Tumgik
#suarrasa
hujanredasblog · 3 years
Text
Saksi Bisu Dua Cinderamata
Malam itu, kala rembulan sedang purnama. Aku memimpikan seseorang yang dulu pernah kunyatakan rasa ketertarikanku padanya. Seorang perempuan yang teramat sederhana dan pintar dihampir seluruh mata pelajaran.
Dalam mimpi itu, kami saling bertukar kisah yang terkadang diselingi canda tawa. Aku menatap tawa lebarnya sembari ia tutupi mulutnya dengan tangan kanannya. Saat ia menceritakan tentang masa kecilnya, aku melihat betapa air mukanya tersiram cahaya rembulan dengan sempurna. Dalam benakku, ia serupa rembulan kedua yang turut berpendar dalam kabut malam yang menyelimuti hutan kesunyian.
Di pagi harinya, kumencoba untuk mengambil kembali dua cinderamata yang ia berikan padaku kala itu yang masih kusimpan di rak buku yang nampaknya agak sedikit berdebu. Sebuah kitab suci dan sebuah buku penyejuk kalbu.
Sejenak kumenatap kedua cinderamata itu. Aku berpikir sejenak terhadap pesan-pesan yang coba ia sampaikan kepadaku melalui kedua cinderamata itu.
Pertama, kitab suci berukuran sedang. Kurasa ia ingin agar aku selalu berada pada koridor yang telah ditetapkan oleh-Nya, tentu saja dengan mengeja ayat-ayat langit setiap harinya, serta mengamalkan seluruh pemahaman yang telah kubaca dalam kitab suci berukuran sedang dengan perpaduan warna putih cokelat itu.
Kedua, buku tentang penyucian diri. Buku ini terdiri dari 29 bab, bab pertama dibuka dengan bahasan kedudukan hati dan urgensinya lalu ditutup dengan perilaku yang sempurna. Setiap babnya memberikan pesan bahwa betapa pentingnya menjaga hati dari perbuatan yang melenceng dari akidah dan hanya dengan memiliki hati yang bersih kebahagiaan akan menjadi milik kita seutuhnya. Sebuah pesan tersirat yang tertuang dalam buku itu.
Di antara kedua kenang-kenangan itu, ada sepucuk surat yang ia tulis dalam selembar kertas.
“Terima kasih untuk semua. Mungkin sedikit ini tak sebanding dengan apa yang telah kamu diberikan. Tapi setidaknya semoga bermanfaat,” begitu bunyi paragraf ketiga sekaligus penutup.
Ingatanku terlempar begitu jauh usai membaca surat itu, melipatnya, dan menaruhnya kembali di antara halaman buku dengan sampul berwarna kuning.
Saat ia ditugasi guru untuk mencatatkan beberapa halaman buku pelajaran di papan tulis karena guru tersebut berhalangan hadir, aku hampir tak bisa konsentrasi lantaran betapa teralihkannya pandanganku saat melihatnya mengoreskan huruf demi huruf, menjahit kata-kata, dan jadilah kalimat yang saling melengkapi.
Ingatan membekas lainnya kala itu pada Sabtu (26/4/2014) tujuh tahun silam usai kami mengikuti acara purna siswa, kami bertiga bertemu di taman belakang sekolah. Sebenarnya yang berkepentingan hanya kami berdua sedangkan satu orang lainnya adalah sahabatnya, bukan berperan sebagai obat nyamuk melainkan agar pertemuan itu terhindar dari fitnah saja.
Saat kami bersua, ia malu-malu memberikanku bingkisan yang entah apa isinya. Tidak cukup berat. Namun yang pasti, pemberian itu merupakan pemberian pertama dari seorang perempuan. Seumur-umur baru kali itu aku menerima bingkisan dari seorang perempuan.
“Terima kasih atas bingkisannya yang lalu. Tolong diterima dan dijaga, ya. Terima kasih,” kira-kira seperti katanya kepadaku usai memberikan bingkisan dengan balutan kertas kado yang berada di dalam tas jinjing berwarna cokelat tua.
Sembari menatap matanya yang sedari tadi hanya memandang ke bawah, aku hanya bilang–seperti yang sering dikatakan Pak Muh–banyak-banyak terima kasih. Setelahnya kami saling berpamitan kemudian berpisah. Itulah pertemuan terakhir kami sebelum akhirnya kami lost contact hingga kisah ini kutulis.
Pemberian ini kurasa merupakan sebuah tanda balasan atau terima kasihnya padaku kala aku memberikannya oleh-oleh dari kampung halaman yang entah apa saja dalam bingkisan itu. Aku lupa sama sekali. Yang jelas ada campur tangan ibu saat aku memilah-milah cinderamata apa yang sekiranya cocok untuk seorang perempuan.
Aku memberikan buah tangan itu usai pulang sekolah. Alih-alih memberikannya langsung kepadanya, aku lebih memilih untuk menitipkannya pada sahabat dekatnya. Sebab, nyaliku terlalu ciut untuk sekadar berhadap-hadapan dengannya.
Jika aku meneroka kembali masa-masa itu, tentu ini merupakan perjalanan spiritual yang bagaimanapun juga, sulit untuk kulupakan. Ia terekam sempurna dalam ingatan ini.
Hingga kini kedua cinderamata itu masih tersimpan dengan sangat baik di rak buku.
0 notes