Tumgik
#foto tentara indonesia
turisiancom · 5 months
Text
TURISIAN.com  - Kampanye Literasi Arsip dan Musik (KLASIK) dengan memotret kisah heroik Bojong Kokosan digelar. Event ini diinisiasi oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah (Dispusipda) Jawa Barat dalam memperingati Hari Pahlawan. Bekerja sama dengan  dengan Dinas Sejarah TNI AD Kodam III Siliwangi. Kepala Dispusipda Jabar I Gusti Agung Kim Fajar Wiyati Oka menyebutkan, Bidang Kearsipan bekerja sama dengan  Kodam III Siliwangi mengangkat kembali peristiwa heroik tersebut. Hal ini agar generasi muda mengenal salah satu perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan, yakni pertempuran Bojong Kokosan. BACA JUGA: Hidden Gems Lembang Kuntit Bojongsoang Ini Tawarkan Spot Foto Menarik Menurutnya, peristiwa sejarah Bojong Kokosan yang terjadi di wilayah Sukabumi pada 9 Desember 1945 itu kronologisnya sudah diarsipkan dengan rapi. Bahkan, hingga saat ini terawat dengan baik di Dispusipda Jabar maupun Dinas Sejarah TNI AD. "Ini yang ingin kita kenalkan dan ingatkan kembali kepada masyarakat. Terutama generasi muda tentang peristiwa kisah heroik Bojong Kokosan tersebut," ujar Wiyati Oka di kantor Dispusipda Jabar, Kota Bandung, Selasa 28 November 2023. Peristiwa Bojong Kokosan merupakan pertempuran melawan tentara Sekutu. Bojong Kokosan adalah nama daerah di kawasan Sukabumi yang menjadi jalur penghubung Sukabumi-Cianjur-Bandung. BACA JUGA: Singgah Dulu di Desa Wisata Bojong Menteng, Gerbang Masuk ke Saba Baduy Sementara itu, pada KLASIK episode-3 kali ini, Dispusipda Jabar juga menggandeng SMK Negeri 10 Kota Bandung menggarap musik dan film untuk mengisi materi. "Mengapa kita kaitkan dengan musik karena musik adalah bahasa universal. Diharapkan kampanye literasi dan kearsipan ini bisa mudah sampai dan dipahami maayarakat melalui media musik dan film," terangnya. KLASIK episode-3 Dispusipda Jabar juga diisi dengan talkshow tentang sejarah peristiwa Bojong Kokosan, pemutaran film sejarah, live music. Ada juga, fashion show, penghargaan kearsipan serta bazar pangan murah produk UMKM dan Petani Milenial. ***
0 notes
wwwintinewscoid · 5 months
Text
Selamat Dan Sukses Atas Pelantikan Jenderal TNI Agus Subiyanto Sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia
INTINEWS.CO.ID, NASIONAL – Pemred dan keluarga besar berita online http://www.intinews.co.id mengucapkan selamat dan sukses atas pelantikan Jenderal TNI Agus Subiyanto sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, pada hari Rabu, 22 November 2023. Foto tangkapan layar di…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
rencanapetualangan · 6 months
Text
Tumblr media
Lawang Sewu adalah salah satu ikon bersejarah yang terletak di kota Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Bangunan ini merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang memiliki makna mendalam, dan telah menjadi destinasi wisata yang populer bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Artikel ini akan menjelaskan sejarah, arsitektur, serta pesona dari Lawang Sewu.
Sejarah Lawang Sewu
Sejarah Lawang Sewu dimulai pada awal abad ke-20, ketika Hindia Belanda masih menguasai Indonesia. Bangunan ini dibangun sebagai markas utama Kantor Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) atau Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda. NIS adalah perusahaan kereta api milik Belanda yang mengoperasikan jalur kereta api di Jawa Tengah. Pembangunan Lawang Sewu dimulai pada tahun 1904 dan selesai pada tahun 1907.
Nama "Lawang Sewu" sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti "seribu pintu". Sebenarnya, bangunan ini memiliki banyak jendela dengan kisi-kisi besi yang khas, bukan pintu. Namun, istilah ini digunakan untuk menunjukkan betapa megah dan luasnya bangunan ini.
Selama masa pemerintahan Jepang selama Perang Dunia II, Lawang Sewu digunakan sebagai markas tentara Jepang. Setelah Indonesia merdeka, bangunan ini menjadi saksi bisu dari sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan.
Arsitektur Lawang Sewu
Lawang Sewu memiliki arsitektur yang memukau dengan sentuhan gaya arsitektur kolonial Belanda. Bangunan ini terdiri dari dua bangunan utama yang terhubung oleh terowongan bawah tanah. Gedung utama berdiri di atas fondasi beton kokoh dan memiliki tiga lantai. Kisi-kisi besi yang menghiasi jendela-jendela membuat bangunan ini tampak anggun.
Yang paling mencolok adalah aula utama yang memiliki tinggi langit-langit yang luar biasa. Di aula inilah banyak keputusan penting perusahaan NIS diambil. Selain itu, terowongan bawah tanah yang menghubungkan dua bangunan utama digunakan untuk transportasi surat dan dokumen penting.
Pesona Lawang Sewu
Lawang Sewu tidak hanya menjadi tempat bersejarah, tetapi juga menjadi salah satu destinasi wisata yang menarik. Pengunjung dapat menjelajahi gedung ini untuk melihat arsitektur indahnya, termasuk menaiki tangga monumental di dalam gedung utama. Ada juga berbagai pameran foto dan artefak yang menceritakan sejarah bangunan ini.
Selain itu, banyak pengunjung yang menyatakan bahwa Lawang Sewu adalah salah satu lokasi yang angker. Terdapat legenda urban yang mengisahkan bahwa bangunan ini dihuni oleh hantu, terutama di malam hari. Namun, pesona mistis ini justru menambah daya tarik Lawang Sewu bagi para pencari petualangan.
Selain sebagai objek wisata, Lawang Sewu juga menjadi saksi perubahan kota Semarang. Dikelilingi oleh modernitas kota, bangunan ini tetap berdiri dengan kemegahannya, mengingatkan kita akan sejarah panjang yang telah dijalaninya.
Kesimpulan
Lawang Sewu adalah salah satu bangunan bersejarah yang memukau dan menghadirkan seribu kisah dalam satu tempat. Sebagai peninggalan kolonial Belanda, bangunan ini mengingatkan kita akan masa lalu yang kaya dan perjuangan bangsa Indonesia. Bagi para wisatawan, Lawang Sewu adalah destinasi yang mempesona dan memikat dengan arsitektur megah dan nuansa misteriusnya. Sebagai ikon kota Semarang, Lawang Sewu tetap menjadi saksi bisu dari sejarah dan keindahan Indonesia.
1 note · View note
infokuliah · 8 months
Text
AGEN TERBESAR CALL 0811-257-132, Foto Pisau Bayonet Jogja
Tumblr media
"KLIK https://wa.me/62811257132, Bayonet For M4 Carbine, Bayonet For M1 Carbine, Bayonet For Shotgun, Bayonet For Picitanny Rail, Bayonet For M-16 RifleDi era modern ini, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) membutuhkan perlengkapan yang tangguh, terpercaya, dan berkualitas untuk menjaga kedaulatan dan keamanan negara. Mengerti kebutuhan tersebut, Toko Perlengkapan TNI Berkah Berlimpah hadir sebagai solusi one-stop shop untuk keperluan anggota TNI dari seluruh kota di Indonesia.Toko Perlengkapan TNI Berkah BerlimpahJakarta Timur – Indonesia Call / WA : 0811-257-132Call / WA : 0811-257-132Call / WA : 0811-257-132#jualsangkurbayonetsalatiga, #jualsangkurbayonetsabang, #jualsangkurbayonetmedan, #jualsangkurbayonetsanga-sanga, #jualsangkurbayonetsolo, #konveksiseragammiliter, #konveksiseragamtentara, #konveksiseragamtni, #jualbajumiliterdijogja, #jualbajumiliterbandung"
0 notes
infounivterbaik · 8 months
Text
AGEN TERBESAR CALL 0811-257-132, Foto Pisau Bayonet Jakarta Timur
Tumblr media
"KLIK https://wa.me/62811257132, Pisau Sangkur Terbaik, Pisau Sangkur Columbia, Pisau Sangkur Keren, Pisau Sangkur Kecil, Pisau Sangkur KomandoDi era modern ini, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) membutuhkan perlengkapan yang tangguh, terpercaya, dan berkualitas untuk menjaga kedaulatan dan keamanan negara. Mengerti kebutuhan tersebut, Toko Perlengkapan TNI Berkah Berlimpah hadir sebagai solusi one-stop shop untuk keperluan anggota TNI dari seluruh kota di Indonesia.Toko Perlengkapan TNI Berkah BerlimpahJakarta Timur – Indonesia Call / WA : 0811-257-132Call / WA : 0811-257-132Call / WA : 0811-257-132#SangkurPisauAdalah, #SangkurPoraPolri, #SangkurPoraBrimob, #SangkurPoraTniAu, #SangkurPoraTniAl, #PerlengkapanMiliterBandung, #PerlengkapanMiliterBogor, #PerlengkapanMiliterIndonesia, #PerlengkapanMiliterMurah, #PerlengkapanMiliterOnline"
0 notes
ikakuinita · 1 year
Text
Sebatik
Pulau perbatasan Indonesia-Malaysia di Provinsi Kalimantan Utara. Sebatik, pertama kali kudengar di sela-sela pembicaraan mahasiswa yang sedang makan siang di kantin. Kenapa? Karena ini salah satu tujuan KKN Tematik yang diperebutkan lewat jalur seleksi. Kurasa orang-orang yang begitu serius ingin KKN ke sana adalah mereka yang senang memupuk pengalaman. Kenapa? Karena ini daerah terpencil, akses tak semudah di kota, wilayah rawan konflik, dan berangkat via laut.
Lewat teman-teman yang pernah KKN di sinilah kucari jalurnya untuk solo travelling. Sayang, mereka lewat Nunukan sementara saya berencana turun di Tarakan. Akhirnya tetap cari jalur sendiri. Saya tiba di pelabuhan sekitar pukul 09.00 pagi, dijemput keluarga lalu drop sebagian isi ransel dan hanya membawa kebutuhan 2-3 hari. Berangkat lagi siang menjelang sore lewat Pelabuhan Tengkayu I. Seseorang menitipkan adiknya padaku, seorang siswi SMP yang pertama kali pulang sendirian. Katanya sering mabuk jadi kubiarkan duduk dekat jendela pas disampingku.
Kasihan anak itu benar-benar mabuk laut, seeepanjang perjalanan berusaha menahan pusing dan mual. Pantas keluarganya khawatir dia pulang sendiri. Hampir pingsan loh anak ini, bibirnya pucat, loyo sekali. Sementara Speedboat yang ditumpangi sempat mengalami kendala pas maghrib. Tak kuingat persis apa masalahnya tapi perjalanan itu akhirnya berhenti di tengah sungai. Mereka saling berargumen sampai malam. Kami yang harusnya tiba maghrib mundur ke Ba'da Isya.
Dermaga nya duuuhhh ya ampuuunnn. Kayunya rapuh, penerangan tidak ada, Speedboat tidak bisa sandar. Jadi, kita keluar lewat belakang dekat mesin lalu meniti langkah kaki di bagian samping perahu sambil memegang besi di atasnya dan melompat ke dermaga. Ffyuuhhhh. Yaaa begini pintu masuk perbatasan. Awalnya saya ingin menginap di hotel Queen tapi sama keluarganya anak perempuan tadi ditawari tumpangan di rumahnya, dan saya dikasi tahu gak boleh menginap di sembarang hotel loh di sana.
At the end tawaran itu kuterima, anak ini tinggal bersama nenek dan kakak spupu perempuan. Tantenya datang pas pagi sampai sore saja. Nenek ini baaaikk sekali Masya Allah, saya dimasakkan ikan, diajak ngobrol santai waahh tuan rumah yang ramah. Oia mereka tinggal di rumah panggung, luas, sangat luas. Pagi-pagi nenek melapor ke RT/RW tentang kedatanganku. Jadi, di sana tu karena perbatasan jadi siapapun tamu yang datang harus lapor.
Gak cuma itu, saya dicarikan ojek untuk keliling Pulau Sebatik dengan harga terjangkau. I mean sebagai orang baru, gak dibodoh-bodohi lah masalah harga. Saya dikasi tau kebiasaan masyarakat setempat, apa yang boleh apa yang tidak. Seharian itu kutelusuri setiap patok perbatasan kecuali dalam hutan. Dimana-mana banyak pos jaga tentara, ada yang sendirian, ada dua orang, banyak juga pos yang rame dijaga tentara.
Dan inilah Sebatik. Pulau dengan 2 negara, sebagian wilayahnya masuk negara Indonesia, sebagian lagi Malaysia. Jadi kaya' satu pulau yang dibagi dua. Ada penanda di tengah rawa, 2 bendera negara ditancap berdampingan. Ini sih masih kelihatan ya dari jauh. Tapi ada loh batas negara yang ditandai lewat sawah 😅. Sawah yang kanan adalah negara Indonesia atau sebaliknya (kulupa). Ada juga bendera yang ditancap depan rumah warga. Jadi kalau dia ke depan rumahnya udah lintas negara 😆.
Tak cuma itu, ada satu jalanan kecil yang ditandai dari satu garis saja. Yang jalanannya bagus punya Indonesia, pas masuk jalanan bertanah sudah Malaysia. Jadi kuminta singgah sebentar mengabadikan foto, kaki kanan di Malaysia kaki kiri di Indonesia. Icon yang paaling terkenal adalah gapura berwarna merah biru, dibelakangnya ada pagar kayu yang sudah lapuk. Tinggal buka pagarnya melangkah ke dalam ehh udah di luar negeri 😄.
Icon lain yang juga terkenal adalah rumah berwarna biru. Ruang tamunya di Indonesia, dapurnya di Malaysia. Teras rumah itu dibikinkan pos terus dijaga sama tentara. Dua rumah disebelahnya ada rumah makan yang tempat cuci piringnya sudah lintas negara. Singgahlah kami makan siang, kubayar pakai rupiah kembaliannya ringgit.
Sepanjang pulau Sebatik ini, kita akan ketemu dengan baaanyaak sekali tanda perbatasan ada yang kentara ada juga yaaa cuma masyarakat sekitar yang tahu. Seingatku yang benar-benar diberi patok itu ada 12 titik. Oia, dibagian akhir perjalananku ada yang namanya bukit keramat di depannya adalah pos lintas batas negara. Saya sempat dipanggil, diminta perlihatkan KTP, ditanya-tanya lalu yaaa karena kepanasan saya lagi yang minta izin mau berteduh sebentar.
Dan kusaksikanlah bagaimana orang keluar masuk negara. Miris cuuuyyyy. Miris. Mobil bawaannya segambreng, penumpang over capasity tapi hanya diperiksa sama 2 tentara, alatnya cuma pakai inspection mirror. Jjiiiaahhh narkotika bisa diselip dimana ajaaaa pantas barang haram ini gampang masuknya, disela-sela barang karungan juga bisa. Dua tentara mana bisa bongkar barang sebanyak itu, belum lagi antrian mobilnya panjang. Gampangkan di akalin.
Pas pelintas batas lagi sepi kami sempat ngobrol-ngobrol. Pada intinya mereka juga mengeluh, disuruh jaga keamanan negara di perbatasan, keamanan negara nih tapi tidak dibekali alat canggih. Pun jumlah tentara yang jaga tak sebanding dengan banyaknya pelintas batas. Miris kaann? Namanya perbatasan negara, penting loh di perhatikan. Karena ini pintu yang samar. Saking samarnya gampang ditembus. Padahal ini darat, gimana yang di laut coba.
Sebatik. Selesai sudah perjalananku setelah ngobrol dengan tentara tadi, memang kuakui namanya melancong ke perbatasan itu membuka mata dan pikiran. Melihat secara nyata kehidupan pinggir negeri dan pastinya tempat ini mengundang jiwa nasionalisme bagi yang mengunjunginya. Wajar jadi sasaran program KKN biar anak muda dapat pengalaman dan punya gambaran masa depan bangsa seandainya tempat ini dibiarkan tanpa perubahan.
Akhirnya, saya pulang dengan jalur berbeda. Kali ini lewat Nunukan atas bantuan nenek yang rumahnya kutinggali. Ada tetangganya mau ke tarakan, anak kuliahan di Universitas Borneo, kami akrab dengan cepat setelah diperkenalkan, lalu diantar sama bapanya naik truk sampai penyeberangan perahu ke Nunukan. Dari Nunukan ambil kapal swasta ke Tarakan. Kebetulan ia kenal sama kaptennya karena sudah sering bolak-balik jadi kita tak perlu sibuk cari tempat, dapat kamar sendiri cuuyyy, lengkap dengan tv dan wc plus dikasi kesempatan melihat proses kerja kapal, ternyata ada tv yang bisa tersambung dengan kamera bawah untuk melihat ada apa saja di lautan yang sedang dilewati.
Kami tiba di Tarakan sebelum subuh dan disambut hujan lebat. Syukur jemputan gadis yang kutemani ini langsung datang dan dengan baik hati mengantar sampai rumah keluargaku. Sampai tanteku tercengang, siapa pula temanku dari Sebatik yang bisa kasi fasilitas hingga depan rumahnya 😅. Yaaahh It's the power of good lucky .
.
.
.
1 note · View note
opinishofwankarim · 1 year
Text
Menjemput Masa Lalu, Cerita untuk Anak dan Cucu
Menjemput Masa Lalu, Cerita untuk Anak dan Cucu
Tumblr media
Wisuda Maizar Karim, Drs Fakultas Pendidikan, Bahasa dan Seni IKIP Padang Tahun 1986. (Foto: Klg)
Memo Keluarga, 4-6 Februari 2017:
Menjemput Masa Lalu, Cerita untuk Anak dan Cucu
Oleh Shofwan Karim
Masa lalu tidak perlu dijemput. Masa depanlah yang harus dijangkau. Kalimat yang selalu dia pegang sampai usianya 68 tahun ini. Maka ia selalu memburu masa datang. Lima benua dan tujuh samudera sudah ia kunjungi. Dunia mana lagi yang belum? Tinggal satu, Amerika Latin. Yang lain hampir semua sudut sudah dijejakinya. Jabatan, apalagi yang belum ?. Kesenangan, apa lagi yang tak pernah dikecap?.
Senang, Galau dan PRRI
Padahal masa lalu yang jauh ada nostalgia yang tak pernah luput. Ada senang dan ada galau. Penuh onak dan duri. Berlika-liku dalam garis   tahun yang lumayan Panjang. Pada mulanya hidup untuk ukuran kampung berkecukupan. Mempunyai Ayah yang disebutnya Abak. Seorang petani dan pedagang kecil nyambi juru foto keliling. Ibu selalu menyediakan susu, roti, mie, roto gabin, dan roti satana. Itu kudapan dan menu sebagai ukuran kemewahan kanak-kanak masa awal kehidupannya. Untuk ukuran kampung, masa itu adalah kemewahan.  Semua pernah dinikmatinya.
Masa tenang dan senang itu berubah sontak. Perjuangan Rakyat Republik Indonesia (PRRI) meletus. Oleh Presiden Soekarno kala itu PRRI, P pertama bukan Perjuangan tetapi disebut Pemberontakan.   Dan tentara pusat melanyau kampung  ayah dan ibunya. Ayah yang ia panggil Abak atau Ebak,  pernah direndam semalam suntuk di dalam kolam penuh lintah  oleh tentara pusat. Gara-gara Abak tertidur sebagai penjaga keamanan kampung (PKK). Ada beberapa keluarga  Abak yang ditembak oleh tentara pusat karena dituduh PRRI. Abak juga dituduh antek PRRI. Tetapi  entah kenapa tidak ikut dijemput dn kemudian ditembak. Ada 2 yang lain yang mengalami nasib nass dan fatal itu.
Pertama Datuk Syafii, suami Etek Abak pihak ibu. Beliau suami dari Hj. Aisyiyah Bin H Bana. Aisyiyah  adik kandung Hj. Hafsah Bin H Bana. Hj Hafsah adalah ibu Kandung Abak Abdul Karim bin Hussein. Datuk Syafii waktu itu menjadi Kepala Dusun yang waktu itu disebut Datuk Rio. Kedua Abdul Muthalib, Rio sebelum Datuk Syafii. Kedua orang ini Bersama Datuk Gemuk, familinya dari Rantau Ikil dan beberapa yang lain, dijemput. Belakangan semua merka ditembah oleh tentara Pusat. Tempatnya di atas jembatan Tagan, jalan lama dulu di tahun 1958 itu antara Rantau Ikil, ibu negeri Marga Jujuhan dan Dusun Pelayangan arah ke ibu Kecamatan Tanah Tumbuh.
H. Ilyas, suami Hj. Djama, Adik Abak di Sungai Limau, alhamdulillah selamat. Etek Djama anak dari Hj. Aminah  dan Fatimah adalah saudara perempuan Datuk H. Hussein di Sungai Limau. Saya panggil Pak Haji. Ketika Ilya dan Djama menikah dan perhelatan perkawinan, dia berumur sekitar 4 atau 5 tahun. Digendong Abak di baahunhya menempuh jalan setapak antara Tanjung Belit dan Sungai Limau, sebelum peristiwa PRRI tadi.
Pak Haji rupanya menjadi kelompok elit Kolonel Zulkifli Lubis. Kolonel Zulkifli Lubis adalah mascot PRRI untuk wilayah ini. Beliau orang intelijen. Ada miyos tentang kolonel ini oleh orang kampung di rimba atau yang maih tinggal di dusun. Lubis bisa berubah bentuk. Bisa menghilang. Bisa selamat dari perempuran antara PRRI dan Pusat.
Orang-orang PRRI bergriliya di dalam rimba belantara kawasan Sungai Jujuhan, Sugai Batang Asai dan Solok Selatan. Pusat mereka di Bidar Alam. Belakangan, Nagari Sungai Limau dibakar. Dia tidak tahu persis . Yang membakar pihak PRRI untuk supaya jangan nagari itu direbut pusat atau oleh tentara Pusat, karena nagari itu sarang dan markas PRRI. Untuk usianya yang 6 tahun waktu itu, tidaklah begitu jelas. Apalagi dia bersama semua orang kampung lari ke rimba belantara di antara Jujuhan, Abai Siat, Koto Baru. Sekarang wilayah itu sudah menjadi Tukum, Sungai Rumbai dan Sitiung. Di rimba itu mereka mengungsi atau besembunyi dan hidup dari makanan yang ada di rimba. Datuk Razali, adik Hj Hafsah yang lain bergeriliya dari rimba itu pula. Isterinya di Sibakur, Sijunjung tinggal dengan nasibnya yang dia tidk ketahui. Belakangan setelah peristiwa PRRI pada tahun awal 60-an, mereka berkumpul di Dusun Sirih Sekapur.
Itulah awal kehidupan gelap keluarga dan orang kampungnya di sepanjang Sungai (Batang) Asam dan Jujuhan pada tahun-tahun 1958-1960. Maka kehidupannya menjadi porak poranda. Mereka lari ke dalam rimba. Makan jagung dan ubi kayu yang menjadi nasi pengganti beras. Di tengah rimba yang tidak ada jagung dan ubi mereka makan umbi-umbian. Syukurnya, di masa itu buah-buahan rimba menjadi-jadi sebagai santapan mereka. Ia ikut ayah masuk hutan keluar hutan. Lari dari rimba satu ke rimba yang lain.
Tumblr media
Silsilah dua Keluarga Kaya
Belakangn setelah situasi aman, ia ikut ayah menjadi penakik karet. Ikut ayah dan ibu ke ladang. Humo (huma) jaja. Ladang lahan kering yang dioleh dengan dibajak oleh sapi atau kerbau. Terletak di seberang dusun arah ke Bukit Semen. Sebuah bukit yang diatasnya ada bekas benteng Jepang dengan beton semen persegi empat.
Ada pergeseran sedikit budaya tanam padi masa ini. Dari tebas dan bakar rimba bersegeser ke mengilah tanah dengan dibajak. Kawasannya datar. Dia pikir budaya ini pengaruh dari Minangkabau. Putra-putri Datuk Bana, Kakek oleh Abak punya berbilang anak dari dua isteri. Hj Thany (baca Toni) dan Hj Sana (baca Hasanah).  Hafsah, ibu Abak adalah anak tertua dari keluarga besar ini. Adiknya satu ibu-ayah Nawawi, Khatib, Razali, Ramli, Mustafa, Ibnu Hajar, Aisyiyah. Adiknya dari ibu Sana, isteri kedua Bana adalah Muhammad Latif, Ishaq, Saftia, Ismail Bakar, Ya’kub dan Ali.
Hj. Toni  berasal dari Tanah Datar. Sehingga ada aura Minangkabau yang kental. Khatib, suka sekali mengembara daroi satu kampung ke kampung lainnya. Sambil menelusuri asal usul ibunya yang diduga berasal dari Lintau, berulang kali ke nagari asal itu. Ada Datuk Sifat yang sengat dekatnya. Bahkan putrinya Zet Aisyen di sekolahkan di Lintau bersama dengan Sidarni. Mungkin Zet dan Sida sekolah di Muallimin Lintau.
Dia memangggil Bibi Zet. Sedangkan ke Sidarni dia memanggil Etek Sida. Yang tersebut belakangan adalah anak dari H Hasan dengan Pilus. Hasan adalah adik kandung dari Hussein, ayah dari Abak. Hasan daan Hussein adalah anak dari H Thaat yang menjadi sahabat dan mungkin juga mitra dagang. Hj. Thaat seperti di sebut di atas punya putra putri yang banyak pula dari beberapa isteri . Tetapi Hasan dan Hussein satu ibu dan ayah.
Persahabatan antara Thaat dan Bana, konon berlangung sejak lama. Thaat pedagang yang terkenal dari nagari Sungai Limau Kawasan Batang Asai. Bana pedagang terkenal Kawasan Jujuhan. Masinh-masing mereka punya beberpa isteri dan banyak anak. Yang tertua anak dari Thaat adalah Husein. Yang tertua anak dari Bana adalah Hafsah. Konon mereka kedua keluarga pergi ibadah  ahji ke Mekah dan membawa anak tertua masing-masingnya. Di situlah rundingan mereka menjodohkan Hussein dengan Hafsah yang melahirkan Abdul Karim, Rabiah dan Abdul Halim. Belakangan setelah Hafsah wafat, Hussein menikah dengan Dayang, Jani dan Syamsiah. Hanya dengan Syamsiyah ada tambahan satu putri Hussein bernama Misna.
Maka yang dominan di keluarga Hussein kelihatannya adalah Abdul Karim (Abak). Anak tertua dari Husein dan Hafsah dan cucu tertua dari Bana dan Thaat. Keluarga ini sangat dekat. Sampai akhir hayatnya, Bana dan Thaat dikuburkan di bagaian luar depan Masjid lama Dusun Sirih Sekapur pinggir Sungai Jujuhan. Mungkin dulu sponsor utama mendirikan Masjid ini adalah kedua tokoh ini. Sekarang Masjid sudah pindah ke lahan lain, tanah Bana yang lebih luas dan Masjid Syuhada yang lebh besar.
Meski dominan, tidak ketat bergantung kepada kedua kakeknya itu. Dari percakapan di kampung dia tahu sedikit tentang abak masa mudanya. Belajar agama, pandai mengaji, berkasidah dan preman dan suka menuntut ilmu ghaib.
Abak dan Emak
Abdul Karim, Abak, oleh Datua Hussein dikirim belajar sekolah agama di seberang Kota Jambi ujung tahun 1930-an. Boleh jadi juga atas dorongan Datuk Buyut H Bana dan H Thaat yang terkenal kaya dan alim. Pemuda Abdul Karim,  kelahiran 1920-an (diperkirakan 1927) itu tidak diketahui berapa lama belajar agama. Apa nama langgar, surau  atau pesantren atau madrasah sebutan sekarang. Mungkin tidak bernama. Tetapi oleh  keturunan Arab yang berimigrasi ke seberang kota Jambi (sekarang disebut Sekoja) pada abad-abad sebelumnya, ada pendidikan agama.
Misalnya  Sayyid Idrus adalah sultan atau raja yang berkuasa di daerah itu pada dekade akhir abad ke-19 dengan gelar Pangeran Wiro Kusumo. Beliau merupakan seorang ulama keturunan Arab atau Yaman. Sayyid Idrus bin Hasan Al Jufri wafat tahun 1902 dan dimakamkan di depan masjid Ikhsaniyah yang didirikannya. Lihat : https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/menelisik-sejarah-jambi-kota-seberang/. Akses 8.08.2018. Sampai tahun 1960-an dikenal mengaji di Tahtul Yaman, Tanjung Raden atau Olak Kemang di Sekoja.
Abak menulis Arab dan Latin sangat  bagus. Pandai mengaji dan berkasidah atau lagu irama padang pasir.  Oleh karen itu beliau selalu disuruh menjadi muazin. Kadang menjadi imam. Dan kalau ada upacara perkawinan dan lainya, Abdul Karim melantunkan ayat quran dan melagukan qasidah. Mengajar mengaji untuk saya di rumah hanya sekali-sekali. Kami disuruh belajar mengaji ke surau di sebelah masjid. Guru kami Nenek Abdullah Haji. Dengan system halaqah. Semua masing-masinnb membaca. Kemudian anati sagtu persatu menghadap beliau untuk menentukan lancar tidaknya. Dan akhirnya itulah Batasan kaji malam itu.
Mula-mula dia diserahkan mengaji ke Surau itu diantar Abak langsung dengan sebuah surat quran Juz Amma dan sepotong rotan. Rotan itu gunanya untuk dilecut talapak kaki bila tidak dapat juga membaca yang sudah diulang-ulang berkali-kali oleh kakek Guru.
Di Masjid  di depan rumah tinggi yau di surau di kampung hilir. Sampai tahun 1960-an dusun Sirih Sekapur terbagi atas 3 kawasan system kepemimpinan dan kekerabatan. Kampung mudik dipimpin oleh Datuk Bandaharo. Kampung tengah Datuk Rio dan Kampung Hilir, Datuk Depati. Konon itilah Bandaharo menunjuk kepada asal imigran dari Minangkabau. Rio asal seberang kampung dan Depati berasal dari hilir yang disebut Rantau Dani, bagian hilir dari dusun di pinggir Sungai Jujuhan. Belakangan istiah itu hilang. Kepala dusun disebut Datuk Rio, Kepala Kampung cukup Tuo Kampung Mudik, Tengah dan Hilir.
Kultur lokal dan dinamika politik menarik juga disimak. Abak Abdul Karim dan Emak Rahana Ibrahim perpaduan dari duo-kultur Mudik dan tengah. Kampung Bandaharo kebanyakan berpengaruh di isu kekuasan politik dan ekonomi . Punya lahan kebun karet agak luas karena kebanyakan pedagang dan agak kaya. Kampung tengah lebih kepada kaum tani dan sedikit  kekuasaan. Kampung hilir lebih ke tani dan menguasai sungai dan pencari ikan ulung. Keterampilan yang sangat kurang untuk Kaum Bandaharo dan Rio atau Mudik dan Tengah. 
Kalau ada perhelatan, menu di Mudik dan Tengah banyak daging. Tetapi di hilir lebih bervariasi dan kadang lebih banyak ikan. Akan tetapi di dalam pengaturan adat dan soal kemasyarakatan dimusyawarah oleh ketiga kaum tadi . Bandaharo, Rio dan Depati. Walaupun agak dominan di dalam rundingan itu berbicara dari kalangan Bandharo, tetapi Depati biasanya lebih kritis dan rio lebih moderat. 
Humo di sepanjang pinggiran Sungai Jujuhan. Humo di sepanjang  Sungai Degheh (Dareh) Kawasan lain setelah wilayah Tukum.   Ikut ayah membuka ladang, maneruka rimba di Sungai yang airnya jernih, kecil berliku dan ada ikannnya. Terus rimba baru ditebang, di bakar, kemudian ditaman padi. Lahan sebelumnya sambal ditanam padi dielingi dengan tanaman karet. Kemudian begitu seterusnya masa itu, kebun karet tercipta di spanjang kiri kanan sungai Jujuhan. Ladang, panen dan kemudin jadi kebun karet. Selanjutnya dibuka ladng baru dan menjadi kebaun karet. Hal itu terjadi sampai tahun 70-an. Setelah terbuka jalan Trans Sumatera atahun 1976 pola agak berubah. Ada yang meneruskan poal lama tetapi ada pula yang pola baru, rimba dibakar lalu tanam karet langsung. Kini pola lama itu hampir tidak adalagi. Rimba sudah habis dibabat untuk perkebunan. Padi tidak lagi ditanam. Semua beli beras yang didatangkan dari luar.
Kembali ke tahun 1960. Rasanya dia Mulai masuk Sekolah Rakyat pertengahan 1959. Kampung sudah dikuasai sepenuhnya oleh Pusat. Bersekolah di Rantau Ikil (RI) sebagai satu-satunya sekolah dasar di wilayah ini. RI adalah pusat pemerintahan Marga Jujuhan. Waktu itu ada 12 Dusun di Marga Jujuhan. Mulai dari Tanjung Belit, Dusun tebat, Pulau Jelmu, Rantau Ikil, Ujung Tanjung, Sirih Sekapur, Rantau Panjang, Jumbak, Tepian Danto, Aur Gading dan Pulau Batu. 
SR Rantau Ikil berjarak sekitar 3 kilo meter dari Dusun Sirih Sekapur dilalui berjalan kaki di jalan kecil sepanjang pinggir Sungai Jujuhan.
Ikut ayah membuat batako, menggali tanah merah dan membakarnya, kemudian dijual kepada toke. Ibu ikut menjawat upah bekerja membersihkan ladang dari satu ke ladang lain. Semua untuk keperluan dapur supaya tetap asap mengepul.
Sampai ia tamat SR (Sekolah Rakyat, sekarang SD) ia merasakan hidup yang luka, duka dan nestapa. Di tengah kehidupan ekonomi yang morat marit dan situasi politik yang panas, ia menamatkan SR di kampungnya. Pada Juli tahun 1965 ia masuk SMP di kota kecataman, 35 km dari kampungnya. Keadaan ekonomi keluarga semakin tidak menentu.  Belakangan, setelah ia dewasa, rupanya baru diketahui bahwa politik nasional sudah runyam dan panas. Uang rupiah tidak bernilai. Inflasi sudah ribuan persen.
Ia dikirim ayah ke SMP tanpa uang kecuali diiringi seekor sapi yang diberikan kepada mamak ayahnya bernama Mustafa yang ia panggil kakek, kadang-kadang Datuk. Kakek ini mempunyai isteri kedua di kota kecamatan ini. Sapi itu akan dijual kakek dan dengan uang itu ia mendapat jaminan untuk makan, tempat tinggal dan biaya sekolah lainnya di rumah isterinya itu.
Keadaan tidak berlangsung lama. Dari siaran RRI masyarakat di ibu kecamatan Tanah Tumbuh  itu heboh. Pada 30 Sepetember 1965 terjadi peristiwa berdarah coup d’etat perebutan kekuasan oleh PKI di Jakarta. Letkol Untung pemimpin makar PKI itu telah membunuh tujuh orang jenderal dan seorang putri Jendral AH Nasution.
Masa remaja awal itu ia tidak peduli dengan hal-hal politik, perebutan kekuasaan dan sebagainya. Ia merasakan di ibu kecamatan itu biasa saja. Sambil sekolah, ia kemudian menjadi pelayan kedai kecil milik Ahmad  yang berasal daerah Banjar Masin, Kalimantan Selatan. Dari situ ia dapat makan. Dari rumah isteri Kakek Mustafa, dia bergabung  tinggal di sebuah pondok di tengah ladang tebu milik Guru Sekolah Rakyat Tanah Tumbuh. Namanya sama dengn abak,  Abdul Karim.
Di pondok itu ia tidur malam hari bersama pelajar lain yang sebagian besar dari kampungnya dan juga kerabat-kerabatnya. Kadang-kadang ia tidur di kedai tempatnya nyambi  bekerja sambilan tadi di Pasar Tanah Tumbuh.
Pada waktu peringatan 17 Agustus 1965 diadakan perayaan besar di ibu kecamatan itu. Salah satu agenda yang diikutinya adalah MTQ tingkat kecamatan. Ia mewakili 11 dusun dari wilayahnya. Kumpulan  11 dusun  artinya dari  Marga Jujuhan di mana kakek Mustafa  menjadi Pasirah seabagai pimpinan tertinggi di Marga Jujuhan. Oleh karena sewaktu di SR ia pernah  mendapat bintang emas kecil sebagai juara MTQ tingkat Marga tadi, maka oleh kakeknya yang Pasirah menunjuk dirinya mewakili Marga Jujuhan untuk MTQ tingkat kecamatan ini.
Ia behasil mendapat juara dua. Hadiahnya uang 35 ribu rupiah. Uang itu ia belikan selembar baju tetoron warna biru langit cerah. Kali pertama ia memakai baju tetoron. Kalau diseterika bagus rapi dan bau harum  tetoron itu kena panas seterika semerbak di hidungnya.   Sebelumnya ia hanya punya baju dan celana pendek SMP kain belacu atau marikan. Dan ada satu lagi kipar.
Ada seorang guru Bahasa Indonesia di SMP ini yang sangat memperhatikan pelajar-pelajar. Namanya Bapak Guru Yusuf. Tiga kali dalam seminggu, murid-muridnya dikumpukan di rumah kosong yang disebut asrama di dusun Koto Jayo, di sebelah Barat Tanah Tumbuh. Pak Yusuf  itu mengulang pelajaran terutama bagi yang merasa kurang menguasai mata pelajaran tertentu.
Ada lagi seroang guru bernama Said Hasan, guru agama. Beliau tamatan PGAA Tanjung Pinang,  di Provinsi Riau. Di samping hebat mengajar pelajaran agama, guru Said Hasan pandai mengajar Bahasa Inggris. Maka tiga kali dalam seminggu, malam hari murid diajar Bahasa Inggris extra sekolah. Ia adalah salah seorang dari murid di dua halakah Guru Yusuf  dan Guru Said Hasan. Konon dari bisik-bisik dia  tahu bahwa gurunya senang kepadanya karena pintar. Bahasa Inggris salah satu pavoritnya. Ia suka cas cis cus dengan Guru Said Hasan di Dusun Lubuk Nyiur, sebelah Timur dari Tanah Tumbuh, lokasi SMP sekolahnya.
Peristiwa G30S hingar binger. Demontrasi terjadi di mana-mana di seluruh Indonesia mengutuk PKI. Berbagai komponen dan eksponen bangsa bangkit. Menamakan diri Angkatan 66 ada kesatuan Mahasiswa (KAMI). Pelajar (KAPPI). Guru (KAGI) dan seterusnya. Perlahan tapi pasti, keadaan negara sudah dikuasai oleh TNI  dengan kekuasan dipegang Pj Presiden Soeharto.
Keadaan menjadi buruk. Morat-marit. Sepertinya dia tidak betah sekolah di SMP di ibu kecamatan itu. Uang rupiah dipotong nilainya dari seribu menjadi satu rupiah. Orang bilang inflasi. Katanya Rupiah jatuh sangat fatal nilai tukar untuk belanja apa saja. Sementara itu di masuk tahun 1966 dia naik naik ke kelas dua.. Ia libur dan pulang kampung.
Seorang dari kerabatnya yang sama sekelas dengannya bernama Umar, mau pindah sekolah ke ibukota provinsi Jambi.  Keluarga  yang dituju Umar adalah  Kakek H.Nawwai. Kakak ayah Umar, Razali adalah  mamak kandung Abak. Artinya garis keturunan pada level yang sama dengan Kakek Mustafa oleh dia .
Di garis lain, dia mempunyai kakek, atau mamak kandung  ibunya. Adik dari Jamilah. Kakek itu bernama Abdullah Aziz. Kakek ini bekerja di Dinas Pendidikan Provinsi Jambi. Satu kantor dengan isteri keduanya yang bernama Maimunah. Isteri pertama kakek Abdullah Aziz bernama nenek Saptia,   tinggal di Dusun Sirih Sekapur. Maka ia ingin mengikuti kepindahan Umar  pula ke Jambi dengan tujuan ke rumah kakek adik nenek Jamilah, mamak Emaha Rahana.
Ketika keinginan itu disampaikan, ayahnya diam. Dari ibunya yang sangat santun dan lembut ia diberitahu bahwa ayah tidak punya kemampuan untuk menyekolahkannya lagi. Ekonomi keluarga benar-benar runtuh. Morat-marit. harga komoditi karet jatuh. Karet adalah satu-satunya sumber penghasilan di kampung itu.  Harga beras melambung tinggi. Harga beras melambung tinggi sementara komoditi karet turun harga serendah-rendahnya.
Hampir satu minggu ia tidak sanggup menanyakan hal itu kepada ayahnya. Rupanya adik ayahnyalah yang disuruh memberi tahu tentang keadaan ini. Adik ayahnya bernama Abdul Halim. Dia menyebut   Pak Cik Halim. Seorang yang pernah mengajarnya sebentar di SR dulu. Pak Cik Halim denagn diplomasi dan nada membujuk ujungna menyimpulkan untuk dia  berhentilah dulu berfikir untuk sekolah. Kesanggupan keluarga tidak ada.
Terhenyak dan terdiam. Itulah yang terjadi. Dia tak sanggup berkata  sepatahpun. Minggu berikutnya dia diam tak banyak bicara. Bahkan tidak kepada siapapun. Di dalam pikirannya berkecamuk apa yang akan terjadi kalau tidak sekolah. Dia  ingat ketika masih kanak-kanak sering ditanya ayah.  Nanti kalau besar mau sekolah ke mana? Konon, kata ibunya ia menyebut ingin sekolah ke Mesir atau pergi ke Amerika. Entah dari mana inspirasi Mesir dan Amerika itu masuk ke dalam kepala masa kanak-kanakmya itu. Kata ibunya, pertanyaan itu sering diulang dan jawabnya sama.
Sebagai orang tua yang arif, ayahnya dapat akal. Ayahnya berunding dengan mamaknya atau adik ibu ayah, namanya kakek Ramli. Sama dengan kala akan masuk SMP dititipkan seekor sapi, kali ini karet kepada kakek Ramli .  Bersamanya dibawa dengan rakit bambo yang di bawahnya disusun  puluhan ton karet mentah beku. Mereka menyebutnya getah. Ukuran berdimensi tebal 10-15 cm dalam persegi empat antara 20 kali 40 cm. Dengan sekitar setengah ton atau 500 kg karet itu menjadi bekalnya. Uang hasil jual karet tadi  diserahkan kepada kakek Abdullah Aziz tadi. Ini hanya sebagai tanda saja oleh Abak dan Emak, bahwa dia diserahkan penuh kepada kakeknya itu untuk sekolah. Sesudah itu entah ada atau tidak uang yang akan dikirim untuk makan dan keperluannya.
Kisah seperti terulang. Kisah Seekor sapi awal tahun sebelumnya. Kini uang dari hasil setengah ton karet pula sebagai modal awal sekolah.  Syukurnya ia sudah dapat bersekolah di SMP Negeri di Simpang Pulai  kota Jambi .
Keadaan ekonomi negara semakin terputuk. Ekonomi keluarga kakek AA sudah seperti demikian pula. Gaji pegawai negeri mereka berdua tidak cukup. Apa apalagi isteri tua kakek dan dan dua anaknya bergabung dengan kami di tempat isteri muda yang merupakan rumah sambung atau bedeng di Simpang Pulai. Menambah penghasilan yang nilainye menciut, kakek kerja serabutan.   
Sepulang kantor, kakek AA berjualan pakaian bekas dan apa saja yang bekas-bekas  dapat dikumpulkan dari berbagai sumber dan kemudian dijualnya . Di Pasar Kota Jambi ada Namanya Pasar Rombeng. Di situlah kakek hilir mudik dan kemudia punya tempat menjual segala yang bekas. Paling dominan adalah pakaian bekas. Banyak warga kota waktu itu yang menjual apa saja untuk keperluan hidup. Ini menjadi ladang bagi pedagang di pasar rombeng ini.
Ia tidak tahan melihat keadaan ekonomi kakeknya. Kedua isteri serta anak-anaknya di satu rumah ini awalnya damai saja. Bahkan mereka berkolaborasi mengambil cucian pagawai untuk dicucikan. Sekaang mungkin disebut laundry. Padahal waktu itu hanya disebut tukang cuci. Isterei muda menjadi pengumpul di kantor dan dibawa ke rumah. Gotong royonglah kedua isteri itu mencuci pakaian, mensgerika dan sekali-sekali dia ikut menolong melipat kain seterikaan itu.
 Belakangan, isteri pertama kakek AA pulang kampung dan mereka bercerai secara baik-baik. Kemudian janda kakek AA menikah dengan seorang bujangan di kampung. Semua mereka sudah almarhum dan almarhumah. Paling belakangan wafat adalah Nenek Maimunah baru wafat ujung 1990-an.
Melihat kesulitan kakek tadi, dia tak tinggal diam. Kembali ke sosok yang diceritakan, bagai mengulang kisah, ia kembali ingin mandiri. Dari semula makan dan minum dengan keluarga kakek Abdullah dan nenek Maimunah, dia mulai coba mengurangi ketergantungan itu. Tidur  menumpang ke sewaan seorang senior dari kampungnya guru. Seorang tamatan PGA dan menjadi guru  SR. Kakek Ilyas yang masih muda. Panggil nenek karena silsilah manharuskan panggilan itu. Ilyas tak jauh dari rumah kakek Abdullah.  Di situ juga tinggal teman sekampung teman sebayanya Sya’roni yang dipanggilnha Bujang Salon. Masih ada hubungan darah dari kampungnya.   Teman ini  sekolah di sebuah SMP IV, Simpang Kawat. Bujang Salon kini ada di Ujung Tajung, dusun di sebelah Sirih Sekapur.
Maka petualangan berikut dimulai lagi.  Ia menjadi pedagang asongan. Ia berteriak-teriak menjaja dagangan  di K-5 pasar kota Jambi. Tepatnya di Pasar depan Bioskop Mega. Kini bioskop itu tidak ada lagi. Hanya  untuk mencari sesuap nasi. Walau sekali-sekali dia tetap makan di rumah Kakek Abdulllah, tetapi tetap kemandirian mulai lagi terasa. Teman akrabnya sesama pelajar satu SMP kota ini bernama Yusri. Teman ini tinggal di tempat kerabatnya yang tak jauh.
Guru Mata Pelajaran Agama di SMP V itu berasal dari Sulit Air Kabupaten Solok. Itulah famili Yusri. Kepala Sekolah SMP V waktu itu adalah Bapak Arsyad, BA. Seorang pendidik senior di Jambi yang juga berasal dari Sulit Air.  Dia dan Yusri sehilir-semudik, sepulang sekolah. Mereka berdua  tolong menolong dalam suka dan duka. Berdua mencari makan. Bangun sebelum subuh dinihari. Mereka bertemu di tepi Sungai Batang Hari.
Mereka menyambut sampan-sampan penggalas hasil tani dan sayur-sayuran dari hulu sungai dan dari seberang pasar kota Jambi. Mereka menjadi perantara ke pasar menjual apa yang dapat dijual. Baru setelah cahaya pagi agak terang  dan matahari muncul mereka bergegas ke sekolah.
Tak jarang mereka masuk terlambat dan kena seterap oleh guru. Ah, hidup begitu keras. Tetapi semangat tak pernah kendor. Sekali-sekali ia menumpang tidur, makan dan naik sepeda temannya. Seorang putra orang  kaya dan berpangkat tinggal kos agak jauh dari tempatnya. Namanya Abdul Hadi. Seorang yang baik hati. Sewa kamar sendiri, masak sendiri dengan logistic sendiri. Lebih dari itu hadi punya speda. Kalau dia tidur di situ, makan gratis, tinggal masak dan pagi hari berboncengan sepeda ke sekoah. Padahal kalau ke sekolah dari tempatnya, harus jalan kaki satu jam. Terutama waktu ujian, dia sering di rumah Hadi dann sekolah naik sepeda bersama itu. Tentu saja waktu ujian, semua kegiatannya mencari makan bersama Yusri  di pasar, mereka hentikan.
Tak mau terlalu tegantung, dia selalu tetap makan. Kadang-kadang ia  makan ubi kayu  yang direbus. Di tambah garam,  bawang yang diracik dan cabe rawit yang dilutok. Kebiasaan melutok (lalap) cabe rawit bahkan sampai sekarang ia lakukan.  Di tengah keadaan hidup yang tak berketentuan itulah, ia dapat menamatkan SMP.
Ingin Sekolah Kehutanan
Setamat MP ida ingin meneruskan ke Sekolah Menengah Kehutanan (SMK) di Bogor. Kalau tidak, ia ingin masuk Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA). Hanya gara-gara isu bahwa Jawa akan menjadi Kristen dalam kurun waktu 20 tahun dan Sumatera dalam 50 tahun, membuat rencana itu berubah. Ayahnya keras melarang sekolah ke Jawa dan jangan masuk sekolah umum.
Ayahnya  belajar agama dengan seorang guru bernama MH dari Nagari L Kabupaten TD. Guru ini pada tahun 1963 mengajar agama di SR kampungnya dan sore membuka Madrasah Alhidayatul Islamiyah. Ia sekolah pagi di SR dan petang hari di Madrasah itu. Malam hari, engen guru MH, ayah dan beberapa kerabat dan  keluarga  belajar agama dan mempelajari alquran sekaligus terjemahannya.
Di kampung itu sebelum guru MH datang, shalat tarawih 21  rakaat dan dengan guru MH berubah menjadi 11. Bagi yang masih shalat tarawih 21  pindah ke Surau Hilir kampung. Di situ tokoh utamanya tidak mau mengubah shalat tarawih menjadi 11 seperti di Masjid  yang berlokasi di bagian mudik kampung.
Ayah adalah tokoh paling depan membela paham guru MH. Dengan guru MH ayah belajar berkhutbah. Sebelumnya di kampung itu khutbah membaca teks sebuah kitab yang sudah pudar selalu abadi di atas mimbar. Guru MH mengajarkan khutbah tanpa buku itu dan seperti orang bertabligh atau pidato.  Anehnya, hanya ayah yang pandai berkhutbah gaya begitu. Bila ayah sakit atau pergi keluar kampung yang jauh, khatib biasa yang lain  atau pengganti bertugas sebagai khatib. Khatib pengganti ini kembali membuka kitab atau buku teks khutbah yang lusuh itu. Belakangan Guru MH dan muridnya si Ayah dianggap kaum muda. Dan kaum tua pindah ke surau hilir tadi. Anak-anak  di Madrasah diajar oleh Guru MH berpidato. Ayahnya ikut mengajar berpidato, termasuk  mengajar putranya.
Mungkin pengaruh guru MH itu yang membuat ayah tidak merelakan anaknya sekolah ke Jawa dan melanjutkan ke sekolah umum. Ayah minta ananda masuk madrasah T di Kabupaten A. Tetapi belakangan karena pengaruh senior dari kampungnya yang sekolah di madrasah lain di Kota PP, maka ia testing masuk di sini dan lulus.
Keadaan sedikit berubah. Ia mulai menjadi remaja yang baru tamat SMP. Kini ia menjadi siswa   Madrasah setingkat Aliah. Waktu itu disebut Sekolah Persipan IAIN.  Kini,  ia hanya fokus sekolah saja. Ekonomi Indonesia mulai agak baik. Tetapi ekonomi orang tuanya masih belum memadai, tetapi orang tuanya mampu mengirim lima ribu rupiah setiap bulan. Uang itu dibawa oleh pedagang dari kampungnya yang bola balik ke kota PP dan Kota B. Amplop  uang dari orang tuanya dititip pedagang itu di toko obat M kota dingin ini.
Meskipun belanja bulanan kiriman  ayah juga tidak cukup, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Di kota PP tidak ada kerja sambilan yang dapat dikerjakannya. Kecuali sekali-sekali ia mewakili gurunya yang mengajarnya bertabligh di beberapa masjid dan musalla di kota PP. Sekali-sekali ia menerima amplop berisi honor alakadarnya. Di Tengah kekurangan belanja ia  kadang-kadang menggadai celana dan bajunya di Rumah Pegadaian Kota PP.
Baru setelah menjadi mahasiswa dan pindah ke  kota P, ia mulai menggunakan lagi tulang yang delapan kerat . Ia bekerja apa saja sambil terus kuliah. Berbarengan pula ikut kursus-kursus serta kegiatan kemahasiswaan. Mulai dari kerja pisik di sebuah pabrik karet, menjadi buruh industri pertenunan kain sarung.
Kerja agak ringan dan agak bergensi ia dapat menjadi penyiar radio swasta. Ia kayuh sepeda sport phonyk yang dibeli ayahnya ketika dapat uang ganti rugi pembebasan jalan lintas Sumatera yang melalui kebun karet di kampungnya. Dari membuak siaran subuh sampai pukul 7 di ruangan siaran, lalu ia pergi kuliah di jalan Jenderal S kota P.  Kesempatan menjadi penyiar itu diperoleh setelah ia menjadi pemain teater atau drama di Taman Budaya Padang (dulu namanya Pusat Kesenian Padang atau PKP). Kata senior di PKP, vokal-suaranya baik untuk menyiar di radio.
Kuliah sambil nyambi terus dilakukan. Ia  mengajar anak-anak baca Quran dari rumah ke rumah. Sejalan dengan itu mengajar Bahasa Inggris yang diperolehnya kursus sore hari dan malam diajarkannya kepada anak-anak orang kaya di kota P. Kemudian menjadi salesman asuransi dan menjual koran dan majalah. Semua ia lakoni. Dengan gelombang remaja mahasiswa ia nikmati hidup ini dengan ceria, sabar dan ramah serta aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan serta kegiatan kepemudaan, dunia tulis menulis dan menjadi muballigh keliling. Pada tahun 1973 ia ikut pelatihan muballigh di masjid raya NI Ganting kota P.
Agak terburu, memang. Pada kuartal akhir 1977 tepatnya 25 November 1977, ia berani menikah lebih cepat dengan mahasiswi adik tingkat kuliahnya.  Ada keperluan membawa adik laki-laki dan perempuan untuk sekolah dan tinggal bersamanya di kota P. Dari 1974 ia juga nyambi bekerja di sebuah perusahaan asuransi jiwa sebagai salesman dan kemudian koordinator keuangan (KK). Dengan motor  honda kijang bekas yang dibeli ayahnya, ia melakukan pekerjaan sebagai penjual polis dan KK di seluruh provinsi ini. Karena itu menikah rasanya ia sudah mampu. Tentu setelah diperhitungkan hasil kerjanya yang lumayan.
Keadaan berbalik  di luar dugaan.  Perusahaan akan memindahkannya ke kota J. Karena dianggap ia kenal kota itu pada masa SMP. Itu rencana ekspansi awal perusahaan ke kota tersebut. Agak pusing dan bingung ia memutuskan.
Dengan alasan keluarga dan kuliah belum tamat, dia tidak bersedia pindah. Dan pilihannya, berhenti. Maka dengan tertatih-tatih ia menghadapi dilema. Bagaimana menghidupkan keluarga. Ia menjadi tenaga pengajar lepas atau luar biasa di sebuah institut dan menjadi pegawai harian alias honorer di institut itu.
Tumblr media
Gelap tidak abadi. Tiba-tiba cahaya terang mulai mendekat. Bagai sebuah lobang kecil cahaya di dalam ruangan tertutup, ia melihat peluang. Atas rahmat dan inayah serta hidayah Allah swt. Yang Maha Kaya, keadaan berubah. Aktifitas, pergaulan dan hubungan serta komunikasi muka-belakang-kiri-kanan-atas-bawah, membuatnya mulai menemukan track kehidupan.
Sambil tetap menjadi dosen ia wara-wiri ke mana-mana. Aktifis pemuda internasional. Aktivis LSM dunia. Penulis dan kolumnis di media. Manggala P4. Pembicara pada seminar, sarasehan, bimbingan teknis dan pelatihan. Anggota legislatif tingkat provinsi dua periode. Menjadi Rektor dua periode. Tokoh sentral ormas terbesar di provinsi dua periode. Menjadi komisaris sebuah perusahaan terbesar di wilayahnya dua periode. Ujung-ujungnya, itulah yang terjadi sebagai dibuka pada paragraf awal tulisan di atas tadi.  Di dalam gelombang pasang naik dan surut kehidupan, ia selalu merasa lapang. Meski tidak kaya, tetapi Allah senantiasa membuka pintu kemudahan di dalam kehidupannya.
Alhasil masa lalu ia anggap sudah hanyut. Tidak ada lagi yang harus dipintasi. Namun, tiba-tiba ia termenung. Ketika adik ayahnya yang bungsu bercerita Ahad, 5 Februari 2017. Bahwa masa lalu itu penting untuk mengetahui jati diri kita. Dari mana dan ke mana asal muasal, serta dari siapa ke siapa menerima genetika-keturunan.
Di tengah kesibukan yang menggunung, ia membatalkan tiga agenda di Kota P, domisilinya sekarang sejak 45 tahun lalu. Ini akibat tuntutan anak bungsunya APS yang sengaja libur pasca UAS sampai 18 Februari 2017. Si Bontot ini mengajak mamanya terbang dari Jakarta ke Padang, 28 Januari lalu. APS rindu dengan sanak keluarga papa dan mamanya yang sudah hampir 5 sampai 8 tahun tidak ditemuinya.
Tumblr media
“Generasi pertama kita adalah Du’a”, kata Atuknya. Entah tahun berapa di akhir abad 19, Du’a menghilir dari Muaro Labuah. Ia berdua dengan saudara laki-lakinya. Namanya tidak diketahui. Tetapi anak dari saudara laki-laki Du’a itu adalah Sutan Mudo (Sutan M). Du’a menikah di Sungai Limau, Kecamatan Asam Jujuhan Dharmasraya sekarang ini. Belum diketahui nama isterinya.
Datuk Yang Du’a tidak diketahui nama isterinya. Du’a mempunyai putra. H. Thaat yang menikah dengan Sunnah di Kampung ibunya, Sungai Limau. Thaat dengan Sunnah mempunyai anak beberapa orang. Tertua H. Hussein lalu H. Hasan, Hj. Aminah, H. Harun dan H. Yusuf. Kemudian Thaat menikah di Batu Kangkung dengan Sunnah (nama yang sama dengan isteri pertamanya), tetapi tidak mempunyai anak.
Berikutnya Thaat menikah di Pelayangan-Peninjau, Batang Tebo, Tanah Tumbuh dengan Siddah. Siddah mempunyai anak Harun dan Syafii dengan suami terdahulu. Dengan Thaat tidak ada keturunannya. Belakangan Thaat menikah lagi di Tanjung Belit, Jujuhan dengan wanita bernama Jiddah. Anaknya adalah Mahmud dan Awaluddin. Awaluddin baru wafat sekitar 2 bulan lalu di Babeko, Sipunggur, Muaro Bungo.
Sampai di situ, mata rantai Du’a menjadi hilang. Yang bisa dilacak adalah Thaat. Seorang pedagang kaya untuk zamannya. Tokoh pengembara serta suka bersahabat dengan siapa saja di kampung dan di rantau. Salah satu sahabat kentalnya, tokoh kaya dan berbangsa di Sirih Sekapur bernama H. Bana. Putra Raden Endek ini, menikah dengan Hj. Toni. Raden Endek konon berasal dari ngeri sepucuk jambi sembilan lurah. Sementara Hj. Toni keturunan yang orang tua yang berasal dari seorang Datuk Bandaro dan kakek-neneknya berasal dari Pagaruyung.
Seperti dirinya, H Thaat yang suka dagang dan traveling, ia membawa dua orang saja di antara putranya, H. Hussein dan H. Hassan ke mana-mana. Mungkin kedua putra ini mengikuti perjalanan ayahnya sambil bedagang. Thaat dan dua putranya itu menetap di dusun “Bungo Kembang Suko Menanti”, nama legenda Dusun Sirih Sekapur sekarang ini.
Lantaran persahabatan kental dan karib dengan H. Bana, mereka sama-sama naik Haji ke Mekkah. Di Mekah mereka seakan punya kesepakatan bahwa anak tertua mereka dijodohkan. H. Hussein adalah anak tertua dari H. Thaat dan Hj. Hafsah anak tertua H. Bana. Keduanya dinikahkan. Sementara anak H. Thaat yang kedua, H. Hasan dinikahkan dengan Filus. Putri dari Abdul Hamid dengan Nenek Isa. Sebagai anak tertua, Filus mempunyai adik-adik Jamilah, Muhammad Ali, Usman dan Abdul Aziz.
Kembali ke H. Thaat. Adalah putranya H. Hussein yang menikah dengan Hj. Hafsah mempunyai putra-putri H. Abdul Karim, Rabiah dan H. Abdul Halim. Dan H. Hassan mempunyai putra-putri Zainab, Ismail, Abdul Majid, Abdul Samad, Dahniar, Sidarni dan Abdul Jalil.
Putra H. Hussein dan Hj. Hafsah yang tertua, H. Abdul Karim menikah dengan Taksiah, anak perempuan tertua dari Abdullah Aziz dan Halimah. Usia perkawinan tidak berapa bulan, lalu bercerai. Abdul Karim mungkin mengikuti kakeknya Thaat yang menikah di Pelayangan, juga menikah dengan Siti Hijir di situ, lalu berpisah.
Tidak lama menduda, Abdul Karim menikah dengan Rohana Binti Ibrahim yang berusia sekitar 13 atau 14 tahun. Rohana adalah putri satu-satunya Jamilah dengan suaminya Ibrahim. Jamilah dan Ibrahim juga belakangan berpisah. Jamilah selanjutnya menikah dengan nama yang sama, Ibrahim dan melahirkan Syamsidar. Dan Ibrahim menikah dengan perempuan lain serta mempunyai dua putri, Zahara dan Dahniar (Induk Nyal). Syamsidar dan Zahara sudah lama wafat, tetapi Dahniar masih sehat dan setiap pulang ke Sirih Sekapur, ia dengan isteri dan anak-anaknya selalu mengunjunginya. Kakek APS H. Abdul Karim wafat, Rabu, 23 Juli 2003 dan Nenek APS Rohana Binti Ibrahim wafat Selasa 25 April 1995. Allahumaghfir lahum waafihim wa’fu’anhum warhamhum kama rabbayana shighara. ***
0 notes
inisurabaya · 2 years
Photo
Tumblr media
Pada 19 September 1965, di Surabaya, terjadi peristiwa perobekan bendera Belanda oleh dua tokoh pemuda Indonesia, Kusno Wibowo dan Hariyono. Peristiwa perobekan bendera Belanda itu terjadi di Hotel Yamato, Jl. Tunjungan Surabaya, atau yang juga dikenal dengan nama Hotel Oranje. Kala itu, Hotel Yamato dijadikan markas RAPWI, sebuah organ tentara Sekutu yang bertugas mengurus para tawanan warga Eropa dan peranakannya. Ada yang nonton treatrikal nya hari ini? . . . ■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■ SUMBER FOTO 📷 : @abid_aboned ■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■. . #surabaya #ini_surabaya #inisurabaya #aslisuroboyo #lovesuroboyo #banggasurabaya #galerysurabaya #seputarsurabaya #sparklingsurabaya  #surabayapunyacerita  #exploresurabaya #suroboyo  #panoramasurabaya  #exploreindonesia #banggaindonesia #jawatimur #indonesia #travel #viral  #Persebaya #greenforce #Bonek #indonesiajuara #BikinBanggaIndonesia #SURABAYAMENDUNIA #SUROBOYOWANI (di Surabaya, Indonesia) https://www.instagram.com/p/CioPvwLvxFn/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
bahtiar · 2 years
Photo
Tumblr media
Alhamdulillah, . Pimpinan #Gontor makin ber-besar #hati : . ✓ dibombardir bertubi-tubi berita-berita viral #HotmanParis :) . ✓ mempersilahkan wartawan jurnalis meliput masuk ke kompleks Gontor . ✓ Mempersilahkan aparat hukum #polisi melakukan #penyelidikan - penyelidikan . ✓ Mempersilahkan #Kemenag melakukan #investasi - investasi ke semua cabang-cabang Gontor . ✓ Mempersilahkan pimpinan #DPR melakukan #evaluasi - evaluasi . ✓ Mempersilahkan #MUI #NU #Muhammadiyah dan berbagai #LSM atau #Ormas memberikan penilaian-penilaian & komentar . ✓ Mempersilahkan kasus-kasus #kekerasan diproses secara #hukum dan mengungkap kasus-kasus baru lain, agar tidak terulang lagi. . ✓ Tetap menjalin #silaturahim dengan keluarga-keluarga #korban kekerasan dan #perundungan . ✓ mempersilahkan alumni - alumni di penjuru #Nusantara dan #Dunia menyampaikan #testimoni pengalaman - pengalaman nya pro maupun kontra pada masyarakat luas . ++++ . Ini semua jadi harapan besar dan angin segar bagi kami, #WaliSantri dan calon-calon Wali Santri Baru, bahwa Gontor makin baik, #transparan #terbuka dan tentunya menjadi Pondok #Pesantren #RamahAnak & #remaja . Aamiin 🙏🙏🙏 . Foto: K.H.Idham Chalid & team Aktivitis muda, tentara rakyat pejuang kemerdekaan, Wakil Perdana Menteri Indonesia, Menko Kesra, Ketua MPR DPR RI, Ketua DPA RI, Ketua Umum PBNU, Founder Universitas Islam Nusantara, Pahlawan Nasional, Wajahnya terpampang di pecahan uang negara, dan beliau adalah Alumni Gontor 1943 (di Republik Indonesia) https://www.instagram.com/p/CiTy2tSBb0j/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
koramil06kersana · 2 years
Photo
Tumblr media
Persit Koramil 04 Tanjung Gelar Pertemuan Rutin Brebes - Bertempat di Aula Koramil 04 Tanjung, Kodim 0713 Brebes berlangsung pertemuan Persit (Persatuan Istri Tentara) Kartika Chandra Kirana (KCK) Ranting 5 Koramil 04 Tanjung yang dipimpin oleh Ny. Surikan, Sabtu (20/07/2022). Dalam kesempatan itu, Ibu Ketua Persit Candra Kirana Ranting 5 Tanjung menyampaikan agar Persit Koramilnya selalu kompak dan menjaga kerukunan diantara anggota keluarga Koramil 04 Tanjung. Dia berharap jika ada masalah sebaiknya langsung disampaikan, sehingga bisa dicari jalan keluarnya. “ Kita harus yakin bahwa tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan, ” kata Ny. Surikan. Sementara Kapten Infanteri Surikan pj. Danramil 04 Tanjung Kodim 0713 Brebes di sela-sela acara mengatakan, kegiatan ini merupakan ajang menjaga tali silaturahmi antar sesama Persit dan keluarganya. Sebagai organisasi Persatuan Istri Tentara, kita harus selalu siap dan setia mendukung pelaksanaan tugas pokok suami dalam mengemban tugas kenegaraan sehingga benar-benar dapat terwujud. Lebih lanjut Danramil berpesan kepada Ibu-Ibu Persit agar berhati-hati dalam menggunakan Medsos, untuk tidak memasang atau menyebarkan tulisan, gambar/foto maupun video yang dapat merusak citra TNI. " Saat ini banyak beredar berita hoaks bersumber dari Medsos yang dapat memecah Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia, untuk itu saya sampaikan apabila menerima informasi yang belum jelas kebenarannya jangan cepat di Share, cukup komsumsi saja sendiri dan ingat jangan melakukan ujaran kebencian terhadap seseorang atau instansi manapun, " tutup Kapten Infanteri Surikan. (Pendim0713) https://www.instagram.com/p/Cgp-Kj4PVpz/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
masmasbiasa · 2 years
Text
Rabu, 18 Mei 2022
--
Tadi malam temen lama tiba2 ngechat. Dia mau pinjam uang untuk kebutuhan sekolah anaknya. Dia tunjukan foto tagihan sekolah anaknya.
Saya minta rekening. Saya transfer 1 juta. Done.
Dia janji mau kembalikan awal bulan. Mungkin saat gajihan, soalnya dia seorang PNS.
Tapi dalam hati saya berjanji untuk melupakan itu. Saya tidak akan menagih, saya anggap 1 juta itu saya kasih saja.
--
Teman saya ini PNS, Magister dari kampus terbaik di Indonesia. Perempuan dan menikah dengan seorang tentara.
Orangnya anggun dan intelek. Punya anak perempuan yang manis. Saya sedikit tidak percaya jika takdir hidupnya kurang baik, dia dalam proses perceraian yang rumit.
Biaya percerain habis lebih dari 200 juta. Ini biaya yang harus iya bayar untuk lepas dari suaminya.
--
Saya pernah ada dititik nyaris putus asa. Gagal dan merasa menjadi pecundang. Orang yang paling berjasa di fase ini adalah, mereka yang memberi saya hutangan.
Saya ingin berbisnis, mereka meminjami saya modal. Tanpa bertanya kapan saya akan bayar.
Saya pernah dipinjami 100 juta untuk bisnis gula pasir.
Saya pernah dipinjami 30 juta untuk memulai toko online. Merekalah yang membantu saya tumbuh sampai sekarang.
Pernah ada di fase itu yang bikin saya pengen bantu.
0 notes
turisiancom · 1 year
Text
TURISIAN.com – Buat Sobat Turisian yang suka dengan wisata sejarah, wajib berkunjung nih ke objek Gua Jepang di Berbah, Kabupaten Sleman. Gua ini sangat unik dan cukup eksotik karena memiliki 4 pintu yang dibuat di sebuah bukit padas atau cadas. Lokasinya masuk wilayah Blambangan, Kelurahan Jogotirto, Kapanewon Berbah, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Situs gua ini pun sudah tercatat sebagai Bangunan Cagar Budaya Sleman sejak 2017 lalu. Menurut sumber sejarah, pembangunan Gua Jepang Berbah oleh tentara Jepang sekitar tahun 1942- 1943. Fungsinya sebagai tempat berlindung dan penyimpanan senjata. Selanjutnya, setelah tentara Jepang menyerah kepada Indonesia, pada masa itu gua tersebut masih berfungsi sebagai tempat penyimpanan senjata. Namun penggunaannya oleh tentara Indonesia sampai tahun 1966. Secara fisik, Gua Jepang Berbah ini cukup mencolok dengan sebuah halaman yang cukup luas di depannya. Terdapat 4 lobang atau pintu masuk ke dalam gua di kaki tebing yang menjulang cukup tinggi. Keadaan lingkungannya cukup bersih dan juga asri karena memang jauh dari keramaian jalan utama. Baca juga: Menikmati Bird Watching Ribuan Burung Kuntul di Desa Wisata Ketingan Sleman Tempat wisata sejarah inipun sangat menarik untuk kegiatan hunting foto-foto cantik nan eksotik, tentunya juga instagenic banget. Berswafoto dengan latar tebing dan lubang gua ini, menjadi pilihan banyak pengunjung. Hingga objek wisata tersebut sempat ramai di jagat maya karena banyaknya pengunjung yang mengunggah foto-foto mereka berlatar gua di medsos. Lorong di Gua Jepang Berbah Begitu Sobat Turisian masuk dari 4 pintu gua yang menghadap ke barat ini, akan menyusuri lorong menuju ke sebuah lorong lagi yang berada di bagian tengah gua. Masing-masing lorong mempunyai karakter dan ukuran tersendiri. Berikut ini lorong-lorong Gua Jepang Berbah yang menarik buat kegiatan wisata susur gua, di antaranya: Lorong Gua I, mempunyai ukuran lebar pintu 1,95 meter, tinggi 2,10 meter, panjang lorong 38,20 meter. Lalu lebar lorong 2,60 meter dan tinggi lorong 2,10 meter; Lorong Gua II, ukuran lebar pintunya 2 meter, tinggi pintu 2 meter, panjang lorong: 13,25 meter. Kemudian lebar lorong 40 meter serta tinggi lorong 3 meter; Lorong Gua III, lebar pintunya berukuran 2 meter, tinggi pintu 2,20 meter, dan panjang lorong: 38,70 meter. Sedangkan lebar lorong 2,60 meter dan tinggi lorong 2,30 meter; Lorong Gua IV,  memiliki ukuran lebar pintu 2 meter, tinggi pintu 2,20 meter, panjang lorong: 13,10 meter. Lalu lebar lorongnya 4,40 meter dan tinggi lorong 3 meter. Baca juga: Asyiknya Nongkrong di Warung Kopi Klotok Sleman Sebagai destinasi wisata sejarah, Gua Jepang Berbah sudah meyediakan berbagai fasilitas pendukung wisatawan. Antara lain area parkir kendaraan, musala, kamar mandi/MCK, tempat istirahat, warung makan, dan lainnya.*     Sumber & Foto: Disbud Kab. Sleman
0 notes
putriraha · 2 years
Text
Ternyata…
Sore ini aku berkontemplasi setelah melihat foto bersama keluarga sebelum hendak naik pesawat menuju Balikpapan. Aku bahagia membayangkan masa lalu yang sebegitu berat tapi ternyata bisa dijalani juga dan alhamdulillah saat ini aku bersama keluarga berada di kondisi yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Ngga pernah nyangka akan bisa terakselerasi dengan sebegitu luar biasanya. Melihat kondisi sebelumnya waktu itu aku masih SMA. Bapak bilang bahwa sebaiknya aku mengambil sekolah yang memiliki ikatan dinas saja supaya bapak tidak khawatir perihal makan dan semua kebutuhan pendidikan. Aku yang sedari SMA sudah mulai kekeh menjadi seorang dokter, berusaha mati matian meyakinkan bapak. Tidak hanya dengan mencari juara lomba saja tapi bagaimana aku bisa lolos menjadi yang terbaik dan dapat beasiswa full sampai lulus dokter di univ terbaik Indonesia di jurusan kedokterannya. Setiap univ ini menyelenggarakan lomba aku rela untuk fokus di persiapannya, pinjam buku gratis di perpus dengan melobi penjaga perpus agar bersedia meminjamkan buku lebih dari aturan yang berlaku dan meminjam dalam batas waktu yang cukup lama, ya sampai aku benar-benar dinyatakan selesai mengikuti lomba.
Kelas 3, bapak masih mengarahkanku untuk daftar polisi atau tentara sebagai seorang taruni. Tapi sekali lagi aku berusaha membicarakannya dengan bapak dan mencoba meyakinkan diri dan beliau bahwa aku bisa mendaftar menjadi dokter dan bapak tidak perlu khawatir bagaimana nanti aku menjalaninya. Iya, tahun itu semua terjadi bersamaan, singkat cerita finansial keluargaku hancur, bener bener hancur. Tidak heran bapak sebegitu khawatirnya, bahkan untuk makan saja kami harus berbagi dan tidak tahu besok kami akan makan apa.
Doa yang aku ulang-ulang itu satu per satu dikabulkan, aku diterima dengan full beasiswa di fk UNAIR. Wow, luar biasaaaa. Aku bertekad, aku tidak akan main-main dengan kesempatan ini. Haha ternyata menjalaninya bener bener ngga mudah. Aku tidak hanya berpikir bagaimana ip ku akan cumlaude tapi aku harus memutar otak bagaimana mencari uang tambahan, tidak hanya untuk makan tapi untuk seluruh kebutuhanku, mulai dari kos, makan, buku, dan semuanyaaaaa. Tak heran jika aku selalu tidur larut malam, bagaimana tidak, pagi sampai sore praktis aku akan kuliah dan praktikum, lanjut organisasi keluar kampus dan ngaji, lanjut memberi les privat pada adik kelas dan anak tetangga kos yang masih SD. Untungnya dengan memberi les privat, praktis makan malamku selalu terjamin dari ibu murid yang memberi jatah makan malam untuk ku dari hari Senin-Sabtu selama sebelum jam les privat dimulai. Setelah itu lanjut belajar dan ngerjain laporan tugas. Praktis tidur sering pukul 02.00 dan pukul 04.00 aku harus bangun lagi. Hahah rasanya ip masih di atas 3 itu uda alhamdulillah banget sekalipun ngga sempurna ip 4.0.
Aku selalu bertekad, aku selalu ngomong ke diriku sendiri, bahwa kesulitan ini ngga akan aku alami terus-terusan, akan ada waktunya aku ngga lagi mikir ngasih orang hanya karena uangku cukup buat aku makan sendiri, pun aku juga ngga jelas besok bisa makan apa ngga. Sekalipun mas sebenarnya bisa ngebantuin, dalam hati aku punya tekad buat ngga ngerepotin masku sendiri, aku paham masku sudah berkeluarga, dan itu sudah jadi kewajiban untuk memperioritaskan keluarga intinya dulu dan bukan aku. Jadi kalau mas ngasih alhamdulillah berapapun itu, aku ngga akan ngeluh pun uang itu kurang.
Doa doa yang ku ulang ulang itu bener bener terjadi, selepas lulus dan iship aku mencoba mengabulkan permintaan bapak yang sempet tertunda yaitu jadi tentara atau polisi. Aku berusaha semaksimal mungkin, iship sambil latihan fisik, belajar, lari, renang, ngerjain soal psiko, mental ideologi, dll. Di tengah berjuang jaga stase, ngerjain ilmiah, nyelesein borang dan masih mencari uang sampingan di luar itu untuk mencukupi aku dan bapak. Dan semuanya berhasiiiiil. Wah lega banget si. Ngga nyangkaaa. Di satu sisi kondisi keuangan keluarga kami membaik.
Untuk pertama kalinya kami tidak khawatir untuk berkurban, untuk bersedekah, untuk membeli apa yang kami ingin. Di situasi demikian aku belajar banyak hal. Mulai dari bagaimana aku menerima apapun se apa adanya itu. Makan seadanya asal kenyang. Boro boro mikir makan menu apa, asal kenyang aja alhamdulillah. Aku tidak lagi menghargai segala sesuatu sebatas materi, pakai pakaian seadanya asal rapi. Tidak harus baru. Aku bisa menggunakan segala sesuatu sesuai yang aku butuh saja. Tidak harus yang wah, tidak harus yang bagaimana bagaimana. Karena kesederhanaan melahirkan ketenangan yang benar benar tiada tandingnya. Aku jadi sadar, sejauh ini yang aku cari ternyata mengajarkan aku perihal tekad, sabar, semangat, merasa cukup dan menyederhanakan segala sesuatu.
1 note · View note
qisthi · 2 years
Text
Nyasar di Mesjid Nabawi, Madinah
True story
Tumblr media
Dear rasulullah
Bagaimana mungkin aku bisa lupa kubah hijau itu, yang mengantarkan ku pada rindu yang terpupuk dihati ini.
Saat itu aku lupa jalan pulang menuju hotel, entah dimana pintu 15 tiba-tiba saja aku sudah dipintu 30 mesjid nabawi. Namun alangkah serunya hati ku tidak kalut atau khawatir jika tak bertemu jamaah umroh lainnya. Hati ku berkata “ Mungkin Allah mau aku menyusuri dan mengelilingi masjid nabawi ini, toh belum tentu aku akan kembali kesini lagi” ucapku dalam hati.
Aku mencoba ikhtiar untuk bertanya pintu 15 ada dimana pada tentara di area halaman mesjid nabawi dan mereka mengatakan “ hunaka (disana) “ sembari menunjuk kearah depan kami. Dan kuperhatikan arah yang ia tunjuk, masyaa allah begitu jauh dipelupuk mata. Tapi lagi-lagi hatiku tidak gelisah atau resah, aku tetap enjoy menyusuri kota suci rasulullah ini. Hanya saja aku bersama 2 orang nenek-nenek yang mana mereka juga adalah jamaah umroh satu travel dari Aulia Tour Travel.
Mereka lumayan lelah sepertinya karena sudah berjalan selama 2 jam utuk menemui pintu 15.
“dil, capek nenek, duduk sebentar ya” ucap salah satu nenek yang ikut bersamaku.
“okey nek, gapapa. Yuk duduk dulu” ajakku sembari ikut duduk. Saat mataku menoleh diberbagai sudut area halaman mesjid nabawi sontak aku terkejut dan mataku mulai panas dan hatiku mulai berdetak tak beraturan. Ya aku melihatnya. Aku melihat kerinduan ini makin membuncah padanya.
Ya, KUBAH HIJAU.
kami bertiga duduk didepan kubah hijau milik rasulullah. Ya Hijau. Aku menangis dan bibirku tak henti mengatakan ALLAHUMMA SHOLLI ALA MUHAMMAD. Benar adanya aku terlalu rindu akan beliau. Hingga apa saja yang berkenaan dengan nya, seketika air mataku mengalir hebat. Saat itu juga aku yakin bahwa allah menumpakan skenario indah ini penuh dengan hikmah. Bahkan aku sempat mengabadikan foto disana. Aku bahagia, rindu ini hampir terbalaskan sudah.
Tak lama kemudian, kami bergegas untuk kembali mencari pintu 15, tiba-tiba ada seorang laki-laki memakai gamis hijau toska lewat didepanku dan sembari memberikan senyum tipis dan sedikit membungkukkan kepalanya. Aku langsung tahu bahwa dia orang jawa, karena dari wajahnya sudah kelihatan.
“mas, maaf dari indonesia ya?” ucapku manahan malu sebenarnya.
“iya mbak, saya asal indramayu” jawabnya penuh antusias
“oh, masyaa allah, saya dari medan mas, saya mau nanya ni mas, pintu 15 ada dimana ya ?” tukasku penuh harap semoga ia tahu dimana lewat pintu 15 terdekat.
“oh pintu 15 ya, sebentar mbak! ” ucapnya sambil berlari kearah pojok kanan.
Aku dan kedua nenek yang bersamaku, terkejut melihat sikapnya yang langsung mengecek pintu terdekat itu berapa. Lantas beberapa menit kemudian dia datang “ mbak,bisa lewat pintu sebelah sana dan lurus aja, insyaa allah sebentar lagi ketemu pintu 5 nya” ucapnya menyakinkan kami.
“okey mas, makasi banyak ya”
“iya sama-sama mbak” jawabnya sembari tersenyum tulus.
Kami bertiga langsung berjalan menuju arah yang di tunjukkan mas indramayu tadi. Dan alhamdulillahnya kami menemui pintu 15 dengan waktu 60 menit. Hampir 3 jam kami tersesat dalam kebaikan. Tapi tak apa, aku cukup bahagia malam ini. Karena banyak mahasiswa muslim indonesia yang kujumpai. Mereka lewat dipelataran mesjid nabawi.
Setelah sampai dihotel, abi (ayah saya) langsung sontak bertanya dengan wajah khawatir. “ adil kemana aja ? kok bisa lama pulangnya ?” lalu kujawab dengan santai “kami tadi tersesat dalam kebaikan bi, lumayan susah nemuin pintu 15. Jadi ceritanya pas adil dan 2 nenek-nenek yang ikut disamping adil mau sholat isya. Nah, kami ga dapat tempat untuk sholat, jadi adil liat ada diujung yang kosong pas 3 tempat, makanya adil kearah sana sholatnya. Setelah selesai sholat rencananya mau langsung pulang kehotel karena belum makan. Eh ternyata pas memakai sendal tiba-tiba lihat pintu gerbang 30. Bukan 15, makanya bisa nyasar gitu” ucapku menjelaskan peristiwa malam tadi. “ya allah, ternyata begitu, ya udah besok abi isiin paket data arab ya, biar bisa langsung ngehubungi abi kaloada apa-apa”. Jawab abi mengelus-elus kepalaku.
Aku berharap pada allah swt, aku ingin dikembalikan dikota suci itu, aku sudah jatuh cinta padanya, aku ingin wafat HUSNUL KHOTIMAH saat didekat makam rasullullah dan ketika sholat sunnah 2 rakaat di raudhoh setelah itu allah memanggilku tatkala sujud dalam keheningan. Dalam keadaan allah ridho kepadaku, rasulullah ridho, semua manusia ridho. Aamin allahumma aamin ya rabb.
4 notes · View notes
futianz · 3 years
Text
Tentang Foto
Tumblr media
Di waktu luang, pernah saya tanyakan sesuatu kepada Nenek.
"Nek, atuk (kakek) itu bentuk orangnya macam mana?" Masa dak ada 1 foto atuk yang tersisa sih Nek.
"Mana ada sayang. Dulu mana ada HP. Yang punya kamera orang-orang kaya. Nenek mana ada.
Beberapa waktu lalu, kisah tentang Alex Mendur dan Frans sebagai fotografer pada masa pembacaan proklamasi lewat di timeline YouTube saya. Membuat sejenak berkontemplasi banyak hal tentang harga sebuah foto yang benar-benar dipertaruhkan. Dua pemuda sulawesi yang sempat dikejar oleh penjajah Jepang karena menyimpan dokumen foto proklamasi. Untung saja mereka segera menguburkan data foto tersebut dalam tanah, dan berhasil mengelabui tentara Jepang. Andai saja berhasil dirampas, maka takkan pernah ada rekam jejak yang tersisa dari berharganya moment puncak kebahagiaan rakyat Indonesia kala itu. Takkan bisa dinikmati tentunya oleh kita saat ini.
Termenung, kadang terpikir bagaimana mungkin tak ada satupun foto nenek yang tersisa zaman dahulu. Apa yang tersisa? Nyatanya memang tak ada. Selama ini nenek hanya mendeskripsikan kakek berdasarkan modal ingatannya saja. Kalau rindu bagaimana? Ya rasakan saja sendiri. Jauh berbeda tentunya dengan masa sekarang. Rindu sedikit bisa pandang foto, sharing foto, bahkan video call yang sangat accessible saat ini, menjadi platform pelampiasan rindu tertinggi yang tak terpikirkan sebelumnya mungkin dengan orang-orang hidup di masa lawas.
Pun, foto sangat erat kaitannya dengan sejarah, apapun itu. Walau bagaimana usang seutas foto, nilainya tak bisa diukur dengan apapun. Dapat amat berharga dan berarti bagi banyak orang. Di mana beberapa kisah dapat berbicara walau sudah begitu lampau lamanya. Seorang reporter dapat terancam keselamatan dan nyawa. Meliput, mengambil gambar dalam suasana genting. Sebagian jenis penelitian kadang harus mencantumkan dokumen foto sebagai bukti wajib. Lagi, atas nama mengabadikan momen penting. Momen langka. Bernilai, berharga.
Dalam scope yang lebih kecil, foto sudah sepatutnya menjadi hal yang bernilai bagi diri kita sendiri. Saya cukup gemar terhadap dunia perfotoan. Entah dalam memotret random seperti alam, lingkungan sekitar, orang lain, atau potret terhadap diri sendiri. Saya senang-senang saja melakukannya. Nothing to lose, terlebih pada moment-moment yang tengah berkumpul bersama teman, saudara-mara, keluarga, dan lain sebagainya. Namun disisi lain, mungkin banyak sebagian orang memandang sebelah mata orang yang sangat gemar berfoto. Negatifnya lagi hobi berfoto kerapkali dilekatkan dengan label narsisme. Padahal, andai kita coba latih diri sendiri untuk lebih luas memandang sesuatu dari berbagai sudut pandang, banyak hal yang begitu bernilai lahir dari sebuah foto yang kerapkali kita anggap sekadar foto biasa. Gemar berfoto, mengabadikan berbagai moment sekarang bahkan menjadi seserius itu bagi saya, sejak dengan mudahnya aneka barang digital yang lekas memproses foto dengan kualitas bagus walau hanya lewat ponsel pribadi. Arti sebuah foto sekarang menjadi tak sederhana lagi, semenjak sedikit sekali ternyata kenangan yang terabadikan bersama Alm. Bapak saya, contohnya. Beliau bukanlah orang yang suka berfoto, ditambah dahulu zaman belum secanggih sekarang. Walau sempat dulu sudah memiliki handphone dengan kamera seadanya, dan pernah mengambil beberapa gambar bersama Bapak, entah mengapa saya selalu menghapus foto beliau. Setelah kepergiannya akhir-akhir ini baru saya sadari, bahwasanya saya ternyata tak cukup kuat selama ini menyimpan fotonya di ponsel saya. Bagi saya kenangan bersama Bapak cukup saya simpan rapat-rapat dalam memori, dalam hati.
Tapi sepertinya saya keliru. Manusia menua, berikut seluruh kerja memori otak yang tentu kian hari kian melemah. Maka jejak foto adalah satu-satunya yang sampai kapanpun bisa kita buka kembali ketika mengingat momen-momen indah dengan orang terkasih. Bahagia sekali rasanya melihat anak zaman sekarang dapat dengan mudahnya merekam aneka cerita dengan orang tua, keluarga, dan teman-teman. Pelan-pelan saya pahami di tengah gaya hidup era industri revolusi 4.0 ini, mengapa banyak orang tua zaman sekarang juga meng-upload foto anak-anaknya dengan caption "simpan di sini", bahkan telah dibuatkan akun sosial media sedari bayi. Karena nyatanya platform sejenis sosmed itulah yang memang menyediakan space untuk menaruh kenangan demi kenangan tumbuh kembang anak mereka yang aman dan tak mudah hilang. Sebagian mungkin mengatakan berlebihan sekali, padahal toh bisa disimpan di laptop pribadi, ada hardisk? Dan mari kembali jangan memaksakan pola pikir orang agar sejalan dengan kita. Manusia tentu berbeda, berekspresi dengan cara yang beda pula. Namun yang penting adalah harga sebuah foto itu sendiri. Bertaruh atas waktu, atas momen-momen berharga yang takkan mungkin diputar kembali. Terjadi hanya pada saat itu saja.
Karena terkadang ketika kita berfoto, ya foto saja. Kelak mungkin baru disadari, satu gambar yang berbicara banyak hal dengan kisah di belakangnya. Momen-momen berharga dengan orang-orang yang sangat kita sayangi, yang pernah kita jumpai, pernah membersamai cerita hidup kita. Yang mungkin satu per-satu telah pergi mendahului.
Maka berfotolah, abadikan momen terbaik dalam hidup.
Sebanyak dan dengan sesiapapun yang kita mau.
April,2021
20 notes · View notes
kurangpiknik · 3 years
Text
PROPAGANDA PAHLAWAN NASIONAL
November 2016 silam, Presiden Joko Widodo memutuskan mengangkat K.H.R. As’ad Syamsul Arifin sebagai pahlawan nasional. Hanya satu nama saja!
Dari 2004 sampai 2014, SBY tak pernah hanya menahbiskan satu nama pahlawan nasional pada bulan November. Selain Jokowi pada 2016, pemerintah Indonesia pascareformasi hanya menahbiskan satu nama terjadi pada 2000 dan 2003: Gus Dur menobatkan Fatmawati pada 2000, Megawati menahbiskan Nani Wartabone pada 2003. Pada November 2014 dan 2015, Jokowi masing-masing menahbiskan empat dan lima pahlawan nasional yang baru.
Padahal ada 11 nama pahlawan nasional yang diusulkan pada 2016, tetapi hanya satu orang yang akhirnya diangkat. Menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, Kepres yang menahbiskan K.H.R. As'ad Syamsul Arifin sebagai pahlawan nasional ditandatangani Jokowi pada 4 November 2016.
Mengapa hanya satu dan mengapa 4 November 2016?
Saat itu Jokowi sedang menghadapi tekanan yang kuat terkait dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok. Jokowi sampai harus melakukan safari ke berbagai acara yang melibatkan ulama dan ormas-ormas Islam untuk meredakan situasi yang menekan itu. Jangan lupa, 4 November adalah momen demonstrasi besar-besaran yang menuntut Ahok diadili.
Untuk ukuran Jokowi yang kian mahir bermain pasemon, menetapkan seorang ulama, yang berlatar belakang Nahdlatul Ulama, sebagai satu-satunya pahlawan nasional bukanlah tanpa maksud. Ia hendak memberi pesan politik: pemerintahannya bukanlah rezim yang anti-Islam atau anti-ulama.
Polemik Makam Heru Atmodjo
Letkol (pnb) Heru Atmodjo dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 29 Januari 2011. Dua pekan kemudian, Gerakan Umat Islam Bersatu di Jawa Timur menuntut agar makam Heru di TMP Kalibata dibongkar dan dipindahkan. Alasannya: Heru Atmodjo terlibat dan sebagai "pelaku G 30 S/PKI." Tak ada kabar lanjutan setelahnya. Lalu, tiba-tiba saja, pada April 2011, beredar kabar kalau makam Heru Atmodjo sudah dipindahkan.
Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) saat itu, Imam Syufaat, mengatakan pemindahan itu terjadi karena kekeliruan. Alibinya, Heru Atmodjo berstatus tentara yang dipecat/diberhentikan. Kadispenum TNI Minulyo, saat itu berpangkat kolonel, mengatakan hal serupa: setelah dilakukan penelitian, ternyata Heru tidak memenuhi syarat untuk dimakamkan di TMP Kalibata.
Cara paling mudah untuk memahami kasus pemakaman Heru Atmodjo adalah administrasi negara tidak cermat. Bagaimana bisa, dengan merujuk ucapan Imam Syufaat, negara melakukan kekeliruan yang fatal? Dampaknya menyedihkan: jasad seseorang yang dimakamkan secara kenegaraan hanya untuk dibongkar kembali.
Membongkar makam Heru Atmodjo adalah praktik penyuntingan terhadap teks kepahlawanan. Heru sudah dimasukkan ke dalam teks kepahlawanan dengan memakamannya di TMP Kalibata. Namun, karena dianggap keliru, teks kemudian disunting ulang—kali ini dengan membuang nama Heru dari semesta teks.
Jika bersedia jujur, praktik penyuntingan seperti ini bukan barang baru. Puluhan tahun nama Tan Malaka, misalnya, dikeluarkan dari teks-teks resmi kepahlawanan. Pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, sebagai versi resmi kepahlawanan, nyaris tak pernah memberi tempat pada kisah Tan Malaka sebagai tokoh bangsa. Padahal Tan adalah pahlawan nasional berdasarkan Keppres No. 53 Tahun 1963—keputusan yang tidak pernah dicabut sebenarnya.
Atau simaklah nama yang lain: Alimin Prawirodirdjo. Ia salah seorang pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diangkat sebagai pahlawan nasional oleh Sukarno melalui Keppres No. 163 Tahun 1964. Ia bahkan dimakamkan di TMP Kalibata. Kepres pengangkatan Alimin sebagai pahlawan nasional tak pernah dicabut, makamnya juga tak pernah dibongkar, tapi namanya nyaris tak tertera dalam teks-teks resmi kepahlawanan yang diwedarkan dalam pelajaran sejarah resmi.
Tan Malaka dan Alimin adalah bagian yang sah, sekaligus resmi, dari semesta teks kepahlawanan nasional. Namun peran mereka tak diakui secara terbuka selama puluhan tahun. Ini sejenis penyuntingan diam-diam, berbeda dengan penyuntingan untuk Heru Atmodjo yang dilakukan secara terbuka dan terang-terangan.
Praktik penyuntingan ini tidak hanya dilakukan oleh negara, tapi juga oleh kelompok sipil. Kelompok sipil yang menuntut makam Heru Atmodjo dibongkar adalah pelaku aktif penyuntingan teks kepahlawanan nasional. Jika mau, mereka bisa saja menuntut makam L.B. Moerdani di TMP Kalibata dibongkar. Sebagai mantan Pangkopkamtib yang dulu sangat berkuasa di lapangan, Moerdani bertanggungjawab terhadap pembantaian umat Islam di Tanjung Priok pada 1984 (Vedi R. Hadiz, Islamic Populism in Indonesia and the Middle East, 2016, hlm. 109).
Menciptakan Para Pahlawan
Pahlawan itu bukan dilahirkan, melainkan diciptakan. Pahlawan diciptakan bukan untuk diteladani tapi guna mengokohkan ideologi negara-bangsa, untuk mereproduksi narasi nasionalism. Setiap ideologi membutuhkan propaganda, dan teks kepahlawanan (termasuk Taman Makam Pahlawan) adalah alat propaganda nasionalisme. 
Untuk memenuhi tujuan itu maka dilakukanlah proses pemilahan, penyuntingan, dan penambahan pelbagai elemen agar teks kepahlawanan bisa memukau dan menjerat.  
Proses pemilahan dan penyuntingannya penuh prosedur birokratis, dimulai dari usulan masyarakat, diperiksa dan diteliti Badan Pembina Pahlawan Daerah (BPPD), lantas Gubernur (pemerintah daerah) melanjutkan ke Badan Pembina Pahlawan Nasional yang ada di Departemen Sosial (Depsos), dan terakhir diserahkan pada Presiden yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres).
Surat Edaran Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial (Depsos) No.281/PS/X/2006 menjelaskan, kriteria pahlawan nasional: perjuangannya konsisten, mempunyai semangat nasionalisme dan cinta tanah air yang tinggi, berskala nasional serta sepanjang hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan sang tokoh sudah meninggal.
Melalui prosedur yang birokratis, dengan kriteria yang ketat, para kandidat pahlawan nasional itu dikaji, diselidiki, dan diperiksa "secara klinis" untuk memastikan tak ada penyakit yang bisa merongrong kesucian teks kepahlawanan.
Setelah seseorang lolos “secara klinis", dan kemudian ditetapkan sebagai pahlawan, proses pun berlanjut dengan mengimbuhi sang pahlawan dengan elemen-elemen tambahan berupa pemilahan dan penyempurnaan foto atau lukisan wajah, lalu mendaur ulang hasilnya dengan sebanyak-banyaknya, disebarkan dengan pelbagai cara dan media (terutama buku pelajaran sejarah).
Itu harus dilakukan karena tak ada pahlawan yang tak ada gambar. Paras pahlawan diperlukan untuk membuat narasi kepahlawanannya menjadi lebih nyata, sehingga daya pukaunya bisa disebarkan. Apakah wajah yang ditampilkan itu persis seperti aslinya atau tidak, bukanlah isu pokok. Yang penting: parasnya cemerlang, bersih, dan beraura wingit.   
Perhatikan paras para pahlawan nasional, rata-rata terlihat meyakinkan, nyaris tak memuat kebimbangan, tak jarang luber dengan aura kebesaran, kombinasi kebijaksanaan dan kebangsawanan, meluapkan wibawa yang luhung, menyiratkan perkawinan antara keluhuran bakti dan silsilah mulia.
Agar sosok pahlawan itu leluasa diimbuhi pelbagai elemen tambahan itu, maka disyaratkan kandidat pahlawan haruslah orang yang sudah mati. Dengan tutupnya usia, riwayat kandidat menjadi “tertutup" karena sepak terjangnya telah rampung. Ia tak mungkin berbuat iseng yang jorok-jorok, yang akan menodai kepahlawanannya. Namun ketertutupan itu pula yang justru membuatnya menjadi terbuka: leluasa diutak-atik.  
Wujud resmi penyuntingan dapat dilihat dari buku-buku putih, buku pelajaran sejarah, dan buklet-buklet yang disebarkan ke perpustakaan sekolah dan museum. Melalui wujud resmi itulah kepahlawanan seseorang menjadi bergerak, bergulir, dan menebarkan pengaruhnya; semacam—dalam kosa kata Charles Sanders Peirce—"ground": abstraksi dari yang-konkret yang dapat menyiratkan kemungkinan-kemungkinan lain (Writings of Charles S. Peirce: 1867-1871, 1984: hlm. 55 ). 
Menyederhanakan Sosok Pahlawan
Selain menambah-nambahkan elemen, teks kepahlawanan hampir selalu menyederhanakan kompleksitas riwayat hidup seseorang. Hanya karena seseorang pernah bertempur dengan Belanda, misalnya, ia dengan gampang bisa dianggap sebagai pahlawan. Teks (resmi) kepahlawanan sering sungkan ambil pusing dengan motif yang non hitam-putih.
Pangeran Diponegoro, misalnya. Kontestasi dan konflik antar-bangsawan di Kesultanan Yogyakarta, atau motif pribadi untuk menggenapkan wangsit sebagai Juru Selamat, tidak terlalu menarik untuk dipaparkan karena bisa saja menodai “ketulusan" perjuangan Diponegoro menentang Belanda (Peter Carey, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1855, 2014).
Sultan Hamengkubuwono I juga bisa dirujuk untuk menunjukkan penyederhanaan yang, jika menggunakan kalimat yang insinuatif, “mengaburkan sejarah". Anda hanya perlu membaca buku M.C. Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi, 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa (2002) untuk mulai menelusuri pendiri dinasti Keraton Yogyakarta ini.
Mangkubumi, gelar sebelum ia ditahbiskan sebagai Hamengkubuwana I, memulai perana dalam sejarah Jawa dengan menyanggupi (semacam) sayembara yang dibikin oleh Kasunanan Surakarta: Siapa yang bisa menyelesaikan perlawanan R.M. Said akan diberi hadiah tanah perdikan. Mengkubumi turun untuk memerangi R.M. Said dan ketika bisa memenuhi persyaratan sayembara itu, hadiah yang dijanjikan pun tak kunjung diberikan. Jengkel dan marah, Mangkubumi lantas bergabung dengan R.M. Said untuk melakukan perlawanan. Karena perlawanan itu tak bisa diselesaikan oleh Pakubuwana II & Belanda, lahirlah perjanjian Giyanti yang mengesahkan kekuasaan Mangkubumi di wilayah Yogyakarta.
Menjadikan Hamengkubuwana I sebagai pahlawan nasional bisa dipersoalkan karena beberapa hal. Pertama, Hamengkubuwana tak pernah secara serius menganggap Belanda sebagai pihak yang harus benar-benar diperangi. Belanda dipahami dan dimengerti sebagai titik kesetimbangan dalam konflik segitiga antara dirinya dengan Paku Buwana II dan R.M. Said. Apa yang dipikirkannya bukan bagaimana mengusir Belanda sebagaimana yang dipikirkan Diponegoro atau Sultan Agung, melainkan bagaimana caranya agar ia bisa menyatukan kembali Jawa di bawah kekuasaannya. Ini soal ambisi seorang politikus.
Kedua, karena berambisi menguasai Jawa dalam genggamannya (minimal oleh keturunannya kelak), maka bagi Mangkubumi, R.M Said jauh lebih jadi masalah karena didukung oleh banyak elite Jawa. Lagi pula, ini yang ironis, Mangkubumi bisa menjadi Sultan justru karena mula-mula ia memerangi R.M. Said (alias Pangeran Sambernyowo alias Mangkunegara I) yang juga ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Bagaimana tidak ironis jika dua pahlawan nasional saling bertempur? Yang mana pahlawan sebenarnya?
Sedangkan R.A. Kartini menjadi ilustrasi bagaimana teks kepahlawanan nasional seringkali menyempitkan dan menyederhanakan kehidupan. Kartini, dalam teks resmi, ditempatkan sebagai pelopor emansipasi perempuan. Dalam teks resmi itu, hayat dan nasib Kartini tak cukup dipampangkan dengan terbuka dan apa adanya. Kegagalan dan tragedi hidupnya, yang dimulai karena ia membatalkan cita-citanya sendiri untuk sekolah ke Belanda dan berakhir dengan pernikahan yang menjadikannya korban poligami, nyaris tak masuk dalam narasi resmi kepahlawanan Kartini.
Narasi kepahlawanan Kartini tak ubahnya sebuah biografi yang minimal, tak lengkap karena sengaja tak dilengkapi, penuh penyuntingan yang sering kali berlebihan.
Harus diakui, kepahlawanan adalah sebuah kisah yang dipadatkan, diringkaskan, disederhanakan dan (kadang kala) “mengada-ada" — jika kata “pemalsuan" dirasa kelewat telengas. 
Monumen “Agama" Nasionalisme
“Nasionalisme," tulis Ben Anderson, “harus dicerna dengan cara menyekutukannya dengan sistem-sistem kebudayaan besar yang mendahului kelahirannya." (Immagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, 2002: hlm. 17).
Bagi Anderson, sistem-sistem kebudayaan besar itu adalah pandangan dunia religius tradisional atau agama. Kelebihan agama sebagai sistem, katanya, terletak pada pengakuannya terhadap “kebadian roh". Dengan itulah agama-agama mencoba menjelaskan kesinambungan antara yang belum mati, yang masih hidup, dan yang belum lahir.
Pemikiran religius memungkinkan kaitan antara yang-silam, yang-sekarang dan yang-menjelang; pendeknya: misteri regenerasi sekaligus kontinuasi (keberlanjutan). Inilah yang memungkinkan (komunitas) agama mampu melestarikan diri selama lebih dari satu milenium dalam lusinan bentukan sosial yang berbeda-beda.
Negara-bangsa, sebagai perwujudan dari nasionalisme, mengambil-oper hal itu dalam bentuk taman makam pahlawan. Jika biografi, buku pelajaran sejarah atau buklet-buklet dalam museum adalah medium sekuler, maka taman makam pahlawan adalah medium (kuasi) religius yang memungkinkan nasionalisme memiliki elemen “keabadian roh" yang dimaksud Anderson. Pada makam-makam pahlawan itu, baik pahlawan yang dikenal maupun yang tidak, perjuangan nasional dilekati elemen keabadian yang sakral, magis, sekaligus keramat.
Dari ribuan makam di TMP Kalibata, misalnya, terdapat 42 makam pahlawan tak dikenal. Makam-makam tak dikenal itu penting untuk menyempurnakan kesakralan Taman Makam Pahlawan. Melalui makam-makam tak dikenal itulah nasionalisme menjadi lebih kafah karena ditopang oleh orang-orang yang diasumsikan sangat tulus sehingga rela berkorban walau tak mendapatkan balas jasa apa pun.
“Tak ada lencana yang lebih menawan dalam kebudayaan nasional modern daripada monumen- makam para tentara tak dikenal. … Makam-makam tersebut telah dipenuhi dengan khayalan nasional yang menghantui," tulis Anderson.
“Khayalan nasional yang menghantui" itu beragam dampaknya: dapat mengingatkan tapi juga mampu bikin lupa. Mereka bisa mengingatkan peran dan jasa orang-orang yang dikuburkan di sana. Saat yang sama juga dapat melahirkan keterpukauan akan kemegahan, keindahan, dan kerapihannya. Keterpukauan itu dapat menyelimutkan pelbagai cerita yang tertanam di bawahnya: darah para korban tak bersalah yang tumpah, dusta-dusta sejarah, juga kontestasi kekuasaan yang pelik dan buas.
Salah seorang yang awas terhadap jebakan keterpukauan itu adalah Mohammad Hatta. Saat menghadiri pemakaman Soetan Sjahrir, seperti dipaparkan dalam epilog biografi Sjahrir yang ditulis Rudolf Mrazek, Hatta berkata pada salah seorang saudari Sjahrir bahwa ia “tak akan membiarkan orang lain memperlakukan dirinya seperti ini" (Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, 1994: hlm. 497).
Sjahrir menjadi ilustrasi dari betapa kepahlawanan nasional, dan posisi Taman Makam Pahlawan, kadang hanya melengkapi “permainan dan pertarungan politik" belaka.
Sjahrir ditangkap dan dipenjarakan oleh Sukarno tanpa mendapatkan kesempatan membela diri secara fair dan terbuka di muka pengadilan. Ia ditangkap pada 1962 dan ditahan dalam satu bangunan yang sama dengan beberapa orang yang juga, ironisnya, kelak menjadi para pahlawan nasional (Anak Agung Gde Agung, Mohammad Natsir). Hanya karena serangan stroke sajalah Sjahrir diizinkan berobat di Zurich dengan status masih sebagai tahanan. Dan dalam status itu pula ia wafat pada 9 April 1966.
Ironisnya, di hari kematian itu pula, Sjahrir ditahbiskan sebagai pahlawan nasional justru oleh Sukarno yang dengan sewenang-wenang menangkap dan memenjarakannya tanpa proses peradilan. Ia jadi contoh bagaimana kekuasaan secara manasuka menukar-nukarkan stempel “musuh negara" dan “pahlawan negara". 
Persis seperti nasib jasad Heru Atmodjo di TMP Kalibata. Bisa dipahami mengapa Hatta enggan dimakamkan di sana.
======
Naskah ini tayang pertama kali di tirto.id pada 6 Februari 2017.
36 notes · View notes