Text
11.01
It’s 11.01 PM here and I’m still awake, looking at myself, thinking about lots of things. A year ago, I was sleeping somewhere there doing my KKN-life, meeting new people, new struggle, new challenges, and here I am, right now, graduated and looking for some jobs. Time flies so fast, leaving behind memories but dreams never fade.
2019 is something for me that I went through lots of struggle, tears, and happiness at the same time. It happens to all of us. Sometimes we laugh, sometimes we cry, we expect things and get hurt, that’s okay. They even let the loneliness you’ve hid within stay for a brief moment. When the soft wind blows, open up your heart, and the day will pass. That’s okay, because each of us have their own rhythm of suffering.
I’m an overthinking. I overthink everything. Whether it’s something in the past, present, even future. After climbing up over those high hurdles and been on my toes my whole life, what’s asked of me is always for me to reach a bit higher than my already outstretched hands. The world’s standards are soaring towards Everest. As I get closer to the peak, all I have is a mountain of stress. I somehow feel, I know I can never rest. As I grew older, I became more afraid. As I’m looking back, all I see is long rows of expectations. Pretending to support me, they push me from behind. I’ve wanted to give my heart a break one day, but it’s become entangled within the numbers. The world puts out a calculated hand that I don’t want to hold onto it, but I’m more afraid of having nothing in my hands. Is time really the only thing that keeps moving, even when you hold onto it? I bite my tongue and stay up all night, it’s now clear why the first thing they teach when you’re young is how to line up. Complex interpersonal relationships - a paradox in itself. There are only relationships and no place for humans.
From the moment we’re born, we walk towards death. The world only accelerates it. They only teach how to succeed towards wealth and compete against others. I just want to hide under the blankets and look on since the world behind that door is darker than the night.
“Been filling up my glass with my worries all night long They tread on the early morning air, as if they have nowhere to go”
0 notes
Text
Fear.
When I turned around, I saw that I came farther than I thought. I was alone and I suddenly got afraid when I saw myself. I didn’t know I was exhausted.
"You’re doing a good job", when I get confused, I tell myself that and just go. "Be yourself, know yourself", I practiced about several thousand times. Being in despair once or twice is okay for me now. Opportunities are always ways to get up from moments of crisis.
Don’t stop, there’s still a lot to do. Look at the photo of your parents who looks after you. You’re the mirror to your younger siblings, you’re the star of your family. Only when you cut back on your sleep, they can sleep peacefully. Be strong, I know you’re tired, but you need to get through it. Stop crying and take responsibility once more.
When I didn’t wanna see anything, the reason I forced my eyes to open wide is because I was just scared. It’s because I was suddenly scared. When I didn’t wanna say anything, the reason I raised my voice, there is no other reason, it’s because I’m afraid.
I used to say this like a habit, that I always believe in myself, that I have no worthy opponent. But then I realized that enemy was in my mirror. Maybe I lost my main reason in this continued fight. Mom, if you’re looking at me, tell me the answer. Seems like I'm too young and soft to become an adult. I still don’t know how. It hurts too much to just crash into things. Now I know, it’s too late to foolishly whip that there are still too many unhealed wounds.
0 notes
Text
Me and 2017
2017 has taught me anything. I can say that, at this year, I learned a lot. Literally, a lot.

Waktu itu cepat, ya. Sampai kadang kita dibuat tidak sadar, tiba-tiba ganti tahun, deh. Hehe. Gue sangat berterima kasih sama orang-orang yang gue temui di tahun 2017 ini, entah lewat kepanitiaan, organisasi, atau temen lama yang ketemu lagi, bahkan orang-orang lewat, bapak ojek online, dan pedagang atau mas mbak yang pernah gue beli barang atau jasanya.
Bisa dikatakan, 2017 menjadi tahun yang paling banyak up & down nya. I got accepted on 4 international conferences, but I cancelled all of them. Loh kenapa? Izin orang tua, bentrok uas, dan banyak faktor lain yang mengharuskan gue mengurung mimpi gue dulu. Even sempet didanai oleh ditmawa, dan gue harus bilang ke mbak-mbaknya kalau gue mengundurkan diri. It hurts a lot, serius. Waktu itu gue bareng sama Yogie, IPB 2016, dia juga ngecancel karena satu hal yang sama. Pada akhirnya gue agak nangis (ya ga nangis kejer banget) di depan rektorat, ya gimana ga sedih, uangnya udah tinggal nunggu cair aja padahal. Tapi gapapa, dari sini gue belajar ikhlas, mungkin emang belum waktunya, atau mungkin emang gue disuruh belajar lagi biar nanti gak malu-maluin Indonesia hehehehe.

Selain conferences,di 2017 gue juga diterima beasiswa Goodwill International (Btw gue sudah menceritakan my ups and downs daftar beasiswa ini haha). Salah satu yang gue suka dari beasiswa ini adalah they always have leadership training once a month dan itu bener-bener mengembangkan softskill dan cara berpikir, serta link gue. Trainingnya selalu diadain di UI, jadi kalo kalian sering liat instastory gue lagi di UI, ya lagi training Goodwill hehe.

Selain training, sponsor gue Australia and New Zealand Association (ANZA) juga mengadakan project, yang gue pernah dikirim sebagai perwakilan ANZA. Salah satu projectnya adalah kita mengunjungi rumah singgah anak-anak yang kena drug abuse, dan itu benar-benar membuka cara pandang gue tentang kehidupan. Kadang kita suka sibuk sama dunia kampus, sama politik kampus, atau bahkan sama gosip kampus, sampai kita lupa, bahwa suatu saat kita bakal ninggalin kampus dan masuk ke dunia yang sebenarnya, dan mirisnya, saking sibuknya bermain di lingkup kampus, kita sampai minim pengetahuan tentang dunia luar, atau orang-orang diluar lingkaran kita. Hmm...

By the waaay, di 2017 juga gue menemukan tim yang cuco meong. We won 3rd place on National Business Plan Competition which is amazing karena itu baru debut kita ibaratnya HEHEHE. We also have other 2 projects to launch -hopefully- in 2018, jadi tunggu saja ya kabar-kabar dari project kami yang inshaAllah berguna bagi banyak orang. Aamin.

Untuk organisasi, di 2017 juga gue bergabung di BEM FEM, tepatnya di PSDM. Bisa dibilang, PSDM memberikan rasa nano-nano bagi kehidupan kampus gue. Ada asiknya, ada lucunya, ada nyebelinnya, sampe ada drama-dramanya. But, I wanna say thanks to my psdm partners because eventho there were too many ups and downs dan bisa dikatakan perjalanan kita ga semulus yang diharapkan, you guys still gave me lots of things to learn dan kalian selalu punya tempat kok dihatiku, ea. Terima kasih satu tahunnya PSDM.

Hiruk pikuk kepanitiaan pun gue rasakan di 2017, I joined Agrisymphony as treasurer dan bisa dibilang kepanitiaan satu ini emang agak ‘edan’ yet so fun. Jadi 2017 merupakan tahun kedua gue di AGSN -sebelumnya di 2016 gue dipercaya sebagai ketua live painting-,dan bisa dibilang kalau di tahun kedua ini bener-bener mengajarkan gue tentang manajemen stress, mengatur emosi, mengatur waktu, mengatur kesehatan (karena gue sempet tidur di audit 2-3 hari -atau lebih ya-), ditambah lagi sempet bentrok dengan MPD jurusan, dan pas hari H bentrok dengan training beasiswa, that was so hectic tbh. Tapi jujur, di AGSN ini gue merasa bener-bener berkembang, banyak hal yang gue tadinya gabisa atau gatau, jadi bisa dan tau. Special thanks to Mas Ari, Mbak Dewi, dan panitia AGSN yang sudah mau sabar menghadapi kepolosan (bukan polos sih sebenernya, lebih ke lemot kali ya, atau oon...) gue hehehehehehe. Bisa dikatakan di AGSN gue merasakan kerjaan gue bener-bener dinikmati banyak orang, dan rasa capek gue hilang pas gue liat ibu-ibu lagi senyum ngeliat anaknya yang teriak-teriak bahagia lagi naik bianglala, si Ibu pun akhirnya juga senyum ke gue, disitu gue bener-bener merasakan capek gue hilang sehilang-hilangnya. Thank u AGSN for the memories!

Selain AGSN, gue juga ikut kepanitiaan Hipotex-R, daaaaan yang satu ini agak gila sih, hari H nya bentrok dengan lomba gue, jadi hari H pertama gue izin lomba, dan dateng pas hari H kedua. Untungnya gue disana sebagai PDT, dan bagian gue adalah bagian media partner, which is sudah selesai di pra acara, jadi pas hari H, gue hanya bertugas jadi dokumentasi aja HEHE. Karena running Hipotex-R ini barengan sama AGSN -bahkan HIPOTEX cuma selang seminggu AGSN- jadi gue bener-bener belajar ngatur waktu dan tugas, di satu sisi gue harus ngerjain SPJ dan keuangan AGSN, di satu sisi gue harus ngecontact media partner sebanyak-banyaknya, dan disisi lain gue harus menyelesaikan lomba gue, serta tugas gue di PSDM. Hectic sih, tapi ya jalanin aja....................... dan tanggung jawab.

Pada penghujung 2017, ada lagi satu urusan yang membuat gue bener-bener look like zombie kali ya. Jadi, gue ngide daftar mapres (mahasiswa berprestasi) departemen, kenapa? karena gue inget pas TPB, mama pernah liat poster mapres dan she really wants me to become one of them, so yea, I fight for her dream. Seleksi mapres ini bener-bener mengajarkan gue kerja dibawah tekanan, cepat, tepat, dan mengatur stress. Meskipun pada akhirnya gue gak juara di seleksi fakultas (congratulation to Irsyad and Dadan, since I know them personally, I’m so happy for them andddd I know that they’re beyond amazing since the beginning, so fight for FEM ya you two! hehe), tapi gue sudah bahagia bisa merepresentasikan IE di ajang Fakultas. Thank u IE!

Last but not least, please welcome my new family! So I decided to join HIPOTESA 2017/2018. Kok HIPOTESA ghin? Jadi gini, gue sebenernya sudah daftar PSDM BEM KM, tapi setelah itu, ketua HIPOTESA, Bilfan, dateng dan menjelaskan bahwa HIPOTESA butuh kerja gue -intinya seperti itu-, dengan pertimbangan selama dua hari satu malam, akhirnya gue mengiyakan tawaran Bilfan. Ketika rumahmu jelas membutuhkanmu, dan kamu pun tahu kalau rumahmu butuh perubahan, kenapa kamu harus sibuk membenahi sesuatu diluar sana?

So, this is us, Research and Development 2017/2018. Dengan menjadi kadiv, gue belajar menjadi ibu, teman, sahabat, kakak buat mereka, and I know it will improve myself a lot. Please wish us luck! :)
Terima kasih 2017 sudah mengajarkanku banyak hal. Welcome 2018, can’t wait to see the new challenges and experiences there!
0 notes
Text
Fight for what’s worth fighting for.
“People are strange: They are constantly angered by trivial things, but on a major matter like totally wasting their lives, they hardly seem to notice.”— Charles Bukowski
Hidup itu pilihan, termasuk didalamnya memilih apa atau siapa saja yang pantas untuk kamu perjuangkan.
Menginjak tahun ketiga dunia perkuliahan membuka pandangan saya akan banyak hal, mulai dari self-development, passion, pertemanan, kehidupan pasca kampus, bahkan percintaan. Perlahan-lahan pun saya sadar tentang apa yang harus saya perjuangkan.
Hal pertama yang harus saya perjuangkan adalah keluarga saya. Sebagai anak pertama dengan dua adik yang masih kecil, saya jelas harus memberi contoh terbaik bagi mereka. Selain itu, mengingat umur Ayah dan Ibu saya yang semakin menua, saya jelas memegang peran penting bagi masa depan kedua adik saya nantinya. Karena salah satu tujuan hidup saya adalah membahagiakan keluarga saya, baik itu keluarga inti ataupun keluarga besar. Termasuk orang-orang yang pernah berjasa besar bagi saya, tukang ojek langganan saya misalnya. Dari sini jelas, bahwa saya harus memperjuangkan keluarga saya.
Cara agar saya bisa membahagiakan orang tua saya adalah dengan memperjuangkan masa depan saya. Ibaratnya, bagaimana saya bisa membahagiakan kedua orang saya kalo kelak saya justru menyusahkan mereka? -jangan sampe, deh- Salah satu caranya adalah dengan perbaikan bidang akademik saya. Ah, klasik lo ghin. Well, terserah mau dibilang apa, tapi bukannya indeks prestasi menjadi salah satu syarat administrasi/berkas di dunia kerja nantinya, kan? Kalau seleksi berkas saja gak lolos, gimana mau lanjut ke tahap selanjutnya? Selain itu, perbaikan nilai akademik juga saya peruntukan bagi kedua orang tua saya. Kuliah juga tentang amanah, bukan? Dan saat memegang amanah itu, ada orang-orang yang harus dibahagiakan, bukan untuk dikecawakan. Tanggung jawab saya pun bertambah semenjak saya menjadi penerima beasiswa Goodwill International, yang itu berarti saya sudah tidak bisa main-main lagi dengan indeks prestasi saya, karena banyak yang saya harus pertanggungjawabkan. Disini jelas, saya memilih berjuang untuk memperbaki akademik saya, karena ini menyangkut amanah, dan masa depan saya.
Jatuhnya nilai saya di semester 4, membuat saya berpikir berulang kali tentang keberlanjutan organisasi saya. Saya bahkan sempat tidak berani memberitahu kedua orang tua saya tentang IP saya, karena saya merasa malu dengan diri saya sendiri, pun tidak mau mengecawakan mereka. Setelah pencarian jati diri, prinsip, dan sudut pandang, saya memutuskan untuk kembali ke rumah, mengabdi untuk himpunan jurusan saya sendiri. Selain karena memang himpunan jurusan membutuhkan saya, adanya project luar kampus yang saya pegang juga menjadi pertimbangan saya apabila saya memegang amanah yang lebih berat di organisasi lain, karena saya termasuk tim inti bahkan otak dari project tersebut. Bayangkan jika saya terlalu sibuk di organisasi dengan lingkup yang lebih besar, bisa-bisa project saya tidak terpegang, atau bahkan saya tidak amanah di organisasi tersebut. Saya pun memilih untuk berjuang untuk kedua hal diatas, himpunan, dan project.
Terkait percintaan, saya pun sempat ya sedikit lah klise-klisenya anak muda. Pada akhirnya saya pun memutuskan untuk kembali fokus pada goals saya. Masalah jodoh, toh sudah diatur. Yang saya percaya, ketika kita menjadi orang baik, sekalipun tidak menemukan orang baik, nantinya inshaAllah akan dipertemukan dengan orang baik. Jadi ya, gak usah dipusingin dulu deh. Untuk sekarang, saya rasa masalah cinta-cintaan belum menjadi urgensi utama saya, justru sejauh ini malah cuma jadi disruption bagi saya. Jadi untuk yang satu ini, perjuanginnya nanti-nanti aja deh. Toh, wanita baik hanya untuk laki-laki baik, kan? HEHEHEHEHE.
Ps. this article kinda related to my story so here it is.
https://www.elitedaily.com/life/7-things-that-are-worth-fighting-for-if-you-want-to-live-a-fulfilling-life/589120
0 notes
Text
Organisasi? Kepanitiaan?
Jatuhnya nilai semester 4 bikin gue bener-bener terpuruk like really really terpuruk, ga si ga terpuruk banget tapi gue masih ga berani bilang sama papa atau mama. Jatohnya nilai gue, bikin gue kembali mempertanyakan apa yang salah sama diri gue dan cara belajar gue selama ini. Mungkin ini juga sebuah teguran biar gue serius lagi. Salah satu pikiran gue cuma tertuju sama organisasi atau kepanitiaan yang gue jalanin sekarang. Is it really worth it or nah.
Gue kembali mempertanyakan mau gimana gue nantinya, lanjut apa ngga. Bingung sebingung-bingungnya. Tapi yang jelas gue harus menuntaskan amanah-amanah gue dulu. Sedikit terlintas untuk berhenti dari semua kegiataan organisasi ataupun kepanitiaan nanti, dan kembali les biola atau apapun yang gue rasakan imbasnya, tapi disi lain gue mikir, well at least dengan organisasi atau kepanitiaan, gue bisa membantu atau melayani banyak orang, ya gak banyak-banyak banget sih. Tapi jika dibandingkan dengan aktivitas yang hanya gue rasakan sendiri manfaatnya, memang menjalankan organisasi terlihat lebih keren. Gue bingung parah, di satu sisi gue nge-down lihat nilai semester 4 yang turun atau bisa dibilang jatuh.
Gue juga mikir, apa aja yang gue dapetin selama ini di organisasi atau kepanitiaan, dan banyak, banyak yang gue dapetin, ada positif dan negatif pastinya. Gue ngerasain kok banyak manfaat dari organisasi atau kepanitiaan, gue juga ngerasain gaenaknya. Huh, entahlah. Salah gue memang, tidak bisa membagi waktu dengan baik. Pulang tengah malem, bangun keisangan, di kelas juga tidur. Padahal kan mau ke kampus mau belajar, tapi di kelas malah tidur atau pikiran kemana-mana. Emang kesalahan sepenuhnya ada di gue, dan gue mencoba cari cara dengan salah satunya berpikir untuk tidak lanjut kegiatan diluar jam kuliah. Edan. But, on the other hand, organisasi ngasih gue banyak pelajaran. tapi ya ada sih di suatu tempat yang ya bisa dibilang, gue kurang nyaman atau kurang merasakan dampaknya, ya kalaupun gue berhenti ataupun ga ada juga kayaknya nothing to lose juga.
Well, bener deh, lingkungan kerja itu mempengaruhi, apapun itu, entah organisasi atau kepanitiaan. Termasuk mempengaruhi keputusan lo untuk lanjut atau enggak. Gue sedang merasakan kegalauan itu. Sepertinya, kalaupun lanjut, gue bakal mengurang-ngurangi lah ya kuantitasnya. Sudah cukup semester 4-5 gue saja yang dipenuhi amanah ini itu. Cukup, deh, inget orang tua di rumah haha. Kalaupun ga lanjut, ya paling gue isi dengan ikut atau gabung hal lain, atau fokus ke bisnis atau lomba kali, ya. Entahlah. Semoga beberapa bulan ke depan gue punya alasan kuat untuk lanjut ataupun berhenti sama sekali.
0 notes
Text
Lantas, kita yang mana?

Akhir-akhir ini berita tentang “full day school” sedang ramai dibicarakan. Salah satu sistem yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan, Bapak Muhadjir Effendy ini menuai banyak pro maupun kontra. Lantas, hal ini membuat saya berpikir, “pantaskah sistem tersebut diterapkan?”
Berbicara mengenai pendidikan, dua negara yang selalu menjadi perbincangan adalah Finlandia dan Korea Selatan. Disini saya akan membahas mengenai keduanya, namun cenderung lebih condong ke Korea Selatan, karena pembahasan mengenai sistem pendidikan di Finlandia sudah saya tulis beberapa waktu lalu.
Korea Selatan, negara yang kemerdekaannya hanya dua hari sebelum Indonesia. Ya, Korea Selatan merdeka pada 15 Agustus 1945 dari jajahan Jepang, dimana Jepang menyatakan penyerahan tanpa syarat pada waktu itu. Lantas, bagaimana keadaan Korea Selata sekarang? Samsung, K-pop, Samyang, LG, hingga K-Drama telah menjadi produk sehari-hari mayoritas masyarakat Indonesia. Korea Selatan pun selalu menjadi sorotan dunia tentang bagaimana cepatnya negara tersebut menjadi negara maju.
Lantas, apa hubungan dengan pendidikan?
Melesatnya Korea Selatan menjadi negara maju tidak lepas dari bagaimana sistem pendidikannya. Ketika Finlandia menerapkan sistem “the less is more”, Korea Selatan justru sebaliknya, mereka menetapkan sistem dimana pendidikan harus dikejar mati-matian, bahkan banyak siswanya yang pulang hingga larut malam, atau bahkan tidak pulang. Masyarakat Korea Selatan percaya bahwa dengan bekerja keras, mereka akan jadi pandai, dan tidak ada alasan untuk gagal. Mungkin memang banyak siswa Korea Selatan yang mengalami tekanan dalam belajar, itu sisi negatifnya. Namun, dari sisi positif, kita bisa menyimpulkan bahwa Korea Selatan mempunyai pola pikir untuk selalu bekerja keras, begitu pun dengan sistem pendidikannya, yang bahkan dampaknya sudah dirasakan dengan melesatnya negara gingseng itu menjadi negara maju. Ya, itu cara mereka. Sistem pendidikan yang diterapkan pastinya tidak terlepas dari budaya, pola pikir, dan kebiasaan masyarakatnya.
Finlandia pun sama, mereka telah menemukan caranya sendiri pada sistem pendidikannya. Jika Korea Selatan percaya bahwa kerja keras lah yang akan mengantarkan mereka pada titik pandai ataupun sukses, Finlandia punya caranya sendiri, dimana mereka percaya bahwa “the less is more”. Ya, itu cara mereka juga. Saya pun yakin bahwa sistem yang diterapkan juga tidak terlepas dari budaya, pola pikir, dan kebiasaan masyarakatnya. Terbukti dengan majunya sistem pendidikan negara yang merupakan rumah dari handphone Nokia tersebut.
Meskipun Korea Selatan dan Finlandia memiliki dua cara yang berbeda, namun keduanya telah membuktikan keberhasilan dari sistem pendidikan yang telah diterapkan, dimana kedua negara tersebut selalu menempati posisi teratas dalam negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Mungkin akan selalu ada pro dan kontra dalam menanggapi sistem pendidikan di kedua negara tadi, tapi nyatanya, mereka sudah membuktikan kok kalau cara mereka memang seperti itu dan bahkan berhasil menjadi kedua negara yang dipandang oleh dunia ketika berbicara tentang pendidikan.
Lantas, kita yang mana?
Menurut saya, Indonesia belum menemukan sistem/metode pendidikan yang tepat. Terbukti dengan masih seringnya kurikulum yang diganti, atau peraturan Ujian Nasional yang setiap tahunnya berubah, dan bahkan adanya pencanangan tentang ‘full day school” yang sekarang menjadi topik hangat di kalangan masyarakat. Belum adanya titik temu mengenai “harus seperti apa” sistem pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah maupun masyarakat. Intensitasi pergantian menteri khususnya Menteri Pendidikan yang tinggi, diikuti dengan program yang berbeda dari setiap menteri, membuat sistem pendidikan kita masih bingung harus dibawa kemana. Selain itu, pola pikir masyarakat yang masih mementingkan nilai juga berperan dalam permasalahan ini. Dimana, dengan pola pikir tersebut, anak justru akan lebih berorientasi pada nilai dibandingkan ilmu yang didapat. Selain itu, kemauan untuk berubah dari masyarakat pun kecil, dimana setiap ada kebijakan, pihak kontra selalu mendominasi. Wajar jika pemerintah pun bingung harus menerapkan yang seperti apa. Oleh karena itu, baik pemerintah maupun masyarakat haruslah berjalan sesama, menyadari betapa pentingnya pendidikan dalam memajukan bangsa.
Entah mau menerapkan sistem seperti Finlandia, Korea Selatan, atau sistem khas Indonesia sendiri, yang terpenting adalah sistem yang nantinya diterapkan haruslah sesuai dengan budaya, pola pikir, dan kebiasaan masyarakat. Korea Selatan berhasil menerapkan sistem seperti itu, karena memang rakyatnya percaya bahwa kerja keras dapat mengantarkan mereka menjadi pandai, dan pola pikir mereka mendukung itu. Sama halnya dengan Finlandia yang memilki caranya sendiri karena memang meskipun waktu di sekolah mereka sedikit atau bahkan pr yang diberikan pun jarang, masyarakatnya tetap fokus dalam menerima pelajaran, dan mereka tetap bertanggungjawab meskipun sekolah mereka terkesan santai. Oleh karena itu, alangkah lebih baik jika kita mengambil sisi positif dari keduanya dan menerapkannya dengan cara atau ciri khas Indonesia sendiri yang sesuai dengan budaya, pola pikir, dan kebiasaan masyarakat.
Lantas, saya kemudian berpikir, jika sistem pendidikan yang digunakan melihat pola pikir dan kebiasaan masyarakat, apakah dengan pola pikir dan kebiasaan masyarakat saat ini, Indonesia akan tetap maju?
-----Saya pun kembali berargumen dengan diri sendiri, haha------
Ya, itulah mengapa pentingnya pemerintah dan masyarakat berjalan beriringan, agar peruabahan pada wajah pendidikan di Indonesia bisa dirasakan. Jika pemerintah menyiapkan 1001 cara hebat, namun masyarakat masih terlalu nyaman pada comfort zone-nya, ya 1001 cara hebat tersebut juga tidak akan berjalan dengan baik. Begitu juga dengan pemerintah, jika masyarakat Indonesia sudah sadar dan menginginkan perubahan pada wajah pendidikan di Indonesia, namun tidak dibarengi dengan kebijakan yang sustain, hanya akan menimbulkan kebingungan tentang mau dibawa kemana pendidikan Indonesia. Oleh karena itu, perlunya sistem yang tepat, serta kesadaran dan kemauan masyarakat untuk berubah dapat mewujudkan pendidikan Indonesia yang lebih baik.
Karena, semua mimpi hebat untuk Indonesia tidak akan terwujud jika pemerintah dan masyarakat berjalan sendiri-sendiri.
0 notes
Text
Cahaya yang Tak Pernah Padam
Oke. Kali ini saya akan bercerita mengenai kasus Munir, sosok aktivis HAM yang sangat menginspirasi itu.

“Munir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1964 – meninggal di Jakarta di dalam pesawat jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 39 tahun) adalah seorang aktivis HAM Indonesia keturunan Arab-Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Saat menjabat Dewan Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.”
12 Tahun. 12 tahun lebih kematian Munir dan masih belum bisa diketahui siapa dalangnya. Bahkan, di berita terakhir mengenai Munir, dokumen TPF Munir justru hilang. Bagaimana bisa dokumen sepenting itu hilang? Ironisnya, mendiang Munir yang notabene sangat membela HAM masyarakat Indonesia pada saat itu harus menutup usianya dikarenakan racun arsenik yang sengaja diberikan kepadanya. Kasus Munir sendiri sebenarnya belum tuntas sampai akarnya, namun terkesan “dituntaskan”, bahkan dokumen TPF pun sampai hilang. Sampai saat ini, nama Pollycarpus yang sudah dipidana selama 20 tahun penjara itu yang disebut-sebut menjadi eksekutor pembunuhan Munir, tapi entah apakah beliau hanya eksekutor atau juga sebagai dalang? Tidak ada yang tau.
Kala itu, Munir sedang menuju ke Belanda, untuk melanjutkan sekolah disana, sementara istri dan kedua anaknya tinggal di Indonesia. Konon, sebelum Munir berangkat ke Belanda, Pollycarpus yang merupakan pilot itu tiba-tiba menjadi sering menghubungi Munir. Beberapa sumber yang saya baca mengatakan bahwa Munir dan Pollycarpus bertemu di pesawat, bahkan sempat bertukar tempat duduk (correct me if I’m wrong). Munir sempat memesan beberapa minuman di pesawat, sebelum akhirnya dia turun di Singapore untuk transit beberapa jam. Nah, konon, ada saksi yang melihat bahwa Munir kembali berbincang dengan Pollycarpus dan satu pria di salah satu kedai kopi sambil menunggu transit. Namun, setelah itu, Pollycarpus tidak melanjutkan perjalanan, sementara Munir kembali ke pesawat. Saat itu kru pesawat sudah berbeda dari yang sebelumnya, disitu Munir mulai merasa tidak enak badan, beliau pun sempat meminta teh hangat kepada pramugari. Setelah minum teh hangat, kondisi Munir tidak membaik, justru beliau semakin sering bolak-balik toilet. Akhirnya, Munir didapati telah meninggal di atas langit Rumania, tepat 2 jam sebelum ia mendarat di Belanda.
“Aku harus bersikap tenang, meskipun takut.
Membuat semua orang tidak takut” - Munir Said Thalib.
Kematian sosok pejuang HAM ini lantas menggegerkan masyarakat. Tidak terbayang bagaimana perasaan ibu Suciwati dan kedua anaknya ketika mendengar berita ini. Akhirnya, presiden SBY pun memutuskan untuk membuat Tim Pencari Fakta (TPF) untuk menelusuri kasus ini. Selang beberapa bulan, Institusi Belanda pun mengumumkan bahwa Munir meninggal akibat racun arsenik dalam tubuhnya. Itu artinya, penyebab kematiannya telah diketahui, namun, cara kematiannya bagaimana? Apakah bunuh diri? Tapi nyatanya, Munir ke Belanda dengan tujuan melanjutkan sekolah, masa iya bunuh diri? Apa keracunan makanan pesawat? Tapi nyatanya, yang tewas cuma beliau seorang. Atau ada rencana lain? Sampai saat ini belum ada jawaban.
Sampai saat ini, Pollycarpus lah yang diduga sebagai dalang dari kematian Munir, dan sudah dipidana selama 20 tahun penjara. Apakah ada oknum lain? Tidak ada yang mengetahuinya, Pollycarpus pun tidak memunculkan nama lain.
Ironinya, saat tahun lalu, ibu Suciwati memunculkan kembali kasus ini, ditemukan fakta bahwa dokumen dari TPF sudah hilang. Padahal beberapa orang telah mengatakan bahwa dokumen TPF sudah diserahkan kepada Presiden SBY pada kala itu. Semoga ibu Suciwati dan kedua anaknya selalu diberi ketabahan, dan semoga kasus ini akan menemukan titik terangnya suatu hari nanti.
“Aku sering diancam Juga teror mencekam Kerap ku disingkirkan Sampai di mana kapan?
Ku bisa tenggelam di lautan Aku bisa diracun di udara Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Aku bisa dibuat menderita Aku bisa dibuat tak bernyawa Di kursi listrikkan ataupun ditikam
Tapi aku tak pernah mati Tak akan berhenti.” - Efek Rumah Kaca, Di Udara.
Apa yang lebih ironi? Sedikitnya teman-teman saya yang mengetahui sosok Munir dan bagaimana perjuangannya membela HAM pada masanya. Bagaimana saya tahu? Waktu itu sempat ada film tentang Wiji Thukul, saya heboh ingin sekali menontonnya. Karena memang Wiji Thukul merupakan aktivis 98 yang juga hilang. Namun, mayoritas teman-teman saya baik teman kuliah ataupun sekolah, tidak mengetahui siapa Wiji Thukul. Kemudian saya mencoba menjelaskan bahwa sosok Wiji Thukul adalah aktivis yang hilang layaknya sosok Munir yang kasusnya belum rampung sampai sekarang. Namun nyatanya, teman-teman saya juga tidak mengetahui siapa sosok Munir pembela HAM itu. Saya hanya bisa tertegun saat itu mengetahui bahwa sosok Munir pun masih banyak yang tidak tahu, padahal perjuangannya membela HAM sangatlah dirasakan pada zamannya, bahkan saya masih inget, kok, ramai-ramainya berita Munir di media ketika saya masih kecil.
Meskipun semakin sedikit orang yang mengetahui sosok Munir dan aktivis-aktivis yang hilang layaknya Wiji Thukul, Marsinah, dan kurang lebih 11-12 aktivis lainnya, semoga kasus-kasus tersebut cepat terselesaikan. Mengingat kasus ini sudah memakan waktu yang lama, dan keluarga korban pun selalu menanti kejelasan. Semoga, masyarakat pun tidak lupa, bahwa merekalah pejuang-pejuang pemberani, yang bahkan harus rela mengorbankan nyawanya, meskipun tidak banyak orang yang akan terus mengenang jasa-jasanya, ataupun mengagumi sosoknya. Dimana, keadaan kita seperti sekarang, tidaklah terlepas dari keberanian, perjuangan, dan doa para pejuang hebat, seperti mereka.
if you’re interested to know more about this case, you can visit these pages:
https://books.google.co.id/books?id=g7puAwAAQBAJ&pg=PT61&lpg=PT61&dq=munir+bertemu+pollycarpus&source=bl&ots=YuKg4JwGf9&sig=enQYES3iXEr8nWyMBoEzNBeVpDY&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwj17K32loTVAhUDopQKHXKtDVYQ6AEIVjAF#v=onepage&q=munir%20bertemu%20pollycarpus&f=false (can someone tell me where i can buy this book? is it still available in Gramedia or not?)
https://katakamiredaksi.wordpress.com/2009/03/10/tulisan-suciwati-munir-cahaya-yang-tak-pernah-padam-2/
http://www.kompasiana.com/fachrulkhairuddin/kronik-kematian-munir_55006870a333117c6f510ef0
http://global.liputan6.com/read/2311041/7-9-2004-aktivis-ham-munir-meninggal-diracun-arsenik
0 notes
Text
thoughts.
Dalam Hadis Shahih Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخُلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ وَعَرْشُه عَلَى الْمَاء
“Allah telah menulis takdirnya makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan beberapa langit dan bumi. Dan, arys (singgasananya) Allah di atas air. “
Pagi ini grup organisasi gue ramai dengan pembahasannya soal cinta. Well, di umur yang akan menyentuh 20, gue belajar bahwa mencari pasangan di umur segini, bukan lagi tentang status pacaran atau konsep “dia cewe/cowo gue”. Berbicara soal cinta, di setiap cerita gue soal masa depan, gue hampir tidak pernah berbicara tentang kapan gue menikah, atau kriteria pasangan yang gue mau itu kayak apa. Ketika gue berbicara tentang mimpi, yang gue bicarakan hanya ya mimpi-mimpi gue yang lain.
I have my own concept about my love life. Menurut gue, ketika kita berbicara tentang pasangan hidup, tidak sesimpel kita berbicara tentang status atau kriteria. Ketika kita berbicara tentang pasangan, konsep yang gue pikirkan adalah orang yang mau dan saling mendukung mimpi-mimpi lo, orang yang bisa membuat lo lebih baik, orang yang selalu ada disaat susah senang lo, dan orang yang mau berjalan bersama. Gue bukan orang yang menargetkan pernikahan di umur sekian, ya meskipun gue juga gamau terlalu lama. Tapi menurut gue, pernikahan sendiri sudah merupakan panggung yang bisa dibilang menakutkan. Loh, kenapa? Ya, lo bakal hidup dengan pasangan lo seumur hidup, bangun ngeliat mukanya, mau tidur ngeliat mukanya lagi, lo harus bisa meredam ego, keputusan yang diambil pun bukan cuma semata-mata keputusan untuk kebahagiaan lo sendiri. Ini bukan hanya tentang 2 orang yang disatukan, lebih dari itu, ini adalah tentang bagaimana 2 keluarga disatukan. Pernikahan itu bukan tentang hubungan lo dengan pasangan lo aja, tapi juga hubungan dengan keluarga satu sama lain. Dan menurut gue, itu sebuah tahap kehidupan yang menakutkan.
Berbicara soal status, gue bukan orang yang harus punya status, I mean, gue tidak terlalu memusingkan status “pacaran” atau apa pun itu, justru gue kurang setuju dengan konsep itu, karena ya selain dilarang sama agama, pacaran juga merupakan suatu konsep yang ribet menurut gue. Dimana lo harus mengucapkan selamat pagi sama pasangan lo, harus menanyakan keadaan pasangan lo, harus ini itu, pokoknya menambah sebuah keharusan yang tidak perlu sebenernya. Gue bahkan suka heran dengan cowo-cowo yang selalu nanya “udah makan belum?” “kenapa belum tidur?” “udah mandi belum?” like seriously you just ask about something yang setiap manusia akan lakukan setiap harinya tanpa perlu dikasih tau. Itu menurut gue ya. Pernah ada salah satu cowo yang kayak gitu ke gue, dan jawaban gue cuma “berisik banget sih ini orang” HAHA. Gue lebih prefer sebuah hubungan yang tidak memusingkan, ya emang cewe butuh kejelasan, who doesnt? tapi gue kurang setuju dengan konsep pacaran itu sendiri. Gue lebih suka konsep dimana ketika gue dan seseorang saling tertarik satu sama lain, ya udah, kita saling menjagam mendukung, dan memperbaiki diri aja. Gue juga tidak terlalu suka ketika hubungan gue dengan seseorang yang belum tentu jadi jodoh gue diketahui oleh umum. Gue lebih suka dengan hubungan yang ya santai dan saling memahami kegiatan masing-masing. Menurut gue, ya suka suka lah nanti dia mau sibuk apa terserah, selama itu menjadikan dia lebih baik ya kenapa harus dipusingkan. Kadang ada temen yang suka becandain “Ghin, Aa’ kemana ghin?” (dulu sih, waktu masih ada, bukan pacar sih wkwk) ya paling gue cuma jawab “Gatau, biarin aja lagi sibuk dia sama organisasinya”. Selesai, gue ga mau memusingkan, karena gue pun punya kesibukan sendiri. Kadang gue heran sendiri sama cewe yang mau selalu dikabarin sama pasangannya. Okelah lo mungkin khawatir, tapi ya ga terus-terusan juga. Emang lo mau punya cowo yang ga ngapa-ngapain selain bales chat lo? Engga kan?
Gue pun ga begitu suka ketika hubungan gue diketahui banyak orang, ya cukup gue-dia, dan beberapa orang terdekat aja. Karena ya menurut gue, hal kayak gitu bukan untuk konsumsi banyak orang, dan ya bukannya lebih eksklusif ketika yang tau hanya beberapa orang HAHA. Jadi ya, ketika gue berbicara tentang mau bagaimana nanti, ya gue mau punya “teman” yang saling mendukung mimpi satu sama lain, membawa satu sama lain ke arah yang lebih baik, memahami satu sama lain, bisa saling bercanda juga, orang yang ya gak takut untuk mengingatkan/mengkritik gue ketika gue salah, dan yang terpenting adalah orang yang mau berjalan bersama.
Mungkin ketika lo memutuskan untuk tidak ada status, ya emang konsekuensinya adalah kadang lo gatau kejelasan hubungan itu sendiri. Tapi ya menurut gue, udah bukan waktunya lagi mementingkan itu, gue rasa semua bakal jelas, ketika komunikasi berjalan dengan lancar. Gak perlu proses yang ribet, ga perlu menambah sebuah keharusan yang tidak perlu. Cukup saling memantaskan diri aja, toh kalo jodoh ga bakal kemana mana ekekek.Lagian, bukannya wanita yang baik hanya untuk laki-laki yang baik juga, kan? Hehehe.
1 note
·
View note
Text
Hardwork betrays none.

“Work hard in silence, let your success your the noise”- Frank Ocean
Jadi, sekitar 2 minggu lalu, alhamdulillah gue mendapat pengumuman bahwa gue lolos beasiswa Goodwill. Some of you might think, lolos beasiswa, biasa aja. But, through that scholarship, I learned so many things. Jadi disini gue bakal menceritakan bagaimana susah payahnya gue dari sesi pendaftaran sampai lolos.
Sesi pendaftaran
Jadi waktu itu gue emang sering banget buka blog beasiswa ipb, dan waktu itu ada pengumuman bahwa beasiswa Goodwill buka pendaftaran. Sebelumnya, gue emang sangat hati-hati dalam memilih beasiswa karena gue gamau ambil hak teman-teman gue yang bisa dibilang jauh lebih membutuhkan dari gue. Kalo ada beberapa temen gue bilang, “Ghin kok lo ga daftar-daftar beasiswa? Ga butuh ya?” gue cuma bisa ketawa. Gue butuh, untuk membantu meringankan beban orang tua gue, tapi ya tadi, sampe waktu itu kebanyakan beasiswa yang dibuka untuk temen-temen yang sekiranya lebih membutuhkan dibanding gue. Gue daftar kok, waktu itu daftar beasiswa lain kayak Tanoto dan Djarum tapi mungkin memang belum rezekinya. Sampai akhirnya, muncul beasiswa Goodwill. Pas liat persyaratannya, ternyata gue bisa daftar, alias beasiswa ini dibuka secara umum, tidak melihat keadaan finansial si pendaftar, dan akhirnya gue pun memutuskan untuk mendaftar
Sebenernya pas gue buka blog beasiswa IPB, pengumuman pembukaan beasiswa Goodwill baru aja dikasih tau sekitar 2 hari, dan deadlinenya pun masih satu bulan lebih. Tapi gatau kenapa, gue ambisiuis banget nih pengen nyicil esainya, dimana gue haru buat sekitar 4 esai full english, which is mau gak mau gue harus nyicil dong. Gue nyicil ngerjain esai setiap malemnya, setiap pulang ngebem tengah malem, terus kalo lagi gaada kuliah, gue nyicil biar esai gue bagus dan englishnya ga berantakan. Sampe gue pake aplikasi yang bisa detect grammar biar grammar gue ga ancur sekalian gue belajar. Waktu itu esai yang dsuruh ada 4:
1. esai tentang diri sendiri semasa hidup beserta mimpi-mimpi yang mau dicapai
2. esai tentang pengalaman leadership dan bagaimana cara memimpin di keseharian
3. esai tentang 2 orang yang sangat menginspirasi hidup gue (gue pilih Munir dan satu teman gue yang mungkin bisa jadi lagi baca blog ini wkwk)
4. esai tentang pengalaman paling berharg selama hidup
dan itu semua harus ditulis full english, selain esai, gue juga harus isi form yang lumayan banyak dengan full english juga.
Waktu itu, entah kenapa gue niat banget ngerjain beasiswa satu ini, bolak balik print form saking gue gamau form gue ada coretan sedikitpun, bahkan nulis formulisnya harus gue tulis pake pensil dulu biar rapi nantinya HAHA. bahkan rela pagi pagi keluar kos cari tempat fotocopy buat ngefotocopy persyaratan yang mau dikasih ke dekanat (untuk ngurus surat keterangan tidak sedang menerima beasiswa). Bahkan rela bolak balik Bogor- Jakarta hampir tiap minggu buat menuhin persyaratan yang ada. Sampe waktu itu gue beraniin diri sms subdit kesejahteraan mahasiwa buat nanya soal persyaratan yang gue kurang ngerti (PADAHAL GA BAKAL DIBALES JUGA HAHAHA). Setelah nyicil esai setiap hari sampe begadang padahal deadline nya masih lama, dan setelah bolak balik ngeprint form sana sini, akhirnya berkas gue lengkap dan gue kasih ke rektorat. Sesi pendaftaran selesai. Rasa kepo gue soal beasiswa satu ini berlanjut, gue kepoin satu satu blog blog orang-orang yang dapet beasiswanya, gue kepoin apa aja pertanyaan pas wawancara, gue latihan wawancara sambil ngomong sama tembok, dsb. Padahal belum tentu lolos berkas.
Sesi lolos tahap seleksi berkas
Gue sempet down awalnya, gue ga yakin bakal lolos karena gue baru tau kalo ada temen satu jurusan yang daftar beasiswa itu dan english skillnya melampaui gue. Semakin down karena ada temen gue yang lain, yang juga ikut beasiswa itu, udah ditelpon dan dikabarin kalo dia lolos seleksi berkas, sementara gue belum. Gue cuma bisa berdoa aja waktu itu, gue pasrah, karena semua yang gue lakuin semata-mata untuk bahagiain kedua orang tua. Setelah itu, Waktu itu abis uas semester 3 (iya, gue daftar beasiswa ini dari sesi uas semester 3), gue siap siap mau pulang, kebetulan nyokap bokap dan 2 kroco-kroco jemput karena barang yang mau dibawa banyak wkwk. Pas gue udah mau nutup pintu kosan dan nyokap lagi rempong nyuruh bawa ini itu, tiba tiba ada telpon dari nomor rumah, biasanya gue gamau angkat nomor ga dikenal, tapi karena ini nomor rumah, oke lah gue angkat. Ternyata gue dapet telpon bahwa gue lolos ke tahap wawancara beasiswa Goodwill. Disitu gue seneng banget sampe gue senyum senyum sendiri. Dan akhirnya gue kembali kepo soal beasiswa goodwill dan gue terus-terusan searching di Google dan blog blog orang.
Rentan pengumuman gue lolos ke tahap wawancara ke proses wawancara bisa dibilang sekitar 1 bulan, which is gue masih punya 1 bulan gue buat nambah vocab, belajar ngomong, benerin grammar, bahkan latihan wawancara sama tembok. Ini beneran, sumpah. Abis itu gue juga dianterin bokap buat nyari celana bahan, karena celana gue kebanyakan jeans dan first impression itu penting, jadi gue dan bokap memutuskan untuk nyari celana bahan demi first impression yang baik dan wawancara yang lancar.
Sesi wawancara
Sesi wawancara diadain di tempat yang lumayan jauh dari rumah maupun dari kampus, jadi gue yang merupakan anak rumahan, gak pernah ke daerah yang jauh dari rumah dan gue juga gatau itu tempatnya dimana, ditambah dengan sifat bokap yang suka khawatir berlebihan, jadi lah gue kesana sama bokap. Sesi wawancara gue jam 12, tapi kita udah heboh dari pagi karena bokap tau itu daerah sering macet. Sampe sana, gue dateng dan disambut sama Mbak Mierna yang sangat ramah, abis itu gue masih harus antri 2 peserta lagi, karena emang guenya aja yang ngide dateng kecepetan. Pas bagian gue wawancara, gue masuk ruangan dan disana ada Bu Mien dan perwakilan dari Australia & New Zealand Association, gue dengan pedenya majuin kursi ke deket meja Bu Mien, eh ternyata emang sengaja kursinya dijauhin :””””) (emang dasar ngide wkwk), disitu gue menjawab pertanyaan secara jujur sejujur-jujurnya ga ada yang gue tutupin (tapi waktu itu ada sih satu pertanyaan yang kayaknya ibunya salah paham sama jawaban gue) dan itu full english. Setelah selesai, gue sempet pesimis karena ada jawaban gue yang bikin mereka salah paham (udah mana harus pake bahasa inggris kan ngomongnya jadi rada belibet juga pas jelasin ke merekanya). Setelah itu gue dikasih tau Mbak Mierna kalo pengumuman itu bulan Juni awal, kalo sampe Juni belum ada pengumuman di email, berarti gak lolos, dan waktu itu masih bulan Februari.
Sesi Pengumuman
Setelah itu gue cuma bisa pasrah dan berdoa sama Allah. Gue selalu nyelipin doa supaya bisa keterima di beasiswa Goodwill di setiap sholat wajib/sunah gue. Alasannya simpel, karena gue semata-mata hanya ingin membahagiakan orang tua gue, itu aja. Sampe bulan Juni awal, gue cek-in email setiap hari. Gak ada apa-apa. Sampe waktu itu malem-malem, gue lagi refreshin email dari hp berharap ada email masuk, eh tiba-tiba nyokap nge whatsapp, “lagi apa bas?”, gue cuma bales “lagi meratapi nasib”, “lah ngapain nasib dipikirin?” nyokap bales lagi tuh, terus gue bilang lah ke nyokap kalo gue galau belum dapet email dari Goodwill, dan nyokap vuma bilang santai aja dan kalo emang belum rezeki gapapa, coba yang lain. Sampe Juli pertengahan, belum ada apa apa di email. Gue pun masih berharap dan ga berhenti berdoa sama Allah. Begitu terus setiap harinya.
Sampe akhirnya H-3 lebaran. entah kenapa gue pengen banget buka laptop, ceritanya mau nerusin tugas PDT gue di Hipotex-R (padahal selama liburan gue gapernah pegang laptop sama sekali saking malesnya berurusan sama kerjaan, tapi gatau kenapa, waktu itu gue pengen banget buka laptop, dan di hp pun gaada pemberitahuan email masuk jadi gue ga terpikir apa apa) pas gue buka laptop, gue langsung buka email, dan ternyata ada email dari yayasan Goodwill yang belum gue buka tapi ada bacaan “Congratulations” nya, disitu gue merinding, gemeteran, gue masih mencoba diem karena gue mau buka emailnya dulu, TAPI WIFI GUE TIBA TIBA LEMOT DISITU (sumpah ini drama banget tapi beneran, wifi gue ga jalan sama sekali) akhirnya gue nyamperin nyokap sambil gemeteran, gue bilang gue lolos beasiswa, terus nyokap gue pake nanya “beasiswa yang mana bas?” dan akhirnya nyokap gue inget setelah gue jelasin, dan setelah itu gue, nyokap, dan kedua kroco nyamperin laptop gue, dan ternyata WIFINYA TETEP GA JALAN DI LAPTOP GUE. Akhirnya gue ambil hp dan buka email di hp (DAN WIFINYA LANCAR DI HP), pas gue buka emailnya, bener, gue lolos beasiswa Goodwill dengan sponsor dari Australia & New Zealand Association. Gue bersyukur ga henti-hentinya disitu, gue langsung flashback gimana perjuangan gue daftar itu beasiswa saking niatnya (udah kayak drama sih tapi beneran gue flashback disitu), gue inget gimana gue selalu menyelipkan Goodwill di setiap doa gue, gue inget malem waktu gue lagi meratapi nasib sambil refreshin email. Disitu gue sadar, Allah tidak tidur. Allah tau gimana perjuangan gue, Allah tau gimana inginnya gue, Allah mungkin tau berapa banyak keringet yang gue keluarkan demi lengkapi berkas, bolak balik print, bolak balik Jakarta-Bogor demi ngelengkapi berkasnya, ngerjain esai sampe tengah malem dan setiap hari. Allah Maha Mengetahui. Disitu gue sadar, kalo hardwork never betray, gue juga sadar kalo doa gue didengar sama Allah. Disitu gue pun sadar, bagaimana keajaiban kerja keras bertemu dengan doa yang ga henti-hentinya.
0 notes
Text
A word can change the world.

You don’t know how much one word can affect someone. The Japanese say you have three faces. The first face, you show to the world. The second face, you show to your close friends, and your family. The third face, you never show anyone. It is the truest reflection of who you are. Kamu gak akan pernah tahu apa yang lagi dialami sama temen kamu, atau bahkan sama sahabat kamu. Karena, ada beberapa hal yang pastinya seseorang bakal keep untuk diri dia sendiri, including problems. Kamu mungkin gatau kalo temen kamu lagi struggling kerja sambilan buat bantu orang tua, atau kamu gatau temen kamu mungkin lagi pusing mikirin kesuksesan suatu acara, atau kamu gatau temen kamu lagi galau, kamu mungkin gatau temen kamu lagi nangis sendirian di kamar, atau bahkan temen kamu lagi terpikir untuk mengakhiri hidupnya. No one knows. Karena, yang tau kamu lagi gimana, ya kamu sendiri kan? Yang memutuskan buat cerita soal masalah kamu juga kamu sendiri, bukan? Orang bisa bilang “Kenapa gak cerita ke sahabat atau siapa kek?” “Yaelah cerita aja kali kalo ada masalah” Tapi, gak gitu, ada keadaan atau masalah tertentu yang gabisa kamu ceritain ke temen-temen kamu, atau bahkan cuma bisa kamu pendem sendiri. Iya, kan?
So, basically I just did this kind of thing this week. Jadi, sore itu, gue kehabisan kuota dan posisinya mager banget buat keluar kos. Akhirnya, terpikirlah satu nama teman gue yang kosannya deket, anggap saja namanya Budi. Ngide lah gue mau nitip beliin kuota kalo dia lagi diluar. Pas gue chat, pas banget dia lagi di kampus. Tapi ternyata, temen satu kos minta gue temenin cari makan, jadi gue cuma bales chat si Budi dengan “Gapapa. Heheheh. Semangat ya budi prokernyaaaa!” *karena emang posisi Budi adalah ketua salah satu seminar dan lomba ekonomi nasional* *sebenernya gak niat buat nyemangatin karena sejujurnya gue cuma gatau mau bales apa*. Selanjutnya, hal yang membuat gue tercengang adalah balesannya Budi, he replied “Yaampun ghinaaa, makasih yah semangat juga loh partner prokerku” *karena emang gue staff di semnas itu*. Lho, apanya yang bikin tercengang Ghin? His replied tho. That “yaampun Ghinaaa”. Biasa aja? Iya, emang biasa, tapi mungkin bagi orang yang sedang pusing-pusingnya, hal itu menguatkan mereka eventho cuma sedikit. Selain itu, gue coba lagi ke temen gue yang lainnya, yang gue sebenernya tau dia sedang struggling dalam suatu hal ((ini posisinya gue tiba tiba ngechat semangatin dia HAHA)), dan responnya pun sama.
Jadi, pelajarannya adalah, gak perlu menjadi sosok yang besar dan berjabatan ataupun punya uang banyak, cukup dengan satu kata “semangat” dan itu bisa ngerubah sekeliling kamu, loh! Karena, basically, your friends might be smiling but you have no idea what she/he is going through, so be kind.
Anyway, kebetulan nemu artikel yang related to my post: https://www.entrepreneur.com/article/270227
0 notes
Text
A reminder to myself.
“Hadirlah karena kamu malu atas kontribusimu yang belum sebesar rekan-rekan kamu, bukan karena kewajiban absen.”

Diamanahkan sebagai bendahara di acara sebesar Agrisymphony membuat saya belajar banyak. Selain belajar ngurus RAB yang jumlahnya luar biasa, saya juga belajar buat ga boleh manja, ga boleh ngeluh, belajar sabar, muka tembok, dan yang paling penting adalah belaat mengendalikan emosi (karena kadang suka nyinyir terus ngegas tiba tiba HAHA). Diamanahkan sebagai perwakilan BPH di divisi Multimedia, Booming, dan Branding yang isinya Bajus, Salman, Jav, dan Balqis benar-benar membuat saya belajar. Dari yang pertama diamanahin buat ngurusin MBB, langsung diomelin sama kadivnya:) yang kalo ngomong di grup, yang respon cuma Balqis. Bahkan, sampai harus tanya ke senior gimana cara pendekatan sama Bajus, kadiv MBB.
Through this, I’ve learned that I still have a lot to learn. Saya belajar untuk menghargai, menghargai orang-orang (khusunya BPH) di organisasi saya yang lain, karena biar gimanapun, mereka lah yang paling pusing memikirkan anak-anaknya, yang bahkan jam tidurnya jauh lebih sedikit dari saya (anggotanya), karena mereka lah yang harus susah payah memahami karakter setiap anak-anaknya, yang setiap hari harus mendapat laporan dari setiap divisi / departemen tentang progress, bahkan konflik anak-anaknya, yang setiap hari harus pasang badan buat anak-anaknya padahal urusan mereka pun banyak. And I’m not on that level yet. Saya masih harus belajar banyak banget. Karena jujur saja, saya masih belum setia pasang badan buat anak AGSN (jangankan AGSN, untuk MBB pun belum maksimal), masing mentingin urusan sendiri, bahkan kadang masih berantem sama anak-anak yang lain. Selain itu, saya juga belajar untuk mengendalikan emosi, karena notabene saya masih sangat emosian, belajar buat tetap sabar bahkan ketika dimarahin anak-anaknya, belajar sabar menghadapi anak yang harus diingetin terus, belajar sabar dan ga ikutan ribut kalo lagi ada yang berantem:) belajar lebih peka sama sekitar.
I remember around September someone told me that through the hardship I faced at that time, I’d grow bigger. And thank you, sir. Thank you for seeing the light in me while I was suffering at that time. He said, “Lo bakal jadi orang hebat ghin nanti, gue bisa liat. Gue bangga sama lo” and I was like “Gatau ah males sama lo” karena pas itu saya lagi kesel sama dia karena dia bilang acara yang saya pegang ga perfect-perfect. (In case you read this, terima kasih sudah menguatkan gue dulu ya bang karena omongan lo masih gue inget sampe sekarang).
Semalam senior saya yang lain juga kembali mengatakan hal yang sama,
“Kamu mungkin belum jadi orang hebat hari ini di mata orang lain di luar sana, tapi aku bisa lihat ada ghina yang sangat hebat dari dalam diri kamu, dia cuma lagi tertidur aja.”
Terima kasih sudah kembali mengingatkan, kak. Saya pun mengakui kalo jiwa saya yang itu lagi tertidur malas hehe.
So a note to myself, ayo ghin, bangun, kamu BPH loh, sandarannya anak-anak, masa mau males-malesan terus, mau ilang-ilangan terus. Gimana yang lain mau semangat kalo kamunya begini!!!!
0 notes
Text
?

Untuk yang ke-sekian kalinya saya harus menunda mimpi saya terlebih dahulu demi perasaan orang tua. Padahal, jalannya sudah ada. Sudah dipermudah sama Allah. Untuk yang ke-sekian kalinya, saya harus menguatkan diri sambil bilang “gapapa, masih bisa kok” ya, padahal nyesek juga, sih. Apalagi pas tau sudah ada jalannya. Ibaratnya, kamu ada di jalan, tadinya, jalannya ditutup, diportal deh.Tapi kamu ga nyerah cari jalan pintas. Pas udah dapet jalannya, eh ternyata kamu harus kembali ke rumah. Gapapa, kok. Gapapa.
Dari kejadian yang sudah ketiga kalinya ini saya belajar, bahwasannya, pencapaian besar, juga butuh pengorbanan besar. Mungkin, pengorbanan saya mencari jalan pintas belum setara dengan besarnya jalan yang saya dapat. Mungkin, usaha saya belum pantas untuk bisa kesana. Mungkin, Allah mau lihat saya berjuang lagi. Atau mungkin, Allah punya rencana besar dibalik kegagalan saya selama ini.
Selalu ada pengorbanan untuk bisa meraih sebuah pencapaian besar. Jika orang biasa rata-rata tidur dalam satu hari 6-8 jam, orang-orang luar biasa tidur hanya 4-5 jam sehari, bahkan bisa kurang. Impian besar mereka mengalahkan rasa kantuk mereka. Impian besar membuat mereka lupa dengan rasa lelah yang mereka rasakan. Mereka mengesampingkan sugesti yang mengatakan bahwa tidur yang baik adalah 8 jam. Mereka terus melangkah ke depan di saat orang-orang biasa sedang terlelap tidur. Mereka tak berhenti sebelum sampai di tempat yang mereka tuju.
Mungkin tidur saya masih lebih banyak daripada waktu saya untuk mewujudkan mimpi. Kayaknya sih, iya. Gapapa, yang penting jangan nyerah. Katanya sih “Allah will wreck your dream if your dream is about to wreck you”, jadi, perbaiki diri dulu, usaha lagi, jangan nangis, heheh. Gapapa, masih banyak jalan. Santai.
Pelajaran kedua yang saya dapat adalah, jangan pernah menganggap diri kamu rendah. Pas wawancara, saya pesimis. Karena emang saya gugup jadi bahasa inggrisnya berantakan gitu. Padahal waktu wawancara beasiswa Goodwill yang notabene sama bule langsung, masih bisa bener bahasa inggrisnya. Tapi pas wawancara di rektorat, mati kutu. Terus langsung pesimis kalo proposal saya ga bakal dilirik. Tapi ternyata, proposal saya diterima. Jadi, pada akhirnya, saya belajar untuk don’t undervalue yourself.
Pada hakikatnya, Tuhan Maha Mengetahui. Allah tau apa niat kamu, Allah tau bagaimana perjuangan kamu, dan Allah tau kapan waktu yang tepat untuk memberikan rezeki-Nya.
“Terbentur, terbentur, terbentur. Terbentuk!” - Tan Malaka
0 notes
Text
BELAJAR DARI FINLANDIA
Finlandia merupakan negara yang merdeka di Desemeber 1917 dan diaku di Januari 1918.Negara yang pada tahun 1960 sistem pendidikannya masih dibawah Amerika dan mulai naik sekitar 1970-an dan melejit sampai sekarang jadi negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. How come?
Less is more.
They believe it. They live by it. I read somewhere that they never overconsume anything, rather than buying such a cheap items, they buy the high-quality and expensive ones that would last for years even decades. So does in their education.
1. The kids doesnt even start schooling before they’re 7 years old. Sorry to say, sedangkan di Indonesia sudah terlalu banyak pendidikan anak usia dini yang mengharuskan anak ‘pergi ke sekolah’ ya whatever it is called. Loh emang kenapa? Menurut gue pribadi, ketika anak yang sedang asik-asiknya main, dikasih mindset “harus ke sekolah” ya males banget gak sih? Apalagi kalo anak-anak diwajibkan dapet nilai bagus di sekolah, the pressure is real, right? They need to live their life at veryyyyy young age, they need to explore themselves & the nature.
“We have no hurry, children learn when they’re ready. Why stress them out?”
2. They also spend less time in school. Gue pernah nonton salah satu video yang disitu menjelaskan tentang sekolah di Finland, dan the teachers said that the less is moreeeee. Mereka gak mau anak-anaknya cuma belajar di kelas tanpa tau kondisi di luar gimana, they prefer the kids also learn from nature, karena mereka percaya ketika anak-anak lebih sering belajar dari alam, mereka akan lebih kepo. Contohnya, kalo mereka lagi main misalnya, terus mereka ngeliat serangga, mereka pasti bakal kepo itu serangga apa and they’d ask about it in class, dan guru-guru disana juga percaya bahwa happiness is beyond everything so they won’t make the kids stay on the class for every single hours. (Whether it’s true or not terserah lah ya but their mindset is out of the box and I’m really surprised). Then how about us? Kita masih percaya bahwa anak ya belajar di kelas. Ya gue juga gitu sih, kalo ga di kelas juga ga belajar hahah.
3. Great teachers with Extensive Training. In Finland, teacher is a job that is highly respected. Even they need to take master-degree to become a teacher, like, is not that easy bruh, bahkan salah satu video yang gue tonton bilang bahwa rasio guru yang diterima hanya 1 dari 10. My goodness. Gimana dengan kita? Ga perlu ngomongin masalah high-education-teacher, bahkan, apa banyak teman-teman sekitar kita yang bercita-cita jadi guru? Atau, masih sering kah kalian lihat berita anak murid yang ga respek dengan gurunya?
4. They believe that education is for everyone. When they realize that someone is having a struggle, the teacher quickly help the student to catch-up so there’s no one left behind.They believe that the goal is to teach every student including those who has special needs.
“if you only measure the statistics, you miss the human aspect”
Lalu, apa yang salah dengan kita? It’s only a word tho. Mindset. That’s it. Dari dulu, mindset kita udah ditanamkan bahwa
“Walaupun kita hebat di musik, olahraga, seni, ataupun sastra, selama kita nggak menguasai sains, kita tetap nggak akan dianggap pintar. Sebenarnya, apa salahnya hebat dalam suatu bidang yang nggak berhubungan sama angka?... Itu sama saja menganggap Beethoven itu bodoh, Van Gogh itu idiot, Pele itu bego, dan Shakespeare itu tolol.” ― Windhy Puspitadewi, Let Go
Padahal kan, setiap orang itu unik dan punya definisi ‘keren’ masing-masing. They have their own colour gitu. Tapi ya kenyataannya mindset kita pada umumnya masih seperti itu. Kalo ga jago matematika, dianggap remeh, ga jago ini itu, dianggap ‘apasih’.
Selain itu, kualitas guru pun belum merata, begitu juga dengan fasilitas yang ada. That’s why one of my dream is to study in Finland. Dari SMP, gue selalu punya impian untuk sekolah di Finland. Alasannya ga muluk-muluk sih, I really want to build my own school which is free for everyone especially mereka yang membutuhkan dan orang-orang di pedalaman sana. Untuk itu, gue harus belajar bagaimana sih sekolah di Finland? Yang kelak nantinya bakal gue terapkan di sekolah gue nanti, atau bahkan di Indonesia.
“Sekolahpun keliru bila ia tidak tahu diri bahwa peranannya tidak seperti yang diduga selama ini. Ia bukan penentu gagal tidaknya seorang anak. Ia tak berhak menjadi perumus masa depan.” ― Goenawan Mohamad
0 notes
Quote
Orang nggak bisa milih siapa bapaknya, ibunya, sukunya, warna kulitnya, jenis kelaminnya, bahkan kadang-kadang agamanya. Jadi konyol, kalau aku ngejauhi orang-orang gara-gara hal yang nggak bisa mereka pilih sendiri. Kayak orang bego aja.
0 notes
Text
Bicara Stereotype
I’m so done with stereotype lately. Stereotype anak IPA lebih pintar dan lebih keren daripada anak IPS. Like what? Gue anak ipa, yang masuk ke ranah ips, dan gue mengakui, pelajaran sosial khususnya ekonomi ga segampang itu. Salut. Sama anak-anak IPS. Salut juga sama anak-anak IPA. Tapi nyatanya, masih banyak anak-anak IPA yang merasa lebih superior dibanding anak IPS. Bahkan temen temen gue, mereka yang tau IP gue dengan santainya bilang “gampang emangnya ghin?” oh hell yes just talk to my hand. Gue yang dulunya anak ipa mengakui loh jurusan ekonomi ga semudah itu. Oke, ini bukan bermaksud menyombongkan IP, but, you can see my friends reaction, right?
Stereotype, lagi lagi stereotype. Padahal, bukannya semua ilmu di bumi saling melengkapi? Tidak ada yang lebih baik dari yang lain? Karena sejatinya, ilmu ga akan bisa berdiri sendiri kan? Bukannya gaada jurusan yang lebih superior? Karena sejatinya, Allah menciptakan umatnya secara adil dan punya kehebatannya masing-masing. Untuk apa? Untuk merasa lebih hebat dari yang lain? Bukan, bukan itu. Karena sejatinya, kita sama-sama saling melengkapi, agar saling menghargai, dan hidup secara manusiawi.
“Everyone is a genius, but if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid” - Albert Einstein
0 notes
Quote
...tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran?
Soe Hok Gie
0 notes