Tumgik
#dan bernegara. Hak Angket. Hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan
widyacitraaini · 6 years
Text
KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA (TUGAS KULIAH SEMESTER 7)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak isu pembentukan pansus hak angket Dewan Perwakilan Rakyat Bank Century (BC) pertama kali didengungkan, hingga pada pasca pembentukan Pansus (4 Des.2009), banyak pihak yang merasa apriori terhadap kompetensi dan integritas pansus hak anhket Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengungkap setiap kasus yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang berdampak pada masyarakat luas salah satunya sekarang adalah skandal bailout BC sebesar Rp 6,7 triliun yang menghebohkan itu. Akibatnya telah menimbulkan huru-hara politik, dan banyak pihak yang mempertanyakan efektifitas dan eksistensi kerja pansus hak angket Dewan Perwakilan Rakyat,dan sejauh mana mampu mengungkap tuntas disetiap kasus yang diselidikinya.
Dalam kaitan itu, untuk menentukan apakah pembentukan pansus DPR tersebut efektif atau tidaknya, mampu membongkar tuntas setiap kasus yang diselidikinya hingga keakar-akamya, sesungguhnya dapat diukur dari beberapa sudut pandang obyektif. Pertama, dapat ditinjau dari substansi dan agenda kerja yang ditetapkan, serta tujuan apa yang ingin dicapai pansus hak angket Dewan Perwakilan Rakyat. Kedua konsistensi pencapaian secara periodik dari agenda kerja pansus yang ditetapkan. Ketiga, kompetensi para anggota pansus yang ditempatkan dalam setiap kasus, khususnya dalam menggali dan membuktikan fakta-fakta hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Keempat, validitas hukum yang mendasari pembentukan pansus dan apa akibat hukum yang ditimbulkannya.
Dari susdut pandang tersebut sangat menarik untuk kita diskusikan kaitannya dengan penggunaan hak angket Dewan Perwakilan rakyat yang sekarang menjadi fenomenal di madiam masa maka dalam makala ini penulis ingin mencoba membahas apa yang menjadi aspek hokum hak angket Dewan Perwakilan rakyat serta Eksistensinya dalam setiap kasus yang di selidikinya.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian singkat latar belakang diatas, dapat ditarik beberapa permasalahan yang sekaligus menjadi topik diskusi dalam hal penggunaan hak angket DPR sebagai berikut :
1. Bagaimanakah aspek hukum penggunaan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.?
2. Bagaimana eksistensi hak angket Dewan perwakilan rakyat dimasa Orde lama, Orde Baru, dan masa Reformasi sampai sekarang ?
C. Medote Yang Digunakan
Untuk mengkaji pokok permasalahan, makalah ini mempergunakan metode penelitian hukum normatif. Dengan menyesuaikan diri pada ruang lingkup dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, pendekatan yang bersifat yuridis-normatif tersebut akan dilakukan dengan mempergunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
 BAB II
PEMBAHASAN
A. Aspek Hukum Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Aspek Hukum Hak Angket dan Proses Pengguliran Hak Angket Secara normatif, keberadaan Hak Angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi : “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UndangUndang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.”
Kemudian ditegaskan lagi dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043), serta peraturan Tata Tertib DPR.
Penggunaan Hak Angket juga tidak sembarangan namun diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat. Meskipun undang-ya ini berasal dari zaman sistem pemerintahan parlementer di bawah Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, tetapi sampai sekarang masih terus digunakan. Mahkamah Konstitusi melalui putusannya tanggal 26 Maret 2004 menegaskan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 itu masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945. Dengan demikian, tidak ada keraguan apa pun bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk menggunakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1954 itu untuk melaksanakan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat.
Lebih lanjut, Pasal 77 ayat (3) UU No. 27 tahun 2009 menentukan definisi hak angket sebagai hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Tetapi, mengenai penyelidikan itu sendiri tidak didefenisikan. Apakah penyelidikan dalam pengertian dari UU No. 27 tahun 2009 sama dengan pengertian penyelidikan dalam KUHAP.
Jika usulan melaksanakan Hak Angket disetujui, Dewan Perwakilan Rakyat akan membentuk Panitia Hak Angket yang akan bekerja selama proses penyelidikan. Dalam masa itu, Panitia Hak Angket DPR dapat mengumpulkan fakta dan bukti bukan saja dari kalangan pemerintah, tetapi dari siapa saja yang dianggap perlu, termasuk mereka yang dianggap ahli mengenai masalah yang diselidiki. Mereka wajib memenuhi panggilan Panitia Angket dan menjawab semua pertanyaan dan memberikan keterangan lengkap, termasuk menyerahkan semua dokumen yang diminta, kecuali apabila penyerahan dokumen itu akan bertentangan dengan kepentingan negara. Mereka yang dipanggil namun tidak datang tanpa alasan yang sah, dapat disandera selama-lamanya seratus hari (Pasal 17 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954). Panitia Angket juga dapat meminta pengadilan agar memerintahkan pejabat yang tidak mau menyerahkan dokumen negara yang mereka minta untuk selanjutnya diserahkan kepada Panitia Hak Angket.
Karena anggota Panitia Angket itu akan bertindak sebagai seorang penyelidik, maka status mereka haruslah resmi, yakni dibentuk oleh DPR dan diumumkan dalam Berita Negara, agar diketahui oleh semua orang. Demikian pula berapa besar anggaran yang akan digunakan oleh Panitia Angket itu. Keharusan mengumumkan penggunaan Hak Angket, nama-nama anggota panitianya serta anggarannya dalam Berita Negara itu, merupakan syarat formal keabsahan Panita Angket, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 dan Pasal 181 Peraturan Tata Tertib DPR. Untuk itu, guna memenuhi syarat formal pembentukan panitia angket ini, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat harus segera menyampaikan segala hal yang terkait dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tentang penggunaan hak angket ini kepada Menteri Hukum dan HAM, agar menempatkannya di dalam Berita Negara. Menteri Hukum dan HAM tidak dapat menolak mengumumkan dalam Berita Negara itu, karena hal itu adalah kewajibannya yang diperintahkan undang-undang.
Kedudukan Panitia Angket DPR sesungguhnya sangatlah kuat bila dilihat dari sudut hukum. Dalam sistem parlementer, keberadaan panitia angket tidaklah otomatis bubar dengan pembubaran parlemen. Seperti kita pahami dalam sistem parlementer, Pardana Menteri dapat membubarkan parlemen setiap waktu dan menentukan kapan akan diselenggarakan pemilihan umum. Meskipun parlemen dibubarkan, panitia angket terus bekerja sampai terbentuknya parlemen yang baru, yang akan menentukan nasib panitia angket itu. Dalam sistem presidensial, hal ini tidak mungkin terjadi, kecuali Presiden telah berubah menjadi diktator dengan membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Suatu hal yang dapat dijadikan sebagai pegangan dari ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1954 yang relevan dengan situasi sekarang ialah, pekerjaan panitia angket tidaklah terhalang oleh adanya reses dan penutupan masa sidang.
Ketika Panitia Angket sudah menyelesaikan tugasnya, semuanya akan tergantung pada fakta-fakta dan bukti-bukti yang terungkap selama penyelidikan dan tergantung pula pada analisis Panitia Angket terhadap fakta-fakta dan bukti-bukti yang berhasil diungkapkan. Kalau semua yang terungkap disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah sekitar masalah yang diangkat, menguntungkan rakyat, dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Pemerintah tentu aman-aman saja. Laporan Panitia Angket kepada rapat paripurna yang diterima oleh fraksi-fraksi dan disahkan DPR, selanjutnya diserahkan kepada Presiden. Presiden akan dengan senang hati menerima hasil angket DPR yang ternyata membenarkan segala kebijakan yang ditempuh Pemerintah. Ini sekaligus berarti DPR telah keliru mengasumsikan sesuatu, yang setelah diselidiki ternyata tidak benar.
Jika penyelidikan yang dilakukan Panitia Angket menyimpulkan telah terjadi kebijakan yang merugikan negara, merugikan rakyat serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apalagi melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, laporan Panitia Angket harus disampaikan ke rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendengarkan pendapat fraksi-fraksi sebelum laporan itu diputuskan untuk diterima atau ditolak, baik secara aklamasi maupun melalui pemungutan suara. Keputusan DPR tersebut disampaikan kepada Presiden. Selanjutnya DPR dapat menindaklanjuti keputusan itu sesuai kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 182 Peraturan Tata Tertib DPR).
Tindak lanjut atas keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tentang penggunaan hak angket diatur dalam Pasal 184 ayat (1a) ialah menyampaikan “Hak Menyatakan Pendapat” atas keputusan hasil penyelidikan melalui penggunaan hak angket, atau langsung menggunakan ketentuan Pasal 184 ayat (1b) yakni Hak Menyatakan Pendapat untuk menduga bahwa “Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Penggunaan ketentuan pasal ini - yang merupakan ketentuan yang bersumber dari ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 - memang sangat serius. Ketentuan inilah yang dikenal dengan istilah “impeachment” terhadap Presiden.
Ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 di atas belum pernah ada praktiknya dalam sejarah ketatanegaraan kita. Kalau pendapat DPR bahwa benar hal itu terjadi, maka Mahkamah Konstitusilah yang harus memutuskan apakah pendapat DPR itu terbukti atau tidak. Kalau MK memutuskan memang terbukti, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR (Pasal 7B ayat 5 UUD 1945 jo Pasal 190 Peraturan Tata Tertib DPR. Sejarah Indonesia mencatat dua kali sidang istimewa MPRS dan MPR yang terjadi pada masa Presiden Sukarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Dan keduanya adalah presiden yang menjadi korban hak angket, karena harus dipaksa turun dari jabatanya sebelum masa kepemimpinannya berakhir.
B. Eksistensi Penggunaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Masa Orde Lama, Orde Baru Dan Era Refomsi Sampai Sakarang
1. Orde Lama
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, hak angket digunakan kali pertama pada 1950-an. Berawal dari usul resolusi RM Margono Djojohadikusumo agar Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan angket atas usaha pemerintah memperoleh dan cara mempergunakan devisa. Maka kemudian dibentuklah Panitia Angket beranggotakan 13 orang, diketuai Margono, yang tugasnya menyelidiki untung-rugi mempertahankan devisen-regime berdasar Undang-Undang Pengawasan Devisen 1940 dan perubahan-perubahannya.
Panitia Angket pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo-I (30 Juli 1953-12 Agustus 1955) ini mula-mula diberi waktu enam bulan, tetapi kemudian diperpanjang dua kali dan menyelesaikan tugasnya pada Maret 1956 pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-24 Maret 1956). Sayang, hasil kerja tim bersamaan dengan terbentuknya kabinet hasil Pemilu 1955 (Kabinet Ali Sastroamidjojo-II) itu nasibnya tidak jelas.
2. Masa Orde Baru
Meskipun pada masa Orde Baru, parlemen praktis dikuasai Golkar sebagai fraksi penopang pemerintah, usul penggunaan hak angket sempat lolos masuk dalam sidang pleno Dewan Perwakilan Rakyat 7 Juli 1980. Sebanyak 20 anggota DPR (14 dari FPDI dan 6 dari FPP) menandatangani usul penggunaan hak angket yang kemudian diserahkan R Santoso Danuseputro (FPDI) dan HM Syarkawie Basri (FPP) kepada Ketua DPR kala itu, Daryatmo, pada 5 Juli.
Para pengusul angket tidak puas atas jawaban Presiden Soeharto menyangkut kasus H Thahir dan Pertamina yang disampaikan Mensesneg Sudharmono dalam sidang pleno Dewan Perwakilan Rakyat 21 Juli 1980, menanggapi interpelasi atau hak bertanya yang uniknya dilakukan tujuh anggota FKP sendiri. Dalam usul angket tentang Pertamina tersebut dicantumkan rencana pembentukan Panitia Angket yang terdiri atas 14 orang dengan 24 anggota pengganti, plus sejumlah tenaga ahli yang khusus dipekerjakan untuk itu, dengan anggaran waktu itu sebesar Rp 108 juta. Panitia angket diprogramkan bekerja selama satu tahun, dan setiap bulan bersidang sedikitnya empat kali dan sebanyaknya delapan kali. Jadi dalam satu tahun mereka bersidang hingga sekitar 75 kali.
Reaksi keras pun muncul, terutama dari kalangan anggota FKP dan Fraksi ABRI yang menyoal perlunya menggunakan hak angket. Nasib selanjutnya pun sangat jelas: hak angket ditolak. Angket mentok di sidang pleno DPR. Setelah itu, hak ini nyaris tak pernah terdengar lagi gaungnya hingga rezim Orde Baru tumbang pada 1998.
3. Masa Reformasi (1998-sekarang)
Pascareformasi, penggunaan hak angket kembali digulirkan. Itu terjadi ketika Dewan Perwakilan Rakyat mencium keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam penyalahgunaan uang Yayasan Dana Kesejahteraan (Yanatera) Bulog. Hak angket digunakan untuk menyelidiki penyelewengan dana Bulog serta bantuan dana dari Sultan Brunei atau yang lebih dikenal dengan istilah Buloggate dan Bruneigate.
Tidak seperti sebelumnya, hak angket yang dipicu keluarnya memorandum Gus Dur untuk membubarkan parlemen itu berujung pada impeachment presiden.
Pada periode pertama masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hak angket pernah dicoba digulirkan atas sejumlah kasus. Di antaranya menyangkut kenaikan harga BBM yang mengundang reaksi mahasiswa, masalah impor beras 2006, penyelenggaraan ibadah haji 2008, dan ruwetnya daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2009. Namun, usaha tersebut hanya menghasilkan keputusan normatif.
Dalam pidato di depan Sidang Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2009-2010, pertengahan Agustus lalu Ketua DPR HR Agung Laksono mengaku DPR masih terus berusaha untuk menuntaskan beberapa hak DPR yang sedang dalam proses. Di antaranya menuntaskan hak angket menyangkut penyelenggaraan ibadah haji 1429H/2008, hak angket DPT, dan hak angket menyangkut kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM.
pada Hak Angket Century, Belajar dari kasus-kasus sebelumnya, hak angket nampak hanya menjadi sebuah keputusan normatif tanpa ada solusi yang dapat diberikan. Padahal peraturan Tata Tertib DPR menegaskan, hak angket digunakan untuk menyelidiki "kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan".
Sehubungan dengan skandal Bank Century, kebijakan pemerintah "menyelamatkan" Bank Century dengan sendirinya dapat menjadi objek Hak Angket DPR karena berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apalagi kebijakan itu juga berkaitan dengan keuangan negara. Namun, apakah kebijakan itu benar-benar bertentangan dengan Undang-Uundang sebagaimana dugaan DPR, inilah yang harus "dibuktikan" melalui penggunaan hak angket itu.
Carut marut pengucuran dana talangan Bank Century yang menyeret keterlibatan beberapa pejabat negara, seperti gubernur BI dan Menkeu, mendorong sejumlah anggota Dewan menggulirkan hak angket untuk mengurai benang kusut tersebut. Penting bagi Dewan Perwakilan Rakyat menggali keterangan ahli dan semua pihak terkait dengan aliran dana dan masalah lainnya yang terkait dengan "penyelamatan" Bank Century. Dengan memakai hak angket, diharapkan ada konklusi yang lebih objektif, bukan asal kritis. Sebab, orientasi angket menyelidiki dan mencari solusi. Yang ingin diketahui Dewan Perwakilan Rakyat bukan sebatas mendengar apologi pemerintah, melainkan menguak lebih jauh ada apa sebenarnya dibalik kebijakan pemerintah terhadap pengawasan bank-bank selama ini.
Hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyangkut Bank Century dapat digunakan (atau tidak digunakan) oleh panitia angket Dewan Perwakilan Rakyat. Nantinya, Dewan Perwakilan Rakyat dapat saja berpendapat lain dengan BPK. Dengan kata lain, bila hasil audit BPK berkesimpulan aliran dana pemerintah ke Bank Century sudah sesuai dengan prosedur, kesimpulan itu dapat dikesampingkan oleh DPR. Apalagi Wapres Boediono memiliki peran terkait pencairan dana Rp 6,7 triliun saat dirinya menjadi Gubernur BI. Pada titik inilah kehadiran Panitia Hak Angket DPR untuk menguak persoalan seputar penyelamatan Bank Century menjadi amat penting dilakukan.
Persoalan Bank Century menjadi semakin menarik sejak 138 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi menyerahkan usulan hak angket kepada pimpinan DPR (12/11/2009). Jumlah anggota yang menandatangani usulan tersebut dikabarkan terus bertambah.
Wapres Boediono, yang namanya terseret dalam kasus ini, pernah menyatakan bahwa penggunaan angket adalah hal yang wajar dalam sistem demokrasi (13/11/2009). Maka banyak pihak berharap Hak Angket DPR untuk kasus Century berhasil dilaksanakan, tidak kempis di tengah jalan seperti penggunaan hak angket pada masa sebelumnya. Modal kejujuran dan kesungguhan perlu untuk dipegang oleh DPR selaku pemilik Hak Angket.
 BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Aspek hukum hak angket Dewan Perwakilan Rakyat, terlihat jelas Secara normatif, bahwa hak angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 kemudian ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta Peraturan Tata tertib DPR. Sedangakan Undang-undang yang mengatur penggunaan hak angket ialah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket DPR. Walaupun Undang-undang ini berasal dari zaman sistem pemerintahan parlementer di bawah UUD Sementara Tahun 1950, tetapi sampai sekarang belum pernah dicabut. Dengan demikian, tidak ada keraguan apa pun bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk menggunakan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perungang-undangan yang disebutkan diatas termasuk Undang-ndang Nomor 6 Tahun 1954 itu untuk menggunakan hak angket hak angket DPR.
2. Eksistensi penggunaan hak angket dari masa orde lama,orde baru dan masa transisi ( reformasi ),bisa dikatakan masih eksis sampai sekarang walaupun dalam setiap keputusan hanyalah berpandangan yang normative saja sehingga dari masa orde lama samapai masa reformasi keberadaan hak angket masih dibutuhkan kerja kerja keras bagi DPR dalam setiap mengusut tuntas kasus yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat berdampak luas pembangunan negara indonesia.
B. Saran
Diharapkan Adanya kerja keras seluruh lembaga Negara Untuk memperbaiki praktik ketatanegaraan ke depan, khusunya anggota DPR yang akan menggunakan hak angket perlu mengubah cara yang ditempuh selama ini. Salah satu caranya, mengelaborasi secara mendalam tentang makna "kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan". Kalau itu bisa dilakukan, upaya setiap pengusul hak angket akan semakin mendapat tempat di mata publik.
2 notes · View notes
strippesdagger-blog · 7 years
Text
Pansus KPK vs DPR dalam Pendekatan Ilmu Politik
A.      Rumusan Masalah
Seperti yang kita ketahui, KPK dan DPR kini sedang bermasalah. Masalah yang tidak kunjung usai tersebut sudah menyita banyak perhatian publik. Pusat dari masalah tersebut adalah pengajuan hak angket oleh DPR. Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat adalah sebuah hak untuk melakukan penyelidikan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) yang memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dalam kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Banyak yang berpendapat bahwa pengajuan angket tersebut dikarenakan oleh paniknya beberapa anggota DPR karna namanya disebut-sebut dalam kasus korupsi e-KTP karena Pansus Angket KPK ini muncul bersamaan saat lembaga antikorupsi itu menangani kasus korupsi e-KTP.
DPR yang sejatinya perpanjangan tangan rakyat ini pun membuat Pansus Angket KPK, untuk mempertanyakan kewenangan lembaga antirasuah itu yang dianggap melebihi kewenangannya.
Sebagian besar masyarakat bereaksi. Mereka menentang keberadaan Pansus Angket KPK, yang dianggap berpotensi melemahkan lembaga antikorupsi itu. Di lain pihak menilai DPR punya hak angket melakukan itu.
Kedua lembaga tinggi negara ini saling berkeras hati dengan dalih masing-masing. DPR mengaku memanggil KPK karena punya hak angket, yang mengacu pada UU MD3.
Sedangkan, KPK menilai keberadaan Pansus Angket tak berdasar dan justru hanya berniat melemahkan lembaga antikorupsi menangani kasus korupsi. Kini, Pansus mulai bekerja dengan mendatangi narapidana kasus korupsi di beberapa lembaga pemasyarakatan.
B.      Pertanyaan
Apakah kasus DPR vs KPK ini dapat di kaitkan dengan pendekatan-pendekatan ilmu politik?
 C.      Pembahasan
Dalam kajian ilmu politik terdapat pendekatan pendekatan yang dapat di kaitkan terhadap masalah politik yang ada. Berikut adalah kaitan kasus DPR vs KPK dengan pendekatan-pendekatan ilmu politik.
1.      Pendekatan Legal/Institusional/Tradisional
Pendekatan ini membahas negara sebagai fokus utamanya, yaitu hal yuridis dan konstitusional. Pendekatan ini juga membahas tentang lembaga-lembaga negara. Dalam kasus ini, kedua bahasan itu tercakup didalamnya.
2.      Pendekatan Perilaku
Dalam pendekatan ini, sebenarnya dapat di kaitkan dalam kasus DPR vs KPK karna pemikiran ini tidak hanya mencakup individu tetapi juga organisasi kemasyarakatan, kelompok elite, gerakan ansional, atau suatu masyarakat politik. Tetapi yang memperlemah pendekatan ini adalah pendektan ini beranggapan bahwa lembaga-lembaga formal dianggap tidak begitu relevan untuk dibahas, sedangkan pada kasus ini yang dibahas didalamnya adalah lembaga formal yaitu DPR dan KPK.
 3.      Pendekatan Pasca Perilaku
Pendekatan ini berusaha mengadakan penelitian yang empiris dan kuantitatif, tetap itu hanya membuat ilmu politik terlalu abstrak dan tidak relevan terhadap masalah sosial. Sedangkan pendekatan ini sangat mengutamakan relevansi. Karna itu membuat politik tidak dapat bersentuhan dengan realitas sosial yang membuat pendekatan ini tidak sesuai dengan kasus ini.
 4.      Pendekatan Neo-Marxis
Pendekatan ini menekankan pada konflik yang terjadi pada negara dan konflik kelas. Pendekatan Neo-Marxis menganggap bahwa konflik lain akan mendorong perubahan dalam masyarakat. Kasus DPR vs KPK ini sangat mendapat perhatian masyarakat dan pastinya akan mendorong perubahan dalam masyarakat.
 5.      Pendekatan Ketergantungan
Pendekatan ini masih percaya bahwa masih adanya dominasi yang kuat di bidang ekonomi antara negara kaya dan miskin. Pendekatan ini terlalu bersifat internasional dan tidak cocok dengan kasus KPK vs DPR.
 6.      Pendekatan Pilihan Rasional
Pendekatan pilihan rasional mempelajari bagaimana lembaga membatasi berbagai interaksi aktor-aktornya. Pendekatan ini sangat cocok dengan kasus KPK vs DPR karna di kasus ini terdapat aktor yang terbatasi oleh lembaga yaitu anggota DPR.
 7.      Pendekatan Institusionalisme Baru (New Institutionalism)
Pendekatan ini mempunyai 5 kajian yang mencakup hampir segala aspek dalam pemerintahan. Karna luasnya cakupan itu membuat pendekatan ini sangat berkaitan dengan kasus ini.
D.     Kesimpulan
Dapat di simpulkan bahwa tidak semua pendekatan dapat dikaitkan dalam satu kasus. Setiap pendekatan mempunyai kajian masing masing yang berbeda yang membuat ilmu politik lebih beragam.
E. Daftar Pustaka 
https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_Angket_Dewan_Perwakilan_Rakyat
(http://www.tribunnews.com/nasional/2017/09/10/pansus-angket-kpk-dibentuk-karena-anggota-dpr-kaget-namanya-disebut-terlibat-korupsi-e-ktp
http://news.liputan6.com/read/3015174/kpk-vs-pansus-hak-angket
0 notes
rumahinjectssh · 7 years
Text
OPINI : Dibalik Keluarnya Gerindra Dari Pansus Hak Angket KPK Ada Kepentingan Kepentingan Apa ?? - FROM RUMAHINJECT
WARTABALI.NET - Fraksi Partai Gerindra secara mengejutkan keluar dari keanggotaan Pansus Angket KPK. Pada awal pembahaasn, partai besutan Prabowo Subianto ini menolak pembentukan Pansus, akan tetapi kemudian memutuskan mengirimkan perwakilan. Sejak disahkan pembentukannya, tujuh fraksi mengirimkan perwakilannya ke pansus, termasuk Gerindra. Partai ini juga rajin mengirimkan wakil pada sejumlah rapat Pansus. Oleh karena itu, keluarnya Gerindra mengundang sejumlah tanya.
Secara formal, Gerindra menilai pembentukan pansus bermasalah. Partai berlambang Garuda ini menilai pembentukan Pansus tidak memenuhi syarat yang sesuai dengan Tatib (tata tertib) DPR dan Undang-undang MD3. Pasal 79 ayat (3) UU MD3 berbunyi, adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. KPK mempertanyakan keabsahan Panitia Khusus Hak Angket terhadap KPK bentukan DPR. Lima pegawai KPK pun menggugat keputusan tersebut ke Mahkamah Konsitusi. Alasan lainnya adalah kerap diadakan agenda dadakan dengan tujuan kurang logis. Misalnya, soal keberangkatan Pansus ke lembaga pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Dengan meminta keterangan kepada koruptor, Gerindra mengendus ada sinyalemen melemahkan KPK. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon secara terbuka menyebut sejauh ini kerja Pansus Angket KPK belum menemukan bukti yang signifikan. Hal itu, menurut Fadli, juga menjadi alasan bagi partainya untuk keluar dari Pansus. Untuk apa? Secara umum, keluarnya Gerindra tak akan mempengaruhi kinerja Pansus. Pasalnya, meskipun ditinggal Gerindra, Pansus tetap kuorum dan sudah disahkan dalam rapat paripurna DPR. Lantas apa kepentingannya? Tak bisa dipungkiri bahwa politik adalah permainan. Dalam hal ini, tentu ada perhitungan yang matang mengapa Gerindra harus keluar dari Pansus KPK. Sampai hari ini, masyarakat cenderung lebih membela KPK ketimbang percaya kepada anggota DPR. Fakta ini penting dijadikan pertimbangan untuk pencitraan partai. Apalagi Pemilu tinggal setahun lagi. Gerindra tampak ingin mengidentikkan sebagai partai antikorupsi. Kedua, gencarnya opini yang berkembang di masyarakat bahwa Pansus KPK hanya bertujuan untuk melemahkan lembaga antirasuah itu dapat dimanfaatkan untuk membuat kesan bahwa partai pendukung Pansus adalah pro-koruptor. Hal ini masuk akal karena saat ini KPK tengah menggarap isu besar, terutama skandal e-KTP yang menyeret sejumlah politisi besar dari beragam partai, terutama Golkar dengan dua tersangka, yakni Setya Novanto (ketua umum) dan Markus Nari. Selain untuk kepentingan pencitraan, keluarnya Gerindra bisa jadi karena kecewa berat kepada Fahri Hamzah. Fahri adalah orang yang paling getol menginisiasi hak angket tersebut. Kader PKS yang tak diakui ini pula yang mengetok palu sidang untuk mengesahkan pansus tersebut pada April lalu. Fahri melakukannya dengan teergesa-gesa sehingga rapat paripurna itu sempat ricuh. Gerindra bisa jadi kecewa kepada Fahri gara-gara pengesahan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu menjadi Undang-Undang pada rapat paripurna DPR pada 21 juli. Rapat ini diwarnai aksi walk out Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PKS, Fraksi PAN, Fraksi Demokrat. [ads-post] Fahri saat itu menjadi satu-satunya wakil yang mendampingi Ketua DPR Setya Novanto saat mengetuk palu sidang. Atas sikap Fahri ini, partai-partai pendukung pemerintah sangat diuntungkan. Apabila Fahri ikut keluar dari rapat, legalitas keputusan paripurna soal RUU Pemilu tersebut bakal bermasalah. Di sinilah adanya kemungkinan Gerindra memberikan pelajaran atau balasan kepada Fahri yang ngotot ingin “menertibkan” KPK dengan cara keluar dari Pansus. Selebihnya, Gerindra ingin tampil beda. Dengan atau tanpanya sebenarnya pansus tetap akan jalan. Apabila ternyata pansus terbukti di kemudian hari melemahkan KPK, sikap Gerindra ini akan menjadi modal kampanye yang efektif untuk memenangkan Pemilu 2019 dan Prabowo sebagai presiden. [error title="SUMBER BERITA" icon="exclamation-triangle"]Anda Meragukan Informasi Yang Ada Dalam Tulisan Diatas ?? Atau Anda Melihat Ada Masalah Soal Postingan Diatas, Silahkan Cek Sumber Berita - Atau Anda Dapat Menghubungi Kami Di Halaman Contact - Mari Sama Sama Saling Cross Check Sumber Berita : RIM Judul Asli : [/error]
Terima Kasih Telah Menggunakan Dan Menyebarkan Kembali Berita Dari Wartabali-Media Informasi Kita Yang Senantiasa Dan Selalu Terbuka Untuk Umum - Bookmark Wartabali.net Dan Dukung Terus Perkembangan Kami - Wartabali-Media Informasi Kita 
from Media Informasi Kita http://www.wartabali.net/2017/07/opini-dibalik-keluarnya-gerindra-dari.html
0 notes
khasiatbuahsayur · 8 years
Text
Apa yang dimaksud dengan hak angket?
Apa itu hak angket?
DPR akan melakukan haknya yaitu hak angket. Tahu gak hak angket itu apa? Apa yang terjadi dari kelanjutan hak angket? kelanjutan hak angket adalah hak " Menyatakan pendapat".
Hak Menyatakan Pendapat adalah Hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;, tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket;,  atau dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
Hak Angket: hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sedang Hak DPR di bawah hak angket dan hak menyatakan pendapat adalah hak interpelasi. Pengertian hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sekarang ini beberapa anggota dewan sedang berusaha untuk melakukan hak angket terkait kasus tidak dinonaktifkanya BCP sebagai Gubernur DKI. Sikap mendagri dengan mengaktifkan lagi BCP setelah cuti adalah sebuah pelanggaran hukum menurut anggota Dewan sehingga mereka mengajukan hak angket.
0 notes
shtconnectingworld · 8 years
Text
Thought via Path
HAK ANGKET DAN BYPASS REZIM JOKOWI Oleh Suharto Konstelasi politik nasional kembali mengalami eskalasi tinggi, setelah anggota DPR RI atau lembaga legislative mempergunakan kewenangannya berdasarkan UUD 1945 untuk melakukan Hak Angket terhadap pemerintahan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia. Hak Angket sebagaimana di atur dalam konstitusi Negara yakni pada Pasal 20 A UUD 45 adalah Ayat (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasalpasal lain UndangUndang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Dan pada ayat (3) Selain hak yang diatur dalam pasalpasal lain UndangUndang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. Yusril Ihza Mahendra dikutip di http://yusril.ihzamahendra.com, mengatakan bahwa Hak Angket disebut juga sebagai hak penyelidikan, karena hak ini memang dimiliki oleh DPR untuk menyelidiki sesuatu yang lazimnya terkait dengan hal-hal yang terkait dengan masalah keuangan yang menjadi kebijakan Pemerintah. Namun ketentuan Pasal 176 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR menegaskan bahwa hak angket digunakan untuk menyelidiki “kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”. Rumusan ini memang sangat luas, karena setiap gerak langkah dan keputusan yang diambil Pemerintah pada dasarnya dapat dikatakan sebagai “kebijakan”. Jadi tidak spesifik terkait dengan masalah keuangan negara sebagaimana pemahaman teoritis tentang asal muasal hak angket. Dengan demikian, kebijakan Pemerintah mengurangi subsidi BBM dengan sendirinya dapat dijadikan sebagai obyek dari hak angket DPR karena berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apalagi kebijakan itu juga berkaitan dengan keuangan negara. Namun apakah kebijakan itu benar-benar bertentangan dengan undang-undang sebagaimana dugaan DPR, inilah yang harus “dibuktikan” melalui penggunaan hak angket itu. Dalam UU Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat, sekurang-kurangnya 10 orang anggota DPR bisa menyampaikan usulan angket kepada Pimpinan DPR. Usulan disampaikan secara tertulis, disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama fraksinya. Usul dinyatakan dalam suatu rumusan yang jelas tentang hal yang akan diselidiki, disertai dengan penjelasan dan rancangan biaya. Dalam pasal 177 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebutkan bahwa hak angket harus diusulkan oleh paling sedikit dua puluh lima orang anggota serta lebih dari satu fraksi, disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya materi kebijakan pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki dan alasan penyelidikannya. Sidang Paripurna DPR dapat memutuskan menerima atau menolak usul hak angket. Bila usul hak angket diterima, DPR membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPR. Bila usulan hak angket ditolak, maka usul tersebut tidak dapat diajukan kembali. Panitia angket dalam melaksanakan tugas penyelidikan dengan meminta keterangan dari pemerintah dan penjabatnya, saksi, pakar, organisasi profesi, semua pihak terkait lainnya. Panitia angket DPR melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama enam puluh hari sejak dibentuknya panitia angket. Rapat paripurna DPR kemudian mengambil keputusan terhadap laporan panitia angket. Bila dalam Sidang Paripurna DPR memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dalam kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maka DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat kemudian usul hak angket dinyatakan selesai dan materi angket tersebut tidak dapat diajukan kembali. Pasal Ahok! Politisi Senayan tampaknya mengarahkan tembakannya ke istana Negara untuk menyelidiki kebijakan pemerintah melalui kementeria dalam negeri untuk mengaktifkan kembali gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok setelah dinon-aktifkan karena mengikuti tahapan pemilihan kepala daerarah atau pilkada DKI. Jika situasinya berjalan normal, maka secara normative pengembalian jabatan itu tidaklah menjadi masalah, tetapi akibat dari adanya gonjang-ganjing dan kegaduhan politik yang bersumber dari kandidat petahana Ahok pada saat proses pilkada berlangsung menyebabkan Ahok tersangka dan kini terdakwa dalam kasus hokum terkait pasal penistaan agama, maka situasinya pun tentu berbeda dan abnormal. Sebab, dalam beberapa pengalaman yang telah menimpa kepala daerah di Indonesia, maka aturan yang berlaku untuk menon-aktifkan dan atau memberhentikan sementara atau permanen kepala daerah yang terlibat kasus hokum juga harus diberlakukan untuk Ahok. Pada 12 Pebruari 2017 kemarin, pemerintah sepertinya memberikan perlakuan khusus (hak imunitas) bagi saudara Ahok, yang telah melantik kembali Ahok sebagai gubernur Jakarta meneruskan sisa masa jabatannya sampai gubernur terpilih di pilkada 2017 ini. Pasal inilah yang kemudian menjadi dasar bagi DPR untuk melakukan pembuktian pelanggaran konstitusi bagi pemerintah melalui hak angket. Lantaran, kebijakan pemerintah tersebut menjadi kontradiktif di tengah masyarakat yang menilai bahwa Negara selain melanggar konstitusi juga suatu kebijakan yang tidak adil, dimana perlakuan terhadap Ahok sangat kontras dengan perlakuan terhadap Ratu Atut Chosiyah sebagai Gubernur Banten, Bupati Waringin, Bupati Ogan Ilir, Bupati Katingan, Bupati Buol, Bupati Barru dan Bupati Garut serta beberapa kepala daerah lainnya yang menerima resiko jabatan berupa pennon-aktifan, pemberhentian sementara hingga pemecatan. Saksi bagi kepala daerah tersebut pun bermacam-macam bentuknya, ada yang dipecat langsung meskipun baru tersangka, ada juga yang dipecat karena sudah terdakwah da nada pula yang dinon-aktifkan saat tersangka, ada pula yang dinon-aktifkan tatkala telah terdakwah dengan kasus yang berbeda-beda pula, ada korupsi, moralitas/etika, narkoba, suap dan penyelewengan kekuasaan lainnya. Bypass Rezim Jokowi Jika mayoritas anggota legislative menyetuji hak angket itu, yang pertanggal 13 pebruari 2017 beberapa fraksi pengusul hak angket seperti Fraksi Partai Demokrat, PAN, PKS dan Gerindra, telah membubuhi tanda tangan pengusul dan menyetujui digelarnya hak angket yang sudah lebih dari 100 orang (seperti di rilis di media social), maka jalan tol menuju sidang paripurna menyikapi hal tersebut pun ditempuhi dalam waktu yang relative singkat, karena syarat-syarat untuk mengajukan hak angket sudah terpenuhi berdasarkan tata tertib DPR dan juga UU yang mengatur akan mekanisme penyampaian hak tersebut. Fase berikutnya tentunya adalah DPR segera membentuk pansus atau panitia khusus membidangi Hak Angket yang bertugas untuk mencari fakta dan data terkait dengan pasal yang diselidiki, terutama pelanggaran atas UU yang mengatur seorang kepala daerah dan wakil kepala daerah, mekanisme pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Apabila, pansus selesai melaksanakan tugas tersebut, maka DPR dalam waktu yang akan ditentukan kemudian akan melaksanakan siding paripurna membahas hasil pansus itu. Kemungkinan kasus Ahok ini akan membawa dampak buruk bagi pemerintahan Jokowi sangat terbuka lebar, sebab jika benar-benar ditemukan sebuah pelanggaran konstitusi pada pengembalian jabatan Ahok sebagai gubernur, maka dramaturgi sidang istimewa akan dimenangkan oleh pihak pengusul hak angket (artinya DPR benar dan pemerintah bersalah), maka pengambilan keputusan dalam sidang istimewa yang memungkinkan untuk voting terbuka dan ataupun voting tertutup, tergantung dinamika forum nanti, tetap akan dimenangkan oleh DPR. Secara matematis, jika Demokrat, Gerindra, PKS dan PAN saja yang secara bulat mendukung Hak Angket, maka sudah hamper separuh. Namun, pada perkembangannya kelak, bukan hanya empat partai tersebut yang akan memainkan bola panas ini, Golkar dan PPP pun diyakini akan diam-diam mengatur strategi agar hak angket ini bisa menanjak ke fase berikutnya. Hak angket baru tahap awal untuk merambah jalan pintas (bypass) pemerintahan Jokowi, sehingga jika ini sukses, maka pemerintahan Jokowi akan guncangan dahsyat. Dan jika terjadi guncangan, maka situasinya pun akan mengalami kesulitan dan amat sulit untuk diselamatkan. Jalan terbaik adalah melakukan pendaratan darurat sebelum tiba masa waktu untuk mendarat di runway yang sesungguhnya dan berdasarkan jadwal yang sudah ditetapkan. Artinya, kemungkinan untuk sampai pada akhir masa pemerintahan Jokowi 2019 mendatang semakin berat, boleh jadi lebih cepat dan ataupun masih bisa diselamatkan, tapi itu semua menunggu hasil dari kinerja parlemen. Kita lihat saja nanti, apakah pemerintah yang berhasil menerobos siasat DPR ataukan DPR berhasil melepaskan tendangan spekulasi di luar kotak pinalti? []wallahu a’lam bisswwab. Jakarta, 13 Pebruari 2017 – Read on Path.
0 notes