Tumgik
syafitrisudibyo · 2 years
Text
Damar #2
Semarang, kota ini akan menjadi pijakanku untuk menjelajah empat tahun lamanya. Rasa takut dan cemas merasuki perasaan dan hatiku saat ini. Ada banyak kekhawatiran membumbung dalam khayal, apakah aku bisa? Apakah aku mampu? Apakah aku bisa bertahan?
Berjuta tanya di pikiranku ini dipecahkan oleh suara Mas Damar, yang seolah dia mendengar keramaian pikiranku, “Dek, kamu mampu dan bisa, percayalah. Jadi, mau beli apa dulu nih? Perabot kosan atau ke swalayan?”
Segala perlengkapan dan kebutuhanku sudah dipenuhi oleh Mas Damar. Sesekali aku bertanya, darimanakah uang Mas Damar? Mas Damar hanya tersenyum dan menjawab, “tidak penting itu dek”.  Ah, selalu dengan jawaban yang sama. Aku merasa berhutang banyak dengan Mas Damar.
Sehari berlalu dengan cepatnya dan sore sudah mulai menyapa. Tiba saatnya Mas Damar pamit untuk meninggalkanku di kos ini seorang diri. Sudah sangat detil rasanya Mas Damar memberikan penjelasan dan berkeliling sekitar kos hanya untuk melihat warteg, swalayan, tukang foto kopi dan toko kelontong.
“Dek, ini ada uang sedikit untuk kamu pegang sementara dan ponsel ini untukmu, biar bisa tetap menghubungi Biyung dan Bapak di rumah.”
“Tapi Mas, bagaimana dengan Mas Damar nantinya?”
“Mas bisa cari lagi Dek dan ini laptop untuk bekal kamu kuliah. Maaf Dek, meskipun bekas tapi ini masih layak pakai, insyaallah.”
Bibirku terasa kelu kali ini, aku tidak bisa mengatakan apapun. Mas Damar, lagi-lagi aku banyak berhutang. Ia rela membeli laptop bekas milik kawannya sekolah dengan mencicilnya. Melihat semangat Mas Damar, aku menjadi takut jika semua tidak sesuai dengan harapannya. Takut gagal. Aku takut membuat Mas Damar kecewa dan menjadikan semua ini sia-sia.
“Dek, sekarang kamu sudah dewasa, Mas Damar pesan jaga dirimu baik-baik. Manfaatkan kesempatanmu disini untuk belajar banyak hal. Biyung, Bapak dan Mas Damar selalu mendoakanmu dari rumah untuk keselamatan dan kesuksesan kamu disini. Mas Damar percaya sama kamu Dek.”
Ketakutan ini semakin terasa, air mata terbendung di pelupuk. Aku hanya mengangguk menjawab pesan Mas Damar. Kamipun bersalaman dan Mas Damarpun berlalu. Air mataku meleleh, mengiringi kepergian Mas Damar. “Aku janji mas”, ucapku lirih.
Hari demi hari, aku lalui semua kehidupan ini sendiri. Segala payah dan susah aku hadapi demi masa depan yang lebih cerah.  Akan tetapi, nyatanya kehidupan ini sangat berat untuk ku pikul sendiri, terlebih saat aku memulai untuk bekerja paruh waktu di toko kelontong dekat kos sebagai penjaga toko. Semua aku lalui karena tidak ada pilihan lain selain bertahan dan berjuang.
Perjuanganku tidak mudah. Semua harus aku jalani dengan sepenuh hati. Sesekali aku telepon Mas Damar untuk sekedar mengobati rinduku dengannya dan melanjutkan menyusun mimpi kita bersama untuk memperbaiki nasib keluarga. Kami selalu berkabar satu sama lain, entah melalui SMS ataupun telepon suara, hampir setiap hari.
Meskipun demikian, hingga menjelang usainya semester pertama ini, Bapak masih belum mau mengobrol denganku. Apa boleh buat, aku sudah sejauh ini melangkah dan Mas Damar sudah sepenuh hati berkorban. Sesekali Biyung, menampakkan suaranya untuk menanyakan kabar tanpa melanjutkan obrolan yang lebih panjang. Sikap dingin Bapak sangat sesak di dada.
“Sing sabar yo dek”
Hari-hari beratku berlalu dengan cepatnya, tak terasa yudisium perdanaku datang juga. Aku percaya dan yakin, semua hasilnya akan baik dan aku percaya dengan apa yang Mas Damar sampaikan. Selama ini, Mas Damar tidak pernah salah.
Perlahan aku memberanikan diri untuk membuka sistem, perlahan aku masukkan nama dan kata sandi untuk membukanya. Bismillah, dan segala rasa percaya diriku seketika sirna, tertulis disana nilai IP 3.0. Masih jauh dari nilai Cum Laude yang ditargetkan untuk tetap mempertahankan beasiswa. Kali ini Mas Damar salah.
Hari berganti menjadi bulan, lalu bulan menjadi tahun. Masa kuliah ini tidak sepenuhnya berjalan mulus. Berapa kali kegagalan menghampiriku, mulai dari gagal Cum Laude, kalah lomba, gagal menjadi kandidat mahasiswa berprestasi dan segala kegagalan lainnya dalam dua tahun perjalananku kuliah disini.
Kuliah dan bekerja, adalah rutinitas kehidupanku sekarang. Siapa lagi yang bisa menghidupiku selain diriku sendiri. Siapakah yang peduli denganku selain aku sendiri. Aku merasa seperti terjebak dalam labirin kehidupan. Semua ini gara-gara ide gilanya Mas Damar. Aku benci dengan Mas Damar yang memaksaku berkuliah dengan iming-iming masa depan yang cerah. Dasar, pembual ulung!
Tiba-tiba Mas Damar meneleponku disaat aku sedang kalut dengannya, terdengar suara ia memberikan salam dan menanyakan kabar. Aku sampaikan bahwa hari ini aku merasa sangat gagal. Mas Damar dengan gaya santainya mengatakan, “semua akan bisa kamu lalui”. Ya memang aku bisa melaluinya, tapi tidak dengan keberhasilannya.
Sesekali aku menengok ke belakang, mengandai-andai jika waktu itu mengikuti apa kata Biyung dan Bapak, mungkin sekarang aku sudah bekerja memberikan sepeser uang untuk keluarga. Jika waktu dapat diputar lagi, mungkin hubunganku dengan Biyung dan Bapak akan baik-baik saja.
Tak jarang pikiran bertanya, “apakah aku durhaka hingga sepedih ini jalan yang harus aku lewati?”
(Bersambung...)
Tumblr media
1 note · View note
syafitrisudibyo · 2 years
Text
Damar
Dinginnya Subuh ini membuatku enggan untuk beranjak. Sambil mengucek mata dan mengumpulkan niat untuk bangun, aku melihat semuanya nampak sibuk, Bulik Ani sedang membangunkan anaknya yang sedang tertidur pulas, Om Reno sedang memanasi mobil di depan rumah, Bude Rima sedang sibuk menuangkan teh panas dan mempersiapkan sarapan untuk kami. Ruang tengah terlihat sesak, ada Biyung dan Bapak sedang mempersiapkan pakaian, tak lupa ada Mas Damar yang terlihat sedang membawa kertas sesekali nampak rasa cemas di rautnya.
“sudah hafal Mas? Jangan gugup, hati-hati kepleset lidah lho” ledekku kepada Mas Damar.
Hari ini akan menjadi hari bahagia Mas Damar, mempersunting sosok perempuan terbaik versinya. Kakak iparku akan sangat beruntung memiliki Mas Damar, lelaki bersahaja, sederhana dan berwawasan luas. Kebahagiaan dan kehangatan menyelimuti suasana rumah, mengalahkan sejuknya Wonosobo pagi ini. Senyum lebar dan candaan keluarga besar seperti inilah yang selalu aku rindukan saat kembali ke ibu kota. Kehangatan dan kerukunan dibalut dengan rasa ketulusan keluarga, menenangkan. Tentram.
Sejenak mataku berkeliling menatap setiap sudut kamar ini, masih apik dan tertata rapih. Tak nampak usang meski sudah lama ku tinggal. Aku tersenyum, melihat foto aku dan Mas Damar diatas meja belajar, kudapati tulisan tangan Biyung dibalik foto ini, “Damar Wulan, 19 Maret 2009” dengan usiaku yang saat itu masih SMP dan Mas Damar lulus SMK. Satu-satunya foto masa kecil yang kita miliki, ialah potret kenang-kenangan dari hasil jepretan Om Reno yang waktu itu dapat pinjaman kamera dari tempatnya bekerja sebagai tukang foto.
Menatap foto ini, pikiranku melayang ke suasana itu dan semuanya berawal dari sini, bilik kamar yang kecil dan sangat sederhana. Mas Damar adalah kakak laki-laki yang sempurna di mataku. Sesuai namanya, damar berartikan cahaya yang menerangi kegelapan dan memberikan kehangatan. Layaknya tata surya, bulan tidak akan bercahaya tanpa adanya sinar yang meneranginya, begitulah kiranya aku dan Mas Damar, tanpa Mas Damar aku tidaklah bisa menjadi aku yang sekarang ini.
“Dek, kamu mau ngga janji sama aku?”
“Janji apa Mas?”
“Kamu sekolah yang rajin nanti ajak Mas Damar ke kota yooo, soalnya Mas Damar ngga sepinter kamu, pliiiissss”
Percakapan masa kecil menjelang tidur itu selalu terngiang ketika aku pulang ke rumah ini. Berangkat dari percakapan sederhana dan mimpi Mas Damar, petualanganku dimulai. Entah mengapa, aku ingin sekali mewujudkan harapan Mas Damar pergi ke kota kala itu. Keinginan menjadi makin tidak terbendung saat melihat Biyung dan Bapak sangat antusias menonton TV yang menayangkan gedung-gedung tinggi Jakarta dan Biyung terheran-heran bagaimana cara membangunnya. Aku ingin mengajak mereka menikmati pemandangan kota, mengajak makan enak dan mengunjungi hotel untuk sekedar merasakan dinginnya AC dan empuknya sofa.
Biyung, Bapak dan Mas Damar adalah pemantik semangatku untuk terus maju dan berusaha keras menaklukan dunia. Aku tumbuh dari keluarga yang sangat sederhana, Biyung bekerja sebagai tukang sayur dan Bapak menggarap sawah milik orang dengan gaji harian sedangkan Mas Damar, lulusan SMK yang melanjutkan bekerja sebagai montir sepeda motor, yaaah sesekali menjadi kondektur bus.
“Dek, pokoknya kamu harus sekolah tinggi, Mas Damar selalu mendukungmu”
“Mas, apa mungkin?”
“Dek, ingat mimpi-mimpi kamu kan dan janji yang kamu sampaikan ke Mas Damar?”
Percakapan 14 tahun lalu itu kembali menyelinap di telinga dan pikiranku. Ajaibnya, aku seperti terhipnotis saat Mas Damar mengatakan demikian. Saat aku rapuh dan menyerah, selalu ada Mas Damar yang mendukungku sedemikian rupa. Tak jarang saat aku berada di kepayahan, Mas Damar datang dengan pena dan kertasnya, lalu ia membuatkan semacam peta konsep untuk mengejawantahkan masalah dan memberikan pilihan solusi.
Aku akui, pendidikan Mas Damar memang hanya SMK tapi aku berani taruhan Mas Damar memiliki wawasan yang luas. Selama ada Mas Damar aku merasa tenang dan selalu percaya dengan apa yang Mas Damar sampaikan, termasuk tekad mendaftar ke perguruan tinggi waktu itu. Jika orang lain bertanya, darimanakah ide gilaku ini datang? Jawabannya adalah Mas Damar.
“Mas, aku ketrimo beasiswa Mas, Biyuuuuuung, Bapaaaaaaaak, Wulan kuliaaaah”
Kala itu, keputusan melanjutkan kuliah adalah keputusan sepihak antara aku dan Mas Damar. Terlihat raut muka Biyung dan Bapak mengernyitkan kening, bingung, Bapak hanya berlalu tanpa sepatah katapun. Aku mendengar Bapak bergumam sendiri di teras rumah sambil melanjutkan memotong bambu untuk pagar rumah kami, “nduk nduk, Bapak uripe wes susah kok yo kuliah, duit darimana to nduk”, gumamnya sambil menyeka keringat yang mengucur di wajah.
Aku melangkah menghampiri Biyung di dapur dan aku mendapatinya sedang menyeka air mata sambil berkata, “nduk, sudah Biyung sampaikan kan, kerjo sek nduk ojo kuliah, Wulan kan wedok toh nantinya kewajiban Wulan ngurus dapur dan menikah”. Kalimat Biyung membuat aku merasa tidak ada dukungan, sedangkan apa yang disampaikan Biyung juga bukan mimpi yang selama ini kurajut dan aku susun bersama Mas Damar.
Mas Damar menghampiriku dan mengatakan, “lanjutkan langkahmu, ada mas”
Saat itu, hanya omongan Mas Damar yang benar-benar bisa aku pegang. Aku sangat berharap dengan Mas Damar, aku percaya dengan segala mimpi yang aku rancang bersama Mas Damar.
“Mas, rewangi Wulan”
“Pamit sama Biyung dan Bapak, lusa Mas Damar temani Wulan ke Semarang”
Aku memeluk Mas Damar lekat, menangis di bahu Mas Damar sejadinya saat itu. Aku mengikuti apa kata Mas Damar, pamit dan memohon ridho kepada Biyung dan Bapak untuk tetap melanjutkan mimpi ini. Aku sampaikan pelan-pelan maksud dan cita-citaku kepada Biyung dan Bapak. Sambil menangis, Biyung terpaksa memberikan izin namun tidak dengan Bapak.
Hingga hari keberangkatanku ke Semarang, Bapak masih dengan pendiriannya untuk memintaku tidak melanjutkan kuliah karena tidak adanya biaya, namun lagi-lagi Mas Damar, ia menarikku untuk pergi. Terlihat Bapak berlari mengejar kami yang sudah duduk di angkot dan sayup terdengar teriakan Bapak dari kejauhan,
"Wulaaaaan, kok kamu sekarang enggak nuruuuuuut sama Bapaaaaak to nduuuuk”.
Aku menatap Mas Damar lekat sambil menahan tangis, ada rasa takut dan khawatir berkecamuk di pikiran, akupun berbisik kepada Mas Damar,
“mas, apa jalan kita benar?”
------------------------------------------
(Bersambung.....)
Tumblr media
Nantikan kisah selanjutnya yang akan di update setiap malam di instagram @syafitrisudibyo dan blog syafitrisudibyo.blogpot.com .
Stay tuned teman-teman..
2 notes · View notes