Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
The Sunshine and The Shadow.
Aku masih ingat, kamu pernah bilang—ralat, selalu bilang bahwa aku adalah mataharimu; kemilau cahaya yang menyirami kehidupan monokrommu; yang jadi bola api besar pusat dari perputaran duniamu.
Sekarang, apa benar masih begitu?
Padahal, kalau diingat-ingat, baru beberapa jam lalu kamu pamit, masih dengan embel-embel panggilan khususmu untukku:
aku ngumpul bareng anak-anak dulu ya, my sunshine.
Tapi, lihat kamu sekarang. Bersembunyi di balik bayangan, menghindari cahaya yang kupancarkan dengan berjuta pengorbanan, dan lebih asik mencumbu di bawah kegelapan.
Aku tanya lagi, apa bahkan pada saat itu, kamu masih benar-benar menganggapku mataharimu?
Entah kamu dan lihainya lidahmu dalam tuturkan buaian penuh bualan, atau aku dan kenaifanku yang tak kunjung paham atas segala makna yang berusaha kamu ungkapkan.
Tampaknya, pilihan kedua lebih masuk akal.
Kuakui, ini salahku, menganggap aku, sebagai matahari, mampu mendampingi tiap langkahmu. Jelas-jelas kita berada di tempat yang jauh berbeda; aku yang berada di atas awan, sementara kamu ... selamanya cuma akan menari dengan bayangan.
Nyatanya kamu bersama bayanganmu, berada jauh di bawahku.
0 notes
Text
BAGIAN V: COWOK BODOH.
Sesunggunya, itu adalah keputusan paling bodoh yang pernah gue buat dalam hidup. Sekali pun gue beralasan bahwa melepaskan bukan berarti menyerah sepenuhnya. Sekali pun gue mengelak, bahwa keputusan dibuat demi kebaikan Yuan. Sekali pun gue berkata, bahwa gue pergi untuk berjuang menjadi sosok yang lebih baik— lebih layak untuknya.
Pada akhirnya, itu semua terkesan bagai omong kosong semata. Cuma pembelaan-pembelaan yang gue buat untuk merasa sedikit lebih baik atas krisis kepercayaan diri yang menerpa gue, tiap kali bersanding dengan Yuan.
Sesungguhnya, cuma cowok bodoh yang menumbalkan orang lain karena sesuatu yang nggak bisa ia tangani sendiri. Dan gue adalah cowok bodoh itu.
Penyesalan membanjiri gue tanpa henti setelah itu. Bahkan sempat menenggelamkan gue di beberapa minggu pertama setelah hubungan kami resmi berakhir. Nggak cuma sekali-dua kali juga gue mengulang tanya, menggunakan perandaian, dan mengharapkan waktu bisa diputar ulang. Andai gue berjuang dan bukannya menyerah. Andai gue bisa memutar waktu ulang dan berjanji nggak akan melakukan kebodohan yang sama. Dan andai-andai lain yang akan terlalu banyak jika gue tuangkan semuanya.
Gue persis mayat hidup yang lari dari tanggung jawab saat itu. Skripsi yang terabaikan, bahkan gitar yang mulai dihuni sarang laba-laba. Pun, nggak ada satu hal pun yang mampu membuat gue merasa lebih baikan barang sedikit selama beberapa waktu.
Dan bahkan, gue sepenuhnya lupa pada janji yang gue buat, untuk memperjuangkan versi lebih baik dari diri gue sendiri dan kembali suatu saat nanti.
Kalimat gue bukan siapa-siapa tanpa Yuan tiba-tiba bukan lagi sekadar metafora. Memang benar apa kata orang, setiap tutur kata sejatinya adalah doa. Dan gue jadi bukti perwujudan atas metafora yang gue ucapkan dengan sendirinya.
Meski demikian, hadir setitik perasaan lega, menyadari bahwa Yuan tak perlu lagi membuang lebih banyak waktunya bersama cowok bodoh yang nggak mau berjuang dan hanya bisa menyalahkan dunia.
0 notes
Text
BAGIAN IV: MELEPASKAN ATAU MENYERAH?
Band yang gue bangun, hancur berantakan. Ada konflik internal yang cukup besar untuk membuat semua anggota keluar, berpencar sambil memendam kemelut dendam. Dan lagi-lagi, sesuatu milik gue dirampas paksa oleh dunia.
Gue seperti ditarik kembali ke titik nol, kembali pada saat-saat di mana gue terpuruk sebelum mengenal Yuan. Bedanya, saat ini gue sudah kenal dengan Yuan dan cewek itu masih begitu setia menemani, meski gue juga paham betul betapa lelahnya dia dengan pekerjaan pertamanya di gedung tinggi di Ibu kota.
Lihat, kan, besarnya kesenjangan di antara gue dan dia? Gue yang masih harus berjuang buat lulus ditambah satu-satunya harapan, band, yang turut hancur lebur. Sementara dia, sudah jadi salah satu wanita karir dengan gaji tinggi.
Dia pantas dan sudah seharusnya dapat pendamping yang jauh lebih baik. Dia seharusnya bisa menikmati momen-momen kerja pertamanya, alih-alih sibuk menemani gue di dasar jurang yang gelap di bawah tanah. Tempatnya itu, di atas sana, di bawah siraman hangat mentari dan di antara hamparan bunga-bunga mewangi. Bukannya di sini.
Gue terlalu sayang untuk membiarkan dia terjebak lebih lama bersama gue. Di saat dia punya kesempatan untuk melanglang buana, bagai kupu-kupu indah yang berterbangan bebas.
Pada titik itu, gue memilih untuk melepaskan— dan bukan berati sepenuhnya menyerah. Tapi, gue butuh waktu. Waktu untuk memantaskan diri. Waktu untuk memperbaiki diri. Supaya gue mampu memberikan yang terbaik bagi Yuan, sebagaimana semestinya, sebagaimana yang selayaknya ia dapatkan.
“Aku nggak bisa lagi.”
Waktu itu, langit malam begitu cantik. Dengan kilau-kilau bintang yang tumben-tumbennya penuhi langit ibu kota. Dan andai aja, memori indah yang gue ukir saat itu. Bukannya malah memori menyakitkan, berupa terakhir kalinya gue mampu menggenggam tangan Yuan dan hilangnya senyum cerah dari paras gadis itu untuk yang pertama kalinya.
“Nggak bisa apa?”
Dia, yang kala itu lagi menyenderkan kepala di bahu gue jadi agak mendongak. Lemparkan senyum manis, seolah ia menanti hal baik. Biasanya gue akan ikut tersenyum bersamanya (percaya deh, senyum Yuan itu sangat menular). Tapi, rasa sesak yang mendominasi justru buat senyum gue beralih jadi sebuah ringisan.
“Nggak bisa sama kamu lagi.”
Dan satu pukulan mendarat di paha gue. Dia justru bergelayut makin manja, memeluk tubuh gue makin erat bagai sama sekali tak ingin berpisah, sambil berucap, “Ih apa sih, bercandanya jelek aaah. Jangan ngomong gitu.”
Tapi, sayangnya, gue nggak lagi bercanda. Pelan-pelan senyum miris mulai hadir di paras gue, menatap Yuan lekat-lekat, dan menyadari bahwa keputusan besar ini sama dengan menceburkan diri gue sendiri ke laut hitam. Tapi, apa bedanya dengan keadaan gue sekarang ‘kan?
Justru kalau bukan dengan begini, gue malah akan turut membawa Yuan bersama gue, ke dalam muara gelap yang entah akan gue temukan ujungnya suatu saat nanti atau tidak sama sekali. Gue sama sekali nggak mau Yuan kehilangan cahayanya. Bahkan lampu paling terang pun lama-kelamaan akan meredup tanpa sumber daya yang memadai ‘kan?
Maka, ini, satu-satunya jalan yang gue miliki. Demi kebaikan orang yang paling gue kasihi.
“Aku serius.” Gue usap puncak kepalanya, lalu ke pipinya yang tampak lebih gembil dari biasanya karena ranum yang mencebik.
Dan karena kalimat itu juga, Yuan menegakkan tubuh. Menatap gue dengan kilat yang saling bercampur padu di maniknya; bingung, kesal, kecewa, tak mengerti, dan masih banyak lagi. “Apa sih, maksudnya? Kamu kenapa?”
“Kamu layak dapat yang lebih baik dari aku.” Gue melanjutkan. Menelan sepah yang merajalela dengan kurang ajarnya.
“Demi Tuhan, Jericho. Aku nggak ngerti. Kamu tuh udah yang terbaik buat aku. Cuma kamu yang aku mau.” Dia menyanggah, bersungut-sungut. Dan gue nyaris mundur. Karena nyatanya, gue masih ingin mendengar lebih banyak ocehan Yuan.
“Aku nggak punya apa-apa selain kamu. Aku bukan siapa-siapa tanpa kamu. Aku nggak bisa kasih yang terbaik buat kamu.”
“Kenapa sih…” Dan suara Yuan melemah. Air mukanya begitu kental siratkan kebingungan dan kekecewaan. Maniknya bergerak cepat, bagai tengah menilik tiap sisi wajah gue, dan berusaha keras temukan barang setitik kebohongan di sana. Tapi, tampaknya ia gagal menemukan kebohongan. Karena selanjutnya, ia kembali buka suara, “Kamu selalu berhasil ngasih yang terbaik buat aku. Dan kalau pikirmu, kamu bukan siapa-siapa tanpa aku, kamu salah. Kamu selalu jadi Jericho, dengan atau tanpa aku, kamu gitaris paling keren yang pernah aku tau, kamu penulis lagu yang hebat. Dan kalau kamu masih kekeh, nganggap kamu bukan siapa-siapa tanpa aku, makanya ayo, tetap sama aku dan jadi siapa-siapa. Kita jalanin bareng-bareng ke depannya.”
Betapa gue nggak pernah salah menilai, bahwa Yuan adalah setepat-tepatnya manusia yang pernah Tuhan datangkan kepada gue. Andai waktu sedikit berbaik hati untuk mempertemukan gue dan Yuan di saat-saat yang lebih baik, di saat gue lebih layak dan mampu memberinya yang terbaik.
“Aku cuma takut ngehambat semua proses yang udah mati-matian kamu jalanin. Aku nggak mau jadi penghalang dari segala mimpi yang udah kamu rancang.”
“Sama sekali aku nggak pernah mikir gitu. Kamu kenapa, sih?” Ada keputusasaan yang terdengar dari suara Yuan. Pertama kalinya gue melihat dia sampai sebegitunya. Dan itu karena gue, cowok bodoh yang tega-teganya menghilangkan binar hangat dari perwujudan mentari di dunia.
“Aku cuma mau yang terbaik buat kamu.” Ada penyesalan yang makin kental menggerogoti. Tapi, di titik ini, sudah tak ada lagi akses bagi gua untuk mundur dan menganggap semua percakapan ini hanya angin lalu.
“Kamu udah jadi yang terbaik buat aku.”
“Aku … butuh waktu buat memantaskan diri biar bisa bersanding sama kamu.”
“Kita sama-sama manusia, apa yang bikin kamu ngerasa nggak pantas?”
“Enggak.” Gue menggeleng. Menggenggam erat tangannya, untuk yang terakhir kalinya. “Aku masih terlalu banyak kurangnya buat kamu. Setiap lihat kamu, aku selalu mikir, kalau kamu pantas dan seharusnya dapat yang lebih baik dari yang aku punya saat ini. Kasih aku waktu buat memperbaiki diri, ya?”
“Emang nggak bisa, memperbaiki diri sama-sama?” Gue selalu tahu bahwa Yuan memang gampang menangis; perkara melihat anjing yang dibuang oleh pemiliknya, melihat para tuna wisma yang kerap berjejer di bahu jalan, ataupun karena drama Korea yang kerap ia jadikan tontonan. Tapi, gue sama sekali nggak pernah mengira, bahwa akan datang saatnya gue yang jadi penyebab di balik air matanya. Betapa gue ingin memaki diri sendiri tanpa henti dan itu pun masih belum cukup untuk meluapkan amarah yang gue tanam pada diri sendiri.
Lagi-lagi gue menggeleng. “Kamu harus tetap maju sama apa yang udah kamu punya sekarang.”
Ia sempat memejamkan mata, mungkin menenangkan diri, karena selanjutnya terdengar hembusan napas dalam sebelum ia membuka mata dan kembali bertanya. “Sampai kapan?”
Dan gue nggak pernah memberikan jawaban pasti.
Sebagaimana gue nggak pernah tahu pasti apakah akan ada momen di dunia, di mana gue mampu memberikan yang terbaik.
0 notes
Text
BAGIAN III: PASANG-SURUT OMBAK.
Tapi, namanya manusia, selalu ada masa di mana kita merasa kurang. Dan pada saat itu, keputusan akan dikembalikan lagi kepada kita; untuk menyerah atau memperjuangkan.
Nggak, bukan Yuan yang gue maksud di sini. Kata kurang sama sekali tak layak disandingkan dengan nama dia. Memang sih, nggak ada makhluk yang sempurna di muka dunia. Maka dari itu, gue selalu membatini, bahwa jika dia nggak sempurna, maka berarti dia adalah manusia terbaik yang berhasil diciptakan Tuhan ketika tengah bersuka hati.
Gue.
Masalahnya ada di gue. Gue yang memiliki sejuta kekurangan.
Gue selalu menatap Yuan dengan penuh cinta setiap harinya. Tapi, selalu ada saat di mana gue menatap dia dengan sendu, dengan sejuta tanya dan kemungkinan yang berkelebat dalam benak. Yang jika ditarik ke dalam suatu kesimpulan maka akan berakhir dengan dia pantas dapat yang lebih baik dari gue.
Karena sesungguhnya, Yuan lebih dari sekadar layak untuk mendapatkan orang yang jauh lebih baik dibandingkan gue. Gue yang nggak punya apa-apa dan gue yang bukan siapa-siapa. Cuma anggota band indie yang masih harus mengesot-ngesot untuk naik ke bagian atas piramida.
Sementara dia, dari awal sudah berada di atas sana. Ditambah dengan segala usaha kerasnya, yang gue lihat dengan mata kepala sendiri, dia sudah nyaris berada di puncak. Latar belakang baik-baik, mahasiswi berprestasi dan aktif, sampai panggilan dari sana-sini.
Secara praktis, ia sudah bisa berlari di atas hamparan bunga menuju puncak kejayaan. Andai saja dia nggak harus menyeret-nyeret seonggok beban berat berupa gue, yang jelas-jelas menghambat jalannya. Meski dengan keras ia selalu menolak, mengatakan bahwa gue sama sekali bukan beban dan kita tengah berproses bersama.
Tapi, rasa sayang gue sebegitu besarnya untuk dia. Sampai nggak rela harus membuat segala prosesnya jadi terhambat cuma karena gue. Dan ada tamak yang mengakar kuar dalam diri gue, yang selalu ingin memberikan Yuan yang terbaik, yang pantas ia miliki.
Dan gue belum mampu jadi yang terbaik buat dia. Setidaknya sampai saat itu.
“Kalau kamu ketemu sama yang lebih baik dari aku, gimana?”
Gue masih ingat, waktu itu kita masih di mobil pinjaman gue dari salah satu anggota band lain. Baru aja jemput dia dari bandara setelah mewakili nama kampusnya untuk berkompetisi di Jerman. Lihat ‘kan, betapa hebatnya cewek gue?
“Maksudnya?” Dia menoleh dari kursinya. Berkerut-kerut, bingung. Tapi, dari rautnya sama sekali nggak kelihatan kelelahan, meski telah satu bulan lebih ia harus mati-matian mempersiapkan diri. Yuan masih dan selalu secerah biasanya.
“Ya kalau ketemu cowok yang lebih pintar, lebih keren—”
“Ya nggak gimana-gimana lah, emang kamu maunya gimana?” Dia langsung memotong begitu saja. Rautnya masih berkerut-kerut, tapi bukan lagi karena bingung. Melainkan jengkel yang menggebu-gebu. Betapa lucu ciptaan Tuhan satu itu.
“Kamu pantas dapat yang lebih baik dari aku, tau.” Gue kembali melanjutkan, simpulkan senyum jahil, seolah kalimat itu cuma satu lagi keisengan belaka dan bukannya suara hati yang sebenar-benarnya. “Pasti banyak juga deh yang lebih baik dari aku, yang nungguin kamu.”
“Ih ngomong apa sih, jelek aahh. Kamu itu selalu lebih dari cukup buat aku. Lagian, kalau menurut kamu mereka lebih baik dari kamu, belum tentu menurutku juga.”
Iya. Selalu begitu. Di atas semua keraguan gue terhadap diri gue sendiri, Yuan akan selalu datang dan kembali meyakinkan gue; bahwa gue lebih dari cukup, untuknya dan menurutnya.
Dan gue akan kembali berjuang setelah itu. Memperjuangkan kepercayaan diri yang terus berpasang-surut bagai ombak di tepian pantai.
Tapi, mau sampai kapan? Harus sampai kapan gue bergantung pada validasinya?
0 notes
Text
BAGIAN II: KAMI BERBAHAGIA.
Hari-hari gue setelah ketemu dengan Yuan pertama kalinya, jadi terasa jauh lebih baik. Nggak lagi terasa seperti tertimpa puing-puing langit yang meruntuh dari atas sana. Sebab, entah bagaimana ceritanya, semesta bawa kita mendekat; dari yang bukan siapa-siapa, menjadi teman, hingga menjalin hubungan.
Selama masa itu pula, sama sekali tak pernah lagi terbayangkan dalam hidup gue ‘tuk bertemu dengan ajal dalam waktu singkat. Karena saat itu, gue kembali punya sesuatu untuk dipertahankan. Sesuatu yang sama sekali nggak ingin gue relakan. Sesuatu yang ingin dan akan gue perjuangkan. Dalam bentuk seorang Yuan dan segala hal dalam dirinya.
Yuan itu, benar-benar bagaikan udara segar di tengah polusi kota selepas kebakaran hutan. Paru-paru gue seperti ternetralisir saat itu dan berhasil buat gue bangkit sepenuhnya. Bersama Yuan, gue mulai keluar dari zona nyaman, mengejar hal-hal yang dulunya gue anggap nggak akan pernah bisa gue laksanakan; bikin band dan menuangkan kecintaan gue terhadap musik, bahkan mulai tampil di mana-mana dengan Yuan yang selalu setia mendampingi di sisi. Keuntungan materialnya memang nggak seberapa, tapi melegakan sebagian besar sesak yang selama ini menghinggapi gue.
Teman-teman gue pun setuju, bersama Yuan, gue berubah jadi sosok yang jauh lebih baik. Nggak ada lagi mabuk-mabukan di luar batas (sudah ada Yuan yang lebih berefek dalam meredakan gundah), nggak ada lagi kantung mata hitam sebab malam-malam tanpa lelap (karena selalu ada Yuan yang siap menemani dan buat gue merasa nyaman untuk terlelap), dan nggak ada lagi jiwa pesimis yang selalu buat gue takut untuk melangkah (sebab Yuan selalu menularkan aura positifnya).
Hidup gue seketika itu jadi berpusat pada Yuan.
Tapi, kami berbahagia.
Nyatanya, gue selalu berbahagia jika bersama Yuan.
0 notes
Text
"Kita tuh, apa?"
Awalnya, sekadar satu kalimat tanya biasa. Tapi, lama-kelamaan, setiap harinya, terus berputar-putar tanya itu dalam benak; sampai membentuk pusaran yang makin besar tiap kali ia menatap manik sang lawan bicara.
Bagai angin topan yang menghancurkan apa-apa saja di tempat ia singgah, meski hanya sekejap.
Bedanya, yang satu ini hanya menyerupa dalam bayangan dan segala bentuk ketidakpastian. Tapi, tingkat destruktifnya tak perlu dipertanyakan. Selalu ada sebagian dari dirinya yang ikut hancur di tiap kali pusaran tanya itu menyerang; kepercayaan diri dan kebebasan, keyakinan dan apapun titik terlemah yang paling dekat tuk dijadikan sasaran.
Dia sebenarnya nganggap gue apa, ya? Dia sebenernya sadar nggak sih? Apa gue kurang ugal-ugalan mencintainya? Atau lebih parahnya── dia sadar, tapi sengaja diam di tempat sebagai bentuk penolakan, ya?
“Heh, malah bengong. Jadi mau makan apaan?”
Dan pada titik ini, segala bentuk penyesalan saling lomba menggerayangi; andaikan ia punya keberanian lebih ‘tuk biarkan pusaran itu melolos keluar dari celah bibirnya dan andaikan ia punya nyali lebih ‘tuk bersiap pada sebuah kehilangan.
Karena pada akhirnya, kepura-puraan masih senantiasa melekat──tak peduli pada puing-puing yang kian menjadi serpih di dalam diri──daripada ia harus menghunus belati dan menikam diri pada sebuah perpisahan.
Ia tidak siap harus kehilangan sosok yang selalu jadi hari-harinya.
Setidaknya untuk saat ini, ia masih belum siap.
Entah sampai kapan── atau hingga selamanya.
“Taichan aja lah, gas.”
0 notes
Text

KUMPULAN CORAT-CORET:
SERIAL
Kontradiksi dari Titik. Jericho dan Waktu.
SECUPLIK KISAH
"Kita tuh, apa?"
The Sunshine and The Shadow.
0 notes
Text
BAGIAN I: INDOMIE RASA MATCHA.
Mungkin, dari awal, sejak kisah kami pertama kali dimulai, semua sudah berada di rentang waktu yang salah.
Gue ada di posisi terendah gue ketika pertama kali bertemu Yuan. Dulu, gue menganggap itu sebagai kebaikan hati Tuhan, yang mendatangkan Yuan sebagai pelipur lara atas segala kesialan yang ditimpakan ke gue. Sampai sekarang pun, sejujurnya begitu. Meski ditambah berjumput-jumput penyesalan dan perandaian jika saja waktu sedikit lebih berbaik hati.
Waktu itu, gue mabuk berat. Nggak kepikiran apa-apa, kosong sekosong-kosongnya. Bahkan sampai di titik, gue akan pasrah kalau malaikat maut datang menyambangi.
Lagipula, nggak ada apa-apa lagi yang gue punya di dunia kala itu. Harta nggak seberapa juga keluarga yang hancur berkeping-keping di saat bersamaan; berawal dari bokap yang kehilangan pekerjaan dan isu perselingkuhan nyokap. Jadi, sekalipun gue mati di saat itu, nggak ada yang bikin gue takut lagi. I have nothing to lose.
Dan Tuhan mendatangkan Yuan.
Anehnya, gue masih ingat jelas hal pertama yang dia ucap waktu ketemu gue dalam keadaan yang super awut-awutan── mata merah, habis muntah, setengah sadar, dan sudah nyaris pingsan.
Tapi, masih nekat ambil sebotol lagi, yang gue nggak tau sebetulnya masih ada isinya atau nggak. Yang pada saat itu, langsung direbut paksa sama Yuan. Padahal kita nggak saling kenal, cuma teman dari teman yang nggak sengaja kumpul di satu tempat.
��Stop, anjir,” katanya, galak, sambil narik gue buat duduk daripada berdiri; linglung. “Lo mau mati? Jangan mati dulu, indomie belum ngeluarin rasa matcha.”
Bener-bener asal celetuk. Gue bahkan nggak suka matcha, kayak rumput. Tapi, anehnya, gue ketawa. Ketawa sekeras-kerasnya.
Entah, mungkin juga karena di bawah pengaruh alkohol. Tapi, gue ingat juga kalau gue sempat berpikir; konyol banget motivasi bertahan hidupnya sebatas indomie rasa matcha. Mungkin, itu yang bikin gue ketawa keras-keras.
Sampai pada suatu titik, pikiran gue jadi beralih. Dan dari tawa keras, berangsur tangis gue pecah. Pecah sejadi-jadinya. (Gue nggak cengeng, saat itu pengecualian.)
Yang dari mentertawakan alasan konyol Yuan, jadi menangisi diri sendiri yang berusaha keras mencari-cari alasan bertahan, seremeh apapun itu, tapi sampai akhir, hasilnya nihil.
Yuan agak panik, memanggil-manggil Gea, temannya yang juga teman gue. Tapi, nggak ada sahutan. Berakhir jadi dia yang terpaksa menenangkan gue sambil agak menyeret ke tempat yang sedikit lebih layak. Tuturkan kalimat-kalimat menenangkan dari suaranya yang semanis buaian harpa dari surga.
Meski di akhir dia sempat mendumel, “Percuma nggak sih gue ngomong sama orang mabok? Dianya mana sadar.”
Tapi, gue dengar dan gue ingat. Akan selalu ingat.
Dan setelah itu, gue nggak perlu lagi mencari-cari alasan seremeh indomie rasa matcha untuk bangkit dan memulai kehidupan gue lagi seperti semula. Karena gue sudah temukan alasan lain yang lebih berharga daripada itu semua.
Yuan, yang jadi alasan gue untuk bertahan dan bangkit.
0 notes
Text
PROLOG: BOOMERANG.
Dulu, gue nggak pernah percaya tiap kali ada orang yang menyarankan untuk jangan terlalu berlebihan memuja sesuatu. Pikir gue kala itu, memangnya kenapa? Itu juga bentuk syukur kepada Tuhan dan segala kuasanya, apalagi jika yang bersangkutan dengan Yuan.
Tuhan pasti lagi berbahagia waktu meniupkan ruhnya, itu yang selalu gue pikirin tiap kali duduk berhadapan sama dia. Sambil sesekali mengucap syukur juga, atas kebaikan hati Tuhan yang mempertemukan dan bahkan mempersatukan kita.
Yuan itu, kayak perpaduan segala hal baik yang ada di dunia. Sikap positif, senyum cerah (yang menurut gue, matahari aja bisa minder kalau lihat dia ketawa), pekerja keras, pintar, mandiri── benar-benar nggak ada kurangnya. Dan itu yang selalu jadi alasan utama pemujaan berlebihan gue terhadap ciptaan Tuhan yang satu itu.
Katakanlah gue bucin, tapi sesungguhnya Yuan benar-benar sebegitu layaknya untuk dibucini.
Hingga ke satu titik, semua pemujaan itu berbalik jadi ratusan anak panah yang menyerang tanpa ampun. Menusuk sampai ulu hati bahkan menikam harga diri, mendorong paksa sampai gue mau nggak mau terjerumus dalam muara kerendahan diri.
Gue pun nggak ingat, bagaimana awal anak-anak panah itu bermunculan. Yang gue ingat, hanya ketika gejolak itu mulai tak tertahankan dan pecah untuk pertama kalinya.
0 notes
Text


Kalau ada yang tanya, apa hal yang paling dibenci Jericho di dunia, maka jawabannya adalah waktu.
Dan ini adalah secuplik kisahnya;
tentang perlawanan sia-sianya terhadap waktu yang tak pernah berpihak dan biar ia tunjukkan bukti nyata atas perandaian orang yang tepat di waktu yang salah.
PROLOG.
BAGIAN I.
BAGIAN II.
BAGIAN III.
0 notes
Text
PROLOG,
“Menurut lo, Juan bakal datang, nggak?”
Kalau ada nominasi orang terngeselin di acara reuni malam ini, Darleen jelas-jelas akan menyumbangkan suaranya buat Sandra. Yang dengan entengnya membahas perihal Juan, di tengah usaha mati-matian Darleen untuk mengenyahkan segala pikiran perihal pemuda itu, sejak pertama kali rencana mengenai reuni terdengar di telinganya.
Dan sesungguhnya, ia nyaris berhasil. Kalau saja Sandra memilih bungkam dan tidak berakhir buat manik Darleen secara spontan mengelilingi ruangan, mencari-cari figur yang dulunya terasa amat familiar, mencari-cari postur yang dulunya selalu terasa hangat di dekapan, mencari-cari senyum tengil yang dulunya selalu buat Darleen naik pitam.
“Nggak tau deh,” sahut Darleen berpura-pura tak acuh. Berusaha keras menelan kalimat semoga aja dateng soalnya gue kangen agar tak lolos dari bilah bibirnya.
“Habis ya, tuh anak beneran hilang aja gitu habis lulus. Gue sampe ngeri dia ditelan bumi. Kayak, dia ke mana habis SMA tuh gak ada yang tau anjir, sosmed juga gak aktif. Eh, apa sempet ngabarin lo sih?”
Pahit. Soda dengan takaran gula yang teramat banyak saja mendadak terasa begitu pahit di lidahnya. Meski tak sepahit fakta bahwa ia pun ditinggal tanpa pamit, sama seperti yang lain, bahkan tanpa sempat dicetuskan kata berakhir.
“Nggak,” jawab Darleen, kembali menenggak sodanya hingga habis tak bersisa di dalam gelas. Seolah itu alkohol dengan cita rasanya yang pahit, yang mampu menenggelamkan sebagian kecil memori pahit yang tak ia inginkan meski hanya sesaat. “Terakhir ya pas gue pengumuman kampus itu, cuma ngucapin selamat, tapi habis itu nggak dibales lagi. Walau malemnya ada titipan bunga, kayaknya dari dia. Tapi, ya udah, gak ada kabar lagi.”
“Lah, berarti lo tuh bahkan nggak diputusin juga, ya?” Darleen mengangguk. “Tau nggak sih, gue tuh sampai pernah nyari dia di Linkedin saking penasarannya. Tapi—”
Dan apapun kalimat yang hendak mengudara dari ranum Sandra, menggantung tanpa kejelasan begitu saja. Maniknya membulat, siratkan keterkejutan dan berbagai makna yang tak bisa ia sampaikan melalui tutur kata pada Darleen. Hanya melalui bola matanya yang bergerak bergantian ia mengirim sinyal. Dari Darleen, pada entah apa di belakangnya yang sampai buat Sandra kelabakan.
“Apa, sih, San?”
Butuh beberapa detik bagi Darleen untuk memahami gelagat aneh sang kawan. Itu pun, tak sepenuhnya. Maka, dengan bermodalkan rasa penasaran, ia memutar badan diiringi sebuah decakan.
“Darleen?”
Dan segala tebakan Darleen mengenai makhluk mengerikan yang mungkin dilihat Sandra, pupus begitu saja.
Sebab ia lah, yang kenyataannya tengah berdiri di hadapannya sekarang.
Ia yang telah menghilang bertahun-tahun lamanya, tanpa kabar, bagai telah dimangsa hewan liar. Ia yang dengan kurang ajarnya senantiasa bertengger di hati maupun benak, meski tanpa pernah lagi kelihatan batang hidungnya. Ia yang terlihat baik-baik saja dan bahkan masih persis sama seperti sebelum mereka berpisah bertahun-tahun silam.
Ia, Juandra.
0 notes
Text
Kontradiksi dari Titik.


Hakikat dari segala pertemuan adalah penantian sebelum dipertemukan pada sebuah perpisahan.
Tapi, bukan berarti perpisahan selalu jadi akhir dari segala hal. Sebab titik sekali pun, tak melulu jadi pertanda akhir dari sebuah buku— di beberapa keadaannya, untai-untai kata masih senantiasa mengiringi, membentuk baris dan larik, lalu memenuhi carik-carik yang dibolak-balik— hingga buku ditutup, maka baru kita temui penghujung.
Selayaknya kisah mereka, selayaknya titik di akhir paragraf.
Yang jadi akhir dari sebagian kecil hidup mereka.
Sebelum deretan kisah baru menanti ‘tuk dimuat di paragraf selanjutnya.
Dari perpisahan,
menuju selamanya.
PROLOG.
0 notes