Tumgik
temandijalan · 2 years
Text
“Jika dia jodoh saya, Kau mudahkan. Namun jika ini hanyalah nafsu saya semata-mata, Kau maafkan, Kau ampuni. Hilangkanlah perasaan ini.”
-contekan doa dari seorang panutan. Sungguh, jernih & mulia.
7 notes · View notes
temandijalan · 3 years
Text
Lama sekali tidak kembali. Diantara gemercik moderen dan tren yg saling kejar mengejar. Halo halaman lama, yang mana ia membawa kita pada memori asing yang pernah sedekat hasta. Senang, kembali kita pulang.
-re-welcome.
0 notes
temandijalan · 7 years
Text
Kenapa suka bgt teh serius! :")
Nyawa Sebuah Kehilangan
Tumblr media
Saya kehilangan helm saya ketika saya memarkirkan kendaraan saya di depan apotek—tempat di mana saya praktik profesi. Saya gak nyangka saya akan kehilangan helm itu, satu-satunya helm yang saya bawa saat itu. Awalnya, saya bertanya pada tukang parkir dan orang apotek. Barangkali, ada yang meminjam dan tidak sempat bilang sama saya.
“Dipenjem kayaknya, Neng.” Ujar sang tukang parkir.
Baiklah. Saya akan tunggu, ujar saya dalam hati. 5 menit, 30 menit, 1 jam. Saya tambah panik. Masalahnya, tanpa helm itu, saya gak mungkin pulang. Kemudian saya mencari bantuan kepada teman-teman terdekat saya. Saya rasa, setiap kita memiliki seseorang yang namanya muncul seketika ketika kita dalam kesulitan, atau mungkin dalam keadaan bahagia dan kita ingin membaginya kepada seseorang. Sayangnya, tidak ada diantara mereka yang  bisa membantu saya saat itu. Akhirnya, saya dapat bantuan dari satpam gedung sebelah yang sukarela meminjamkan saya helm dengan syarat besok pagi saya kembalikan dalam keadaan utuh. Saya sepakat. Kemudian saya pulang, dengan helm bapak satpam, diiringi perasaan hampa.
Saya pernah berjanji kepada diri sendiri ketika saya duduk di bangku SMA untuk tidak memberi nyawa sebuah barang. Hal itu terjadi ketika saya kehilangan pulpen jaman dahulu yang Ayah saya berikan sebagai hadiah. Pulpennya cukup unik, ada pesawat di dalam suatu cairan di sepanjang tabung pulpen yang bergerak ketika saya membolak-baikkan pulpen tersebut. Saya namai pulpen itu sebagai Biru. Suatu hari, saya tidak bisa menemukan Biru. Saya menangis luar biasa saat menyadari bahwa ia hilang, bahwa Biru hilang.
Saya rasa, menangis adalah salah satu hal yang wajar ketika kita kehilangan sesuatu. Dari kejadian itu, saya berjanji kepada diri sendiri untuk memperlakukan semua barang sama rata. Dalam artian, saya tidak akan memberikan nama spesial pada barang apapun. Saya berhenti memberi nyawa kepada barang-barang.
Saya sebenarnya tidak menamai helm saya yang hilang itu. Tapi sepanjang perjalanan pulang, dengan mengenakan helm bapak satpam, saya merasa hampa. Helm saya yang hilang itu telah menjadi saksi sepak terjang saya selama saya mengendarai motor. Dari jatuh secara dramatis, hingga bagaimana helm itu membuat saya mudah tahu di mana saya parkir di suatu lapangan penuh motor di parkiran kampus. Kurang lebih, sudah 6 tahun helm itu menemani saya. Meski saya tidak pernah menamai helm itu, saya tetap merasa kehilangan. Saya sadar bahwa menamai suatu barang tidak menandakan bahwa saya memberikan nyawa kepada barang tersebut. Tapi waktu, kegunaan, kenangan-kenangan, semua itu punya nilainya masing-masing untuk sebuah kepemilikan. Saya sadar bahwa bagaimanapun saya merasa tidak memberi nyawa kepada helm saya, tetap saja saya akan merasa kehilangan atas apa-apa yang ada kemudian menjadi tidak ada. Saya juga sadar, bahwa kehilangan itu sendiri memiliki sebuah nyawa–yang membuat perjalanan pulang saya begitu hampa tanpa helm itu.
Tanpa saya sadari, mata saya berkaca-kaca di perjalanan pulang. Saya tahu, semua ini bukan salah orang lain—bagaimana bisa manusia dengan tidak teganya mengambil satu-satunya helm yang orang lain miliki. Ini semua salah saya. harusnya saya membawa helm saya ke dalam apotek. Atau barangkali, saya kaitkan ia di jok motor. Atau usaha-usaha lain untuk melindungi helm itu dari pencurian, dari pengambilan secara paksa, dari kehilangan-kehilangan itu. Saya mulai menyalahkan diri sendiri. Semua ini memang saya yang salah.
Setelah kejadian itu, saya memutuskan untuk mengubah beberapa pengertian tentang nyawa suatu barang. Memberi nama pada suatu barang bukan berarti menaruh nyawa terhadap barang tersebut. Saya rasa, nilai suatu barang itulah yang menjadi nyawa sang barang. Dan ketika saya memberikan suatu nilai kepada barang tersebut, secara otomatis, saya memiliki kewajiban untuk memelihara dan melindungi. Sebab kehilangan itu bukan hanya perihal nasib buruk, tapi hal tersebut juga menunjukkan ketidakmampuan saya untuk memelihara dan melindungi diri dari perasaan kehilangan. Barang-barang itu perlu pemeliharaan dan perlindungan—bagaimanapun caranya—agar saya tidak lagi merasakan kehilangan-kehilangan tersebut. Bukan. Bukan dengan memutuskan untuk tidak memiliki, tapi dengan menjaga apa yang telah saya miliki. Bagaimana caranya, saya rasa tiap kita memiliki caranya masing-masing. Bagi saya, mengaitkan helm pada jok motor atau membawa helm ke ruangan yang aman menjadi salah dua cara menjaga agar saya tidak perlu kehilangan lagi. Saya tidak bisa. Saya tidak mau kehilangan lagi.
Dan sepertinya, hal ini tidak hanya berlaku pada suatu barang. Tapi juga manusia.
Bandung, Desember 2016.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi #tantanganmenulis #BlueValley bersama Jia Effendie.
11 notes · View notes
temandijalan · 7 years
Quote
Allah, izinkan aku mengeluh.
Lelah
0 notes
temandijalan · 7 years
Quote
omong kosong. hanya berebut angka.
aku pun begitu.
0 notes
temandijalan · 7 years
Quote
salah kira, tidak mengapa. hanya saja sedikit luka yang kau bawa. dan banyak nestapa.
Yang ku terima
0 notes