Tumgik
thepoemsail · 29 days
Text
apartemen
Tumblr media
Ia mengutuk Melbourne di jam-jam semalam ini. Dinginnya lebih menusuk daripada malam-malam di Bandung, apalagi ketika berkelana dengan motor sendirian di daerah Tahura. Jalanan di sini tidak sedingin itu, tapi ketika memasuki jalanan sepi, rasanya lebih menusuk daripada apapun.
Belum lagi terlalu banyak hal yang bisa membuatmu harus berhati-hati ketika berjalan di tengah malam sendirian; perampokan, pembunuhan, dan penculikan. Yah, walau sebenarnya itu hanya pikiran-pikiran tidak menyenangkan yang selalu datang setiap shift malamnya selesai. Sejauh ini tidak ada catatan kriminal yang berlalu-lalang di sekitarnya, distrik yang ditempatinya pun terkenal dengan keamanan dan kenyamanan warga sipil, Adarian hanya perlu berhati-hati dan selalu ramah pada setiap orang, dan tidak ikut campur pada masalah yang ditemuinya di jalan, hingga bertemu dengan gedung apartemennya yang cantik.
“Jangan lupa bawa alat pertahanan diri.” Judas pernah berkata, sambil memberikan sebuah sisir yang menyimpan pulpen tanpa tinta di dalamnya, sedang Adarian hanya bisa tersenyum geli mengingat ia tidak bisa membawa senjata tajam sekecil apapun setelah memasuki kawasan bandara. “Nanti di sana beli saja. Saya tahu tempatnya.”
“Udah, ah, nggak usah.” Adarian melirik sisir yang dipegang Judas saat itu sekilas sebelum menatap matanya. “Lagian gue bisa tinju, kita satu UKM taekwondo, betewe.”
Judas meninju bahu Adarian, dan korbannya menjerit dramatis. “Jangan diremehin, dong. Tolong didengerin, lagian cuma untuk jaga-jaga.”
“Siap, Pak Bos!” Adarian berseru ceria sambil memasang pose hormat yang main-main.
Kekehannya lolos begitu saja setiap mengingat khawatirnya Judas padanya sebelum mereka benar-benar berpisah di bandara. Tapi memang hidup sendiri di negeri orang itu sedikit mengkhawatirkan, mengingat selalu ada seseorang yang mengingatkannya untuk merawat diri sendiri di sela-sela kesibukan kelas, organisasi dan kerja paruh waktu semasa kuliah dulu, dan waktu itu dia hanya punya Judas. Kini, berada di negeri orang tanpa benar-benar mengenal seseorang yang mau menyeretmu makan atau menendang bokongmu ke kamar mandi adalah sebuah kesulitan sendiri. Namun Adarian mulai terbiasa setelah bertahun-tahun berada di sini.
Menyenangkan rasanya bisa memaksimalkan sarapanmu sendiri, tidak perlu terlalu banyak menyentuh sepiring nasi, walau ia kadang merindukannya, dan makan banyak roti dengan berbagai jenis tambahan yang bisa divariasi. Tidak perlu teriak-teriak di depan kamar mandi jika seseorang memakainya terlalu lama, Adarian bisa saja tertidur di bak mandi selama apapun yang dia mau. Aroma pengharum ruangannya pun bisa meniru milik Judas tanpa perlu merasakan sisi kepala ditoyor buku setebal lima ratus halaman kalau ketahuan mencuri miliknya. Yang begini memang menyenangkan sekali.
Adarian mematap pintu apartemennya yang membosankan, dengan nomor kamar yang terbuat dari besi, timbul-timbul keemasan di atasnya, dan aroma kayu yang baru saja dicat. Oh, sepertinya Tuan Kagawa, si penanggung jawab gedung apartemennya, baru saja mengecat kusen pintu. Lalu membukanya setelah berhasil menekan tombol pengaman dan pemindai tanpa banyak hambatan, kemudian diserbu oleh mesin penghangat dan lampu yang menyala secara otomatis tiap seseorang membuka pintu apartemennya.
Sungguh, Adarian cinta sekali kehidupan modern semacam ini.
Tidak ada yang lebih menyenangkan dari sebuah apartemen dengan teknologi yang menyenangkan, aroma yang menenangkan, dan warna putih yang tidak membuatmu sakit mata. Malam ini, Adarian akan membuat dirinya lebih santai lagi, dan menikmati waktunya sendirian, setelah selesai dengan kerja paruh waktunya yang menyenangkan. Hidup tidak bisa lebih menyenangkan dari ini. Benar?
0 notes
thepoemsail · 29 days
Text
kopi
Tumblr media
Melbourne, 2024.
Adarian tidak terlalu mencintai kopi.
Suara jeritan yang berlangsung dengan cara melengking selama tiga puluh detik penuh tanpa jeda itu berasal dari Naomi, yang kebetulan, sedang membuka laptopnya dan menatap laman gosip selebriti sepenuh hati.
Adarian terkesiap dari kubikelnya lima detik kemudian, karena suara bernada tinggi yang dikeluarkan dengan segenap kekuatan dalam itu berhasil membuyarkan lamunannya. Ia sempat berseru kecil soal novel tiga ratus halaman yang sebentar lagi selesai diedit, tinggal membuat laporan kecil, dan gagal begitu ide yang keluar menguap perlahan.
“Ada apa?” Pertanyaan itu datang Miranda, si gadis bertubuh jangkung dengan rambut semerah anggur mengintip dari balik kubikelnya, menatap Adarian dengan pandangan bertanya. “Masih sepagi ini sudah berisik saja.”
“Sepertinya baru saja dapat berita buruk soal Tom Hardin, atau semacamnya?” Itu adalah suara lembut dari Sebastian yang sedang menyeruput kopinya sambil menatap layar komputernya sendiri. “Tom Hardin baru saja berkencan.”
Suara ‘oh’ yang keluar kemudian, sebagai respon yang tidak seharusnya mengagetkan, itu datang seperti paduan suara, dan mau tidak mau, Adarian tersenyum dibuatnya.
Mungkin senyum yang kecil dan tipis itu datang dengan tulus setelah sekian lama memasang senyum selebar mungkin agar tidak ditanya yang macam-macam oleh orang asing. Khususnya ketika berada di negeri orang yang jelas-jelas berbeda dengan budaya negerimu sendiri, tapi Adarian bersyukur Melbourne tidak benar-benar membiarkan orang-orang di sekitarnya peduli atau tidak peduli. Ada yang namanya batasan yang dihormati, walaupun kebebasan masih dijunjung tinggi, dan yang demikian terasa seperti ruang kecil untuk bernapas dari kekacauan kecil yang ada di belahan dunianya yang lain. Itu lebih menguntungkan untuk dirinya kendati rasa sepi tak urung mengetuk relung hati.
Lagipula, menjadi editor novel lepas tidak terlalu buruk ketika dirinya mendapatkan rekan kerja dengan berbagai cerita menarik dan unik, terkadang berada di luar nalar, hidupnya tidak pernah lebih baik dari ini.
Jadi, begitu Adarian memutuskan untuk berdiri dan menutup laptopnya, dan Miranda ikut menatapnya, sedang Naomi tampak buru-buru menutup layar untuk berdiri dan membungkukkan badan, ia tidak bisa meminta lebih. Yang begini saja sudah cukup, lebih cukup daripada mendengarkan pertengkaran tidak menyenangkan dan tatapan kasihan dari orang-orang setiap dia keluar dari pintu rumah menuju kampus.
Sebenarnya, ada banyak hal yang mengganggu pikirannya selama bertahun-tahun setelah akhirnya Mama dan Papa bicara; membicarakan perceraian dan hak asuh adik-adiknya, begitu ia menginjakkan kaki di negeri orang sendirian, tanpa ada siapapun yang menemani. Lucunya lagi, hak asuh kedua adiknya kini berada di tangannya, walaupun ia tidak benar-benar menghadiri persidangan merepotkan seperti itu karena memutuskan untuk melanjutkan studinya di negeri kangguru ini. Dan walaupun Cecil dan Damian Wiracaka sudah cukup besar untuk paham bahwa mereka harus mengurus diri mereka sendiri sejak memasuki sekolah menengah pertama beberapa tahun yang lalu, Adarian tidak akan pernah sampai hati untuk menelantarkan mereka, dengan memberikan segepok uang di rekening sebagai caranya menebus kesalahan karena berani kabur dari masalah keluarga yang ada.
Itu bukan kabur juga, sih. Toh, Adarian melakukannya karena harus menafkahi kedua adiknya yang sudah bisa mengurus rumah sendirian tanpa orang dewasa, hanya ada paman yang sudah bersumpah untuk menjaga mereka agar Adarian fokus mengejar mimpinya di sini. Yang lebih lucu lagi, sebetulnya Adarian tidak memiliki mimpi tertentu, namun bekerja sebagai editor novel secara lepas dan sisanya dipakai untuk menjadi seorang barista hingga malam menjemput adalah dua hal yang paling cukup untuk membuatnya berhenti memikirkan masalah yang sudah ada. Setidaknya mencari nafkah bisa menjadi alasan yang masuk akal, karena kabur dari masalah adalah hal yang tidak bisa dimaafkan, terlebih menjadi sebuah alasan yang biasa diremehkan.
“Maaf.” Suara sayu Papa yang sudah kuyu dan kurus sejak proses persidangan berlangsung sebenarnya nyaris membuat pertahanan Adarian runtuh, walau ia baru melihatnya lewat layar panggilan video. Ada setumpuk penyesalan dan perasaan bersalah yang bercokol dalam dadanya ketika mata yang biasanya memandang penuh percaya diri serta angkara itu kini berubah menjadi mata tanpa warna yang solid. Hidup memang bisa berubah sewaktu-waktu, dan bisa jadi sangat ekstrem, Adarian menyadarinya. “Maafin Papa, Kak.”
Adarian tidak menemukan jawaban yang tepat untuk dikeluarkan pada saat itu, padahal itu adalah ucapan maaf paling tulus yang tak pernah dia dengar selama nyaris seperempat abad hidupnya, dan ketika semuanya sudah hancur berantakan, ucapan krusial semacam itu baru dikeluarkan. Jadi, daripada mengeluarkan komentar yang tidak tepat dan sungguh terlambat, lalu menghancurkan apa yang sudah dia lakukan demi menyelamatkan kedua adiknya dari rumah yang berantakan, ia memutuskan untuk diam menatap Papa lurus-lurus dan tersenyum lembut.
Sedangkan ibunya adalah masalah lain. Entah karena terluka atau karena tanpa sengaja Adarian merusak reputasi yang dibangunnya sejak ia masih kecil, Mama tidak mengatakan apapun, bahkan menatap saja tidak mau. Namun, ia paham. Merasa bersalah itu sesuatu yang kompleks, dan memohon maaf lewat kata ketika kau merasa bersalah jauh lebih susah daripada mencuci piring setiap akhir pekan. Dan lagi-lagi, Adarian harus memaklumi orang dewasa dan keegoisan mereka.
Makanya, berada di sini, jauh dari banyak stigma tentang anak sulung yang seharusnya menurut pada orang tua dan cemerlang, atau bisik-bisik tidak menyenangkan karena perselingkuhan ibunya atau ayahnya yang tidak jarang memakai kekerasan dengan alasan mendidik anak-anak, adalah satu dari sekian alasannya bersyukur bisa menjalani hidup dengan baik. Sebab dia pun, sama seperti orang lain, orang dewasa yang lain, butuh waktu dari berbagai macam pelik yang ada.
Bagian favoritnya dari meniti karir yang bebas di negeri orang adalah sebuah kafe tidak jauh dari kantor penerbitannya, di mana ia bebas berkreasi dengan semua resep kopi yang ada, bahkan Kang Ridwan tidak akan banyak protes ketika ia menambahkan karamel di gelas Americanonya, dan aroma kopi yang biasanya menyatu dengan kudapan manis favoritnya tidak pernah jauh dari indra penciuman. Menyenangkan, kan?
Ia tidak perlu pusing-pusing menghitung catatan keuangan yang sudah dijadikan acuan, atau menghitung pajak yang ada, hidupnya hanya tinggal mengubah daya imajinasi jadi ladang uang dan orang lain merasa puas dengan apa yang dikerjakannya. Semua orang jelas mendapatkan keuntungan, dan cara bertahan hidup yang demikianlah yang mampu membantunya mengirimkan sejumlah uang setiap minggu kepada adik-adiknya, yang kini berhasil sekolah di sekolah yang dulu didambakannya, tanpa perlu repot-repot menyenangkan hati orang lain dan tidak mendapatkan apapun.
“Ian.”
Apron cokelat yang melekat di tubuh Adarian tampak kontras dengan baju kaus putihnya yang hari ini tampak baru, seperti baru diambil dari deretan baju di mall, yah, walau sebetulnya Adarian memang baru mengambilnya dari binatu. Terasa nyaman walaupun bahannya lebih mirip bahan lap piring di apartemennya, tapi setidaknya mereka memiliki bordiran berupa logo dan nama toko keemasan yang cantik.
Kepalanya mendongak, bersamaan dengan helain rambut yang menyapu angin, dan senyumnya mencuat lagi. Ridwan menatapnya setelah memanggil sambil menggenggam setumpuk brosur di tangan. “Kang, aya naon ieu teh?”
“Oh.” Ridwan, lelaki yang lebih tua dua tahun darinya dengan pakaian formal dan rambut yang disisir rapi, menyerahkan sebuah brosur. “Mau ada acara hari ini.”
“Dadakan pisan?” Adarian membaca selembaran brosur yang diberikan, membaca jam dan tanggalnya, tepat hari ini di jam shiftnya. “Wedding anniversarry?”
Dan begitulah bagaimana harinya berjalan di kafe. Acara dadakan yang selalu datang tanpa peringatan dan membuat Adarian harus mempersiapkan diri agar tidak kewalahan. Ditemani oleh satu rekannya yang bertugas untuk memastikan tempat ini bersih dan stok biji kopinya masih ada dan bagus, sekaligus memastikan biji kopi robusta dan arabica yang ada tidak tertukar. Juga kegiatan mengkalibrasi kopi, menentukan ukuran kopi yang pas, susu, karamel, dan menyajikannya dengan cara yang cermat juga cantik di saat yang sama. Hidupnya sungguh teramat menyenangkan, tanpa perlu memikirkan orang lain dan masalahnya, jauh dari terlalu banyak mata yang bisa saja melihat, serta tidak perlu bertemu dengan tetangga yang senang sekali bergunjing dan ikut campur masalah keluarga tanpa benar-benar membantu
Yang membuatnya lebih seru adalah acara yang ada, yang mau tak mau membuatnya menghadapi banyak pelanggan dengan keunikannya sendiri-sendiri.
Bukankah malam ini jadi sangat menarik?
0 notes
thepoemsail · 1 month
Text
tacenda
Tumblr media
Manusia itu gila, setengah sinting, sisanya hanyalah ketidakwarasan.
Adarian Wiracaka mungkin serampangan, dengan baju yang tak pernah ditata seperti anak-anak jurusan akuntansi lainnya, tapi dia selalu tahu batasan antara kesopanan yang dibuat-buat dan tata krama yang menyebalkan. Setidaknya ada batasan kecil antara sopan untuk menghormati lawan bicara atau sengaja merendahkan ketundukkan mereka pada hukum tata krama yang berlaku.
Tapi ini?
Wah, Adarian benci ini.
Hidup itu lucu benar, deh! Orang sinting mana yang mau melihat rumah yang berantakan seusai urusan kampus selesai di siang yang indah seperti ini. Baju yang tercecer di mana-mana, sepatu yang tidak diletakan pada tempatnya. Bahkan selusin pakaian dalam tersebar di lantai? Sinting!
Apalagi yang salah, ya?
Namun, belum sempat Adarian meloloskan murka begitu saja dan mendapatkan jawaban dari amukannya sendiri, dilihatnya sepasang manusia saling memangku di atas sofa ruang tamu dengan suara kecupan basah mengisi kosong di ruangan.
Manusia itu setengah gila, setengah sinting, sisanya hanyalah sebuah keegoisan semata. Adarian mengingat foto kecil yang selalu terpajang di lorong ruang tamu. Tampak bahagia dan makmur. Tanpa perlu khawatir soal keuangan kuliah atau jajan adik-adikmu yang bahkan belum bisa pergi ke sekolah sendirian, atau uang bensin yang selalu menipis setiap akhir pekan. Tidak ada sebersit pikiran untuk meninggalkan semuanya dan membiarkan Mama dan saudaranya dalam kesulitan yang tidak menyenangkan. Tapi usahanya mungkin kurang, atau memang manusia diciptakan untuk jadi makhluk tidak tahu terima kasih, dan Adarian benci semua kemungkinan yang ada.
Sebab begitu menemukan Mama berada dalam rengkuhan lelaki lain, sedang Papa belum pulang dari shift kantornya dan waktu untuk menjemput adiknya dari sekolah belum tiba, mendadak meletuskan bom tak kasat mata yang lebih menyakitkan. Bak ditusuk begitu saja oleh pedang tak kasat mata tepat di dada. Ingatan soal pukulan yang diterima karena kesalahan orang dewasa tercetak jelas di tubuhnya, atau tangisan-tangisan ketika malam tiba lewat seperti potongan film. Ingatan yang ingin dilupakannya.
“Gila, lo, ya?” Suaranya lolos begitu saja, dengan wajah merah padam. Adarian biasanya mampu menahan amarah yang meletus untuk Mama, sebab rasa kesalnya akan teredam dengan cambuk keras yang melayang dari ikat pinggang Papa. Namun suaranya kali ini berhasil membuat laki-laki yang nyaris melucuti baju Mama sampai habis itu menoleh panik dan segera menjauh. Jadi, Adarian sudah tidak peduli lagi. “Anjing, sinting.”
“Ian…” Mama merapikan bajunya yang berantakan dan mengaitkan kembali kancing bajunya, tampak panik begitu melihat wajah Adarian yang, daripada kelihatan marah, justru tampak jijik. “Mama bisa jelasin.”
“Jelasin apa lagi?”
“Nggak seperti yang keliatannya, kok.”
“Maksudnya gue salah liat, gitu?” Tangan Adarian mengepal erat-erat. “Maksud lo, gue salah liat?”
“Ian…”
“Enak banget lo, kalo bikin masalah, yang kena pukul gue.” Jari telunjuknya mengarah tegas pada dirinya sendiri. Rahangnya mengetat. “Dan lo tinggal lakuin apapun sesuka lo, nggak ngurusin gue sama Dami, sama Cecil, cuma buat selingkuhan lo?” Adarian bernafas dalam-dalam. "Ini terakhir kalinya."
Namun daripada mendengarkan ucapan Mama, Adarian memilih berbalik pergi dan berlari menjauh begitu saja, tanpa menghiraukan seruan Mama di depan pintu. Tidak peduli pada arah yang asal diambilnya atau kertas proposal acara tahunan hima yang berantakan di tangan.
Satu yang pasti ketika kakinya berkelok melewati jalan Cibadak hingga Sudirman, sederet nama dan alamat yang sudah dihafalnya di luar kepala muncul begitu saja. Dia langsung tahu tujuannya.
Judas Hardhian. Cipaku Indah.
0 notes