Tumgik
#31HariMenulis 31DaysofConfinement
31daysofconfinement · 4 years
Text
31
Keesokan harinya di pagi hari, Nina dan Oscar merealisasikan rencananya untuk mengunjungi kebun Matilda. Kali ini rute perjalanan mereka tidak lagi melalui jalan setapak, melainkan melalui jalan utama seperti arah yang disarankan oleh peta. Sesampainya di depan gerbang kebun Matilda, nampaknya kenyataan tidak sesuai harapan mereka. Gerbang itu masih dalam keadaan digembok. Tidak ada siapapun. Meskipun perasaan Nina dan Oscar tidak enak, namun mereka tetap optimis bahwa mungkin Matilda belum datang. Mereka memutuskan untuk menunggu di kursi halaman gereja Saint Botolph sampai Matilda datang. Hari sudah semakin siang dan terik. Masih tidak ada tanda-tanda apapun. Sampai kemudian, ada seorang pria yang tiba-tiba lewat. Lalu ia membersihkan daun-daun kering di halaman gereja dengan garpu kebunnya. Nina dan Oscar memutuskan untuk mendekati pria itu dan bertanya.
"Permisi, apa kau tahu di mana pemilik kebun itu?" Oscar bertanya kepada pria itu sambil tangannya menunjuk ke arah kebun Matilda.
"Maksud kau Arthur Byron? " jawab pria itu.
Nina dan Oscar berpikir sejenak, mungkin saja pemilik kebun itu memang bukan hanya Matilda seorang diri. Sementara pria itu tampak sudah tidak betah berlama-lama karena harus melanjutkan pekerjaannya lagi.
"Siapapun itu tanpa bermaksud mengganggu pekerjaanmu, di mana kira-kira kami dapat menemuinya?" Nina melanjutkan pertanyaan agar mempercepat jawaban.
"Tidak jauh. Kalian lihat jalan yang agak menurun itu," pria itu menunjuk ke sebuah arah. "Temukan restoran Polandia bernama White Eagle serta jalan kecil di sebelahnya, masuklah. Ada rumah putih berpagar kayu dengan kawat. Di situ rumahnya."
"Baik, terima kasih. Semoga harimu menyenangkan," kata Oscar berpamitan. Kemudian mereka berjalan menuju arah yang pria itu tunjukkan.
Oscar dan Nina sampai di depan sebuah restoran berwarna merah dengan dinding terbuat dari bata ekspos, restoran yang menghidangkan masakan Polandia. Menu yang cukup jarang mereka temui. Jendelanya berbentuk kotak dengan kaca dan tirai, lebarnya tidak lebih dari setengah tinggi bangunannya, sehingga tidak begitu terlihat ramai-tidaknya atau seperti apa di dalamnya. Namun fokus mereka tidak ingin terpecah begitu saja, mereka mencari jalan kecil yang dimaksud oleh pria itu. Akhirnya mereka menemukan jalan kecil yang mungkin lebih pantas disebut sebagai gang. Sisi kanan dan kirinya berupa dinding dan tanaman rambat yang mengarah ke satu titik lokasi, seperti gang buntu. Kemudian, mereka berjalan memasukinya.
Sesampainya di ujung gang, ada sebuah rumah terbuat dari kayu, dan satu bangunan mirip seperti garasi terbuat dari kaca yang tampaknya dialih-fungsi sebagai tempat restorasi tanaman. Dari situ mereka semakin yakin bahwa mereka telah sampai di rumah yang memang benar milik Matilda ataupun kerabatnya. Di depannya ada pagar kecil berwarna putih, mungkin tingginya hanya setengah dari tinggi badan Nina.
0 notes
31daysofconfinement · 4 years
Text
30
Gelap.
Semuanya gelap.
Dingin. Nina dapat merasakan angin berhembus tipis-tipis menyentuh kulitnya, sementara semuanya terasa gelap karena kedua matanya masih terpejam. Nina masih tidak dapat melihat di mana ia berada sekarang. Perlahan Nina mencoba membuka matanya. Bola matanya sudah berputar-putar, berusaha menyentuh area kelopak hingga menggetarkan bulu-bulu matanya. Nina terus memaksa kelopak matanya untuk terbuka sampai berhasil. Pelan-pelan matanya terbuka meskipun masih berat dan tidak dapat melihat dengan jelas. Semuanya masih gelap, tetapi lamat-lamat terlihat siluet dari penglihatannya. Sementara Nina juga coba untuk menggerakkan anggota tubuhnya yang lain seperti tangan dan kaki, meskipun ternyata untuk menggerakkan jari-jari tangannya saja terasa sangat berat. Nina terus mendorong kekuatan agar tubuhnya dapat bergerak. Saat ia memaksa tubuhnya, ada beberapa bagian yang terasa nyeri. Nina mencoba memasang telinganya baik-baik, juga tidak terdengar apapun. Tampaknya Nina kehilangan pendengarannya akibat terlalu banyak kemasukan air ketika badai. Lambat laun penglihatan Nina semakin lebih tajam dan jelas. Nina dapat melihat suasana yang sangat familiar baginya. Sekarang ia sudah berada di bawah lorong jembatan kembali! Kedua matanya terasa nyeri karena silau. Ternyata saat itu masih siang menjelang sore hari sehingga masih ada cahaya matahari yang menyorotinya. Nina bangun dengan posisi tubuh tertidur di lahan gersang dengan kondisi tubuh yang lebam-lebam karena terbentur bebatuan dan sampan selama badai menyerang semalam. Nina menyentuh wajah dan seluruh tubuhnya dengan tangan, untuk memastikan bahwa ia masih hidup dan baik-baik saja. Kemudian ia meraba seluruh pakaiannya untuk mencari-cari sesuatu. Apalagi yang kucari, tentu saja dompet dan ponselku sudah rusak dan hilang entah kemana selama berkali-kali tercebur ke dalam air, pikirnya..
Nina perlahan berdiri sambil tertatih-tatih karena masih ada beberapa bagian tubuhnya yang sakit. Nina mengecek sekeliling lagi, tidak ada apapun. Tidak ada Gaeleath, tidak ada bangkai sampan atau apapun yang porak poranda. Bagaimanapun juga, Nina tidak bisa jika tidak memikirkan Gaeleath meskipun cara berinteraksi mereka selama ini hanya saling membisu. Nina mengkhawatirkan keadaannya, apakah ia baik-baik saja ‘disana’.
Satu hal ketika ia berdiri dan berjalan, yang ingin ia lakukan pertama kali setelah ini adalah menemui Matilda. Nina ingin memastikan apakah seseorang yang ia temui selama terjebak di dimensi lain itu adalah benar-benar sosok Matilda. Atau jika memang benar itu Matilda, Nina ingin memastikan bahwa ia telah kembali ke dimensi yang semestinya dengan keadaan yang baik-baik saja. Nina mempercepat langkahnya meskipun masih sakit. Seluruh pakaiannya kotor dan terkoyak-koyak. Nina menaiki tangga ke lorong jembatan untuk menuju ke gereja Saint Botolph dan mengunjungi kebun Matilda. Semuanya tampak normal. Lorong jembatan masih sama kotornya seperti pertama kali saat Nina menaikinya. Lahan-lahan gersang itu dilihat dari atas juga masih sama keringnya, tidak tampak segar ataupun lembab karena habis terkena air. Nina tergesa-gesa sambil setengah berlari karena tak sabar untuk menemui Matilda. Sampai akhirnya Nina melihat tanaman rambat yang menjulang itu dan sampai di depan gerbang kebun Matilda. Tidak ada siapapun. Mungkin Matilda sudah pulang ke rumah, pikir Nina mencoba menenangkan diri. Bedanya, kini gerbang kebun itu dipasangi oleh gembok. Tidak seperti yang Nina lewati sebelumnya, setahu Nina meskipun sudah tutup, gerbang kebun masih dibiarkan tidak terkunci agar warga sekitar tetap dapat mengaksesnya. Beberapa kali Nina memanggil nama Matilda, bahkan teriakannya tidak membuahkan respon apapun dari warga sekitar. Semua benar-benar sunyi. Maka Nina memutuskan lebih baik pulang ke rumah dulu saja agar bisa menggunakan telepon rumah untuk mengontak siapapun yang ia perlukan termasuk Oscar. Kemudian Nina pulang berjalan kaki melalui arah yang berbeda dan semestinya. Arah melewati jalan utama yang sebelumnya disarankan oleh peta, alias arah yang tidak melalui lorong jembatan lagi.
Setelah berjalan tertatih-tatih, akhirnya Nina sampai pada suasana-suasana yang familiar lagi baginya, rumah-rumah berwarna mustard dan merah bata, atau anjing tetangga yang sedang bersantai di halaman depan. Ya, Nina kembali ke komplek perumahan Hyacinth. Saat itu hari sudah semakin sore, ada dua sosok kecil karena dilihat dari kejauhan, sosok Olivia dan Rosie yang sedang berjalan menjauh menuju ke arah rumahnya setelah mereka melakukan rutinitasnya untuk berjalan-jalan sore. Nina tersenyum lega, ia sudah kembali ke dunia yang normal. Nina berjalan menuju rumah. Walaupun sesungguhnya, ia juga tidak yakin apakah bisa masuk ke dalam rumah karena ia juga tak tahu kuncinya ada di mana. Semua barang-barangnya telah hilang selama ‘bepergian’. Nina mencoba untuk membunyikan bel terlebih dahulu, siapa tahu masih ada Oscar di dalam. Dan jika tidak ada siapapun di dalam, Nina berniat mampir ke rumah Olivia untuk sementara waktu sambil meminta bantuan. Bunyi bel pertama telah habis, tidak ada jawaban. Lalu Nina mencoba yang kedua kali sambil sesekali mengetuk pintu, masih tidak ada jawaban. Nina mencoba lagi untuk ketiga kalinya. Masih tidak ada jawaban. Nina menghembuskan nafas, membalikkan badannya untuk segera menuju ke rumah Olivia.
“Tunggu sebentar,” sayup-sayup terdengar seseorang berteriak dari dalam karena pendengaran Nina masih tidak jelas. Siapa lagi kalau bukan Oscar.
Nina membalikkan badannya lagi dan menunggu dengan antusias di depan pintu. Tak lama, pintunya terbuka.
“Demi Tuhan, Nina. Akhirnya!” Oscar berteriak terkejut, spontan memeluk Nina.
Nina juga tidak dapat berkata apa-apa, tapi ia menitikkan air mata sambil memeluk Oscar karena bahagia sekaligus sedih. Perasaannya berkecamuk.
“Kau menangis? Kau baik-baik saja? Kau dari mana saja? Ada apa dengan seluruh tubuhmu?” Oscar membanjiri Nina dengan pertanyaan. Ia terlihat khawatir melihat tubuh Nina yang lebam-lebam. Tangannya menepuk-nepuk sekujur tubuhnya untuk memastikan keadaan Nina.
Nina tidak langsung menjawab pertanyaannya, ia meminta Oscar untuk membiarkan ia membersihkan diri dulu dan beristirahat sebentar sebelum bercerita.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Nina turun ke lantai bawah untuk menyiapkan makanan, tapi ternyata makanan sudah siap di meja. Ada fusilli dengan jamur dan bacon, tumis asparagus, roti pita, serta gin tonic persediaan mereka di kulkas.
“Karena kau tampak tidak baik-baik saja maka kau tidak perlu melakukan apapun, biar aku saja,” kata Oscar. “Setelah kau selesai makan, kau bisa cerita apa yang terjadi.”
Oscar menjamu Nina seperti kedatangan tamu agung. Kemudian, Nina makan dengan lahap. Sangat banyak. Untuk menutup hidangan, Nina menenggak gin tonic sambil pelan-pelan mulai bercerita kisah perjalanannya kepada Oscar. Nina menceritakan setiap detail kejadian dari awal hingga akhir. Sementara Oscar juga berganti menceritakan pengalamannya selama Nina hilang.
“Kau tahu? Jujur hari ini aku berniat untuk menghubungi polisi karena kau sudah hilang selama hampir 24 jam,” kata Oscar.
“Hampir 24 jam? Bukannya lebih? Tiga atau empat hari mungkin?” sanggah Nina tak percaya.
“Kita baru saja pergi kemarin. Mungkin kau tidak ingat karena terlalu banyak mengalami kejadian.”
“Semalam ada gerhana bulan, kan?” tanya Nina memastikan.
“Iya, benar.”
“Atau berarti ada perbedaan waktu antar dimensi,” Nina sambil mengingat-ingat waktu yang ia lalui selama ‘bepergian’, karena seingatnya ia selalu melihat ke arah langit sebagai patokan waktu dan hari.
“Mungkin saja. Tapi yang pasti, kau harus bertemu Matilda besok untuk memastikan semuanya. Lebih baik datanglah pada saat-saat produktivitasnya di kebun, misalnya dari pagi hari,” kata Oscar.
“Kau benar. Hari ini aku ingin beristirahat dulu sambil menjernihkan pikiran,” kata Nina sambil meluruskan kakinya di sofa. Ia baru merasakan pegal-pegal sekarang. Sementara, Oscar beranjak dari tempat duduknya untuk mengambilkan Nina beberapa perlengkapan medis, seperti vitamin, obat merah, dan krim anti-inflamasi.
“Bagaimanapun juga kau masih dalam masa pemulihan, supaya imunmu membaik,” kata Oscar.
“Ohya, sepertinya aku juga butuh ke dokter untuk memeriksakan telingaku.”
“Siap nona, setelah bertemu Matilda kita bisa ke London untuk periksa ke dokter. Jika waktunya tidak cukup, mungkin kita bisa pergi lusa,” kata Oscar.
“Baik. Atur saja,” kata Nina.
Kemudian Nina menghabiskan malamnya untuk beristirahat dengan lebih nyaman, meskipun ia masih tidak tenang memikirkan keadaan Matilda dan Gaeleath.
0 notes
31daysofconfinement · 4 years
Text
29
Nina hanya bisa mengikuti Matilda, karena ia yang tahu arahnya. Sepanjang perjalanan, tak terasa jalannya lebih jauh dari yang Nina kira. Nina pikir, ia selama ini berkutat di area yang itu-itu saja dan tidak jauh dari Cobalt Lake maupun kebun Matilda. Namun sepertinya, perbedaan antar dimensi tidak hanya berpengaruh pada perbedaan ruang dan waktu tetapi juga jarak tempuh. Sampai akhirnya, Matilda menghentikan langkahnya dan tampak berpikir sambil melihat ke arah langit.
“Sebentar,” kata Matilda. “Seharusnya hampir tiba saatnya. Kita harus berlari ke utara sedikit untuk mempercepat langkah agar sampai di waktu yang tepat. Ayo lekas!”
Kemudian, Matilda menggandeng Nina untuk segera mengikutinya berlari. Sampai akhirnya, mereka menghentikan langkahnya karena sampai pada sebuah pemandangan yang tidak asing bagi Nina. Bukit-bukit serta ngarai yang berbentuk familiar baginya, dan sebuah lahan gersang.
“Tunggu, lahan gersang?” tanya Nina merasa ada yang janggal. Ia bingung karena tidak ada air lagi di situ.
“Tidak lama lagi,” kata Matilda sambil tersenyum kepada Nina.
Dari kejauhan tampak sebuah siluet melambaikan tangannya ke arah mereka, jaraknya semakin mendekat.
“Gaeleath!” teriak Nina antusias.
Gaeleath datang menaiki sampannya bersama dengan air-air pekat yang pernah mereka arungi bersama sebelumnya.
“Mundur beberapa langkah atau kita akan tenggelam,” perintah Matilda sambil melihat air pasang yang semakin luas memenuhi lahan gersang itu. Mereka berlari kecil menepi ke daratan berbatu yang agak lebih tinggi. Air-air pekat itu bergerak lebih cepat dan lebih bergejolak daripada yang pertama kali Nina lihat sebelumnya. Membuat sampan Gaeleath dapat segera sampai ke tepian. Kemudian ia menyodorkan tangannya ke arah Nina, seperti mengajaknya untuk menaiki sampan.
“Naiklah,” perintah Matilda kepada Nina.
“Ayo,” jawab Nina.
Matilda hanya diam tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
“Apa maksudmu? Kau tidak ikut??” seru Nina.
“Jangan pikirkan aku. Waktumu tak lama,” kata Matilda.
Spontan Nina memeluk Matilda dengan erat dan meneteskan air mata. Perasaannya berkecamuk. Antusias karena akan segera kembali ke dunianya yang semestinya, tetapi juga sedih akan perpisahan dengan segala pengalaman yang telah ia lalui selama di sana. Nina juga belum sempat menginterogasi Matilda tentang siapa dia sebenarnya dan apa yang ia lakukan di tempat itu. Nina juga belum menemukan jawaban, siapa suara-suara misterius yang selama ini membantu Nina selama terjebak. Nina juga sedih harus bertemu dengan makhluk-makhluk jelmaan penduduk langit yang hanya singkat termasuk Gaeleath yang dengan baik hati selalu mengantarnya.
“Jangan menangis, aku akan baik-baik saja,” Matilda mengusap air mata Nina dan mengelus rambutnya. Kemudian Nina perlahan berjalan menaiki sampan sambil meraih tangan Gaeleath yang membantunya untuk naik.
“Hati-hati, arusnya akan sedikit bergejolak. Sampaikan salamku pada Oscar,” teriak Matilda dari tepian sambil melambaikan tangannya.
Nina membalas lambaian tangannya sambil terus memandang Matilda hingga meneteskan air mata, sementara sampannya semakin menjauh dari tepian dan bersiap mengarungi air yang pekat itu kembali. Semakin jauh Matilda dari jarak pandang Nina, semakin mengecil pula sosoknya hingga berupa setitik siluet. Nina menghela nafas dan memandang Gaeleath, ia membalas pandangan NIna.
“Terima kasih ya,” kata Nina pada Gaeleath sambil tersenyum, meskipun Gaeleath tidak akan mungkin membalas kata-katanya, setidaknya ia mengerti.
Sampan mereka terus berjalan jauh, hingga kemudian mereka benar-benar berada di tengah lautan air pekat, tidak ada daratan apapun yang terlihat. Hanya langit dan kabut. Pelan-pelan, Nina dapat merasakan bahwa gejolak airnya semakin kencang, hingga sanggup menggeser posisi duduk Nina di atas sampan. Nina menahan tubuh ringannya dengan berpegangan kepada Gaeleath. Air mulai berombak tidak seperti biasanya saat pertama kali Nina mengarunginya. Angin dingin juga mulai datang berhembus dengan kencang. Langit yang tadinya redup kini samar-samar menyala, seperti akan ada petir. Mereka diterpa badai! Gaeleath tetap mencoba untuk berusaha kuat mengendalikan arah sampan dengan dayungnya, sementara tidak ada kain yang dapat digunakan sebagai layar pada sampan untuk memanfaatkan tenaga angin yang terus berhembus dengan sangat kencang.
Nina dan Gaeleath tampak pasrah namun tetap berusaha semaksimal mungkin meskipun peluang untuk selamat kecil. Nina dapat melihat air yang berwarna hitam pekat yang tadinya sangat tenang itu kini lebih menyeramkan berkali-kali lipat. Seakan ada yang mengamuk dari balik air dan ingin meluluh lantahkan apapun yang ada di atasnya. Ombaknya bergulung-gulung bahkan melampaui tinggi badan Gaeleath. Kemudian, sebuah ombak besar datang menyapu sisi sampan dan menenggelamkan dayung yang juga terlepas dari genggaman Gaeleath. Mereka sudah tidak dapat berbuat apa-apa selain meringkuk dan berpegang pada sampan dengan erat. Untuk pertama kalinya Nina berdoa untuk memohon keselamatan setelah bertahun-tahun tidak pernah berdoa lagi. Waktu demi waktu berlalu, tak terasa ombak terus mengamuk, sementara tangan mereka semakin lelah dan tak kuat untuk terus berpegangan. Dinginnya air dan angin kencang yang terus menerpa membuat mereka menggigil. Energi mereka semakin habis. Nina sudah semakin lemas. Gaeleath terus memandang Nina untuk meyakinkannya agar tetap kuat. Tetapi sebuah ombak tinggi tiba-tiba datang menyerang dan mengaburkan pandangannya. Nina menyerah.
Lalu semuanya gelap.
0 notes
31daysofconfinement · 4 years
Text
28
Nina menengok dengan susah payah mencari asal suara sambil menyingkirkan tubuh Francesca yang sangat berat di atasnya. Nina berdecak bahagia melihat siapa yang barusan datang.
“Matilda!!” Nina berteriak sangat kencang. Matanya berkaca-kaca ingin menangis karena bahagia melihat seseorang yang ia kenal.
“Bagaimana kau bisa berada di sini??” lanjut Nina masih menjerit histeris.
“Seharusnya aku yang bertanya padamu,” kata Matilda tersenyum. “Sepertinya kita harus segera pergi sebelum Francesca tersadar kembali. Aku baru saja menjatuhkan lampu gantung dan mengenai kepalanya agar ia pingsan sementara.”
“Bagaimana caranya? Aku tak melihatmu dari tadi,” tanya Nina heran.
Matilda hanya tersenyum sambil mengetuk-ngetuk kepalanya dengan jari telunjuknya sebagai jawaban. Nina paham maksudnya. Matilda menggunakan kekuatan pikiran, entah mungkin seperti psikokinesis atau semacamnya untuk menjatuhkan lampu gantung itu tadi. Mereka berlari ke arah pintu keluar. Sementara makhluk setengah gorilla itu sedang terlelap kelelahan, ternyata kekuatannya tidak seperti penampilannya yang buas. Akhirnya mereka berhasil lolos dari hunian Francesca dan kembali menghirup udara segar di luar. Mereka kemudian berjalan kaki sejauh-jauhnya, sekuat yang mereka bisa sebelum Francesca sadar.
“Di mana aku saat ini dan bagaimana kau bisa sampai sini?” Nina tak tahan bertanya melanjutkan rasa penasarannya.
“Kau terjebak ke dimensi lain. Beberapa makhluk-makhluknya diadaptasi dari dunia tempat kau tinggal,” kata Matilda.
“Tempatku tinggal? Maksudmu, kita? Di Bumi??”
Matilda menjawab dengan tersenyum sejenak.
“Ya, di Bumi. Kau masih berada di planet yang sama, tetapi berbeda ruang dan waktu. Kau telah bertemu dengan beberapa makhluk hasil refleksi manusia. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga sifat,” jelas Matilda.
“Kau telah bertemu dengan Francesca, Acilia, dan...” Matilda sambil mengingat-ingat.
“Hubricia,” jawab Nina.
“Nah. Mereka representasi dosa-dosa pokok manusia,” kata Matilda.
Nina masih bingung.
“Hubricia terkenal dengan keangkuhannya sehingga ia merasa dapat semena-mena terhadap siapapun. Lalu Acilia yang sangat pemalas hingga masa tuanya, tidak heran jika seluruh ruangan rumahnya sangat menjijikkan karena tak terurus. Untuk makan maupun bangun dari tidurnya saja ia terlalu malas, apalagi sekadar memberi makan Sezzaphezael yang malang... Mana sempat,” jelasnya.
“Lalu Francesca?” tanya Nina.
“Kita menepi ke sana dulu sambil bercerita, lokasinya cukup tersembunyi dan ada mata air. Kau bisa minum dan membersihkan diri,” Matilda menunjukkan sebuah lereng bebatuan yang menjorok ke bawah, beberapa meter dari tempat mereka berpijak.
Matilda tidak pernah salah dalam berkata. Lokasi mata air itu sungguh nyaman dan tenang untuk mengistirahatkan diri sejenak. Airnya berwarna biru muda, seperti warna air yang Nina tahu pada umumnya dan tampak segar. Di sekelilingnya juga ada tanaman-tanaman berwarna hijau dan ungu, seperti ilalang dan bunga lavender yang menjadi satu. Mereka duduk di samping mata air yang mirip danau itu.
Tumblr media
“Francesca...” Matilda tampak segera memulai ceritanya sembari matanya menerawang kosong.
“Karakternya adalah hasil refleksi dari cerita kelam tentang sebuah hubungan gelap di masa lalu. Anak perempuan Guido da Polenta, raja dari Ravenna.”
Nina terus mendengarkan Matilda sambil menciduk air dari danau menggunakan tangannya.
“Kemudian suatu saat kerajaan Ayahnya berperang dengan kerajaan lain, hingga akhirnya terjadi sebuah kesepakatan untuk menikahi salah satu putra dari rivalnya.”
“Dengan kata lain, Francesca menikahi musuhnya agar terjalin perdamaian?” tanya Nina memastikan sambil mencuci mukanya dengan air danau.
“Tepat sekali,” kata Matilda. “Ia menikahi seseorang bernama Giovanni.”
“Namun Francesca jatuh cinta kepada Paolo, adik Giovanni, yang juga sudah berstatus menikah. Mereka menjalani perselingkuhan selama sepuluh tahun,” lanjutnya.
“Bagaimana bisa!” Nina terkejut takjub.
“Ya bisa-bisa saja, dunia sudah gila dari dulu rupanya,” kata Matilda tertawa.
“Lalu apa yang terjadi setelah sepuluh tahun?” Nina kembali bertanya.
“Giovanni memergoki mereka di kamar, lalu membunuh keduanya,” lanjut Matilda.
“Aku tak dapat membayangkan perasaan Giovanni. Aku turut sedih mendengarnya,” Nina mendadak terbawa perasaan mendengar cerita Matilda.
“Ya begitulah latar belakang makhluk bernama Francesca tadi. Hasrat yang berlebihan akan kenikmatan seksual, ungkapan dari kebiasaan buruk manusia melawan sebuah kemurnian, seperti perselingkuhan, zina, pemerkosaan, dan hasrat-hasrat lainnya,” jelas Matilda.
Nina tidak berkata apa-apa, tetapi ia mengangguk berusaha memahami.
“Kau pasti tidak menuruti apa kataku waktu itu,” Matilda melanjutkan.
“Apa?” tanya Nina.
“Lebih baik pulang sebelum malam datang.”
“Ah... Ya, kau benar. Tapi waktu itu langit tampak masih sore,” bantah Nina.
“Siapa yang tahu? Lagipula kau tidak melewati jalan yang semestinya,” Matilda balas membantah.
“Aku sudah merasakan keanehan sejak pertama kali tiba. Tapi Oscar selalu tidak mempercayaiku. Eksplorasi jalan setapak ini semua idenya, tapi beruntungnya ia selalu selamat dan tidak mengalami apapun,”
“Kepekaan setiap individu memang berbeda-beda,” kata Matilda.
“Lalu siapa makhluk-makhluk yang pertama kali aku temui di pulau, dan makhluk yang membawaku dengan sampan?” Nina kembali bertanya.
“Beberapa dari mereka, masih setengah penduduk langit.”
“Maksudnya?”
“Ya, mereka dulu hidup di tempat di mana kau berada sekarang dengan sebangsanya, jauh sebelum makhluk-makhluk berenergi negatif dan berwujud material seperti manusia dan linkungannya tercipta oleh Yang Maha Murni. Makhluk-makhluk jahat yang kau temui seperti Hubricia, Acilia, dan Francesca, mempunyai kedudukan yang lebih rendah, oleh karena itu mereka mempunyai kepekaan yang berbeda dalam menangkap gelombang frekuensi untuk berkomunikasi,”
“Siapa Yang Maha Murni? Apa maksudmu dengan energi negatif manusia dan gelombang frekuensi? Aku tak mengerti,”
“Akupun belum pernah menemuinya. Kau tahu? Ada beberapa hal di dunia ini yang memang jika belum saatnya untuk kita ketahui, ya lebih baik tidak perlu dicari tahu,” Matilda tampak kewalahan menjelaskan Nina.
“Mereka alias para penduduk langit ini adalah makhluk-makhluk berenergi positif sebenarnya. Tetapi karena terlalu banyak energi negatif yang sangat ingin menguasai semesta, lama-lama mereka tak tahan hidup berdampingan dengan makhluk-makhluk berwujud material ini. Banyak dari mereka kembali ke dimensi yang sangat jauh dari jangkauan manusia, namun beberapa juga masih menghuni dimensi yang ada di bumi demi keseimbangan dan tetap menjaga ciptaan Yang Maha Murni. Tetapi tidak banyak,” lanjut Matilda.
“Sungguh, ini seperti teka-teki buatku,” Nina masih kebingungan mendengarkan penjelasan Matilda.
“Nina...” Matilda menghela nafas sejenak. “...terkadang kita harus berkontemplasi dan berfikir secara metafisis untuk merasakan esensi kehadiran beberapa hal dalam keduniawian. Tidak semua harus diwujudkan dalam estetika fisik. Frekuensi suara, intuisi, atau hal-hal yang menyentuh panca inderamu tanpa alasan. Aku yakin kau belajar banyak hal dari perjalanan singkatmu ini,” Matilda memelankan nada bicaranya sambil tersenyum, seperti isyarat bagi Nina untuk menyudahi penjelasannya. Kemudian Matilda melangkah ke arah danau dan mengambil air dari tangannya untuk membasuh mukanya.
Nina hanya diam termenung mengingat-ingat seluruh kejadian yang telah ia lalui sambil berpikir bahwa kata-kata Matilda ada benarnya juga. Jangankan rahasia semesta, tetapi apa tujuan eksistensi diriku saja aku masih belum tahu, pikir Nina.
“Di sini bukan tempatmu, belum saatnya. Kau harus kembali secepatnya,” Matilda kembali membuka percakapan.
“Bagaimana caranya?” tanya Nina.
“Menurut alur waktu ruang dimensi asalmu, tak lama lagi adalah gerhana bulan total di sana. Saat itu, banyak portal-portal dimensi yang terbuka lebih lebar daripada biasanya, karena itu aku harus memperkirakan kapan waktumu harus kembali dari sini, disesuaikan dengan waktu pada dimensi asalmu. Lebih awal lebih baik, daripada terlambat.”
“Lalu setelah ini kita ke mana?”
“Ke tempat pertama kali kau bertemu Gaeleath, makhluk yang menjemputmu dengan sampan,” kata Matilda.
“Gaya gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya tarik matahari untuk membangkitkan pasang surut air, karena jarak bulan lebih dekat dengan bumi daripada matahari. Pada momen itu kau harus kembali dengan cara yang sama, yaitu menunggu air pada portal transisi dimensi datang untuk mengantarkanmu kembali,” lanjut Matilda.
“Baiklah, ayo secepatnya. Aku sudah siap melanjutkan perjalanan!” jawab Nina dengan semangat.
Kemudian mereka kembali berjalan kaki dan meninggalkan area danau untuk menuju ke titik lokasi di mana portal dimensi itu berada.
Tumblr media
0 notes
31daysofconfinement · 4 years
Text
27
Keesokan harinya, Nina bangun tidur. Saat membuka matanya, yang pertama kali ia lihat adalah Francesca duduk di hadapannya sambil memandang Nina dengan sorot matanya yang tajam. Kemudian Nina hendak mengolet untuk melemaskan otot-ototnya, tapi ternyata tangan dan kakinya tidak dapat bergerak dengan maksimal. Kedua tangan dan kakinya telah diborgol dengan rantai! Perasaan Nina kembali tidak enak dan menyesal telah mempercayai Francesca.
“Jangan takut, aku tidak akan mencelakaimu. Sesuai janjiku, aku akan memberikanmu kenikmatan yang tiada tara,” kata Francesca tersenyum dengan nada bicaranya yang sangat lembut. “Satu-satunya kenikmatan yang hanya akan kau temukan di sini, kenikmatan yang dapat kau kenang ketika kau kembali, atau bahkan kemungkinan terbaiknya dapat membuatmu berpikir ulang untuk kembali ke dunia asalmu.”
Perasaan Nina semakin tak karuan. Ia tidak percaya kebaikan yang Francesca tawarkan. Ia mencoba berontak, meskipun percuma juga melawan ikatan rantai-rantai besi yang melilit pergelangan tangan dan kakinya. Kemudian, Francesca bangkit dari kursinya, berjalan ke sebuah kotak tertutup kain beberapa meter di sebelahnya. Ia membuka kain itu, ternyata dibaliknya adalah sebuah sangkar dan di dalamnya ada sebuah makhluk yang mirip seperti harimau tapi juga setengah gorilla. Ya, tubuhnya berbentuk seperti gorilla, namun memiliki ekor serta kulit berbulu yang coraknya mirip dengan kulit harimau. Lalu Francesca membuka sangkarnya dan makhluk itu keluar. Nina semakin ketakutan bahwa ada hewan buas di depannya.
Makhluk itu tidak melangkah ke mana-mana, ia tetap berada di dekat sangkar. Sementara Francesca membuka seluruh pakaiannya.
“Dia akan jadi makanan pembuka,” Francesca menunjuk makhluk itu dengan girang dan bertepuk tangan. “Dan kau, wahai manusia. Makanan utama!”
Francesca menunjuk ke arah Nina sambil tersenyum dan menjulurkan lidahnya. Baru Nina menyadari bahwa Francesca ternyata memiliki lidah yang panjang dan terbelah dua seperti ular. Menjadi satu-satunya bagian tubuhnya yang aneh dan membedakannya dari manusia biasa.
Francesca berjalan mendekat dan memeluk makhluk itu, lalu menggerayangi seluruh tubuhnya dengan tangannya. Ia juga menjilati seluruh tubuh makhluk itu dengan penuh nafsu. Makhluk itu pasrah saja dan mengerang pelan. Kemudian, mereka melakukan hubungan badan. Ya, mereka bercinta di hadapan Nina.
Nina mulai memahami apa yang dimaksud Francesca dengan metafor ‘makanan’. Ia akan dijadikan sebagai pemuas hasratnya! Nina semakin memberontak tak karuan sambil terus berteriak menyerukan kata ‘tolong’ melalui pikiran dan batinnya, ia tahu bahwa percuma berteriak dengan suara biasa karena tidak akan ada siapapun yang mendengar maupun berpihak kepadanya.
Francesca terus bersanggama secara liar dengan makhluk itu di hadapan Nina. Hingga akhirnya mereka mencapai titik klimaks. Sperma makhluk itu keluar seperti air mancur, cairannya berwarna emas, bergelimang dan berceceran hingga menyerap di atas karpet. Sudah muak Nina melihat tingkah Francesca dan makhluk itu di hadapannya, Francesca tampak beristirahat sejenak sambil mengusap mulutnya yang juga penuh dengan sperma. Nina ketakutan karena berarti gilirannya akan tiba.
Usai beristirahat sejenak, Francesca menyalakan lilin di sekitar altar, seolah ia akan merayakan sesuatu. Lalu Francesca naik ke atas altar, dengan posisi tubuh meniduri Nina. Ia menjulurkan lidahnya yang panjang untuk menjilati seluruh tubuh Nina. Nina memejamkan matanya karena tak kuasa melihatnya. Air liurnya sangat wangi, harumnya seperti bunga. Tapi itu tidak merubah perasaan jijik Nina pada Francesca. Ia terus menggerayangi Nina dan tangannya menuju ke alat kelaminnya. Francesca menusuk vagina Nina dengan tangannya yang berkuku panjang. Lalu tiba-tiba sesuatu menghantam mereka dengan kencang. Nina dapat merasakan kerasnya suara hantaman dan beban pada tubuhnya bertambah secara mendadak. Kemudian Nina membuka kedua matanya, tangan Francesca bergenti bergerak, juluran lidahnya juga kembali masuk ke mulutnya yang masih menganga, matanya terbelalak dan perlahan tubuhnya tidak bergerak sama sekali.
“Tepat sasaran!” tiba-tiba ada suara parau yang sangat familiar di telinga Nina.
Tumblr media
0 notes
31daysofconfinement · 4 years
Text
26
Nina melepaskan lilitan di bagian kaki dan tangan dahulu untuk memudahkannya berlari dan membuka pintu keluar sebelum tarantula itu kembali. Sementara beberapa lilitan jaring masih ada yang menempel di bagian tubuhnya yang lain, tapi Nina terus bergerak hingga meraih pintu keluar. Nina dapat mendengar suara langkah kaki tarantula itu yang merayap semakin mendekat, namun akhirnya Nina berhasil lolos ke luar dari rumah itu. Situasinya seperti di pegunungan batu antah berantah. Dari luar terdengar suara raungan amarah tarantula itu. Nina mempercepat larinya, sejauh-jauhnnya, sambil melihat-lihat sekeliling untuk mencari tempat persembunyian jika sewaktu-waktu tarantula itu berhasil mengejarnya. Nina tidak mendengar suara langkah apapun yang mendekat, namun ia tetap bersembunyi di sela-sela batu besar sembari beristirahat sebentar.
Selang beberapa saat kemudian, Nina berusaha membelalakkan matanya, tak terasa ia sempat tertidur sebentar karena kelelahan. Tapi Nina harus melanjutkan perjalanan untuk mencari jalan keluar dari tempat ini. Nina keluar dari sela-sela batu dan berjalan tertatih-tatih karena ada beberapa luka pada kakinya akibat ia berlari tadi. Saat ini, Nina seperti berada di sebuah area pegunungan, tapi semua bukitnya terbuat dari batu. Dari kejauhan di atas tempat Nina sedang berdiri, ia dapat melihat sebuah kolam kecil dan beberapa tanaman, tapi tidak ada satupun orang ataupun makhluk hidup yang ia lihat. Tidak ada suara apapun yang ia dengar, bahkan suara udara ataupun desiran angin. Sangat sepi. Nina terus berjalan, ia mulai haus dan lapar. Sambil berjalan ia melihat-lihat sekeliling, siapa tahu ada tanaman yang dapat ia makan ataupun sumber mata air yang dapat ia minum. Tetapi nihil.
Sudah cukup jauh berjalan, pada jarak sepuluh meter dari hadapan Nina, ada sebuah batu-batu bertumpuk. Sekilas seperti gua, tetapi komposisinya jauh lebih rapi justru mirip seperti kastil tua pada zaman Medieval. Nina tidak tahan untuk tidak mendekatinya. Jika ada sesuatu di dalamnya yang berbahaya pun, setidaknya bisa ada sesuatu yang dapat dikonsumsi dan ia akan mencoba untuk mencurinya.
Sesampainya di depan pintu masuk bangunan berbatu itu, Nina bersembunyi di balik pilar-pilar batu untuk melihat-lihat keadaan. Tak lama, pintu terbuka dan seseorang keluar dari dalam. Nina tidak berani melihat, karena lebih baik ia menahan diri untuk bersembunyi dahulu. Namun celakanya, Nina menginjak kerikil dan terpeleset oleh pasirnya dan ia terjatuh. Orang dari dalam bangunan itu mendengar Nina dan menghampirinya. Nina tidak dapat berkutik.
Nina terjatuh dengan posisi tertelungkup, sementara orang itu sudah ada di depannya. Saat ini posisi tubuh Nina seperti bersujud di hadapan kaki orang itu. Ia mengenakan sepatu hitam berhak tinggi, kakinya jenjang dan kulitnya berwarna merah muda kecoklatan. Ia mengenakan baju ketat transparan berwarna hitam. Tampak jelas lekukan alat kelamin serta buah dadanya yang cukup menonjol. Semakin ke atas, tampak jelas bahwa ia adalah seorang perempuan. Baru kali ini ia menemukan makhluk yang berwujud sempurna, seratus persen seperti manusia selama berada di tempat ini.
“Ada yang bisa aku bantu?” perempuan itu menyapa Nina sambil berkacak pinggang, pandangan matanya mengarah ke bawah. Ia tersenyum dan suaranya sangat lembut.
“Maaf, aku tidak bermaksud jahat,” jawab Nina sambil berdiri kembali. “Aku hanya sedang lewat dan mencari jalan ke luar.”
“Jalan ke luar? Tapi kau sekarang sudah berada di luar,” jawab perempuan itu sambil tertawa kecil.
“Maksud aku keluar dari dunia ini,” ralat Nina.
“Ah, jadi kau bukan dari sini rupanya,” perempuan itu sedikit terkejut sambil mengernyitkan dahinya. “Tidak mudah untuk ke luar dari tempat ini sekali kau telah memasukinya. Dapat kutebak, pasti kau mengalami banyak peristiwa buruk kan?”
Nina diam saja dan hanya menjawab dengan mengangguk sambil membersihkan bajunya yang kotor karena terkena pasir.
“Salah satunya menjadi tawanan Sezzaphezael?” tanya perempuan itu melanjutkan.
“Sezza-apa?” tanya Nina tak mengerti.
“Sezzaphezael. Si kaki delapan. Peliharaan si tua bangka pemalas alias Acilia,” jelasnya.
“Oh, tarantula itu. Ya, makhluk itu sempat menjeratku tapi aku berhasil merobek jaringnya ketika ia lengah.”
“Tarantula?” tanyanya lagi.
“Ya, di dunia tempat aku tinggal biasa menyebutnya dengan istilah tarantula karena kakinya berbulu. Atau laba-laba.”
“Istilah yang menarik. Tapi lebih menarik lagi saat bagaimana kau berhasil lepas dari jeratannya,” tatapan perempuan itu tajam mengarah ke Nina.
“Aku tidak tahu, mungkin aku sedang beruntung saja,” Nina menggelengkan kepala dan menaikkan bahunya seolah tidak tahu apa-apa. Tentu ia tidak akan bercerita bahwa ada sosok yang membantunya. Bagaimanapun juga perempuan ini masih asing baginya, meskipun sejauh ini tampaknya ia sangat baik dan normal-normal saja.
“Sayang sekali rasanya jika kedatangan tamu jauh-jauh dari dunia yang berbeda namun tidak sempat merasakan kenikmatan apapun sepanjang perjalanannya,” tukasnya. “Izinkan aku, Francesca, untuk menjamu.... Siapa namamu?”
“Nina. Karenina Noemi, nyonya Francesca,” Nina menjawab sambil menyebut namanya untuk turut menghormatinya karena sudah berlaku cukup sopan terhadapnya. Kemudian Francesca mengajak Nina masuk.
Bangunan itu tidak terlalu besar, tetapi langit-langitnya sangat tinggi. Ketika memasukinya, ada sebuah karpet panjang berwarna merah yang tergelar hingga ke ujung dinding, melewati sebuah altar dan beberapa kursi-kursi. Francesca mempersilakan Nina untuk duduk, lalu pergi. Nina melihat-lihat sekeliling bangunan, ia tidak dapat melihat di mana area dapur atau ruang makan. Ya, Nina masih sangat lapar dan haus. Tak lama, terdengar suara ketukan hak sepatu yang berjalan, Francesca datang kembali, dan ia membawa sesuatu di tangannya.
“Aku ambilkan yang kau perlukan,” kata Francesca sambil meletakkan beberapa hal di altar. “Pakaian, sepatu, makanan, dan minuman,” tambahnya sambil menunjuk satu-satu ke arah barang-barang yang ia ambil tadi.
Nina melihat ke arah tubuhnya sendiri, memang benar ia membutuhkan pakaian yang bersih karena sudah beberapa kali menghadapi perjalanan berat yang membuatnya sangat kotor dan bau. Tapi yang paling ia tidak tahan saat ini adalah menyantap makanan dan minuman yang Francesca berikan. Ia langsung mengambil sebongkah makanan yang mirip seperti roti, dan juga satu botol kaca berisi cairan berwarna kuning. Nina tidak bertanya apapun dan percaya saja bahwa ini layak dikonsumsi. Nina langsung menyantapnya, karena ia juga pernah mencoba makanan serta minuman yang mirip seperti itu sebelumnya di pulau yang pertama kali ia kunjungi, pulau tempat para makhluk-makhluk sedang berpesta itu. Tidak sampai lima menit, Nina menghabiskannya. Kemudian Nina mengambil pakaian yang Francesca berikan dan gelagatnya tampak mencari-cari tempat di mana ia dapat berganti pakaian.
“Ganti saja pakaianmu di sini,” kata Francesca.
“Tidak apa-apa? Sebentar mungkin aku bisa mencari sebuah benda sebagai penutup,” kata Nina.
“Tidak perlu!” perintah Francesca.
“Ba-baiklah,” Nina berusaha menurutinya, meskipun ia merasa tidak terlalu sopan karena Francesca sudah berusaha baik padanya. Mungkin memang di sini tidak ada peraturan seperti itu, pikir Nina. Sementara Nina mengganti pakaian, Francesca terus mengamatinya.
Sekarang Nina sudah mengenakan pakaian bersih yang Francesca beri. Berupa gaun pendek, tidak berlengan, dan berwarna putih transparan. Untung saja Nina tidak melepaskan bra dan celana dalamnya meskipun sudah berkeringat, agar tetap berfungsi menutup beberapa bagian tubuhnya. Lalu, Francesca mempersilakan Nina untuk beristirahat.
“Kau bisa merebahkan diri di situ,” Francesca menunjuk ke arah altar di depannya.
“Itu tempat tidur?” tanya Nina.
“Aku juga beristirahat di tempat yang sama, tapi tidak di ruangan ini,” kata Francesca, meskipun jawabannya tidak cukup memuaskan Nina.
Sejenak Nina berpikir, mungkin saja di dunia ini mempunyai fungsi yang berbeda terhadap benda yang baginya lebih mirip seperti altar yang biasa digunakan untuk persembahan atau ritual-ritual khusus. Nina duduk menaiki altar itu, lalu perlahan merebahkan dirinya yang memang sudah terlalu lelah.
“Selamat beristirahat,” kata Francesca sambil melangkah menjauh, meninggalkan Nina sendirian di atas altar, hingga Nina tertidur.
Tumblr media
0 notes
31daysofconfinement · 4 years
Text
25
Ada satu ruangan lagi yang pintunya agak terbuka dan ada cahaya yang menyorot dari dalam ruangan. Nina mendekat. Semakin mendekat, Nina mendengar ada sebuah suara dengkuran. Ada seseorang di dalam tampaknya. Nina memperhatikan langkahnya agar tidak berisik dan membangunkan orang itu jika memang benar ia sedang tidur. Nina mengintip dari daun pintu. Seorang Nenek tidur, mendengkur dengan mulut terbuka. Ruangan itu sepertinya adalah kamar tidurnya. Namun lagi-lagi, ruangan itu tampak kotor dan jorok. Tempat tidurnya dilapisi oleh kain dan selimut yang warnanya bercampur dan lusuh seperti tidak pernah dicuci. Pada beberapa bagian juga ada semut yang mengelilingi dan juga lalat. Tidak sengaja tangan Nina menyentuh daun pintu dan membuatnya bergerak hingga bersuara. Daun pintu itu sudah cukup lapuk rupanya. Seketika Nenek itu membuka matanya dan membuat Nina kaget. Nina pergi menjauhi ruangan, bersiap lari ke kamar mandi untuk terjun ke air lagi jika situasinya buruk. Tapi ternyata, tidak ada apapun yang terjadi. Nenek itu kembali tertidur dan mendengkur. Nina tidak mau mengulangi kesalahan yang sama untuk membangunkannya, ia memilih untuk menjelajahi area lain atau bahkan keluar dari rumah itu untuk mencari jalan keluar. Nina sampai pada sebuah ruangan yang mirip seperti ruang tamu. Tampak sebuah pintu dan dua buah jendela kaca yang mengarah ke arah luar rumah. Tidak jelas saat itu siang atau malam, tapi langitnya tampak sangat redup dan berwarna kelabu. Banyak pula bukit-bukit terjal yang terbuat dari batu. Akhirnya aku akan menuju ke luar, pikir Nina lega.
Belum sempat Nina membuka pintu ke luar, Nina merasa sesuatu menjerat kakinya dengan sangat erat. Nina menengok ke belakang. Seekor tarantula raksasa, kira-kira besarnya lima kali lipat dari tubuh Nina, menjerat dengan jaringnya. Nina berontak. Tetapi tarantula itu mengeluarkan senjata jaringnya lagi ke tubuh Nina yang lain. Nina meronta-ronta. Entah apa yang akan tarantula itu lakukan kepadanya.
“Jangan ke mana-mana! Kau akan cukup untuk menu makananku hingga tiga hari ke depan!” ternyata tarantula itu dapat berbicara.
“Lepaskan aku! Aku bukan santapanmu!” teriak Nina.
“Aku tidak peduli selama si tua bangka Acilia terlalu malas untuk memberiku makan!” tarantula itu menggeram dengan air liur yang terus keluar karena nafsu.
Rupanya tarantula itu adalah semacam hewan peliharaan pemilik rumah yang tengah tertidur. Kemudian Nina tiba-tiba teringat akan pesan suara misterius itu untuk berbicara dengan pikiran. Nina memusatkan pikiran dan berteriak tolong dalam hati sambil meyakininya. Tarantula itu tidak dapat mendengar isi pikirannya. Nina terus berteriak menggunakan batinnya, tapi belum ada apapun yang terjadi. Tarantula itu kini telah membelit seluruh tubuh Nina dengan jaringnya dan meletakkannya di lantai. Tampaknya, Nina tidak akan langsung disantap. Sementara Nina terus berusaha. Lilitan jaringnya sangat kuat dan lengket. Lalu tarantula itu merayap ke belakang rumah dan meninggalkan Nina yang terlilit. Tak lama, Nina mendengar sebuah suara yang tak asing lagi.
Aku sedang mengumpulkan energi dan memusatkan pikiranku namun waktumu tidak lama, kata sebuah suara yang tiba-tiba hadir dalam pikirannya. Ya, ternyata suara itu lagi.
Belum sempat Nina menjawab, lilitan-lilitan jaring yang menjerat tubuh Nina perlahan mengendor dan lama-lama semakin elastis hingga Nina dapat merobeknya. Sepertinya suara itu baru saja berusaha menolong Nina.
Cepat pergi sebelum ia kembali, suara itu memperingati Nina untuk yang terakhir sebelum ia pergi lagi karena suaranya pelan-pelan hilang.
Tumblr media
0 notes
31daysofconfinement · 4 years
Text
24
“Mau kemana kau!” Hubricia berteriak dari ujung lorong.
Saat ini Nina hanya mempunyai dua pilihan: berlari menuruti Hubricia untuk kembali ke ruangannya dengan alasan seolah tidak bermaksud apa-apa, atau terus berlari ke arah air ‘akuarium’. Tak bisa terlalu lama berpikir, Nina memilih pilihan kedua. Toh perbuatan Nina sudah tertangkap basah. Nina mempercepat larinya, begitupun juga Hubricia jalan mempercepat langkahnya. Ia mengejarnya cukup dengan berjalan kaki saja dengan penuh percaya diri seperti menanti kemenangan. Kaki-kaki Nina yang mungil harus bekerja lebih ekstra, sementara langkah-langkah kaki Hubricia sudah cukup lebar meskipun ia hanya berjalan kaki. Namun keberuntungan tampaknya masih berpihak pada Nina. Cahaya biru yang terpancar dari air dalam ‘akuarium’ itu sampai juga di hadapannya. Sementara Hubricia kini berlari. Jika satu langkahnya saja sudah cukup lebar, lalu bagaimana jadinya jika ia berlari. Namun, Nina tidak mau terlalu banyak berpikir lagi, ia berusaha sekuat tenaga memforsir energinya. Nina tahu bahwa ini kesempatan satu-satunya untuk berusaha lebih keras. Ia berlari dan melompat dengan kecepatan penuh ke dalam air.
Tumblr media
Nina berhasil masuk. Seluruh tubuhnya kembali diselimuti oleh air pekat itu. Tapi ternyata Hubricia berhasil meraih kaki kirinya. Ia menarik kaki Nina. Jika tadi Nina berusaha sekuat tenaga untuk dapat sampai ke atas permukaan air, sekarang justru ia berbalik menenggelamkan diri agar selamat dari makhluk itu. Nina terus berusaha menenggelamkan diri ke dalam air dan memberontak. Sampai akhirnya ia dapat merasakan sensasi dingin menyelimuti kaki kirinya. Air telah menyentuh seluruh permukaan kulitnya. Tidak ada lagi sentuhan kasar kulit Hubricia pada pergelangan kakinya. Nina berhasil!
Untuk sementara waktu, Nina terus menyelam agar tubuhnya semakin tenggelam menjauhi permukaan air. Ia takut jika Hubricia berusaha mencelupkan dirinya untuk mengejarnya. Tapi sejauh ini, sepertinya tidak ada tanda apapun. Sama sekali. Padahal bisa saja Hubricia meraihnya tanpa harus menceburkan seluruh tubuhnya ke air. Nina terus membiarkan aliran air membawa tubuhnya entah ke mana, toh ia masih dapat bernafas.
Setelah agak lama, Nina merasa sudah saatnya untuk berbalik arah mencari permukaan air. Ia kembali menggerakkan seluruh tubuhnya supaya dapat mendorong arus air agar dapat terus naik ke atas. Meskipun begitu, Nina tidak mau terlalu gegabah untuk langsung keluar dari air nantinya. Ia harus memastikan bahwa ia tidak kembali ke tempat yang sama —istana Hubricia.
Semakin Nina bergerak ke atas permukaan air, airnya semakin transparan. Nina dapat mengira-ngira jika tempat yang akan ia kunjungi adalah tempat yang berbeda, dilihat dari warna pantulan cahaya yang mengarah ke permukaan air. Nina memberanikan diri mengeluarkan setengah bagian kepalanya ke permukaan untuk melihat-lihat keadaan. Kepalanya tengadah. Tepat seperti dugaannya, Nina sudah tidak berada di istana Hubricia lagi. Kali ini, tempat yang ia masuki bentuknya seperti rumah biasa. Keadaannya sangat jauh lebih buruk daripada istana Hubricia. Langit-langit atapnya terbuat dari kayu yang reyot, banyak sarang laba-laba, dan cukup berdebu. Nina keluar dari air, dan kali ini ia berada di sebuah ruangan yang sepertinya adalah kamar mandi. Kali ini, air tempat Nina berasal juga sudah bukan berupa kolam ataupun akuarium, melainkan berbentuk seperti bak kamar mandi. Kaki Nina melangkahi pinggiran bak kamar mandi lalu menapak lantainya. Lantainya sangat lengket bercampur debu. Jorok sekali. Nina tak kuasa menghadapi bau dan teksturnya. Ia bergegas keluar dari kamar mandi, dan mencoba menjelajahi ruangan. Bagaimanapun juga, ia harus menemukan jalan untuk kembali, atau seseorang, atau entah makhluk apapun itu, yang dapat menjelaskan Nina mengenai di mana sesungguhnya keberadaannya sekarang.
Keluar dari kamar mandi, Nina melewati ruangan dapur. Lagi-lagi ruangannya tidak kalah joroknya seperti ruangan sebelumnya. Banyak perabot yang masih berantakan, tercecer di meja hingga lantai. Bahkan tidak sedikit beberapa dari mereka masih berisi makanan-makanan yang sudah basi. Di meja juga ada talenan dan seonggok daging yang sudah tidak dapat diidentifikasi apa jenis dagingnya karena sudah membusuk dan dipenuhi lalat. Nina melewatinya dan beralih ke ruangan lain.
0 notes
31daysofconfinement · 4 years
Text
23
Nina kini berada di sebuah ruangan yang dilapisi oleh perak. Bahkan ia tidak muncul ke permukaan sebuah kolam, melainkan ke sebuah kotak yang tampak seperti akuarium! Nina memegang tepi ‘akuarium’ untuk mengangkat tubuhnya keluar dari kotak itu.
“Selamat datang di istanaku!” Nina yang tengah berusaha untuk keluar dari ‘akuarium’ itu kaget, tiba-tiba muncul suara seseorang bertepuk tangan sambil berbicara dengan lantang dan menggema di ruangan itu. Makhluk itu muncul perlahan. Seorang laki-laki yang tinggi dan gagah. Kulitnya berwarna merah tua, berambut panjang diikat, berjubah perak sama seperti dominan warna ruangannya. Baru kali ini Nina menemukan sosok makhluk yang berbicara dengannya di sini.
“Ma-maaf. Aku tidak sengaja terdampar di sini,” Nina berhasil keluar dari ‘akuarium’ dengan basah kuyup. Meskipun begitu, ia agak merasa khawatir karena tidak tahu kali ini makhluk apa yang akan ia hadapi.
“Tidak masalah...” pria itu berjalan lalu duduk di pojok ruangan. “Panggil saja aku Hubricia.”
Nina masih terdiam dan sedikit menunduk sambil membersihkan badannya. Ia takut jika mengotori ruangan pria itu dan membuatnya marah.
“Tidak perlu takut, aku senang ada makhluk lain di istanaku,” lanjutnya. “Kau pasti sangat lelah. Beristirahatlah di salah satu dari ruanganku.”
“Sekali lagi maaf, dan terima kasih atas tawarannya. Tetapi, bisakah kau tunjukkan arah ke mana aku agar dapat kembali ke tempat tadi lagi?” Nina merasa firasatnya tidak enak dan lebih baik kembali bertemu dengan makhluk -makhluk yang pertama kali ia temui tadi.
“Belum apa-apa sudah berani meragukanku rupanya,” pria itu tersenyum kecut. “Tahu apa kau di sini? Aku lebih tahu segalanya. Bahkan aku lebih tahu apa yang terbaik bagimu daripada Tuhanmu. Jangan sekali-kali kau menolak kebaikanku!”
“Maaf aku hanya tidak ingin merepotkanmu,” Nina menjawab dengan suara bergetar karena takut.
Pria itu mendekat, lalu mengangkat dagu Nina agar kepalanya tengadah melihat sorot matanya. Nina tak bisa berbuat apa-apa. Tubuh pria itu tampak sangat kuat, tidak ada apa-apanya dibanding tubuh Nina yang mungil dan hanya manusia biasa.
“Baik, aku akan tinggal,” jawab Nina memilih untuk menyetujuinya. Tentu ia tidak seratus persen serius dengan ucapannya. Ia akan memikirkan caranya belakangan untuk dapat kabur sambil menemukan keajaiban yang lain.
Pria itu tersenyum puas. Tampaknya kali ini proses telepati tidak bekerja padanya, karena ia tidak dapat membaca pikiran Nina.
Kemudian, pria itu mengangkat kedua tangannya dan menunjuk ke sebuah arah. Dengan seketika, ada sebuah pintu yang terbuka di hadapan Nina.
“Masuklah!” perintahnya.
Nina berjalan perlahan untuk masuk. Meskipun tidak terlalu besar, ruangannya cukup mewah. Masih dengan dominasi warna perak. Lalu di pojokan, ada sebuah kumpulan bunga yang mirip seperti bunga opium poppy. Saking banyaknya, bunga itu cukup tebal dan mempunyai ukuran yang cocok dengan tubuhnya.
“Di situ, kau dapat beristirahat,” Hubricia menunjuk ke arah tumpukan bunga itu. Rupanya fungsi bunga-bunga itu seperti tempat tidur.
“Terima kasih,” jawab Nina.
Hubricia melangkah pergi dan membiarkan Nina sendirian di ruangan itu. Mungkin benar kata Hubricia untuk beristirahat, karena sesunggunya aku sangat lelah, Nina berbicara dalam hati. Kemudian berbaring di tumpukan bunga-bunga itu. Tak lama, Nina menguap dan rasa kantuk menyerang. Meskipun ia sangat ingin tidur, tapi ia cukup takut untuk tidur. Ia takut sesuatu akan terjadi pada dirinya selama ia tidur. Matanya berkedip-kedip. Di tengah-tengah perjuangannya melawan kantuk, ia mendengar sebuah suara memanggilnya. Tetapi tidak ada siapapun. Nina pikir mungkin Hubricia memanggilnya dari kejauhan, namun lambat laun ia mendengar suaranya semakin berbeda. Suaranya sangat lembut, tidak seberat dan selantang suara Hubricia.
“Siapa itu?” bisik Nina. Ia tidak berani terlalu keras berbicara.
Tetaplah berbicara melalui pikiran, kata suara asing itu. Nina menuruti perintahnya.
Jangan tidur. Kau sedang berada di atas bunga candu yang ia curi dari Morpheus, tambahnya lagi.
Hubricia yang mencuri? Lantas siapa itu Morpheus, tanya Nina.
Ia adalah dewa perajut mimpi. Keangkuhan Hubricia membuatnya mampu melakukan apapun dengan seenaknya, jawab suara asing itu.
Kau seperti kelinci dalam kandangnya sebagai umpan, seperti musuh yang tengah ia rangkul agar mengetahui kelemahanmu. Ia dapat menggunakan hal-hal baik menjadi kejahatan. Ia telah meletakkan perangkapnya. Ia telah mempersiapkan jeratnya. Pergilah secepatnya. Jangan lelah untuk tetap berbicara melalui pikiran, suara asing itu berbicara panjang lebar dengan lirih, dan semakin memudar.
Nina memanggil suara itu melalui batin dan pikirannya. Tetapi tidak ada jawaban. Satu hal yang ia yakini, bahwa ia harus mempercayai suara itu. Firasat Nina sudah tidak enak sejak awal.
Nina menjauhi tumpukan bunga-bunga itu. Ia mematuhi pesan suara asing tadi untuk tidak tertidur. Perlahan kesadarannya meningkat dan rasa kantuknya berkurang. Nina berjalan ke arah pintu untuk melihat situasi sekitar di luar ruangan. Tidak ada siapa-siapa. Namun, ada sebuah cermin di ujung lorong depan ruangan Nina. Ia khawatir jika ia kabur, akan terlihat dari pantulan cermin di ujung ruangan setelah lorong itu. Sesungguhnya ia tidak tahu lagi akan ke mana atau di mana jalan keluarnya, tapi sepertinya, kembali tenggelam dalam air dan masuk ke ‘akuarium’ adalah pilihan yang paling tepat daripada terjebak di tempat ini. Nina pelan-pelan mengeluarkan kaki kanannya dari daun pintu sambil menengok ke kanan-kiri untuk mengecek situasi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Tetap berbicara melalui pikiran, kata Nina dalam hati mengingat pesan suara asing tadi.
Nina memberanikan diri berjalan kaki di lorong untuk menuju ke ‘akuarium’ lagi. Lagipula hanya tempat itu satu-satunya yang ia tahu dari istana Hubricia. Sejauh ini aman, pikirnya setelah sampai pada setengah perjalanan lorong. Tapi tiba-tiba, Nina mendengar suara geraman dari jauh. Jantung Nina berdegup sangat kencang. Tak diragukan lagi, itu pasti suara Hubricia.
Tumblr media
0 notes
31daysofconfinement · 4 years
Text
22
Karena berhasil membaur dan mengikuti sorak-sorai makhluk-makhluk aneh itu, Nina menjadi terlena dan menikmatinya. Sesekali beberapa dari mereka juga memberi Nina sesuatu untuk dimakan ataupun diminum, ada yang bentuknya bulat-bulat kecil seperti anggur tapi berwarna jingga dengan gradasi ungu dan di dalamnya mengeluarkan cairan berwarna perak yang kental, juga ada kotak-kotak merah muda bertekstur mirip daging, dan masih banyak lagi. Namun dari kesemua itu, sayangnya tidak ada rasanya. Iya, entah mengapa Nina merasa semuanya hambar, bahkan lebih hambar dari air mineral, hanya tekstur-teksurnya saja yang masih dapat ia rasakan tetapi sangat lembut ketika masuk ke tenggorokan. Nina melanjutkan hentakan kakinya untuk berlari-lari kecil di antara mereka, meskipun ia masih tidak dapat memahami apa yang sebenarnya tengah ia lakukan.
Krak!
Tidak sengaja Nina menginjak sebuah akar tanaman yang baunya tidak enak itu, gas yang dikeluarkannya semakin menjadi-jadi. Sepertinya gas berbau mirip belerang itu juga berperan sebagai residu ketika ada salah satu organ tanaman yang rusak, sama seperti getah. Mereka sangat reaktif ketika Nina merusak salah satu bagian akarnya. Nina tidak tahan dengan aroma menyengatnya sampai kemudian ia lunglai, kemudian tersandung salah satu akar lagi. Sementara yang ada di dekatnya adalah kolam biru dan bercahaya kuat itu tadi, silaunya tak tertahankan. Nina tidak dapat menyeimbangkan tubuhnya, spontan ia terjatuh ke arah kolam itu. Nina dapat melihat dari jauh sosok makhluk yang tadi membawanya dengan sampan ke tempat itu, ia berlari untuk menolong dan meraih Nina, tapi semuanya sudah terlanjur. Nina masuk ke kolam.
Nina tidak begitu pandai berenang, apalagi menyelam. Sementara, kolam itu jauh dari perkiraan Nina yang ia pikir dangkal, atau mungkin hanya satu hingga dua meter. Ternyata tidak. Ia terus masuk ke dalam dengan posisi dada dan tubuh menghadap ke atas. Sangat pelan. Pelannya mirip seperti air yang tiba-tiba datang membanjiri lahan gersang di bawah lorong jembatan dekat gereja Saint Botolph itu. Sangat pekat, kental, tetapi juga lembut dan licin. Nina dapat merasakan air itu tiba-tiba memasuki seluruh rongga yang ada pada tubuhnya, dari lubang hidung, mata, telinga, mulut, pusar, vagina, hingga sela-sela kuku. Ia merasakan rasa dingin menyelimuti tubuhnya. Satu hal yang membuat Nina takjub adalah, ia masih dapat bernafas di dalam air! Kini ia harus berusaha mencoba melakukan berbagai gerakan agar dapat menyelam dan berenang ke permukaan kolam.
Seluruh tubuh Nina berontak, memukul dan menendang-nendang air pekat yang melapisi sekujur tubuhnya. Berkali-kali ia mencoba sampai pegal, dan akhirnya setelah sekuat tenaga berusaha, ia dapat menguasai tekanan air dan perlahan semakin dekat dengan permukaan kolam. Terus dan terus. Nina dapat melihat perbedaan warna air yang semakin cerah, pertanda ada cahaya terang dari luar, semakin meraih permukaan. Tetapi tunggu, bukannya di luar sana tadi masih malam, pikir Nina sambil terus menggerakkan tubuhnya. Tangan kanan Nina akhirnya meraih permukaan air, menjadi bagian tubuh pertamanya yang berhasil menyentuh udara lagi. Semangat Nina memuncak, dan kini seluruh kepalanya telah menembus ke atas permukaan air. Tapi ternyata perjalanan usaha Nina tidak berhenti sampai di sini. Ia tidak kembali ke tempat yang sama seperti sebelumnya, tempat di mana ia pertama kali terjatuh ke kolam tadi.
Tumblr media
0 notes
31daysofconfinement · 4 years
Text
21
Sudah cukup lama sampan itu berjalan, sampai tak terasa bahwa Nina sempat tidur. Ia terbangun. Makhluk itu masih mendayung sampannya tanpa lelah. Nina mengecek jam digital yang ia kenakan pada pergelangan tangan kirinya, tapi seluruh layarnya kosong. Mati. Hal yang mustahil jika rusak ataupun habis baterai karena ia yakin betul kondisi jamnya masih bagus. Sepertinya memang benda itu tidak bekerja di sini, pikir Nina. Makhluk itu menengok, dan mengarahkan tangannya ke arah langit dan bulan. Nina langsung memahami jika makhluk itu berusaha menjawab pertanyaan pada pikirannya, bahwa perkiraan waktu masih bisa dilihat dari situasi langit. Saat itu langit masih gelap, pertanda masih malam.
Tak lama kemudian samar-samar terlihat sebuah gundukan dari kejauhan, lama-lama wujudnya semakin jelas dan padat. Seperti pulau kecil. Atau mungkin memang pulau kecil, pikir Nina. Makhluk itu mengangguk lagi. Lalu ia mendayung dengan lebih cepat ke arah pulau itu, sampai akhirnya mereka mendekat dan memarkirkan sampannya di area pesisir. Pasirnya berwarna hitam. Nina mengikuti makhluk itu untuk keluar dari sampan, dan memijakkan kakinya di pulau itu. Kemudian mereka berjalan ke tengah pulau yang sekelilingnya dipenuhi dengan tanaman-tanaman aneh. Mereka berwarna gelap dan cenderung hitam, tidak berwarna cerah seperti tanaman pada umumnya, namun ada semburat-semburat ungu dan merah tua pada tiap daunnya. Beberapa dari mereka mengeluarkan gas berasap berwarna hijau, baunya agak aneh, bisa dibilang mirip belerang. Lalu beberapa juga mempunyai bintik-bintik  yang berpendar, bentuknya mirip seperti zat-zat klorofil yang dilihat melalui mikroskop.
Semakin ke tengah pulau, ada satu titik yang mengeluarkan cahaya berwarna kebiruan. Semakin mendekat, juga terdengar suara riuh yang tidak dapat Nina jabarkan. Sesuatu yang baru ia dengar seumur hidupnya. Semakin mendekat lagi, ada sekumpulan makhluk yang sedang berkumpul, berhamburan ke sana ke mari. Ada sebuah meja berisi perjamuan dan satu kolam berwarna biru yang berkabut. Tampaknya cahaya kebiruan yang memancar tadi asalnya dari kolam itu. Kira-kira ada sepuluh hingga lima belas makhluk. Beberapa dari mereka wujudnya sama seperti makhluk yang membawa Nina kemari, namun yang lain lebih beragam lagi bentuknya. Ada yang sangat kecil. rambutnya panjang berwarna putih, memiliki ekor bersirip seperti duyung tapi juga mempunyai sayap. Makhluk itu sesekali menyelam masuk ke kolam lalu keluar dari kolam dan terbang. Lalu ada lagi yang sangat besar, ia duduk dan tidak berhenti memakan makanan yang ada di meja. Sekilas mereka semua bersamaan melihat ke arah Nina, lalu kembali melakukan kegiatannya masing-masing. Sepertinya mereka tidak begitu peduli dengan kehadirannya. 
Nina terpaku memandangi kekacauan yang ia lihat di depannya. Sementara makhluk yang membawa Nina kemari, juga melebur di tengah kerumunan bersama mereka, melakukan aktivitas-aktivitas ganjil sambil bersorak sorai. Lama kelamaan, beberapa makhluk itu mulai tertarik dengan kehadiran Nina, mereka mendekati dan mengajaknya berkumpul ke tengah. Merasa tidak enak berada di tempat yang aneh dan asing, maka Nina berusaha membaur dengan berpura-pura menjadi salah satu dari mereka, seolah merasakan aura mereka yang juga hiperaktif, Nina berlari-lari dan tersenyum, sesekali turut bersorak.
Tumblr media
0 notes
31daysofconfinement · 4 years
Text
19
Tumblr media
Setelah melewati jalan-jalan sepi, komplek perumahan lama, lahan-lahan kosong, sampai sentra industri seperti pabrik-pabrik besar penghasil kertas, akhirnya mereka sampai pada sebuah area yang dituju, dialiri oleh sungai yang cukup besar. Warnanya cenderung coklat menguning, seperti terkena limbah atau semacamnya. Dari kejauhan, Nina melihat lebih banyak turbin angin pembangkit listrik. Sesekali kapal-kapal angkut juga lewat membawa peti kemas. Sangat sibuk, walaupun lebih terlihat seperti tidak adanya kehidupan.
“Jadi ini masih bagian dari River Thames seperti yang kau bilang tadi?” tanya Nina.
“Tepat sekali. River Thames mengalir melewati Inggris bagian selatan, termasuk London. Salah satu sungai terpanjang di Inggris. Aku rasa jika mengikuti arusnya, sungai ini menuju ke ujung muara sungai di bagian timur.”
“Ke mana itu?”
“Meskipun arahnya ke timur, tapi ia akan menyatu menjadi bagian dari North Sea dan English Channel. Lautan yang masih menjadi bagian dari Samudra Atlantik. Letaknya di antara Britania Raya, Denmark, Norwegia, Jerman, Belanda, Belgia, dan Prancis,” jelas Oscar. “Jika tidak salah. Aku melihat dari logika arahnya saja,” lanjutnya.
Nina mengangguk-angguk berusaha memahami penjelasan Oscar sambil terus mencermati pemandangan asing yang membentang di depannya. Hanya setengah jam mereka duduk di atas pagar rendah yang membatasi pesisir sungai, namun tidak terasa langit sudah semakin gelap. Lalu mereka berdiri dan membersihkan bagian celana yang kotor, bersiap untuk pulang.
“Apa kita bisa sampai rumah sebelum gelap?” tanya Nina sambil berjalan. Sesungguhnya ia masih agak merasa lelah dan ingin pelan-pelan saja.
“Aku tak yakin. Tidak terasa sudah pukul sekian,” kata Oscar sambil melihat arlojinya. “Kau mau kita mau lewat mana? Apakah melewati jalan setapak yang sama seperti tadi, atau jalan biasa menurut peta?”
“Mana yang lebih cepat?” tanya Nina.
“Jalan setapak,” jawab Oscar.
“Baik, kita lewat sana.”
Mereka berbalik arah menyusuri jalan yang sama. Situasi sekitar masih sama sepinya, hanya saja suasananya lebih gelap. Tidak seperti situasi kota pada umumnya yang seharusnya lebih ramai karena waktunya masyarakat pulang dari bekerja. Setelah berjalan kaki perlahan tanpa berbicara karena lelah, akhirnya mereka kembali melewati gereja Saint Botolph dan kebun milik Matilda, hanya ada satu lampu taman yang sudah menyala sebelum malam tiba, tapi mereka tak melihat siapapun. Pastinya Matilda juga sudah kembali ke rumah untuk beristirahat, pikir mereka. Kemudian, mereka sampai kembali pada lorong yang mengarahkan mereka kembali ke jalan setapak. Untungnya, meskipun lorong itu tampak terbengkalai, masih difasilitasi oleh lampu pada bagian langit-langit walaupun agak redup.
Seperti biasanya, Oscar selalu berjalan beberapa meter di depan Nina, langkahnya lebih cepat dan lebar karena ia lebih tinggi. Nina juga tidak pernah meminta Oscar untuk menyamakan langkahnya dengan langkah Nina yang sangat kecil karena memang ia tidak terlalu tinggi, jadinya ia baik-baik saja meskipun sering tertinggal. Nina juga tidak berusaha untuk berjalan lebih cepat karena lelah. Nina berjalan sambil sesekali memeluk tubuhnya sendiri karena angin malam perlahan datang. Ia melihat-lihat sekeliling dari atas lorong jembatan, namun ada beberapa hal yang menarik perhatiannya saat itu. Ia merasa lahan-lahan luas yang tadinya gersang jadi lebih indah. Ada sesuatu mengilap yang membuatnya tampak menjadi lebih anggun. Nina menajamkan sorot matanya dari kejauhan, perlahan kemilap-kemilap itu bergerak menuju arah yang sama. Nina mendekatkan tubuhnya ke sisi samping jendela lorong agar lebih saksama. Kemilap itu berasal dari sesuatu yang ringan, dan ternyata itu adalah air! Lahan-lahan luas yang gersang di bawah lorong jembatan itu tiba-tiba terisi oleh semakin banyak air secara bertahap. Seketika Nina melihat ke arah Oscar yang jauh di depannya.
“Oscar! Di sini ada bendungan?” tanya Nina berteriak.
“Apa maksudmu? Tidak ada apapun di sini,” jawab Oscar yang juga mengeraskan volume suaranya sambil terus berjalan.
“Lihat ke bawah, ada air berdatangan!”
Oscar masih tetap berjalan sambil menengok ke arah bawah lorong jembatan.
“Tidak mungkin, aku tak melihat apapun,” jawab Oscar. “Ayo percepat langkahmu sebelum malam tiba, akan semakin gelap!”
Nina tidak mengindahkan perintah Oscar. Matanya tetap fokus mengarah ke bawah melihat air-air berdatangan. Setelah ia amati, memang tidak seperti air bah yang deras alirannya, jadi tidak mungkin juga jika di sini ada bendungan. Airnya mengalir dengan pelan, pelannya mirip sebuah cairan yang sangat kental dan berat, tetapi wujudnya berupa air. Nina mempercepat langkahnya, ia khawatir jika air itu semakin tinggi dan mengenai lorong jembatan yang ia naiki. Nina terus melangkah, namun baru ia sadari bahwa ia masih berjalan di tempat yang sama, sementara Oscar tampak melangkah semakin jauh. Nina dapat melihat Oscar berjalan sambil menggoyangkan tangan dan kepalanya karena ia bersenandung, tetapi suaranya semakin mengecil dan menggema. Seketika segalanya terasa kedap akan suara. Nina melihat ke bawah kakinya untuk memastikan apa yang terjadi dengan langkahnya dan ternyata ada yang tampak berbeda lagi. Sudah tidak ada sampah-sampah berserakan lagi di lantai lorong. Bahkan coretan-coretan graffiti pada dinding semakin memudar. Seketika semuanya bersih dan mengkilap.
0 notes
31daysofconfinement · 4 years
Text
18
“Hai Nak,” tiba-tiba terdengar suara parau seorang perempuan yang sudah cukup tua. Setelah menyapa Nina, lalu ia tersenyum kepada Oscar. Penampilannya sedikit lusuh seperti habis bekerja keras. Ia mengenakan gaun polos berwarna hijau olive dan boots berwarna cokelat. Cukup banyak uban pada rambutnya, dan warna kulitnya tidak seperti orang kulit putih pada umumnya. Sedikit lebih gelap dan memerah, dan parasnya lebih tampak seperti orang Amerika Latin.
“Kalian dari mana?” lanjutnya.
“Kami? Kami dari tempat tinggal kami di Hyacinth,” jawab Oscar.
“Maksudku anak ini,” tanya perempuan tua itu, matanya mengarah ke Nina.
“Oh, aku dari Indonesia,”
“Wow, menarik. Kalau begitu kau orang Indonesia pertama yang aku lihat di sini,” perempuan tua itu tersenyum, berkomentar hal yang sama seperti Olivia kemarin. “Perkenalkan, aku Matilda. Matilda Martyr.”
Kemudian, Nina dan Oscar berkenalan dan berbincang sedikit mengenai perjalanan mereka. Matilda perempuan yang sangat aktif rupanya. Ia terlihat sangat bersemangat di usianya. Terjawab sudah dibalik penampilannya yang sedikit lelah, ternyata ia juga turut memelihara area di sekitar gereja. Ia juga memelihara kebun di dekat situ, ditanami oleh sayur-sayuran yang dapat dipetik sewaktu-waktu oleh penduduk sekitar. Nina mengobrol sambil melihat sekelilingnya yang dipenuhi oleh makam-makam berserakan, tapi entah mengapa ia sama sekali tidak takut. Suasananya sangat damai. 
“Ini gereja Saint Botolph. Usianya sudah sangat tua dari masa Anglo Saxon. Kira-kira berawal dari abad ke-14, kemudian melalui beberapa tahap pembangunan di tahun 1800 dan seterusnya,” Matilda menjelaskan, rupanya ia mengamati Nina yang dari tadi terdiam karena melihat-lihat area di sekitar gereja.
“Kalian saat ini berada di Northfleet, yang juga sebuah kota lama di Gravesham, masih bagian dari wilayah Kent. Kita terletak tepat di sebelah barat Gravesend, dan di perbatasan dengan Borough of Dartford.”
Nina masih diam dan mendengarkan Matilda berbicara.
“Sebenarnya banyak pula katedral tua seperti ini, di Canterbury, kota tempat aku tinggal juga ada,” Oscar berusaha melengkapi penjelasan Matilda kepada Nina. “Canterbury merupakan kota katedral di Inggris tenggara, dan juga situs ziarah di Abad Pertengahan.”
“Nah, katedral Canterbury itu adalah markas besar Gereja Inggris dan Persekutuan Anglikan, mereka menggabungkan unsur-unsur Gothic dan Romawi,” Matilda menambahkan.
“Yup. Aku pernah mendengar kisah itu,” kata Oscar.
“Bagi sebagian besar orang, Kent dianggap sebagai pintu masuk Kekristenan Inggris pada Abad Kegelapan. Paus Gregorius saat itu memulai misi untuk membawa gereja masuk, lalu memilih Kent sebagai daerah di selatan Inggris untuk mendaratkan seorang uskup bernama Agustinus,” Matilda melanjutkan. “Sedangkan danau besar di sana itu adalah Cobalt Lake. Lumayan indah ya?”
“Aku suka warnanya. Bukit kapur di sekelilingnya, membuatnya semakin indah,” kata Nina sependapat.
Matilda terus berbicara dan Oscar menimpalinya, sementara Nina hanya mengangguk-angguk. Cukup lama baginya untuk mencerna cerita sejarah di negara lain yang baru saja ia kenal. Tak lama Matilda antusias untuk mengajak mereka ke kebun kecil yang ia rawat di samping gereja. Pintu masuknya berupa gerbang kayu tinggi yang tampaknya memang tidak pernah dikunci untuk dibiarkan begitu saja. Di tengahnya ada satu set meja kayu serta lima kursi. Kemudian Matilda mempersilakan mereka duduk sebentar.
“Kau mau sesuatu? Aku baru saja memanggang kue blackberry yang aku petik sendiri,” Matilda menawarkan.
Nina dan Oscar menolak karena tidak ingin merepotkan seseorang yang baru saja mereka kenal. Tapi akhirnya Matilda memaksa dan tetap mengambilkan kuenya. Mereka tidak dapat menolak.
Tumblr media
“Tenang, aku tidak akan membiarkan kerongkongan kalian kering karena memakan kue ku. Aku juga punya teh herbal,” Matilda menawarkan lagi.
Tampaknya, Nina dan Oscar sangat lapar karena sudah berjalan kaki cukup jauh, mereka cukup lahap memakannya. Selesai makan kue dan minum teh, mereka menjelajahi kebun, melihat-lihat jenis tanaman yang sudah sekian lama Matilda rawat. Selang beberapa saat kemudian, tidak terasa cahaya matahari semakin redup.
“Hari semakin sore, sepertinya lebih baik kalian pulang sebelum malam,” Matilda memecah pembicaraan mereka yang tengah asyik di kebun. “Maaf, bukaannya mengusir. Hanya aku percaya saja bahwa tidak baik jika keluyuran pada saat-saat transisi langit terang ke gelap.”
“Kami tidak lama lagi pulang, kok. Tapi kami ingin mampir sebentar ke arah muara River Thames,” kata Oscar.
“Itu tidak jauh dari sini. Bergegaslah!” perintah Matilda.
Kemudian Nina dan Oscar berpamitan untuk meneruskan perjalanannya. Matilda sepertinya hanya tinggal seorang diri dan kesepian, ia menyuruh Nina dan Oscar untuk mampir lagi lain waktu. Mereka berjanji untuk mengunjunginya lagi.
“Aku baru tahu di sini juga ada kepercayaan mengenai transisi siang ke malam,” sambil berjalan kaki, Nina bicara keheranan.
“Apa maksudmu dengan ‘juga’?” tanya Oscar.
“Juga sama seperti di Indoenesia. Sejak kecil kami percaya bahwa bisa ada hal-hal buruk yang akan menimpa jika keluar di saat Maghrib,” kata Nina.
“Apa itu?”
“Ah, sorry aku lupa menjelaskan. Jadi itu adalah waktu ibadah yang dilakukan oleh umat Islam pada saat matahari terbenam. Menurutku, mirip saja logikanya dengan kepercayaan Matilda mengenai transisi langit,” Nina menjelaskan.
“Di sini tidak begitu juga sih, sebenarnya. Aku justru baru mendengarnya,” kata Oscar.
“Ohya? Hmm..”
“Mungkin ia takut ada orang jahat yang kita temui di perjalanan, sedangkan kota ini cukup sepi, dan kita adalah pendatang baru,” Oscar memulai asumsinya.
“Yea, bisa jadi,” Nina mengiyakan Oscar agar lebih cepat usai, meskipun ia merasa tidak sepakat.
Mereka berjalan kaki dengan lebih santai untuk menghemat tenaga, meneruskan tujuan utamanya menuju muara sungai Thames.
Tumblr media
1 note · View note
31daysofconfinement · 4 years
Text
17
Setelah berjalan selama lima belas menit dan melewati beberapa belokan, sekarang Nina dan Oscar melalui jalanan lurus yang cukup panjang.
“Jalan ini tidak habis-habis ya?” tanya Nina mulai bosan. Karena memang jalannya lurus memanjang, dan di sisi kanan kiri tidak ada yang menarik, hanya tanaman-tanaman liar yang menjulang, mirip keadaan jalan yang ia lihat ketika dalam perjalanan bus dari stasiun menuju rumah ketika ia baru saja tiba.
“Menurut peta, ada yang menarik di sekitar sini, yaitu danau yang cukup besar dan juga gereja tua,” kata Oscar. “Seharusnya kita sudah dapat melihatnya dari sini sekarang.”
“Kau kan yang lebih tinggi, aku tidak dapat melihat apa-apa,” kata Nina.
“Seharusnya kita sudah sampai kok,” kata Oscar. “Tunggu, kenapa aku tidak berpikir apa yang ada dibalik tanaman-tanaman ini ya.”
Kemudian Oscar terlihat berlarian mencari sesuatu, sesekali membuka tanaman-tanaman lebat untuk melihat ada apa dibaliknya. Sampai di tengah sisi jalan, ia menemukan ada satu bagian tanaman yang lebih rendah dari pada yang lain.
“Lihat, ada pagarnya!” tunjuk Oscar.
Kemudia mereka berlari ke arah yang ditunjuk oleh Oscar. Ternyata, di balik tanaman lebat itu ada pagar yang dari tadi mengelilingi danau itu. Danaunya cukup besar, airnya sangat tenang, kemudian tampak ada bukit berwarna putih yang juga mengelilinginya, seperti terbentuk dari batuan dan tanah kapur.
“Indahnya... Bagaimana caranya agar bisa masuk ya,” tanya Nina terkagum sambil mencari-cari celah. Mereka terus berjalan dan mencari sampai akhirnya menemukan adanya papan larangan dan pintu.
“Ada pintu, tapi terkunci,” kata Oscar. “Sepertinya ini milik seseorang, atau memang dilarang dikunjungi untuk umum oleh pemerintah setempat.”
“Kita terus berjalan saja siapa tahu tiba-tiba menemukan,” kata Nina.
Tumblr media
Saat meneruskan berjalan menyusuri tepian danau, tanaman-tanaman yang mengelilinginya sudah tidak begitu lebat, namun keadaan jalannya yang justru jadi lebih banyak tanaman liarnya, dan semakin sepi. Kemudian mereka menemukan (lagi-lagi) jalan setapak. Namun kali ini lebih rimbun, seperti gua yang terbuat dari tanaman. Mulanya Nina ragu-ragu, tapi akhirnya ia memberanikan diri, lagipula itu masih siang hari.
“Sebenarnya ini bukan jalan yang disarankan oleh peta, tapi kita menuju ke arah yang sama,” kata Oscar.
“Memang titik tujuannya ke mana?” tanya Nina.
“Tidak tahu. Hahaha. Asal saja,” tawa Oscar. “Jadi di peta aku lihat ada aliran sungai di sebelah utara yang mengarah ke timur. Sungai itu masih bagian dari River Thames.”
“Setahuku itu di London?”
“Kau benar, tapi sebenarnya sungai itu sangat panjang. Ia akan mengalir hingga ke North sea.”
“Di mana itu? Aku tak mengerti,” Nina bingung.
“Nanti saja aku jelaskan jika sudah sampai sana,” kata Oscar.
Mereka mulai memasuki jalan setapak. Meskipun masih siang hari dan sangat terik, tapi ketika memasuki jalan setapak itu suasanya jadi berbeda, seperti sore hari, karena cahaya meredup tertutup tanaman-tanaman yang tumbuh mengerumuni hingga seperti atap. Mereka terus berjalan mengikuti kemana arah jalan setapak itu membawa mereka. Sampai akhirnya, suasana perlahan menjadi terang kembali. Mereka sampai pada sebuah lahan buntu terbengkalai, yang kemudian ada tangga menuju lorong besi di ujungnya. Dilihat dari jauh, lorong itu modelnya mirip seperti jembatan penyeberangan di atas jalan raya, tapi bedanya lorong ini bertumpuk dan sangat panjang. Mereka dapat melihat dari kejauhan bahwa ada rel kereta yang melintasi di dekat bukit, kemudian lorong-lorong jembatan ini mengarah ke sana, melayang di atas rel kereta api itu. Oscar mendahului langkah Nina dan langsung masuk ke lorong itu. Banyak sampah berserakan dan coretan-coretan graffiti pada  dindingnya.
“Menurutmu, apa lorong ini masih kuat?” tanya Nina memastikan sebelum menaikinya.
“Kurasa masih kokoh. Karena ini terbuat dari besi yang cukup tebal. Apalagi jika hanya menyangga kita berdua dengan beban berjalan,” kata Oscar.
Tumblr media
Nina kemudian mengikuti Oscar untuk menaikinya. Setelah beberapa meter berjalan, mereka sempat melewati sebuah komplek perumahan yang entah masih ada penghuninya atau tidak, tapi cukup sepi dan seperti tidak ada kehidupan. Tetapi, lambat laun Nina mulai tertarik akan hal-hal acak yang mereka temukan. Mendadak ia merasa bersalah karena selalu meragukan Oscar. Ia juga senang dapat melihat pemandangan yang membentang dari atas. Nina tampak menikmatinya. Kali ini ketakutannya akan jalak setapak dan sosok yang mengikutinya mendadak pudar karena ia tak mengalaminya hari ini. Lalu mereka sampai di atas sebuah lahan luas yang diapit oleh bukit tanah kapur. Seluruh lahannya ditumbuhi oleh rumput yang menguning karena gersangnya musim panas, tetapi di tengah-tengahnya ada dua garis kecil lahan gundul yang memanjang, seperti jejak yang sering dilalui oleh kendaraan sehingga tidak ditumbuhi oleh rumput. Lalu arah jejak itu berujung pada sebuah terowongan setengah lingkaran yang besar, berwarna putih juga lengkap dengan tanaman rimbun sehingga tampak seperti menyatu dengan bukit kapur. Kemudian di sebaliknya bagian atas bukit, ada satu turbin angin pembangkit listrik yang berputar.
Tumblr media
“Menurutmu apakah tempat itu masih sering dilewati?” tanya Nina kepada Oscar.
“Aku tidak tahu apa yang ada di balik terowongan itu. Bisa saja sengaja dibuat untuk penduduk sekitar,” jawab Oscar.
“Kau tahu, terowongan itu mengingatkanku pada salah satu film dari Studio Ghibli,” kata Nina. “Kau tahu?”
“Aku tahu Studio Ghibli tapi tidak mengikuti semua filmnya.”
“Spirited Away.”
“Ya, aku pernah menontonnya,” jawab Oscar sambil mengingat-ingat.
“Seperti terowongan yang membawanya menuju ke dimensi lain. Lihat, warnanya juga sama-sama putih dan dikelilingi oleh tanaman yang lebat,” tunjuk Nina sambil menghentikan langkahnya untuk memandang beberapa saat.
Entah mengapa, saat itu juga ia merasakan hal yang berbeda pada dirinya. Ketertarikannya akan kota ini semakin besar. Rasa ingin tahunya memuncak sehingga ia semakin bersemangat untuk menjelajahi seluk beluk kota ini.
Mereka meneruskan perjalanan sampai lorong ini habis. Hingga kemudian mereka sampai pada ujung lorong yang mengantarkan mereka pada sebuah pemukiman. Mereka terus berjalan sampai akhirnya ada sebuah bangunan tua terbuat dari batu seperti kastil.
“Itu gereja yang aku maksud!” seru Oscar sambil menunjuk.
Tampilannya seperti model bangunan pada era medieval dengan batu-batu berwarna hitam. Tetapi arsitektur yang Nina bayangkan sangat berbeda, tidak seperti katedral pada umumnya. Bangunannya tidak terlalu tinggi, halamannya luas dan tampak nisan-nisan berserakan, sepertinya itu adalah makam-makam leluhur yang memang sengaja dibuat tidak beraturan.
1 note · View note
31daysofconfinement · 4 years
Text
15
Hari penuh kekhawatiran yang sama sekali tidak dinanti Nina, akan segera terjadi. Oscar telah pergi menuju stasiun, sementara Nina memutuskan untuk memulai mengolah beberapa bahan makanan yang baru saja ia beli. Karena kebetulan juga membeli ayam, garam masala, dan yoghurt, maka pilihan jenis menu olahan makanannya jatuh pada tandoori chicken. Lagipula rumah itu mempunyai fasilitas dapur yang memadai, seperti kompor listrik dengan empat tungku, dilengkapi dengan oven besar di bawahnya yang dapat ia gunakan untuk memanggang. Nina berencana membuat bumbu untuk merendam ayamnya terlebih dahulu sebelum mandi sore. Ia tampak bersemangat karena pikirannya mulai teralihkan. Ia memotong-motong beberapa bahan sambil bersenandung dan menyalakan musik dari portable speaker nya.
Sepertinya sudah lebih dari lima buah lagu yang ia putar saat itu, hingga akhirnya Nina memutuskan untuk mengecilkan volumenya. Ia mendengar sebuah hentakan keras yang mengagetkannya dari arah halaman belakang. Dari kejauhan terlihat pintu kacanya bolong, pecah berkeping-keping, dan yang tersisa hanya frame nya saja. Kemudian Nina berlari mendekat untuk melihat apa yang merusaknya. Tidak ada apapun. Tapi ia dapat merasakan hal yang sama seperti saat iya menyusuri jalan setapak, ada sesuatu yang mengintai dari balik pagar kayu yang membatasi halaman belakang. Spontan Nina mengambil ponsel untuk menelpon Oscar.
“Ada sesuatu yang menyerang!” kata Nina panik.
“Apa maksudmu? Tunggu sebentar aku baru sampai Canterbury.
“Aku sedang menyiapkan makanan di dapur, lalu tiba-tiba sesuatu menghantam pintu halaman belakang dengan sangat keras dan semuanya pecah! Tapi tidak ada benda apapun di situ. Lalu aku merasakan hal yang sama lagi. Sesuatu mengawasiku dari jauh,” kata Nina panik sambil terbata-bata.
“Tunggu. Aku akan menghubungi pemilik rumah itu. Setelah ini, bisakah kau kirim ke aku foto bagian mana saja yang rusak?”
“Iya. Kira-kira apa yang dapat mereka bantu? Apakah pemilik rumahnya akan kemari?” tanya Nina sambil berharap seseorang datang menemaninya.
“Aku tak yakin, karena mereka tidak tinggal di sekitar sini maupun di London. Setidaknya mereka bisa melakukan sesuatu, entah menyuruh seseorang untuk memperbaiki pintunya atau bagaimana,” kata Oscar.
“Baiklah, secepatnya ya,” Nina memohon.
Kemudian, Nina mengirimkan beberapa foto keadaan rumah yang rusak. Ia khawatir, takut, tapi juga kesal. Baru saja ia sampai dan ingin menikmati aktivitas pertamanya di sana, sudah ada yang tidak beres. Ia menyalakan rokoknya, pertanda ia harus sedikit menenangkan diri. Nina memang bukan perokok aktif, tapi ia akan merokok di saat-saat tertentu seperti ketika bosan atau stress. Kemudian ia melakukan apa yang paling bisa ia lakukan dahulu, yaitu menyapu serpihan-serpihan kaca dan mengumpulkannya untuk dibuang di tempat sampah yang terletak di halaman depan rumah. Saat membuang serpihan kaca, di seberang rumah tampak seorang anak kecil lewat bersama perempuan paruh baya yang sepertinya adalah ibunya. Tiba-tiba mereka menghentikan langkahnya.
“Hai!” teriak perempuan itu sambil melambaikan tangannya ke arah Nina.
Nina tidak menjawab apa-apa karena masih badmood, tapi ia membalasnya dengan melambaikan tangannya sambil tersenyum. Kemudian mereka menghampiri Nina.
“Kau baru pindah sini ya? Tidak pernah melihatmu sebelumnya,” tanya perempuan itu.
“Iya, baru kemarin aku sampai sini,” jawab Nina.
“Kau dari mana?”
“Indonesia.”
“Cool. Kau jadi orang Indonesia pertama yang aku temui di sini.”
“Hehe. Masa? Tapi aku hanya sementara tinggal di sini.”
“Iya, kecuali di London memang masih banyak orang Asia, tapi jarang sekali Indonesia. Mungkin ya, karena aku jarang ke sana. Aku baru pindah beberapa bulan dari Wales karena suamiku kini bekerja di London, dan Ebbsfleet adalah pilihan yang tepat bagi kami,” perempuan itu cukup aktif berbicara pada kesan pertama pertemuannya, sementara anak kecil itu hanya melihat sambil tersenyum ke arah mereka.
“Ohya, perkenalkan aku Olivia. Olivia Maddison. Ini anak pertamaku, Rosie,” lanjutnya.
“Aku Karenina Noemi. Senang berkenalan denganmu,” jawab Nina. “Kau tinggal di sebelah mana?”
“Aku tinggal di Daffodil 2B,” Olivia sambil menunjuk ke area beberapa meter dari tikungan komplek. “Mampir saja, aku di rumah terus.”
“Dengan senang hati jika tidak merepotkanmu. Tapi ada beberapa hal yang harus aku atasi dulu hari ini. Sesuatu terjadi pada pintu halaman belakang rumah.”
“Apa yang terjadi?”
“Entahlah, sesuatu menghantam dengan sangat keras sampai kacanya hancur. Tapi aku tak menemukan apapun yang menyebabkannya. Kemudian aku merasa seseorang mengawasiku dari balik pagar pembatas halaman. Menurut pengalamanmu apakah di sini cukup aman dari pencuri misalnya?” Nina bercerita sambi mencari informasi.
“Aneh sekali? Tapi selama aku tinggal di sini, tidak pernah ada apapun yang terjadi. Memang sangat sepi dan tidak ada yang menarik di sini. Aku rasa, pencuri pun juga enggan kemari. Kau tinggal dengan siapa?”
“Sendiri. Jadi ini bukan rumahku. Aku hanya menyewanya hingga enam bulan ke depan untuk bekerja bolak-balik ke London di bulan ke dua. Temanku sudah menghubungi pemilik rumahnya.”
Lama berbincang dengan Olivia, Nina kemudian tersadar bahwa si kecil Rosie, dari tadi sudah tidak memperhatikan mereka, arah pandangannya seperti menuju ke atas rumah Nina. Otomatis Nina menoleh ke arah rumah.
“Kau melihat apa Rosie?” Nina tak bisa menahan untuk tidak bertanya.
Rosie tidak berbicara, namun ia hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Rasa ingin tahu anak ini memang sangat tinggi,” Olivia membantu menjawab. “Ayo Rosie, kita pulang. Hari sudah semakin gelap. Aku rasa tante Nina juga harus membereskan beberapa hal dulu dan beristirahat kan,” Olivia tersenyum kepada Nina sambil menggandeng Rosie, tiba-tiba mengakhiri pembicaraan dan tampak terburu-buru.
“Aku santai sih sebenarnya,” jawab Nina agak merasa aneh.
“Main saja ke rumah jika butuh teman,” Olivia menawarkan sambil mulai berjalan menuju ke arah rumahnya.
“Pasti!” kata Nina.
Kemudian Nina masuk kembali ke rumah sambil menguatkan diri. Selama kejadian aneh ini tidak merugikan atau membahayakanku, aku harus bersikap masa bodoh, pikirnya untuk menenangkan diri.
Nina melanjutkan aktivitas untuk mandi dan memasak ayamnya. Tapi sebelumnya, ia menutup pintu kaca halaman belakang menggunakan taplak meja yang ia rekatkan pada tembok, jadi tampak seperti korden. Yang penting berfungsi sebagai penutup agar angin malam tidak masuk ke rumah. Selang beberapa jam, Nina tiba-tiba bersemangat karena ayamnya telah matang dari oven dan rasanya cukup enak.
Besok pukul 10 pagi, akan ada tukang datang. Ia akan mengganti kaca pintu yang pecah, Nina membaca pesan Oscar barusan.
Lalu aku akan datang secepatnya juga di pagi hari, lanjutnya.
Tumblr media
0 notes
31daysofconfinement · 4 years
Text
11
Usai memuaskan cacing-cacing di perut, Nina beranjak tidur lebih cepat daripada biasanya. Ia dapat merasakan bahwa seluruh otot-otot kakinya mengencang akibat terlalu banyak berjalan kaki, belum terbiasa karena masih hari pertama tiba. Oscar nampaknya sudah lebih dahulu terlelap, karena Nina sama sekali tak mendengar apapun dari kamar sebelah.
Sementara, walaupun Nina sudah sangat lelah, ia merasa harus sedikit beradaptasi. Selain karena tempatnya yang asing, ia juga merasakan sepi teramat sangat meskipun waktu masih menunjukan pukul sepuluh malam. Bahkan saat di Indonesia saja ia sesekali masih mendengar sayup-sayup suara kendaraan dari kejauhan, tikus-tikus di kebun, atau aktivitas tetangga. Namun ada satu hal yang sangat kencang terdengar dari kamarnya, yaitu suara angin. Entah angin ataupun apa, mirip suara udara yang sangat kencang, tetapi sangatlah riuh. Nina bangun sejenak untuk melihat dari jendela kamarnya, langit cenderung gelap, hitam rata, tidak ada bintang, tapi juga tidak mendung. Jendelanya mengarah ke bagian belakang rumah, tapi karena terletak di lantai dua, ia juga dapat melihat apa yang terjadi di balik halaman belakangnya, kebanyakan bongkahan material dan alat berat seperti akan membangun sesuatu, mungkin saja berupa perumahan lagi. Kemudian Nina memperhatikan pelan-pelan objek yang terdapat di situ dari atas, baik tanaman maupun kain-kain atau plastik yang menutupi bahan-bahan material itu, tidak ada apapun yang bergerak karena angin. Lalu suara angin kencang ini dari mana, pikirnya.
Tidak mau terlalu lama berpikir, Nina mencoba untuk menyalakan televisi yang ada di kamarnya untuk mendistraksi pikirannya dan kembali ke tempat tidur. Nina mencoba memejamkan mata. Tak lama, ia mendengar suara berdebum, lama-lama berulang menghentak semakin menjauh, suaranya mirip hentakan yang berlari tapi agak lebih halus, baru Nina teringat bahwa seluruh permukaan lantai rumah ini beralaskan karpet. Jangan-jangan itu suara kaki yang teredam karena efek kedap oleh karpet, batinnya. Nina kembali melepaskan selimutnya dan membuka pintu kamar pelan-pelan untuk mengecek keadaan, siapa tahu Oscar yang tengah ke kamar mandi, pikirnya positif. Semua lampu ruangan koridor telah dimatikan, pintu kamar Oscar tetap tertutup, sedangkan kamar mandi juga tampak kosong karena dari tadi pintunya memang terbuka. Nina lekas menutup kembali dan mengunci pintu kamarnya. Ia menaikkan volume televisinya beberapa level untuk menyamarkan suara-suara aneh yang mampir ke telinganya, lalu kembali memejamkan matanya di balik selimut.
Tumblr media
1 note · View note