the-forgottensaint
the-forgottensaint
Anatomy of the Forgotten Saint
3 posts
somewhere between arrhythmia and amnesia.
Don't wanna be here? Send us removal request.
the-forgottensaint · 1 month ago
Text
Tumblr media
Tinta itu masih basah. Ia menulisnya dengan pulpen hitam yang diambil diam-diam dari ruang jaga. Kertasnya, lembaran hasil EKG yang tak terpakai. Ada garis-garis tipis berbentuk denyut—simbol kehidupan—dan di atasnya, Naeva menuliskan kematian.
Tubuh manusia hanya mengenal dua bentuk kasih: keabadian, atau kehancuran. Sayangnya, aku terlatih dalam yang kedua.
Osvani melipat kertas itu seperti orang menyembunyikan racun dalam permen manis. Ia selipkan ke dalam buku referensi kardiologi—di antara bab “Fisiologi Jantung” dan “Komplikasi Pasca-Stent.”
Ia kembali ke apartemennya saat langit Jakarta berganti warna seperti memar. Elias sudah pergi. Tapi sepatunya masih ada. Wangi tubuhnya masih tertinggal di kasur. Dan sesuatu dalam dirinya… belum tenang.
Ia duduk di lantai. Bukan karena lelah, tapi karena gravitasi kini seolah lebih keras menariknya. Tangannya meraih kotak kayu kecil dari bawah sofa—tempat ia menyimpan catatan yang tak pernah diketik. Semuanya tulisan tangan. Dan semuanya, suara-suara dari Naeva.
Halaman pertama adalah puisi. Halaman kedua adalah diagram. Jantung manusia digambar ulang, tapi dengan struktur lain—urat diganti serabut arteri hewan, katup diganti jaringan milik babi, bahkan ada catatan tentang pemanfaatan cynomolgus monkey untuk eksperimen kompatibilitas.
Dan di ujung halaman tertulis:
Kita menyebut mereka donor. Tapi siapa yang lebih cocok memberi hidup? Mereka yang tak pernah berdoa, atau yang tak pernah berdosa?
Tangan Osvani gemetar. Ia tahu jurnal itu tak boleh ada. Tapi di saat yang sama, ia tahu: itulah satu-satunya tempat ia merasa jujur. Tak ada diagnosis. Tak ada guideline. Hanya hasrat yang dibiarkan tumbuh seperti tumor dalam ruang tersembunyi.
Suara itu muncul lagi. Kali ini tidak halus. Tidak seperti bisikan.
Kau sudah merasakannya tadi pagi, bukan? Ketika kau memegang jantungnya. Itu bukan operasi… itu ibadah. Dan aku imamnya.
Osvani berdiri. Napasnya pendek. Ia membuka kulkas, mencari air, atau sesuatu untuk menghentikan gejolak itu. Tapi yang ia temukan hanya botol kosong dan sisa pizza basi.
Tangannya gemetar. Ia membuka laci. Botol Lamotrigine masih di sana. Penuh.
Jangan minum itu hari ini. Aku belum selesai berbicara.
Dan untuk alasan yang tidak bisa ia jelaskan, ia menurut. Ia menutup laci.
Langit sudah gelap sepenuhnya. Di luar, kota bergemuruh dalam lampu dan kebisingan. Tapi di dalam kamar, hanya ada dua makhluk: tubuh yang lelah, dan suara yang bangkit.
Ia menulis lagi.
Jangan anggap aku gila. Aku hanya menyusun cara baru untuk mencintai manusia: bukan dengan menyelamatkan mereka… tapi dengan menggantinya.
0 notes
the-forgottensaint · 1 month ago
Text
Tumblr media
Tubuhnya terasa hangat, bukan karena cinta, tapi karena rutinitas yang telah ia hafal seperti pola EKG. Osvani duduk di atas ranjang, membiarkan ujung jarinya menyusuri garis rahang Dr. Elias yang masih setengah tertidur. Cahaya dini hari menyusup lewat kisi jendela, menggoreskan bayangan luka di dinding putih apartemennya.
“Ini akan jadi pagi yang panjang,” gumam Elias, masih dengan suara serak.
Osvani tidak menjawab. Ia hanya menatap langit-langit seolah sedang menghitung berapa kali ia harus mengulang kesalahan ini untuk bisa merasa hidup. Tangannya bergerak pelan, menyapu rambutnya ke belakang, lalu meraih botol kecil di atas meja.
Lamotrigine.
Ia membuka tutupnya. Menatap pil di telapak tangannya seperti menatap bekas doa yang tak pernah terkabul. Tapi tidak hari ini. Hari ini, ia ingin mendengar mereka.
Pil itu diletakkan kembali, tak disentuh.
“Van,” suara Elias memanggil, lembut. “Kamu tahu, aku bisa saja jatuh cinta.”
“Aku tidak,” jawabnya tanpa menoleh.
“Kenapa kamu terus lakukan ini, kalau tidak ada rasa?”
“Karena aku harus menyalakan tubuhku sebelum aku menyentuh jantung orang lain.”
Dan seperti itu, ritual selesai. Ia mandi, mengenakan seragam, dan melangkah keluar—meninggalkan Elias dan sisa malam yang tak pernah dimaksudkan untuk dikenang.
Jalan menuju rumah sakit masih senyap. Jakarta belum terbangun, tapi di dalam dirinya, sesuatu sudah bergeliat. Suara-suara. Bukan bisikan… lebih seperti desakan dari balik kulit.
Kau tahu dia akan mati juga, bukan?
Kau cuma menunda ajal. Bukan menyembuhkan.
Kenapa tidak kau berikan yang lebih baik? Yang abadi?
Langkahnya mantap memasuki Cath Lab. Tim sudah bersiap, pasien sudah diintubasi, tekanan darah dijaga dengan norepinefrin, dan monitor memekik pelan.
“ST elevation di anterior, LAD sepertinya culprit-nya,” kata salah satu residen.
Osvani mengangguk. “Kita lakukan angiografi. Masuk lewat femoral. Siapkan stent ukuran 2.75x18 mm.”
Semuanya berjalan seperti biasa—seperti tarian yang sudah ia kuasai ribuan kali. Guide wire masuk. Kontras disuntikkan. Arteri tampak tersumbat.
Suara dalam dirinya kembali, kali ini lebih jelas.
Kau lihat penyumbatannya? Itu kelemahan manusia.
Darah. Lemak. Lemah.
Aku bisa tunjukkan padamu sesuatu yang lebih kuat.
“Predilatasi dulu, balon. Tekanan sepuluh atmosfer,” katanya pada perawat.
Tangan kirinya sedikit gemetar. Entah karena kafein… atau karena Naeva mulai mendekat.
Naeva.
Nama itu tak pernah diucapkan, tapi selalu hadir.
Bayangan dirinya yang lebih tajam, lebih jujur. Tanpa moral, tanpa ragu.
Kau bahkan tidak mencinta pekerjaanmu, Van.
Kau hanya mencandu kekuasaan memegang hidup seseorang.
Stent dipasang. Aliran darah kembali. Tim bersorak kecil, lega.
“Kita berhasil,” kata residen.
Osvani menatap monitor. “Belum tentu. Kembali perfusi bukan berarti kembali hidup.”
Mereka tak mengerti apa maksudnya. Dan itu lebih baik.
Saat semuanya selesai, dan pasien dikembalikan ke ICU, ia melepas sarung tangan dan berjalan keluar tanpa sepatah kata pun. Langit mulai cerah, tapi kepalanya redup. Suara-suara belum pergi.
Di ruang istirahat, Elias sudah menunggunya, entah bagaimana caranya tahu di mana harus muncul.
“Aku bawa kopi. Yang kamu suka.”
Ia menatap gelas itu sebentar, lalu berkata: “Tinggalkan saja. Dan ikut aku.”
Kamar kecil di sudut wing dokter jadi saksi berikutnya. Mereka melakukannya lagi—tanpa cumbuan, tanpa kelembutan. Gerakan tubuh, gesekan kulit, hanyalah cara mengusir gema yang terus melolong dari dalam dirinya.
Kau pikir ini akan membuatku diam?
Kau pikir orgasme bisa membungkam dewa?
Kau milikku, Van. Aku yang akan menyentuh jantung berikutnya.
Setelah semuanya usai, Elias mengangkat kepalanya dari bahunya. “Apa kamu baik-baik saja?”
Osvani hanya menatap langit-langit.
“Aku tidak kelelahan,” bisiknya.
“Aku hanya sedang tumbuh tanduk.”
0 notes
the-forgottensaint · 1 month ago
Text
Tumblr media
the body was never heaven's. it is an altar abandoned long ago. i did not desecrate it—  i merely gave it a new god to kneel to.
THE FIRST CHAPEL: WARNING.
Akun ini bukan jendela menuju dunia nyata siapa pun. Tidak ada artis, tidak ada tokoh sungguhan yang tersangkut di antara kata-kata ini. Semua hanya bayangan—diciptakan untuk menulis, untuk bermain peran, untuk menyelami sisi gelap dan terang manusia.
Tokoh dan peristiwa dalam cerita ini hanyalah fiksi. Jika ada yang terasa akrab—nama, tempat, bahasa, luka, atau dendam—itu bukan karena disengaja. Dunia nyata kadang memang mencerminkan imajinasi dengan cara yang tak terduga.
Setiap gambar, potongan video, atau visual lain yang tampil di sini adalah milik para pemilik aslinya. Aku hanya meminjamnya untuk memberi wajah pada kata. Sumber akan disebut, karena tiap ciptaan pantas mendapat pengakuan.
Aku percaya inspirasi datang dari mana saja—angin, trauma, atau detak jantung yang tak stabil. Tapi jangan pernah menyamakan inspirasi dengan pencurian. Cerita ini ditulis dengan jiwa, bukan untuk dijiplak tanpa nurani.
Untuk sesama pemain dunia ini: jangan kendalikan tokohku tanpa izin, dan jangan berjalan melampaui batas nalar cerita. Aku tidak diam jika kau memaksakan kehendakmu.
Dan satu hal lagi—cerita ini membawa beban. Tentang istilah medis yang rumit, jiwa-jiwa yang remuk oleh gangguan mental, juga percobaan terhadap tubuh manusia yang tak semua orang bisa terima. Jika kau tetap memilih membaca, berjalanlah dengan hati yang siap.
Tumblr media
Nama Lengkap: Dr. Osvani Tirayana, SpJP(K), FIHA, FESC
Tempat & Tanggal Lahir: Yogyakarta, 7 November 1986
Usia: 38 tahun (per 2024)
Jenis Kelamin: Perempuan
Kebangsaan: Indonesia
Pekerjaan: Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, Konsultan Aritmia dan Gagal Jantung. Peneliti Independen (nonresmi).
 Tempat Bekerja: Rumah Sakit Sentral Perdana (RSPP) – Jakarta Selatan. Merupakan salah satu rumah sakit swasta paling prestisius dengan program riset terselubung.
Riwayat Pendidikan
S1 & Profesi Kedokteran: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (2005–2011)
Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah: RS Jantung Harapan Kita – Jakarta (2012–2016)
Fellowship Internasional: Cardiac Electrophysiology & Advanced Heart Failure, Institut de Cardiologie Clinique de Lyon (ICCL), Prancis (2017–2019)
Pelatihan Eksperimen Transplantasi Organ Interspecies (nonresmi): Lab bawah tanah di Zurich—berafiliasi dengan jaringan ilmuwan ilegal
Gelar & Keanggotaan
SpJP(K): Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Konsultan
FIHA: Fellow of Indonesian Heart Association
FESC: Fellow of the European Society of Cardiology
ICRA: International Consortium of Radical Anatomy – Naeva’s secret society
Kondisi Psikologis
Diagnosis: Bipolar Tipe I (didiagnosis usia 27)
Pengobatan:
Lamotrigine 100 mg – mood stabilizer
Quetiapine (untuk tidur & antipsikotik ringan)
Lorazepam (jika serangan panik berat)
Gejala utama:
Mania disertai dorongan penciptaan ekstrem.
Halusinasi suara internal → personifikasi: Naeva
Alter Ego – Naeva
Nama Lengkap (fiksi internal): Naeva Elira
Karakteristik:
Visioner, tanpa batas moral.
Menganggap tubuh manusia adalah “media transisi”.
Percaya bahwa Osvani adalah instrumen evolusi spesies baru.
Kemunculan: Saat obat tidak diminum, atau saat tubuh Osvani kelelahan ekstrem.
Tujuan: Membuktikan bahwa organ binatang bisa menggantikan organ manusia demi kelangsungan umat yang ‘dipilih’.
0 notes