Tumgik
Text
Malam ini, aku bertemu kau lagi. Namun dalam bentuk yang berbeda. Kau hadir dalam bentuk orang lain namun sama. Apakah itu kau? Malam ini aku menatap matamu dalam sekali. Kau didalam sana dengan tampilan yang berbeda
Bola matamu, rambutmu, sepatumu, bahkan tas ranselmu.
0 notes
Text
Garis lurus kesamping
Tas baru saja kulepas dari pundak, diteruskan membuka kardigan lalu celana jeans yang sudah seminggu lebih kupakai. Keceriaan selesai, cukup lama hari ini ber-akting. Berpura pura layaknya seorang paling bahagia, berpura pura layaknya seorang paling ringan bebannya. Tak habis habis senyumku, apalagi saat berjabat tangan. Bertingkah seolah tak pernah terjadi apa apa, berlaga seperti manusia tak punya beban padahal aku sadar betul setiap harinya punggungku semakin berat.
Ah, tai. Peduli apa manusia dengan manusia lainnya? Tanpa kepentingan tak ada yang benar nyata pedulinya. Lagi lagi soal kepentingan untuk apa yang dibutuhkan siapa atau kenapa meminta apa. Moral murahan, bahkan kalian lebih keterbelakangan mental ketimbang yang memiliki kelebihan itu sendiri. Aku tak percaya kalian, juga diriku sendiri hingga saat ini.
Kita kehilangan cahaya walaupun terang mataharinya
Kita kehilangan teduh walaupun terus tumbuh pohonnya
Kita kehilangan arah walaupun semakin bertambah ruas ruasnya
Kita kehilangan telinga walaupun hidup manusianya
Ya, kita kehilangan. Kehilangan hal yang bahkan belum pernah kita pikirkan. Kehilangan hal yang bahkan belum pernah kita hadirkan.
Namun, lain dari itu semua, hari ini cukup menghibur. Terima kasih Cantigi dan Yangfana, aku mendengarkan kejujuran pada doremifasolasi.
0 notes
Text
Bahagia kecil kecil.
Sore ini dibagian utara Yogyakarta, disebuah warung kopi khas Madura aku duduk diantara kursi kursi kayu dan lampu kuning berjejer. Kopi susu panas yang baru saja kupesan belum turun suhunya, namun rokok yang kuhisap sedikit lagi habis dimulut asbak.
Kali ini tak seperti biasanya. Lamunku berjalan mundur menuju hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun ke belakang. Merangkum segala hal yang luka dan bahagia. Seperti tidak mungkin ketika melihat besaran dan jumlah rasa sakit sebanyak ini. Tapi tak ada yang tak mungkin di alam semesta. Buktinya aku masih disini berdiri saat kau membaca tulisan ini. Kumulai dari rasa sakit dan lukanya. Mungkin aku bukanlah satu satunya orang yang memiliki sakit dan luka luar biasa dimuka bumi, tapi aku adalah salah satunya yang diberikan kebesaran hati untuk menerima itu. Kehilangan diriku sendiri, kehilangan harapan, kehilangan teman, kehilangan hal berharga, kehilangan cinta, dan banyak kehilangan kehilangan lain. Kalau lah luka ini berbentuk nyata, punggungku penuh sampai tak ada lagi celah jika menambah luka atau sakit baru, air mataku yang tadinya berlimpah menjadi kering, badanku yang tadinya kuat kini melemah.
Namun pada bagian ini keseruannya, disela sela rasa sakit yang tidak sudah dan tidak pernah kering, aku mencuri sedikit bahagia. Pada potongan yang kecil kecil. Ini selalu saja kulakukan dan menjadi kecanduan. Kecil kecil, sedikit demi sedikit untuk memenuhi ruang pada masa depan. Semakin aku dapat hal tidak menyenangkan maka aku akan mencuri potongan bahagianya. Walaupun kecil, walaupun sedikit. Akan kutuai nanti, dimasa yang akan datang. Saat itu bahagiaku akan memenuhi segala ruang, segala yang dulunya tidak pernah terang.
0 notes
Text
Bapak
Seingatku, sependek aku menulis perihal orang tua, bapak adalah yang paling sering kutulis dan kumuat dalam tulisan tulisan. Entah kenapa ada banyak sekali dari beliau yang membuatku sedih. Sebagai sesama lelaki, kesedihan yang disimpannya malah semakin terlihat jelas oleh mataku dan perasaanku.
Tak ada yang aneh antara aku dan bapak sebenarnya. Kami akrab dan baik baik saja. Masih sering ngobrol perihal kecil kecil ya walaupun itu basa basi memecah kikuk setelah lama tidak ngobrol saja setiap aku pulang. Bapak sudah melewati banyak hal pelik juga sakit. Gagalnya acap kali sering kulihat. Sebagai anak, aku tau posisiku karena beberapa kegagalannya semakin sempit. Bahkan bukan cuma aku, kakak, mama pun ikut dalam arusnya. Aku selalu bingung di mana letak salahnya semua ini, aku terus mencari jawabannya, dan semakin dicari semakin pula aku tidak menemukan jawaban apa apa. Maka kubiarkan ini mengalir dan berlama lama didalam hidup.
Beberapa hari lalu, aku mendengar kabar bapak sedang sakit. Kakak yang beri kabar, katanya penyakit bapak kambuh. Penyakit yang aku baru tahu satu tahun kebelakang. Rapi sekali dia menyimpan sakitnya, rapi sekali dia menutup rapat mulutnya untuk mengeluh sakit. Begitu yang kami tau, bapak selalu tampak sehat.
Saat ini bapak sudah masuk diusia senjanya. Usia di mana badannya semakin lemah dan tingkahnya kembali menjadi anak kecil. Dalam hati saya bilang waktu mudik lebaran kemarin "Pak, sudahlah, kami sudah memaafkan. Kami sudah lapang dada menerima ini semua. Bapak harus tegakkan kepala itu lagi." Sebenarnya aku ingin sekali menyampaikannya secara langsung, cuma aku begitu takut untuk menangis didepannya. Aku begitu takut malah melukai perasaaanya.
Tapi memang begitu seharusnya, pak. Bapak tidak perlu lagi memikirkan banyak hal. Kita sudah melewati ini jauh. Dan tak terasa sudah tiga belas tahun kita dalam keadaan ini. Kami, khususnya aku sudah memaafkan. Aku sudah menerima dengan lapang. Kembalilah tersenyum, aku ingin melihatnya lebih lama lagi.
youtube
1 note · View note
Text
Seribu kilometer kurang lebih
Tahun ini, genap sepuluh tahun aku keluar dari rumah untuk melanjutkan pendidikan ke kota orang. Kali ini aku tidak membahas bagaimana sudut pandangku sebagai perantau yang keluar dari rumah. Pada tulisan ini, aku ingin melihat sudut pandang dari perempuan paling cantik dimuka bumi, yaitu Ibu.
Mungkin, sejak aku kecil Mama tidak pernah membayangkan anak terakhir dan laki laki satunya harus keluar dari rumah untuk melanjutkan pendidikan. Ia juga mungkin tidak pernah membayangkan betapa sepinya hari hari setelah aku pergi. Biasanya Ia masuk kekamarku untuk sekedar melihat anaknya, atau menyuruhku makan. Atau hal yang biasa kami lakukan adalah ngobrol santai saat makan siang.
Apa perasaan Mama waktu itu? Hancurkah hatimu harus melepasku pergi? Ikhlaskah kau melihat punggungku berjalan menjauh dari pandanganmu? Sebelum aku berangkat mama berpesan agar aku sekolah dengan baik, karena keterbatasan banyak hal semua harus berjalan tepat waktu. Meskipun nyatanya tidak, kurang lebih tujuh tahun akhirnya aku baru bisa menyelesaikan pendidikan itu.
Selain berat, tidak rela, dan sulit mengikhlaskan aku pergi, aku yakin sekali ini berat untuknya dalam urusan pembiayaan, dalam kondisi sedang hancur mama mati matian mencari, berusaha lebih keras, mengencangkan ikat pinggang agar dirumah tetap makan, aku pun bisa makan. Aku yakin sekali, diusianya yang tak muda itu ini menjadi lebih berat sekali. Berat yang dikali dua bahkan tiga. Tak jarang dalam telepon kami berdua sesunggukan menangis karena ada hal yang tidak bisa dicari solusinya. Atau biasanya tak jarang pula kami merasakan lapar yang sama tetapi tak bisa berbuat apa apa. Dalam hal ini cukuplah kami saja yang tau beratnya. Namun dilain posisi teman teman tidaklah percaya aku setangguh dan seceria ini tidak memiliki beban dan masalah. Mereka menanggap aku adalah yang terceria, senyumku lebar dll. Padahal, jika diceritakan ini akan mengalirkan air matamu dipipi yang menempel makeup mahal itu.
Saat ini semua itu sudah lewat, mama sudah melonggarkan ikat pinggangnya sedikit. Sesekali kuberi Ia hadiah agar senyum dimukanya terus bisa kulihat. Terima kasih ya, Ma. Aku tau tak ada yang dapat kubalas, dan Mama pun tidak ingin dibalas. Seperti katamu; tugas kami memberikan pendidikan terbaik untuk anak entah dengan apa pun caranya.
0 notes
Text
Berlayar Jauh
Kita rakit perahu
Menuju laut biru
Walau tak tau badai apa yang menunggu
Kau dan aku menuju jauh,
Berlayar jauh
Melewati ombak tinggi
Matahari yang tak pernah menepi
Bertahanlah jalan tak selalu indah
Hidup tak melulu mudah
Tunggu, jangan menyerah
Jangan
Jalan tak selalu indah
Hidup tak melulu mudah
Jalan tak selalu indah
Hidup tak melulu mudah
0 notes
Text
Kita, sepakat
Kita sudah memutuskan
Agar semua dicukupkan
Perihal apa yang sudah dilakukan
Lupakan
Sepakat untuk membelakangi
Berjalan sendiri sendiri
Perihal apa yang sudah dilakukan
Pergi
Jika nanti sesuatu terjadi
Baik buruk yang kan dialami
Teruslah mendaki
Jangan pernah berhenti
Perihal apa yang sudah dilakukan
Perihal apa yang sudah dilakukan
Lupakan
Lupakan
Jika nanti sesuatu terjadi
Baik buruk yang kan dialami
Teruslah mendaki
Jangan pernah berhenti
0 notes
Text
Utarakan saja, katakan segera
Adakah hal lain yang ingin kau tanya
Tentang burung yang pulang
Atau tinggi gelombang
Matahari yang terang
Atau malam yang enggan ditentang
Utarakan saja, katakan segera
Sebab kita tak bisa memulai
Bila masih banyak tanda tanya
Utarakan saja, katakan segera
Sebab kita tak bisa memulai
Bila masih banyak tanda tanya
Semua perjalanan sia sia
Bila masih banyak tanda tanya
Semua perjalanan sia sia
Bila masih banyak tanda tanya
0 notes
Text
Ikhlas Aku untuk dimatikan
Hingga tetap kau lumpuhkan
Hingga tetap kau lumpuhkan
Tanpa rasa iba
Tanpa rasa iba
Jatuh, air mata
Rapuh, isi jiwa
Untuk menatap biru yang semakin dalam
Untuk melihat hitam yang semakin terang
Kau tetap lumpuhkan
Hati yang terikat
Dalam ruang yang kau sebut cinta
Tetap kau lumpuhkan
Terus kau lakukan
Hilang rasa kasihan
Hilang rasa kasihan
Tetap kau lumpuhkan
Terus kau lakukan
Ikhlah aku untuk dimatikan
1 note · View note