Tumgik
#gontha
asdaricus · 1 year
Text
Tumblr media Tumblr media
These furry creatures are meant to be gonthas. In the World of Asdar, they can fly as well. Gonthas live in the outskirts of the high Jaggudorn Mountains. The people of these lands shear the gonthas to make into cloth which they use for conventional textiles and for sails for their skycraft. These images use picture references of alpacas. I was unable to get these to fly with Midjourney. by Midjourney
1 note · View note
ediebhaskarasblog · 1 year
Text
Tumblr media
Dodo Zakaria (7 Juli 1960 – 22 Oktober 2007) adalah pemusik dan penulis lagu Indonesia. Karya-karyanya populer pada tahun 1980-an dan 1990-an.
Dia adalah pianis yang mumpuni. Dia juga komposer yang andal. Banyak penyanyi yang telah menyanyikan karya-karya Dodo mulai dari genre pop hingga rock sekalipun, seperti Vina Panduwinata, Utha Likumahuwa, Kiki Maria, Dian Pramana Poetra, Deddy Dhukun, Achmad Albar, Nicky Astria, Neno Warisman, Fariz RM, Malyda, Euis Darliah, dan Gito Rollies. Artis lainnya yang juga menyayikan karya almarhum, adalah Deddy Stanzah, Tika Bisono, Lydia & Imaniar, Peter F Gontha, Syaharani, Iis Dahlia, January Christy, Andi Meriem Matalatta, Chrisye, Grace Simon,Emilia Contessa, Irianti Erningpraja, Ismi Aziz, Henry Manuputty, Molluccas, Glenn Fredly, dan Ratu.
Sebagian di antaranya menjadi hit besar, seperti "Di Dadaku Ada Kamu" dan "Kumpul Bocah" melalui Vina Panduwinata maupun "Esokkan Masih Ada" dan "Mereka Bukan Kita" dari Utha Likumahuwa.
Menguak dasawarsa 80-an, Dodo kembali terkait dalam sebuah grup band bernuansa jazz rock dengan dominasi alat tiup yang kemudian diberi nama Drakhma. Drakhma yang diambil dari nama mata uang Yunani ini terdiri dari Dodo Zakaria (keyboard), Dani Mamesah (drum), Ricky Basuki (vokal), Rudy Gagola (bass), Giedon Tengker (gitar), Wawan Tagalos (trombone,flute), Chalik (saxophone) dan Eddy (trumpet), serta sederet penyanyi latar wanita: Rieta Amelia, Uce Anwar, Christine Budiardjo, Daisy Maengkom, dan Eva Diana Sari. Kelompok ini sempat merilis tiga album masing-masing bertajuk Hari Esok, Citra Bahagia, dan Tiada Kusadari.
Sayangnya, memasuki 1985 formasi Drakhma yang juga sempat didukung Jelly Tobing dan Ekki Soekarno ini mengalami keretakan. Dani Mamesah dan Ricky Basuki membentuk kelompok Niagara. Rudy Gagola dan Rieta Amelia bersolo karier, dan Dodo Zakaria diajak bergabung dalam grup rock God Bless. Sayangnya, ketika bergabung bersama Achmad Albar, Ian Antono, Donny Fattah, dan Teddy Sujaya, God Bless lebih sering menyanyikan lagu-lagu mancanegara milik Def Leppard, Kiss, Bon Jovi, Van Halen, Autograph, Opus, dan lain sebagainya. Karena tak memiliki aura kreatif dalam berkarya, Dodo akhirnya mengundurkan diri dari God Bless.
Dodo akhirnya memang lebih intens dalam berkarya.
Lagu-lagunya kian banyak dinyanyikan penyanyi era 80-an hingga 90-an. Ia pun ikut aktif tergabung dalam wadah Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Indonesia (PAPPPRI). Kepeduliannya terhadap perkembangan musik pop Indonesia telah pula diwujudkannya dalam kompetisi bertajuk Indonesia Song Festival 2006 (Insof) yang digagasnya untuk menjaring bakat-bakat baru dalam dunia karya cipta lagu Indonesia.
5 notes · View notes
kbanews · 1 year
Text
Siap Tanggung Segala Risiko, Peter F. Gontha Mantap Dukung Anies Baswedan
JAKARTA | KBA – Pengusaha yang juga Wakil Ketua Dewan Pakar DPP Partai NasDem Peter F. Gontha mantap mendukung Anies Baswedan. Dia pun siap menghadapi segala risiko atas keputusan politiknya tersebut, termasuk apabila bisnisnya diganggu imbas dari dukungan ke mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Penegasan ini disampaikan tokoh senior berkepala plontos ini akun Instagram-nya, @petergontha, Jumat,…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
turisiancom · 1 year
Text
TURISIAN.com - Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, tuh punya mimpi besar banget, guys! Dia berharap festival musik jazz di Indonesia bisa jadi magnet buat wisatawan. Dan tentu saja juga ngebantu kita capai target 8,5 juta turis asing dan 1,4 miliar turis lokal. Keren, kan? Kemenparekraf berharap festival kayak gini bisa ngasih semangat buat pariwisata dan ekonomi kreatif kita. Biar bisa bangkit lagi. Nggak cuma itu, ini juga bisa ngebuka lapangan kerja baru. Niat banget nih! Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) juga dukung banget konser musik, baik yang musisinya lokal ataupun internasional. BACAJUGA: Jreng,Tiket Presale Konser Coldplay Resmi Dibuka, Begini Cara Belinya Konser musik jazz ini bisa banget ngehipnotis generasi apa aja dan jadi daya tarik buat turis yang pengen jalan-jalan ke sini. Sebut saja Dessy Ruhati, yang jadi Direktur Event Nasional dan Internasional di Kemenparekraf, bilang kementeriannya bakal ngebantu kolaborasi dan fasilitasi segala proses birokrasi. Termasuk, promosi buat acara-acara kayak gini. Supaya penontonnya bisa beli tiket dengan gembira dan jumlah penontonnya bisa lebih banyak dari sebelumnya. Asik, kan? Tapi, penting banget nih, buat para penyelenggara konser musik. Harus banget perhatiin segala aspek keamanan, manajemen risiko, dan juga pengaturan kerumunan. Kenyamanan dan keselamatan penonton itu yang utama, guys! BACA JUGA: Sandiaga Uno Sebut Konser Coldplay Bisa Nambahin Pendapatan Triliunan, Gila Tajir ya… Persiapan sudah mencapai 80 persen Nah, Divisi Program Java Festival Production, Nikita Dompas, bilang kalau persiapan buat Jakarta International Java Festival 2023 udah mencapai 80% nih. Konsernya bakal digelar awal Juni nanti, dan musisi-musisi mancanegara bakal dateng mulai minggu depan. Seru banget! Begitu pun Dewi Gontha, irektur Utama Java Festival Production, juga cerita kalau festival ini bakal banyak banget penampilan seru. Termasuk kolaborasi antara musisi internasional dan lokal. Kolaborasi itu mah jadi ciri khasnya Java Jazz Festival, jadi pastinya bakal keren banget deh! Jadi, kita dukung terus festival musik jazz ini, ya! Buat semangat pariwisata dan ekonomi kreatif kita makin naik, biar Indonesia jadi tempat yang asik buat dikunjungin sama turis-turis dari seluruh dunia. BACA JUGA: Inilah Jadwal Konser dan Festival Musik di Indonesia Sepanjang 2023! Harga Tiket Konser Tiket untuk Jakarta International Java Festival 2023 ini ternyata terjangkau banget, guys! Harganya bervariasi, mulai dari tiket reguler yang dijual dengan harga sekitar 150 ribu rupiah. Sampai tiket VIP yang harganya sekitar 500 ribu rupiah. Wah, seru banget kan! Dengan harga tiket yang terjangkau ini, semoga semakin banyak orang yang bisa merasakan keasyikan festival musik jazz ini. Mulai dari kaum muda hingga yang udah berumur. Pastinya, bakal ada pengalaman seru dan tak terlupakan buat semua penontonnya. Jadi, jangan sampai kelewatan kesempatan buat nonton konser-konser seru dari musisi internasional dan lokal di Jakarta International Java Festival 2023 ini. Segera beli tiketnya sebelum kehabisan, ya! Siap-siap buat bergoyang dan menikmati musik jazz yang bikin semangat! BACA JUGA: Festival Musik Akustik Surabaya Mampu Gelorakan Semangat Cinta Tanah Air Lokasi Konser Nah, untuk tempat pelaksanaan Jakarta International Java Festival 2023 bakal berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC), yang terletak di pusat kota Jakarta, Indonesia. JCC merupakan salah satu venue yang populer dan sering digunakan untuk berbagai acara besar. Termasuk konser musik dan festival. Dengan lokasinya yang strategis, para penonton akan mudah mengakses tempat ini dan menikmati serunya acara musik jazz yang digelar di sana. Siap-siap untuk merasakan atmosfer yang penuh energi di Jakarta Convention Center saat festival musik jazz ini berlangsung! Tempat Menginap (Hotel) Tentu, di sekitar JCC  tempat
pelaksanaan Jakarta International Java Festival 2023, terdapat beragam pilihan tempat menginap yang bisa kamu pertimbangkan. Berikut beberapa opsi tempat menginap di sekitar lokasi festival: Hotel Mulia Senayan: Hotel mewah yang terletak tepat di sebelah JCC. Menawarkan fasilitas lengkap dan kenyamanan tingkat tinggi. Fairmont Jakarta: Hotel bintang lima yang terletak sekitar 1,5 kilometer dari JCC. Menawarkan pemandangan kota yang indah dan fasilitas mewah. Ritz-Carlton Jakarta, Pacific Place: Hotel mewah yang terletak sekitar 2 kilometer dari JCC. Menawarkan pengalaman menginap yang elegan dan fasilitas yang lengkap. Hotel Century Park: Hotel yang terletak sekitar 1 kilometer dari JCC. Menawarkan kamar yang nyaman dan fasilitas yang memadai. Hotel Ayana Midplaza Jakarta: Hotel bintang lima yang terletak sekitar 3 kilometer dari JCC. Menawarkan pilihan kamar yang luas dan fasilitas yang modern. BACA JUGA: Event Balap Seri MXGP Indonesia Diselingi Festival Musik Don&Kill Music Selain itu, terdapat juga berbagai pilihan hotel, apartemen, dan penginapan lainnya di sekitar daerah Senayan dan Sudirman, yang merupakan area yang strategis dan dekat dengan JCC. Pastikan untuk memesan tempat menginap sesuai preferensi dan anggaranmu dengan segera, karena saat festival berlangsung biasanya permintaan tempat menginap meningkat. Selamat menikmati festival musik jazz dan menikmati pengalaman menginap yang nyaman di Jakarta! ***
0 notes
realita-lampung · 2 years
Text
Menjunjung Marwah-Etika Organisasi, Dhimam Abror Mundur Dari DK PWI
Tumblr media
JAKARTA - Anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Dhimam Abror mengundurkan diri sebagai anggota DK terhitung sejak 24 Februari 2023. Alasan pengunduran dirinya karena mulai terlibat aktif dalam kegiatan sebagai Relawan Anies Baswedan yang akan maju dalam pemilihan presiden 2024. Dia bergabung di Tim Jaringan Nasional (Jarnas) Relawan Anies Baswedan. Ketua DK Ilham Bintang menyetujui dan menghormati pengunduran diri tersebut karena memang sudah seharusnya demikian. Abror mengatakan, dirinya sangat menjunjung tinggi harkat dan marwah organisasi profesi wartawan yang tertua dan terbesar ini. Walaupun secara legal formal belum bisa dikatakan terlibat mengingat belum adanya capres yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), demikian juga tim suksesnya, namun dia tak ingin sembunyi sembunyi apalagi berbohong. "Ini prinsip etika moral yang seharusnya memang berada di atas semua peraturan formalnya," tegas Abror pada, Senin (24/2/2023). Seperti diketahui Peraturan Dasar PWI Pasal 26 ayat 3 mengharuskan setiap pengurus PWI baik di Pusat, propinsi maupun kota/kabupaten mengundurkan diri sebagai pengurus apabila mengikuti atau terlibat dalam tim sukses di pilkada, pileg maupun pilpres. Ilham Bintang sangat menghargai sikap jujur dan ksatria Dhimam Abror yang sangat mengutamakan integritas pribadi dan organisasi PWI. "Semoga ini menjadi contoh dan preseden yang baik untuk para anggota PWI," ungkap Seretaris DK Sasongko Tedjo. Sebelumnya beberapa anggota DK juga mengundurkan diri karena aktifitas baru mereka tidak boleh merangkap di organisasi PWI. Seperti Peter Gontha karena masuk di kepengurusan Partai Nasdem sebagai Dewan Pakar Suryopratomo yang diangkat sebagai Duta Besar RI untuk Singapura, dan Teguh Santosa yang menjadi Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI). Semua itu sangat dihargai sebagai upaya menjaga marwah, harkat dan martabat organisasi khususnya di Dewan Kehormatan PWI bertugas menjaga dan mengawasi penerapan PD PRT, Kode Etik dan Kode Perilaku Wartawan. (Rls/Red) Read the full article
0 notes
baliportalnews · 2 years
Text
Konferensi Tingkat Tinggi SPORTEL Rendez-vous Bali, Tren Masa Depan Media Olahraga dan Penyiaran di Asia
Tumblr media
BALIPORTALNEWS.COM, NUSA DUA - Sebentar lagi, rangkaian seri Masterclass dan presentasi akan berlangsung di pasar internasional SPORTEL Rendez-vous Bali pada 23-24 Februari 2023. Acara ini akan membahas secara mendalam masa depan media olahraga dan industri teknologi, serta forum diskusi yang dipimpin oleh para eksekutif bisnis di bidang olahraga. Dengan membawa berbagai pengalaman dari berbagai negara, SPORTEL menghadirkan pembicara dari Indonesia, Asia, Eropa, Amerika Utara dan berbagai negara lainnya.  Dengan begitu, selain berkesempatan meluaskan koneksi, peserta juga akan mendapatkan wawasan penting selama pameran berlangsung untuk mengevaluasi serta membantu para pebisnis membuat keputusan yang tepat untuk mengembangkan strategi bisnis mereka dalam melihat hal potensial lainnya yang menguntungkan. Louis Ducruet, perwakilan resmi dari SPORTEL's Honorary President yang merupakan keponakan dari H.S.H. Pangeran Albert II; Laurent Puons, CEO dari SPORTEL; serta President Director of Transvision, Peter F. Gontha turut hadir dalam acara ini dan akan secara resmi membuka acara SPORTEL Rendez-vous Bali bersama di hari pertama yaitu tanggal 23 Februari 2023. Sebuah panel diskusi dipersiapkan dengan berkolaborasi bersama Kevin McCullagh dari SportBusiness bertajuk ‘Asia the Big Picture’. Dalam diskusi ini akan menampilkan para pemimpin industri media olahraga Asia, seperti Sutanto Hartono dari EMTEK, Mitch Hong dari SPOTV, Andrew Rogers dari AFC, dan Tom Broom dari IMG. Seluruh partisipan tersebut akan saling berbagi pandangan mereka terhadap keadaan industri penyiaran olahraga saat ini, membahas tentang bagaimana mereka dapat sampai pada puncak kejayaan mereka, serta pandangan arah bisnis penyiaran olahraga pada tahun 2023 dan seterusnya. “Panel diskusi Asia the Big Picture ini akan menjadi peluang luar biasa untuk AFC dalam membagi pandangannya dan berdiskusi dengan rekan-rekan industri serupa mengenai tren dan tantangan yang akan mempengaruhi masa depan bisnis olahraga di APAC dan lainnya,” ujar Andrew Rogers, Direktur, Komersial, Konfederasi Sepak Bola Asia. Panel diskusi menarik lainnya yang menjadi perhatian dengan mengangkat tajuk ‘Asian Audiences Embracing International Football Properties’. Dalam panel ini akan fokus pada topik tentang bagaimana properti   Eropa   dan   global telah membangun merek mereka di kawasan Asia, semisal dengan memperluas jejak digital dan bekerja sama dengan penyiar untuk meningkatkan pengalaman dari penggemar, sembari melakukan adaptasi untuk menghadapi jadwal live sports yang terkadang berubah. Adapun bintang utama pada panel diskusi ini meliputi, Paul Carder dari FIFA, Anna Guarnerio dari Serie A, Peer Naubert dari Bundesliga International, Henri Kamerling dari Pitch International, yang akan dipandu oleh Imran Yusuf dari SportBusiness. Selain itu, dengan topik yang berbeda lainnya, Alex Arroyo dari Dorna Sports akan membahas tentang MotoGP dengan judul ‘Revving up the Motorsports Experience’. Ada juga Adam Howarth dari Fox Sports dan Dedi Suherman dari Telkom Indonesia yang akan membahas mengenai besarnya popularitas olahraga motor di berbagai wilayah. Di samping itu, Alexandre Paugam dari Harmonic juga akan mempresentasikan studi kasus bersama dengan partner dari WRC Promotor dan Philipp Maenner, dengan judul ‘Accelerating Motorsports Global Reach with Rally.TV’. Melihat berkembangnya olahraga wanita secara pesat dan pentingnya fokus serta inovasi, panel lainnya akan terfokus membahas terkait ‘Culture and Diversity are Shifting the Direction of Sports Media in Asia’ yang akan dibahas oleh para jajaran eksekutif seperti, Mark Chew dari Reddentes Sports & Redd+E, Dini Putri dari RCTI & MNC, Karen Lay dari Sportfive Asia, dan akan dimoderatori oleh Meghna Krishna dari Maginfi. Asia, sebagai market E-Sports terbesar di dunia, yang dibuktikan dengan meningkatnya minat masyarakat dengan mobile e-sports serta melihat hal ini menjadi peluang besar bagi perusahaan savvy media yang benar-benar memahami ruang tersebut. Panel diskusi dengan tajuk ‘Masa Depan Esports di Asia’ akan dibawakan oleh Callum McCarthy dari SportBusiness dan akan mencakup beberapa organisasi besar di Asia seperti Roland Lam dari ESL Faceit, Martinus Manurung dari Moonton, dan Ren Kai Yip Reddentes Sports & Redd+E. “Skema E-Sports di Asia dinilai mengalami peningkatan popularitas yang cukup meroket selama bertahun-tahun, terutama pada saat pandemi Covid-19. Kini, setelah pandemi selesai dan mulai banyak acara olahraga yang kembali, tentunya akan ada persaingan tambahan pada ranah E-Sports dan peluang apa yang bisa ditawarkan kepada market,” ujar Ren Kai Yip, Managing Director & Co-founder, Redd+E Pte Ltd. Beralih ke ranah teknologi, WSC Sports Guy Port, akan membahas mengenai bagaimana mereka ‘Delivering Video Fan Experiences with AI’ dan bagaimana AI memegang peran penting dalam konten yang personal hingga realitas virtual pada panel diskusi SPORTEL Rendez-vous Bali ini. Tema teknologi berlanjut dengan melihat keadaan saat ini ‘AI, NDI, Cloud, dan Automated Production’ serta diskusi mengenai hal-hal yang berkaitan lainnya. Diskusi tersebut akan dipimpin oleh Raj Sambwani dari GSIC serta Denny Darmo dari Snipitz, Meghna Krishna dari Magnifi, dan Sistem Ideal, Fintan McKiernan. Ada lagi, panel diskusi ‘OTT Streaming & FAST Channels’ akan terfokus pada tren channel FAST TV dan bagaimana konten olahraga dapat membawa keuntungan pada pemilik konten olahraga dan para pemilik hak siar konten olahraga. Jajaran pakar yang akan berdiskusi akan terdiri dari Clarissa Tanoesoedibjo dari Vision+/MNC, François d’Azemar dari Origins Digital, Stephen Hodge dari OTTera, yang akan dimoderatori oleh Sandrine Durand dari SoFAST. “SPORTEL Rendez-vous Bali akan menjadi peluang yang sangat baik bagi kami untuk saling berbagi pengalaman kepada komunitas olahraga tingkat internasional, berbagi mengenai peluang OTT dan ruang streaming di Indonesia, serta peran peran Vision+ MNC dalam pengembangan ekosistem media,” ujar Clarissa Tanoesoedibjo, Direktur Utama PT Jaringan OTT MNC (Vision+). “Merupakan sebuah kebanggaan bagi saya dapat menjadi bagian dari panel diskusi yang dapat menggabungkan berbagai latar belakang, jenis kelamin, dan etnis. Sebuah hal yang sangat menarik untuk melihat bagaimana berbagai pengalaman dari berbagai pandangan dapat menawarkan wawasan, dorongan, dan mewakili keberagaman luar biasa yang ditawarkan dunia kepada kita,” ujar Stephen L. Hodge, Chairman & CEO, OTTera. Konsep baru dari program konferensi ini akan memperlihatkan pengenalan 'Pitch Session' yang menampilkan pendatang baru inovatif terpilih dalam SPORTEL dimana nantinya mereka akan mempresentasikan suara dan pendapatnya di depan para juri dan peserta. Selain   acara   inti   tersebut,   hadir  juga  side  event  lainnya  yang  meramaikan rangkaian  SPORTEL Rendez-vous Bali. Pada tanggal 24 Februari 2023, akan ada turnamen e-sports PUBG (Player Unknown’s Battle Ground) dan MLBB (Mobile Legend: Bang Bang). Dalam turnamen ini nantinya akan ada 16 tim terpilih untuk bertanding dan memperebutkan gelar juara yang berhak mendapatkan hadiah hingga jutaan rupiah. Bagi tim yang ingin mendaftar, bisa registrasi di http://bit.ly/EEC23 dengan batas maksimal pendaftaran adalah di tanggal 22 Februari 2023. Tidak hanya e-sports, sambil menikmati keindahan suasana di Bali dan memperluas networking dalam kesempatan ini, akan ada Golf Tournament pada tanggal 24 dan 25 Februari 2023 di New Kuta dan Bali National Golf. Louis Ducruet, perwakilan resmi kerajaan Monaco yang juga merupakan keponakan dari H.S.H. Prince Albert II, rencananya juga turut hadir dalam Golf Tournament ini. Adapun bagi pemenangnya nanti berkesempatan untuk membawa pulang hadiah menarik dengan total hadiah hingga Rp50 juta dan trophy. Selama rangkaian acara di Grand Hyatt Nusa Dua, Bali ini, terdapat area Test Drive dari Wuling. Para peserta SPORTEL Rendez-vous Bali dapat mencoba langsung salah satu produk mobil listriknya yang banyak menarik perhatian, yaitu Wuling Air Ev. Selain Wuling, acara ini terselenggara dengan sukses atas dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak seperti Telkomsel, Telkom Indonesia, Sidomuncul Natural dan Osteokom.(bpn) Read the full article
0 notes
dinoparadojico · 7 years
Text
Una noche DE TERROR: las recomendaciones para seguir con el espíritu de la noche más tenebrosa del año
Tumblr media
En esta Noche de Brujas, te traemos las recomendaciones de nuestros escritores de siempre y nuevas voces se unen para traerte 12 de los materiales favoritos para que sigas festejando.
Pero, ¿cuál es tu favorita?
Tumblr media
Sexto Sentido (1999) - Película
Halloween es una oportunidad perfecta para subrayar la importancia del cine de terror para la popularidad del séptimo arte. El género fue por mucho tiempo el sostén económico y popular de esta plataforma, por lo que resulta doloroso ver como es tan menospreciado a nivel de crítica y premiaciones en la actualidad.
Cada década nos ha regalado diversas joyas indiscutibles por lo que seleccionar una película de terror para reseñar en este especial fue un proceso de descarte doloroso. Pude hablar de El Exorcista, Alien e incluso Tiburón; pensando en la producción de una era específica y que jugaba con varios lenguajes. O profundizar en los “clásicos” de hoy como Huye o La Bruja. Pero he decidido  ir hacia un punto medio y revisar un hito llamado Sexto Sentido.
El primer hit de M. Night Shyamalan (no es su primera película pero es el primer gran proyecto que relacionamos a su persona) cumple con una regla básica para identificar a una gran película de terror: más allá de la capacidad de asustar, el filme debe ser sólido como historia y sus personajes deben tener profundidad.
Sexto Sentido no es necesariamente un texto sobre fantasmas, es el relato de un niño que no encaja y el testimonio de un hombre que se niega a dejar el pasado atrás, bajo varias metáforas que giran alrededor del inevitable fenómeno de la muerte.
Esta fortaleza narrativa hace que la película sea inquietante incluso si el espectador ya conoce el famoso spoiler de la cinta que involucra al personaje de Bruce Willis. Si tienes suerte y todavía no lo sabes, este post no piensa arruinarte uno de los clímax mejor trabajados en el cine reciente.
Pero estamos en el contexto de la Noche de Brujas así que hablemos de terror. La fórmula del susto que usa Shyamalan aquí es aterrizar la idea del miedo y lo hace desde varias perspectivas. El miedo a la muerte es el principal enfoque que uno puede analizar, por encima del miedo a los fantasmas o lo inexplicable ya que la cinta propone la idea de que hay algo después del último aliento pero eso no es necesariamente bueno.
Hay otras visiones que explora el director como el miedo que genera en los niños la incredulidad e indiferencia de los adultos, así como la soledad a esa edad que muy pocos autores han tocado con la certeza de usa aquí el director de raíces hindúes.
Todo lo anterior funciona porque Shyamalan reúne uno de los elencos mejor seleccionados para un filme de terror. Con un Bruce Willis dándole un segundo aire a su carrera y un jovencísimo  Haley Joel Osment que evidenció la excelente capacidad del director para trabajar con niños y sacar actuaciones “oscarizables”.
La carrera de M. Night ha sido altamente cuestionada desde entonces pero una pieza tan bien moldeada como Sexto Sentido no puede ser un capricho azaroso. Y desde esta esquina del mundo defendemos fervientemente El Protegido, Señales y hasta La Aldea. Su nuevo regreso a la gloria con el éxito de Split es un buen pretexto para retornar a este “origen” cinematográfico. - Por: Luis M. Santa Cruz (@luis_de_m) El Podcast Infinito
Tumblr media
Uzumaki  (Junji Ito, 1998) - Manga
No recuerdo cómo llegué a este manga, pero recuerdo que no pude dejarlo y mi cerebro quedó en 404 por varias semanas. Ilustrado y escrito por Junji Ito, es un manga de horror que trata sobre un pueblo japonés donde comienzan a suceder hechos extraños, todos conectados a la forma de la espiral.
Las situaciones comienzan a escalar, y una tras otra se vuelven más perturbadoras e inverosímiles, hasta tener un final... extraño.
Lo recomiendo sólo a los amantes del horror, dado que yo no soy uno de ellos y tal vez hubiese preferido no leer este manga, es sin duda, uno que recordarás por mucho, mucho... tiempo. - Por Trishh
Tumblr media
Suspiria, (Dario Argento, 1977) - Película
Esta película lo tiene todo, sangre, brujas, y bailarinas de ballet y una heroína. Es una película icónica por la parte visual. Su influencia en el art noveau y los colores saturadísimos son una obra de arte. Es conocida también por el fondo musical, susurros, ruidos raros y música de la banda de rock progresivo, Goblin. Vale la pena subir el volumen.
Dato: Neon Demon se inspiró en esta película, esa también es un must. - Por: Daniella (ilustradora)
Tumblr media
Silent Hill 2 (2001) - Videojuego
Para mi, uno de los mejores juegos para Halloween tiene que ser mi primer juego de Play Station 2, y uno de mis juegos favoritos de todos los tiempos: Silent Hill 2.
Publicado en el 2001 por Konami y creado por eminencias del rubro tales como Masahiro Ito, Masashi Tsuboyama, Akihiro Imamura y el gran Akira Yamaoka; es considerado uno de los hitos del Survival Horror y Thriller Psicológico.
En este juego acompañamos a su protagonista, James Sunderland, que regresa al pueblo rural de Silent Hill, después de recibir una carta de su supuestamente difunta esposa, Mary.
Si te gustan los acertijos complicados, ambientes melancólicos e inquietantes y terror que te llega a los huesos, no busques más.
Una experiencia completamente inmersiva, gracias a su excelente diseño de sonido y ambiente, con una historia con 6 posibles finales que te dejará queriendo más. - Por: Peluca (conductor de Gamerinos)
Tumblr media
I am Hero (2009 - 2017) - Manga
¿Qué pasaría si el mundo en que vives se transforma en un lugar habitado por los zombies más terroríficos y desagradables? ¿Qué pasaría si eres el único ser humano con un arma?
Todas estas preguntas se unen en I am Hero, un manga que mezcla el terror, situaciones inesperadas y humor negro. Explorando la vida de 3 personajes y como luchan por sobrevivir en un mundo invadido por zombies.
Todo comienza cuando una extraña gripe se desencadena y empieza a matar a la humanidad. La exterminación conlleva a la mutación de los seres humanos. Y con ello la lucha de algunos por sobrevivir.
La historia se centra inicialmente en Japón. Empezando por la historia de Hideo Suzuki, un mangaka de 35 años, que vive una vida rutinaria. Tiene problemas de Ansiedad y Ataques de pánico, además de alucinaciones frecuentes con sus propias creaciones. Hideo, deberá superar sus miedos mientras que trata de sobrevivir en un mundo lleno de traiciones y misterios.
Sin mayor spoiler de quienes serán los otros personajes, ya que esa será su tarea. I am Hero es un manga con una trama y final inesperado. Dibujos sumamente explícitos, personajes complejos, diálogos bien formados, criaturas y situaciones terroríficas, además de mucho humor negro. Sí te gusta esta mezcla, entonces este es tu manga. - Por: Ximena (tatuadora en Gum Tattoo & Art)
Tumblr media
The Texas Chainsaw Massacre ( Tob Hopper, 1974) - Película
Si, esta es conocida pero, ¿has visto la original del 74? Los remakes no le hacen justicia. Para empezar, en esta no hay música, solo ruido que el mismo director grabó raspando fierros y además Gunnar Hansen, que actúa de Leatherface, visitó psiquiátricos para captar los manierismos del asesino. Es una de las películas que definió el género slasher y el concepto de final girls, donde la mujer es la heroína y puede luchar por su vida sin depender de nadie. Es sin duda la más cruda y auténtica de todas las versiones de Texas Chainsaw Massacre. -  Por: Daniella (artista)
Tumblr media
El Lector de Cuerpos (The Body Reader, Anna Fasier, 2016) - Libro
La detective Jude Fontaine estuvo secuestrada por tres largos años. Sin ver el sol, sin salir de su jaula, sin contacto humano excepto el de su captor. Su único contacto en el mundo, su mundo, su todo.
El lector de cuerpos se centra en la vida de Jude luego de escapar de sus captores, cómo su percepción del mundo ha cambiado, mientras que investiga el asesinato de jóvenes mujeres. Por el trauma y el encierro que pasó Jude, le da la habilidad de ver detalles que ningún otro detective puede ver, sobretodo en la cara de las víctimas con las que se cruza.
El libro está calificado como policial/misterio y a veces es bastante denso de leer, sobretodo cuando la protagonista cuenta su vida en cautiverio y cómo sus pensamientos se van transtornando con el tiempo, el estrés post-traumático y el trato de la gente luego de su regreso.
Si eres fan de series policiales y de misterio o thriller, este es el libro para tí. - Por Trishh
Tumblr media
Domu (sueños de niño) / Pesadillas (Katsuhiro Otomo, 1980) - Manga
En occidente, el nombre de Katsuhiro Otomo evoca el horror revelado en Akira (1988); el film se desarrolla en un futuro distópico narrado desde el punto de vista de una pandilla de motociclistas adolescentes. Un retrato urbano que buscaba proyectar su mirada hacia el futuro que ya habría forjado años antes en Domu (1980), Sueños Infantiles (lit.), o Pesadillas, como se editó para los lectores castellanoparlantes.
Otomo recurre a la imagen del edificio multifamiliar, el lugar dónde se concentran los valores estéticos y morales de la imagen modernista que constituyó el Japón del "milagro económico" de la post-guerra; y que sin embargo en ésta obra resulta ser una contradicción dónde se critica la decadencia de la sociedad lo anodino de la sociedad de vecinos que la habita. En éste contexto se desarrolla un thriller sobrenatural de suicidios que empiezan a ocurrir sin explicación aparente y en el que se terminan de involucrando los personajes en hechos que van esccalando en gravedad y violencia de una guerra psíquica que se desarrolla en secreto. Inconscientes de que entretenían a la mente infantil de un anciano senil; el villano se camufla en lo ordinario dónde sólo Etsuko, una niña recién mudada,  es capaz de detectar. Ajena a la alienación producida por ése paisaje de departamentos de concreto es la única capaz de plantarle cara y parar de una vez éstos acontecimientos al estar dotada de los mismos poderes que éste.
En el apartado gráfico, las 240 páginas están extraordinariamente ilustradas. Fondos complejos y personajes que, en el estilo de Otomo, se alejan de las convenciones estéticas del manga hacia una descripción estilizada del japonés medio. La narración gráfica en las viñetas se acerca al storyboard con entradas y salidas de plano que le da un sentido más cercano a la cinematografía a la lectura. En fin, una historia de uno de los autores clásicos llena de referencias a trabajos posteriores no solo de él sino del manga y anime más actuales. - Por Gontha
Tumblr media
Grave (2017) - Película
Es una película de la directora francesa Julia Ducournau. Una chica de una familia vegetariana va a la universidad para convertirse en veterinaria. Cuando la obligan a comer carne como rito de iniciación, descubrirá un lado nuevo de si misma. La directora juega con lo que consideramos tabú dándonos una protagonista por la que puedes sentir simpatía a pesar de su incontrolable deseo de comer gente. Logra mostrarnos el terror y nerviosismo que viene con esa edad en la que sales de tu zona de comfort que era el colegio y tienes que descubrir quién eres y en quién te vas a convertir. Pero también muestra lo emocionante y divertido de empezar a dejarte perder el control, aunque con terribles consecuencias. Recomiendo no comer mientras ven esta película. - Por Stephanie
Tumblr media
El Resplandor (Stanley Kubrick, 1980) - Película
Como miedoso incorregible siempre he tenido una relación de amor/odio con las películas de terror y mi balance perfecto entre apreciación cinematográfica y taparme la cara han sido las adaptaciones de Stephen King. De entre ellas mi favorita es El Resplandor, no solo por sus increíble factura artística y porque la historia de un entorno familiar degenerando en un infierno de locura y violencia es terroríficamente realista si no porque el perfeccionismo de Kubrick ha generado un tapiz rico en simbolismo y lecturas entre líneas. Los análisis alrededor de la pela son increíblemente variados y van desde una alegoría al genocidio de nativos americanos hasta que el alunizaje fue una farsa. Al final, este conjunto textual y metatextual hacen que volver a la película siempre traiga nuevas e inquietantes lecturas. - Por Felipe
Tumblr media
Trilogía: The Evil Dead 1, 2 y Army of Darkness (Sam Raimi, 1981) - Película
Las 3 son de culto, conforme avanzan se convierten más en horror comedy, pero son muy buenas y vale la pena hacer una maratón. Todo empieza cuando unos jóvenes encuentran el Necronomicón en una cabaña y accidentalmente despiertan a una entidad demoniaca, las 3 películas giran en torno a Ash, el héroe, y su batalla contra esta. Lo que me encanta de esta película es la exageración en la actuación y en la sangre. Sam Raimi nos enseña que el horror también puede ser gracioso. - Por Daniella (Ilustradora)
Tumblr media
What We Do In The Shadows (Taika Waititi y Jermaine Clement, 2014) - Mockumentary
Dentro del mundo del cine, encontramos distintos géneros, y uno de ellos es el Mockumentary. Creado bajo la estructura de un documental real pero con información totalmente falsa, en los últimos años hemos visto más de estos filmes que juegan en la delgada línea entre la realidad y fantasía (como el “documental” de las Sirenas y el Megalodón).
Este documental sigue la vida de un grupo de vampiros que vive en una misma casa en Wellington, siguiendo su día a día y explicando un poco de su historia. Entre los personajes que encontramos en la casa, vemos a Vladislav (que da a entender que es Vlad el Empalador) y a un roomate muy similar a Nosferatu.
Al vivir por cientos de miles de años, los vampiros tratan de vivir modernamente, con resultados tan graciosos como desastrosos. Como cuando tratan de ir a una discoteca y no pueden entrar por que no han sido invitados.
Se usa mucho todos los clichés de los vampiros, para bien y para mal, y con todo es un punto de vista mucho más “real” de lo que sería un mundo con seres sobrenaturales, lo cuál es mucho menos romántico y mucho más patético.
Esta película fue mi introducción al trabajo tanto de Taika Waititi (quién ha dirigido Thor: Ragnarok y la aclamada Hunt for the Wilderpeople) y Jermaine Clement (quien presta la voz para uno de los villanos de Moana). Si desean darle un toque de comedia a la noche más terrorífica y tener una prueba del humor del cuál es capaz este director maorí, What We Do In The Shadows es una película obligada para tu repertorio. - Por: Trishh
De parte de todo el equipo jurásico, esperamos que este artículo les lleve a checar alguna de las recomendaciones.
Además de eso, le agradecemos a nuestros nuevos escritores invitados y esperamos tenerlos nuevamente por aquí!
Y ahora... a disfrutar de la noche más terrible del año
1 note · View note
jumatberkahcom · 3 years
Text
Transvision X-Go Diluncurkan Jelang HUT RI ke-76 🔔 ISIS Jumat Palestina
Transvision X-Go Diluncurkan Jelang HUT RI ke-76 🔔 ISIS Jumat Palestina
Jakarta, CNN Indonesia — Transvision luncurkan aplikasi Transvision X-Go untuk memeriahkan ulang tahun Republik Indonesia ke-76. Tayangan televisi, catch-up, dan video on-demand dapat dinikmati dalam genggaman dengan aplikasi ini. Transvision XGO merupakan sebuah aplikasi streaming video karya anak bangsa dengan berbagai hiburan, informatif, dan edukatif. Aplikasi ini menghadirkan konten unggulan…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
bentengsumbar · 2 years
Text
Lihat postingan ini… "Sesalkan Kolom Agama di KTP Tak Juga Dihapus, Peter Gontha: Agama Hubungannya Personal dengan Tuhan".
0 notes
asdaricus · 1 year
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
These are 'skycraft.' I can't quite get Midjourney to make what I have imagined, but they are pleasing nonetheless. The World of Asdar has many similar kinds of aerial craft. The first skycraft are believed to have been invented and built in the mountain valleys of the Jaggudorns. They were used, among other things, to hunt and herd the gontha, alpaca-like animals that can fly during the seasonal migrations of the late spring and early autumn. Midjourney v5
6 notes · View notes
kbanews · 1 year
Text
Peter F. Gontha: Apa yang Salah dengan Nama Koalisi Perubahan?
JAKARTA | KBA – Wakil Ketua Dewan Pakar DPP Partai NasDem Peter F. Gontha mendukung penamaan Koalisi Perubahan,  gabungan tiga partai pendukung Anies Baswedan. Yaitu NasDem, Demokrat, dan PKS. Karena memang perubahan ke arah perbaikan di setiap pergantian kepemimpinan dibutuhkan. Mantan Dubes Indonesia untuk Polandia ini mendapat penegasan demikian setelah bertanya langsung kepada Ketua Umum DPP…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
turisiancom · 2 years
Text
TURISIAN.com – Event spaktakuler SPORTEL- Sport Content Producer akan berakhir hari ini, Jumat 24 Februari 2024 di Bali. Event yang mengusung produk olahraga tersebut melibatkan 180 perusahaan yang mewakili 31 negara. Termasuk, 55 peserta dari pasar Asia Pasifik yang sudah berlangsung sejak, Kamis 23 Februari lalu. Acara ini disebut-sebut menjadi peluang bagi komunitas portal Eropa dan Amerika untuk menjalin hubungan kerja sama. Baik dengan para pemimpin bisnis olahraga dari Indonesia, Asia, maupun Oseania. Peter F. Gontha, Direktur Utama PT Indonusa Telemedia, yang ditunjuk sebagai mitra International SPORTEL Monaco mengatakan, Asia dinilai memiliki pasar olahraga yang berpotensi besar. BACA JUGA: Indonesia Berpotensi Besar Jadi Tuan Rumah Berbagai Event Sport Tourism Dunia Pertama, Asia, khususnya Indonesia, merupakan pangsa pasar potensial terbesar untuk berbagai tayangan olahraga kelas dunia. Hal itu dibuktikan besarnya jumlah penduduk Indonesia yang dibarengi dengan tingginya minat masyarakat untuk menyaksikan tayangan olahraga, terutama sepak bola. "SPORTEL yang berkedudukan di Monaco memilih Bali sebagai tuan rumah SPORTEL Asia. Kami berharap pergelaran event SPORTEL Bali ini dapat mendatangkan banyak pengusaha penyiaran. Termasuk juga,  penyelenggara olahraga dari Indonesia maupun luar negeri," ungkap Peter. BACA JUGA: Kamar Hotel di Toba Ludes Terjual Menjelang Event F1 Powerboat Broadcaster Dunia Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mengapresiasi penyelenggaraan "Sportel Rendez-vous Bali" yang menjadi peluang bagi para pelaku industri olahraga. Juga, broadcaster dunia untuk bertemu dan menjajaki peluang kerja sama. "Sportel merupakan event bagi pelaku industri penyiaran olahraga di dunia yang berisi pameran para Sports Content Producer,” katanya. “Disitu juga ada panel diskusi, serta pertemuan antara para pemilik konten olahraga dunia dengan para operator televisi yang berada di Benua Asia," sambung Sandiaga. BACA JUGA: Cirebon Koi Festival, Datangkan Juri dari Luar Negeri, Begini Eventnya Sandiaga juga memberikan apresiasi kepada  Peter F Gontha yang dengan sangat cepat mendesain acara yang partisipasinya sangat luar biasa. “Ini menunjukkan Indonesia sekarang menjadi negara yang dilirik sebagai tuan rumah event utama. Khususnya, untuk penyelenggaraan acara-acara olahraga. Dan juga pameran teknologi terkini, agar kita bisa menikmati pertandingan olahraga," ujar Sandiaga. Kemenparekraf, menurutnya lagi, akan fokus dalam penyelenggaraan event-event, baik dalam skala nasional maupun internasional. "Kami pastikan akan mendukung dengan kemudahan perizinan yang akan didigitalkan. Kami akan menciptakan ekosistem yang jauh lebih baik untuk acara olahraga ini," kata Sandiaga. ***
0 notes
cinews-id · 3 years
Text
0 notes
dinoparadojico · 7 years
Text
95/17 Ghost in the Shell: Una crítica comparativa
Tumblr media
En 1995 se estrena en Japón Ghost In The Shell, film bajo la dirección de Mamoru Oshii con un guión basado en el manga del mismo nombre de Masamune Shirow publicado entre 1989 y 1990. 
Spoilers para GitS de 1995 y 2017 .
Shirow  además escribiría GITS 1.5: Human-Error Processor y GITS 2: Man/Machine Interface. A su vez tiene una película secuela Ghost in the Shell 2.0 Innocence (2004) y una precuela Ghost in the Shell: The Rising (2015). Además de 4 películas en formato OVA y 2 series de animación para la televisión que se suman 4 videojuegos para diferentes plataformas.  
Junto a Akira (1988) de Katsuhiro Otomo, Ninja Scroll (1993) de Yoshiaki Kawajiri, Mi Vecino Totoro (1988) de Hayao Miyasaki y La Tumba de las Luciérnagas (1988) de Isao Takahata; pese a estrenarse en occidente después de su estreno en Japón, son films que destacaron al lograr en su momento que ésa parte del mundo le prestara especial atención al anime. 
Un formato cinematográfico capáz de producir películas extraordinarias a las que se suman directores como Satoshi Kon (Perfect Blue, Paprika), Shinchiro Watanabe (Cowboy Bebob: La Película) y recientemente Mamoru Hosoda (La chica que saltaba a través del tiempo), Masaaki Yuasa (Mind Game) y Makoto Shinkai (5 centímetros por segundo); que alcanzan el estatus de culto y sirvan como referencia para el cine de ficción occidental que a su vez se encuentra en crisis creativa. 
Ghost in the Shell generó expectativa desde que Dreamworks compra de los derechos para adaptarla en una nueva película dirigida al público estadounidense. Ya el 2014  se anuncia a  Rupert Sanders (Blancanieves y la Leyenda del Cazador)  como el director del proyecto junto al guión del Ehren Kruger (Transformers) y Jamie Moss (Street Kings) con colaboración de William Wheeler (La Gran Estafa)  y Laeta Kalogiris (La Isla Siniestra).
Tumblr media
Póster promocional del remake del 2017 / Póster promocional de 1995 para Japón
La película se presenta como un thriller policial futurista en que Major (Scarlett Johanson), junto a Batou (Pilou Asbæk), Togusa (Chin Han) y otros, son miembros operativos de la Sección 9, una unidad especial de la policía bajo las órdenes de Daisuke Aramaki (Takeshi Kitano). Solo hasta ésta presentación de personajes se mantienen similitudes con la versión animada.  
Lo nuevo en la trama de ésta adaptación se presenta a partir de los primeros minutos de la nueva película en que tratan de explicar el origen de Major en el que,  tras un ataque terrorista el cual mata a su familia, la deja en un estado tal que para sobrevivir su cerebro es  trasplantado en un cuerpo cibernético.  Luego, el desarrollo tira de una serie de asesinatos bajo la sombra de un hacker extraordinario contra el que toda la Sección 9 se pondrá a la caza. 
En medio de todo esto, Major devela las verdaderas intenciones de Kaze, a la vez se pone luz sobre las oscuras circunstancias de su origen y los agentes involucrados. La película entonces trata sobre la búsqueda de una identidad que hasta la aparición de éste personaje era completamente difusa y solamente se construía en la relación de Major su nuevo cuerpo.
Tumblr media
Motoko Kusanagi dañada / Scarlett Johansson en reparaciones
Lo complicado al ver ésta película es juzgarla a partir del producto que nos presenta Ruper Sanders, y buscar elementos que le den valor por sí misma: un film que para el desentendido de la versión Oshii, es una serie de secuencias de ciencia ficción ordenadas en las casi dos horas que dura. 
Se ha hecho popular en éste tipo de adaptaciones, comparar cómo se calcan partes como prueba de la fidelidad a la obra original. La trama toma un giro diferente no sin antes destripar descaradamente escenas solo para aprovecharse de la nostalgia del fan; pequeños guiños con los qué decorar éste nuevo argumento; ante lo cual se hace imposible hacer una crítica sin establecer comparaciones. 
Como espectador he procurado en cada secuencia ser lo más tolerante posible a la espera de algo destacable, que le conceda su propia originalidad a esta nueva versión y le permita ser una obra de culto por derecho propio. 
Pero realmente uno se pregunta: ¿por qué? ¿Cuál es la necesidad de agregarle cosas rebuscando referentes en el resto del universo GITS (Ghost in the Shell), a una trama que ya funciona perfectamente sin ellas en 1995? Uno se pregunta si desde un principio se tuvo fe en el proyecto cuando toda esta construcción solo sirve para que se revele el verdadero villano malvado detrás de todo (que por cierto, habría que ser ciego para no haberlo notado antes). Acaso era necesario subrayar más la empatía que, ya llevada por la curiosidad en determinado momento, Major sentiría por Kaze (teniendo en cuenta que su relación es una reinterpretación de los eventos de GITS: Stand Alone Complex 2nd Gig); o tal vez ya forzar directamente ese epílogo edulcorado con el que quieren cerrar la historia, otro de los grandísimos aportes de Sanders. (#Sarcasmo)
Tumblr media
Kitano KILLS / Dra. Ouelet: NO
Ante  estas circunstancias debo decir que personalmente, lo que me gusta de la versión original de Mamoru Oshii es la sensación constante de que el universo que presenta es solo una extraordinaria excusa para la narración, no quiero decir que sea irrelevante, pero el tema sobre el que orbita la trama es muchísimo más profundo que el de un thriller policial cyberpunk. 
Está claro, en el film no hay la más mínima intención de generar un narrador; de haber un fondo en la historia solo, es accesible a partir de interacciones entre funcionarios dónde te sugieren la existencia de una Sección 9 y una Sección 6 que pese a ser organizaciones gubernamentales su relación entre ellas es poco menos que hostil. 
De la Sección 9, organización a la que pertenece Motoko Kusanagi, principal protagonista de la historia, solo se intuye que  realiza operaciones paramilitares que encuentren objetivo relacionadas con inteligencia artificial, hasta que una serie de eventos determinados pongan bajo la lupa a un villano cuya naturaleza se hace cada vez más enigmática. 
Y entre toda ésta intriga salpicada de escenas de acción, se nos revela a través de conversaciones entre Motoko Kusanagi y Batou (que se convierten en monólogos): dónde la conciencia que habita ése cuerpo sintético, se pregunta qué tan relevante sigue siendo su ego al ser ahora ajeno a la carne. 
Con éste cuestionamiento existencial en mente, se revela una película llena de alegorías sobre esta relación entre el ser y la carcasa en la que son contenidos. En la trama no hay héroes y villanos claros, todos son sujetos con sus propios objetivos que les obligan a rozar entre sí. La violencia del film no define el devenir de la historia, sino, sólo son circunstancias que se producen en el camino de un encuentro entre Motoko y algo no humano, pero similar a ella misma. 
El absurdo radica que en la nueva versión, todo éste corpus filosófico no solo es tocado de forma superficial, sino que de hecho se rebuscan un personaje: la Dra. Ouelet (Juliette Binoche) que funge de figura moral de una organización absolutamente turbia y una suerte de madre putativa; con el único rol de tener un diálogo en que expone una versión masticada de argumentos sobre la persistencia de la condición de humana en Major, a los 10 minutos de iniciado el film para solo luego (SPOILER) lanzar una serie de líneas sobre la ilusión del libre albedrío en el hacían vivir al personaje de Johansson e inmediatamente morirse a mitad del film.  La única intensión de agregar un personaje así es ahorrarse todo el rollo filosófico del film y reemplazarlo con un producto de entretenimiento puro.
Tumblr media
El ensamblado de Motoko Kusanagi 1995- 2017
Para 1995, Kenji Kawaii compuso una banda sonora extraordinaria con temas entre la electrónica y el minimalismo; pero entre ellos también compuso dos himnos extraordinarios en clave utai, un estilo coral típico del folklore japonés: “Making of a Cyborg” y “Ghost City”, que acompañan dos secuencias extraordinarias.
La primera, el proceso de ensamblado del cuerpo de Motoko Kusanagi, un regalo visual para todos los aficionados a la biónica, en una sucesión de planos que se buscan ser la  alegoría de un alumbramiento en una línea de producción industrial. Ghost City, en cambio, acompaña una sesión de planos continuos que van revelando la ciudad a lo largo de todo un día. Ésta escena hace un statement de las circunstancias, el tiempo de ésta ficción en particular. La construcción de una heterotopia, dónde se superponen visiones de la victoria del tecnocapitalismo y su derrota entre torres del hight tech que contrastan en un paisaje hecho de slums que surgen entre las ruinas de multifamiliares de corte modernista. 
Ésta segunda no sobrevivió el cut y fue reemplazada con rápidos paneos de skyline; mientras tanto la primera fue castrada y musicalizada con un tema de electrónica absolutamente genérico más al gusto occidental, privándola del momento de contemplación que sugería al público.
Lo que se hace persistente en ésta nueva película es una actitud de terror al vacío; una absurda necesidad de saturar al público con un espectáculo de luces de neón y disparos. 
Otra de las escenas memorables de la película animada que se reproducen en ésta versión, es la persecución de Motoko Kusanagi a un terrorista a través de los slums de Hong Kong. Ésta se realiza a través de una serie de planos que sitúan el actuar a los personajes en una circunstancia mayor que ellos mismos, una vieja ciudad que los consume, una violencia que se hunde en la irrelevancia de su tiempo; es una secuencia de poco más de 4 minutos reducida en un fastforward a menos de la mitad del tiempo. La edición la acelera, se niega algo tan sencillo como apreciar el paisaje para darle lugar al espectáculo que demuele todo lo que no sea capitalizable en el film. No hay contemplación, no hay silencio, para Sanders el futuro no tiene tiempo para pensar en su condición cuando el hombre está ocupado acelerando su ente presa de la incertidumbre. 
Y sin embargo, el silencio tiene una relevancia trascendental en el film de Oshii. No es la ausencia de sonido, sino el prescindir de enunciados para dar a lugar los subtextos que van apareciendo en el film. Es necesario darse el tiempo de entender lo observado, desde los ojos de quién estoy presenciando éstas cosas o si lo que me presentan en primer plano realmente es lo dominante de lo que realmente quiere decir la película de Mamoru Oshii. Él nunca te ofrece explicaciones, solo se limita a que la Mayor Kusanagi interrumpa el silencio para hacerse y hacerle a uno mismo preguntas.
Pero ahora lo único que me pregunto es si Rupert Sanders entiende la importancia de éste recurso cinematográfico o solo siente pánico de usarlo no sea económicamente amortizable para la producción del filme.
Tumblr media
Hong Kong 2027
Antes del estreno las críticas apuntaban al hecho que para el papel principal de Motoko Kusanagi se haya elegido a Scarlett Johansson (que para efectos de evitar vergüenza ajena se le llama Major durante casi toda la película); en lugar de toda una plétora de actrices asiáticas absolutamente competentes para dicho papel entre las que destacaría Rinko Kikuchi, tras su carismático papel en Pacific Rim (Guillermo del Toro). 
Pero sería mezquino descartar inmediatamente sus intentos de encajar en un rol sobre el que había tanta expectativa. Lamentablemente, se hacen evidentes las carencias en la dirección de actores en precisamente las secuencias en las que intenta hacer un calcado al carbón: Scarlett Johansson no solo no convence, es como si ella misma no entendiera exactamente qué tipo de personaje está interpretando.
Los efectos especiales tratan de ocultar la torpeza que procura emular injustificadamente el impacto visual de las coreografías de la primera entrega de Matrix de las Wachowski. Aún el jefe Aramaki no es sino Takeshi Kitano siendo él mismo; no hay ni el más mínimo esfuerzo de dirigirlo en algo diferente del típico old motherfucker gatillo alegre que lo hemos visto interpretar en innumerables papeles de yakuza del cine nipón en el que suele moverse. Kitano se aburre, es terriblemente desaprovechado con toda la capacidad y experiencia actoral que posee, para ser relegado a ser solo una decoración que solo necesita hablar japonés y exhumar orientalidad como todo lo que se ve en la pantalla. 
Y esto nos devuelve a pensar en el tema del whitewashing, que no es más que el producto de un problema mayor que dirige a la película en su totalidad y es el EXOTISMO con el que pretende describir el universo de Ghost in the Shell, al tratar de captar la atención de un público principalmente conformado por white people para la Paramount Pictures. 
Aún la misma descripción de la ciudad es un paisaje informacional, al que no le falta espectacularidad pero que no comunica otra cosa sino el cliché, un imaginario pan-asiático perezoso. Se es incapaz de ser mínimamente sensible con las identidades que confluirían en la heterogeneidad de una ciudad rica en cultura a pesar de la distopía; en cambio lo que se decide mostrar, es una grosera caricatura weeaboo tecnochifa y memes.
Tumblr media
¿Hong Kong 2027?
Según el propio Sanders, éste es un film para el gran público y ésta ha sido la intensión desde su concepción. Una afirmación así de benevolente a primera vista resulta preocupante, cuando el género y el cine en general se encuentran entregadas a ser un producto que genere ganancias de taquilla, a menudo descuidando la calidad. 
Ciertamente, el cine es ante todo, entretenimiento, pero lo que se acaba de ver no hace más que reproducir nuevamente el modelo pavloviano de entretenimiento perfeccionado por su colega Michael Bay: asimilado por un  público entrenado para ser solo satisfecho por un espectáculo de luces y disparos. Solo un vapor de rápida digestión y pronto olvido, absolutamente necesario para prepararse para el siguiente título. 
Es lamentable que entonces tengamos entre manos un film que, a diferencia de la original animada, subestima al espectador; que considera prudente forzar una reflexión antes que esperar a que éste pueda ser capaz de tener una visión crítica sobre lo que ve en pantalla. 
No es algo a agradecer, ni se trata de ser fiel visualmente a una obra; es cobarde y mediocre que una película no nos ponga a prueba. Y no solo eso, el reducirnos a solo un público complaciente hace que no valga la pena ir a una sala de cine. No vale la pena cuando los directores buscan adormecernos en vez de buscar crear algo realmente original.  
Cuando la cortinilla de créditos empieza a sonar el icónico “Making of a Cyborg”, en un intento inútil de consolar al fan nostálgic,o que no termina siendo más que una mueca de muy mal gusto:
- Hey! ¿Recuerdan el viejo Ghost in the Shell?, pues oh qué pena pero… ¡Ea! ¡Geishas Robot para todos! ¡Porque de eso está hecho el HONG KONG del 2027!
つづく
- Gontha
1 note · View note
beritasaatini · 4 years
Text
Tjahjo 'Kantongi' PNS Pusat yang Dipindah ke Ibu Kota Baru RI
Tjahjo ‘Kantongi’ PNS Pusat yang Dipindah ke Ibu Kota Baru RI
Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo mengungkap nasib Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) jika Ibu Kota Negara (IKN) pindah dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur. Demikian disampaikan Tjahjo dalam wawancara eksklusif dengan Peter Gontha dalam acara IMPACT di CNBC Indonesia TV, Kamis (4/3/2021) malam. “Saya…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
bentengsumbar · 3 years
Text
‘Diserang’ Rizal Ramli Soal Garuda Indonesia, Peter Gontha: Jangan Gitu dong, Gue Dikucilin juga Sama Direksi | BentengSumbar.com
0 notes