Tumgik
#cara masuk manajemen artis 2019
11suardi · 2 years
Text
Fenomena Menjadi Artis Secara Instant
Fenomena Menjadi Artis Secara Instant
Fenomena Menjadi Artis Secara Instant – Diantara semua cita-cita dan harapan, cita-cita menjadi Artis terkenal atau secara modern disebut sebagai superstar, tergolong cita-cita yang unik namun wajar di kalangan orang muda. Hal ini umum dan wajar karena orang muda adalah masa di mana seseorang mencoba menjadi jati dirinya. Beberapa mencoba menjadi bintang dengan cara yang biasa saja, dalam arti…
View On WordPress
0 notes
akbarnashar · 6 years
Text
Memaksa Lupa, Dipaksa Ingat. #4khir
Ini adalah akhir dari kesambatanku (keluhanku). Masuk di fase yang menurutku sangat menbahagiakan bercampur menyedihkan dan penuh rasa haru. Hari ini aku menjadi mahasiswa dengan status pekerja juga. Bahkan aku tinggalkan perkuliahanku untuk pekerjaanku yang satu ini. Memang ini adalah pekerjaan yang hanya beberpa bulan saja kontraknya, namun secara hitung-hitungan materi, ini sangat menjanjikan sekali, bahkan lebih dari sekadar cukup.
Aku bekerja di salah satu kantor lembaga survey dan konsultan politik di Jakarta. Memasuki tahun politik memang pekerjaan macam ini terbuka cukup lebar. Proses awal melamar sampai akhirnya diwawancara dan lolos adalah proses yang cukup panjang, memakan waktu kurang-lebih setengah tahun. Penantian yang cukup panjang untuk sebuah pekerjaan seperti ini. Lalu apa yang aku kerjakan? Sederhananya aku bekerja seperti manajemen artis bekerja. Contoh, Sheila on 7 punya manajemen yang mengatur segala hal, mulai dari honor, jadwal, endorse, iklan, undangan, dsb. Nah, bedanya ini terjadi di dunia politik, dan yang menjadi ‘artis’ adalah seorang caleg. Aku bertugas mencarikan titik dimana dia harus datang untuk sosialisasi, merekrut relwan, memastikan mereka bekerja dengan baik, mendistribusikan alat peraga kampanye ke daerah, mengatur jadwal dia untuk datang ke DAPIL (Daerah Pemilihan), memesankan tiket dan hotel, menggaji relawan dan anggota tim lainnya, membuat pengajuan anggaran, membuat laporan kegiatan, dsb. Dalam satu minggu, kami biasanya turun ke lapangan selama empat hari. Aku punya waktu tiga hari di rumah, untuk istirahat? Tentu bukan. Karena aku harus membuat laporan kegiatan sebelumnya dan setelah itu selesai, membuat pengajuan lagi untuk kegiatan di minggu berikutnya. Tiga hari yang aku punya, semua terisi oleh pekerjaan yang tak pernah habis. Belum lagi jika sudah waktunya relawan mendapat gaji, aku harus mengurus administrasinya dan membayarnya satu-satu. Tujuh hari dan dua puluh empat jam rasanya tak cukup.
Tekanan dari atasan dan tekanan dari teman-teman di bawah membuatku setres. Jujur saja, bahkan untuk sholat pun aku tak bisa sisihkan waktu. Sebenarnya bukan karena sesibuk itu, tapi ketika bekerja aku seolah lupa segalanya, termasuk makan. Aku merasa seperti robot yang tak henti bekerja. Aku memang mendapat bayaran yang cukup hesar, namun rasanya aku tak punya waktu untuk menikmatinya. Ada kalanya ketika aku punya waktu senggang, namun tetap saja seperti ada yang kurang. Hampa. Memiliki banyak harta nyatanya tetap bisa hampa. Sampai aku berqda pada titik terendah kejiwaanku, yang membuat semua hal menjadi sangat personal. Aku menangis di bawah bantal; kuluapkan semua kekesalanku; berteriak sekencangnya (meski tertahan bantal), rasanya semua beban ada padaku. Sejujurnya aku sangat setres kala itu. Saaangat saangat setres. Sampai tubuhku lemas dan aku tak tahu apa yang harus ku lakukan. Dan seperti yang sempat ku sampaikan di awal, semesta menggariskan takdirnya untukku membuka video dari Siti Nurhaliza. Ketika mendengar ia bernyangi, aku termenung. Entah perasaan apa yang datang secara tiba-tiba itu. Semua perjalanan hidupku terputar dengan sendirinya. Cikijing, Bandung, Panas, Hujan, Sepi, Kerupuk, Susah, Melarat, Miskin, Bangkit, Katering, Dagang, dan kini. Hatiku rasa tersayat. Air mataku mengalir, dan segera ku sibakkan dengan bajuku. Aku tutup video itu. Aku kembali merenung.
Mulai sore itu aku semakin sering membuka video-video lama Siti Nurhaliza. Setiap saat rasanya aku sangat ingin mengingat romantisme dan jalan yang tlah ku lalaui hingga seperti ini. Sampai pada sebuah video tentang perjalanan karir Siti Nurhaliza dari awal hinggak menjadi bintang besar. Berasal dari kampung, seorang pemalu, suka olahraga, dan terpaksa menjual kue buatan ibunya dengan malu-malu. Aku seperti masuk ke dalam ceritanya. Aku merasa bahwa itu pun pernah aku lalui. Aku merasa cerita dia adalah ceritaku juga. Dia punya tekad besar untuk menjadi seorang penyanyi hebat, dan dia punya prinsip yang kuat. Satu hal lagi yang membuatnya menjadi bintang besar adalah soal tata krama. Dia adalah wanita yang memegang teguh nilai-nilai leluhur, karena ia dibesarkan di sebuah desa, yang memandang segala kebiasaan orang di kota adalah tabu. Setiap orang yang dimintai pendapat soal dirinya pasti mengatakan bahwa dia adalah wanita yang sangat baik hatinya, sangat sopan dan tak pernah nampakkan sedikitpun kesombongan, apalagi sampai lupa pada kampung halamannya.
Cerita-cerita itu membawaku pada pikiran: sudah sejauh ini aku hidup, sebenarnya apa yang aku cari? Uang? Ketika sudah ku dapatkan uang lantas apa? Aku lupa bersyukur dan aku semakin jauh dengan Tuhan. Sholat sering terlewat dan aku lalaikan. Ibadah lainnya tak ku hiraukan. Sudah sangat jarang mendengarkan nasehat dari para pemuka agama. Aku jauh dari agama dan aku jauh dari Tuhan. Aku harus akui aku hanya dekat dengan uang, uang, dan duniawi. Kesadaran itu yang akhirnya mengantarkanku pada tempat persujudan yang telah lama aku tinggalkan. Jika pun tak ku tinggalkan, aku hanya sekadar menyentuhnya lalu pergi tanpa meninggalkan jejak. Malam itu, menjelang dini hari aku tersimpuh memohon ampun seraya melaksanakan sholat isya yang terlambat. Di sujud terkahirku aku tak mampu bangkit. Air mata mengalur sangat deras dan tak tertahankan. Semakin keras aku coba menahan, semakin sakit tenggorokanku rasanya. Akhirnya aku pasrah. Dalam sujudku, ku pasrahkan semua jiwa dan ragaku, terserah mau dibagaimanakan manusia hina ini oleh Tuhan. Namun lagi-lagi, yang aku rasa Tuhan sedang mengelus kepalaku sembari mendengar keluh-kesah dan kesaksian atas segala kesalahanku. Sujudku malam itu adalah sujud terlamaku. Aku tak mau bangkit cepat-cepat. Aku masih mau Tuhan mengelusku dengan penuh cinta, agar aku tenang, agar gelisahku hilang. Akan tetapi sampai selesai sholatku, air mata tak berhenti mengalir, dari situ pula aku memohon ampun pada Tuhan atas segala kesombonganku dan kelalaianku.
Tuhan menegurku dengan memutar kembali ingatanku lewat Siti Nurhaliza. Sebetulnya, bukan aku sangat cinta Siti Nurhaliza seperti cintanga milenial pada Lee Jong Suk. Aku hanya menganggap bahwa Tuhan menegurku dengan cara yang sangat hebat dan tak disangka. Lewat lagu aku menangis. Lewat orang lain aku bisa menangis mengingat Tuhan.
Dan perjalananku yang baru, segera dimulai. Mengingat Tuhan dalam setiap tarikan nafas adalah sebuah kewajiban. Melibatkan Tuhan dalam setiap kegelisahan dan kegembiraan adalah keharusan. Dan jika aku boleh jujur, selama dua pekan ini aku kerap menangis oleh hal-hal yang sebenarnya tak terlalu menyentuh. Namun rasanya air mata ini terlalu mudah untuk mengalir. Aku percaya, Tuhan sedang memberiku program untuk membersihkan hatiku dari kebusukan-kebusukan yang telah membatu. Semoga hatiku belum mati dan belum terkunci. Semoga Tuhan benar-benar memberiku kesempatan untuk bisa memperbaiki diri dan tujuan hidup. Dengan segala kerendahan hati, aku ingin bersaksi, bahwa aku terlalu lemah untuk tidak meminta bantuan dan bimbingan Tuhan dalam menjalani kehidupanku. Semoga apa yang ku tulis menjadi kisah yang bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Dan semoga tujuan hidupku tidak melenceng kepada hal-hal yang tak Tuhan izinkan. Aamiin.
Satu hal yang sejauh ini aku pahami, ternyata semakin aku memaksa melupakan memori tentang masa lalu, aku semakin dipaksa untuk ingat. Nikmati segalanya sebagai proses memperbaiki diri. Tuhan akan mengangkat derajat manusia yang mau terus-menerus belajar dan memperbaiki diri.
Cikijing, 10 Februari 2019
Akbar.
0 notes