Tumgik
#Telah disunting · 16 jam
sinemeter · 5 years
Text
the post
Tumblr media
“I always wanted to be part of a small rebellion.”
Ini adalah cerita tentang surat kabar The Washington Post yang nekat menerbitkan berita rahasia tentang keterlibatan AS di perang Vietnam, dan bagaimana pemerintah kemudian berusaha membungkam media.
Tahun 1971, dan perang Vietnam sudah memasuki tahun yang ke-16, surat kabar The New York Times berani menerbitkan artikel tentang dosa-dosa pemerintahan AS terkait perang tersebut. Dosa yang paling jadi sorotan utama adalah tentang bagaimana para presiden dari mulai Dwight Eisenhower, John F. Kennedy, Lyndon B. Johnson, sampai Richard Nixon terus mengirim pasukan ke Vietnam meskipun tahu kalau AS tidak akan menang. Alasan utamanya adalah tentu saja menjaga nama besar AS agar tidak dipermalukan di mata dunia, maka peperangan harus terus dikobarkan sampai kemenangan itu datang.
Sumber berita The New York Times tidak main-main. Bukan dari gosip atau hoaks belaka tetapi dari dokumen rahasia resmi negara yang diberi judul Makalah Pentagon. Selain tentang kebijakan-kebijakan presiden tadi dokumen tersebut mengandung sebuah studi peperangan yang disusun oleh Menteri Pertahanan Bob McNamarra dan beberapa praktisi lapangan yang terjun langsung di perang Vietnam. Salah satu praktisi tersebut, Daniel Ellsberg, dengan kesadaran penuh sengaja memfotokopi seluruh berkas Makalah Pentagon karena tergerak untuk menguak kebenaran ke muka publik. Hasil fotokopian Ellsberg inilah yang kemudian sampai ke meja redaksi The New York Times, dan 3 tahun berselang dicetak di tajuk muka yang langsung membuat geger masyarakat dan memanaskan Gedung Putih.
Pemerintah langsung bereaksi keras dengan melakukan ancaman pembredelan, menyeret The New York Times ke meja hijau dengan tuduhan penghinaan dan pengkhianatan terhadap negara. Koran itu dipaksa berhenti beroperasi sampai proses peradilan beres. Salah satu surat kabar terbesar di AS dengan jutaan pembaca setia itu justru harus dihukum karena membeberkan kebenaran yang selalu ditutup-tutupi, meskipun pemerintah lebih dramatis menyebut perkara ini sebagai aksi fatal membocorkan rahasia negara.
Atas dalil pembeberan kebenaran itu juga The Washington Post ikut menerjunkan diri ke pusaran konflik media vs. pemerintah yang apinya masih sangat hangat. Sang editor eksekutif, Ben Bradlee (Tom Hanks), menegaskan bahwa inilah kesempatan untuk menunjukkan kekuatan media sebagai pengawal demokrasi dan penjaga konstitusi negara yang tak bisa dilumpuhkan oleh otoritas. Pers memiliki kenetralan yang tak bisa ditembus lobi-lobi atau bahkan ancaman dalam menerbitkan berita. Sifatnya yang tak berpihak ini memang selalu berpotensi memercikkan masalah bagi penguasa beserta kepentingan-kepentingannya. Adalah integritas serta keberanian yang bisa membuat pers menegakkan kepalanya di sekeliling todongan pistol-pistol demi menjaga benteng terakhir kebenaran. Tidak ada harga yang bisa membeli itu selain harga diri orang-orang di dalamnya sebagai mata dan telinga peradaban.
Roger: “If the government wins and we’re convicted, the Washington Post as we know it will cease to exist.”
Ben: “Well, if we live in a world where the government could tell us what we can and cannot print, then the Washington Post as we know it has already ceased to exist.”
Yang lucu adalah sebenarnya semua ini diawali oleh sebuah rivalitas sengit antara 2 media raksasa AS. The Washington Post selalu merasa ketinggalan beberapa langkah dari The New York Times dalam meliput peristiwa-peristiwa teraktual. Segala cara dilakukan, termasuk menyusupkan mata-mata ke kantor New York demi mendapat bocoran tentang berita tajuk utama yang akan terbit esok hari. Ketika The Post merasa di atas angin dengan liputan spesial tentang pernikahan anak perempuan presiden Nixon, di hari yang sama The Times menyentak perhatian dunia dengan berita Makalah Pentagon. Semua orang membeli dan membaca The Times, lalu anak-anak muda turun ke jalan melakukan protes antiperang, satu negara tercekam oleh kenyataan betapa munafiknya sikap pemerintah AS terhadap perang di wilayah Indo-Cina itu.
Tak tinggal diam, hari itu juga pemerintah langsung mengambil tindakan hukum buat mengadili The Times. Maka otomatis surat kabar itu berhenti beroperasi untuk sementara waktu dan momentum itu dimanfaatkan The Post dengan menerbitkan lebih banyak berita dari Makalah Pentagon. Jika The Times membutuhkan waktu sekitar 3 tahun untuk akhirnya berani mempublikasikan kiriman dokumen fotokopian dari Ellsberg, The Post hanya punya waktu kurang dari 10 jam untuk menyusun, mengedit, dan mencetak skandal rahasia negara itu. Waktu semepet itu jadi ujian tersendiri bagi Kay Graham (Meryl Streep) sebagai CEO baru perusahaan sekaligus wanita pertama yang memimpin sebuah media cetak di AS. Kay harus membuktikan kalau dirinya punya kemampuan dalam mengambil keputusan penting di mana dirinya tidak lagi dipengaruhi oleh para lelaki di sekitarnya -- Kay yang selalu gugup saat bicara dan kebetulan mewarisi jabatan tinggi dari suaminya yang meninggal bunuh diri, dan Kay yang menjual saham The Post ke publik dengan risiko kerugian besar jika omset perusahaannya anjlok. The Post mengambil langkah yang sama dengan The Times berikut ancaman yang sama pula: pembredelan dari pemerintah (“The only way to protect the right to publish is to publish”).
Tumblr media
Menjadi seorang Ben Bradlee di masa-masa ini berarti menggadaikan eksistensi diri kepada tekanan dan rasa malu yang datang bertubi-tubi. Reputasi The Post yang mulai menukik dibebankan ke pundaknya sebagai punggawa berita. Waktunya sebagian besar terkuras oleh pekerjaan, ketika ia baru sampai ruang tengah rumahnya sebuah panggilan telepon bisa membuatnya bergegas kembali ke pintu kantor. Gedung Putih di bawah Nixon memasukkan The Post dalam daftar hitam, reporter mereka dilarang meliput acara keluarga Nixon karena tulisan-tulisan sarkastik yang kerap mereka terbitkan. Bayangkan perasaan Ben di suatu pagi ketika korannya berhasil menaikkan cerita tentang pernikahan Nixon, sebagai kemenangan atas blokade pemerintah yang ternyata bisa ditembus oleh reporter yang menyamar, lalu The Times menerbitkan berita konspirasi politik AS sehingga ketika kedua koran itu disandingkan, The Post tampak seperti tabloid gosip selebritas. Dalam waktu kurang dari 2 hari Ben harus bisa menemukan narasumber dan dokumen utama yang mendukung headline The Times, karena tidak ada berita lain lagi yang tampaknya pantas diangkat.
Secara personal, berita tentang kebohongan yang dilakukan pemerintah AS terutama para presiden yang terlibat perang Vietnam sangat mempengaruhi kebangaannya sebagai warga negara. Ben cukup akrab dengan presiden Kennedy di masa-masa kepemimpinannya. Ia cukup sering diundang makan siang bersama di Gedung Putih, bahkan bersantai sambil menghisap cerutu berdua sambil berbagi cerita tentang apapun. Dalam pertemanan tersebut Ben merasa di sana ada rasa percaya yang saling terjalin. Maka setelah ia tahu bahwa di belakang itu semua Kennedy juga ikut andil menggodok terus perang Vietnam demi menutup-nutupi kekalahan AS, timbul jiwa patriotiknya justru untuk membongkar borok negeri adidaya tersebut. Ia merasa profesinya sebagai jurnalis selama ini telah dihina dengan terus menerbitkan berita-berita yang telah disamarkan dan dipugar oleh pemerintah. Terlebih lagi, ia merasa demokrasi AS telah dihina oleh rekayasa politik dari para pemimpinnya sendiri, langsung di depan muka rakyat.
Ben: “The night he was assassinated Tony and I were down at the Naval Hospital so we would be there to meet Jackie when she landed. She was bringing Jack’s body back on the plane from Dallas and she walked into the room. She was still wearing that pink suit with Jack’s blood all over it. She fell into Tony’s arms and they held each other for quite a long time. And then Jackie looked at me and said, ‘None of this, none of what you see, none of what I say, is ever going to be in your newspaper, Ben.’ And that just about broke my heart. I never thought of Jack as a source, I thought of him as friend. And that was my mistake. And it was something that Jack knew all along. The days of us all smoking cigars together down on Pennsylvania Avenue are over. Your friend McNamara’s study proves that. The way they lied. Those days have to be over. We have to be the check on their power. If we don’t hold them accountable, my God, who will?”
Ben kemudian menjadikan rumahnya ruang editorial dadakan. Beberapa wartawan senior hadir di situ menyaksikan datangnya dua dus tumpukan fotokopian Makalah Pentagon yang telah diserahkan langsung oleh Ellsberg kepada salah satu rekan kepercayaan Ben di sebuah tempat terpencil. Mereka bekerja sama menyusun lembar-lembar kertas fotokopian itu secara kronologis karena susunannya telah diacak Ellsberg demi alasan keamanan. Setelah melewati jam-jam yang melelahkan itu kemudian mereka masuk ke jam-jam stres menulis artikel yang akan diterbitkan The Post besok pagi. Jam 12 malam semuanya harus sudah naik cetak, artinya dalam waktu yang super padat itu para wartawan di rumah Ben harus menyelesaikan artikelnya, mengirimkan ke kantor The Post, disunting oleh editor, disusun huruf per hurufnya pada plat secara manual agar siap dicetak massal oleh mesin.
Beberapa blok dari rumah Ben, Kay Graham menimbang-nimbang keputusan untuk menerbitkan artikel Malakah Pentagon itu atau tidak. Ia dikelilingi oleh para dewan eksekutif The Post, seperti yang selalu terjadi, dan ialah satu-satunya perempuan yang ada. Masukan para eksekutif sudah jelas, bahwa The Post harus memperbaiki hubungannya dengan Gedung Putih khususnya di momen ini dan langkah radikal bukanlah skema yang bijak untuk perusahaan yang sahamnya baru saja go public. Kay setuju bahwa di tangannya nasib The Post berada dan keputusan yang ia ambil saat ini akan sangat menentukan keberlangsungan surat kabar itu. Tapi Kay mengingat bagaimana dulu ia sempat melepas putranya pergi ke Vietnam, sebuah niat tulus untuk memperjuangkan nama bangsa yang ternyata hanyalah permainan buruk yang sudah lama diketahui siapa pemenangnya. Kay akhirnya mengambil keputusan sendiri yaitu meminta Ben agar segera mencetak artikelnya pada tengah malam.
Keputusan Kay tentu saja bukan sekadar alasan personal, tetapi juga didasari atas tanggung jawabnya terhadap publik sebagai pemilik media. Bagaimanapun juga sudah jadi tugas media untuk berani menerbitkan berita dan tidak berpihak pada apapun atau siapapun selain kebenaran itu sendiri. Objektivitas media merupakan nilai moral yang menjamin bertahannya demokrasi serta melangsungkan jalannya peradaban manusia menuju tingkatan yang lebih baik.
Kay: “You know what my husband said about the news? He called it the first rough draft of history. That’s good, isn’t it? Well, we don’t always get it right, you know. We’re not always perfect, but I think if we just keep on it, you know. That’s the job, isn’t it?”
Maka bersama The Times, Kay dan Ben masuk ke gedung persidangan dengan kepala tegak. Mereka menghadapi ancaman nyata pembredelan tapi tidak ada ketakutan yang patut mereka hiraukan selain kegagalan mewartakan kebenaran di negara bebas ini. Anak-anak muda berkumpul mendukung mereka di luar gedung seraya meneruskan yel-yel antiperang yang mengobar semangat. Tak disangka-sangka surat kabar yang lain pun menunjukkan simpatinya dengan sengaja menerbitkan ulang artikel Makalah Pentagon dari The Times dan The Post di halaman depan mereka, semata-mata untuk meneriakkan besarnya kekuatan media yang tak akan sebanding dengan kuasa pemerintah sekalipun (“The press was to served the governed, not the governors”). Mungkin inilah yang membuat media selalu dibutuhkan, ia tidak hanya mewakili suara rakyat, suara pemerintah, atau bahkan suara Tuhan, tapi ia mewakili suara kebenaran; yang mana suaranya kerap dibungkam, wujudnya kerap tersembunyi, dan aromanya kerap tersamarkan, dan tetap ia selalu rela mengorbankan apa saja demi meraihnya lalu menyampaikannya ke depan pintu rumah orang-orang di pagi hari.
Tumblr media
oleh: Ikra Amesta
0 notes
littlegirloverthere · 7 years
Text
Mom and Dad; Both Never Road On The Same Way
Selepas KKN pada akhir Agustus lalu, saya kerap melakukan perjalanan pergi-pulang Samarinda-Bontang. saya memang lebih leluasa untuk melakukan perjalanan ini, mengingat sudah tidak ada lagi mata kuliah yang hendak saya kejar (tapi judul saya terbengkalai, eh ditolak). Tak seperti yang sudah – sudah, ketika pulang ke Bontang saya lebih sering nginap di rumah Ayah. Jujur ini adalah hal yang sangat jarang saya lakukan sebelumnya.
Semenjak kecil hingga memutuskan hijrah ke Samarinda 2014 silam, saya hidup bersama mama dan otomatis pola asuh atau ritme kehidupan ala mama sudah sangat terinternalisasi dalam diri saya. Inilah kemudian yang terjadi pada diri saya ketika harus berpindah ke rumah Ayah (saya memanggil beliau bapak). Agak tidak tega menyebutknya namun harus saya katakan, bahwa terjadi ketidaknyamanan dalam diri saya. Bukan masalah berarti sebenarnya, namun tetap saja, tidak nyaman yah tidak nyaman, dan itu tidak mengenakkan.
Belasan tahun hidup bersama mama, dimana beliau menjadi kepala rumah tangga dan tulang punggung keluarga, menjadikan beliau seorang wanita yang dominan, atau kalau kerennya lagi seorang alpha female. Mama mendidik anak dengan cukup keras, dan sedikit bias gender. Bagaimana tidak bias gender, pada banyak hal yang terjadi dalam keluarga, hampir semua diselesaikan oleh wanita utamanya mama, padahal ada pria dirumah yakni kakak saya.
Dirumah mama, semua harus bisa mengatur diri sendiri, tidak ada kewajiban bagi siapapaun untuk mengerjakan sesuatu berdasarkan jenis kelaminnya. Semua orang dirumah harus bisa masak, mencuci, dan membersihkan rumah sendiri. Dulu yang kerap membersihkan rumah dan masak memang saya. Hal tersebut saya lakukan hanya karena beban moral atau sebentuk penabdian saja, merasa perlu untuk mengurangi beban mama. Kasihan juga, sudah mencari nafkah, masa pekerjaan rumah pun harus beliau pula kerjakan. Namun untuk kakak saya beri pengecualian. Kendati pernah mencucikan baju dia secara sukarela, namun seringnya saya meminta banyaran untuk setiap ‘’jasa’’ pencucian baju yang saya lakukan.
Di rumah mama, tidak ada pekerjaan yang dibagi berdasarkan gender. Memperbaiki beberapa bagian rumah seperti mengecat, memaku, dan menempel seng bocor dikerjakan oleh siapapun yang bisa dan mau pastinya. Kakak saya bisa, tapi seringnya ia tak mau. Mengangkat barang berat seperti lemari yang tingginya melebihi kami pun, sangat sering kami (perempuan di rumah) yang mengerjakan.
Menahun saya hidup dalam ritme hidup seperti itu, dan ketika pindah ke rumah Ayah kemudian terjadi kontradiksi. Tak perlu keluar negeri untuk mengalami culture shock, karena pindah rumah saja bisa mengalami ini.  Menurut saya, Ayah adalah seorang pria muslim semi-konservatif. Dikepala saya sudah tertanam pertanda (signified) yang kurang baik untuk ‘’semi-konservatif’’’. Pada akhirnya otak saya melakukan proses signifikasi bahwa pria muslim semi-konservatif itu adalah seorang patriarki, dan itu yang saya lihat dalam diri ayah.
Ayah adalah seorang family man. Beliau selalu berupaya agar hubungannya dan hubungan seluruh anak – anaknya erat.  Betapa keeratan antar kerabat keluarga harus terjaga, bagaimanapun jua. Saya menyukai kecintaan ayah pada keluarga ini, karena saya masih berkeyakinan sekejam apapun dunia dan betapa brengseknya kita memandang hidup, keluarga adalah tempat terhangat untuk kita pulang. Dan juga, keluarga selalu menerima kita karena barangkali kau mampu untuk meninggalkan keluarga, namun keluarga tak akan pernah meninggalkan dirimu. Katanya begitu, entah kata siapa saya lupa.  
Beberapa hari tinggal di rumah Ayah saya pun harus mengikuti pola kehidupan beliau. saya memperhatikan bagaimana disini, tugas pria dan wanita telah  terpolarisasi. Pria mencari nafkah, wanita mengerjakan tugas domestik, sangat gender. Pagi sekali, sekira pukul 5, saya mendengar isteri ayah saya sudah mengerjakan pekerjaan rumah dan melakukan ‘pelayanan’ kepada suami seperti menyiapkan sarapan yakni membuat teh dan makanan ringan. Selepas ayah sarapan dan keluar rumah, istri beliau lanjut memasak nasi, mencuci piring, dan membersihkan rumah. Untung hari itu tidak ada pakaian kotor, kalau ada pasti isteri ayah pula yang mengerjakan.
Menjelang jam makan siang, isteri ayah lanjut memasak lauk pauk untuk panganan siang dan hal serupa ia lakukan pula menjelang makan malam. Terus hal ini terulang sepanjang 2 hari saya menginap di rumah ayah dan hari – hari selanjutnya saat saya memilih menginap lagi.
Yang cukup aneh bagi saya adalah saat kami melakukan makan malam bersama. Sembari makan dan menyaksikan berita di Tv One (kanal tv favourit ayah), ayah meminta istrinya untuk mengambilkan air minum. Padahal saat itu sang istri juga sedang menikmati santapnya. Berhubung karena ia dipinta mengambil air, maka ia pun menghentikan makan dan lekas mengambil air. Bagi saya hal tersebut sangat aneh dan saya tidak bisa menerima hal tersebut. siapa yang minum siapa yang mengambil. Mungkin saya dapat maklum bila ayah minta di ambilkan air jika istri beliau tak melakukan apapun. Namun saat itu kondisinya semua orang sedang menikmati santap makan malam, jadi seharusnya (setidaknya bagi saya) ayah sendiri yang harus mengambil air karena ia yang perlu minum.
Lain hari lagi, saat di rumah ayah gas habis dan istri beliau akhirnya tidak bisa masak. Padahal saat itu di rumah  saya sedang lowong  dan saya pun memiliki kendaraan. Saya menawarkan diri untuk membeli gas tapi istri ayah menolak dan mengatakan tunggu ayah saja yang membeli. Dalam hati saya membatin ‘’jangan bilang karena gas berat makanya saya dilarang’’. Padahal itu hanya gas 3 kiloan dan bagi saya beban segitu tidaklah berat.
Di awal saya katakan bahwa ayah seorang muslim semi-konservatif bukan tanpa alasan. Ayah kerap memberi kami, anak – anaknya, ‘’ceramah’’ agama tentang keluarga, tentang relasi suami-istri. Ceramah ayah saya cenderung kontekstual, atau tidak mengikuti perkembangan peradaban sekarang. Saya meyakini, ajaran agama sebenarnya dinamis mengikuti perkembangan zaman. Tuhan hebat, pasti sang maha kuasa tahu bahwa manusia terus berkembang dan agama Tuhan akan terus relevan sampai manusia terakhir di bumi punah.
Ceramah ayah yang paling membekas di pikiran saya  adalah tentang relasi suami-istri. Menurut beliau, saat seorang wanita ketika telah disunting oleh seorang pria, maka wanita tersebut sepenuhnya hak suami, dibawah kontrol suami. Wanita tak diperkenankan melakukan apapun tanpa ada restu suami. Sekalipun nanti sang istri ingin bertemu orangtua, misalnya, jika suami tidak mengizinkan maka haram bagi istri untuk melakukan tidakan tersebut. Dalam hati saya jadi mengkal sendiri ‘’ enak aja, saya dilepas dari satu orang ke orang lain, memangnya saya barang apa.’’ Dengan tegas saya menolak pemahaman ini. Seolah – olah wanita itu barang yang dirawat sejak kecil kemudian suatu hari nanti akan berpindah pemilik. Wanita seakan tidak memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan. Ini jelas tidak benar.
Ayah barangkali luput, mengapa agama menyarakan agar istri meminta izin suami jika hendak melakukan sesuatu karena saat dalil tersebut diturunkan berbeda konteks dengan peradaban sekarang.  Zaman nabi memang kerap terjadi peperangan yang kerap memaksa pejuang agama mati di medan tempur, itulah sebabnya wanita saat itu diminta untuk lebih mawas diri. sekarang kondisinya berbeda, kita tidak sedang berperang. Jika wanita terus meminta izin suami untuk segala hal, kapan wanita tersebut dapat maju, mengebangkan diri, dan meningkatkan kapabilitas? Yang benar menurut saya, harus dibangun relasi kuasa yang setara antara suami-istri. Istri meminta pendapat suami dan suamipun melakukan hal serupa. Harusnya kedua pihak saling mendorong pasangannya menjadi manusia yang maju, bukan yang satu berkuasa atas pihak lain.
Kerap saya berpikir, walau barangkali orang kan berperasangka bahwa saya cacat logika. Menurut saya keputusan mama dan bapak untuk bercerai ialah pilihan yang tepat. Bukannya apa, seandainya mereka memutuskan tuk terus hidup bersama, tak dapat saya bayangkan betapa sering saya kan menyaksikan pertentangan demi pertentangan antara mereka. Dasar pemahaman saja sudah bersebrangan, bagaimana mau membangun rumah tangga sakina, mawadah, warrahmah. Selain mereka berdua nantinya tak berbahagia akan pernikahan yang dijalani juga khawatirnya anak – anak mereka dalam hal ini saya dan kakak akan mengalami efek psikologis yang menggangu kejiwaan. Yah kita tak tahu, jika seorang anak sedari  kecil kerap menyaksikan adegan perkelahian, boleh jadi besarnya kelak anak tersebut menjadi pribadi yang gemar melakukan kekerasan atau mengalami depresi mendalam.
Jangan karena saya menulis seperti ini, lantas ada yang berpikir saya membenci ayah sendiri. sungguh, jauhilah pikiran sesat tersebut. kendati saya banyak bersebrangan pemikiran dengan ayah, itu tak mengurangi setitikpun cinta dan penghormatan saya pada beliau. Cinta saya pada ayah selalu utuh, tak pernah berkurang sedikitpun.
Yha begitulah..
Samarinda, 16 Oktober 2017
Dari anak yang selalu mencitai orangtuanya, bagaimanapun jua :)
0 notes
strangeknap-blog · 7 years
Text
[BONUS] Saya, Laut, dan Perjalanan
Tumblr media
Panorama sunset WediOmbo
Tumblr media
Gelombang tinggi berkekuatan dahsyat menjelang pasang
Tumblr media
Romantisme senja
Tumblr media
Foto ala-ala di pantai Jung Wook
Tumblr media
Muhammad Rais Syam 15515061 / Teknik Kelautan ITB 2015
Tulisan ini didedikasikan untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah OS3204 Oseanografi Indonesia oleh Dr.rer.nat. Mutiara Rachmat Putri.
Fyi (for your information) makna implisit dari kata bonus tsb sebenarnya sebagai tambahan tugas blog demi mendongkrak nilai Oseanografi Indonesia (OSIN)  yang hampir mencapai nilai A hehe. Eitss, selain demi nilai, saya ingin berterima kasih kepada Bu Mutiara selaku dosen OSIN karena dengan adanya tugas ini menjadikan motivasi menulisku menjadi lebih berkobar.
Sebelumnya saya meminta maaf dikarenakan baru mengetahui info tambahan tugas dari teman dekat saya Fayed malam ini dan berhubung ada urusan mendadak pada malam itu juga, saya dapat menyelesaikannya pada Sabtu, 27 Mei 2017 pukul 21.00 WIB (± 90 menit) tentunya dengan segala kekurangannya. InsyaAllah tulisan ini akan disunting kembali maksimal 3 hari ke depan (30 Mei 2017).
Di post sebelumnya, saya bercerita mengenai perjalanan saat berada di Phuket, Thailand yang notabenenya berada di luar wilayah Indonesia.Kenapa begitu? Anti-Nasionalisme kah? Atau biar dibilang gaul dan keren? Bukan, sama sekali saya tidak bermaksud akan hal itu. Tetapi, karena memang pengalaman dan memoriku tentang laut Indonesia kurang berkesan. Alasan dibalik semua ini ialah kebetulan saya sering main ke pantai di sekitar tanah kelahiranku, Medan. Pantai di sekitar Medan berdekatan dengan Selat Malaka yang setiap harinya menjadi jalur bagi kapal-kapal raksasa untuk bongkar muatan dan tidak langsung berpapasan dengan laut lepas. Hal inilah yang menyebabkan pantai di bagian barat Medan tampak begitu kotor dengan warna air yang kecoklatan.
Alhamdulillah baru beberapa hari ini, saya mendapatkan pengalaman yang sangat berkesan mengenai kekuatan dan pesona keindahan Laut Indonesia. Ya, perjalanan ini masih bersama dengan keluarga saya di kampus yaitu Ankara (Teknik Kelautan 2015). Pada tanggal 18 Mei 2017 – 22 Mei 2017, kami ber-16 mengisi liburan semester 4 dengan pergi ke Jogjakarta menggunakan kereta api. Ke-15 orang itu ialah Ical, Fayed, Tata, Pandu, Anit, Dewinta, Hilmi, Alyaris, Alyadi, Aan, Aldo, Surya, Fava, David dan Agil. Intinya kami ingin lari sejenak dari segala kehectican dan kechaosan semester 4 yang fana haha.
Kami ber-16 menginap di guest house daerah Pugeran Timur dan menyewa mobil untuk 4 hari ke depan. Disana, kami dipandu Hilmi, teman kami yang memang orang asli Jogja dan tak lupa pula dengan itinerary yang telah kami persiapkan. Singkat cerita, pada hari ketiga di Jogja,  Minggu, 21 Mei 2017 kami sepakat untuk pergi ke salah satu pantai selatan Jawa yang terkenal dengan keganasan dan Nyi Roro Kidulnya itu. Perjalanan membutuhkan 2,5 jam perjalanan dari lokasi guest house kami.
Sesampainya di sana, saya langsung tertegun melihat keindahan panorama yang disajikan. Suara gemiricik ombak yang merdu, pasir putih bening, warna biru yang adem dan ketenangan yang disajikan begitu nikmat. ”Wediombo” ialah pantai yang kami kunjungi. Wediombo yang berarti tanah atau pasir yang luas, malah didominasi oleh gugusan bebatuan yang menghiasi sebagian besar hamparan pantai. Namun, disinilah saya melihat keunikan dan daya tarik pantai ini dengan penampakan bebatuan karangnya. Disana, kami banyak menghabiskan waktu dengan bermain air, foto ala-ala demi menunggu sunset tiba. Sungguh menyenangkan berada di sana *happyface*.
Paragraf di atas mungkin memperlihatkan pengamatan saya sebagai masyarakat awam. Namun, izinkan saya berbagi ilmu serta memberikan perspektif sebagai mahasiswa Teknik Kelautan ITB yang pastinya mendapat kesempatan lebih untuk mempelajari dan mendalami ilmu laut itu sendiri terlebih lagi laut di wilayah Indonesia.
 Berikut di bawah ini merupakan  beberapa fakta-fakta menarik mengenai kondisi Pantai Selatan Jawa :
Pesisir Selatan atau Laut Selatan Jawa yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.
Berpotensi terjadinya bencana gelombang tsunami seperti di Pangandaran Jawa Barat tahun 2006
Karakter ombak laut di pesisir selatan Pulau Jawa umumnya berenergi tinggi dengan ombak besar. Ini karena pantai berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.
Pasang surut di Pantai Selatan adalah Tipe Mixed Semidiurnal, atau cenderung semidiurnal di mana dalam sehari terjadi dua kali pasang dua kali surut dengan waktu yang berbeda.
Arus yang terbentuk sangat unik, dari arus sepanjang pantai yang kecepatannya sangat tinggi sampai dengan rip current yang mampu menenggelamkan orang yang berada di sana.
Dari beberapa fakta di atas, dapat diketahui bahwa banyaknya korban yang terseret ke tengah laut di Pantai Selatan Jawa oleh masyarakat umum selalu dikaitkan dengan legenda Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan). Namun bagi para ilmuwan ahli Teknik Kelautan (Ocean Engineering) dan Ahli Kelautan (Oceanography), fenomena tersebut — dipandang dari sudut kacamata keilmuan — ternyata ada hubungannya dengan yang disebut sebagai arus balik/arus seret(Rip Current).
Rip Current adalah arus balik yang terbentuk akibat arus datang tegak lurus garis pantai dan menemui garis pantai yang melengkung. Arus ini dapat menyeret seseorang yang sedang berenang ke tengah laut. Jika anda terjebak dalam arus ini usahakan tetap tenang dan jangan berenang melawan arus. Ikuti saja arus tersebut dan ketika sudah melemah segera berenang ke pinggir pantai dengan jalan memutar. TAMAT.
 Sumber :
http://klikgeografi.blogspot.co.id/2015/06/longshore-current-dan-rip-current.html
http://coastalenvironment.blogspot.co.id/2011/01/karakteristik-kondisi-oseanografi-dan.html
http://jogjapedia.net/wisata-pantai/pantai-wediombo-eksotisme-pantai-berbatu-karang-dan-pasir-putih/
0 notes