Tumgik
#resimen
transpublikid · 2 years
Text
Peresmian Satuan Baru Resimen Arhanud 2/Sisingamangaraja Diterima oleh Pangdam I/BB
Peresmian Satuan Baru Resimen Arhanud 2/Sisingamangaraja Diterima oleh Pangdam I/BB
JAKARTA | TRANSPUBLIK.co.id – Pangdam I/Bukit Barisan, Mayjen TNI Achmad Daniel Chardin, SE, MSi, menerima peresmian satuan baru di jajaran Kodam I/Bukit Barisan, yakni Resimen Arhanud 2/Sisingamangaraja, Selasa (22/11/2022). Acara peresmian dilangsungkan di Aula Nasution Mabesad Jakarta dan dipimpin langsung Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad), Letjen TNI Agus Subiyanto, SE, MSi. Dalam…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
gooselacom · 2 years
Text
Pangdam I/BB Menerima Peresmian Satuan Baru Resimen Arhanud 2/Sisingamangaraja
Jakarta, Goosela.com – Pangdam I/Bukit Barisan, Mayjen TNI Achmad Daniel Chardin, SE, MSi, menerima peresmian satuan baru di jajaran Kodam I/Bukit Barisan, yakni Resimen Arhanud 2/Sisingamangaraja, Selasa (22/11/2022). Acara peresmian dilangsungkan di Aula Nasution Mabesad Jakarta dan dipimpin langsung Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad), Letjen TNI Agus Subiyanto, SE, MSi. Dalam acara…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
Text
Pangdam I/BB Terima Peresmian Satuan Baru Resimen Arhanud 2/Sisingamangaraja
BELANEGARANEWS.ID, JAKARTA || Pangdam I/Bukit Barisan, Mayjen TNI Achmad Daniel Chardin, SE, MSi, menerima peresmian satuan baru di jajaran Kodam I/Bukit Barisan, yakni Resimen Arhanud 2/Sisingamangaraja, Selasa (22/11/2022). Acara peresmian dilangsungkan di Aula Nasution Mabesad Jakarta dan dipimpin langsung Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad), Letjen TNI Agus Subiyanto, SE, MSi. Dalam…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
borobudurnews · 2 years
Text
SELMAT !!! Dewan Pimpinan IARMI Kota dan Kabupaten Magelang Dilantik
SELMAT !!! Dewan Pimpinan IARMI Kota dan Kabupaten Magelang Dilantik
BNews–MAGELANG– Ada suasana berbeda di Aula Kodim 0705/Magelang Minggu siang kemarin (18/9/2022). Terdapat sebuah acara pelantikan. Pelantikan tersebut yakni kepada Dewan Pimpinan Kota dan Dewan Pimpinan Kabupaten Magelang; Ikatan Alumni Resimen Mahasiswa Indonesia (IARMI) masa bhakti 2022-2026. Kegiatan tersebut turut dihadiri oleh mewakili Bupati Magelang, Asisten Pemerintahan; dan Kesra…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
sultratopmedia · 14 days
Text
Umar Marhum Terpilih Jadi Komandan Menwa Sulawesi Tenggara
SULTRATOP.COM, KENDARI – Umar Marhum terpilih menjadi Komandan Resimen Mahasiswa (Danmen) Halu Oleo, Sulawesi Tenggara (Sultra) periode 2024-2027. Dia merupakan Wakil Direktur (Wadir), Harian Rakyat Sultra. Ia terpilih pada Rapat Komando Daerah (Rakomda) yang digelar di aula IAIN Kendari pada Jumat malam (7/6/2024). Rakomda itu melahirkan 2 figur sebagai calon Komandan Menwa Sultra, yaitu Umar…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
lintasbatasindonesia · 4 months
Text
HUT Kostrad Ke 63 Tahun, Putra Yudha Bagikan Sembako Ke Warakawuri
Malang – Dalam rangka memperingati hari ulang tahun HUT Kostrad Ke 63 tahun ini, Prajurit Resimen Armed 2 Kostrad bersama Persit Kartika Candra Kirana Cabang XXIII Menarmed 2 Koorcab Divif 2 PG Kostrad silaturahmi kepada warakauri Dalam Kegiatan Bakti sosial di rumah Ibu Suhendrik yang bertempat di wilayah kecamatan wagir kabupaten Malang. Rabu (28/02/2024) Kegiatan diawali dengan sambutan oleh…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
bantennewscoid-blog · 4 months
Text
Ketapang Urban Aquaculture Dibersihkan Jelang Hari Peduli Sampah Nasional
TANGERANG – Menjelang Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2024, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Tangerang mengajak seluruh elemen masyarakat, nelayan dan Resimen Mahasiswa UNPAM untuk membersihkan sampah di sekitar Ketapang Urban Aquaculture Kecamatan Mauk, Senin (19/02/2024). Diketahui bahwa HPSN 2024 jatuh pada tanggal 21 Febuari 2024 dengan tema “Atasi Sampah Plastik…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
mediaban · 7 months
Link
Keluarga Besar Resimen Kavaleri (Menkav) 2 Marinir merayakan acara Piala Danmenkav 2 Mar dengan olahraga bersama di Surabaya.
0 notes
kelompok-6 · 9 months
Text
Tumblr media
𝗦𝗶𝘀𝘁𝗲𝗺 𝗱𝗮𝗻 𝗦𝘁𝗿𝘂𝗸𝘁𝘂𝗿 𝗣𝗼𝗹𝗶𝘁𝗶𝗸-𝗘𝗸𝗼𝗻𝗼𝗺𝗶 𝗜𝗻𝗱𝗼𝗻𝗲𝘀𝗶𝗮 𝗠𝗮𝘀𝗮 𝗢𝗿𝗱𝗲 𝗕𝗮𝗿𝘂 (𝟭𝟵𝟲𝟲-𝟭𝟵𝟵𝟴)
𝗔. 𝗠𝗮𝘀𝗮 𝗧𝗿𝗮𝗻𝘀𝗶𝘀𝗶 𝟭𝟵𝟲𝟲-𝟭𝟵𝟲𝟳
𝟭. 𝗔𝗸𝘀𝗶-𝗮𝗸𝘀𝗶 𝗧𝗿𝗶𝘁𝘂𝗿𝗮
Tumblr media
Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G30S PKI semakin meningkat. Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemuda, mahasiswa dan pelajar (KAPPI, KAMI, KAPI), kemudian muncul pula KABI (buruh), KASI (sarjana), KAWI (wanita), KAGI (guru) dan lain-lain. Kesatuan-kesatuan aksi tersebut dengan gigih menuntut penyelesaian politis yang terlibat G30S/PKI, dan kemudian pada tanggal 26 Oktober 1965 membulatkan barisan mereka dalam satu front, yaitu Front Pancasila.
Situasi yang menjurus ke arah konflik politik makin bertambah panas oleh keadaan ekonomi yang semakin memburuk. Perasaan tidak puas terhadap keadaan saat itu mendorong para pemuda dan mahasiswa mencetuskan Tri Tuntutan Hati Nurani Rakyat yang lebih dikenal dengan sebutan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Pada 12 Januari 1966 dipelopori oleh KAMI dan KAPPI, kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR mengajukan tiga buah tuntutan yaitu:
Pembubaran PKI
Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G30S PKI
Penurunan harga/perbaikan ekonomi.
Tuntutan rakyat banyak agar Presiden Soekarno membubarkan PKI ternyata tidak dipenuhi Presiden. Untuk menenangkan rakyat Presiden Soekarno mengadakan perubahan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100 Menteri, yang ternyata belum juga memuaskan hati rakyat karena di dalamnya masih bercokol tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa G30S PKI. Pada saat pelantikan Kabinet 100 Menteri pada tgl 24 februari 1966, para mahasiswa, pelajar dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka.
Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa sehingga menyebabkan bentrok antara pasukan Cakrabirawa dengan para demonstran yang menyebabkan gugurnya mahasiswa Universitas Indonesia bernama Arief Rachman Hakim. Sebagai akibat dari aksi itu keesokan harinya yaitu pada tanggal 25 Februari 1966 berdasarkan keputusan Panglima Komando Ganyang Malaysia (Kogam) yaitu Presiden Soekarno sendiri, KAMI dibubarkan. Insiden berdarah yang terjadi ternyata menyebabkan semakin parahnya krisis kepemimpinan nasional.
Keputusan membubarkan KAMI dibalas oleh mahasiswa Bandung dengan mengeluarkan “Ikrar Keadilan dan Kebenaran” yang memprotes pembubaran KAMI dan mengajak rakyat untuk meneruskan perjuangan. Perjuangan KAMI kemudian dilanjutkan dengan munculnya masa Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), krisis nasional makin tidak terkendalikan. Dalam pada itu mahasiswa membentuk Resimen Arief Rachman Hakim. Melanjutkan aksi KAMI. Protes terhadap pembubaran KAMI juga dilakukan oleh Front Pancasila, dan meminta kepada pemerintah agar meninjau kembali pembubaran KAMI. Dalam suasana yang demikian, pada 8 Maret 1966 para pelajar dan mahasiswa yang melakukan demonstrasi menyerbu dan mengobrak–abrik gedung Departemen Luar Negeri, selain itu mereka juga membakar kantor berita Republik Rakyat Cina (RRC), Hsin Hua. Aksi para demonstran tersebut menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno.
Pada hari itu juga Presiden mengeluarkan perintah harian supaya agar seluruh komponen bangsa waspada terhadap usaha-usaha “membelokkan jalannya revolusi kita ke kanan”, dan supaya siap sedia untuk menghancurkan setiap usaha yang langsung maupun tidak langsung bertujuan merongrong kepemimpinan, kewibawaan, atau kebijakan Presiden, serta memperhebat “pengganyangan terhadap Nekolim serta proyek “British Malaysia”
𝟮. 𝗦𝘂𝗽𝗲𝗿𝘀𝗲𝗺𝗮𝗿
Tumblr media
Untuk mengatasi krisis politik yang memuncak, pada tanggal 11 Maret 1966 Soekarno mengadakan sidang kabinet. Sidang ini ternyata diboikot oleh para demonstran yang tetap menuntut Presiden Soekarno agar membubarkan PKI, dengan melakukan pengempesan ban-ban mobil pada jalan-jalan yang menuju ke Istana. Belum lama Presiden berpidato dalam sidang, ia diberitahu oleh Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa bahwa di luar istana terdapat pasukan tanpa tanda pengenal dengan seragamnya. Meskipun ada jaminan dari Pangdam V/Jaya Amir Machmud, yang hadir waktu itu, bahwa keadaan tetap aman, Presiden Soekarno tetap merasa khawatir dan segera meninggalkan sidang.
Tindakan itu diikuti oleh Waperdam I Dr.Subandrio dan Waperdam III Dr.Chaerul Saleh yang bersama-sama dengan Presiden segera menuju Bogor dengan helikopter. Sidang kemudian ditutup oleh Waperdam II Dr.J. Leimena, yang kemudian menyusul ke Bogor dengan mobil. Sementara itu, tiga orang perwira tinggi TNI-AD, yaitu Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M Jusuf, dan Brigjen Amir Machmud, yang juga mengikuti sidang paripurna kabinet, sepakat untuk menyusul Presiden Soekarno ke Bogor. Sebelum berangkat, ketiga perwira tinggi itu minta izin kepada atasannya yakni Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto yang juga merangkap selaku panglima Kopkamtib.
Pada waktu itu Jenderal Soeharto sedang sakit, dan diharuskan beristirahat di rumah. Niat ketiga perwira itu disetujuinya. Mayjen Basuki Rachmat menanyakan apakah ada pesan khusus dari Jenderal Soeharto untuk Presiden Soekarno, Letjen Soeharto menjawab: “sampaikan saja bahwa saya tetap pada kesanggupan saya. Beliau akan mengerti”. Latar belakang dari ucapan itu ialah bahwa sejak pertemuan mereka di Bogor pada tanggal 2 Oktober 1965 setelah meletusnya pemberontakan G-30-S/PKI. Antara Presiden Soekarno dengan Letjen Soeharto terjadi perbedaan pendapat mengenai kunci bagi usaha meredakan pergolakan politik saat itu.
Menurut Letjen Soeharto, pergolakan rakyat tidak akan reda sebelum rasa keadilan rakyat dipenuhi dan rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan jalan membubarkan PKI yang telah melakukan pemberontakan. Sebaliknya Presiden Soekarno menyatakan bahwa ia tidak mungkin membubarkan PKI karena hal itu bertentangan dengan doktrin Nasakom yang telah dicanangkan ke seluruh dunia. Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya perbedaan paham itu tetap muncul. Pada suatu ketika Soeharto menyediakan diri untuk membubarkan PKI asal mendapat kebebasan bertindak dari Presiden. Pesan Soeharto yang disampaikan kepada ketiga orang perwira tinggi yang akan berangkat ke Bogor mengacu kepada kesanggupan tersebut.
Di Istana Bogor ketiga perwira tinggi mengadakan pembicaraan dengan Presiden yang didampingi oleh Dr. Subandrio, Dr. J Leimena dan Dr. Chaerul Saleh. Sesuai dengan kesimpulan pembicaraan, ketiga perwira tinggi tersebut bersama dengan komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen Sabur, kemudian diperintahkan membuat konsep surat perintah kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Setelah dibahas bersama, akhirnya Presiden Soekarno menandatangani surat perintah yang kemudian terkenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret, atau SP 11 Maret, atau Supersemar.
Supersemar berisi pemberian mandat kepada Letjen. Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Dalam menjalankan tugas, penerima mandat diharuskan melaporkan segala sesuatu kepada presiden. Mandat itu kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru. Tindakan pertama yang dilakukan oleh Soeharto keesokan harinya setelah menerima Surat Perintah tersebut adalah membubarkan dan melarang PKI beserta organisasi massanya yang bernaung dan berlindung ataupun seasas dengannya di seluruh Indonesia, terhitung sejak tanggal 12 Maret 1966.
Pembubaran itu mendapat dukungan dari rakyat, karena dengan demikian salah satu diantara Tritura telah dilaksanakan. Selain itu Letjen. Soeharto juga menyerukan kepada pelajar dan mahasiswa untuk kembali ke sekolah. Tindakan berikutnya berdasarkan Supersemar adalah dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang diduga terkait dengan pemberontakan G-30-S PKI ataupun dianggap memperlihatkan itikad tidak baik dalam penyelesaian masalah itu. Demi lancarnya tugas pemerintah, Letjen.
Soeharto mengangkat lima orang menteri koordinator ad interim yang menjadi Presidium Kabinet. Kelima orang tersebut ialah Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik. Dr Roeslan Abdulgani, Dr. K.H. Idham Chalid dan Dr. J. Leimena.
𝟯. 𝗗𝘂𝗮𝗹𝗶𝘀𝗺���� 𝗞𝗲𝗽𝗲𝗺𝗶𝗺𝗽𝗶𝗻𝗮𝗻 𝗡𝗮𝘀𝗶𝗼𝗻𝗮𝗹
Tumblr media
Memasuki tahun 1966 terlihat gejala krisis kepemimpinan nasional yang mengarah pada dualisme kepemimpinan. Disatu pihak Presiden Soekarno masih menjabat presiden, namun pamornya telah kian merosot. Soekarno dianggap tidak aspiratif terhadap tuntutan masyarakat yang mendesak agar PKI dibubarkan. Hal ini ditambah lagi dengan ditolaknya pidato pertanggungjawabannya hingga dua kali oleh MPRS. Sementara itu Soeharto setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Soekarno dan sehari sesudahnya membubarkan PKI, namanya semakin populer.
Dalam pemerintahan yang masih dipimpin oleh Soekarno, Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang diberi nama Kabinet Ampera. Meskipun Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan tugas harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi seperti ini berakibat pada munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”, yaitu Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan. Presiden Soekarno sudah tidak banyak melakukan tindakan-tindakan pemerintahan, sedangkan sebaliknya Letjen. Soeharto banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan.
Adanya “Dualisme kepemimpinan nasional” ini akhirnya menimbulkan pertentangan politik dalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya pendukung Soekarno dan pendukung Soeharto yang jelas bisa membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Tumblr media
Dalam Sidang MPRS yang digelar sejak akhir bulan Juni sampai awal Juli 1966 memutuskan menjadikan Supersemar sebagai Ketetapan (Tap) MPRS. Dengan dijadikannya Supersemar sebagai Tap MPRS secara hukum Supersemar tidak lagi bisa dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno. Bahkan sebaliknya secara hukum Soeharto mempunyai kedudukan yang sama dengan Soekarno, yaitu Mandataris MPRS. Dalam Sidang MPRS itu juga, majelis mulai membatasi hak prerogatif Soekarno selaku Presiden. Secara eksplisit dinyatakan bahwa gelar “Pemimpin Besar Revolusi” tidak lagi mengandung kekuatan hukum. Presiden sendiri masih diizinkan untuk membacakan pidato pertanggungjawabannya yang diberi judul Nawaksara. “Nawa” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti sembilan, dan “Aksara” berarti huruf atau istilah.
22 Juni 1966, presiden Soekarno menyampaikan pidato Nawaksara dalam persidangan MPRS. Pidato itu memang berisi sembilan pokok persoalan yang dianggap penting oleh presiden Soekarno selaku mandataris MPR. Isi pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya peristiwa berdarah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Pengabaian peristiwa yang mengakibatkan gugurnya sejumlah jenderal angkatan darat itu tidak memuaskan anggota MPRS.
Melalui Keputusan Nomor 5/MPRS/1966, MPRS memutuskan untuk minta kepada presiden agar melengkapi laporan pertanggung jawabannya, khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa Gerakan 30 September beserta epilognya dan masalah kemunduran ekonomi serta akhlak. Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan MPRS yang berisi Pelengkap Nawaksara. Dalam Pelnawaksara itu presiden mengemukakan bahwa mandataris MPRS hanya mempertanggungjawabkan pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan bukan hal-hal yang lain. Nawaksara baginya hanya sebagai progress laporan yang disampaikan secara sukarela.
Ia juga menolak untuk seorang diri mempertanggungjawabkan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September, kemerosotan ekonomi, dan akhlak. Sementara itu, sebuah kabinet baru telah terbentuk dan diberi nama Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Kabinet tersebut diresmikan pada 28 Juli 1966. Kabinet ini mempunyai tugas pokok untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. Program kabinet tersebut antara lain adalah memperbaiki kehidupan rakyat, terutama di bidang sandang dan pangan, dan melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan Ketetapan MPR RI No. XI/MPRS/1966. Sesuai dengan UUD 1945, Presiden Soekarno adalah pemimpin Kabinet.
Akan tetapi pelaksanaan pimpinan pemerintahan dan tugas harian dilakukan oleh Presidium Kabinet yang diketuai oleh Letnan Jenderal Soeharto. Sehubungan dengan permasalahan yang ditimbulkan oleh “Pelengkap Nawaksara” dan bertambah gawatnya keadaan politik pada 9 Februari 1967 DPRGR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa. Sementara itu usaha-usaha untuk menenangkan keadaan berjalan terus. Untuk itu pimpinan ABRI mengadakan pendekatan pribadi kepada Presiden Soekarno agar ia menyerahkan kekuasaan kepada pengemban ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Jenderal Soeharto sebelum Sidang Umum MPRS.
Hal ini untuk mencegah perpecahan di kalangan rakyat dan untuk menyelamatkan lembaga kepresidenan dan pribadi Presiden Soekarno. Salah seorang sahabat Soekarno, Mr. Hardi, menemui Presiden Soekarno dan memohon agar Presiden Soekarno membuka prakarsa untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan negara, karena dualisme kepemimpinan inilah yang menjadi sumber konflik politik yang tidak kunjung berhenti. Mr. Hardi menyarankan agar Soekarno sebagai mandataris MPRS, menyatakan non aktif di depan sidang Badan Pekerja MPRS dan menyetujui pembubaran PKI. Presiden Soekarno menyetujui saran Mr. Hardi.
Untuk itu disusunlah “Surat Penugasan mengenai Pimpinan Pemerintahan Sehari-hari kepada Pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966". Kemudian, Presiden menulis nota pribadi kepada Jenderal Soeharto. Pada 7 Februari 1967, Mr. Hardi menemui Jenderal Soeharto dan menyerahkan konsep tersebut. Pada 8 Februari 1967, Soeharto membahas surat Presiden bersama keempat Panglima Angkatan. Para panglima berkesimpulan bahwa draft surat tersebut tidak dapat diterima karena bentuk surat penugasan tersebut tidak membantu menyelesaikan situasi konflik. Kesimpulan itu disampaikan Soeharto kepada Presiden Soekarno pada 10 Februari 1967.
Presiden menanyakan kemungkinan mana yang terbaik. Soeharto mengajukan draft berisi pernyataan bahwa Presiden berhalangan, atau menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Pada awalnya Presiden Soekarno tidak berkenan dengan usulan draft tersebut, namun kemudian sikap Presiden Soekarno melunak, ia memerintahkan agar Soeharto beserta Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu tanggal 19 Februari 1967, Presiden menyetujui draft yang dibuat, dan pada tanggal 20 Februari draft surat itu telah ditandatangani oleh Presiden. Ia meminta agar diumumkan pada hari Rabu tanggal 22 Februari 1967.
Pukul 19.30, Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya. Pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi pejabat Presiden Republik Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Setelah setahun menjadi pejabat presiden, Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS. Melalui Tap No. XLIV/MPRS/1968, Jenderal Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia hingga terpilih presiden oleh MPR hasil pemilu. Pengukuhan tersebut menandai berakhirnya dualisme kepemimpinan nasional dan dimulainya pemerintahan Orde Baru.
𝗕. 𝗦𝘁𝗮𝗯𝗶𝗹𝗶𝘀𝗮𝘀𝗶 𝗣𝗼𝗹𝗶𝘁𝗶𝗸 𝗱𝗮𝗻 𝗥𝗲𝗵𝗮𝗯𝗶𝗹𝗶𝘁𝗮𝘀𝗶 𝗘𝗸𝗼𝗻𝗼𝗺𝗶
𝟭. 𝗦𝘁𝗮𝗯𝗶𝗹𝗶𝘁𝗮𝘀 𝗘𝗸𝗼𝗻𝗼𝗺𝗶 𝗱𝗮𝗻 𝗞𝗲𝗮𝗺𝗮𝗻𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗗𝗮𝘀𝗮𝗿 𝗣𝗲𝗺𝗯𝗮𝗻𝗴𝘂𝗻𝗮𝗻
Pemerintah orde baru mencanangkan berbagai konsep dan aktivitas pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah pertama melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah dengan membentuk Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968. Program Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan, yang berisi:
Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
Menyusun dan merencanakan Repelita;
Melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;
Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G 30/S/PKI dan setiap bentuk rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945;
Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat maupun di daerah dari unsur-unsur komunisme.
Dalam rangka menciptakan kondisi politik yang stabil dan kondusif bagi terlaksananya amanah rakyat melalui TAP MPRS No.IX/MPRS/1966, yaitu melaksanakan pemilihan umum (pemilu), pemerintah Orde Baru melakukan ‘pelemahan’ atau mengeliminasi kekuatan-kekuatan yang secara historis dinilai berpotensi mengganggu stabilitas dan merongrong kewibawaan pemerintah. Pelemahan itu dilakukan antara lain terhadap pendukung Soekarno, kelompok Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan kelompok Islam Fundamentalis (yang sering disebut kaum ekstrimis kanan). Selain itu, pemerintahan Soeharto juga menciptakan kekuatan politik sipil baru yang dalam pandangannya lebih mudah dikendalikan, organisasi itu adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Golkar.
𝟮. 𝗦𝘁𝗮𝗯𝗶𝗹𝗶𝘀𝗮𝘀𝗶 𝗣𝗲𝗻𝘆𝗲𝗿𝗮𝗴𝗮𝗺𝗮𝗻
Depolitisasi parpol dan ormas juga dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui cara penyeragaman ideologis melalui ideologi Pancasila. Dengan alasan Pancasila telah menjadi konsensus nasional, keseragaman dalam pemahaman Pancasila perlu disosialisasikan. Gagasan ini disampaikan oleh Presiden Soeharto pada acara Hari Ulang Tahun ke-25 Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, 19 Desember 1974. Kemudian dalam pidatonya menjelang pembukaan Kongres Nasional Pramuka pada 12 Agustus 1976, di Jakarta, Presiden Soeharto menyerukan kepada seluruh rakyat agar berikrar pada diri sendiri mewujudkan Pancasila dan mengajukan Eka Prasetia bagi ikrar tersebut.
Presiden Soeharto mengajukan nama Eka Prasetia Pancakarsa dengan maksud menegaskan bahwa penyusunan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dipandang sebagai janji yang teguh, kuat, konsisten, dan tulus untuk mewujudkan lima cita-cita yaitu (1) takwa kepada Tuhan YME dan menghargai orang lain yang berlainan agama/kepercayaan; (2) mencintai sesama manusia dengan selalui ingat kepada orang lain, tidak sewenang-wenang; (3) mencintai tanah air, menempatkan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi;(4) demokratis dan patuh pada putusan rakyat yang sah; (5) suka menolong orang lain, sehingga dapat meningkatkan kemampuan orang lain.
Presiden kemudian mengajukan draft P4 ini kepada MPR, Akhirnya, pada 21 Maret 1978 rancangan P4 disahkan menjadi Tap MPR No.II/MPR/1978. Setelah disahkan MPR, pemerintah membentuk komisi Penasehat Presiden mengenai P4 yang dipimpin oleh Dr. Roeslan Abdulgani. Sebagai badan pelaksananya dibentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksana P4 (BP7) yang berkedudukan di Jakarta. Tugasnya adalah untuk mengkoordinasi pelaksanaan program penataran P4 yang dilaksanakan pada tingkat nasional dan regional. Tujuan penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai Demokrasi Pancasila.
Sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara, melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia. Pegawai negeri (termasuk pegawai BUMN), baik sipil maupun militer diharuskan mengikuti penataran P4. Kemudian para pelajar, mulai dari sekolah menengah sampai Perguruan Tinggi, juga diharuskan mengikuti penataran P4 yang dilakukan pada setiap awal tahun ajaran atau tahun akademik.
Melalui penataran P4 itu, pemerintah juga memberikan penekanan pada masalah “suku”, “agama”, “ras”, dan “antargolongan”, (Sara). Menurut pemerintah Orde baru, “sara” merupakan masalah yang sensitif di Indonesia yang sering menjadi penyebab timbulnya konflik atau kerusuhan sosial. Oleh karena itu, masyarakat tidak boleh mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan Sara. Secara tidak langsung masyarakat dipaksa untuk berpikir seragam; dengan kata lain yang lebih halus, harus mau bersikap toleran dalam arti tidak boleh membicarakan atau menonjolkan perbedaan yang berkaitan dengan masalah sara.
Meskipun demikian, akhirnya konflik yang bermuatan sara itu tetap tidak dapat dihindari. Pada tahun 1992 misalnya, terjadi konflik antara kaum muslim dan non muslim di Jakarta (Ricklefs, 2005: 640). Demikian pula halnya dengan P4. Setelah beberapa tahun berjalan, kritik datang dari berbagai kalangan terhadap pelaksanaan P4. Berdasarkan pengamatan di lapangan banyak peserta penataran pada umumnya merasa muak terhadap P4. Fakta ini kemudian disampaikan kepada Presiden agar masalah P4 ditinjau kembali. Setelah P4 menjadi Tap MPR dan dilaksanakan.
Selanjutnya orsospol yang diseragamkan dalam arti harus mau menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas partai dan organisasi, yang dikenal dengan sebutan “asas tunggal”. Gagasan asas tunggal ini disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pidato pembukaan Rapat Pimpinan ABRI (Rapim ABRI), di Pekanbaru , Riau, tanggal 27 Maret 1980 dan dilontarkan kembali pada acara ulang tahun Korps Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) di Cijantung, Jakarta 16 April 1980. Gagasan Asas Tunggal ini pada awalnya menimbulkan reaksi yang cukup keras dari berbagai pemimpin umat Islam dan beberapa purnawirawan militer ternama.
Meskipun mendapat kritikan dari berbagai kalangan, Presiden Soeharto tetap meneruskan gagasannya itu dan membawanya ke MPR. Melalui Sidang MPR ‘Asas Tunggal” akhirnya diterima menjadi ketetapan MPR, yaitu; Tap MPR No.II/1983. Kemudian pada 19 Januari 1985, pemerintah dengan persetujuan DPR, mengeluarkan Undang-Undang No.3/1985 yang menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Empat bulan kemudian, pada tanggal 17 Juni 1985, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.8/1985 tentang ormas, yang menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal mereka.
Sejak saat itu tidak ada lagi orsospol yang berasaskan lain selain Pancasila, semua sudah seragam. Demokrasi Pancasila yang mengakui hak hidup “bhineka tunggal ika”, dipergunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk mematikan kebhinekaan, termasuk memenjarakan atau mencekal tokoh-tokoh pengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru.
𝟯. 𝗣𝗲𝗻𝗲𝗿𝗮𝗽𝗮𝗻 𝗗𝘄𝗶 𝗙𝘂𝗻𝗴𝘀𝗶 𝗔𝗕𝗥𝗜
Konsep Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) sendiri dipahami sebagai “jiwa, tekad dan semangat pengabdian ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang hankam negara maupun di bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.”
Dwifungsi ABRI, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan juga fungsinya di bidang politik. Dalam pelaksanaannya pada era Soeharto, peran ABRI dalam bidang politik terlihat lebih signifikan seiring dengan diangkatnya Presiden Soeharto oleh MPRS pada tahun 1968.
Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang politik pada masa Orde Baru yang mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini salah satunya adalah dengan ditempatkannya militer di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak seperlima dari jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka bertanggung jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang di MPR dan DPR tingkat nasional bertanggung jawab langsung kepada panglima ABRI. Selain itu, para ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian Golkar serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial di seluruh daerah dari mulai Jakarta sampai ke daerah-daerah terpencil.
Politisasi militer
Salah satunya dengan gerakan AMD (ABRI Masuk Desa), keikutsertaan militer dalam bidang politik secara umum bersifat anti partai. Militer percaya bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan. Sedangkan partai politik dipandang memiliki kepentingan-kepentingan golongan tersendiri. Keterlibatan ABRI di sektor eksekutif sangat nyata terutama melalui Golkar. Hubungan ABRI dan Golkar disebut sebagai hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Contohnya pada Munas I Golkar di Surabaya (4-9 September 1973), ABRI mampu menempatkan perwira aktif ke dalam Dewan Pengurus Pusat.
Selain itu, hampir di seluruh daerah tingkat I dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif. Selain itu, terpilihnya Sudharmono sebagai wakil militer pada pucuk pemimpin Golkar (pada Munas III) juga menandakan bahwa Golkar masih di bawah kendali militer. Selain dalam sektor eksekutif, ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor legislatif. Meskipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan umum, mereka tetap memiliki wakil dalam jumlah besar (dalam DPR dan MPR) melalui Fraksi Karya ABRI.
Namun keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif oleh beberapa pihak dalam rangka mengamankan kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisasi kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif. Efektivitas ini diperoleh dari adanya sinergi antara Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan dalam proses kerja DPR; serta adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam batas tertentu membatasi peran satu fraksi secara otonom. Dalam MPR sendiri, ABRI (wakil militer) mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam formulasi kebijakan oleh MPR. Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI.
Dominasi yang terjadi pada masa itu dapat dilihat dari:
Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”
Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa pada waktu itu
ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.
𝟰. 𝗥𝗲𝗵𝗮𝗯𝗶𝗹𝗶𝘁𝗮𝘀𝗶 𝗘𝗸𝗼𝗻𝗼𝗺𝗶 𝗢𝗿𝗱𝗲 𝗕𝗮𝗿𝘂
Kondisi ekonomi yang diwarisi Orde Lama adalah sangat buruk. Sektor produksi barang-barang konsumsi misalnya hanya berjalan 20% dari kapasitasnya. Demikian pula sektor pertanian dan perkebunan yang menjadi salah satu tumpuan ekspor juga tidak mengalami perkembangan yang berarti. Hutang yang jatuh tempo pada akhir Desember 1965, seluruhnya berjumlah 2,358 Juta dollar AS. Dengan Perincian negara-negara yang memberikan hutang pada masa Orde Lama adalah blok negara komunis (US $ 1.404 juta), negara Barat (US $ 587 juta), sisanya pada negara-negara Asia dan badan-badan internasional.
Untuk menanggulangi hutang luar negeri pemerintah Orde Baru berupaya melakukan diplomasi dengan mengirimkan tim negosiasinya ke Paris, Perancis (Paris Club) dan ke London , Inggris (London Club), untuk merundingkan hutang piutang negara dan swasta. Pemerintah Orde Baru juga mencapai kesepakatan dengan pemerintah Belanda mengenai pembayaran ganti rugi sebesar 165 juta dollar AS terhadap beberapa perusahaan mereka yang dinasionalisasi oleh Orde Lama pada tahun 1958. Begitu pula dengan Inggris telah dicapai suatu kesepakatan untuk membayar ganti rugi kepada perusahaan Inggris yang kekayaannya disita oleh pemerintah RI semasa era konfrontasi pada tahun 1965.
Program rehabilitasi ekonomi Orde Baru dilaksanakan berlandaskan pada Tap MPRS No.XXIII/1966 yang isinya tentang pembaruan kebijakan landasan ekonomi, keuangan, dan pembangunan.Tujuan dikeluarkan keterapan tersebut adalah untuk mengatasi krisis dan kemerosotan ekonomi yang melanda negara Indonesia sejak tahun 1955. Berdasarkan ketetapan tersebut, Presiden Suharto mempersiapkan perekonomian Indonesia sebagai berikut: 
Mengeluarkan Peraturan 3 Oktober 1966, tentang pokok-pokok regulasi.
Mengeluarkan Peraturan 10 Pebruari 1967, tentang harga dan tarif.
Peraturan 28 Juli 1967, tentang pajak usaha serta ekspor Indonesia.
UU No. 1 Tahun 1967 , tentang Penanaman Modal Asing.
UU No. 13 Tahun 1967, tentang Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja ( RAPB).
Upaya diplomasi ekonomi ke negara-negara Barat dan Jepang itu berhasil mengatur penjadwalan kembali pembayaran hutang negara dan swasta yang jatuh tempo dan mampu meyakinkan negara-negara tersebut untuk membantu Indonesia. Misalnya dibentuknya lembaga Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI). Proses pembentukan IGGI diawali oleh suatu pertemuan pada bulan Februari 1967, di Amsterdam. Dalam pertemuan itu disepakati untuk membentuk IGGI dan Belanda ditunjuk sebagai ketuanya.
Selain mengupayakan masuknya dana bantuan luar negeri, pemerintah Orde Baru juga berupaya menggalang dana dari dalam negeri yaitu dana masyarakat. Salah satu strategi yang dilakukan oleh pemerintah bersama–sama Bank Indonesia dan bank-bank milik negara lainnya adalah berupaya agar masyarakat mau menabung.
Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pada awal Orde Baru mulai menunjukan hasil positif. Hiperinflasi mulai dapat dikendalikan, dari 650% menjadi 120% (1967), dan 80% (1968), sehingga pada tahun itu diputuskan bahwa Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama akan dimulai pada tahun berikutnya (1969). Setelah itu pada tahun-tahun berikutnya inflasi terus menurun menjadi 25% (1969), 12% (1970), dan 10% (bahkan sampai 8.88%) pada tahun 1971.
Indonesia pada awal pemerintahan Orde Baru berhasil mengatasi krisis ekonomi yang diderita. Banyak modal asing datang, industri berkenbang pesat, dan muncul kesempatan kerja. Indonesia juga menjalin kerja sama dengan lembaga keuangan dunia, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank).
𝟱. 𝗞𝗲𝗯𝗶𝗷𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗺𝗯𝗮𝗻𝗴𝘂𝗻𝗮𝗻 𝗢𝗿𝗱𝗲 𝗕𝗮𝗿𝘂
Tujuan perjuangan Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan bernegara yang didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan dengan tujuan tersebut maka ketika kondisi politik bangsa Indonesia mulai stabil untuk melaksanakan amanat masyarakat maka pemerintah mencanangkan pembangunan nasional yang diupayakan melalui Program Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui pembangunan lima tahun (Pelita) yang di dalamnya memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia.
Pada masa ini pengertian pembangunan nasional adalah suatu rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Pembangunan nasional dilakukan untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam usaha mewujudkan tujuan nasional maka Majelis Permusyawaratan Rakyat sejak tahun 1973-1978-1983-1988-1993 menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN). GBHN merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian program-programnya yang kemudian dijabarkan dalam rencana pembangunan lima tahun (Repelita). Adapun Repelita yang berisi program-program kongkrit yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun, dalam repelita ini dimulai sejak tahun 1969 sebagai awal pelaksanaan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang.
Kemudian terkenal dengan konsep Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (1969-1994) menurut indikator saat itu pembangunan dianggap telah berhasil memajukan segenap aspek kehidupan bangsa dan telah meletakkan landasan yang cukup kuat bagi bangsa Indonesia untuk memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (1995-2020). Pemerintahan Orde Baru senantiasa berpedoman pada tiga konsep pembangunan nasional yang terkenal dengan sebutan Trilogi Pembangunan, yaitu: (1) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat; (2) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi; dan (3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi akibat pelaksanaan pembangunan tidak akan bermakna apabila tidak diimbangi dengan pemerataan pembangunan. Oleh karena itu, sejak Pembangunan Lima Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984) maka pemerintahan Orde Baru menetapkan Delapan Jalur Pemerataan.
pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan perumahan
pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan
pemerataan pembagian pendapatan
pemerataan kesempatan kerja
pemerataan kesempatan berusaha
pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita
pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air
pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
𝗮. 𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝗶𝗮𝗻
Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur Pembangunan Lima Tahun (Repelita), swasembada pangan merupakan fokus tersendiri dalam rencana pembangunan yang dibuat oleh Soeharto. Pada Pelita I yang dicanangkan landasan awal pembangunan Pemerintahan Orde Baru, dititikberatkan pada pembangunan di sektor pertanian yang bertujuan mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan sektor pertanian. Tujuan Pelita I, meningkatkan taraf hidup rakyat melalui sektor pertanian yang ditopang oleh kekuatan koperasi dan sekaligus meletakkan dasar-dasar pembangunan dalam tahapan berikutnya.
Soeharto membangun dan mengembangkan organisasi atau institusi yang akan menjalankan program-program tersebut. Pembangunan ditekankan pada penciptaan institusi pedesaan sebagai wahana pembangunan dengan membentuk Bimbingan Massal (Bimas) yang diperuntukkan meningkatkan produksi beras dan koperasi sebagai organisasi ekonomi masyarakat pedesaan. Sekaligus menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam menyalurkan sarana pengolahan dan pemasaran hasil produksi. Di sisi lain pemerintah juga menciptakan Badan Urusan Logistik (BULOG). Pemerintah Orde Baru membangun pabrik-pabrik pupuk untuk penyediaan pupuk bagi petani.
Para petani diberi kemudahan memperoleh kredit bank untuk membeli pupuk. Pemasaran hasil panen mereka dijamin dengan kebijakan harga dasar dan pengadaan pangan. Diperkenalkan juga manajemen usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi Khusus, dan Intensifikasi Khusus yang terbukti mampu meningkatkan produksi pangan, terutama beras. Saat itu, budi daya padi di Indonesia adalah yang terbaik di Asia. Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih unggul, pupuk, pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik pupuk yang dibangun antara lain adalah Petrokimia Gresik di Gresik, Pupuk Sriwijaya di Palembang, dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh.
Jaringan irigasi teknis dibangun di berbagai daerah dan program pembibitan ditingkatkan. Di dalam Pelita I Pertanian dan Irigasi dimasukkan sebagai satu bab tersendiri dalam rincian rencana bidang-bidang. Di dalam rincian penjelasan dijelaskan bahwa tujuannya adalah untuk peningkatan produksi pangan terutama beras. Koperasi di pedesaan terus dipacu untuk meningkatkan produktivitasnya. Kebijakan terus mengalir guna menopang kegiatan di daerah pedesaan. BUUD yang semula hanya dilibatkan dalam program Bimbingan Massal (Bimas sektor pertanian pangan), kemudian ditingkatkan menjadi Koperasi Unit Desa (KUD) dengan tugas serta peranan yang terus dikembangkan.
Instruksi Presiden (Inpres) No.4, Tahun 1973, Tentang Unit Desa dikeluarkan 5 Mei 1973, menjadi tonggak yuridis keberadaan KUD. Kebijakan tersebut dilanjutkan dengan Instruksi Presiden No. 4, Tahun 1973, yang membentuk Wilayah Unit Desa (Wilud), pada akhirnya menjadi Koperasi Unit Desa (KUD). Dari sinilah lahir Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), yang berada di bawah Departemen Pertanian. Para PPL memperkenalkan dan menyebarluaskan teknologi pertanian kepada para petani melalui kegiatan penyuluhan. Pemerintah menempatkan para penyuluh pertanian di tingkat desa dan kelompok petani. Selain program penyuluhan, klompencapir (kelompok pendengar, pembaca, pemirsa).
Juga menjadi salah satu program pembangunan pertanian Orde Baru yang khas. Kelompencapir merupakan wadah temu wicara langsung antara petani, nelayan, dan peternak dengan sesama petani, penyuluh, menteri atau bahkan dengan Presiden Soeharto. Kelompencapir juga menyelenggarakan kompetisi cerdas cermat pertanian yang diikuti oleh para petani berprestasi dari berbagai daerah sampai tingkat pusat. Kelompencapir merupakan program Orde Baru di bidang pertanian yang dijalankan oleh Departemen Penerangan. Kelompencapir diresmikan pada 18 Juni 1984, dengan keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia No.110/Kep/Menpen/1984.
𝗯. 𝗣𝗲𝗻𝗱𝗶𝗱𝗶𝗸𝗮𝗻
Pada masa kepemimpinan Soeharto pembangunan pendidikan mengalami kemajuan yang sangat penting. Ada tiga hal yang patut dicatat dalam bidang pendidikan masa Orde Baru adalah pembangunan Sekolah Dasar Inpres (SD Inpres), program wajib belajar dan pembentukan kelompok belajar atau kejar. Semuanya itu bertujuan untuk memperluas kesempatan belajar, terutama di pedesaan dan bagi daerah perkotaan yang penduduknya berpenghasilan rendah. Pada 1973, Soeharto mengeluarkan Inpres No 10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD. Pelaksanaan tahap pertama program SD Inpres adalah pembangunan 6.000 gedung SD yang masing-masing memiliki tiga ruang kelas.
Dana pembangunan SD Inpres tersebut berasal dari hasil penjualan minyak bumi yang harganya naik sekitar 300 persen dari sebelumnya. Pembangunan paling besar terjadi pada periode 1982/1983 ketika 22.600 gedung SD baru dibuat. Hingga periode 1993/1994 tercatat hampir 150.000 unit SD Inpres telah dibangun. Peningkatan jumlah sekolah dasar diikuti pula oleh peningkatan jumlah guru. Jumlah guru SD yang sebelumnya berjumlah sekitar ratusan ribu, pada awal tahun 1994 menjadi lebih dari satu juta guru. Satu juta lebih guru ditempatkan di sekolah-sekolah inpres tersebut. Lonjakan jumlah guru dari puluhan ribu menjadi ratusan ribu juga terjadi pada guru SMP.
Total dana yang dikeluarkan untuk program ini hingga akhir Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I mencapai hampir Rp 6,5 triliun. Program wajib belajar pada era Soeharto mulai dilaksanakan pada 2 Mei 1984, di akhir Pelita (Pembangunan Lima Tahun) III. Dalam sambutannya peresmian wajib belajar saat itu, Soeharto menyatakan bahwa kebijakannya bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama dan adil kepada anak Indonesia berusia 7-12 tahun dalam menikmati pendidikan dasar. Program wajib belajar itu mewajibkan setiap anak usia 7-12 tahun untuk mendapatkan pendidikan dasar 6 tahun (SD).
Dalam upaya memperkuat pelaksanaan GN-OTA, diterbitkanlah Surat Keputusan Bersama Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Agama Nomor 34/HUK/1996, Nomor 88 Tahun 1996, Nomor 0129/U/1996, Nomor 195 Tahun 1996 tentang Bantuan terhadap Anak Kurang Mampu, Anak Cacat, dan Anak yang Bertempat Tinggal di Daerah Terpencil dalam rangka Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar. Keberhasilan program wajib belajar 6 tahun ditandai dengan kenaikan angka partisipasi sekolah dasar (SD) sebesar 1,4 persen. Angka partisipasi SD menjadi 89,91 persen di akhir Pelita IV.
Kenaikan angka partisipasi itu menambah kuat niat pemerintah untuk memperluas kelompok usia anak yang ikut program wajib belajar selanjutnya, menjadi 7-15 tahun, atau menyelesaikan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sepuluh tahun kemudian, program wajar berhasil ditingkatkan menjadi 9 tahun, yang berarti anak Indonesia harus mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP. Upaya pelaksanaan wajib belajar 9 tahun pada kelompok usia 7-15 tahun mulai diresmikan pada Pencanangan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun pada 2 Mei 1994. Kebijakan ini diperkuat dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 1994.
Program wajib belajar telah meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Indonesia saat itu. Fokus utama ketika itu adalah peningkatan angka-angka indikator kualitas pendidikan dasar. Fokus pembangunan pendidikan saat itu, yaitu peningkatan secara kuantitatif, baru kemudian memperhatikan kualitas atau mutu pendidikan. Pada sensus tahun 1971, dari total jumlah penduduk 80 juta jiwa, Indonesia masih memiliki 39,1 persen penduduk usia 10 tahun ke atas yang berstatus buta huruf. Sepuluh tahun kemudian, menurut sensus tahun 1980, persentase itu menurun menjadi hanya 28,8 persen. Hingga sensus berikutnya tahun 1990, angkanya terus menyusut menjadi 15,9 persen.
𝗰. 𝗞𝗲𝗹𝘂𝗮𝗿𝗴𝗮 𝗕𝗲𝗿𝗲𝗻𝗰𝗮𝗻𝗮
Pada masa Orde Baru dilaksanakan program untuk pengendalian pertumbuhan penduduk yang dikenal dengan Keluarga Berencana (KB). Pada tahun 1967 pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 2,6% dan pada tahun 1996 telah menurun drastis menjadi 1,6%. Pengendalian penduduk dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas rakyat Indonesia dan peningkatan kesejahteraannya. Keberhasilan ini dicapai melalui program KB yang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Program KB di Indonesia, diawali dengan ditandatanganinya Deklarasi Kependudukan PBB pada tahun 1967 sehingga secara resmi Indonesia mengakui hak-hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran sebagai hak dasar manusia dan juga pentingnya pembatasan jumlah penduduk sebagai unsur perencanaan ekonomi dan sosial. Keberhasilan Indonesia dalam pengendalian jumlah penduduk dipuji oleh UNICEF, karena dinilai berhasil menekan tingkat kematian bayi dan telah melakukan berbagai upaya lainnya dalam rangka mensejahterakan kehidupan anak-anak di tanah air.
UNICEF bahkan mengemukakan bahwa tindakan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia itu hendaknya dijadikan contoh bagi negara-negara lain yang tingkat kematian bayinya masih tinggi. Program KB di Indonesia sebagai salah satu yang paling sukses di dunia, sehingga menarik perhatian dunia untuk mengikuti kesuksesan Indonesia. Pemerintah pun mengalokasikan sumber daya dan dana yang besar untuk program ini.
𝗱. 𝗞𝗲𝘀𝗲𝗵𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗠𝗮𝘀𝘆𝗮𝗿𝗮𝗸𝗮𝘁, 𝗱𝗮𝗻 𝗣𝗼𝘀𝘆𝗮𝗻𝗱𝘂
Perkembangan puskesmas bermula dari konsep Bandung Plan diperkenalkan oleh dr. Y. Leimena dan dr. Patah pada tahun 1951, Bandung Plan merupakan suatu konsep pelayanan yang menggabungkan antara pelayanan kuratif dan preventif. Tahun 1956 didirikanlah proyek Bekasi oleh dr. Y. Sulianti di Lemah Abang, yaitu model pelayanan kesehatan pedesaan dan pusat pelatihan tenaga. Kemudian didirikan Health Centre (HC) di 8 lokasi, yaitu di Indrapura (Sumut), Bojongloa (Jabar), Salaman (Jateng), Mojosari (Jatim), Kesiman (Bali), Metro (Lampung), DIY dan Kalimantan Selatan.
Pada 12 November 1962 Presiden Soekarno mencanangkan program pemberantasan malaria dan pada tanggal tersebut menjadi Hari Kesehatan Nasional (HKN). Konsep Bandung Plan terus dikembangkan, tahun 1967 diadakan seminar konsep Puskesmas. Pada tahun 1968 konsep Puskesmas ditetapkan dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional dengan disepakatinya bentuk Puskesmas yaitu Tipe A, B & C. Kegiatan Puskesmas saat itu dikenal dengan istilah ’Basic’. Ada Basic 7, Basic 13 Health Service yaitu : KIA, KB, Gizi Mas, Kesling, P3M, PKM, BP, PHN, UKS, UHG, UKJ, Lab, Pencatatan dan Pelaporan. Pada tahun 1969, Tipe Puskesmas menjadi A & B.
Pada tahun 1977 Indonesia ikut menandatangani kesepakatan Visi : ”Health For All By The Year 2000”, di Alma Ata, negara bekas Federasi Uni Soviet, pengembangan dari konsep ”Primary Health Care”. Tahun 1979 Puskesmas tidak ada pentipean, dan dikembangkan piranti manajerial perencanaan dan penilaian Puskesmas yaitu ’Micro Planning’ dan Stratifikasi Puskesmas. Pada tahun 1984 dikembangkan Posyandu, yaitu pengembangan dari pos penimbangan dan kurang gizi. Posyandu dengan 5 programnya yaitu, KIA, KB, Gizi, Penanggulangan Diare dan Imunisasi. Posyandu bukan saja untuk pelayanan balita tetapi juga untuk pelayanan ibu hamil.
Bahkan pada waktu-waktu tertentu untuk promosi dan distribusi Vit.A, Fe, Garam Yodium, dan suplemen gizi lainnya. Bahkan Posyandu saat ini juga menjadi adalah kegiatan penggerakan masyarakat (mobilisasi sosial) seperti PIN, Campak, dan Vit A. Perkembangan puskesmas menampakan hasilnya pada era Orde Baru, salah satu indikatornya adalah semakin baiknya tingkat kesehatan. Pada sensus 1971 hanya ada satu dokter untuk melayani 20,9 ribu penduduk. Sensus 1980, menunjukkan bahwa satu tenaga dokter untuk 11,4 ribu penduduk.
𝗖. 𝗜𝗻𝘁𝗲𝗿𝗴𝗿𝗮𝘀𝗶 𝗧𝗶𝗺𝗼𝗿-𝗧𝗶𝗺𝘂𝗿
Keterlibatan Indonesia secara langsung di Timor-Timur terjadi setelah adanya permintaan dari para pendukung “Proklamasi Balibo”, yang terdiri UDT bersama Apodeti, Kota dan Trabalhista. Keempat partai itu pada tanggal 30 November 1975 di kota Balibo mengeluarkan pernyataan untuk bergabung dengan pemerintahan Republik Indonesia. Pada tanggal 31 Mei 1976 DPR Timor-Timur mengeluarkan petisi yang isinya mendesak pemerintah Republik Indonesia agar secepatnya menerima dan mengesahkan bersatunya rakyat dan wilayah Timor Timur ke dalam Negara Republik Indonesia. Atas keinginan bergabung rakyat Timor Timur dan permintaan bantuan yang diajukan, pemerintah Indonesia lalu menerapkan “Operasi Seroja”.
Pada Desember 1975. Operasi militer ini diam-diam didukung oleh Amerika Serikat (AS) yang tidak ingin pemerintahan komunis berdiri di Timor Timur. Pada masa itu Perang Dingin antara AS dengan Uni Soviet yang komunis memang tengah berlangsung. Bersamaan dengan operasi-operasi keamanan yang dilakukan, pemerintah Indonesia dengan cepat juga menjalankan proses pengesahan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia dengan mengeluarkan UU no. 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pembentukan Daerah Tingkat I Timor Timur. Pengesahan ini akhirnya diperkuat melalui Tap MPR nomor IV/MPR/1978.
Timor Timur secara resmi menjadi provinsi ke 27 di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Negara-negara tetangga dan pihak Barat, termasuk Amerika Serikat dan Australia dengan alasannya masing-masing umumnya mendukung tindakan Indonesia. Kekhawatiran akan jatuhnya Timor-Timur ke tangan komunis membuat negara-negara Barat (khususnya Amerika Serikat dan Australia) secara diam-diam mendukung tindakan Indonesia. Mereka secara de-facto dan selanjutnya de-jure integrasi Timor-Timur ke wilayah Indonesia. Akan tetapi, penguasaan Indonesia terhadap wilayah itu ternyata menimbulkan banyak permasalahan yang berkelanjutan, terutama setelah berakhirnya “perang dingin” dan runtuhnya Uni Soviet.
𝗗. 𝗗𝗮𝗺𝗽𝗮𝗸 𝗞𝗲𝗯𝗶𝗷𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗣𝗼𝗹𝗶𝘁𝗶𝗸 𝗱𝗮𝗻 𝗘𝗸𝗼𝗻𝗼𝗺𝗶 𝗠𝗮𝘀𝗮 𝗢𝗿𝗱𝗲 𝗕𝗮𝗿𝘂
Pendekatan keamanan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru dalam menegakkan stabilitas nasional secara umum memang berhasil menciptakan suasana aman bagi masyarakat Indonesia. Dalam bidang politik, pemerintah Orde Baru cenderung bersifat otoriter, Presiden mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam mengatur jalannya pemerintahan. Peran negara menjadi semakin kuat yang menyebabkan timbulnya pemerintahan yang sentralistis. Pemerintahan sentralistis ditandai dengan adanya pemusatan penentuan kebijakan publik pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah diberi peluang yang sangat kecil untuk mengatur pemerintahan dan mengelola anggaran daerahnya sendiri.
Otoritarianisme merambah segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk kehidupan politik. Pemerintah Orde Baru dinilai gagal memberikan pelajaran berdemokrasi yang baik, Golkar dianggap menjadi alat politik untuk mencapai stabilitas yang diinginkan, sementara dua partai lainnya hanya sebagai alat pendamping agar tercipta citra sebagai negara demokrasi. Sistem perwakilan bersifat semu bahkan hanya dijadikan topeng untuk melanggengkan sebuah kekuasaan secara sepihak. Demokratisasi yang terbentuk didasarkan pada KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), sehingga banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/ DPR yang tidak mengenal rakyat dan daerah yang diwakilinya.
Pada masa orde baru Pembangunan ekonomi berjalan baik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik dan hasilnya dapat terlihat secara konkret. Indonesia berhasil mengubah status dari negara pengimpor beras menjadi bangsa yang bisa memenuhi kebutuhan beras sendiri (swasembada beras). Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat, penurunan angka kematian bayi dan angka partisipasi pendidikan dasar yang meningkat. Meskipun pembangunan ekonomi Orde Baru menunjukan perkembangan yang menggembirakan, namun dampak negatifnya juga cukup banyak.
Dampak negatif ini disebabkan kebijakan Orde Baru yang terlalu memfokuskan/ mengejar pada pertumbuhan ekonomi, yang berdampak buruk bagi terbentuknya mentalitas dan budaya korupsi para pejabat di Indonesia. Distribusi hasil pembangunan dan pemanfaatan dana untuk pembangunan tidak dibarengi kontrol yang efektif dari pemerintah terhadap aliran dana tersebut sangat rawan untuk disalahgunakan. Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan terbukanya akses dan distribusi yang merata sumber-sumber ekonomi kepada masyarakat.
Hal ini berdampak pada munculnya kesenjangan sosial dalam masyarakat Indonesia, kesenjangan kota dan desa, kesenjangan kaya dan miskin, serta kesenjangan sektor industri dan sektor pertanian. Selain masalah–masalah diatas, tidak sedikit pengamat hak asasi manusia (HAM) dalam dan luar negeri yang menilai bahwa pemerintahan Orde Baru telah melakukan tindakan anti demokrasi dan diindikasikan telah melanggar HAM. Amnesty International misalnya dalam laporannya pada 10 Juli 1991 menyebut Indonesia dan beberapa negara Timur Tengah, Asia Pasifik, Amerika Latin, dan Eropa Timur, sebagai pelanggar HAM.
Human Development Report 1991 yang disusun oleh United Nations Development Program (UNDP) juga menempatkan Indonesia pada urutan ke 77 dari 88 pelanggar HAM (Anhar Gonggong ed, 2005:190). Sekalipun Indonesia menolak laporan kedua lembaga internasional tadi dengan alasan tidak “fair”dan kriterianya tidak jelas, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam negeri sendiri pemerintah Orde Baru dinilai telah melakukan beberapa tindakan yang terindikasi pelanggaran HAM.
Dalam kurun waktu 1969-1983 misalnya, dapat disebut peristiwa Pulau Buru (Tempat penjara bagi orang-orang yang diindikasikan terlibat PKI) (1969-1979), peristiwa Malari (Januari 1974) yang berujung pada depolitisasi kampus. Kemudian pencekalan terhadap Petisi 50 (5 Mei 1980). Pada kurun waktu berikutnya, (1983-1988), terdapat dua peristiwa, yaitu peristiwa Penembak Misterius – Petrus (Juli 1983), Peristiwa Tanjung Priok (September 1984). Pada kurun 1988-1993, terdapat peristiwa Warsidi (Februari 1989), Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh (1989-1998), Santa Cruz (November 1991), Marsinah (Mei 1993), Haur Koneng (Juli 1993), dan Peristiwa Nipah (September 1993).
Sedangkan dalam kurun 1993-1998 antara lain terjadi peristiwa Jenggawah (Januari 1996), Padang Bulan (Februari 1996), Freeport (Maret 1996), Abepura (Maret 1996), Kerusuhan Situbondo (Oktober 1996), Dukun Santet Banyuwangi (1998), Tragedi Trisakti (12 Mei 1998). Dengan situasi politik dan ekonomi seperti diatas, keberhasilan pembangunan nasional yang menjadi kebanggaan Orde Baru yang berhasil meningkatkan GNP Indonesia ke tingkat US$ 600 di awal tahun 1980-an, kemudian meningkat lagi sampai US$ 1300 perkapita di awal dekade 1990-an, serta menobatkan Presiden Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan” menjadi seolah tidak bermakna.
1 note · View note
korem152 · 9 months
Text
Korem 152/BBL Memberikan Pembekalan Materi pada Calon Resimen Mahasiswa Unhair dan IAIN
Tumblr media
Ternate - Korem 152/Baabullah membuka acara Pembekalan Kader Warga Terlatih Tingkat Korem 152/Baabulah TA. 2023 Mahasiswa Unkhair dan Mahasiswa IAIN yang di laksanakan di Aula Kompi D Yonif Raider Khusus 732/Banau, Kel. Salahudin Kec. Ternate Tengah Kota Ternate Maluku Utara, Selasa (12/09/23)
Kasiter Kasrem 152/Baabullah Kolonel Arm Yusuf Maulana mewakili Danrem 152/Baabullah membuka acara pembekalan tersebut dengan membacakan amanat Danrem 152/Baabullah " kegiatan Pembekalan Kader Warga Terlatih Tingkat Korem 152/Baabullah TA. 2023 adalah dalam rangka menyiapkan potensi sumber daya manusia guna mendukung pemberdayaan wilayah pertahanan yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan kesadaran dalam Bela Negara sehingga tercipta Ruang, Alat dan Kondisi Juang yang tangguh untuk pemberdayaan wilayah pertahanan.
Tumblr media
Pembekalan dilaksanakan selama 3 hari dengan 35 orang peserta yang diisi beberapa materi pengetahuan bela Negara seperti pemantapan jiwa Nasionalisme, Pancasila sebagai ideologi Negara, Psikologi Lapangan, serta keterampilan dasar seperti kesehatan lapangan, Navigasi Darat, PBB dan PPM, Penanggulangan bencana dari dampak iklim, pengenalan materi wanwil dan pengenalan Drone.
Tumblr media Tumblr media
Kolonel Arm Yusuf mengingatkan kepada peserta pelatihan, agar mengikuti pembekalan secara serius, serap seluruh informasi yang diberikan serta tanyakan apabila terdapat hal yang belum jelas kepada pembawa materi, sehingga kalian dapat menambah wawasan dan pengetahuan" tegasnya". (Penrem152).
0 notes
ennyie-three · 10 months
Text
Sejarah Agresi Militer Belanda
Tumblr media
Mengenang 26 Juli 1947, Ketika Sukabumi Jatuh ke Tangan Belanda Hari ini, tujuh puluh tiga tahun lalu, Sukabumi jatuh ke tangan Belanda. Sejak 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947 Kerajaan Belanda melakukaan operasi militer yang mereka sebut Operatie Product (Operasi Produk) yang berarti aksi militer untuk merebut sumber-sumber (produk) ekonomi. Sementara itu,  Dalam buku-buku sejarah di Indonesia, operasi itu lebih dikenal dengan istilah Agresi Militer Belanda I Salah satu wilayah yang masuk kategori itu adalah Sukabumi. Di sana pekebunan teh, kopi, dan karet terbesar di Asia Tenggara pada masa itu, yakni Perkebunan Tjipetir. Selain itu, otensi ekonomi ini tentu sangat menggirukan Belanda. Belanda Menyerang Sukabumi Pada tanggal 21 Juli 1927 lewat tengah malam, Belanda mengerahkan sekitar seribu prajuritnya yang berasal dari Divisi 7 Desember dan Divisi B menuju Sukabumi. Mereka bergerak dari arah Bogor menuju Cigombong, Cicurug, dan Cibadak. Setelah mengusai tiga daerah tersebut, mereka melanjutkan perjalanan ke Sukabumi.
Tumblr media
Jenderal A.H. Nasution dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid V menulis bahwa pasukan Belanda menerobos Sukabumi secara cepat dan tiba-tiba. “Mereka yang berkendaraan carries dan bersenjatakan meriam anti tank, menerobos secara cepat dan tiba-tiba, melanda segala rintangan yang telah para prajurit TNI pasang di jalan raya,” tulisnya. TNI Menghindar Ke Luar Kota Bataliyon (Yon) IV dari Resimen Tanggerang pimpinan Kapten Kemal Idris yang singgah di Sukabumi dalam perjalanan mereka ke Cikampek untuk mengepung Jakarta menemukan fakta bahwa pasukan TNI yang ditugaskan bersiaga di Sukabumi, malah menghindar ke luar kota. Sementara itu, salah satu komandan kompi Yon IV, Letnan Satu Marzoeki Soelaiman, mengungkap, suasana terasa tegang saat ia dan pasukannya menapakkan kaki di Sukabumi. Selain itu, nyaris tak nampak anggota TNI atau laskar kecuali beberapa seksi yang terlihat bingung sebab tak ada komando. Sumber : Panembahan Senopati, Grup WhatsApp Sejarah Dan Pengetahuan Sejarah Agresi Militer Belanda UT Hong Kong & Macau; Desain website oleh Cahaya Hanjuang Read the full article
0 notes
gosulsel · 1 year
Text
Pengurus Baru Menwa Unibos Diminta Pacu Kreativitas - Gosulsel
MAKASSAR, GOSULSEL.COM - Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Resimen Mahasiswa (Menwa) Universitas Bosowa (Unibos) mengadakan Serah Terima Jabatan dan Pelantikan Pengurus Komando Resimen Mahasiswa Wolter Mongisidi Satuan 707 Harimau Unibos Periode 2023/2024 dari Feliksyanto Sanda Paseleng kepada Deny...
http://gosulsel.com/2023/07/12/pengurus-baru-menwa-unibos-diminta-pacu-kreativitas/
#Unibos
0 notes
Text
Pangdam I/BB Terima Peresmian Satuan Baru Resimen Arhanud 2/Sisingamangaraja
BELANEGARANEWS.ID, JAKARTA || Pangdam I/Bukit Barisan, Mayjen TNI Achmad Daniel Chardin, SE, MSi, menerima peresmian satuan baru di jajaran Kodam I/Bukit Barisan, yakni Resimen Arhanud 2/Sisingamangaraja, Selasa (22/11/2022). Acara peresmian dilangsungkan di Aula Nasution Mabesad Jakarta dan dipimpin langsung Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad), Letjen TNI Agus Subiyanto, SE, MSi. Dalam…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
transpublikid · 1 year
Text
Markas Komando Pasukan Brimob I Polri Resmi Berdiri di Binjai Sumut
BINJAI | TRANSPUBLIK.co.id – Pasukan Korps Brimob I Polri resmi menempati eks Batalyon A Brimob Polda Sumut di Kota Binjai, Provinsi Sumatera Utara, sebagai markas komando, Selasa (6/6/2023). Pasukan Brimob I Polri yang dipimpin Brigjen Pol Drs. Firly R Samosir akan membawahi empat resimen (Resimen Pelopor dan Resimen Gegana) dan berperan sebagai pembina teknis 10 satuan Brimob Polda diwilayah…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
Text
Indonesian Resimen Pelopo Menpor Camouflage O-Neck T-Shirt | 190GSM Cotton
Tumblr media
Indonesian Resimen Pelopo Menpor Camouflage O-Neck T-Shirt | 190GSM CottonOf high-quality 100% cotton, this T-shirt is perfect for eco-conscious shoppers; Could provide you comfortable and breathable feeling in any season. - Fabric: 100% Cotton - Regular fit - Classic round neck - Fabric Weight: 190 g/m².€44.95 Read the full article
0 notes
sultratopmedia · 3 months
Text
Silaturahmi Ramadan, Alumni Dorong Menwa 241 UHO Berkontribusi di Masyarakat
SULTRATOP.COM, KENDARI – Alumni dan anggota Resimen Mahasiswa (Menwa) aktif satuan 241 Cakra Sakti Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari kembali membangun silaturahmi pada bulan Ramadan 2024 melalui kegiatan buka puasa bersama di salah satu hotel Kendari pada Rabu (3/4/2024). Kegiatan tersebut dihadiri oleh Alumni Menwa 241 UHO lintas angkatan baik yang ada di wilayah Sultra sebagai bagian dari…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes