Tumgik
#dan sayap-sayap gerakan dalam tubuh gerakan dakwah.
sajian-bagus · 4 years
Link
Oleh: Akhmad Muawal Hasan - 12 Februari 2018
12 Februari 1949, tepat hari ini 69 tahun lalu. Hassan al-Banna dan saudara iparnya Abdul Karim Mansur sedang berada di markas Jama'iyyat al-Shubban al-Muslimeen di Kairo, Mesir. Keduanya dijadwalkan bertemu dengan perwakilan pemerintah, Menteri Zaki Ali Pasha, untuk bernegosiasi. Namun hingga pukul 5 sore sang menteri tak kunjung datang. Banna dan Mansur akhirnya memutuskan untuk pulang.
Saat sedang berdiri menunggu taksi, Banna dan Mansur diserang oleh dua orang tak dikenal. Suara tembakan terdengar beberapa kali. Banna roboh. Ia sempat dibawa ke rumah sakit, tetapi luka-lukanya terlalu parah untuk diobati. Di hari yang sama, sang pendiri Ikhwanul Muslimin (IM) menghembuskan napas terakhir.
Di antara tahun 1948 dan 1949, tak lama usai kekalahan koalisi Arab dalam perang melawan Israel, konflik antara monarki Mesir dan IM mencapai puncaknya. IM sedang menikmati popularitas yang tinggi di kalangan masyarakat Mesir—situasi yang tak disenangi Raja Farouk.
Posisi IM kian berbahaya setelah muncul rumor bahwa anggota-anggota militan di tubuh organisasi tersebut sedang merencanakan kudeta terhadap pemerintahan Raja Farouk. Perdana Menteri Mahmoud al-Nukrashi Pasha kemudian membubarkan IM pada bulan Desember 1948. Aset-aset organisasi disita. Banyak anggotanya yang dijebloskan ke penjara.
Direpresi sedemikian rupa, IM justru kian beringas. Tiga minggu berselang, Abdel Meguid Ahmed Hassan, anggota IM yang juga berstatus sebagai mahasiswa kedokteran hewan di Universitas King Fouad I, melancarkan upaya pembunuhan terhadap Pasha. Pada tanggal 28 Desember 1948, tepatnya pukul 10 pagi, Hassan yang memakai seragam seorang letnan menembak Pasha, dua kali, di gedung Kementerian Dalam Negeri. Pasha meninggal seketika.
Banna mengecam tindakan Hassan dan menegaskan bahwa tindakan teror tidak diterima dalam ajaran Islam. Sayangnya, beberapa bulan kemudian, ia menjadi target pembunuhan berikutnya. Banyak pihak yang menyebutkan bahwa pelakunya adalah anggota kepolisian rahasia suruhan Raja Farouk. Tuduhan ini logis jika dihubungkan dengan peristiwa pembunuhan Pasha hingga memicu aksi balas dendam.
Anak Muazin yang Benci Kolonialisme Inggris
Hassan Ahmed Abdel Rahman Muhammed al-Banna lahir pada 14 Oktober 1906 di Mahmudiyya, sebuah desa delta Sungai Nil, barat daya Kairo. Ayahnya yang seorang imam, muazin, dan guru di masjid adalah pengaruh mula-mula menyemainya semangat Islam di dada Banna. Selain pada kemurnian Islam ala mazhab Hambali, Banna muda juga terpengaruh pada ajaran Sufi dan sempat ikut perkumpulan Sufi bernama al-Hassafiya.
Brian R. Farmer, dalam bukunya Understanding Radical Islam: Medieval Ideology in the Twenty-first Century (2007), menyatakan bahwa awal kegelisahan ideologis Banna berawal dari runtuhnya Kekaisaran Ottoman pada tahun 1924—masa di mana Banna masih berstatus sebagai mahasiswa. Ia memandangnya sebagai bencana sekaligus “deklarasi perang melawan semua bentuk Islam”.
Usai menyelesaikan studinya di Dar al-Ulum pada tahun 1927 ia menjadi guru sekolah dasar di Ismailia. Kala itu Ismailia adalah pusat urusan Terusan Kanal oleh pemerintah Mesir. Pengaruh asingnya kuat, terutama dari Inggris yang sedang melaksanakan proyek kolonialismenya.
Penjajahan Inggris menjadi bibit kebencian Banna sebab kehadiran pentolan imperialis dari Eropa itu membuat kultur di Mesir menjadi kebarat-baratan, dengan kata lain, menggerus prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Pemerintahan Mesir yang giat mempromosikan modernitas dan sekulerisme ditakutkan Banna akan berdampak negatif pada kehidupan komunitas muslim Mesir.
Banna pernah didatangi oleh enam pekerja Terusan Suez pada bulan Maret 1928. Mereka mengeluhkan sikap tidak adil rezim kolonialis Inggris kepada mereka dan pekerja terusan lain. Orang-orang Arab dan terutama muslim dirugikan betul akibat kontrol Inggris. Sebab berselaras dengan kegelisahan Banna, ia dan keenam pekerja kemudian mendirikan sebuah organisasi bernama Ikhwanul Muslimin (IM) yang ditujukan untuk membela nasib para muslim Mesir yang ditindas-tindas oleh Inggris.
Orator Ulung Pendulang Simpati
IM tak hanya lahir untuk menumbuhkan kesalehan dalam diri para anggota, tapi juga bergerak di ranah sosial dengan giat berderma kepada mereka yang membutuhkan. Pergerakannya cukup militan di akar rumput, sehingga mampu menarik simpatisan dari kalangan rakyat biasa.
Dalam ulasan Carrie Rosefsky Wickham dalam The Muslim Brotherhood Evolution of an Islamist Movement (2013), Banna memberikan ceramah tak hanya di masjid-masjid, tetapi juga di warung-warung kopi. Kehadiran dan isi ceramahnya menarik perhatian kalangan pekerja terusan yang bergaji pas-pasan dan muak dengan kesenjangan ekonomi di Mesir.
Hasilnya, dari yang mulanya sedikit, anggota maupun simpatisan IM berkembang hingga ke luar Ismailia. Memasuki tahun 1930-an anggota IM sudah mencapai ratusan ribu. Kantor-kantor cabangnya berdiri di berbagai kota di Mesir. Banna kemudian memindahkan markas pusatnya ke ibukota Kairo pada tahun 1932 agar lebih dekat dengan pusat kekuasaan, dengan demikian berdampak positif bagi naiknya daya tawar IM.
Nama IM makin berkibar akibat keterlibatannya dalam revolusi Arab di Palestina pada tahun 1936-1939. IM meluncurkan kampanye pro-Palestina dengan amat giat. Saking giatnya hingga berhasil membuat isu Palestina menjadi isu muslim sedunia—bukan eksklusif di Timur Tengah. Meski revolusi itu direpresi secara militer dan tak meraih tujuan pokoknya, nama sayap IM makin lebar membentang bahkan hingga ke luar Mesir.
Dalam catatan Irfan Husain di buku Fatal Faultlines (2011), anggota IM naik drastis dari sekitar 800 orang di tahun 1936, lalu menjadi 200.000 di tahun 1936, hingga setahun sebelum kematian Banna yakni 1948 sudah di angka 2 juta. IM berubah dari mulanya organisasi kecil menuju kekuatan baru yang menarik perhatian pemerintah Mesir, terutama karena potensinya menjadi organisasi militan pengguncang kekuasaan.
“Islam adalah Solusi”
Muhammad Iqbal dalam Pemikiran Politik Islam (2015) menulis bahwa kunci dari pemikiran politik Hassan al-Banna adalah Islam sebagai solusi. Solusi dari segala permasalahan yang dikandung negara yang masih menganut sistem sekuler. Dalam kasus Mesir, yang juga masih tertindas oleh kekuatan besar yang tidak Islami (baca: Inggris). Negara yang ideal bagi Banna adalah yang menerapkan Alquran dan Sunah Nabi sebagai panduan utamanya.
Islam adalah panduan hidup yang sempurna, pandang Banna, dengan demikian ia menyingkirkan ideologi sekuler lain baik yang kanan (liberalisme-sekularisme) maupun yang kiri (sosialisme-komunisme). Islam sebagai sistem politik bersifat universal atau bisa diterapkan di segala zaman dan tempat. Islam mampu menjadi solusi bagi seluruh persoalan,baik kesenjangan ekonomi, krisis identitas akibat Westernisasi, kemiskinan, perilaku tercela, dan lain-lainnya.
Banna juga mengkritik partai-partai di Mesir saat itu yang tak memperjuangkan memerdekakan diri dari Inggris. Garis perjuangan IM tidak hanya teoritis, tapi “amaliah nyata dengan saringan selektif terhadap hal-hal yang jelas hanya dapat dibenarkan oleh Islam.” Iqbal menyatakan ada semangat salaf dalam perjuangan Banna.
Mona Saleh, dalam analisisnya bertajuk Hassan al-Banna: A Starting Point for Contemporary Islamic Fundamentalism yang diunggah di Jurnal E-International Relations Students edisi Januari 2016 lalu, menyimpulkan pemikiran Banna sebagai dasar dari fundamentalisme Islam di era modern. Ide-ide tentang superioritas Islam Banna, kata Saleh, kemudian melahirkan monopoli tafsir untuk menjadi dasar penghakiman kepada kelompok non-Islam atau kelompok Islam lain.
Banna melahirkan bibit pemikiran tentang politisasi Islam dan peleburan ajarannya di dalam konstitusi sebuah negara modern. Namun ia cenderung menolak nasionalisme. Bayangannya adalah persatuan muslim di seluruh dunia sebagai satu bangsa yang terjalin lintas negara atau beberapa analis menyebutnya “transnasional”.
Banna boleh menyatakan bahwa organisasinya berjuang di jalur non-kekerasan. Namun pada 1940-an, merujuk Al-Jazeera, IM memasuki fase paramiliter sebab anggotanya ada yang mendirikan angkatan bersenjata khusus bernama al-Nizam al-Khass. Mereka terlibat sejumlah aksi terorisme seperti pembakaran sejumlah gedung milik institusi kaum Yahudi dan perwakilan asing di Kairo pada 1952, juga pembunuhan PM Mahmoud al-Nukrashi Pasha, demikian catatan Encyclopedia of World Biography.
Militansi pengikutnya berbuah pada tragedi yang melenyapkan nyawa Banna sendiri. IM juga kian direpresi usai Banna sudah tak ada. Beberapa ada yang dituduh pemerintah terlibat dalam sejumlah aksi teror lanjutan. Salah satunya rencana pembunuhan terhadap presiden pertama Mesir usai revolusi menumbangkan Raja Farouk, Gamal Abdul Nasser.
PKS: IM-nya Indonesia
Represi boleh datang di tiap rezim. Tapi IM mampu bertahan, bahkan bisa melebarkan sayap ke banyak negara. Walaupun tidak secara organisasi, akan tetapi pengaruh IM kerap hadir di sebuah negara dalam bentuk ideologis. Salah satu penopang semangat jihad IM, selain Banna yang berciri sebagai organisator, adalah Sayyid Qutb. Qutb punya pemikiran Islam-politik yang serupa, dan menjadi landasan bagi banyak gerakan politik Islam di dunia, termasuk di Indonesia.
Dalam ulasan M. Imdadun Rahmat dalam buku Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen (2008), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadikan IM sebagai acuan utama dalam gerakan politiknya. PKS mengadopsi pemikiran para pendiri termasuk Banna dan Qutb, manhaj dakwahnya, hingga strategi meraih dukungan atau pengikutnya. Singkat kata, PKS adalah “anak ideologis” IM. Ada juga yang menyebut bahwa PKS adalah IM-nya Indonesia.
IM amat mempengaruhi proses berkembangnya Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan Gerakan Tarbiyah yang menjadi embrio PKS. Mereka mengembangkan pandangan tentang Islam kaffah alias menyeluruh, sehingga meliputi dimensi politik untuk memajukan Islam itu sendiri. Dalam sebuah risalahnya Banna mengatakan bahwa syarat kesempurnaan Islam seseorang adalah keterlibatannya dalam aktivitas politik.
Pandangan ini tentu berseberangan dengan Islam ala Nurcholis Majid, misalnya, yang justru menyerukan pemilahan Islam dan politik melalui jargon “Islam Yes, Partai Islam No.” Namun, militansi Gerakan Tarbiyah dan LDK membuat PKS mampu bertahan sebagai salah satu partai Islam yang menonjol di kalangan elite politik Indonesia, terutama pascatumbangnya Soeharto pada tahun 1998.
Hingga kini PKS masih menuai hasil gerakan yang dibangun dengan meneladani IM sejak 1980-an. Meski Banna telah tiada, demikian juga Qutb yang dihukum gantung oleh rezim Gamal Abdul Nasir, pemikirannya masih hidup di tengah-tengah diskursus maupun pergerakan Islam-politik.
Buku-buku yang memuat buah pemikiran keduanya masih menjadi bahan bacaan babon bagi para simpatisan PKS—juga organisasi pengemban semangat “Islam adalah solusi” di Indonesia maupun di negara-negara lainnya.
Pemikiran Hassan al-Banna dinilai sebagai salah satu tonggak yang mendasari fundamentalisme Islam di era modern.
5 notes · View notes
dendzu · 4 years
Link
Oleh: Akhmad Muawal Hasan - 12 Februari 2018
12 Februari 1949, tepat hari ini 69 tahun lalu. Hassan al-Banna dan saudara iparnya Abdul Karim Mansur sedang berada di markas Jama'iyyat al-Shubban al-Muslimeen di Kairo, Mesir. Keduanya dijadwalkan bertemu dengan perwakilan pemerintah, Menteri Zaki Ali Pasha, untuk bernegosiasi. Namun hingga pukul 5 sore sang menteri tak kunjung datang. Banna dan Mansur akhirnya memutuskan untuk pulang.
Saat sedang berdiri menunggu taksi, Banna dan Mansur diserang oleh dua orang tak dikenal. Suara tembakan terdengar beberapa kali. Banna roboh. Ia sempat dibawa ke rumah sakit, tetapi luka-lukanya terlalu parah untuk diobati. Di hari yang sama, sang pendiri Ikhwanul Muslimin (IM) menghembuskan napas terakhir.
Di antara tahun 1948 dan 1949, tak lama usai kekalahan koalisi Arab dalam perang melawan Israel, konflik antara monarki Mesir dan IM mencapai puncaknya. IM sedang menikmati popularitas yang tinggi di kalangan masyarakat Mesir—situasi yang tak disenangi Raja Farouk.
Posisi IM kian berbahaya setelah muncul rumor bahwa anggota-anggota militan di tubuh organisasi tersebut sedang merencanakan kudeta terhadap pemerintahan Raja Farouk. Perdana Menteri Mahmoud al-Nukrashi Pasha kemudian membubarkan IM pada bulan Desember 1948. Aset-aset organisasi disita. Banyak anggotanya yang dijebloskan ke penjara.
Direpresi sedemikian rupa, IM justru kian beringas. Tiga minggu berselang, Abdel Meguid Ahmed Hassan, anggota IM yang juga berstatus sebagai mahasiswa kedokteran hewan di Universitas King Fouad I, melancarkan upaya pembunuhan terhadap Pasha. Pada tanggal 28 Desember 1948, tepatnya pukul 10 pagi, Hassan yang memakai seragam seorang letnan menembak Pasha, dua kali, di gedung Kementerian Dalam Negeri. Pasha meninggal seketika.
Banna mengecam tindakan Hassan dan menegaskan bahwa tindakan teror tidak diterima dalam ajaran Islam. Sayangnya, beberapa bulan kemudian, ia menjadi target pembunuhan berikutnya. Banyak pihak yang menyebutkan bahwa pelakunya adalah anggota kepolisian rahasia suruhan Raja Farouk. Tuduhan ini logis jika dihubungkan dengan peristiwa pembunuhan Pasha hingga memicu aksi balas dendam.
Anak Muazin yang Benci Kolonialisme Inggris
Hassan Ahmed Abdel Rahman Muhammed al-Banna lahir pada 14 Oktober 1906 di Mahmudiyya, sebuah desa delta Sungai Nil, barat daya Kairo. Ayahnya yang seorang imam, muazin, dan guru di masjid adalah pengaruh mula-mula menyemainya semangat Islam di dada Banna. Selain pada kemurnian Islam ala mazhab Hambali, Banna muda juga terpengaruh pada ajaran Sufi dan sempat ikut perkumpulan Sufi bernama al-Hassafiya.
Brian R. Farmer, dalam bukunya Understanding Radical Islam: Medieval Ideology in the Twenty-first Century (2007), menyatakan bahwa awal kegelisahan ideologis Banna berawal dari runtuhnya Kekaisaran Ottoman pada tahun 1924—masa di mana Banna masih berstatus sebagai mahasiswa. Ia memandangnya sebagai bencana sekaligus “deklarasi perang melawan semua bentuk Islam”.
Usai menyelesaikan studinya di Dar al-Ulum pada tahun 1927 ia menjadi guru sekolah dasar di Ismailia. Kala itu Ismailia adalah pusat urusan Terusan Kanal oleh pemerintah Mesir. Pengaruh asingnya kuat, terutama dari Inggris yang sedang melaksanakan proyek kolonialismenya.
Penjajahan Inggris menjadi bibit kebencian Banna sebab kehadiran pentolan imperialis dari Eropa itu membuat kultur di Mesir menjadi kebarat-baratan, dengan kata lain, menggerus prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Pemerintahan Mesir yang giat mempromosikan modernitas dan sekulerisme ditakutkan Banna akan berdampak negatif pada kehidupan komunitas muslim Mesir.
Banna pernah didatangi oleh enam pekerja Terusan Suez pada bulan Maret 1928. Mereka mengeluhkan sikap tidak adil rezim kolonialis Inggris kepada mereka dan pekerja terusan lain. Orang-orang Arab dan terutama muslim dirugikan betul akibat kontrol Inggris. Sebab berselaras dengan kegelisahan Banna, ia dan keenam pekerja kemudian mendirikan sebuah organisasi bernama Ikhwanul Muslimin (IM) yang ditujukan untuk membela nasib para muslim Mesir yang ditindas-tindas oleh Inggris.
Orator Ulung Pendulang Simpati
IM tak hanya lahir untuk menumbuhkan kesalehan dalam diri para anggota, tapi juga bergerak di ranah sosial dengan giat berderma kepada mereka yang membutuhkan. Pergerakannya cukup militan di akar rumput, sehingga mampu menarik simpatisan dari kalangan rakyat biasa.
Dalam ulasan Carrie Rosefsky Wickham dalam The Muslim Brotherhood Evolution of an Islamist Movement (2013), Banna memberikan ceramah tak hanya di masjid-masjid, tetapi juga di warung-warung kopi. Kehadiran dan isi ceramahnya menarik perhatian kalangan pekerja terusan yang bergaji pas-pasan dan muak dengan kesenjangan ekonomi di Mesir.
Hasilnya, dari yang mulanya sedikit, anggota maupun simpatisan IM berkembang hingga ke luar Ismailia. Memasuki tahun 1930-an anggota IM sudah mencapai ratusan ribu. Kantor-kantor cabangnya berdiri di berbagai kota di Mesir. Banna kemudian memindahkan markas pusatnya ke ibukota Kairo pada tahun 1932 agar lebih dekat dengan pusat kekuasaan, dengan demikian berdampak positif bagi naiknya daya tawar IM.
Nama IM makin berkibar akibat keterlibatannya dalam revolusi Arab di Palestina pada tahun 1936-1939. IM meluncurkan kampanye pro-Palestina dengan amat giat. Saking giatnya hingga berhasil membuat isu Palestina menjadi isu muslim sedunia—bukan eksklusif di Timur Tengah. Meski revolusi itu direpresi secara militer dan tak meraih tujuan pokoknya, nama sayap IM makin lebar membentang bahkan hingga ke luar Mesir.
Dalam catatan Irfan Husain di buku Fatal Faultlines (2011), anggota IM naik drastis dari sekitar 800 orang di tahun 1936, lalu menjadi 200.000 di tahun 1936, hingga setahun sebelum kematian Banna yakni 1948 sudah di angka 2 juta. IM berubah dari mulanya organisasi kecil menuju kekuatan baru yang menarik perhatian pemerintah Mesir, terutama karena potensinya menjadi organisasi militan pengguncang kekuasaan.
“Islam adalah Solusi”
Muhammad Iqbal dalam Pemikiran Politik Islam (2015) menulis bahwa kunci dari pemikiran politik Hassan al-Banna adalah Islam sebagai solusi. Solusi dari segala permasalahan yang dikandung negara yang masih menganut sistem sekuler. Dalam kasus Mesir, yang juga masih tertindas oleh kekuatan besar yang tidak Islami (baca: Inggris). Negara yang ideal bagi Banna adalah yang menerapkan Alquran dan Sunah Nabi sebagai panduan utamanya.
Islam adalah panduan hidup yang sempurna, pandang Banna, dengan demikian ia menyingkirkan ideologi sekuler lain baik yang kanan (liberalisme-sekularisme) maupun yang kiri (sosialisme-komunisme). Islam sebagai sistem politik bersifat universal atau bisa diterapkan di segala zaman dan tempat. Islam mampu menjadi solusi bagi seluruh persoalan,baik kesenjangan ekonomi, krisis identitas akibat Westernisasi, kemiskinan, perilaku tercela, dan lain-lainnya.
Banna juga mengkritik partai-partai di Mesir saat itu yang tak memperjuangkan memerdekakan diri dari Inggris. Garis perjuangan IM tidak hanya teoritis, tapi “amaliah nyata dengan saringan selektif terhadap hal-hal yang jelas hanya dapat dibenarkan oleh Islam.” Iqbal menyatakan ada semangat salaf dalam perjuangan Banna.
Mona Saleh, dalam analisisnya bertajuk Hassan al-Banna: A Starting Point for Contemporary Islamic Fundamentalism yang diunggah di Jurnal E-International Relations Students edisi Januari 2016 lalu, menyimpulkan pemikiran Banna sebagai dasar dari fundamentalisme Islam di era modern. Ide-ide tentang superioritas Islam Banna, kata Saleh, kemudian melahirkan monopoli tafsir untuk menjadi dasar penghakiman kepada kelompok non-Islam atau kelompok Islam lain.
Banna melahirkan bibit pemikiran tentang politisasi Islam dan peleburan ajarannya di dalam konstitusi sebuah negara modern. Namun ia cenderung menolak nasionalisme. Bayangannya adalah persatuan muslim di seluruh dunia sebagai satu bangsa yang terjalin lintas negara atau beberapa analis menyebutnya “transnasional”.
Banna boleh menyatakan bahwa organisasinya berjuang di jalur non-kekerasan. Namun pada 1940-an, merujuk Al-Jazeera, IM memasuki fase paramiliter sebab anggotanya ada yang mendirikan angkatan bersenjata khusus bernama al-Nizam al-Khass. Mereka terlibat sejumlah aksi terorisme seperti pembakaran sejumlah gedung milik institusi kaum Yahudi dan perwakilan asing di Kairo pada 1952, juga pembunuhan PM Mahmoud al-Nukrashi Pasha, demikian catatan Encyclopedia of World Biography.
Militansi pengikutnya berbuah pada tragedi yang melenyapkan nyawa Banna sendiri. IM juga kian direpresi usai Banna sudah tak ada. Beberapa ada yang dituduh pemerintah terlibat dalam sejumlah aksi teror lanjutan. Salah satunya rencana pembunuhan terhadap presiden pertama Mesir usai revolusi menumbangkan Raja Farouk, Gamal Abdul Nasser.
PKS: IM-nya Indonesia
Represi boleh datang di tiap rezim. Tapi IM mampu bertahan, bahkan bisa melebarkan sayap ke banyak negara. Walaupun tidak secara organisasi, akan tetapi pengaruh IM kerap hadir di sebuah negara dalam bentuk ideologis. Salah satu penopang semangat jihad IM, selain Banna yang berciri sebagai organisator, adalah Sayyid Qutb. Qutb punya pemikiran Islam-politik yang serupa, dan menjadi landasan bagi banyak gerakan politik Islam di dunia, termasuk di Indonesia.
Dalam ulasan M. Imdadun Rahmat dalam buku Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen (2008), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadikan IM sebagai acuan utama dalam gerakan politiknya. PKS mengadopsi pemikiran para pendiri termasuk Banna dan Qutb, manhaj dakwahnya, hingga strategi meraih dukungan atau pengikutnya. Singkat kata, PKS adalah “anak ideologis” IM. Ada juga yang menyebut bahwa PKS adalah IM-nya Indonesia.
IM amat mempengaruhi proses berkembangnya Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan Gerakan Tarbiyah yang menjadi embrio PKS. Mereka mengembangkan pandangan tentang Islam kaffah alias menyeluruh, sehingga meliputi dimensi politik untuk memajukan Islam itu sendiri. Dalam sebuah risalahnya Banna mengatakan bahwa syarat kesempurnaan Islam seseorang adalah keterlibatannya dalam aktivitas politik.
Pandangan ini tentu berseberangan dengan Islam ala Nurcholis Majid, misalnya, yang justru menyerukan pemilahan Islam dan politik melalui jargon “Islam Yes, Partai Islam No.” Namun, militansi Gerakan Tarbiyah dan LDK membuat PKS mampu bertahan sebagai salah satu partai Islam yang menonjol di kalangan elite politik Indonesia, terutama pascatumbangnya Soeharto pada tahun 1998.
Hingga kini PKS masih menuai hasil gerakan yang dibangun dengan meneladani IM sejak 1980-an. Meski Banna telah tiada, demikian juga Qutb yang dihukum gantung oleh rezim Gamal Abdul Nasir, pemikirannya masih hidup di tengah-tengah diskursus maupun pergerakan Islam-politik.
Buku-buku yang memuat buah pemikiran keduanya masih menjadi bahan bacaan babon bagi para simpatisan PKS—juga organisasi pengemban semangat “Islam adalah solusi” di Indonesia maupun di negara-negara lainnya.
Pemikiran Hassan al-Banna dinilai sebagai salah satu tonggak yang mendasari fundamentalisme Islam di era modern.
0 notes
belajarislamonline · 7 years
Link
Eksistensi komunitas gerakan dakwah di sepanjang masa adalah sunnatullah dan sunnatuddakwah, seperti diungkapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits,
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي قَائِمَةً بِأَمْرِ اللَّهِ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ عَلَى النَّاسِ
“Akan senantiasa ada sekelompok dari ummatku yang menegakkan perintah Allah, tak ada yang membahayakannya orang yang menghinakan atau menyelisihi mereka sampai datangnya hari Kiamat, dan mereka akan selalu menang atas manusia.” (HR. Muslim No.3548).
Salah satu gerakan dakwah dari sekian banyak gerakan dakwah yang eksis di abad ini adalah gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun. Kontribusinya dalam melakukan syi’ar Islam ke seluruh penjuru bumi tidak dapat dipungkiri. Bahkan pengaruh mereka kini sudah merambah ke lebih dari 70 negara di dunia dengan kerja dakwah yang cukup signifikan.
Perjalanan sejarah jama’ah ini melewati tujuh marhalah (sebagian penulis sejarahnya ada yang menyebut empat marhalah), yaitu :
Marhalah Qoblal Nasy’atiddakwah  (Sebelum 1928)
Hasan Al-Banna dilahirkan di desa Al-Mahmudiyah Kecamatan Damanhur. Sejak duduk di sekolah dasar Hasan sudah mengenal dan aktif berorganisasi. Setelah tamat dari sekolah Al-Muallimin, dia melanjutkan ke Universitas di Kairo. Disana dia melihat kondisi Kairo sangat berbeda dengan kondisi kampungnya. Fenomena kemungkaran dan kerusakan terlihat dimana-mana. Maka timbulah keinginannya untuk merubah kondisi di Kairo ini khususnya, dan kondisi Mesir umumnya. Bahkan bukan hanya itu, dia juga melihat kondisi negeri-negeri muslim di luar Mesir kondisinya tidak jauh berbeda, negeri-negeri muslim umumnya dikuasai oleh penjajah, sementara diantara mereka tidak tumbuh rasa persatuan.
Kedua fenomena ini menyebabkan Hasan Al-Banna sering merenung memikirkannya dan bahkan dibuat tidak bisa tidur karenanya. Ia kemudian melakukan usaha dengan membuka dialog atau kontak dengan para ulama yang ada di Mesir ketika itu guna membicarakan permasalahan ummat Islam yang dicermatinya tersebut. Diantara ulama yang dijumpainya adalah Syekh Rasyid Ridha seorang ulama besar di Mesir. Ia juga melakukan dialog dengan para ketua partai, diantaranya adalah Timur Basya. Dari hasil pertemuan dengan para tokoh tersebut, terbentuklah suatu front yang terdiri dari beberapa ulama, yang kemudian menerbitkan sebuah majalah yang diberi nama Al-Fath. Majalah ini dipimpin oleh Muhibbuddin Al-Khatib. Selama beberapa lama majalah ini memuat pemikiran-pemikiran Islam serta menangkis serangan-serangan pemikiran sesat. Namun, terbitnya majalah tersebut, belum memuaskan Hasan Al-Banna. Sebab, tulisan di majalah ini hanya dibaca oleh segelintir orang terpelajar.
Al-Banna kemudian mencoba mengadakan kontak dengan mahasiswa Al-Azhar sehingga  berhasil mengumpulkan beberapa mahasiswa Al-Azhar untuk melakukan beberapa aktivitas dakwah, diantaranya adalah mengadakan tabligh di masjid-masjid. Namun ini pun tidak membuatnya merasa puas.
Ia kemudian terjun ke masyarakat untuk melihat kondisi umat Islam yang sesungguhnya di Mesir, dengan melakukan kunjungan ke daerah-daerah ketika beliau libur, guna mencari tahu kondisi yang sesungguhnya di lapangan. Setiap pelosok Mesir beliau kunjungi, dan ini terus beliau lakukan selama kurang lebih empat tahun.
Marhalah Nasyatul Jama’ah  (1928-1936)
Setelah Hasan Al-Banna menyelesaikan sekolahnya di Darul Ulum, ia diangkat menjadi guru di sebuah Sekolah Dasar di Ismailiyah. Disana ia kembali mencari orang yang dapat diajak berdialog mengenai kondisi ummat Islam. Dengan orang-orang tersebut akhirnya Hasan Al-Banna  membentuk suatu jama’ah yang kemudian dikenal dengan nama Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM). Ini terjadi pada tahun 1928.  Awalnya, mereka kerap berkumpul di rumah Hasan Al-Banna pada malam hari guna memperbincangkan berbagai masalah-masalah dakwah. Setelah diusulkan beberapa nama bagi jama’ah yang hendak mereka bentuk tersebut, akhirnya disepakati nama Al-Ikhwan Al-Muslimun.  Anggota awal gerakan ini ada 7 orang yaitu : Hafidz Abdul Hamid, Ahmad Al-Hushori, Fuad Ibrohim, Ismail Izz, Abdurrohman Hizbulloh, Zakky  Al-Magribi, serta Hasan Al-Banna sebagai ketua.
Marhalah ini disebut marhalah nasy’atul jama’ah karena Hasan Al-Banna berhasil mendirikan organisasi yang manhajnya berbeda dengan berbagai organisasi yang ada saat itu, termasuk Syubanul Muslimin (yang ia menjadi anggota di dalamnya ketika masih kuliah di Kairo).
Dakwah di Ismailiyah dimulai oleh Hasan Al-Banna di warung-warung kopi kepada kaum buruh, karena disana belum ada masjid. Ismailiyah saat itu merupakan daerah industri yang terdapat banyak pekerja dan perusahaan asing, diantaranya Qonaf Suez. Hari demi hari ajakan Hasan Al-Banna kepada kaum buruh tersebut mendapat sambutan yang menggembirakan.
Hasan Al-Banna melakukan ceramah di warung-warung kopi ini dalam waktu 15-20 menit dan memilih tema-tema yang tidak menyinggung perasaan mereka dan memperhatikan waktu mereka yang padat karena bekerja seharian. Berkat ajakan ini akhirnya mereka sepakat untuk mendirikan masjid dengan menggunakan dana sumbangan masing-masing pribadi dan dengan meminta sumbangan kepada orang-orang Inggris yang ada disana yang menjadi direktur pada perusahaan-perusahaan tersebut. Oleh wakil pemerintah Inggris dibantu, dan dibangunlah masjid disana. Hasan Al-Banna juga berhasil menyadarkan para pelacur bahkan mereka ini setelah sadar berhasil membangun sebuah ma’had yang disebut Ma’had lil Banat yang diberi nama “Al Hiro”.
Dakwah IM menimbulkan perubahan yang sangat drastis terhadap diri para buruh di Qonaf Suez tersebut.  Kalau sebelumnya mereka tidak disiplin, mereka kini menjadi sangat disiplin.  Para buruh ini juga terlihat tidak mau tunduk kepada perintah atasannya yang notabene adalah orang-orang Inggris. Melihat gelagat ini, pemerintah Inggris memanggil Hasan Al-Banna dan menanyakan masalah ini, karena dia yang memilih imam masjid di perusahaan tersebut (seorang mahasiswa Al-Azhar). Orang Inggris tersebut berkata, “Kamu bukan menunjuk orang ini sebagai Imam Masjid, tapi pada hakekatnya kamu telah menunjuk orang ini sebagai jenderal. Semua orang yang keluar dari masjid itu memiliki disiplin tinggi dan mereka tidak takut terhadap orang-orang Inggris yang ada di perusahaan”.
Kedutaan Inggris yang berada disana meminta kepada Raja Farouk yang saat itu memimpin Mesir untuk memindahkan Hasan Al-Banna dari Ismailiyah ke Kairo, dengan harapan agar dakwahnya mati dan tidak berkembang kembali. Raja Farouk segera memenuhi permintaan Inggris dan dipindahkanlah Hasan Al-Banna dari Ismailiyah ke Kairo. Ternyata dengan pindahnya ia ke Kairo, dakwah justru semakin berkembang dan menyebar.
Marhalah Ta’sis  (1936-1941)
Marhalah ta’sis diawali dengan pindahnya Hasan Al-Banna ke Kairo, dia mendirikan Ha’iah Ta’sisiyah lil jama’ah dan mendirikan Maktab Al-Irsyad. Pada marhalah ini IM resmi menjadi sebuah lembaga dengan struktur yang rapi.
Pada masa ini, IM berhasil mendirikan berbagai proyek ekonomi, pendidikan dan sosial.  Salah satu proyek yang mereka miliki adalah pabrik baja, pabrik tembaga, dan lain-lain. Saat itu seluruh Mesir hampir dikuasai oleh pengaruh IM melalui berbagai syu’bah yang ada.
Marhalah Taghyir  (1941-1948)
Pada masa marhalah tagyir, IM tidak lagi menggunakan uslub terbuka yang pada waktu awal-awal berdirinya sering digunakan. Pada masa ini keanggotaan baru tidak lagi diumumkan secara terbuka, sehingga tidak semua orang dapat mendaftar masuk menjadi anggotanya. IM melakukan perubahan-perubahan bentuk rekruitmen. Model perekrutan baru tersebut dijelaskan dalam Risalatut Ta’lim.
IM kemudian membentuk Janah Asykari (sayap militer) yang disebut dengan Tandzim khas.  Pimpinan Janah Asykari yang pertama bernama Abdurrohman Assindi. Adapun Jamal Abdul Naser, ia termasuk anggota tandzim khos yang berjanji setia langsung kepada Hasan Al-Banna. Kedudukannya di Janah Asykari adalah sebagai pelatih. Namun berikutnya Allah Ta’ala membongkar niatnya yang buruk.
Adapun tujuan pembentukan tandzim khos ini adalah:
Mengadakan serangan atau melakukan operasi militer terhadap Inggris.
Membebaskan Palestina dari Israel.
Marhalah Mihnah  (1948-1967)
Pada tahun 1948 terjadi perang di Palestina, dimana Israel hampir mengalami kekalahan.  Namun pasukan relawan IM kemudian ditarik oleh pemerintah Raja Farouq dan setelah itu mereka dijebloskan ke dalam penjara. Pada waktu itu jumlah anggota IM hampir mencapai setengah juta orang dengan jumlah syu’bah sebanyak 2000 buah. Akan tetapi Allah Ta’ala ingin menguji anggota IM dengan memenjarakan mereka, terutama para qiyadahnya. Seluruh asset IM kemudian disita, termasuk gedung Maktab Irsyad yang kemudian dilelang oleh pemerintah. Anggota IM yang tidak dipenjarakan hanya beberapa orang saja. Termasuk diantaranya adalah Hasan Al-Banna, yang sengaja tidak dipenjarakan untuk mengelabui negara-negara di dunia bahwa pemerintahan Raja Farouq memberikan kebebasan kepada rakyatnya, khususnya IM dengan bukti pemimpinnya dibiarkan bebas merdeka.
Marhalah mihnah itu dimulai dari pembubaran IM pada tahun 1948. Setahun setelah itu Hasan Al-Banna dibunuh, yaitu pada 12 Pebruari 1949.  Pembunuhan tersebut merupakan makar dari Raja Farouq dan Perdana Menteri Mahmud Fahmi An-Nakhrosyi, mereka itulah yang membunuh Hasan Al-Banna melalui mukhobarot (intelegent). Hari pembunuhan tersebut bertepatan dengan hari ulang tahun Raja Farouq. An-Nakhrosyi ingin memberikan hadiah kepada Raja Farouq dengan membunuh Hasan Al-Banna.
Penembakan terhadap Hasan Al-Banna terjadi pada malam hari tanggal 11 Pebruari 1949.  Sebenarnya lukanya pada waktu itu tidak begitu parah, namun ketika dibawa ke rumah sakit Ia tidak boleh diobati dan dirawat, sehingga terjadi pendarahan dan akhirnya menemui kesyahidannya.  Ketika itu terjadi kegoncangan pada tubuh IM.  Karena pada umumnya IM berada di penjara, maka tidak ada yang mengantarkan jenazah Hasan Al-Banna kecuali lima orang wanita yang diiringi panser.
Karena para qiyadah berada di penjara dan kondisi sangat rawan, kurang lebih dua tahun IM kosong dari kepemimpinan, tidak memiliki Mursyid Aam. Ada beberapa usaha yang dilakukan oleh orang-orang terdekat Hasan Al-Banna, diantaranya adalah Syaik Munir Fallah untuk mengembalikan kondisi IM. Di dalam penjara, ada beberapa orang yang terlihat pantas menggantikan Hasan Al-Banna, misalnya Sholeh Asymawi yang menjabat Wakil Jama’ah pada masa Hasan Al-Banna, Abdul Hakim Abidin yang menjabat sebagai Sekretaris Jama’ah, dan yang ketiga adalah Abdurrahman Al-Banna, kakak dari Hasan Al-Banna. Inilah orang-orang yang berada dalam penjara dan pantas menggantikannya menjadi Mursyid Amm. Sementara yang diluar penjara dan terlihat mampu menggantikan Hasan Al-Banna adalah Syaikh Munir Falah dan Syaikh Hasan Bakuri, Syaikh Al-Azhar.
Ketika orang-orang IM dipenjarakan, Syaikh Hasan Bakuri diminta keluarga-keluarga yang ada diluar penjara untuk mencari siapa yang tepat untuk menjadi pemimpin, sebab mereka sangat memerlukannya. Maka ia mengadakan kontak dengan mereka yang ada didalam penjara. Setelah mereka dihubungi Munir Falah, Sholeh Asymawi mengatakan, “Saya akan mencalonkan diri saya tapi itu semua terserah Jama’ah, saya tidak akan bersikeras.” Sementara Abdul Hakim Abidin yang merupakan menantu Hasan Al-Banna mengatakan, “Saya tidak akan mencalonkan diri saya, saya serahkan kepada Jama’ah”, dan Abdurrahman Al-Banna mengatakan, “Saya akan mencalonkan diri saya” karena ia merasa berhak untuk itu. Sementara Hasan Al-Bakuri tidak mau mencalonkan dan kalaupun ditunjuk ia tidak mau.
Terjadilah ketidak-sepakatan dalam hal siapa yang akan menjadi pengganti Mursyid Amm.  Akhirnya, disepakati untuk memilih orang yang berada diluar mereka. Disepakatilah untuk memilih Hasan Al-Hudaibi sebagai Mursyid Amm pada bulan Oktober 1951. Saat dipilihnya Mursyid Aam itu, Raja Farouq sudah meninggal dunia. Di kerajaan, sebelumnya ada perubahan struktur dan ada peluang untuk mengadakan revolusi. Yang banyak berperan dalam revolusi tersebut adalah Tandzim Khos, termasuk di dalamnya adalah Jamal Abdul Nasser. Ia menarik orang-orang yang berada di dalam tandzim khos agar berwala’ kepada Jamal Abdul Nasser dan bukan kepada Jama’ah IM. Maka terjadilah revolusi pada tanggal 23 Juli 1952, tidak lama setelah terbunuhnya Hasan Al-Banna. Sebelumnya, Raja Farouq melihat adanya tanda-tanda akan digulingkan, melarikan diri ke luar Mesir dan akhirnya meninggal. Kekosongan ini diisi oleh Jamal Abdul Nasser dan Muhammad Najib menjadi perdana menterinya.
Dengan adanya perubahan ini, jama’ah IM diberi kebebasan kembali untuk melakukan aktifitas dan seluruh barang-barang miliknya dikembalikan. Ketika Jamal Abdul Nasser berhasil memimpin revolusi, ia meminta kepada Hasan Hudaibi agar mengirimkan tiga orang ikhwan untuk menjadi menteri yang salah satu syaratnya adalah diantara tiga orang tersebut satu diantaranya Hasan Badhowi. Hasan Hudaibi kemudian memilih Sholeh Asmawi dan Abdul Hakim Abidin, tapi tidak disetujui oleh Jamal Abdul Naser. Tanpa disepakati oleh Hasan Al-Hudaibi, Jamal Abdul Nasser menunjuk Hasan Al-Bakuri sebagai menteri wakaf yang kemudian dalam waktu yang tidak terlalu lama diumumkan pemecatan Hasan Al-Bakuri dari jabatannya.
Jamal Abdul Nasser meminta IM untuk tidak berpolitik dan hanya melakukan aktifitas keagamaan saja.  Hasan Al-Hudaibi menolak dan kemudian terjadilah perbedaan arah antara IM dan Jamal sejak saat itu. Pada Januari 1954 akhirnya Jamal mengumumkan pembubaran IM dan seluruh kekayaannya disita serta anggotanya dipenjarakan, termasuk Hasan Al-Hudaibi.
Tak lama berselang, terjadi peperangan antara Mesir dengan Israel yang berakhir dengan kekalahan Mesir. Akibat kekalahan Mesir, Gurun Sinai diserahkan kepada Israel.  Tak lama setelah itu Jamal Abdul Nasser wafat dan digantikan oleh Anwar Saddat (melalui revolusi tidak berdarah). Pada saat itu, terjadi pula perdamaian antara pemerintah Mesir dengan Inggris dengan syarat Inggris meninggalkan Mesir.
Marhalah Shohwah  (1967-1981)
Setelah adanya hukuman gantung terhadap tokoh-tokoh IM, aktifitas IM boleh dikatakan vakum.  Pada masa pemerintahan Saddat, seluruh tokoh-tokoh organisasi politik yang ditahan dibebaskan kembali, termasuk diantaranya tokoh-tokoh IM, seperti Hasan Al-Hudaibi, meskipun aktifitas IM sendiri tetap masih dilarang.
Fase ini disebut marhalah Shohwah, terjadi tahun 1967-1981.  Kepemimpinan Hasan Hudaibi berlangsung sampai 1973.  Ia berhasil menjaga asholah dakwah dan jama’ah dengan menulis sebuah buku berjudul Nahnu Du’at laisa Qudhot yang menolak faham pengkafiran yang muncul di sebagian kecil kalangan pemuda Ikhwan.
Nopember 1973 Hudaibi wafat dan digantikan oleh Umar Tilmitsani, saat itu Mesir masih dipimpin oleh Anwar Saddat. Berkat upaya Umar Tilmisani yang berdialog dengan pemerintah, IM akhirnya diperbolehkan kembali melakukan aktifitas-aktifitas dakwah, bahkan diberi kesempatan untuk mengikuti Pemilu di Mesir. Dengan aktifnya kembali IM, banyak orang yang berhasil direkrut, diantaranya adalah para mahasiswa di berbagai universitas di Mesir.
Ketika IM mulai bangkit kembali, terjadilah pembunuhan atas Anwar Saddat dan kedudukan Presiden kemudian digantikan oleh Husni Mubarok. Pembunuhan Anwar Saddat dihubung-hubungkan dengan IM, maka terjadilah penangkapan besar-besaran terhadap anggota IM, yang berakibat banyaknya anggota IM melarikan diri ke berbagai negeri.  Husni Mubarok memandang dengan perginya tokoh-tokoh IM ke luar Mesir, berarti IM sudah mati dan tidak membahayakan lagi.  Namun, dengan izin Allah, deportasi besar-besaran ini justru berakibat tersebarnya dakwah IM keberbagai belahan bumi.
Pada masa Mubarok, terbukalah suasana keterbukaan. Meskipun IM bukan merupakan partai resmi, namun anggota-anggotanya diperkenankan menjadi anggota DPR.  Semua ini berkat kemampuan Umar Tilmisani mengadakan lobi dan dialog. Tahun 1985, di bulan Ramadhan, Umar Tilmitsani wafat.  Beliau kemudian digantikan oleh Abdul Hamid Abu Nasr.
Marhalah Amal Alami  (1981-1990).
Tahun 1981 hingga tahun 1990 an disebut sebagai masa al ‘amal alam islami.  Karena sampai tahun 1990 an itu IM dapat melebarkan pengaruh dakwahnya secara internasional. Banyak organisasi, partai politik, kelompok keagamaan yang terpengaruh, mendukung, atau bermitra dengan IM.
Setelah Abdul Hamid Abu Nasr, IM secara berturut-turut dipimpin oleh Musthafa Masyhur (1996 – 2002), Ma’mun Hudhaibi (2002 – 2004), Mohammad Mahdi Akif (2004 – 2010), dan Muhammad Badi’ (memimpin sejak 16 Januari 2010, namun sehubungan krisis Mesir pada 2013, maka pada 8 Agustus 2013, Badi digantikan sementara oleh Mahmud Izzat hingga kini).
Hingga saat ini IM mengalami berbagai tribulasi—pukulan yang sangat keras terhadap IM terjadi pada 2013[1], namun aktivitas dakwah  mereka terus bergulir tak kenal henti hingga saat ini.
[1] Lihat lampiran: Pergulatan Panjang Perjuangan Politik Ikhwan.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2018/01/24/lintasan-sejarah-al-ikhwan-al-muslimun/
0 notes