Tumgik
#anekahuruf
ceritasepertigamalam · 11 months
Text
Tumblr media
Aku dan Sepasang Mata Jelita 1
Satu cerita di awal musim basah beberapa warsa lalu. Pada bagian prolognya diuraikan bahwa matahari sehabis a’syar seru bermain petak umpet dengan gemawan. Semilir angin yang lalu-lalang terasa begitu menusuk tulang. Aku sedang terjabak dalam perut stasiun Bandung. Di sana aku jumpai wewajah asing berkeliaran mencari gerbong pengantar: rindu, cinta, harap, pilu, dan mungkin benci. Tak ayal, aku pun melengkapi bagian dari wewajah asing itu. 
Oh iya, kala itu aku tak sendiri, ada pemilik sepasang mata jelita yang khusyuk menemaiku bermain dengan kepulan asap kretek sambil menunggu kedatangan gerbong dua-kelas bisnis-kereta jurusan Malabar. Ia duduk di hadapanku sambil menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin sedari tadi. Tak ada patahan kata yang tertutur meramaikan kebersamaan kami, hanya hembusan nafas dan detak jantung kami yang mungkin berbincang satu sama lain.
Sekejap saja matahari lolos dari kejaran awan, seberkas sinarnya menyentuh wajah pemilik sepasang mata jelita yang masih tetap duduk di hadapanku hingga menjadikannya bercahaya. “Cantik!” Batinku bergumam. Tertegunlah aku dalam fenomena langka tersebut. Hebatnya, pemilik sepasanga mata jelita itu jeli menangkap ketertegunanku. Ia rekahan senyum khas di bibir merah tak berpoles itu. Duh...Makin tak karuan jadinya batinku.
Matahari berhasil ditangkap gemawan lagi. Hawa dingin makin menusuk pori-pori. Keretaku terlambat 10 menit dari jadwal keberangkatan. Detik berlari menjadi menit, sedang aku, tak berkuasa menahan sejenak laju langkahnya. Detik begitu taat pada titah-Nya, hingga bagaimana pun aku memelas untuk berhenti, ia tetap teguh melangkah membulatkan satuan demi satuan waktu.
Gerbongku tiba. Aku dan pemilik sepasang mata jelita menerobos lautan manusia yang memburu kedatangan gerbong untuk membawa: rindu, cinta, harap, pilu, dan mungkin benci.
Ah… di mulut pintu gerbong yang baru saja kami masuki, pemilik sepasang mata jelita dan aku berpandangan lebih dalam. Lambat-laun gundah singgah menggelayuti hati. Mata jelitanya berkaca lagi menambah sembab sisa semalam. Butiran gerimis hangat lumer dari pelupuk matanya, telah menjelma menjadi duri tajam yang menancap dalam sukma. Perih... Aku ini lelaki biasa yang tak mudah menjatuhkan airmata, walau sejatinya nuraniku telah menjadi samudra.
Aku memberanikan diri meraih jemarinya lalu kukecup cincin sederhana yang melingkari jari manisnya. Ia meringsek dalam dekapku sambil menumpahkan sesak yang tersembunyi dalam dada. Aku luluh… lenganku melingkari tubuhnya. Aroma Body shop di tubuhnya merasuk dalam paru-paru lalu menyebar ke setiap jariangan otakku serupa neurotoksin buatku lumpuh.
Gerbongku menjerit; saat yang menyesakkan pun tiba. Gerimis di matanya meledak lebat. Sedu juga sedan menyerang. Ia makin kencang mendekapiku. “Kau tahu bahwa nuraniku telah menjadi samudra yang dalam….”  Sekuat daya aku tetap tersenyum walau getir. Ingin aku tularkan ketegaran yang kupaksa walau tak seperti karang atau pantai yang tak keram diciumi ombak.
Lagi, gerbongku menjerit. Aku mencengkram lembut bahunya. Tidak sekalipun aku seka bebutir gerimis di pipinya yang ranum. Biar gerimis itu jatuh tak bersisa dan langkah ini pun kemudian menjadi ringan. Aku mengecup keningnya. Ia perlahan melepaskan dekapannya meski dengan payah.
Gerbongku mulanya bergerak lambat, lalu bertahap menyesuaikan irama. Gerimis tak lagi turun dari mata jelitanya. Gerimis serentak terjun dari langit mendung-penghujung a’syar. Terlihat lambaiannya telah menjadi titik dan hilang dari pandangan….
Yogyakarta, 06/08/18 06.40am
Jururoom
1 note · View note
ceritasepertigamalam · 11 months
Text
Tumblr media
#Kilas Kedua Yogyakarta, 2010
Di Arupadhatu pagi itu, sisa-sisa hujan masih berserakan sehingga aku perlu menata setiap langkah saat berjalan mengitari puncak tertinggi candi borobudur. Dari timur tampak matahari merangkak naik sembari membagikan kehangatan dari cela awan, tapi hawa dingin yang beredar masih menguasai.
Sesekali langakah kuhentikan untuk menangkap gambar dengan kamera inventaris hima yang kubawa. Ya, pada saat itu aku tengah bertugas sebagai salah satu tim dokumentasi kegiatan study tours mahasiswa baru Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unpas Bandung.
Aku mengamati secara saksama hasil gambar yang kutangkap, tak jarang aku harus mengambil ulang gambar jika terasa kurang estetik. Saat aku hendak mengambil gambar lainnya, pundakku ditepuk sontak aku menoleh dan menemukan Lutfi. Ia menanyakan proges pengambilan gambar bagianku dan memintaku untuk bertukar posisi dengan tim dokumentasi lain yang masih ada di bawah jika sudah memenuhi kuota. Aku mengkofirmasi butuh beberapa gambar lagi sebelum turun.
Topik pembicaraanku dengan Lutfi sedikit berubah, ia menceritakan mitos Kunto Bimo, yang konon katanya masyarakat di sekitar candi borobudur ini meyakini siapa saja yang merogoh stupa berongga di pelataran candi paling atas ini serta mampu menyentuh bagian tertentu dari tubuh arca Kunto Bimo di dalamnya, ia akan mendapat keberuntungan lalu apa pun yang diinginkan akan terkabul.
Ada yang menyebutkan jika pria harus bisa menyentuh bagian jari manis atau jari kelingking dari arca Buddha yang ada di dalam stupa. Sedangkan perempuan harus bisa memegang bagian telapak kaki, tumit, atau ibu jari kaki. Entahlah... aku tak begitu menanggpinya.
Setelah pembicaraan ringan dengan Lutfi, aku melanjutkan mengambil beberpa gambar sebelum turun sementara Lutfi mencari tim lain. Di salah satu arca langkahku terhenti sambil mengejek hati, aku mencoba merogoh stupa. Saat telunjukku dengan payah berupaya menggapai jari arca, aku dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang akan melintas. Ia pun terkejut dan menghentikan langkahnya. Kali kedua aku berjumpa dengan pemilik sepasang mata jelita tanpa rencana.
Aku segera menarik tanganku dari rongga stupa dan menggaruk kepala yang tak gatal, dengan sedikit tertunduk kutangkap segaris senyum mengembang darinya; lidahku kelu untuk menyapa. Rangkaian huruf pecah-berlari dari bentuk kata. Hingga akhir aku hanya mampu melambai kepadanya dan ia membalas lambaianku.
Gerimis yang tiba-tiba mengepung membuat pemilik sepasang mata jelita itu mengeluarkan payung ungu untuk melindungi diri, sedangkan aku segera menarik jaket untuk menutupi kepala dan memberikan ruang perlindungan untuk kamera yang kubawa. Masih tanpa kata, ia sempat menawarkan untuk berbagi perlindungan di bawah payung ungu miliknya dengan sedikit menyodorkan payung ungu ke arahku, tapi aku menolaknya dengan gelengan ringan. Aku dan pemilik sepasang mata jelita mufakat untuk berpisah ke arah berlawanan.
Ada yang memaksaku untuk menghentikan langkah lalu menoleh ke arahnya padahal baru beberapa langkah cepat kuayunkan. Rupanya Ia belum beranjak sejengkalpun, kali ini giliran ia yang melambai ke arahku, tampak pula rekahan senyum yang kembali mengembang di bawah payung ungu miliknya. Ia berbalik dan berlalu pergi. Begitupun aku.
...Seperti mendung datang sebelum hujan, perjumpaan singkat itu memberi tanda....
Yogyakarta, 06/02/10
Jururoom
1 note · View note