Tumgik
#10Alloh
blogalloh · 1 year
Text
Alhamdulillah Ternyata Semua Ini Milik Alloh Dari Alloh, Bersama Alloh & Untuk Alloh #Dakwah #Islam
Tumblr media
Tafsir Surah An-Nuur Ayat #42 Allah Ta’ala berfirman, وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ “ Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (QS. An-Nuur: 42) Alhamdulillah Ternyata Semua Ini Milik Alloh Dari Alloh, Bersama Alloh & Untuk Alloh Penjelasan ayat Semua milik Allah dan semua akan kembali kepada Allah Disebutkan dalam ayat ke-42: “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi.” Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di memberikan keterangan, maksudnya adalah Allah menciptakan langit dan bumi. Allah yang memberikan rezeki pula kepada langit dan bumi. Allah juga yang mengatur langit dan bumi. Allah mengaturnya secara syar’i dan qadari (artinya semua harus tunduk pada aturan syariat Allah dan semua yang Allah tetapkan itu pasti terjadi). Di bumi ini tempat kita beramal, sedangkan di akhirat adalah tempat amalan kita itu dibalas. Sehingga dalam lanjutan ayat disebutkan, “dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” Artinya, kepada Allah tempat kita kembali dan kita akan dibalas. Lihat Tafsir As-Sa’di, hlm. 600-601. Balasan manusia akan nampak pada catatan amal dan timbangan amal Dalil yang menunjukkan adanya timbangan amal pada hari kiamat di antaranya adalah ayat, وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا ۖ وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَاسِبِينَ “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.”  (QS. Al-Anbiya’: 47) Dalam ayat lainnya disebutkan, فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ , فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ , وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ , فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ  , وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ , نَارٌ حَامِيَةٌ “Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, Maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (QS. Al-Qari’ah: 6-11) Dalam penjelasan para ulama ada beberapa pendapat manakah yang ditimbang dalam mawazin (timbangan) pada hari kiamat. Ada beberapa pendapat, yang ditimbang adalah: (1) amal itu sendiri, (2) catatan amal, (3) pahala dari amalan, (4) pelaku amal itu sendiri. Lihat Ma’arij Al-Qabul, 3:1022-1024. Dalil yang menunjukkan bahwa manusia akan menerima catatan amal adalah firman Allah Ta’ala, فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ “Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: “Ambillah, bacalah kitabku (ini).”  (QS. Al-Haqqah: 19) Juga dalam ayat, وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ “Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini).”   (QS. Al-Haqqah: 25) Begitu juga yang menerima kitab dari sisi belakang punggungnya seperti disebut dalam ayat, وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ “Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang.” (QS. Al-Insyiqaq: 10) Juga dalam hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia ketika itu mengingat neraka, lantas ia menangis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya saat itu, “Apa yang membuatmu menangis?” ‘Aisyah menjawab, “Aku mengingat neraka lantas aku menangis. Apakah kalian akan mengingat keluarga kalian pada hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, أَمَّا فِي ثَلاَثَةِ مَوَاطِنَ فَلاَ يَذْكُرُ أَحَدٌ أَحَدًا عِنْدَ المِيْزَانِ حَتَّى يَعْلَمَ أَيَخِفُّ مِيْزَانُهُ أَوْ يَثْقُلُ وَعِنْدَ الكِتَابِ حِيْنَ يُقَالُ
( هَآؤُمُ اقْرَؤُوْا كِتَابِيَهْ ) حَتَّى يَعْلَمَ أَيْنَ يَقَعُ كِتَابُهُ أَفِي يَمِيْنِهِ أَمْ فِي شِمَالِهِ أَمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِهِ وَعِنْدَ الصِّرَاطِ إِذَا وُضِعَ بَيْنَ ظَهْرَي جَهَنَّمَ “Ada tiga keadaan seseorang tidak akan mengingat siapa pun (pada hari kiamat): (1) ketika di sisi mizan (timbangan), sampai seseorang mengetahui timbangannya ringan ataukah berat; (2) ketika berada pada sisi kitab (catatan amal) ketika dikatakan ‘Ambillah, bacalah kitabku (ini)’ sampai ia mengetahui apakah catatannya diambil dari sisi kanan, ataukah sisi kiri, atau dari belakang punggungnya; (3) ketika berada di shirath (jembatan) yang dibentangkan di atas Jahannam.” (HR. Abu Daud, no. 4755; Tirmidzi, no. 2235. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani). Tentang hisab amal Dalam masalah hisab disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Yang dimaksud hisab adalah ditimbangnya amal kebaikan dan kejelekan. Termasuk dalam hal ini ada munaqasyah (perhitungan amal baik dan jelek secara rinci). Hisab yang dimaksud sebelumnya adalah penampakan amalan pada pelakunya dan akhirnya ia mengenal amalnya sendiri. Oleh karena itu para ulama Ahlus Sunnah berselisih pendapat mengenai orang kafir, yaitu apakah orang kafir dihisab ataukah tidak. Yang jelas hisab itu ada yaitu amalan itu dihitung dan ditampakkan. Namun hisab bagi orang kafir bukan maknanya kebaikan mereka dibalas pada hari kiamat lalu dibandingkan dengan kejelekannya.” (Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql, 5:229. Dinukil dari Tafsir Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 6:489). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di tempat lainnya juga menyatakan, “Setiap hamba pasti memiliki kejelekan. Dalam kehidupan kita selaku hamba pasti punya kekurangan. Seandainya bukan karena pemaafan dari Allah terhadap kesalahan-kesalahan kita dan Allah menerima amal kita, tentu kita akan binasa. Karena dalam hadits disebutkan, “Siapa yang menghadapi munaqasyah (perhitungan hisab secara rinci), maka ia tentu akan disiksa. ‘Aisyah mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, bukankah Allah mengatakan, “Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: “Ambillah, bacalah kitabku (ini).” Inilah yang dimaksud dengan al-‘ardh (penampakan amal). Namun jika amal tersebut nuqisya (dihisab rinci) tentu akan disiksa.” (Jaami’ Ar-Rasail, 1:150. Dinukil dari Tafsir Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 6:489) Hisab itu ada dua macam Pertama, hisab ‘ardh. Hisab ini berlaku khusus untuk orang beriman. Ia akan ditanya tentang amalnya, ilmunya, nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya. Ia akan menjawab dengan kokoh, akhirnya nikmat kebaikan berlanjut terus untuknya. Jika ditampakkan baginya dosa, ia mengakuinya dan Allah akan menutupi serta memaafkan kesalahannya. Hisab pertama ini tidak dihitung detail (munaqasyah). Ia akan mengambil kitabnya dengan tangan kanannya. Ia akan kembali pada keluarganya dalam keadaan suka cita. Karena ia selamat dari siksa dan diberikan keburuntungan dengan pahala. Inilah yang disebutkan dalam hadits, مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ أَوَلَيْسَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا قَالَتْ فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكِ الْعَرْضُ وَلَكِنْ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَهْلِكْ “Barangsiapa yang dihisab, maka ia tersiksa”. Aisyah bertanya, “Bukankah Allah telah berfirman ‘maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah’ (QS. Al-Insyiqaq: 8)” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Itu baru al-‘aradh (penampakan amal). Namun barangsiapa yang diteliti hisabnya, maka ia akan binasa.” (HR. Bukhari, no. 103 dan Muslim, no. 2876) Kedua, hisab munaqasyah. Hisab ini ditujukan pada orang kafir dan ahli maksiat dari orang yang bertauhid. Mereka akan lama hisabnya dan akan berat tergantung pada banyaknya dosanya. Jika itu ahli maksiat dari kalangan ahli tauhid, maka Allah akan masukkan mereka dalam neraka sampai waktu tertentu kemudian keluar, lalu akan masuk dalam surga selamanya. Hisab jenis ini akan dialami oleh orang kafir, munafik, dan pelaku kemaksiatan–semoga Allah melindungi kita–, di
mana mereka akan diinterogasi secara teliti atas kenikmatan yang diperoleh semasa di dunia, selain itu terjadi adu argumentasi sehingga Allah pun mendatangkan saksi untuk membatalkan alasan mereka. Lihat Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 182318. Semoga bermanfaat. Referensi: Ma’arij Al-Qabul bi Syarh Sullam Al-Wushul ila ‘Ilmi Al-Ushul fi At-Tauhid. Cetakan kedelapan, Tahun 1432 H. Hafizh bin Ahmad Al-Hakami. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Tafsir Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Iyad bin ‘Abdul Lathif bin Ibrahim Al-Qaisi. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. https://islamqa.info/ar/answers/182318 Sumber https://rumaysho.com/22259-faedah-surat-an-nuur-36-allah-merajai-langit-dan-bumi-kita-semua-akan-kembali-kepada-nya.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Alhamdulillah Ternyata Semua Ini Milik Alloh Dari Alloh, Bersama Alloh & Untuk Alloh
0 notes
blogalloh · 1 year
Text
Alhamdulillah Tawashul Pada Alloh 1. Bukti Iman & Percaya Alloh Maha Kuasa 2. Cari Solusi Dengan Cara Kebaikan 3. Dapat Rahmat & Pahala Dunia Akhirat #Dakwah #Islam
Tumblr media
Pembaca muslimah yang semoga dirahmati Allah, tawassul adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya, beribadah kepada-Nya, mengikuti petunjuk Rasul-Nya dan mengamalkan seluruh amalan yang dicintai dan di ridhai-Nya, lebih jelasnya adalah kita melakukan suatu ibadah dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah dan surga-Nya. Tentu saja ini merupakan bentuk ibadah kepada Allah yang sering kali kita lakukan dalam kehidupan kita namun perlu diketahui bahwa tidak sedikit pula orang yang terjerumus kedalam tawassul yang itu sama sekali tidak di syari’atkan di dalam agama Islam. Ada sebagian orang yang mentakwil hadits-hadits tentang tawassul dengan berdasarkan akal pemikiran dan hawa nafsu belaka. Sehingga muncullah berbagai bentuk tawassul yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam bahkan merupakan kesyirikan yang besar. Alhamdulillah Tawashul Pada Alloh 1. Bukti Iman & Percaya Alloh Maha Kuasa 2. Cari Solusi Dengan Cara Kebaikan 3. Dapat Rahmat & Pahala Dunia Akhirat Untuk itulah disini kita akan membahas tentang berbagai macam bentuk tawassul yang sudah tersebar bahkan di lingkungan sekitar kita. Kita diperbolehkan melakukan  tawassul yang syar’i karena ini merupakan suatu bentuk ibadah kepada Allah yang sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita shallallahu’alaihi wa sallam. Namun jelas kita juga dilarang dari melakukann berbagai bentuk tawassul yang bid’ah apalagi syirik yang ini pun juga sudah tersebar dan menjadi kebiasan bagi sebagian orang. Mereka menganggap dirinya sedang beribadah dan memohon ridha-Nya namun ternyata sebaliknya, murka Allah-lah baginya. Waliyyadzubillah. Dengan itu maka kita akan mulai mengkaji apa sebenarnya makna tawassul itu dan bagaimana yang disyari’atkan serta yang bagaimana yang terlarang. Tentunya agar kita tidak terjerumus ke dalamnya tanpa kita sadari karena kejahilan pada diri kita. Pengertian Tawassul Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. Al-wasilah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il (An-Nihayah fil Gharibil Hadiit wal Atsar :v/185 Ibnul Atsir). Sedang menurut istilah syari’at, al-wasilah yang diperintahkan dalam al-Qur’an adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan. (Tafsir Ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diti kepadaNya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya agar kamu beruntung.” (Qs.Al-Maidah:35) Mengenai ayat diatas Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata,”Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah al-qurbah (peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah).” Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Ibnu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid, dan yang lainnya. Qatadah berkata tentang makna ayat tersebut,”Mendekatlah kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengerjakan amalan yang di ridhoi-Nya.” (Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103). Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu) ada tiga macam: tawassul sunnah, tawassul bid’ah, dan tawassul syirik. Tawassul Sunnah Pertama: Bertawassul dengan menyebut asma’ul husna yang sesuai dengan hajatnya ketika berdo’a. Allah Ta’ala berfirman, “Hanya milik Allah-lah asma’ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjaan.” (Qs.Al-A’raf:180) Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam do’an
ya, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu, yang Engkau menamakan diriMu dengan nama-nama tersebut, atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah seorang hambaMu, atau yang telah Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang masih tersimpan di sisi-Mu.” (HR.Ahmad :3712) Kedua: Bertawassul dengan sifat-sifat Allah Ta’ala. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya, “Wahai Dzat Yag Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri, hanyadengan RahmatMu lah aku ber istighatsah, luruskanlah seluruh urusanku, dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata.” (HR. An-Nasa’i, Al-Bazzar dan Al-Hakim) Ketiga: Bertawassul dengan amal shalih Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab shahih muslim, sebuah riwayat yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua. Lalu masing-masing bertawassul dengan amal shalih mereka. Orang pertama bertawassul dengan amal shalihnya berupa memelihara hak buruh. Orang ke dua bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Sedangkan orang ke tiga bertawassul dengan takutnya kepada Allah Ta’ala, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak dia lakukan. Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghaanginya, hingga mereka bertiga pun akhirnya selamat. (HR.Muslim 7125) Keempat: Bertawassul dengan meminta doanya orang shalih yang masih hidup. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa ada seorang buta yang datang menemui Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku (sehingga aku bisa melihat kembali).” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, “Jika Engkau menghendaki aku akan berdoa untukmu. Dan jika engkau menghendaki, bersabar itu lebih baik bagimu.” Orang tersebut tetap berkata,”Do’akanlah.” Lalu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyuruhnya berwudhu secara sempurna lalu shalat dua raka’at, selanjutnya beliau menyuruhnya berdoa dengan mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan aku menghadap kepada-Mu bersama dengan nabi-Mu, Muhammad, seorang nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap bersamamu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar Dia memenuhi untukku. Ya Allah jadikanlah ia pelengkap bagi (doa)ku, dan jadikanlah aku pelengkap bagi (doa)nya.” Ia (perawi hadits) berkata,”Laki-laki itu kemudian melakukannya, sehingga dia sembuh.” (HR.Ahmad dan Tirmidzi) Kelima: Bertawassul dengan keimanannya kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu),’Berimanlah kamu kepada Tuhanmu’. Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (Qs.Ali-Imran:193) Keenam: Bertawassul dengan ketauhidannya kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersemptnya (menyulitkannya). Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap,’bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disebah) selain Engkau, maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikian Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Qs.Al-Anbiya:87-88) *** Tawassul Bid’ah Pertama: Tawassul dengan kedudukan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam atau kedudukan orang s
elain beliau. Dalam shahih Bukhari terdapat hadits, “Dari Anas bin Malik, bahwasannya Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu jika terjadi kekeringan, maka beliau berdo’a agar diturunkan hujan dengan bertawassul melalui perantaraan (do’a) Al-‘Abbas bin Abdul Muthallib. Umar berkata,’Ya Allah dahulu kami bertawassul dengan nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada Kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’. Kemudian turunlah hujan.” (HR.Bukhari: 1010) Maksud bertawassul dengan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bukanlah “Bertawassul dengan menyebut nama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam atau dengan kedudukannya sebagaimana persangkaan sebagian orang. Akan tetapi maksudnya adalah bertawassul dengan do’a Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Oleh karena itu ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah wafat, para sahabat tidak bertawassul dengan nama atau keddukan Nabi, akan tetapi bertawassul dengan doa paman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam –yaitu ‘Abbas- yang saat itu masih hidup. Kedua: Bertawassul dengan cara menyebutkan nama atau kemuliaan orang shalih ketika berdo’a kepada Allah Ta’ala. Ini adalah bid’ah bahkan perantara menuju kesyirikan. Contoh,”Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Syaikh Abdul Qadir Jailani, ampunilah aku.” Ketiga: Bertawassul dengan cara beribadah kepada Allah Ta’ala di sisi kubur orang shalih. Ini merupakan bid’ah yang diada-adakan, dan bahkan merupakan perantara menuju kesyirikan. *** Tawassul Syirik Tawassul yang syirik adalah menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam beribadah seperti berdoa kepada mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan kepada mereka. Contoh,”Ya Sayyid Al-Badawi, mohonlah kepada Allah untuk kami”. Perbuatan ini merupakan syirik akbar dan dosa besar yang paling besar, meskipun mereka menamakannya dengan “tawassul”. Hukum syirik ini dilihat dari hakikatnya yaitu berdo’a kepada selain Allah. Penulis: Ummu Yusuf Nur Indah Sari Muroja’ah: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal Maraji’: Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Mutiara Faedah Kitab Tauhid, Abu Isa Abdullah bin Salam. Khudz ‘Aqidataka minal Kitabi wa Sunnatis Shahihi, Muhammad bin Jamil Zainu. Buletin At-Tauhid, Jogjakarta. Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/946-memahami-tawassul.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Alhamdulillah Tawashul Pada Alloh 1. Bukti Iman & Percaya Alloh Maha Kuasa 2. Cari Solusi Dengan Cara Kebaikan 3. Dapat Rahmat & Pahala Dunia Akhirat
0 notes
blogalloh · 1 year
Text
Alhamdulillah Alloh Menjauhkan Umat Nabi Muhammad Dari Segala Kesombongan #Dakwah #Islam
Tumblr media
Tawadhu' adalah sifat yang amat mulia, namun sedikit orang yang memilikinya. Ketika orang sudah memiliki gelar yang tinggi, berilmu tinggi, memiliki harta yang banyak, terkenal, memiliki kekuasaan, sedikit yang memiliki sifat kerendahan hati, alias tawadhu'. Alhamdulillah Alloh Menjauhkan Umat Nabi Muhammad Dari Segala Kesombongan Memahami Tawadhu Tawadhu' adalah ridho jika dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dari yang sepantasnya. Tawadhu' merupakan sikap pertengahan antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu tinggi hingga lebih dari yang semestinya. Sedangkan melecehkan yang dimaksud adalah menempatkan diri terlalu rendah. Ibnu Hajar berkata, "Tawadhu' adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa tawadhu' adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya." (Fathul Bari, 11: 341) Keutamaan Sifat Tawadhu' Sebagai sarana mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu' (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikan (Derajat)nya." (HR. Muslim no. 2588). Yang dimaksud di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan kedudukan yang tinggi di syurgaNya karena sifat tawadhu'nya di dunia. (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,16 : 142) Tawadhu'  juga merupakan akhlak mulia dari para nabi. Lihatlah Nabi Musa 'alaihissalam beliau membantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula Nabi Daud 'alaihissalam makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya alaihissalam dulunya seorang tukang kayu. Sifat tawadhu' Nabi Isa alaihissalam ditunjukkan dalam perkataannya : "Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka." (QS. Maryam: 32). Lihatlah sifat mulia para nabi tersebut. Karena sifat tawadhu', mereka menjadi mulia di dunia dan di akhirat. Sarana agar disayangi, dicintai Allah dan manusia. Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada diri Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau  pernah bersabda : "Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu'. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas  pada yang lain." (HR. Muslim no. 2865). Mencontoh Sifat Tawadhu' Nabi Muhammad SAW Allah Ta'ala berfirman dalam Al Qur'an : "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al Ahzab: 21) Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam masih memberi salam pada anak kecil dan yang lebih rendah kedudukan di bawah beliau. Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata : "Sungguh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berkunjung ke orang-orang Anshor. Lantas beliau memberi salam kepada anak kecil mereka dan mengusap kepala mereka." (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 459)  Subhanallah ... Ini sifat yang sungguh mulia yang jarang kita temukan saat ini. Sangat sedikit orang yang mau memberi salam kepada orang yang lebih rendah derajatnya dari dirinya. Boleh jadi orang tersebut lebih mulia di sisi Allah karena takwa yang ia miliki. Coba lihat lagi bagaimana keseharian Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam di rumahnya. Beliau membantu istrinya. Bahkan jika sand
alnya putus atau bajunya sobek, beliau menjahit dan memperbaikinya sendiri. Ini beliau lakukan di balik kesibukan beliau untuk berdakwah dan mengurus umat. Urwah bertanya kepada 'Aisyah, "Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?" Aisyah menjawab, "Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember." (HR. Ahmad 6: 167 dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 5676). Berbeda dengan kita, kita mungkin  lebih senang menunggu istri untuk memperbaiki atau memerintahkan pembantu atau orang lain untuk mengerjakannya. Sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa rasa malu membantu pekerjaan istrinya. 'Aisyah pernah ditanya tentang apa yang dikerjakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berada di rumah. Lalu 'Aisyah menjawab: "Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat." (HR. Bukhari no. 676).  Nasehat para ulama' tentang tawadhu' Al Hasan Al Bashri berkata, "Tahukah kalian apa itu tawadhu'? Tawadhu' adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu." Imam Asy Syafi'i berkata, "Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliaannya." (Syu'abul Iman, Al Baihaqi, 6: 304) Basyr bin Al Harits berkata, "Aku tidaklah pernah melihat orang kaya yang duduk di tengah-tengah orang fakir." Yang bisa melakukan demikian tentu yang memiliki sifat tawadhu'. 'Abdullah bin Al Mubarrok berkata, "Puncak dari tawadhu' adalah engkau meletakkan dirimu di bawah orang yang lebih rendah darimu dalam nikmat Allah, sampai-sampai engkau memberitahukannya bahwa engkau tidaklah semulia dirinya." (Syu'abul Iman, Al Baihaqi, 6: 298) Sufyan bin 'Uyainah berkata, "Siapa yang maksiatnya karena syahwat, maka taubat akan membebaskan dirinya. Buktinya saja Nabi Adam 'alaihis salam bermaksiat karena nafsu syahwatnya, lalu ia beristighfar (memohon ampun pada Allah), Allah pun akhirnya mengampuninya. Namun, jika siapa yang maksiatnya karena sifat sombong (lawan dari tawadhu'), khawatirlah karena laknat Allah akan menimpanya. Ingatlah bahwa Iblis itu bermaksiat karena sombong (takabbur), lantas Allah pun melaknatnya." Abu Bakr Ash Shiddiq berkata, "Kami dapati kemuliaan itu datang dari sifat takwa, qona'ah (merasa cukup) muncul karena yakin(pada apa yang ada di sisi Allah), dan kedudukan mulia didapati dari sifat tawadhu'." 'Urwah bin Al Warid berkata, "Tawadhu' adalah salah satu jalan menuju kemuliaan. Setiap nikmat pasti ada yang merasa iri kecuali pada sifat tawadhu'." Yahya bin Ma'in berkata, "Aku tidaklah pernah melihat orang semisal Imam Ahmad! Aku telah bersahabat dengan beliau selama 50 tahun, namun beliau sama sekali tidak pernah menyombongkan diri terhadap kebaikan yang ia miliki." Ziyad An Numari berkata, "Orang yang zuhud namun tidak memiliki sifat tawadhu adalah seperti pohon yang tidak berbuah."  اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ "Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau" (HR. Muslim no. 771). Semoga Allah memberi kita sifat rendah hati (tawadhu') dan menjauhkan kita dari sifat sombong, Aamiin…! Sumber : https://mahadibnuauf.com/rendah-hati-tawadhu#intro بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka ha
miidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Alhamdulillah Alloh Menjauhkan Umat Nabi Muhammad Dari Segala Kesombongan
0 notes
blogalloh · 1 year
Text
Alhamdulillah Diberi Kemudahan Menghafal Asmaul Khusna Nama Alloh Yang Sempurna #Dakwah #Islam
Tumblr media
Imam Al-Muzani rahimahullah berkata, الوَاحِدُ الصَّمَدُلَيْسَ لَهُ صَاحِبَةٌ وَلاَ وَلَدٌ جَلَّ عَنِ المَثِيْلِ فَلاَ شَبِيْهَ لَهُ وَلاَ عَدِيْلَ السَّمِيْعُ البَصِيْرُ العَلِيْمُ الخَبِيْرُ المَنِيْعُ الرَّفِيْعُ 1- Allah itu Maha Esa, Allah itu Ash-Shamad (yang bergantung setiap makhluk kepada-Nya), yang tidak memiliki pasangan, yang tidak memiliki keturunan, yang Mahamulia dan tidak semisal dengan makhluk-Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada yang setara dengan Allah. Allah itu Maha Mendengar, Maha Melihat. Allah itu Maha Mengilmui dan Mengetahui. Allah itu yang mencegah dan Mahatinggi. Alhamdulillah Diberi Kemudahan Menghafal Asmaul Khusna Nama Alloh Yang Sempurna Kaidah Nama dan Sifat Allah Pertama: Nama Allah itu tauqifiyah (mesti dengan dalil) Kedua: Rukun iman dengan nama Allah yang husna Ketiga: Bentuk penyimpangan dalam nama dan sifat Allah Menamakan berhala dengan nama-nama Allah. Menyebut Allah dengan panggilan “Bapak” seperti kelakuan orang Nashrani. Menyifatkan Allah dengan sifat-sifat yang menunjukkan kekurangan. Menolak nama dan sifat Allah. Menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Keempat:  Seluruh nama Allah pasti husna Allah Ta’ala berfirman, وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَاۖوَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِۚسَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 180). Asmaa’ adalah bentuk jamak dari kata ‘ism’ yang berarti nama dari dzat yang memiliki nama dan sifat. Nama-nama Allah adalah nama-nama yang paling mulia, yang Allah menamai Diri-Nya dengan nama-nama tersebut atau nama yang ditetapkan oleh Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Husnaadalah bentuk mu’annats (lafaz berjenis wanita) dari kata ‘ahsan’ (paling bagus) bukan bentuk mu’annatsdari kata ‘hasan’. Sepadan dengan ‘kubro’ (bentuk mu’annats dari ‘akbar’) dan ‘mutsla’ (bentuk mu’annats dari ‘amtsal’). Nama-nama Allah adalah husnaartinya mencapai puncak kesempurnaan dan keindahan. Hal itu dikarenakan Nama-Nama Allah mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak terdapat sedikit pun kekurangan padanya dari sisi manapun, baik dari sisi ihtimal (kemungkinan asal makna lafaz) atau dari sisi taqdir (penetapan makna pelengkap yang muncul dari hasil terkaan dalam pikiran pendengar). Semua nama Allah menunjukkan sanjungan dan pujian bukan sekedar label/merek. Akan tetapi, nama Allah berlaku sebagai nama yang sekaligus mengandung sifat. Allah yang Mahasuci lagi Mahatinggi telah memerintahkan hamba-hamba-Nya supaya mereka berdo’a kepada-Nya dengan perantara menyebut Nama-Nama-Nya. Di antara keindahan yang ditunjukkan oleh nama Allah adalah setiap nama dari nama-nama-Nya mengandung sifat yang mencakup seluruh maknanya yang muncul dari nama tersebut. Contohnya adalah Nama Allah Al-‘Aliim (yang Maha Mengetahui) sebagaimana terdapat dalam firman Allah Ta’ala, وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُۚإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا “Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui/’aliim lagi Maha Bijaksana/hakiim.” (QS. Al Insaan: 30). Maka dari ayat ini diketahui bahwa Al-‘Aliimmerupakan salah satu nama Allah Ta’ala, yang mengandung makna ilmu yang sempurna; ilmu yang meliputi segala sesuatu secara global dan terperinci, ilmu yang tidak diawali dengan kebodohan, ilmu yang tidak ditimpa kelupaan. Sehingga tidak ada makhluk sekecil apapun di bumi maupun di langit yang tidak diketahui-Nya. Lafaz itu ada empat macam: Lafaz yang kandungannya sempurna semata dalam Dzatnya. Inilah yang ada dalam nama Allah. Lafaz yang kandungannya sempurna namun punya sisi lain makna yang tidak sempurna. Lafaz seperti ini hanya boleh mengabarkan tentang Allah, tidak bol
eh menjadi nama. Lafaz yang kandungannya mengandung kekurangan dan kesempurnaan. Misalnya, Allah itu membuat makar. Maka tidak bisa dijadikan nama Allah, Al-Maakir. Maka tidak boleh dimutlakkan lafaz ini untuk Allah. Bisa dijadikan khabar untuk Allah namun dengan dikaitkan dengan kata lainnya, yaitu Allah membuat makar yang terpuji. Lafaz yang mengandung kekurangan saja, maka tidak disandarkan pada Allah, tidak sebagai nama, sifat, maupun khabar (pemberitaan). Lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Mutsla, hlm. 30-32. Kelima: Nama Allah tidak dibatasi oleh jumlah bilangan tertentu. Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya dan dibawakan juga oleh imam ahli hadits selain beliau dari jalur Ibnu Mas’ud. Di dalam hadits tersebut Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa ketika dirundung duka dan kesedihan, اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، اِبْنُ عَبْدِكَ، اِبْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ. ALLOOHUMMA INNI ‘ABDUK, IBNU ‘ABDIK, IBNU AMATIK, NAASHIYATII BIYADIK, MAADHIN FIYYA HUKMUK, ‘ADLUN FIYYA QODHOO-UK. AS-ALUKA BIKULLISMIN HUWA LAK, SAMMAYTA BIHI NAFSAK, AW ANZALTAHU FII KITAABIK, AW ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIK, AWISTA’TSARTA BIHI FII ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAK. AN TAJ’ALAL QUR’AANA ROBII’A QOLBII, WA NUURO SHODRII, WA JALAA-A HUZNII, WA DZAHAABA HAMMII. Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu (Adam) dan anak hamba perempuan-Mu (Hawa). Ubun-ubunku di tangan-Mu, keputusan-Mu berlaku padaku, ketentuan-Mu kepadaku pasti adil. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu gaib di sisi-Mu. Mohon jadikan Al-Qur’an sebagai penenteram hatiku, cahaya di dadaku, pelenyap duka, dan penghilang kesedihanku. (HR. Ahmad, 1:391 dan 1:452, dari ‘Abdullah) Adapun nama yang disembunyikan dalam ilmu gaib oleh Allah maka tidak ada seorang pun yang bisa mengetahuinya. Begitu pula nama yang diajarkan-Nya kepada sebagian golongan di antara makhluk-Nya, bisa jadi golongan yang lain tidak mengetahuinya. Adapun hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ للهِ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اسْمًا ، مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا ، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الجَنَّةَ “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama–seratus kurang satu–yang apabila seseorang menghitungnya niscaya dia masuk Surga.” (HR. Bukhari, no. 7392 dan Muslim, no. 2677) Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa hadits ini bukanlah dalil pembatasan jumlah Nama Allah Ta’alasebagaimana disepakati oleh para ulama. Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Allah tidak memiliki nama selain nama yang jumlahnya sembilan puluh sembilan. Sesungguhnya maksud dari hadits adalah barangsiapa menjaga sembilan puluh sembilan nama tadi, niscaya dia akan masuk surga. Bukan maksud pengabaran hanyalah untuk orang yang menghitungnya semata. Karena nama Allah tidak dibatasi sebagaimana disebutkan dalam hadits, ‘Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu gaib di sisi-Mu.’ Al-Hafizh Abu Bakar Al-‘Arabi Al-Maliki, dari sebagian ulama Malikiyah menyatakan bahwa nama Allah itu ada seribu nama. Ibnul ‘Arabi katakan, itu tetap masih sedikit. Wallahu a’lam. Adapun penentuan sembilan puluh sembilan nama tersebut terdapat dalam Jami’ At-Tirmidzi. Namun penentuan sebagian nama di dalamnya terdapat beda pendapat di antara para ulama
. Adapun pengertian, siapa yang menghitungnya sebagaimana dalam hadits adalah siapa yang menghafalnya. Ulama lainnya mengatakan maksudnya adalah siapa yang memperhatikan nama tersebut, siapa yang menjalankan konsekuensinya, siapa yang membenarkan maknanya, hingga siapa yang mengamalkannya. Lihat Syarh Shahih Muslim, 17:6. Insya Allah akan berlanjut lagi pada kaidah nama dan sifat Allah lainnya. Semoga bermanfaat. Referensi: Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm. Syarh Asma’ Allah Al-Husna fi Dhaui Al-Kitab wa As-Sunnah. Cetakan ke-12, Tahun 1431 H. Syaikh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani. Syarh As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Imam Al-Muzani. Ta’liq: Dr. Jamal ‘Azzun. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj. Syarh Al-Qawa’id Al-Mutsla.Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Ta’liq: Abu Ya’qub Nasy-at bin Kamal Al-Mashri. Penerbit Maktabah Al-Muslim. Sumber https://rumaysho.com/18512-syarhus-sunnah-kaidah-nama-dan-sifat-allah-02.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Alhamdulillah Diberi Kemudahan Menghafal Asmaul Khusna Nama Alloh Yang Sempurna
0 notes
blogalloh · 1 year
Text
Alloh Pernah Menasehati Nabi Muhammad Untuk Mengucapkan “Insya Alloh” #Dakwah #Islam
Tumblr media
Seorang muslim pasti sering mendengar ucapan insya Allah. Namun banyak yang bertanya, mana penulisan yang benar, “insya Allah” atau “in sha Allah”? Apa artinya dan apa saja keutamaan ucapan ini? Alloh Pernah Menasehati Nabi Muhammad Untuk Mengucapkan “Insya Alloh” Penulisan Insya Allah Banyak yang bertanya, penulisan yang benar itu “insya Allah”  atau “in shaa Allah”? Bahkan pernah beredar meme dr Zakir Naik melarang menulis “Insya Allah” dan menyerukan menulis “In Shaa Allah”. Soal meme itu, dr Zakir Naik tidak pernah mengatakan apa pun tentang penulisan “insya Allah” maupun “In Shaa Allah”. Sehingga gambar yang mencatut nama dr Zakir Naik dalam hal ini adalah hoax. Akun fan dr Zakir Naik telah mengklarifikasinya. Kedua, memang terdapat perbedaan penulisan antara bahasa Indonesia dan bahasa Arab. Bahasa Indonesia ditulis dengan huruf alfabet sedangkan bahasa Arab ditulis dengan hufur hijaiyah. Dalam bahasa Arab, penulisan yang benar adalah: إِنْ شَاءَ اللَّهُ Yang artinya “jika Allah menghendaki” atau “jika Allah berkehendak” Dalam bahasa Indonesia, huruf ش biasa ditulis dengan “sy” Sedangkan dalam bahasa Inggris, huruf ش biasa ditulis dengan “sh” Inilah yang membuat perbedaan mengapa kadang tertulis “insya Allah” dan kadang tertulis “in sha Allah”. Mana pun dari kedua cara penulisan ini, asalkan maksud dan bunyinya adalah إِنْ شَاءَ اللَّهُ maka dia benar. Hanya saja yang lebih umum dalam bahasa Indonesia adalah “insya Allah” sebagaimana kita bisa menulis “shalat isya” bukan “shalat isha”. Penulisan insya Allah dalam bahasa Indonesia pun kadang dipisah dengan spasi dan kadang disambung menjadi insyaallah. Sekali lagi, jika maksudnya sesuai dengan tulisan dalam bahasa Arab, maka keduanya tidak bisa disalahkan. Dalam artikel inipun kadang dijumpai penulisan yang disambung. Arti Insya Allah dan Penggunaannya Kata insya Allah (إِنْ شَاءَ اللَّهُ) artinya adalah “jika Allah menghendaki” atau “jika Allah berkehendak.” Maknanya adalah, segala sesuatu terjadi atau tidak terjadi adalah atas kehendak Allah. Kata ini diucapkan seorang muslim ketika ia berjanji atau berencana mengerjakan sesuatu. Sebab ia tidak tahu apakah hal yang akan dikerjakannya nanti benar-benar terjadi atau tidak. Kata insyaallah juga mengandung doa. Yakni doa isti’anah, meminta pertolongan kepada Allah agar apa yang ia janjikan atau ia rencanakan dimudahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk mengucapkannya ketika mengatakan akan berbuat sesuatu di masa yang akan datang. وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا , إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”.. (QS. Al Kahfi: 23-24) Ketika menafsirkan ayat ini, Syaikh Wahbah Az Zuhaili membuat sub judul “tuntunan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan umat beliau agar senantiasa mengaitkan keinginannya dengan kehendak Allah.” Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar menjelaskan asbabun nuzul ayat ini. Ketika itu, orang-orang Quraisy meminta keterangan kepada beliau apakah yang dikatakah ruh itu, bagaimana kisah ashabul kahfi dan siapa yang mengembara ke barat dan ke timur. Rasulullah berjanji akan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu besok. Beliau berharap malamnya Jibril datang menyampaikan wahyu. Rupanya Jibril tidak datang-datang hingga lima belas hari. Lalu Allah menurunkan ayat ini agar ketika Rasulullah dan umatnya berjanji, mereka mengucapkan insya Allah. Penggunaan Ucapan yang Salah Ketika seorang muslim berjanji atau mengatakan akan berbuat sesuatu di masa mendatang, ia dituntun untuk mengucapkan insya Allah. Saat mengatakannya, keyakinannya kokoh bahwa perkara itu bisa terjadi atas kehendak Allah semata. Di saat yang sama, ia benar-benar berusaha memenuhi janjinya itu den
gan segenap ikhtiar. Terkadang kita dapati ada orang-orang yang tidak percaya ketika orang lain mengucapkan insyaallah saat berjanji. Mengapa? Karena ia beranggapan orang itu tidak serius berjanji dan menjadikan ucapan tersebut sebagai alasan saat janjinya tidak terpenuhi. Dan ternyata memang ada yang modelnya seperti itu. Mengucapkan insya Allah saat berjanji, tetapi tidak bersungguh-sungguh berikhtiar memenuhi janjinya. Ini adalah penggunaan yang salah. Sebagai seorang muslim, kita harus menunjukkan bahwa ketika kita mengucapkan insya Allah, artinya kita benar-benar serius, bersungguh-sungguh berusaha memenuhi janji tersebut. Dan sebagai seorang muslim, kita tidak boleh meragukan kesungguhan saudara kita yang mengucapkan insya Allah saat berjanji. Keutamaan Ucapan Insya Allah Salah satu keutamaan ucapan ini diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam Shahih-nya masing-masing. Yakni hadits yang mengisahkan Nabi Sulaiman lupa mengucapkan kata ini. Sulaiman bin Dawud alaihimassalam berkata: “Sungguh aku akan berkeliling (menggilir) 100 istriku malam ini, sehingga tiap wanita akan melahirkan anak yang akan berjihad di jalan Allah.” Malaikat mengucapkan kepada beliau: “Ucapkan Insya Allah.” Namun Nabi Sulaiman tidak mengucapkan dan lupa. Kemudian beliau berkeliling pada istri-istrinya. Hasilnya, tidak ada yang melahirkan anak kecuali satu orang wanita yang melahirkan setengah manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda: “Kalau Nabi Sulaiman mengucapkan Insyaallah, niscaya beliau tidak melanggar sumpahnya dan lebih diharapkan hajatnya terpenuhi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Jadi keutamaan ucapan insya Allah adalah kemudahan dari Allah, dengan dikabulkannya hajat yang ia inginkan. Di sisi lain, jika janji tersebut atas takdir Allah tidak terpenuhi, maka ia tidak digolongkan sebagai orang yang mengingkari janji. Contoh lain bagaimana Allah mengabulkan keinginan orang yang mengucapkan insya Allah terdapat pada Surat Ash Shaffat ayat 102. Ketika hendak disembelih Nabi Ibrahim karena perintah dari Allah melalui mimpi, Nabi Ismail mengatakan insyaallah. يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, niscaya engkau akan dapati aku InsyaAllah termasuk orang-orang yang sabar. (QS. Ash Shaffat: 102) Maka Allah pun menjadikan Nabi Ismail bersabar dan lulus ujian itu dengan hasil yang baik. Beliau tidak jadi disembelih, karena Allah menggantinya dengan kambing. Demikian pembahasan mengenai insya Allah mulai dari penulisan yang benar, arti, hingga keutamaan ucapan tersebut. Semoga kita dimudahkan Allah untuk membiasakannya. [Muchlisin BK/BersamaDakwah] Sumber : https://bersamadakwah.net/insya-allah/ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Alloh Pernah Menasehati Nabi Muhammad Untuk Mengucapkan “Insya Alloh”
0 notes
blogalloh · 1 year
Text
Aku Adalah Hamba Yang Kebanggaanku Adalah Kemiskinanku Dan Besarnya Kebutuhanku Ke Alloh #Dakwah #Islam
Tumblr media
Nada Umayatul Awaliah atau yang akrab disapa Nada Sikkah, baru saja menggunggah video cover shalawat Qod Kafany pada kanal youtube Neng Nada Official. Belum lama diunggah, video cover ini telah ditonton sebanyak 9.500 view. Aku Adalah Hamba Yang Kebanggaanku Adalah Kemiskinanku Dan Besarnya Kebutuhanku Ke Alloh Sementara itu, qod Kafany adalah salah satu shalawat yang dikarang oleh seorang ulama sufi dari Yaman yakni Habib Abdullah bin Alwy Hadad. Berikut ini adalah lirik shalawat Qod Kafany oleh Nada Sikkah beserta latin dan terjemahannya: hannya: الله ... مَالَنَا مَوْلً سِوَا اللهْ Allah (4x) Malana Maulan Siwallah Allah (4x).. Kita tidak punya tuhan selain Allah كُلَّمَا نَادَيْتُ يَا هُو قَالَ يَا عَبْدِي أَنَا اللهْ Kullamaa naa daita ya Hu Qoola ya 'abdii Ana-llah Ketika aku memanggil “Oh Tuhan” Dia berkata “Oh umatku, Akulah Allah” قَدْ كَفَانِيْ عِلْمُ رَبِّي مِنْ سُؤَالِي وَاخْتِيَارِ Qod kafani i’lmu robbi min su-aali wakhtiyaari Sungguh telah cukup bagiku kepuasan dan ketenanganku bahwa penciptaku maha mengetahui segala permintaanku dan usahaku فَدُ عَائِي وَابْتِهَالِي شَاهِدٌ لِي بِافْتِقَارِي Fadu’aii wabtihaali syahidullil biftiqoori Maka doa doa dan jeritan hatiku sebagai saksiku atas kefakiranku (dihadapan kewibawaanMu) فَلِهَذَا السِّرِّ أَدْعُو فِي يَسَارِي وَعَسَارِي Falihaadzaassirri ad’uu fi yasaari wa’asaari Maka demi rahasia kefakiranku (dihadapan kewibawaanMu) aku selalu mohon (padaMu) disaat kemudahan dan kesulitanku أَنَا عَبْدٌ صَارَفَخْرِي ضِمْنَ فَقْرِي وَاضْطِرَارِي Ana’abduu shoro fakhri dhimma faqri wadhthiroori Aku adalah hamba yang kebanggaanku adalah dalamnya kemiskinanku dan besarnya kebutuhanku (padaMu) يَا إِلَهِي وَمَلِيكِي أَنْتَ تَعْلَم كَيْفَ حَالِي Yaa ilaahi wa maliiki anta ta’lam kaifa haali Wahai Tuhanku wahai yang memiliki diriku, Engkau maha mengetahui bagaimana keadaanku وَبِمَا قَدْ حَلَّ قَلْبِي مِنْهُمُومٍ وَاشْتِغَالِي Wa bima qod halla qolbi min himumin wasytigholi Dan dari segala yang memenuhi hatiku dari kegundahan dan kesibukanku (hingga terlupakan dari mengingatMu) فَتَدَارَكْنِي بِلُطْفٍ مِنْكَ يَا مَولَى الْمَوَالِي Fatadaa rokhi biluthfin minka yaa maulal mawaali Maka ulurkanlah bagiku kasih sayang dari Mu wahai Raja dari segenap para Raja ياَ كَرِيْمَ الْوَجْهِ غِثْنِي قَبْلَ أَنْ يَفْنَى اصْطِبَارِي Yaa kariiimal wajha ghitsni qobla anyafnash thibaari Wahai Yang Maha Pemurah Dzatnya, tolonglah aku, dengan pertolongan yang datang sebelum sirna kemampuanku dalam bersabar ياَسَرِ يْعَ الْغَوْثِ غَوْثًا مِنْكَ يُدْرِكْنِي سَرِيعًا Yaa sarii’al ghoutsa minka yudrikna sarii’an Wahai Yang Maha Cepat mendatangkan pertolongan, temukan kami dengan dengan pertolongan dari Mu yang mendatangi kami segera يُهْزِمُ الْعُسْرَوَيَأْتِي بْالَّذْي أَرْجُو جَمِيعًا Yahzamul usro wa ya’tii billadzi arju jamii’an Pertolongan yang merubuhkan segala kesulitan, dan mendatangkan segala yang kami harap harapkan يَاقَرِيْبًا يَامُجِيْبًا يَاعَلِيْمًا يَاسَمِيْعًا Ya qoriiban ya mujiiban yaa ‘aliiman yaa samii’an Wahai Yang Maha Dekat, Wahai Yang Maha Menjawab segala rintihan, Wahai Yang Maha Mengetahui, Wahai Yang Maha Mendengar قَدْ تَحَقَّقْتُ بِعَجْزِي وَخُضُوْعِي وَانْكِسَارِي Qod tahaqqoqtu wa khudhu’ii wal kisaari Sungguh aku telah benar-benar meyakini kelemahan dan ketidakmampuanku, kerendahan dan keluluhanku. Sumber : https://muslimahdaily.com/entertainment/item/5284-lirik-dan-terjemahan-shalawat-qod-kafany-%E2%80%93-nada-sikkah.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ
muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Aku Adalah Hamba Yang Kebanggaanku Adalah Kemiskinanku Dan Besarnya Kebutuhanku Ke Alloh
0 notes
blogalloh · 1 year
Text
Alloh Maha Membolak-balikan Hati. Belajarlah Berfikir Terbalik Insya Alloh Lebih Mudah Mengenal Hakekat Alloh #Dakwah #Islam
Tumblr media
Setiap muslim seharusnya mengenal tuhannya dengan baik, yaitu: Allah ; satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah dan ditaati. Ma'rifatullah adalah puncak aqidah dan tauhid seorang muslim. Ma'rifatullah merupakan tolak ukur kualitas keislaman dan keimanan seseorang, karena untuk mencapai ketinggian iman seorang muslim harus tahu dan mengenal dengan baik siapa tuhannya. Alloh Maha Membolak-balikan Hati. Belajarlah Berfikir Terbalik Insya Alloh Lebih Mudah Mengenal Hakekat Alloh #Dakwah #Islam Makna Ma'rifatullah Ma'rifatullah bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal itu tidak mungkin terjangkau oleh akal manusia yang terbatas. Ma'rifatullah menurut Ibnul Qoyyim, sebagaimana di definisikan oleh ahli ma'rifah adalah : "ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”. Ma'rifatullah tidak  dimaknai dengan arti harfiah semata, namun dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia semakin dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan tantangan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah. Figur teladan dalam ma'rifatullah adalah Rasulullah, Dialah sosok yang paling mengenal Allah, paling dekat denganNya, dan paling taat kepada perintah-perintahNya. Rasulullah SAW bersabda : "Sayalah orang yang paling mengenal Allah dan paling takut kepadaNya".(HR. Bukhari dan Muslim). Tingkatan berikutnya yang paling mengenal Allah adalah : ( اَلْعُلَمَاءُ العَامِلُونَ ). Ulama' yang mengamalkan ilmunya.  قال تعالى :....إِنَّمَا يَخْشَى اللّهَ مِنْ عِبَادِهِ العُلَمَاءُ  "Sesungguhnya yang takut pada Allah di antara hamba-hambanya hanyalah 'ulama'”. (QS,35:28 ) Orang yang mengenali Allah, dengan benar adalah orang yang mampu mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ibadah. Kita akan mendapatinya sebagai orang yang rajin sholat, pada saat yang lain kita dapati ia senantiasa berzikir, tilawah, pengajar, mujahid, pelayan masyarakat, dermawan, dll. Tidak ada ruang dan waktu ibadah kepada Allah, kecuali dia ada di sana. Dan tidak ada ruang dan waktu yang di benci Allah, melainkan ia menjauhinya. Urgensi Ma'rifatullah Ma'rifatullah adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan hidup selanjutnya. Dengan ma'rifatullah manusia bisa mengetahui tujuan hidup yang sesungguhnya. Ketiadaan ma'rifatullah membuat orang hidup tanpa arah dan tujuan yang jelas, bahkan orang yang tidak mengenal Allah dengan benar akan menjalani hidupnya seperti binatang. (QS,47:12). Ma'rifatullah adalah asas perjalanan ruhiyah manusia secara keseluruhan. Orang yang mengenal Allah akan merasakan hidupnya tenang, lapang, dan dia hidup dalam rentangan panjang antara sabar dan syukur. Dari ma'rifatullah ini manusia akan mengenali kehidupan di luar  alam materi, seperti malaikat, jin dan ruh. Dengan ma'rifatullah seorang muslim akan senantiasa menjaga dirinya dari melanggar aturan-aturan Allah SWT sehingga hidupnya di penuhi dengan rahmat dan ridho Allah. Buah Ma'rifatullah Puncak ilmu adalah mengenal Allah. seseorang dikatakan sukses dalam belajar atau menuntut ilmu apabila dia semakin mengenal Allah dan semakin Dekat pada Allah. Jadi, percuma sekolah tinggi, gelar prestisius segudang, harta melimpah dan jabatan melangit bila itu semua tidak menjadikannya semakin dekat, semakin kenal dan semakin taat pada Allah. Ma'rifatullah adalah ni'mat yang sangat besar. Mengenal Allah akan membuahkan ahklaq mulia. Betapa tidak, dengan mengenal Allah kita akan merasa di tatap, di dengar dan di perhatikan oleh Allah, sehingga langkah dan gerak kita terarah pada jalan yang dikehendaki Allah. inilah keni'matan hidup yang sebenarnya. Dengan ma'rifatullah hidup menjadi tenang, terarah, ringan dan bahagia. Sebaliknya jika kita jauh dari Allah, hidup akan terasa berat, sempit, sengsara, tenggelam dalam lumpur dosa, dan terus menerus hidup dalam rentang waktu dan ruang kehinaan.  قال تعالى :وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَإِنَّ لَهُ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَنَحْ
شُرُهُ يَوْمَ الْقِيَا مَةِ أَعْمَى "Barang siapa yang berpaling dari peringatanku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan akan kami bangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS. Thaahaa,124 ). Ciri-ciri Orang yang Mengenal Allah (Al-arif billah) berikut adalah ciri-ciri Orang yang ma'rifah : tidak takut dan tidak bersedih hati (لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَاهُمْ يَحْزَنُونَ) dengan urusan duniawi. Karena itulah kualitas ma'rifah kita bisa diukur, bila kita selalu cemas dan takut kehilangan dunia, berarti kita belum mengenal Allah dengan baik. Sebab orang yang ma'rifah, susah senangnya tidak diukur oleh ada tidaknya dunia, tetapi diukur oleh dekat tidaknya dirinya dengan Allah. Orang yang ma'rifah akan senantiasa menjaga kualitas ibadahnya. Karena dengan terjaganya ibadah akan mendatangkan banyak manfaat dan  keuntungan dalam hidup, diantaranya : Hidup selalu berada di jalan yang benar. Memiliki kekuatan dalam menghadapi cobaan hidup. Allah akan selalu mengaruniakan dalam hidupnya. Akan selalu optimis dalam menghadapi kehidupan. Memiliki kendali dan kontrol dalam hidup, sehingga tidak selalu terjerumus kedalam jurang kema'siatan. Selalu berada dalam bimbingan dan pertolongan Allah. Memiliki Ruhiyah imaniah yang kuat. Sarana Ma'rifatullah Diantara sarana yang dapat mengantarkan kita pada ma'rifatullah adalah : Akal sehat ( العَقْلُ السَّلِيمُ ) Akal sehat manusia jika digunakan untuk memikirkan dan merenungkan apa yamg ada di sekelilingnya dari ciptaan Allah dapat menjadikan pemiliknya sampai pada ma'rifatullah yang sempurna. Alqur-an menjelaskan dalam berbagai ayatnya pengaruh perenungan makhluk terhadap pengenalan kepada sang khaliq. Allahberfirman: ”sesunggunya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda – tanda bagi orang yang berakal. Yaitu orang – orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi ( seraya berkata ) " Ya tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia – sia. Maha suci engkau maka peliharalah kami dari siksa api neraka”.(QS. 03: 190-191). Rasulullah Sha. Bersabda : تَفَكَّرُوا فِيْ خَلْقِ اللَّهِ وَلَا تَفَكَّرُوا فِي ذَاتِ اللَّهِ "berfikirlah kalian tentang ciptaan Allah dan janganlah berfikir tentang dzat Allah" (HR. Abu Nu'aim). Para Nabi dan Rasul ( الأَنْبِيَاءُ وَ الرُّسُلُ ) Kita dapat mengenal Allah dengan baik melalui dakwah dan penjelasan dari para rasul. Karena mereka memang di utus untuk mengenalkan dan mengajak manusia kepada Allah. Allah SWT berfirman :"Sesungguhnya kami telah mengutus rasul – rasul kami dengan membawa bukti – bukti nyata dan telah telah kami turunkan bersama mereka Al-kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan".(QS,57:25) Nama dan sifat Allah ( الأَسْمَاءُ وَ الصِّفَاتُ ) Mengenali nama dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah. cara inilah yang Allah gunakan untuk memperkenalkan dirinya kepada makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbukalah jendela bagi manusia untuk mengenali Allah lebih dekat lagi. Asma dan sifat Allah akan menggerakkan dan membuka hati manusia untuk menyajikan pancaran cahaya Allah. Allah berfirman: "katakanlah: serulah Allah atau Ar- Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, dia memiliki nama–nama yang baik .(الأسماء الحسنى )" Qs,17:110. Saudaraku…! Di tengah kondisi yang semakin sulit dan zaman yang semakin hancur tidak ada yang bisa menolong kita selai Allah. maka salah satu ikhtiar untuk menggapai pertolongan-Nya dengan meningkatkan pengenalan kita kepada  Allah. cara menggapainya adalah dengan memperbaik kualitas ibadah kita serta dengan terus menerus berusaha untuk istiqomah di jalan-Nya. Sumber : https://mahadibnuauf.com/marifatullah-mengenal-allah بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ
اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Alloh Maha Membolak-balikan Hati. Belajarlah Berfikir Terbalik Insya Alloh Lebih Mudah Mengenal Hakekat Alloh #Dakwah #Islam
0 notes
blogalloh · 1 year
Text
Alhamdulillah Alloh Lepaskan Aku Dari Semua Ikatan Syetan, Jin, Kodam Dan Semisalnya. Baik Dari Diri Sendiri, Bapak, Ibu, Suami, Istri, Anak, Orang Tua Leluhurku #Dakwah #Islam
Tumblr media
Jin ini akan terun-temurun tanpa disadari dengan karakter setia kepada manusia yang ditempatinya, Jin ini juga akan terus mengganggu akibat perjanjian masa lalu. Begini ciri-ciri jika Anda terkena Jin nasab, serta cara menghilangkannya! Jin keturunan atau yang biasa dikenal sebagai Jin Nasab atau Jin Saka adalah Jin yang menurun kepada keturunan orang yang mempunyai khodam/pusaka/ilmu-ilmu kesaktian akibat perjanjian masalalu. Alhamdulillah Alloh Lepaskan Aku Dari Semua Ikatan Syetan, Jin, Kodam Dan Semisalnya. Baik Dari Diri Sendiri, Bapak, Ibu, Suami, Istri, Anak, Orang Tua Leluhurku Jin jenis ini akan terus setia pada manusia majikannya dan akan terus turun-temurun tanpa disadari oleh anak cucu orang yang ditempatinya. Adapun ciri-ciri sedang terkena Jin Nasab adalah sebagai berikut: Indigo sejak kecil Bisa merasakan hal-hal ghoib sejak kecil Tiba-tiba bisa mengobati Merasa ada yang mengikuti Sering sakit kepala di bagian depan Mata mudah capek. Bagian diantara kedua mata (atas hidung) sering pegal/ada yang menarik-narik Sering bermimpi bertemu dengan orang yang sudah meninggal Mimpinya menjadi kenyataan Firasatnya jitu, bisa menebak dengan jitu Ketika berada di suatu tempat, merasa pernah di tempat tersebut (Dejavu) Kadang-kadang wajahnya seperti berubah seperti kakek2 atau nekek2 Sulit jodohnya, sulit mempunyai keturunan, mudah keguguran Mudah emosi, dalam keluarga mudah cek cok (bertengkar suami istri hanya karena masalah sepele) Malas melakukan Solat/sering menunda-nunda waktu Solat  Sakit pada bagian-bagian tertentu, sakitnya bergantian dengan anggota keluarga yang lain, sakit tidak sembuh-sembuh Merasa mempunyai 2 kepribadian Gangguan Jin Keturunan yang paling parah adalah apabila jin tersebut mencintai manusia yang ditempatinya. Pada beberapa kasus, Jin Keturunan yang mencintai manusia ini tidak mau keluar, bahkan rela mati dengan Ruqyah daripada harus keluar dari tubuh manusia yang dicintainya. Ciri-ciri Jin Nasab sudah mencintai tubuh yang dihuninya: Sering bermimpi didatangi oleh seseorang yang ganteng/cantik. Seseorang itu kadang dikenali di alam nyata, kadang juga tidak kenal. Seseorang itu menunjukkan perhatian khusus seperti sedang jatuh cinta. Sering bermimpi melakukan hubungan badan, baik melakukannya dengan sukarela maupun diperko**. Sering terasa ada sesuatu yang bergerak di bagian kemaluan hingga menyebabkan kemaluan menjadi gatal atau menimbulkan perasaan birahi yang memuncak. Kadang atau sering, tiba-tiba merasa benci dengan pasangannya (suami/istrinya). Sering sakit di bagian kepala. Sering timbul biru (lebam) di bagian paha. Sering lemes, ngantuk, letih, dan lesu. Mudah jatuh cinta kepada lain jenis. Ada kecenderungan melakukan perselingkuhan dan rawan terjadi perceraian. Mempunyai daya penarik tersendiri, terutamanya kalau yang memandang juga mengalami gangguan jin. Malas menunaikan solat. Seperti adanya halangan dan kadang-kadang dengan sengaja melewatkan solat. Jika Jin itu adalah Jin keturunan, maka mimpi tersebut biasanya sudah berlangsung sejak kecil. Jin keturunan sulit dihilangkan karena dia sudah mengenal kebiasaan dan kelemahan manusia yang dicintainya, dan Jin tersebut cintanya sangat mendalam. Cara menghilangkan Jin Nasab Berikut ini langkah-langkah untuk menghilangkan Jin Keturunan yang bisa Anda lakukan untuk diri sendiri maupun anggota keluarga lainnya: 1. Bertaubat setulus hati pada Allah SWT Sebelum menghilangkan Jin Keturunan, pertama kali yang harus dilakukan adalah bertobat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala dosa-dosa yang dilakukan baik sengaja atau tidak disengaja. 2. Memusnahkan Pusaka/Benda Keramat Apabila masih terdapat pusaka-pusaka/benda-benda keramat, maka benda-benda itu harus dimusnakan dengan keikhlasan kerena ingin mengharap ridho Allah SWT. 3. Mengucapkan ikrar pemutusan dengan bangsa Jin Ikrar ini dimaksudkan untuk mempertegas k
epada bangsa jin bahwa manusia yang ditempatinya tidak mau/tidak ikhlas ditempati oleh bangsa jin. Contoh ikrar pemutusan adalah sebagai berikut: Membaca Ta’awwud dan Basmalah. Ya Allah, sesungguhnya saya dan mewakili keluarga saya dengan penuh kesadaran dan pertaubatan dengan ini mengikrarkan: Memutuskan semua perjanjian atau ikatan yang kami atau orang sebelum kami, atau keluarga besar kami, yang perjanjian itu pernah lakukan secara sadar atau tidak sadar dengan segolongan jin. Mengharamkan tubuh kami dari dimasuki atau dijadikan sebagai tempat tinggal apapun juga jenis jin. Menegaskan bahawa kami hanya bergantung kepada perlindungan dan pertolongan Allah, bukan kepada jin. Ya Allah mulai saat ini: Saya haramkan semua makanan dan minuman saya, seluruh anggota tubuh saya dari semua jin yang ada di dalam dan di luar tubuh saya atau yang menggangu saya. Jika mereka makan dan minum, jadikanlah sebagai racun, racun yg sangat panas, racun yang dangat berbisa, racun yang membakar, racun yang membunuh semua jin-jin itu Ya Allah Ya Rabbal A’lamin . 4. Melakukan Ruqyah Syar’iyyah Saran kami, datangilah Peruqyah Syar’iyyah terlebih dahulu untuk diruqyah. Mengapa? Karena orang yang terkena gangguan jin untuk melakukan Ruqyah sangatlah berat dan selalu ada halangan. Misalnya, mau ruqyah tiba-tiba sakit, tiba-tiba panas, tiba-tiba kesurupan, malasnya minta ampun. Untuk itu, minta bantuan terlebih dahulu untuk minta diruqyah. Setelah gangguannya melemah, insyaAlloh Ruqyah bisa dilakukan sendiri (Ruqyah Mandiri). Sayangi keluargamu dan keturunanmu. Jangan sekali-kali belajar ilmu-ilmu kesaktian, mempunyai benda-benda pusaka, pasang susuk, dan lain-lain. Tanpa Anda sadari, khodam jin dari ilmu/benda tersebut akan menurun kepada anak turun Anda. Demikian semoga artikel ini bermanfaat, Wallahu A'lam. Sumber : https://umma.id/article/share/id/6/213254 بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Alhamdulillah Alloh Lepaskan Aku Dari Semua Ikatan Syetan, Jin, Kodam Dan Semisalnya. Baik Dari Diri Sendiri, Bapak, Ibu, Suami, Istri, Anak, Orang Tua Leluhurku
0 notes
blogalloh · 1 year
Text
Alhamdulillah Sudah Terlatih Hidup Hanya Bersama Alloh Kapanpun & Dimanapun #Dakwah #Islam
Tumblr media
Dizaman yang penuh fitnah ini, yaitu ketika fitnah syubhat dan syahwat begitu kerasnya menerpa, ketika kesyirikan menjamur, ketika maksiat tersebar dan dianggap biasa orang masyarakat, ketika sunnah dianggap asing dan bid’ah dianggap sunnah oleh mereka terkadang orang yang ingin berpegang teguh pada agamanya dihadapkan oleh dua pilihan: ‘uzlah (mengasingkan diri) ataukah khulthah (tetap bergaul di tengah masyarakat)? Kita simak pembahasan berikut. Alhamdulillah Sudah Terlatih Hidup Hanya Bersama Alloh Kapanpun & Dimanapun Dalil-Dalil Yang Menganjurkan Uzlah Demi Menjauhi Fitnah Banyak dalil-dalil yang menganjurkan untuk uzlah (mengasingkan diri) demi menyelamatkan diri dari fitnah atau diri menghindari masyarakat yang banyak terjadi maksiat, kebid’ahan dan pelanggaran agama. Diantaranya sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: خَيْرُ الناسِ في الفِتَنِ رجلٌ آخِذٌ بِعِنانِ فَرَسِه أوْ قال بِرَسَنِ فَرَسِه خلفَ أَعْدَاءِ اللهِ يُخِيفُهُمْ و يُخِيفُونَهُ ، أوْ رجلٌ مُعْتَزِلٌ في بادِيَتِه ، يُؤَدِّي حقَّ اللهِ تَعالَى الذي عليهِ “Sebaik-baik manusia ketika berhadapan dengan fitnah adalah orang yang memegang tali kekang kudanya menghadapi musuh-musuh Allah. Ia menakuti-nakuti mereka, dan merekapun menakut-nakutinya. Atau seseorang yang mengasingkan diri ke lereng-lereng gunung, demi menunaikan apa yang menjadi hak Allah” (HR. Al Hakim 4/446, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 2/311). Sebagaimana juga dalam hadits, قال رجلٌ : أيُّ الناسِ أفضلُ ؟ يا رسولَ اللهِ ! قال ( مؤمنٌ يجاهد بنفسِه ومالِه في سبيلِ اللهِ ) قال : ثم من ؟ قال ( ثم رجلٌ مُعتزلٌ في شِعبٍ من الشِّعابِ . يعبد ربَّه ويدَعُ الناسَ من شرِّه “Seseorang bertanya kepada Nabi: ‘siapakan manusia yang paling utama wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab: ‘Orang yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya di jalan Allah’. Lelaki tadi bertanya lagi: ‘lalu siapa?’. Nabi menjawab: ‘Lalu orang yang mengasingkan diri di lembah-lembah demi untuk menyembah Rabb-nya dan menjauhkan diri dari kebobrokan masyarakat'” (HR. Al Bukhari 7087, Muslim 143). Bahkan andai satu-satu jalan supaya selamat dari fitnah adalah dengan mengasingkan diri ke lembah-lembah dan puncak-puncak gunung, maka itu lebih baik daripada agama kita terancam hancur. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: يُوشِكَ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الرَّجُلِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنْ الْفِتَنِ “Hampir-hampir harta seseorang yang paling baik adalah kambing yang ia pelihara di puncak gunung dan lembah, karena ia lari mengasingkan diri demi menyelamatkan agamanya dari fitnah” (HR. Al Bukhari 3300). Dalil-Dalil Yang Menganjurkan Untuk Bergaul Di Tengah Masyarakat  Sebagian dalil yang lain menganjurkan kita untuk bergaul di tengah masyarakat walaupun bobrok keadaannya, dalam rangka berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar di dalamnya. Diantaranya firman Allah Ta’ala: وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2). juga firman Allah Ta’ala: وَا��ْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴿٣﴾ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al Ashr: 1-3) Diantaranya juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: المؤمنُ الذي يخالطُ الناسَ ويَصبرُ على أذاهم خيرٌ منَ الذي لا يُخالطُ الناسَ ولا يصبرُ على أذاهمْ “Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka” (HR. At
Tirmidzi 2507, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad 388, Ahmad 5/365, syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan hadits ini shahih dalam Mafatihul Fiqh 44). Juga sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam: فواللهِ لَأن يُهدى بك رجلٌ واحدٌ خيرٌ لك من حُمْرِ النَّعَمِ “Demi Allah, sungguh engkau menjadi sebab hidayah bagi satu orang saja, itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR. Al Bukhari 2942)ز Juga sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam: اتَّقِ اللهَ حيثُما كنتَ ، وأَتبِعِ السَّيِّئَةَ الحسنةَ تمحُها ، و خالِقِ الناسَ بخُلُقٍ حَسنٍ “bertaqwalah engkau kepada Allah dimanapun berada, dan perbuatan buruk itu hendaknya diikuti dengan perbuatan baik yang bisa menghapus dosanya, dan pergaulilah orang-orang dengan akhlaq yang baik” (HR. At Tirmidzi 1906, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami, 97). dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain. Memahami dan Menggabungkan Dalil-Dalil Jika kita melihat penjelasan para ulama, ternyata dalil-dalil di atas tidaklah saling bertabrakan. Juga dengan memahami pernyataan para ulama, kita bisa mengamalkan dan menggabungkan dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Sehingga kita pun bisa bersikap dengan benar dan proporsional, tidak mutlak memutuskan untuk mengasingkan diri dan juga tidak mutlak memutuskan untuk bergaul di masyarakat yang buruk keadaannya. Al Khathabi dalam kitab Al ‘Uzlah menyatakan bahwa dalil-dalil yang menganjurkan untuk berkumpul di dalam masyarakat di bawa ke makna bahwa hal itu dalam hal-hal yang berkaitan dengan ketaatan terhadap ulil amri dan ketaatan dalam menjalankan perintah agama. Dan sebaliknya, jika berkaitan dengan adanya pengingkaran terhadap ulil amri dan pengingkaran terhadap perintah-perintah agama maka uzlah. Adapun mengenai memutuskan untuk ijtima’ (berkumpul) atau iftiraq (memisahkan diri) secara lahiriah, maka orang yang merasa dapat menjaga kecukupan penghidupannya dan menjaga agamannya, maka lebih utama baginya untuk tetap bergaul di tengah masyarakat. Dengan syarat, ia harus tetap dapat menjaga shalat jama’ah, senantiasa menebarkan salam, menjawab salam, memenuhi hak-hak sesama muslim seperti menjenguk orang yang sakit, melayat orang yang meninggal, dan lainnya (walaupun tinggal di masyarakat yang bobrok, pent). Dan yang dituntut dalam keadaannya ini adalah meninggalkan fudhulus shahbah (terlalu berlebihan dalam bergaul atau bermasyarakat). Karena hal itu dapat menyibukkan diri, membuang banyak waktu, sehingga lalai dari hal-hal yang lebih penting. Hal itu juga dapat menjadikan kegiatan kumpul-kumpul dimasyarakat sebagai kegaitan yang sampai taraf kebutuhan baginya untuk dilakukan pagi dan malam. Yang benar hendaknya seseorang itu mencukupkan diri bergaul di masyarkat (yang buruk) sebatas yang dibutuhkan saja, yaitu yang memberikan kelonggaran badan dan hati. Wallahu’alam. (lihat Fathul Baari, 11/333, dinukil dari Mafatihul Fiqh, 45). Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan: “para salaf berbeda pendapat mengenai hukum asal uzlah. Jumhur ulama berpendapat bahwa bergaul di tengah masyarakat (yang bobrok) itu lebih utama karena dengan hal itu didapatkan banyak keuntungan diniyyah, semisal tersebarnya syiar-syiar Islam, memperkokoh kekuatan kaum Muslimin, tercapainya banyak kebaikan-kebaikan seperti saling menolong, saling membantu, saling mengunjungi, dan lainnya. Dan sebagian ulama berpendapat, uzlah itu lebih utama karena lebih terjamin keselamatan dari keburukan, namun dengan syarat ia memahami benar keadaan yang sedang terjadi” (Fathul Baari, 13/42, dinukil dari Mafatihul Fiqh, 46). An Nawawi menjelaskan: “yang lebih rajih adalah merinci masalah bergaul di masyarakat yang buruk, bagi orang yang menyangka dengan kuat bahwa ia tidak akan ikut terjerumus dalam maksiat. Bagi orang yang ragu ia akan ikut bermaksiat atau tidak, maka yang lebih utama baginya adalah uzlah. Sebagian ulama mengatakan, keputusannya tergantung keadaan. Jika keadaannya saling bertentangan juga, keputusannya juga masih perlu melihat waktu. Ba
gi orang yang memang diwajibkan baginya untuk bergaul di masyarakat karena ia sangat mampu mengingkari kemungkaran, maka hukumnya wajib ‘ain atau wajib kifayah baginya. Tergantu keadaan dan kemungkinan yang ada. Adapun orang yang menyangka dengan kuat bahwa ia masih bisa selamat di masyarakat tersebut dengan tetap melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, atau orang yang merasa dirinya masih aman namun ia merasa tidak bisa menjadi orang yang shalih, (maka boleh tetap bergaul di masyarakat). Ini selama tidak ada fitnah yang tersebar luas. Adapun jika ada fitnah maka lebih dianjurkan untuk uzlah. Karena di dalam masyarakat tersebut terjadi pelanggaran syariat yang meluas (dilakukan mayoritas orang). Dan dalam keadaan ini terkadang hukuman dari Allah diturunkan bagi ashabul fitan (pelaku keburukan dimasyarakat) namun hukuman tersebar hingga orang yang tidak termasuk ashabul fitan pun terkena. sebagaimana firman Allah Ta’ala: وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al Anfal: 25) (dinukil dari Mafatihul Fiqh, 46). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya: “apakah bagi orang yang berusaha menjalani agama dengan benar itu lebih baik uzlah atau bergaul di tengah masyarakat?”. Beliau menjawab: “masalah ini walaupun para ulama khilaf, baik khilaf kulliy maupun khilaf haliy, namun yang benar adalah bergaul di tengah masyarakat terkadang wajib dan terkadang mustahab (dianjurkan). Dan seseorang terkadang diperintahkan untuk tetap bergaul di tengah masyarakat dan terkadang diperintahkan untuk menyendiri. Mengkompromikannya yaitu dengan melihat apakah dengan bergaul itu dapat terwujud saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, jika demikian maka diperintahkan untuk bergaul. Namun jika dalam bergaul di tengah masyarakat terdapat unsur saling tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran, maka ketika itu terlarang. Dan berkumpul bersama orang-orang dalam berbagai jenis ibadah seperti shalat 5 waktu, shalat jum’at, shalat Id, shalat Kusuf, shalat istisqa, dan yang lainnya adalah perkara yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Demikian juga berkumpul bersama masyarakat dalam ibadah haji, dalam memerangi orang kafir, dalam memerangi kaum khawarij, (adalah hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya). Walau penguasa ketika itu fajir. Walaupun diantara masyarakat itu ada banyak orang fajir. Demikian juga (diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya) berkumpul bersama orang-orang dalam hal-hal yang dapat menambah keimanan, karena ia mendapat manfaat dari kumpulan itu maupun ia yang memberi manfaat, atau semisal itu. Dan semestinya seseorang memiliki waktu menyendiri, yang ia gunakan untuk berdoa, berdzikir, shalat, ber-tafakkur, muhasabah, memperbaiki hatinya, dan hal-hal lain yang khusus untuknya tanpa ada orang lain. Ini semua butuh bersendirian. Baik di rumahnya, – sebagaimana kata Thawus: ‘sebaik-baik tempat bagi seseorang untuk menyimpan dirinya adalah rumahnya, ia dapat menahan pandangannya dan lisannya disana’ – , maupun di luar rumah. Maka memutuskan untuk bergaul di tengah masyarakat secara mutlak, ini adalah kesalahan. Dan memutuskan untuk menyendiri secara mutlak, ini juga kesalahan. Namun untuk menakar kadar mana yang lebih utama bagi seseorang apakah yang ini ataukah yang itu, dan mana yang lebih baik baginya dalam setiap keadaan, ini sangat membutuhkan penelaahan keadaan masing-masing sebagaimana telah kami jelaskan” (Majmu’ Al Fatawa, 10/425, dinukil dari Mafatihul Fiqh 47 – 48). Semoga bermanfaat. Referensi utama: Mafatihul Fiqhi Fid Diin, Syaikh Musthafa Al ‘Adawi, hal. 43-48, cetakan Maktabah Al Makkah — Penyusun: Yulian Purnama Artikel Muslim.Or.Id Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/19472-mana-yang-lebih-utama-uzlah-atau-bergaul-d
engan-masyarakat.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Alhamdulillah Sudah Terlatih Hidup Hanya Bersama Alloh Kapanpun & Dimanapun
0 notes