Don't wanna be here? Send us removal request.
Text

Kala Sang Bentala Kehilangan Pendarnya.
"Pak, Hira ke Jakarta dulu."
"Pergilah dan jangan kembali, dasar anak bajingan!"
Hiraya Arkananta, yang kerap disapa Hira, seret tubuhnya sambil menenteng koper berisi segala jenis sandangan, untuknya saat menetap di Jakarta entah berapa lama. Dengan amarah meluap penuhi benaknya, ia tinggalkan Surabaya, kota istimewa tempat ia membuka mata. Tak ada hari tanpa dirinya berdoa, semoga Jakarta perbaiki jiwaku
Dua puluh tiga tahun yang ia habiskan di Surabaya dapat dikatakan layak, hingga suatu hari, sang ayah terjerumus ke dalam lingkaran setan bernama judi online. Entah apa yang terbesit di benaknya hingga ia berani melakukan demikian. Harta bendanya raup, satu persatu dijual demi permainan yang tak pasti. Pasti pun, pasti merugi.
“Hira, lihat, hari ini ayah akan beruntung.”
Persetan! Hira loya mendengarnya, sudah seratus kali sang ayah katakan demikian. Ini bukan permainan beruntung atau buntung, namun buntung, buntung, dan buntung. Saking muaknya, sang ibu putuskan untuk tinggalkan Hira dan ayahnya. Dunia Hira yang sudah rentan, runtuh segitu mudahnya. “Hira, jaga ayah kamu baik-baik.” Kalimat terakhir yang wanita itu lontarkan padanya terus berputar di kepala. Tidak, Bu, Hira enggan. Ayah saja tak peduli pada Hira, 'kan?
Dahulu, hidup mereka berkecukupan, setidaknya gizi harian keluarga dapat terpenuhi. Canda tawa senantiasa menghiasi rumah tangga, gambarkan betapa bahagianya mereka. Namun, musibah datang dari mana saja, 'kan? Tak tahu waktunya, tak tahu pula penyebabnya. Kini, hangat keluarga mereka telah sirna, rasa benci kian penuhi kepala.
Jakarta kini menjadi batu lonjakan Hira, dengan harapan semoga pilihannya tak meleset. Di dalam indekos sederhana yang tak capai 9 meter persegi luasnya, Hira berkutat dengan komputer milik sepupunya, sebagai penyiar langsung gim bertajuk Valorant. Hari-harinya ia habiskan di sana, membabat lawan dengan lihainya, sambil berharap semoga audiens serta pendapatannya kian bertambah.
Sepuluh… Dua puluh… Lima puluh… Audiens Hira terus bertambah, seringkali buat sang wira mengukir senyum. Pendapatan dari donasi tak seberapa, namun cukup buat dirinya bahagia—sedikit. Meski tak selalu cukup penuhi gizi hariannya, Hira tetap bersyukur. Lebih baik sedikit, daripada tidak sama sekali.
Slogan 'anak sastra lulus mau jadi apa' benar-benar terwujud di kehidupan Hira, bohong jika sarjana Sastra Inggris prospek kerjanya menjadi Sir Arthur Conan Doyle, bahkan Agatha Christie. Sampai sekarang ia belum memiliki pekerjaan tetap. Entah sudah berapa perusahaan yang menolaknya, mungkin sudah capai angka puluhan. Pendapatan dari siaran gim tak pernah tetap, buat Hira acap kali membatin, “Kapan ku kembali rasakan kehidupan layak yang telah sirna?"
0 notes