernikahan mereka.
pun donghyeok masih bertanya-tanya, apakah aeri benar tidak keberatan menjadi seorang istri? istrinya, terikat dengannya? benarkah aeri sesuka hati donghyeok menyambut bayi mereka? bukan sekedar bentuk kecelakaan atau rasa tanggungjawab tapi sebagai simbol saling mengasihi.
bagaimana kelak kalau aeri mendambakan hidupnya (seutuhnya) kembali tapi donghyeok telah mengambil terlalu banyak dan tidak bisa mengganti? apa... aeri akan bahagia?
"do―sejak kapan kamu ngerokok lagi?!" aeri memekik seiring donghyeok menyesap nikotin dari gulungan diantara bibirnya. wajah perempuan itu memerah dan tangannya mengepal di kedua sisi sementara donghyeok acuh dan memalingkan muka.
sejak tiga bulan belakangan donghyeok memang berhenti merokok. aeri takut donghyeok mati muda setelah salah satu rekan kerjanya divonis kanker paru. aeri itu, ia selalu takut donghyeok mati―pergi. si gadis kecil itu.
"kamu tuh―kamu tuh kenapa sih?! kamu udah mau jadi ayah, donghyeok!!" aeri menghentak sebal seiring air mata luruh membasahi pipi gembilnya. aeri menyeka kasar seraya berbalik yang bisa donghyeok tangkap dari ekor mata. perempuan itu lantas menyambar jaket dan donghyeok mendengar bunyi debam pintu. aeri pergi. dia yang pergi. donghyeok memejamkan mata.
donghyeok tidak mengapa bila kesempatan ini bisa menjadi momen refleksi aeri. di sini tidak akan ada yang rugi kecuali aeri dengan keputusan-keputusannya. donghyeok hanya berharap kalau perempuan itu bahagia. aeri bahagia. hari ini, setelah hari ini, setelah hari keputusan-keputusannya diambil...
malam itu, setelah bulan-bulan yang selalu dihabiskan dengan aeri, donghyeok akhirnya meringkuk sendirian di kasur. lelaki itu bahkan tidak di kasur, ia di pinggiran ranjang sambil menggenggam sepatu kecil beraksen beruang yang aeri bersikeras beli dengan dalih lucu.
"kamu tuh nggak kayak keledai, dong, kamu tuh beruang. kayak gini. ini ntar kalo dipake si bayi pasti lucu" kata aeri waktu itu sambil mengusap perutnya yang masih datar.
donghyeok menenggelamkan kepala diantara lutut seiring bahunya berguncang. lelaki itu menangis. entah kapan terakhir kali ia menangis.
'ctak' tiba-tiba lampu kamar menyala. donghyeok terhenyak dan menengadah dengan wajah tidak karuan sementara aeri menjulang di depannya dengan wajah pias. bahkan sekarang wajah perempuan itu mengerut.
"k-kamu kenapa? kenapa nangis??" aeri bersimpuh di depan donghyeok lantas menangkup wajah si lelaki. melihat dengan seksama. "kenapa nangis? ada yang sakit??" runtun aeri dengan bola mata bergetar membuat donghyeok meluruh ambruk. ia dekap aeri erat-erat seraya menyembunyikan wajah di bahu si puan. donghyeok menghidu dalam aroma aeri dan makin terasa sesak karenanya.
"maaf, maaf, maaf, sayang, maaf..." racau donghyeok kacau.
"kenapa minta maaf? kenapa nangis? donghyeok..." aeri ikut meluruh lantas bersimpuh saling memeluk dengan donghyeok. "a-aku nggak marah, i-iya tadi sebel tapi nggak marah. tadi aku kebawa emosi terus pergi, aku cari makan soalnya kata kamu h-harus makan t-tapi aku malah ke restoran favorit kamu terus baru sadar aku juga pake jaket kamu a-aku―" aeri tercekat seiring pelukan donghyeok mengerat. dalam pelukan donghyeok perempuan itu turut menangis.
"aku sayang kamu aeri, aku sayang kamu. maaf, sayang... aku sayang kamu" donghyeok mengecupi sisi kepala aeri berkali-kali membuat aeri makin sesegukan.
"aku juga. aku juga, donghyeok. k-kamu kalo kenapa-napa bilang ya sama aku... jangan ngerokok, jangan marah-marah, aku... aku sayang kamu. b-bayi juga sayang ayahnya... kita s-sayang kamu"
sejak hari aeri menyilakan donghyeok berbagi ruang dengannya, maka tidak sehari pun donghyeok meringkuk sendirian di kamar. pun donghyeok harap akan selalu begitu. pun aeri akan selalu mau begitu.
0 notes
splettering · 9 months ago
Text
Tumblr media
dia serupa pohon,
tidakkah?
suatu hari pohon randu bercerita tentang ia yang patah tulang rusuknya karena menyejajari daun-daun yang tinggi demi sesuap untuk gembala.
lalu kébén terlalu sungkan menjatuhkan buah ke kepala sesiapa saja maka raja berprasangka; ah dia pelindung, maka ia berpindah dari pesisir ke tanah istana.
ketapang itu rendah hati sebab meski daun-daun kering pun dipunguti. obat kata mereka namun tidak pernah ia mendengar terima kasih. ia geming, senantiasa tumbuh lalu gugur.
bougenville diam-diam mengamati. ia tidak peduli tapi tidak enggan menggugurkan satu dua kelopaknya yang setipis dan seterang kertas krep di atas kepala-kepala yang lesu.
lalu dia, dia seperti pohon-pohon itu,
tidakkah?
pohon tumbuh di tanah yang sama; menghujam akar, mencari hara. hanya tanah itu cerminan langit: dinamis maka suatu masa ia kerontang lalu subur, berumput lalu berlumut maka pohon tidak pernah terasa akrab. tapi pernahkan pohon berkhianat?
ia bahkan tidak membual meski sering mendengar kisah dan bualan-bualan.
pohon itu, bukankah ia protagonis? semakin tua, semakin ia bijaksana bahkan mungkin ia tidak pernah tua. tuhan pengasih namun kasihnya berlipat-lipat pada pohon yang geming dan miring maka ia karuniakan mantra awet muda. dari kuncup hingga tunas; bahkan meski ia tua ia tidak. bahkan jiwanya pun tidak. lalu ia,
tidakkah ia serupa pohon?
tidakkah ia serasi dengan angin?
kalaupun ia tak serupa pohon maka kudoakan ia geming dan miring dan serasi dengan angin dan dikasihi tuhan berlipat-lipat.
―sebenarnya ia itu pohon.
0 notes
splettering · 9 months ago
Text
gondry ― berumah
aeri hamil. anak donghyeok.
awalnya donghyeok seperti ditubruk air bah; terapung-apung, terasa penuh tapi tidak tenggelam mengetahui kabar itu. konteksnya tidak negatif sebab ia tidak merasa keberatan atau mengganjal sedikitpun. alih-alih ia panik sebab lakon baru tersemat sekonyong-konyong padanya. father-soon-to-be dan husband-soon-to-be. tentu saja donghyeok akan menikahi aeri―bahkan tanpa kejadian hamil inipun donghyeok selalu punyak bayangan itu. menikah.
ibu aeri memijat kening saat donghyeok dan aeri duduk bersimpuh di hadapan beliau beserta ayah aeri seminggu lalu. ibu aeri tidak galak, hanya kadang tatapannya nyalang. percis aeri. "aku tau kalian dimabuk cinta, tapi apa tidak bisa kalian bermain aman?"
donghyeok akan menjawab sebelum aeri memotong. "raw is its bestest, ibu juga suka kalau ayah polos kan?"
ibu aeri melotot, ayah aeri salah tingkah nyaris terkikik sementara donghyeok, lelaki itu tidak hanya melotot tapi mencubit paha aeri. "aw! apa sih kamu? ibuku memang―"
"sss-ayanggg...." donghyeok buru-buru membekap mulut aeri sambil tersenyum kikuk.
itu bukan hormon hamil. aeri memang selalu eksplisit maka selalu ada hal yang membuat donghyeok geleng-geleng. contoh lain, tiga hari lalu aeri pergi ke kantor dengan tee yang membuat baby bump-nya tampak. donghyeok sih tidak masalah dengan bagaimana aeri berpakaian tapi donghyeok kira aeri mau menyembunyikan kehamilannya. sebenarnya, di mata donghyeok, aeri tidak seperti perempuan yang mau menikah―apalagi hamil. maka donghyeok tidak pernah terpikir dampak aeri akan hamil. ia berprasangka kalau perempuan itu sudah pasti akan mencegah dengan caranya sendiri.
aeri itu perempuan solid yang cerdas, pandangan itu yang sebenarnya membuat donghyeok panik akan kehamilan aeri. sebenarnya donghyeok tidak benar-benar mengenal calon ibu dari anaknya itu dan donghyeok menyesal. kenapa ia tidak pernah bicara sungguh-sungguh dengan aeri. kalau orangnya hilang begini kan, donghyeok yang repot.
"kamu dimana, aeri... kamu bawa anak kita" gumam donghyeok menenggelamkan kepala dikemudi mobil.
kembali ke aeri yang tidak terprediksi, iya, perempuan itu hilang―baca: tidak ada kabar―sejak jumat malam kemarin. malam itu mereka dari rumah donghyeok. keluarga donghyeok tahu aeri hamil dan alih-alih judgmental, mereka menyambut itu. aeri kesenangan sampai hampir menghabiskan sepanci sup abalon buatan mama lee kalau saja donghyeok tidak menahannya. "nanti muntah, aeri"
"apa karena ku larang makan abalon itu ya?" monolog donghyeok nelangsa. ia masih meringkuk dan bertumpu pada kemudi. waktu itu sih aeri tidak terlihat bete dilarang donghyeok begitu, tapi saat pulang aeri minta diturunkan di stasiun alih-alih rumah.
"aku mau naik kereta"
"terus mobilnya gimana?"
"kamu naik mobil, aku pulang naik kereta"
"mana bisa gitu?"
"bisa. udah sana"
dan begitu saja. donghyeok melepas aeri tanpa menyangka kalau hingga hari minggu, perempuan itu tidak ada kabar. ponselnya tidak mati tapi menolak dihubungi. aeri seakan menghindari donghyeok dan itu membuat donghyeok ingin menangis. sekesal-kesalnya aeri padanya, aeri tidak pernah membuatnya clueless.
donghyeok jadi menerka, jangan-jangan perkara menghindarnya aeri lebih serius dari sekedar dilarang makan abalon. jangan-jangan, sebenarnya aeri tidak suka ide mereka menikah. ia setuju karena kepalang tanggung kemudian sadar kalau pernikahan bukan akhirnya. atau jangan-jangan aeri tidak suka hamil. aeri berencana mengambil master dan hamil tentu menjadi big x. maka, bisa jadi aeri membenci donghyeok yang tidak berhati-hati.
"aeri... pulanglah, maafkan aku..." rintih donghyeok. ia nelangsa, tapi juga kesal menganggap hubungannya dengan aeri mudah padahal, di waktu-waktu sekarang, ia harusnya banyak mengajak bicara aeri. perempuan itu hamil dan sangat perlu didengar objektivitasnya sebab dunianya tiba-tiba jungkir balik. bukan malah donghyeok fokus pada emosi dan pikirannya sendiri.
donghyeok masih telungkup ketika ponselnya bergetar dan menampakkan nama aeri di sana tapi, ketika donghyeok dengan tidak sabar akan menggeser ikon hijau, getaran itu senyap. aeri seakan menggoda donghyeok namun untung aeri bukan perempuan jahat sebab, selang dua detik, perempuan itu mengirimi donghyeok pesan.
|dong aku di lapangan bulutangkis dekat share house
|ayo main
----------------
donghyeok dilarang bertanya atau bicara apapun sejak menjumpai aeri di lapangan bulutangkis yang lengang. perempuan itu langsung mengangsurkan raket dan begitu saja, mereka sparing. donghyeok melewatkan pukulan berkali-kali membuat aeri mendecak.
"ck, aku servis sekali lagi. bersiaplah!" kata aeri dan kock memantul kesana kemari. sumpah donghyeok juga enggan bicara pada aeri, ia hanya mau memeluk perempuan itu.
"aku ke rumah nenek kemarin, di cheongju"
"apa?!" donghyeok setengah memekik bersamaan kock jatuh melayang ke arahnya. aeri lagi-lagi mendecak dan donghyeok buru-buru memantulkan kock itu lagi. "kenapa ke cheongju, naik apa aeri??"
"naik bus"
"gimana?!"
"dong, fokus!"
"ck," kali ini donghyeok yang mendecak keras. ia melempar raket ke lantai lantas menggesturkan tangan meminta aeri mengikutinya. "kemari," katanya seraya berjalan ke sisi lapangan. ia duduk di dudukan semen di bawah pohon dedalu.
"apa?" aeri bertanya malas tapi mendudukkan diri di sebelah donghyeok. donghyeok menghela napas seraya melihat aeri lekat. alih-alih jengkel, tatapan donghyeok lunak.
Tumblr media
"sudah makan?"
"hm?" aeri menelengkan kepala bingung.
"kamu. sudah makan?"
"u-udah"
"kalo kemarin?"
"ya makan juga"
"tiga kali?"
"ck, 2x makan nasi. malamnya aku makan bubur soalnya lagi mau bubur"
donghyeok tersenyum simpul. "good," katanya sambil mengusak kepala aeri. "aku nggak larang kamu pergi-pergi. boleh pergi kemana aja tapi bilang-bilang. kalo nggak sama aku, boleh sama jimin atau hyeji. perjalanan ke cheongju kan lumayan jauh, kamunya juga lagi gini," donghyeok mengelus perut menyembul aeri. "emangnya lagi marah ya sama aku?"
aeri menundukkan kepala dan menggeleng lambat. ia menangkup tangan donghyeok yang bertengger di perutnya.
"terus kenapa tiba-tiba pergi nggak bisa dihubungi?"
"aku lagi nyari jati diri"
kan. jawaban nyeleneh lagi.
"nyari jati diri gimana?"
"ya aku kan bentar lagi mau jadi istri, ibu. i should know myself better" aeri merajuk sambil memainkan jempol donghyeok.
donghyeok menghela napas. "terus nyarinya harus ke cheongju?"
aeri geming sepersekian detik. "karena cuma di cheongju aku ngerasa disambut" jawab aeri lirih lantas mematri manik donghyeok. bola mata donghyeok itu serupa susu coklat almond yang selalu aeri suka di tengah malam. itu hangat, mata aeri jadi terasa panas.
"kemarin waktu ke rumah kamu dan liat gimana kamu disambut, aku ngerasa kecil. ibu bahkan nyisihin duri ikan khusus buat kamu, that's lovely, dong, bikin aku ngerasa hangat tapi juga bolong. aku sadar kalau aku nggak pernah diajarin caranya nyambut. boro-boro misahin duri, aku selalu makan makanan yang udah jadi. kecuali kalo di rumah nenek aku disuapin. jadi aku ke cheongju," aeri mengedip dan buliran air jatuh begitu saja dari matanya.
seakan sudah menjadi peran, donghyeok langsung menyeka. dia lantas merapatkan duduk dengan aeri dan mengelus lengan si perempuan. aeri akan lebih tenang ketika menangis dan tidak diinterupsi. maka donghyeok memberi afirmasi non verbal itu.
"aku mau kayak ibu kamu, yang menyambut dan menghangatkan rumah. makanya aku mau belajar dari nenek just turned out it made me realising kalau selama ini aku yang selalu jadi yang disambut kamu. itu bikin aku sedih, kalau gitu apa aku bisa jadi ibu di rumah kita? aku bahkan nggak tau cara misahin duri ikan" lambat laun aeri sesegukan lantas mencari dada donghyeok untuk bersembunyi. pun donghyeok membuka lebar dirinya, menyambut aeri yang katanya tidak jago menyambut orang.
omong kosong.
bahkan tanpa pelukan atau ikan yang telah dipilah dari duri pun, cukup melihat aeri saja donghyeok sudah merasa disambut. batangan coklat yang selalu ia selipkan di tas, botol-botol air yang selalu penuh di kulkas, makanan 4 sehat 5 sempurna yang selalu komplit dibekalkan; bukan cuma disambut tapi donghyeok merasa dirawat. diperhatikan sepenuh hati.
"aeri, rumah itu jadi hangat bukan cuma karena sambutan tapi juga perawatan. rumah yang dirawat dengan benar bakal jadi nyaman kan? dan kamu itu the best care taker yang aku tau. aku mau hidup dirawat sama kamu, terus-terusan. yang lama"
0 notes
splettering · 11 months ago
Text
jurnal khalinta bukan jurnal milik khalinta tapi catatan dari janu tentang khalinta. awalnya catatan itu hanya berupa scribble janu yang kepikiran khalinta yang hari itu rambutnya diikat tinggi ekor kuda. cantik banget menurut janu maka tanpa sadar, alih-alih menuliskan rumus integral di papan, janu justru menulis cantik cantik cantik berkali-kali di notebook hingga ditegur nael. nael cengengesan, janu salah tingkah. sejak hari itu janu mulai menulis apa saja tiap berpapasan, bertemu atau hanya sekedar melihat khalinta dari kejauhan. janu memang beranjak dewasa, sudah mahasiswa, tapi nyalinya untuk sekedar menyapa khalinta belum sebesar nilai quiz-nya yang selalu dapat a.
---
kakikukekhal on tumblr
jangan ceroboh khaaaaaal
hari ini gue sholat di musholla dekanat soalnya musholla sekre lagi diberesin kemarin ada kecoak bikin heboh. gak expect bakal ketemu khalinta di lobby lantai 2 sendirian. kayaknya lagi wifi-an. tumben banget nggak sama sefa, tapi ya gue nggak nanya. gue cuma lewat aja terus bablas ke musholla. gue kira abis gue sholat juga dia udah cabut soalnya jarang banget liat khalinta sendirian terus lama-lama di kampus abis kelas bubar. gue kira juga dia cuma lagi ada urusan sama dekan, apa bagian kemahasiswaanlah, nggak taunya khalinta masih di situ. anteng bener masih laptopan. gue sengaja pake sepatu deket situ sambil liat khal kayak beres-beres. gue kira mau cabut eh malah dianya doang yang cabut tapi laptop sama tasnya masih ditinggal. lah gue bingung, dianya main ngeloyor. gue deketin meja tempat dia duduk, laptopnya setengah nutup sambil masih di-charge. tasnya dijadiin tatakan di bawahnya terus di samping barang-barang itu ada keras dilipet gitu biar bisa tegak kayak kalender meja. tulisannya 'ada cctv!!!!! jangan diberesin/diambil, orangnya lagi sholat'
gue speechless??????
kacau khalinta nalacitaaaaaa tapi juga heran tapi juga lucu, kacau parah. kok dia ya santuy banget ninggal barang-barangnya gitu aja modal ditulisin gitu doang. ya iya ada cctv tapi duh khaaaaallll don't be carelessssss. lucu amat jadi orang (emot nangis)
ya udah gue tungguin dah tuh barang-barang sambil pura-pura main hape di ruang tunggu dekan. biar kayak nungguin antrian tanda tangan. khalinta balik, gue juga balik ke sekre. lucunya abis balik dia malah nyengir. amaaan, gitu katanya. iya aman soalnya gue jagain, lain kali jangan begitu khal!!!!!
---
(entry ini janu tulis di semester 3, khalinta dan janu sejurusan tapi beda prodi)
1 note · View note
splettering · 2 years ago
Text
sincerely, mika (yang hobi marathon)
Tumblr media
✿ mikail marjaya & mikhayla adrianna dari universe mika & mikha
mika menyandarkan kepala pada headboard sofa ketika mikha urung juga menghampirinya. kata perempuan petite itu mika disuruh tunggu sebentar karena dia sedang melakukan adegan dewasa. mika terkekeh saja tadi saat membaca pesan mikha.
mungkin agak ribet melafal nama mika dan mikha sebab huruf h dinama mikha nyatanya tidak signifikan maka terkhusus mika, ia memanggil mikha dengan 'kecil'. cil atau m, tergantung suasana hati mika―terkadang babe kalau lagi mood banget. lalu kecilnya mika itu, tiba-tiba tadi mengirim pesan agar mika mampir dulu ke kosnya sepulang dari kampus. katanya ada sesuatu yang mau ditunjukkan. namun saat mika sampai, m malah belum siap dan mika jadi harus menunggu padahal di otaknya sudah ada barisan kalimat di jurnal―yang siang tadi di-share seniornya―yang eager mika tambahkan ke latar belakang tesis.
"kak," mika menengadah saat suara yang ia kenal masuk ke rungunya. mika menegakkan tubuh seraya tersenyum sheepishly pada mikha yang menghampiri. perempuan itu lantas mengulurkan sesuatu seperti balon padanya. "buat kamu"
mika keheranan. "apa?"
"flower balloon" mikha mengambil duduk di sebelah mika begitu lelaki itu menerima serangkaian bunga balon yang ia ulurkan.
"what??" mika memekik tertahan tapi senyum masih bertahan di bibirnya.
"ih ini tuh lagi ngetrend tau. kayak balon mainan gini dibentuk bunga-bunga. ini agak gak kayak bunga sih, tapi ini bunga. ini centernya, ini mahkotanya," mikha menunjuk-nunjuk bagian yang ia sebut sebagai center dan mahkota sementara mika makin menguarkan kekeh.
"iyaaa, tapi buat apa ngasih aku beginian?"
mikha terdiam dan mengerjap dua kali. "kan kemarin aku bilang ikut workshop bikin flower balloon, nah ya ini jadinya. kemarin yang ini yang aku fotoin ke kamu," mikha menunjuk satu tangkai balon bunga di rengkuhan mika. "terus aku bikin 2-nya lagi di rumah. lebih bagus kan, kak? aku niat" mikha mengerutkan dahi dan menautkan alis membuat mika tertawa.
"jidatnya jelek" mika mengelus dahi mikha. "terus aku ke sini cuma buat dikasih ini?"
"ya... iya" mikha mengangguk gamang. "emang gimana? kamu mau aku bikinin live sekarang kah?"
"maksudnya kan sekalian kamu pulang gitu, lewat sini. kalo di-gosend kayak mubadzir banget gosend-in ginian doang"
"nggak mubadzir, bagus kok" mika mengelus tiap-tiap kelopak dari bunga balon yang mikha buat.
"mubadzir duitnya," mikha mengulum tawa. "kayaknya aku bisa deh, kak, bikin bisnis ginian. nanti pelanggan pertamanya kamu"
mika membolakan mata. "ini bayar???"
"nggaaaak. ini tester dulu. nanti kalo sampe kos ada yang bilang bagus, bilang ya. afirmasi buat aku"
"bagus kok. kan tadi udah dibilang bagus"
"dari orang lain maksudnyaaa. kamu mah bilang apa aja juga bagus"
mika tertawa. "tapi ini bagus beneran. i can recognize kok ini bunga. fully bloomed flowers" kata mika dan mikha mengerlingi lelaki di sebelahnya yang sedang tersenyum lembut. mikha menghela napas panjang sebelum menyandarkan diri di headboard sofa.
"di kos lagi pada pergi. nggak sih, ada ifa lagi belajar di atas, tapi mostly lagi pada keluar" kata mikha sambil memandang kosong ke depan dengan tangan dilipat di atas perut. mulutnya manyun.
"tadi jadi ketemu sama orang thailand-nya?" mikha tiba-tiba memfokuskan pandang pada mika sementara yang dipandang mengikuti gesture mikha bersandar di sofa.
"jadi. tapi cuma diskusi biasa sih. minggu depan aku jadi ke bangkok" jawab mika dan mikha membulatkan mulut.
"tiga hari ya?"
"he'em"
"aku mau belalang goreng dong" seloroh mikha dan mika seketika meloloskan tawa.
"itu sih di gunung kidul banyak. lainnya?"
mikha mengerucutkan mulut, tampak berpikir. "thai tea?"
"dum-dum ada"
"pad thai deh"
"nggak makanan kayak gitu, ciiiil"
"aku maunya makanan kayak gitu"
"ya udah ganci gajah aja" goda mika membuat mikha merotasikan mata.
"ya udah, oleh-olehnya kamu selamat pulang perginya aja"
"dih romantis amat"
mikha menaikkan alis. "is it?"
"yes untuk ukuran kamu. kinda affectionate"
"aku affectionate!" mikha menjawab defensif. "ini aku kasih bunga. the first person i thought pas bunganya selesai tuh kamu, kak. oh kayaknya bagus nih dikasih kak mika biar hidupnya agak lucu"
"what's the agak lucu?" mika mengulum tawa.
"nggak tau" mikha menyandarkan diri lagi ke sofa pula mika mengikuti sambil masih mengulum sisa tawa.
"kak, haus gak?" mikha mengerlingi mika dari ekor mata. "mau dibikinin minum?"
"mau"
"teh?"
"yang artisan tea yang kamu beli masih?"
"masih. orang gak suka"
mika tertawa. teringat mikha yang eager cerita tentang artisan tea yang ia lihat direview selebtwit hingga membuatnya tergoda. Tapi, setelah dibeli, boro-boro mikha suka. rasanya terlalu 'aneh-aneh' untuk lidah mikha yang 'polos'. "ya udah mau teh itu ya," kata mika sambil memasang tatap pada mikha. "aku juga mau di sini dulu sejam boleh kan?"
mikha menaikkan alis. "lama banget sejam? nanti diledekin pacaran"
"ya kan emang pacaran"
"ih" mikha mendecak. "ya udah sambil aku ngerjain duo lingo deh, aku udah naik level"
"iya iyaaaa" mika memasang rupa gemas sambil mengusak kepala mikha. si perempuan tidak berkomentar banyak tapi segera ke dapur demi segelas teh hangat untuk mika. mika tersenyum seraya duduk.
lelaki itu menengadah menghadap langit-langit ruang tamu kosan mikha namun tangannya aktif membelai buket balon yang mikha beri. mika itu antara workaholic dan pekerja keras susah dibedakan. yang jelas, menurut mika, selama masih muda ya harus kerja. harus aktif dan produktif supaya nggak wasting time dan menyesal dikemudian hari. miriplah prinsipnya sama jerome polin yang youtuber itu. tapi, mau sesuka apapun mika lari, mampir dan berhenti di mikha adalah hal yang tidak akan ia lewatkan. bukan karena mikha suruh dan ia pacarnya, tapi dengan mikha rasanya mika bisa benar-benar istirahat.
di mata mika, mikha punya dunia sendiri yang mika boleh dan surprisingly suka tinggal di dalamnya. dunia mikha itu lengang dan tenang jadi tidak apa-apa kalau mika bengong dan tidak melakukan apapun di waktu yang lama. no one rushed him. no one judge him even himself. maka mikha adalah tidur paling nyenyak untuk seorang mikail marjaya yang hobi marathon.
mika membelai lagi flower balloon dari mikha. bagus, beneran bagus. mika suka lantas tersenyum lebar seraya merengkuh buket itu lebih erat.[]
1 note · View note
splettering · 2 years ago
Text
soraya & hilmi: his silly attitude
soraya menguarkan tawa ketika api-api kecil―meliuk-liuk di atas sebuah kue―diantarkan hilmi padanya. lelaki itu berbisik-bisik menyanyikan selamat ulang tahun sementara aray digendongannya.
"apa?!" exclaimed soraya ikut berbisik sambil mengelus kepala aray yang bersandar nyaman di dada hilmi. "bobo?"
"iya. makanya husst" hilmi lalu menyorongkan kue yang terbias samar ke hadapan soraya. "selamat ulang tahun, ibu. shiawase ni natte, daisuki desu" katanya sambil mengecup ringan pelipis soraya. soraya tertawa.
"udah ketebak tapi makasih," katanya menerima kue dari hilmi sambil mengelus perut lelaki itu. soraya lalu membawa kue bertabur bubuk coklat itu ke meja makan. "tapi kenapa harus gelap-gelapan sih?" soraya menjangkau saklar lampu dan menyalakannya.
"biar surprise" jawab hilmi sekenanya lantas mendudukkan soraya. "ayo tiup lilin bertiga. first time nih" hilmi bersemangat sementara soraya lagi-lagi mengulum tawa. tahun ini memang tahun pertama ada aray diantara hilmi dan soraya. soraya menjadi ibu dan hilmi menjadi bapak. berkah yang bila ada kata lebih dari bersyukur, soraya akan menggunakan itu.
"orang abangnya bobo"
"soalnya tadi kamu kelamaan"
soraya menaikkan alis. "tadi yang nyuruhnya gak jelas siapa? dari laundromat ke konbini loh, terus balik gak jadi"
"hehe maaf... abis tadi yang nganter kue juga gak jelas"
"kamu yang nggak jelas"
"iya maafffff," hilmi menangkup pipi soraya lantas mengerucutkannya. "ulang tahun gak boleh marah-marah. effort nih ngasih surprise ada bayi"
pandangan soraya turun ke aray yang sedang digendong koala oleh hilmi. bayi lelaki itu hampir 100% mirip hilmi dari rambut ikal sampai keterampilannya berceloteh sejak dini. "sayang..." belai soraya pada belakang kepala aray.
"i don't really have wish except kamu sama aray sehat, bahagia" soraya tersenyum hangat pada hilmi.
hilmi mengelus pipi soraya sayang sementara senyum tak kalah hangat terulas di bibirnya.
"makasih" lirih soraya seraya menangkup tangan hilmi yang sedang mengelus pipinya.
"nah," hilmi menarik tangannya dari pipi soraya sebelum mengelus puncak kepala si perempuan ringan. "tiup lilin gih," katanya.
"oh," soraya hampir lupa ada lilin yang harus ditiup dan kue yang menunggu dipotong.
"yeay, selamat ulang tahun, ibu. selamat tujuh bulan jadi ibu aku" kata hilmi mencemprengkan suara seolah aray yang sedang bicara. "ibu sugoiiii" hilmi lantas mengacungkan jempolnya dan jempol aray pada soraya. soraya lagi-lagi tertawa. hilmi ini silly-nya tidak berubah―pun soraya harap tidak akan pernah berubah.
"oh iya," hilmi merogoh saku celananya mengeluarkan sekotak berwarna egg blue. "tangan kamu" hilmi menengadahkan tangan meminta tangan soraya.
soraya memberikan tangannya cuma-cuma lantas hilmi memasangkan gelang serut berwarna silver. "gift. dari aku sama abang," katanya sambil menilik manik soraya. "disini ada tulisannya; aeri," hilmi menuliskan kanji di telapak tangan soraya dengan telunjuk. "means love and fondness in japanese cause we are japanese now" hilmi menarik senyum tengil sementara tangannya mengelus plat kecil di gelang soraya.
"silly" soraya snorting sambil memindai gelang yang kini terpasang di tangannya. "kirei ne"
"of course. aku yang custom" hilmi tersenyum jumawa sambil menangkup kedua telapak tangan soraya. "have any idea kenapa gelang?"
soraya menaikkan sebelah alisnya. "karena simple?"
"ck," hilmi berdecak seraya memanjangkan muka. "i never go simple for you loh, it's always extrrrra"
soraya lagi-lagi tertawa dengan perangai laki-laki di depannya. "iya, iyaa, si paling extrrrra" soraya menepuk-nepuk pipi hilmi sayang.
hilmi lagi-lagi menangkup kedua tangan soraya. "gelang biar bisa jagain dua tangan kamu ini," hilmi mengecup tangan soraya ringan.
"tangan kamu bawa banyak banget buat aku sama abang. bawain makan tiap hari, bawain pat-pat kalo kita lagi sedih, bawain tepuk tangan yang orang lain belum tentu mau ngasih, bawain usap-usap di punggung kalo kita gak bisa bobo," hilmi menengadahkan tangan soraya dan ia bawa dekat dengannya. "these two hands, i would forever protect cause my life has been cupped here. preserved and enough" hilmi mengecup kesepuluh jari soraya sebelum meninggalkan kecupan lama di telapak tangannya.
kecupan-kecupan hilmi selalu ringan seperti kepakan kupu pada bunga tapi soraya suka dengan kecupan seperti itu. seperti diberi pembuktian berkali-kali: i love you here, i also love you here, and here and here and here... rasanya seperti disayang dengan amat dan kekanakan―innocent. maka soraya tidak bisa untuk tidak menangkup pipi hilmi dan mengangkatnya dengan hati-hati. mungkin terdengar aneh tapi soraya selalu suka bagaimana pipi hilmi terasa pas di tangannya. he's indeed her personal squishy maka soraya membubuhkan ciuman di kedua pipi lelaki itu.
"i love you" dan entah kenapa ungkapan seperti love you selalu mudah soraya lafal untuk hilmi. "di sini," soraya mengecup tahi lalat hilmi di dekat telinga. "di sini," lalu yang ada di bawah mata. "di sini," lalu yang di dekat rahang dan masih banyak tempat lainnya sebab hilmi punya banyak tahi lalat di wajah. lelaki itu tertawa-tawa.
"di sini nggak?" tanya hilmi menunjuk bibir. soraya mengulum senyum penuh arti.
"here's my favorite" bisik soraya sebelum membubuhkan ciuman lama di sana namun urung seraya aray menggeliat lantas merengek.
"abaaaang~ kenapa bangun sekarang?" kali ini hilmi yang merengek sementara soraya tertawa.
"soalnya abang tau ya, bang, kalo hari ini ibu ulang tahun jadi mau rayain bareng" soraya membawa aray dalam gendongannya sementara hilmi merajuk merapikan gendongan koala yang dipakainya.
soraya memindai hilmi lambat dan seksama sebelum kembali mengelus pipi si lelaki.
"makasih, bapak. for the gift, for repotnya ngasih so-called surprise ada bayi, for thanked me and two of my hands; your silliness always caught me and i love it. it's small but i do hope it could cup this for very long time" soraya menepuk pipi hilmi ringan sementara si lelaki perlahan mengulum senyum kotak.
hilmi menelengkan kepala dan mengecup telapak soraya tak kalah ringan. "sama-sama, ibu. terima kasih..."
Tumblr media
0 notes
splettering · 2 years ago
Text
giselle baru membereskan tas dan memakai bomber ketika pintu ruang latihan dibuka. seorang laki-laki berjaket hitam masuk terburu sampai mereka hanya berserobok mata tanpa sapaan berarti. giselle mengangguk sekenanya.
haechan. giselle tahu―tentu saja―lelaki itu tapi giselle cukup heran dengan kehadirannya karena setahunya ruang latihan tidak akan dipakai lagi setelah latihan grupnya. pun giselle harusnya menjadi 'penghuni terakhir' setelah tadi meminta ekstensi waktu dari trainer mereka.
giselle mengedik, dia bukan tipe orang yang gemar mengurusi urusan orang lain maka ia kembali membenahi tas. toh giselle harus buru-buru sebelum managernya datang untuk mengantarnya ke gym. fact that everyone knows, giselle loves gym soooo much until the point mau selarut apapun latihan selesai, giselle akan tetap pergi ke gym even though ia hanya akan latihan 15 menit dan berbincang dengan trainer―atau somi kalau dia datang―45 menit di sana. it's about consistency, giselle point.
giselle melewati haechan yang sedang berjongkok di samping sofa ketika ia melihat lelaki itu menggulung kabel charger. oh mungkin charger-nya ketinggalan. giselle juga tidak begitu memperhatikan ada charger yang dari tadi menyolok di stop kontak.
"mari, sunbae" pamit giselle dan haechan mendongak abruptly. menggumam 'oh' tidak jelas sambil mengangguk pada giselle. giselle sedikit membungkukkan badan sebelum tangannya mencapai knop namun urung ia membuka pintu, haechan memangil.
"gi-selle?" lelaki itu memanggil tidak yakin dan giselle segera berbalik.
"ya, sunbaenim?"
"benar giselle kan?" kata haechan berdiri sambil menyimpan charger di saku tracker. giselle mengangguk terpatah.
giselle sudah berkali-kali berpapasan dan bertemu dengan sunbaenya ini namun baru kali ini ia mengajaknya berbicara langsung. giselle tidak tahu banyak tentang haechan tapi menurut giselle lelaki itu seperti punya dua sisi. ketika datang ke konsernya atau menunggu ruang latihan dari grup haechan, haechan selalu kelihatan hyper, aktif dan berisik sampai kadang giselle mengulum senyum sendiri saking absurd-nya tingkah haechan. namun, ketika lelaki itu ditempatkan di situasi yang bukan diantara member grupnya atau ketika seorang diri, haechan adalah pribadi yang secretive dan pendiam. sangat bertolak belakang maka giselle cukup heran dengan sapaan yang diberikan sebelumnya.
"benar. ada yang bisa dibantu, sunbae?"
"nggak. kamu mau ngapain?"
"baru selesai berlatih, sunbae"
"terus?"
"ngg.... menunggu jemputan(?)" giselle keheranan menjawab pertanyaan haechan sebab apa ya, terlalu aneh? terlalu tiba-tiba? pun haechan hanya manggut-manggut.
"mau nggak ngapa-ngapain nggak?"
"ha?" refleks giselle clueless membuatnya buru-buru menundukkan kepala. "eh maaf," katanya namun haechan justru mengulum senyum. setelahnya ia mengedikkan kepala dan membuka pintu untuk mereka membuat giselle secara spontan mengikutinya.
giselle tidak tahu mereka akan kemana dan akan ngapain tapi giselle mengikuti saja seniornya itu. toh selama tahu haechan, giselle tidak menangkap tanda bahaya dari lelaki itu. despite sikap dua sisinya, menurut giselle, haechan adalah pribadi yang hangat. tidak seluwes chenle atau se-approachable mark memang, namun haechan hangat. giselle can tell.
"k-kemana sunbae?" tanya giselle saat mereka terus berjalan ke ujung koridor dan berbelok menuju toilet. haechan tidak menjawab dan justru berhenti tepat sebelum koridor bercabang di antara toilet laki-laki dan perempuan.
"kesini" katanya sambil mengedik ke jendela besar di dekat toilet. giselle tahu jendela itu. orang-orang bilang the one and only window sebab dari sekian spot di gedung perusahaan, hanya jendela ini yang memiliki view terbaik. bukan lurus ke pemandangan kota tapi ke langit. lapang dan luas. giselle tanpa sadar mengikuti haechan berdiri menghadapnya.
langitnya tidak cukup pekat dan bulannya terlihat jauh. tidak ada yang spesial namun entahlah, mungkin karena itu langit dan giselle pernah mendengar kalau tuhan tidak pernah membuat langit sama setiap harinya maka ia merasa takjub. pelan-pelan giselle merasa penuh.
"kamu selalu latihan sampai terlambat ya?" tanya haechan tiba-tiba. mata mereka berserobok dan giselle bisa melihat betapa berantakan rambut lelaki itu membingkai wajahnya. giselle mengangguk kaku.
"mengulang beberapa gerakan yang saya belum hapal"
"sugohaesseo" tanggap haechan mengangguk-anggukkan kepala namun lagi-lagi justru membuat giselle off guard.
"ha?" refleks giselle yang langsung ia timpali dengan menundukkan kepala (lagi). "eh, maaf, maaf"
haechan tertawa. "kenapa sih? santai aja. kata jeno kita seumuran. chill" katanya tapi giselle justru makin merutuki diri.
setelahnya tidak ada percakapan lagi pun giselle jadi fokus memandang langit. mencari jejak-jejak bintang di hamparan langit yang gelap dan bersih. satu, dua... tiga...
"kalo aku, kadang kalau habis latihan gitu, pengennya cepet-cepet pulang. pengen cepet main game soalnya pengen collect senjata baru," kata haechan memecah keheningan. "tapi kadang nggak pengen cepet-cepet pulang juga. mampir studio dulu. belajar compose sama nulis lagu dikit-dikit," tambahnya dan giselle masih mendengarkan.
"aku kadang gini, kadang gitu. pengen ngelakuin ini, pengen ngelakuin itu. pengen banyak hal tapi akhir-akhir ini aku ngerasa, kalau habis latihan, paling bener ya kayak gini," haechan mengedik sekali dan giselle menoleh. melihat profil lelaki itu dari samping seraya menunggu kata-kata selanjutnya.
"nggak ngapa-ngapain," haechan melipat bibir seraya memasukkan tangan ke saku jaket. "bengong liat langit atau liat jalan. kadang sampe rumah aku matiin lampu kamar terus bengong liat plafon. ngerasain fakta kalau hari ini udah berakhir dan aku udah naklukin lagi satu hari itu..."
"...keren. rasanya lega dan keren," haechan tiba-tiba menengok membuat matanya dan giselle jadi berserobok. "kadang nggak ngapa-ngapain itu bikin ngerasa lega dan keren. giselle juga, coba nanti bengong ya, biar sadar kalo udah keren" pungkas haechan dan giselle sontak tertawa. what a man with his words. giselle tidak lagi menyembunyikan tawa.
pun sisa hari itu, alih-alih ke gym, giselle memutuskan pulang. mandi, membersihkan diri, memakai piyama paling nyaman, makan potongan buah peach di kulkas lalu meminum susu hangat. giselle menyalakan lilin aromaterapi, mematikan lampu dan melihat langit-langit kamar seraya menunggu tertidur dengan sendirinya.
malam itu giselle literally nggak ngapa-ngapain dan entah kenapa justru rasanya ringan. pun wangi musk dan pelembut laundry dari haechan, entah kenapa mengikuti giselle pulang.
4 notes · View notes
splettering · 2 years ago
Text
Hilal & Gina #episode 6: Their Conversation
---
Tumblr media
---
Gina sedang melihat arakan awan di luar jendela ketika merasa bungkus chips yang dipegangnya bergoyang tidak beraturan dan disitulah, Hilal dan tangan celamitannya. Gina melirik sinis.
"Celamitan" seloroh Gina tapi membiarkan saja tangan Hilal meraup banyak chips miliknya. Hilal cengengesan.
"Ya lu gak nawarin, gue inisiatif lah"
"Gue nggak nawarin aja lo udah inisiatif, apa kabar gue nawarin?" sinis Gina dan Hilal lagi-lagi nyengir.
"Berbagi itu kunci, Gin" kata Hilal tapi Gina sudah malas berdebat maka ia kembali melihat arakan awan di luar. Kereta terus melaju dan bunyi kraus-kraus dari Hilal mulai terdengar. Mungkin lelaki itu sudah bosan dengan game-nya atau mungkin mulai lapar, Gina enggan bertanya.
Agenda pulang bareng seperti ini, baik Hilal maupun Gina mungkin akan sama-sama menjawab tidak tahu bila ditanya sejak kapan. Yang mereka tahu, bila pengumuman libur semester atau libur lainnya yang sekiranya panjang keluar, ruang obrolan mereka akan otomatis terbuka. Mungkin, mungkin janjian-tapi-nggak-janjian itu adalah kebiasaan yang mereka bawa dari sekolah sebab dulu, waktu ada orientasi siswa, kemah pramuka atau kegiatan tambahan lainnya, pertanyaan seperti "dijemput siapa?" atau "bareng nggak?" adalah pertanyaan lumrah untuk mereka jadi bahkan saat kuliah pun, saat mereka literally sudah tidak bertetangga, hal seperti itu akan tetap begitu.
"Hiiillll" Gina berucap gemas ketika tangan Hilal lagi-lagi merangsek ke bungkus chips. Kali ini Hilal tidak mengambil banyak. Hanya dua tiga keping tapi wajah lempeng Hilal membuat Gina sukses menautkan alis. Apa ya, bukannya Gina pelit atau apa tapi Hilal dan kebiasaan seenaknya nggak pernah gagal bikin Gina bete.
"Minta doaaanggg"
"Ya bilang kan bisa?!" Gina memutar duduk menghadap Hilal. "Lo tuh kebiasaan deh seenaknya"
"Apa sih minta doang sensi? Ntar gue beliin se-indomaret indomaretnya" balas Hilal ofensif bikin Gina tambah kesal.
"Tau ah" pungkas Gina lalu memutar duduk. Menghadap jendela kembali setelah menyimpan chips di tatakan di bawah jendela. Sebodo deh mau dihabisin Hilal atau gimana, Gina sudah tidak peduli sebelum, setelah satu menit di posisi begitu, tangan Hilal tahu-tahu menjulur.
"Maaf," kata Hilal pendek bahkan intonasinya terdengar malas. Gina cuma melirik. Hal lumrah lain diantara Gina dan Hilal, Hilal akan selalu menjulurkan tangan, mencari maaf―entah itu ikhlas atau tidak―ketika mood Gina dirasa Hilal berubah.
"Dimaafin nggak nih?" tanya Hilal demanding sambil menggoyang tangan. Gina menghembus nafas jengah.
"Hm"
"Hm tuh hm apa?"
"Iya"
"Iya apa?"
"Gue colok ya, Hil, mata lo" kesal Gina karena Hilal literally menggodanya. Si lelaki tertawa.
"Gin, Gin... hiiiihhhh" tangan Hilal meremas udara membuat Gina beringsut. "Kenapa sih?"
"Lo tuh yang kenapa? Dari dulu kayaknya sensiiiii banget sama gue. Gue ketekin juga nih" seloroh Hilal dengan gesture tengilnya.
Gina bergidik. "Apa sih gak jelas"
"Tapi seriusan, lo tuh ada masalah apa sih sama gue? Kayaknya gak pernah suka gitu sama gue, herman, padahal separo hidup lu ada guenya"
"Ya lo duluan selalu cari gara-gara. Suka banget bikin gue nangis pas SD"
"Ya Allah pendendam banget lu, Giana, dari SD masih aja diinget-inget. Gue kan juga kalo abis bikin lo nangis selalu minta maaf"
"Apa gunanya minta maaf kalo dilakuin lagi?"
"Astaghfirullah" seloroh Hilal tapi entahlah, di akhirnya ia mengulum senyum. "Gue ketekin beneran lu" kata Hilal tapi lagi-lagi Gina sudah malas berdebat maka ia kembali melihat ke luar jendela. Gina membaca plang-plang random di jalanan yang bisa ia baca: padang sederhana, laundry kiloan, jual tanah tanpa perantara, dilarang kencing selain anjing―
"Gue dulu iri tau, Gin, sama lo makanya gue suka ngisengin lo. Pas lo kesel gitu gue ngerasanya impas tapi kalo lo nangis gue juga ngerasa nggak enak, (haaahh) emang dasarnya gue orang baek si―" celotehan Hilal menggantung seiring matanya tiba-tiba berserobok dengan mata Gina. Literally manik perempuan itu mengunci manik Hilal membuat Hilal keheranan.
"Apaan?", "Apa yang lo iriin dari gue?" tanya Hilal dan Gina hampir bersamaan membuat keduanya mengatupkan mulut. Gina masih mengunci manik Hilal sedangkan Hilal, entahlah, rautnya datar.
Hilal menghela nafas kasar. "Banyak, Gin. Banyak yang gue iriin dari lo pas kecil," jawab Hilal seraya bersender ke kursi. Menyilangkan tangan di dada sambil matanya menatap ke luar jendela. Gina ikut bersender seraya atensinya tidak lagi ke luar tapi pada Hilal. Tubuhnya menyerong.
"Poin pertama dan paling penting, lo itu anak tunggal," Hilal mengacungkan telunjuknya. "Pas kecil gue pengen banget jadi anak tunggal biar gue nggak perlu jagain adek-adek gue yang  lo tau sendiri ada 3 biji. Mana Rifat waktu itu masih bayi, bikin gue kalo apa-apa tuh jadi kayak harus nanggungjawabin Danty Didi. Yang jajan-lah, nungguin balik, pernah juga cepirit di sekolah gue juga yang ngurusin. Belum lagi kalo pengen apa gitu pas Danty Didi sakit, 'itu adek-adeknya lagi sakit lho, Bang, kok malah mau jajan es?'," pandangan Hilal menerawang. "Gitu deh pokoknya. Gue ngerasa nggak suka aja punya adek pas itu. Beda sama lo yang anak tunggal. Yang kalo kemana-mana lo diajak, pengen main sepatu roda tinggal maen, maen skuter tinggal maen; nggak perlu takut diomelin bikin adeknya ikut-ikutan terus jatoh" Hilal memandang Gina yang nyatanya daritadi memandanginya. Manik mereka lagi-lagi berserobok sebelum Gina mengangguk samar lalu memutus kontak.
"Sekarang, masih iri?" tanya Gina lirih tapi cukup Hilal dengar dan seketika, Hilal kehilangan kata-kata. Orang bilang Hilal itu jago bicara, ngelesnya pinter tapi entahlah, untuk Gina dan case-nya, Hilal selalu kehilangan kata-kata.
Tentang keadaan Gina sekarang―pasca perpisahan orang tuanya―, Gina pernah menangis sekali di depan Hilal untuk setelahnya biasa saja. Mungkin benar Hilal menghabiskan separuh hidupnya dengan ada Gina tapi itu sama sekali tidak membuat Hilal benar-benar mengenal Gina. Menurut Hilal, Gina adalah manusia paling dinamis. Gina cepat sekali belajar: cepat sekali memahami emosi, cepat sekali menidakapa-apakan diri, cepat sekali terlihat baik-baik saja maka pertanyaan 'sekarang masih iri?' itu, Hilal bahkan tidak bisa mengidentifikasi jawaban seperti apa yang ingin Gina dengar.
"Sebenernya ya, Hil, kemarin gue bohong bilang mau ke mami," Gina menabrak lagi manik Hilal dan untuk yang ini, Hilal menangkap sedikit sendu di sana. "Gue tuh sebenernya pengen liburan di Jogja aja. Ke Kanina apa kemarin gue sempet kepikiran ikut Nora balik ke Bali. Sebulan liburan gitu kan mayan tapi... kalo gue pikir-pikir, sebenarnya papa bakal nggak papa sih kalo gue nggak balik. Dia pasti juga nggak bakal nanya yang gimana-gimana asal gue perginya jelas, cuma ya gitu, bokap entar sendiri. Almost one year he'll spend his days alone, gue nggak tega... cuma bokap tuh juga jarang di rumah even gue di rumah dia nggak spare times buat kita. Bokap gue udah beda, Hil, dari yang lo liat dulu sering ngajakin gue keluar," Gina mengulum bibirnya.
"Terus kalo ke mami, nggak tau ya, sejak mami gue nikah lagi, gue ngerasa beda aja. Mami is still as lovely as she used to be, dia tetep Mami cuma... kayak dia udah punya keluarga baru, keluarga yang lain dan walaupun Mami sama suami barunya nge-treat gue well, gue ngerasa asing aja. That's not place I should go walaupun Mami di sana. Makanya nggak taulah, tiap liburan tuh gue sebenernya bingung mesti kemana. Gue kayak nggak punya rumah, Hil" cerita Gina seraya memilin-milin ujung sweatshirt-nya. Sweatshirt hijau yang Hilal tahu sering Gina pakai, mungkin favoritnya.
"Do I sound pathetic?" tanya Gina lirih, lebih seperti monolog tapi sayang Hilal masih bisa mendengar maka laki-laki itu enggan untuk tidak menjawab seperti tadi.
"Pulang ke rumah gue aja" jawab Hilal sambil menyorongkan sebungkus permen yupi yang sudah ia buka―yang entah didapat darimana―pada Gina. "Hari ini kata Danty mama bikin bolu pisang. Sekalian lo makan deh, suka kan lo sama bolu pisang emak gue?"
Gina menerima yupi dari Hilal―permen favoritnya―dengan kebingungan. "Ya masa gue tiba-tiba ke rumah lo? Gue udah lama nggak ke lo, Hil, udah kayak tamu nggak diundang aja gue"
"Yaelah, tamu apaan sih? Orang gue patah tulang kemarin yang dicari mama gue duluan tuh elu, tamu apaan coba? Udah berasa bestie mama gue tuh sama lo. Lagian kan yang anaknya elo, Gin, bukan gue" seloroh Hilal bikin Gina mengerut.
"Maksudnya?"
"Ya kan yang anak kandungnya mama elo. Orang yang ulang tahun siapa yang dibikinin bolu pisang siapa. Anak pungut gue mah" jawab Hilal dan Gina tertawa. Teringat kejadian waktu mereka kelas enam SD. Waktu itu Gina opname karena demam berdarah dan pas hari Gina boleh pulang, itu ulang tahun Hilal. Mama Hilal, daripada bikinin kue atau apapun untuk Hilal, justru bikinin Gina bolu pisang yang kata Gina dia suka banget. Ceritanya sambutan Gina pulang dan Hilal ngambek berat sampai Gina yang nggak tahu apa-apa disinisin tiga hari.
"Ketawa lu," sungut Hilal dan Gina justru makin tertawa. "The best emang mama lo, Hil" seloroh Gina.
"Thi bist iming mimi li, Hil" Hilal mencemooh. "Makanya jangan sok nggak punya rumah lo, Gin. Rumah gue itu, boleh lo anggep rumah lo juga. Home is about familiarity kan?" pungkas Hilal dan Gina cuma terdiam mendengarnya sebelum, saat Hilal membantunya menurunkan ransel, Gina bergumam samar.
"Makasih, Hil"
"Hm?"
"Makasih. Buat semuanya"
4 notes · View notes
splettering · 2 years ago
Text
Juwi masih asik memandangi interior book cafe alih-alih lelaki yang sedari tadi mengekorinya padahal tadi ia yang menepuk punggung lelaki itu lantas meminta waktu. Pengunjung mulai memadat seiring hujan mulai turun. Dimas menghela napas.
"Gue tunggu di meja situ kalo lo udah mau duduk" ujar Dimas tidak sabar. Juwi cuma menoleh sekilas tanpa gesture berarti sambil matanya menatap bergantian Dimas dan meja panjang yang terletak di tengah ruangan. Mirip meja konferensi pikir Juwi lalu ia melabuhkan karbonnya pada Dimas.
"Dim," Juwi merangkum penuh rupa Dimas. Laki-laki yang dikenalnya dari mungkin umur nol dan yang bisa ia panggil namanya dari umur tiga. Anak Mama Ami, si teratur yang tidak pernah melewatkan sarapannya, si paling suka hal-hal lambat dan becak dan kura-kura dan angin sepoi, si tengah yang nyatanya tidak melulu mau mengalah, si mau tahu segalanya tapi mencukupkan mimpinya 'hanya' sebagai pemilik book cafe, si determinative tapi lapang dada, si rasionalis tapi percaya cinta; calon suami Juwi―katanya.
"Kalo nikah bulan depan, bisa?" tanya Juwi datar seakan itu setara pertanyaan preferensi makanan maka respon Dimas kebalikannya. Lelaki itu seketika membolakan mata. Kaget, seratus persen kaget; Juwi can tell. Bagaimana pun Dimas itu ekspresif. Terlalu ekspresif―ah Juwi lupa menambahkan trait itui! Si tidak sabaran yang ekspresif.
Juwi berjongkok. Enggan bertanggungjawab dengan efek yang barusan ia beri pada Dimas dan justru secara acak menyentuh jajaran buku yang tidak ia mengerti kategorinya. Garin Nugroho, Uniqlo, dream of little dream of me, SHINee in Barcelona; what an odd arrangement.
"Kenapa?" Dimas bertanya terburu seraya mengikuti Juwi berjongkok namun daripada merasakan urgensi dari pertanyaan Dimas, Juwi justru menata ulang buku-buku berkategori acak yang dilihatnya.
"Ju," Dimas mengambil alih buku tebal yang Juwi pegang. "Kenapa?" tanya Dimas lagi dengan alis berkerut. Demand tergambar jelas di rupa Dimas tapi lagi-lagi Juwi hanya merangkum itu. Penuh-penuh.
"Kenapa apanya?" Juwi duduk bersila. "Lo sama gue nikah kan emang rencana orang tua kita dari lama. Lo juga suka kan sama gue? I guess it's still as same as the day you've confessed to me," Juwi menelengkan kepala seiring ia coba mengingat sesuatu. "six years ago?" Juwi mengacungkan enam jarinya yang langsung dirangkum oleh Dimas. Lelaki itu mendecak.
"Maksud gue kenapa lo gak ada angin gak ada ujan tiba-tiba ngomongin ini lagi? We're done with this, Ju"
Juwi mengedikkan bahu. "Karena sekarang gue udah waktunya nikah. I am twenty six dan lo," Juwi menunjuk Dimas. "I can tell you still have desire for it. For me juga" kata Juwi percaya diri membuat Dimas lagi-lagi menghela napas.
"Iya. That feeling is still there, Ju, but your mere 'karena gue udah waktunya nikah' nggak cukup jadi dasar kita nikah. Lo ngerti nikah nggak sih, Ju? It's not about age, timing, chance or else, it's more than that. It's about, about..." Dimas menggerakkan bola mata kesana kemari mencari kata yang pas tapi nihil. Juwi mendahului.
"About what?"
"Ck," Dimas mendecak keras. His nggak sabaran side with his expressiveness, Juwi mengulum senyum. "Ya nikah pokoknya nggak secetek itu. Udah lo mending volunteer-an lagi aja, Ju, ke Namibia, ke Sisilia or wherever you're curious about. Dressed yourself first, nicely. Nanti kalo lo udah ngerasa nice, contented, dateng lagi ke gue"
"But I cannot be nicer than this" sela Juwi membuat Dimas mengerutkan dahi.
"What?"
Juwi menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Gue nggak bisa present nicer than this. Gue adanya begini,"
"Dim, it hit me waktu gue ke Filipin kemarin. That's the fifth country I've been travelled, I lived in for fine two months but I don't feel any fulfilment yet. Gue sampe mikir, ini yang salah dari gue apa? Kenapa gue nggak bisa nemu bahagia yang lama, ngerasa seneng yang lama padahal apa yang gue jalanin tuh ya ya udah apa yang gue pengen. Then I realised, Dim, bahagia itu nggak ada... that's just the hormon that makes you happy―no, excited to be precise cause bahagia itu nggak ada.... yang ada kita nyiptain ilusi, bikin standar, ngebayangin momen kalo sesuatu itu bikin kita happy. We're convinced ourselves again and again and again, there's no end. And that, that I cannot be nicer. This me is the nicest of me," Juwi mematri manik Dimas. "Gue mau ngerasa cukup, Dim. Belajar cukup dan nyukupin dan gue pikir, lo tempat yang tepat buat itu" tambah Juwi lambat namun alih-alih berekspresi sembrono, Dimas masih pada composure-nya. Membalas sorotan Juwi sama dalamnya sebelum membuang napas kasar.
"Tapi nikah bukan ajang buat belajar, Ju," kata Dimas berusaha lembut. "Bukan trial and error. Mungkin selama ini lo nganggep udah kenal gue banget. That won't be a problem buat nikah sama gue, hidup bareng gue, it's easy, tapi sebelum lo hidup sama orang, lo harus bisa hidup sama diri lo sendiri.
Ada pepatah Afrika bilang, be careful when a naked person offering you a shirt. We should kan since the scene itself is odd. Pelan-pelan, Ju, kenalin diri lo dulu. Gue nggak kemana-mana. Lo tau itu" the straightforward Dimas and his words, Juwi menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa Dimas mengerti membuat laki-laki itu pada akhirnya sedikit off guard.
"G-gue nggak maksud bikin lo offense atau ap―"
"Fuck you, Dim, lo bikin gue ngerasa tambah pingin nikahin lo," potong Juwi tajam seraya ia mengeluarkan ponsel. Mengutak-atiknya sebentar sebelum menunjukkan satu foto quote yang entah Juwi foto darimana.
Perhaps one did not want to be loved so much as to be understood.
Dimas membaca quote itu sekilas sebelum kembali menatap Juwi yang ternyata sedang menatapnya tajam. "I am that the one and you, you just touch my core" kata Juwi seraya menarik ponselnya lalu dengan sekali gerakan ia bangkit berdiri. Dimas mengikuti.
"Oke, kita pelan-pelan aja tapi nanti, kalo gue ngelamar lo lagi, lo harus terima. Deal?" Juwi mengulurkan tangan dan entah kenapa Dimas tertawa pada uluran itu.
"Deal" jawab Dimas dengan senyum lebar sebelum tangannya ia sempatkan mengusak poni rata Juwi.
0 notes
splettering · 3 years ago
Text
Part of writing challenge from prompt number 2: about being yourself.
Note: I think it's true, when you're just being you, you'll attract more.
----------
"Bentar ya, Mar, bentar gue ganti baju bentar" Danu berjalan tergesa memasuki rumah sementara yang mengekor―alias Mario―ditinggal di belakang. Mario cuma tersenyum khasnya.
"Santai, Bang" kata Mario lalu, seperti biasa ketika ke rumah Danu, Mario duduk di serambi dan melihat pekarangan depan yang banyak ditanami tanaman. Rambutan, semak melati, anggrek gantung, nanas―oh nanasnya sudah tidak ada! Mario menaikkan alis menyadari itu.
Udah dipanen Bintang, batin Mario.
Bintang itu adik perempuan Danu dan iya, dari penjelasan Danu, nanas itu punya Bintang. Dihak-milik lebih tepatnya sebab Bintang merasa dia yang nanam berarti dia juga yang punya.
"Emosi banget gua"
Seloroh Danu tiap menyinggung Bintang. Menurut Danu adiknya itu menyebalkan karena ribetlah, pelitlah, nggak jelaslah. Sedangkan menurut Mario, entahlah. Mario tidak bisa melabeli Bintang se-frontal Danu sebab, selain Mario bukan siapa-siapa Bintang, interaksi Mario dan Bintang itu minim. Semacam menyapa ala kadarnya kalau papasan di rumah Danu atau Bintang baru pulang sekolah. Benar, Bintang masih sekolah. Tiga SMA dan kata Danu lagi ambis-ambisnya.
"Teknik mesin" jawab Danu ketika ditanya adiknya itu mau ambil jurusan apa. Mario mengangkat alis mendengar itu. Bukan apa-apa atau mendramatisir tapi yang Mario kira Bintang itu A ternyata bukan A means ada hal yang Mario witnessed dari Bintang yang  harusnya 'tidak Bintang' semacam Bintang itu petite tapi kalau jajan cilok minimal 7 ribu. Beneran, Mario nggak bohong sebab kalau sore Mario ke rumah Danu, Bintang pasti buru-buru keluar tiap ada teriakan:
"Neeenggg cilok gaaaakkk???"
"Iyaaaaaa"
Mario kira, berdasar Bintang yang lantang meneriaki balik abang ciloknya, adiknya Danu itu orang yang reckless. Yang you do you I do me pun karakter wajah Bintang mendukung. She has that kind of expression. Plain, uninterested, unbothered tapi nyatanya, dua minggu lalu waktu Mario mampir dari latihan softball―seperti hari ini―Mario kaget sampai loncat dari kursi waktu tahu-tahu Bintang pulang―entah dari mana―sambil grasak grusuk dan helm-nya jatuh dari spion tapi dia tidak peduli. Literally straight masuk ke rumah bahkan mungkin presensi Mario waktu itu tidak dia sadari. Nggak lama, Mario mendengar suara orang marah then weeping(?) entahlah, Mario juga tidak yakin sebab hanya samar-samar tapi turned out benar. Suara itu suara ribut Bintang ngadu ke Mama-nya kalau dia salah potong rambut. Menurut Bintang poninya jelek dan kata Danu, dengan drama dan pride delapan belas tahun, Bintang nggak mau masuk sekolah sampai mentalnya siap.
"Ya kali bolos cuma perkara gitu doang, balik lagi lah ke salonnya. Dirapiin"
Dan itu awal mula potongan rambut Haku milik Bintang. Mario diam-diam menamai potongan Bintang dengan potongan Haku sebab literally mirip Haku di spirited away: pendek dan berponi datar. Not bad, justru complimenting karakter wajah Bintang jadi... lucu(?) Entahlah, Mario tidak kepikiran padanan kata lain.
"Sorry, Mar, lama, adek gua tuh cari gara-gara. Orang charger bukan gua yang make" seloroh Danu setelah lima belas menit masuk ke rumah. Tampang menggerutunya kentara. Mario lagi-lagi mengulum senyum khasnya.
"Santai, Bang, gue suka kok" jawab Mario dan Danu mengerutkan alis.
"Suka? Suka apaan?" tanya Danu sambil lalu namun Mario mengulum bibir mendengarnya. Gesture-nya mendadak kaku pun Mario membuang muka.
"Bang,"
"Hm"
"...."
Danu mengerutkan alis kala Mario kelihatan mati gaya. "Apaan?"
"Nggg... Kalo―kalo gue izin deketin adek lo, boleh?"
0 notes
splettering · 3 years ago
Text
haeselle on trope enemy to lovers (kinda)
Tumblr media
made heartily by request from secreto. whoever you are, thank you for made a request means you really read my story huhu also this is my very first time to make a story based on request so i don't know how to execute it. it maybe not meet the expectation but still, i tried and hope you like it. please tell me if you have other requests, i am open for challenge hehe
ps. always remember, the moon loves you ―giselle, one time on bubble.
----------
―CW: separation, divorce
Hilal itu tetangga Gina dari Gina pindah kompleks pas kelas dua SD dan dari dua SD itu, Gina nggak pernah suka sama Hilal. Bukan apa-apa tapi menurut Gina dari umur tujuh sampai sekarang tujuh belas, Hilal itu anaknya nyebelin. Entahlah tapi si Hilal-Hilal ini adaaa aja tingkahnya yang bikin Gina sebel bahkan dulu sering bikin Gina nangis. Terus kalau disuruh maafan sama guru mereka, bukannya minta maaf yang sincere, Hilal nih pasti nambahin 'cengeng lu' di akhir kalimatnya. Kayak apa sih, nggak beneran banget minta maafnya? Terlebih Hilal juga kayaknya nggak suka sama Gina karena pas SMP―iyap, mereka satu SMP―Hilal yang 'ngegagalin' Gina dapat peran utama di teater sekolah yang mana Gina ngincer banget peran itu. Ya Gina sebel lah, masa cuma karena Hilal nggak setuju a.k.a nggak mau Gina yang jadi lawan mainnya―iyap lagi, mereka satu ekstrakurikuler di teater―dia harus ngerelain peran yang dia mau? Gina bahkan masih inget gimana vokalnya Hilal ngasih suggestion ke Kak Aimar tentang Gina yang nggak cocok meranin female lead-nya. Makin-makinlah Gina nggak suka sama Hilal pun Hilalnya antipati sama kenggaksukaan Gina itu. Makanya pas acara makrab dalam rangka MOPD malam ini, Gina shock berat waktu Hilal tahu-tahu mengulurkan tangan padanya.
"Temenin gue nyanyi"
"Cieeee ekhmmm"
Semua orang―nggak peserta didik barunya, nggak panitianya bahkan kakak pembina, ngecie-cie-in tapi daripada kayak scene romantis, Gina ngerasa itu adalah mimpi buruk. Hilal pinter banget bikin Gina 'menderita'.
"Oke, mau nyanyi apa nih pasangan kita? Kak Hilal sama Kak Giana?" seloroh Omar tengil bikin Gina tambah sebel. Akal-akalan siapa sih kalau ada panitia telat hukumannya harus nyanyi duet? Dan kenapa juga si Hilal ini pake telat segala? Rumah mereka bahkan nggak sejauh itu dari SMA! HHHH Gina sebel nggak habis pikir.
"Lucky-nya Jason Mraz" jawab Hilal bahkan nggak ada kodenya sama Gina bikin Gina seketika melotot.
"Yang mana tuh, Kak? Yang lucky I'm in love with my best friend~ itu bukan?"
"Tul" Hilal cengengesan. Sumpah sok asik banget.
"Waduh kode nih, lancar-lancar ya, Kak Hilal, semuanya bilang aamiin coba"
"AAMIIN"
APA-APAAN???!!!! Gina melotot semelotot-melototnya sementara Hilal masih dengan role sok asiknya.
"Gue nggak mau" desis Gina waktu Hilal mengambil posisi di sebelahnya.
"Ya gue juga nggak mau, namanya juga dihukum"
"Tapi yang dihukum kan elo, gue nggak!!!"
"Ya siapa suruh lu mau aja gue tunjuk"
Tuh kan, gitu tuh nyebelinnya Hilal.
"Nih," Hilal menyorongkan ponselnya ke Gina. "Incase lu nggak tau liriknya"
Dan akhirnya mereka menyanyi sepenggal lagu Lucky dengan Hilal yang sok keren dan Gina yang ogah-ogahan bahkan Gina cuma bergumam asal. Males dan sebel banget sama Hilal.
"Suara lu lumayan" kata Hilal setelah sekian jam hukuman mereka selesai dan panitia sedang menyiapkan spot untuk 'renungan malam' di lapangan basket. Entah bagaimana meski tidak akrab dan justru saling tidak suka, Gina dan Hilal selalu bersinggungan di banyak hal. Mulai dari sekolah yang selalu sama sampai ketertarikan di kegiatan-kegiatan sekolah yang mirip. Hilal anak pramuka sedangkan Gina OSIS, jadilah untuk beberapa agenda seperti makrab begini, mereka pasti terlibat.
"Thanks" jawab Gina singkat.
"Pede amat jawaban lu"
Gina menaikkan alis. "Lo yang muji???"
"Ya makanya gue muji harusnya lo lebih grateful gitu"
"Lo tuh mau apa sih, Hil, sebenernya? Jauh-jauh deh"
"Ntar kalo jauh lu kangen"
"Hil????" Gina benar-benar speechless dengan sikap Hilal malam ini kayak apa sih tiba-tiba sok akrab? Segala ngajak bercanda.
"Gue vokalis asal lu tau," tiba-tiba Hilal TMI, tidak mempedulikan rupa kebingungan Gina. "Lu mau denger gue nyanyi lagi nggak? Yang ini beneran"
"Ekhm, ini lagu favorit gue, dengerin baik-baik," bahkan tanpa menunggu respon Gina pun, Hilal mulai menyanyi.
"Hey moon please forget to fall down, hey moon don't you go down. Sugarcane in the easy morning, weathervanes my one and lonely...
Bagus kan suara gue?" tanya Hilal setelah penggalan lagu yang ia nyanyikan. Gina masih geming dengan raut tak terbaca tapi mengangguk pada pertanyaan terakhir Hilal.
"Mayan" kata Gina sambil membuang muka. Gina bukan salah tingkah, dia cuma nggak tahu harus bereaksi bagaimana sebab dia dan Hilal literally tidak pernah berinteraksi 'sedamai' itu. Pun Gina tidak mungkin bilang jelek sebab suara Hilal memang bagus. Entah bagaimana terdengar halus dan menghibur.
"Tanya dong kenapa lagu itu favorit gue"
"Apa sih, Hil? Lu siapin lilin deh"
"Tanya gue dulu"
Gina memutar mata. "Kenapa lagu tadi favorit lo?" Gina bertanya geregetan sementara Hilal, Gina bisa melihat lelaki itu cengengesan.
"Soalnya no one knows what's the true meaning of it," Hilal menjeda dan Gina mulai tertarik. "Itu yang nyanyi panic at the disco, judulnya northern downpour. Lagunya panic tuh mostly nggak ada yang beneran ngerti maksudnya apa. Cuma yang nyanyi sama yang nyiptain aja yang ngerti, makanya maknanya beda-beda buat tiap orang jadi berasa personal aja. Terus lagu yang ini, northern downpour ini, nggak tau, gue ngerasa enak aja dengerinnya. Kayak comforting gitu, remind kalo whatever circumstances you face, remember, the moon loves you. She's always on your side" Hilal mematri manik Gina.
"Gue tau kita nggak sedeket itu malah gue ngerasanya lo sebel sama gue though gue nyenengin gini anaknya," Hilal ketawa sendiri. "Tapi kita tetep tetangga, Gin, dikit banyak gue tau soal orang tua lo..." Hilal memeriksa raut Gina entah untuk apa namun Gina tidak menunjukkan perubahan raut berarti. Hilal mengulum bibir.
"Gin," Hilal menarik senyum hingga kinda lesung pipinya terlihat. "Gue nggak tau lo masih cengeng apa nggak tapi remember ya, whatever it is, the moon loves you. She always loves you" Hilal menunjuk langit dan Gina mengikuti. Menemukan bulan yang tidak benar-benar dalam fase terbaiknya malam ini dan entah bagaimana Gina tiba-tiba merasa runtuh.
Mama dan papanya, yang Gina pikir baik-baik saja selama ini, akan resmi berpisah minggu depan. Gina menerima, Gina belajar menerima, setidaknya Gina tidak menangis selama proses itu tapi mau seberkali-kali apapun Gina mendengarkan dan memaknai older-nya Sasha Sloan atau berusaha menempatkan dirinya di sepatu mama atau papanya, Gina tetap seorang anak yang bagaimana bisa dia baik-baik saja? Separuh mamanya ada di Gina pun separuh papanya lalu bagaimana bisa Gina memilih?
Gina menekuk lututnya rapat dan dengan erat dia peluk dirinya. Gina nggak pernah merasa sehilang itu dan ditengah kebingungannya, di naik turun punggungnya dan ritme napas yang tidak teratur, Gina bisa merasakan tepukan ritmis jatuh di bahunya berkali-kali.
"It's okay, Gin. It's okay, gue tutupin"
Mau umur Gina tujuh atau tujuh belas, Hilal nyatanya nggak pernah gagal membuat Gina menangis tapi tangis yang kali ini, Gina berterimakasih karena Hilal membuatnya menangis. Mungkin Hilal nggak semenyebalkan yang Gina kira.
1 note · View note
splettering · 3 years ago
Text
💌 for krystal, woman who embraces ordinary.
ps. thank you and i love you.
Tumblr media
in this time when people has growing mindset and desire, when they know scandinavia's sky way prettier than their homeland, when heads dream everywhere but home, when million hands jointly reach the sky rather than the land: she chooses home.
then i heard she asks,
"why aspire high when ground is where we belong?"
it's odd. to hear such question slipped out from girl this century's mouth. it's odd but someway, by heart, it's truest.
she presents raw. come as she is.
she speaks nothing but her mind.
she tells no tales but everything she told becomes tale.
she is human but unhuman.
she is too real to be real.
and through her boring straight black hair, plain unsophisticated nails, deliberately impassive face i could tell being ordinary―choose the ordinary, isn't dull nor mundane. it's pretty. she chooses herself so it's pretty.
she's pretty and beyond.
5 notes · View notes