This is a blog, about all of life matters :D
Don't wanna be here? Send us removal request.
thinkpinkblueconcept-blog · 13 years ago
Photo
Tumblr media
This is my creation (design) for DressMeUpIndo Fashion Design Competition, showed on Jakarta Fashion Week 2013, 4th November 2012. Frederika Cynthia Dewi. Modeled by Carissa Finneren. CC: dressmeupindo
0 notes
thinkpinkblueconcept-blog · 13 years ago
Text
Momen Suatu Waktu
"Seorang Figur Ibu yang tengah berkecimpung dalam kegalauan"
Selama lima hari dan empat malam ada berbagai macam kehidupan baru yang dapat saya temui. Hari-hari ini dimulai dari hari Minggu sore hingga Kamis siang, dan pertemuan saya dengan pembaharuan dapat menginspirasi dan mengembangkan pribadi saya. 
Pada hari pertama, ia telah menyambut saya dengan sangat lembut. Seorang ibu dengan lima anaknya yang sudah tinggal di rumah mereka masing-masing. Ia percayakan rumahnya kepada kami yang baru saja datang ke rumahnya, dengan bermodalkan image anak sekolahan dari kota. Ibu Sani mau pergi Jagong, sebuah istilah untuk mengunjungi pernikahan sanak saudara dengan membawa makanan untuk disumbangkan.
Keesokan harinya, kami pun semakin mengenal satu sama lain. Film Dewi Bintari yang semalam kami tonton bersama telah membuat saya dan teman saya menikmati sesuatu yang biasa kami lewati dirumah, yaitu sinetron. Untuk pertama kalinya saya bisa berbahagia bersama dengan menonton sinetron bersama ibu dengan teman saya. Kami mulai hari ini dengan menyapu, minum teh, dan menggoreng makanan khas Tepus, Patillo. Sesaat setelah memakannya, saya terkena penyakit candu Patillo. 
Lusa adalah hari dimana saya sudah mulai terbiasa dengan rutinitas santai nan menyenangan ini. Memang ada baiknya bila kita mendinginkan kepala sebentar di saat rutinitas membuat otak terasa mau pecah. Saya kembali menghirup udara segar di pagi hari dengan jogging bersama teman saya Tisa. Udara segar desa memang berbeda, walau lokasi rumah saya persis di depan jalan raya yang cukup besar pula. Hari ini saya memasak banyak jenis makanan, mulai dari indomie, ayam, tempe bacem, serta gude. Awalnya saya hanya tahu Gudeg sebagai makanan khas daerah Jogja, namun setelah saya mengenal gude, saya mengenal suatu kekhasan lain. Gude adalah masakan dari biji berwarna hitam (yang saya tidak tahu namanya), direbus dengan daun-daunan sampai biji tersebut menjadi empuk dan dapat dimakan sebagai sayuran.
Tak terasa sudah hari ke empat, yang merupakan hari refleksi terakhir kami di desa Tepus. Kami berkumpul di rumah Yolenta pada jam dua siang. Saat saya sampai disana, ada anak kecil yang sedang bermain PS2. Ia main formula1 dengan begitu senangnya, sampai-sampai saya merasa telah berada di kota lagi. Kembali lagi kami meminum teh dan memakan gorengan serta makanan kecil lainnya. Hari ini sungguh menginspirasi, karena refleksi kami berisi segala kebahagiaan yang telah kami lalui. Kami sunguh bahagia, dan semua ini sungguh terjadi untuk mengembangkan budi kami.
Hari terakhirku disini. Saya tengah menyikapi segala yang telah terjadi. Menghirup udara segar dibarengi dengan angin gemulai, rumah yang sejuk, luas dan tenang. Keseharian untuk menyapu rumah dan membersihkan halaman. Jam sembilan nanti saya akan pulang, dan saya akan meninggalkan lima hari ini dan kembali ke Jakarta. Saya pun berpamitan dengan orang yang telah berbaik hati menjaga saya dan Tisa lima hari ini, Ibu Sani. Ia selalu berpesan agar kami mengingat Tepus dan mengingat dirinya. Ia mengoleh-olehkan kepada kami 12 bungkus Patillo, dan saya sungguh kagum. 12 bukanlah jumlah yang sedikit, namun dengan segala kekurangan yang ada, orang di Desa Tepus ini ikhlas memberikan yang terbaik di dalam diri mereka. 
Tak kan pernah kulupakan segala hal yang terjadi di tempat ini. Tempat yang baru namun telah menjadi rumahku yang baru selama lima hari empat malam ini. Segelintir dimensi baru untuk membuka kotak hatiku, kini berhasil memunculkan perasaan sedih untuk meninggalkannya. Namun aku harus kembali kepada kenyataan, tanpa harus melupakan momen itu. Momen suatu waktu yang tak akan pernah kembali lagi. 
2 notes · View notes
thinkpinkblueconcept-blog · 13 years ago
Photo
Tumblr media
Elsa's Sweet 17th Birthday Dress on April 2012, designed by Frederika Cynthia Dewi :)
2 notes · View notes
thinkpinkblueconcept-blog · 13 years ago
Photo
Tumblr media
Angie's Sweet 17 Dress designed by me :)
0 notes
thinkpinkblueconcept-blog · 14 years ago
Quote
A talent is a gift, a real diamond was made from determined soul
1 note · View note
thinkpinkblueconcept-blog · 14 years ago
Photo
Tumblr media
15 notes · View notes
thinkpinkblueconcept-blog · 14 years ago
Photo
Tumblr media
4 notes · View notes
thinkpinkblueconcept-blog · 14 years ago
Photo
Tumblr media
2 notes · View notes
thinkpinkblueconcept-blog · 14 years ago
Text
Belajar Organisasi
Sebuah pengalaman belajar dari orang yang digemari, sungguh merupakan pembelajaran yang sangat asyik. Sebenarnya hari ini saya sudah belajar banyak sekali, melalui pengalaman teman, orang lain dan diri sendiri tentang berorganisasi. Hari ini saya dan teman-teman saya sedang mempersiapkan kegiatan OMK Sanmare yang mungkin akan dilaksanakan pada liburan Juni-Juli 2011 kali ini. Tanggal absolutnya pun belum kami ketahui.
Akan tetapi ketimbang hasil rapat dengan isinya, saya jauh lebih tertarik dengan bagaimana kita belajar berorganisasi dengan baik. Sungguh presentasi teman saya menginspirasi saya untuk belajar lebih banyak dalam hal tersebut.
Asikkk sekali rasanya saat ia menjelaskan tentang Proposal yang sudah ia revisi sedemikian rupa sehingga dapat meyakinkan orang lain dalam kegiatan yang ada. Proposal itu berisikan tujuan kegiatan, yang kemudian ia bagi dalam tiga kategori penjelasan mengenai tujuan itu sendiri, yaitu:
Sasaran -> Sebagai pusat target akhir dalam sebuah kegiatan
Parameter -> Sebagai pengukuran/bentuk kegiatan untuk mencapai sasaran
Manfaat -> Merupakan kumpulan pembelajaran dari kegiatan yang telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan kegiatan
Ketiga unsur diatas meruapakan asal muasal semua kegiatan yang akan dilaksanakan nantinya sesuai dengan proposal kegiatan. Sebenarnya ketiga unsur tersebut saling menjelaskan satu sama lain, dan mempertegas segala aspek kegiatan yang nantinya akan menjadi suatu keyakinan tersendiri bagi para pembacanya.
Kembali ke cerita tadi, saya belajar banyak dari sosok pemuda ini. Ia benar-benar menjelaskan segalanya secara runtut, tegas dan jelas, membuat semua yang ada di ruangan rapat memperhatikannya. Ia seorang mahasiswa, yang sebenarnya tidak mengambil jurusan enterpreneurship dan sejenisnya, akan tetapi sudah bisa mempraktekan apa yang diajarkan di organisasi kampusnya di dalam keseharian.
Tentu ia sendiri mengaku, ia mendapatkan segala pembelajaran tersebut dari dosennya sendiri. Dosennya selalu menegaskan, bahwa dalam proposal kegiatan, tujuan beserta ketiga unsur tersebut sangat penting untuk membentuk kegiatan. 
Tadi pun kami memiliki seorang pendamping yang bernama Pak Do. Ia juga berpengalaman dalam organisasi, dan setelah si pemuda menyelesaikan penjelasan tujuan kegiatannya, Pak Do memberikan applaus beserta teman-teman yang lain. Pak Do pun menjelaskan sebuah konsep baru pula dalam membuat proposal kegiatan, yaitu konsep SMART:
Specific -> menjelaskan segala hal secara rinci
Management -> mengatur segala sesuatunya secara berurutan, seperti tempat serta waktu
Achievement -> melihat apakah proposal dapat dicapai dengan target waktu dan kondisi yang ada
Realistic -> mengukur apakah isi proposal sesuai dengan situasi dan kondisi
Time Bond -> berkaitan dengan Management of Time, dimana kita mengatur kesesuaian waktu dengan segala isi daripada kegiatan itu sendiri
Demikianlah pelajaran organisasi hari ini :D 
Bilamana lanjut ke cerita saya sendiri, rasanya jadi tercampur baur hehe... intinya, saya makin termotivasi untuk selalu maju, karena sosok si tukang presentasi ini :p
4 notes · View notes
thinkpinkblueconcept-blog · 14 years ago
Text
Dari sebuah Kolam Renang
Selasa 31 Mei 2011, sekitar jam 11  siang aku beserta teman-temanku pergi ke Ocean Park untuk berenang. Well, kebetulan hari ini kami semua sedang libur sekolah...
Kami main segala sesuatunya, mulai dari kolam arus, perosotan, flying fox, sampai kolam anak kecil pun saya singgahi. Inspirasi daripada tulisan "Dari sebuah Kolam Renang" ini di dapatkan ketika sudah menjelang sore kami sudah mau selesai bermain-main di Ocean Park, dimana sekali lagi kami berada di Kolam Ombak yang tingginya mencapai 1.5 m itu.
Jadi sebenarnya begini keadaannya, Kolam Ombak itu ada setiap jamnya, maka sebelum jam 15.00 kami suda standby disana untuk siap-siap bermain. Well kebanyakan dari waktu itu kami habiskan untuk ngobrol dan ngerumpi saja, sambil memenuhi ban yang sebenarnya berkapasitas untuk 2 orang menjadi 5 orang, sedangkan 2 orang lainnya ada di ban kecil masing-masing. Ketika Ombak sudah mulai dinyalakan, kami mulai bergerak naik dan turun, naik turun kembali. Tak jarang kami sedikit-sedikit terpeleset hampir jatuh dan lain sebagainya, tapi kami selalu mau memperbaiki posisi kami masing-masing, ataupun dibantu dengan teman lainnya. Pada suatu ketika kedua teman cewek kami yang ada di ban kecil hanyut terbawa arus, namun karena rasa kebersamaan ingin selalu kami pegang, akhirnya salah satu teman kami, San, menjatuhkan diri dari ban besar dan pergi "menolong" mereka berdua agar bisa kembali bersama-sama. Sungguh heroik. 
San pun naik ke atas ban besar dengan susah payah, karena memang ombak menyulitkannya untuk naik. Beberapa saat kemudian karena saya dan Pin berusaha menarik si dua cewek mungil untuk mendekat, si ban besar pun miring, dan kami semua yang ada di ban besar terjatuh. Hiyaaa.... sulit sekali untuk membalikkan ban besar tersebut di kolam yang penuh dengan ombak-ombak yang kembali menerjang tiap 2 detik. Membalikkan saja sudah memakan 30 detik, apalagi naiknya. Benar-benar harus perorangan naik satu-satu, dan itu pun sulit. Kolam yang kami pijak cukup dalam, sehingga harus berenang disana. Tangan kami lemas rasanya, mengangkat beban kami yang berbobot sedemikian rupa sehingga bisa di atas ban. Sungguh perlawanan yang tak mudah. Air terus menerjang dimana tubuh harus menerjang melawan perlawanan. Begitu kami berada di atas ban, sungguh terasa lega karena bisa berada di zona nyaman. Kadang kami sampai lupa bahwa tadinya kami bergulat dengan air di bawah kami sendiri. San sudah mau berkorban dan menolong yang kesulitan.
Entah kenapa pergulatan saya dengan si air ombak buatan di Ocean Park ini membuat saya berpikir tentang keseharian hidup manusia sendiri. Manusia selalu berjuang keras sedemikian rupa agar mencapai apa yang diinginkannya. Kerja keras yang kuat, tak kenal lelah dan tak pandang pesimis akan mencapai keberhasilan. Keberhasilan itu terlihat ketika kita bisa senang berada di atas. Saat sudah berada di atas, kita pun masuk ke zona nyaman kita. Terkadang, kita takut untuk jatuh kebawah lagi untuk menolong orang-orang yang masih ada dibawah. Padahal, bukankah kita pernah ada di posisi mereka?
Bilamana manusia sudah masuk ke dalam zona nyamannya, hendaknya ia selalu mensyukuri setiap peristiwa yang sudah dilaluinya. Manusia harus selalu melihat kebawah untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Misal, kita kaya, apakah kita tidak berhak untuk melihat yang hidup serba kekurangan. Apakah kita justru menghindari mereka ataukah kita menyikapi mereka dengan ketulusan dan kerendahan hati?
Hal ini tidak hanya berlaku untuk hal material kekayaan kemiskinan dan lain sebagainya, namun kita perlu memperluasnya ke dalam pribadi kita masing-masing. Melihat kebawah itu perlu, tolonglah orang yang butuh pertolongan, dan kita pun akan selamat dan bahagia :)
0 notes
thinkpinkblueconcept-blog · 14 years ago
Text
Rumah Hati - Finished
Rumah Hati
Oleh: Frederika Cynthia Dewi
Bola, lebih tepatnya sebuah lingkaran, berputar dengan begitu kencangnya. Bunyi besi yang sehari-hari kudengar, bergesekan dan terkadang bising. Bertemu dengannya setiap hari, membuat hati bergemuruh dalam keseharian yang sunyi. Keramaian yang ada setiap hari, serta kesibukan setiap individu di sana, semuanya terasa hampa dan kosong tanpa warna keceriaan. Suara Masjid yang menghiasi hari itu, tidak tampak warnanya tanpa senyuman. Hm... aku yang memang hanya seorang anak yang berada di tengah-tengah keramaian itu dan tidak mengerti apa-apa soal segala kerumitan duniawi mungkin tidak pantas menginterupsi kesibukan mereka. Mereka sukses, bahagia, mungkin. Jarang aku melihat ada senyuman pada wajah orang-orang yang lalu lalang di tempat itu. Keramaian yang kelabu, seringkali menghiasi suasana setiap harinya. Aku ingin memberikan kebahagiaan kepada mereka, namun bagaimana, bila kesadaran akan kehadiranku hanya sebatas itu? Kata kawanku, aku tak diberi nama oleh orangtuaku sejak lahir. Ayahku yang seorang pemabuk dan pecandu, pasti sudah tidak peduli lagi terhadapku. Semalam ia baru saja memukuliku dengan tangannya memakai kayu bekas bangunan di depan rumah. Entah mengapa aku merindukan sosok kasih sayang yang dulu kudapatkan dari ibuku. Ia kini tiada, dan aku pun harus berkelut dengan semua ini. Kekosongan nama diriku  akhirnya diisi oleh nama julukan yang cukup memotivasiku. Pahmi, si murah senyum.
                Pagi hari yang subuh, diawali dengan rapat koordinasi dengan si Bos, seperti biasa. Aku tidak suka pada bos-ku yang serakah itu. Ia hanya mementingkan keuntungannya sendiri, dan tidak pernah memikirkan kepentingan para anak buahnya. “Heh cepetan loe pada, lama banget! Hari ini gue emang sengaja ngumpulin loe pada pagi-pagi, biar bisa cepetan kerja hahaha! Jangan lupa semua duit, kayak biasa, kumpulkan ke gue, terus nanti gue bagi rata! Gak ada yang nilep duit, coz gue bakalan langsung tau. Ingat ya, ntar loe masing-masing bakal dapet satu batang rokok setiap mengumpulkan uang, jadi nyemok semua lo ntar kalo udah selesai kerja, seneng kan??“  semua anak-anak yang ada di sekitarku bertepuk tangan senang, tidak merasa tertipu oleh bujukan licik sang Bos. Aku yang sejak pagi tadi memandang kosong karena bergelut perasaan rindu akan kehangatan dan kasih sayang, tiba-tiba saja sudah berada di Stasiun Sudirman. Ah, aku meninggalkan posku! Tapi sudah terlambat, sekalinya berada pada satu stasiun, aku tak bisa kembali ke perkumpulan dengan tangan kosong. Karena tanpa uang di tanganku saat aku kembali, sama saja seperti membuang nasi bungkus yang masih utuh ke dalam tong sampah. Aku sudah dibekali, dan aku harus mempertanggung jawabkannya.
                “Koran! Koran! Seribu rupiah, seribu rupiah!“ tak satupun menanggapi. Mereka sibuk dengan Blackberry masing-masing. Urusan bisnis, tidak jauh dari matematika sepertinya. Aku diacuhkan, dan tak dipedulikan. Sepertinya di mata mereka, aku hanyalah seorang anak kecil yang sekedar ada sebagai “penghias” di stasiun. Aku tidak patah semangat. Aku harus dapat honor agar ayahku tidak memukuliku lagi.
                “Koran Pak, Koran Bu! Koran pagi, kor….!” Bugh! Sraaaaakkk! Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak kantoran menabrakku karena sibuk menelepon dan sepertinya ia tidak melihatku berada disana. Kutatap matanya dengan mata setengah berani, namun takut pula. “KAMU PUNYA MATA ANAK KECIL? PERGUNAKANLAH MATA ITU SEMESTINYA! Saya ini seorang businessman, sedang sibuk, sedang buru-buru. Anak kecil sepertimu berada disini hanya sekedar menghalangi jalan saja, TOLONG MINGGIR!“ Ia pun langsung pergi meninggalkanku dengan setumpuk koran berceceran di stasiun. Sungguh aku ingin menangis saat itu. Aku dihina, dicerca. Aku sedih.
                Tiba-tiba ada sebuah aroma parfum melati mencerahkan kesedihanku waktu itu. Bunga yang penuh cinta dan ketulusan, dapat kurasakan waktu itu. Seorang wanita datang kepadaku dan membantuku membereskan keberantakan koran-koran jualanku di situ. Ia masih muda. Wajahnya cantik dan rambutnya terurai panjang, berwarna kecoklatan. Ia menggunakan make up dengan cantiknya, dan ia memakai pakaian yang sungguh terlihat seperti peragawati professional. Di tangan kanannya terdapat berbagai tumpukan majalah fesyen, dan ia membawa tas cukup besar. Sepertinya berisi keperluan kerjanya. Meskipun bawaannya banyak, ia tetap membantuku membereskan koran-koran itu.
                “Kamu tidak apa-apa nak? Ada yang luka?“ tanya wanita itu kepadaku. “Aku gak papa kak, terima kasih ya sudah mau membantuku merapikan koran-koranku,” tuturku. “Hm, syukurlah kamu tak apa-apa, orang tadi memang terkenal selalu mau menang sendiri nak. Jangan pikirkan apa yang dikatakannya ya, sungguh dia selalu menggerutu, karena kesal dengan Bos-nya yang hampir setiap hari menyibukkan dia dengan berbagai kewajiban,“ kata wanita itu kepadaku. Ia terlihat biasa-biasa saja menceritakan hal tersebut kepadaku, tapi dapat kulihat dibalik matanya ada suatu kesedihan yang mendalam. Walau ditutupi oleh wajah secantik apapun, wajah sedih itu tetap ada. Aku pun bertanya penasaran kepadanya, “Kakak, apa kakak juga memiliki urusan pekerjaan seperti lelaki tadi? Yang membuat pusing tidak keruan seperti tadi?“
“Hm, tidak, kakak malah lagi sukses-suksesnya merintis majalah fesyen yang kakak pimpin,“ jawabnya dengan setengah senyuman.
“Namun kenapa kakak terlihat sangat sedih? Walau wajah kakak secantik apapun saja tidak bisa membohongi perasaan kakak.” Tiba-tiba air mata terlintas dan membasahi pipinya. Aku telah membuat kakak ini menangis!
“Kak! Maafkan aku, aku tidak sepantasnya menghakimi kakak seperti itu, aku bukan siapa-siapa. Maaf kak aku sudah merepotkan kakak, bagaimana caranya aku bisa meminta maaf?” Aku panik. Tak kusangka aku justru membuat seorang wanita cantik menangis tersedu-sedu.
“Nak, tidak apa-apa. Kakak tidak apa-apa kok. Justu perkataanmu membuat kakak tersentak, karena memang sejak semalam ada yang kupikirkan,“ aku tak bisa berkata apa-apa, keadaan kakak yang cantik ini mirip denganku.
“Bagaimana kalau begini saja Nak. Kamu temani kakak minum kopi di sana, dan kamu mendengarkan cerita kakak sebagai bentuk permintaan maafmu terhadap kakak?“ aku sedikit berpikir sebentar, dan merasa tidak enak. Tapi sebelum aku sempat berkata, kakak cantik itu langsung menarikku ke sebuah kedai kopi dekat stasiun.
                “Welcome to Starbucks! Mau pesan apa ya Mbak?”
“Saya minta satu frappucino caramel, no whip yang ukuran tall ya. Sama satu lagi… kamu mau pesan apa nak?” aku bingung, masuk kesini saja aku tak pernah, dan rasanya tempat ini tidak cocok untukku. Namun aku berusaha untuk tetap tenang saja
“Aku pesan teh saja,” sahutku.
“Baiklah, satu frappucino caramel no whip ukuran tall dengan es teh-nya ya,” sahut penjaga kasir kedai kopi itu. Setelah pesanan kami datang, kami pun duduk di sebuah kursi di ujung kedai. Wanita itu pun memulai ceritanya.
“Jadi masalah ku bermula dari sejak aku berpacaran dengan lelaki ini. Baru saja kemarin,ia mengajakku untuk bertunangan. Aku merasa belum siap, karena saat ini lingkungan kami berdua kurang mendukung. Ayah ibunya baru saja cerai, dan orangtua kakak masih kurang setuju kakak berpacaran dengan lelaki yang pernah tidak naik kelas sekali ini. Orang tuaku menuntut kakak untuk mendapat pria yang sempurna sesuai kriteria mereka, bukan kriteria kakak. Di satu sisi kakak mencintai lelaki ini, tapi di sisi yang lain kakak tidak ingin orang tua kakak kecewa terhadap kakak,“ air mata itupun kembali menetes ke pipi sang kakak. Ia sungguh memang cantik dan menawan, bahkan saat ia menangis sekalipun, wajah cantiknya tetap terlihat. Kakak itupun langsung meminta maaf karena lagi-lagi ia menangis di depanku.
Aku merasa bahwa aku harus menceritakan pengalamanku sendiri bila berhadapan dengan dunia yang penuh dengan kesibukkan di stasiun. Sehari-hari aku merasa, kesibukkan yang ada di wajah setiap orang kantoran membuat hari-hari muram. Aku bahkan menceritakan bahwa aku bisa mengingat beberapa orang yang pergi dan pulang dengan kereta yang sama dan pada jam tertentu. Wajah mereka saat pulang kantor, lebih kusam dibandingkan saat berangkat. Padahal saat keberangkatan pun, wajah mereka tidak dihiasi senyuman. Aku heran, kenapa hidup ini begitu menyulitkan? Aku saja tidak bisa bersekolah, mendapat ayah pemabuk dan harus kerja diusia muda begini. Sedangkan orang-orang yang memiliki kerja hebat sekalipun, tetap saja bermuram durja setiap harinya. Rasanya hari tanpa senyuman bak karakter tanpa motivasi. Sosok wanita itu tertegun dengan  ucapanku.
                Jangan pernah putus asa dalam hidup, karena hidup ini bagai grafik yang terus menerus naik keatas, namun sesekali memiliki jurang yang terjal, ingat selalu bahwa grafik tersebut selalu naik ke atas.
                Ucapan itu dituliskan pada secarik kertas dan diberikannya kepadaku. “Ingat ya Pahmi, walau hidup ini sulit, jangan pernah menyangka bahwa semua orang merasakan hal yang sama. Bahkan orang yang dari luar terlihat lebih bahagia daripada kita karena material duniawi saja bisa mengalami yang pahit-pahit secara ekstrem. Tenang saja, kakak akan selalu mendorong Pahmi untuk terus maju,“  sang kakak pun berkata demikian segera setelah mengetahui namaku.
“Iya kak, aku akan terus berjuang dalam hidup, aku tidak akan melupakan kata-kata dari kakak! Semoga kakak sukses menempuh kebahagiaan di hidup kakak“ sahutku gembira. Aku pun menuliskan sebuah kata-kata untuknya pada secarik kertas
Kebahagiaan itu nomer satu.
Segera setelah ucapan terakhir tersebut, wanita itu lari mengejar taksi untuk langsung pergi ke tempat kerjanya. Ia memang seorang wanita kuat, tidak lari dari tanggung jawabnya sebagai editor. Aku pun harus seperti dirinya, aku akan terus berjuang berjualan sampai ufuk tiba.
                Aku pun kembali ke tempat perkumpulanku di Kampung Gunung dekat St Sudimara. Sesaat setelah keluar dari keretaku, tiba-tiba aku langsung disergap, bahkan tak segan-segan para seniorku langsung melemparku dan merampas tas selempanganku. Kepalaku berdarah karena terkena aspal di pinggiran stasiun, sungguh perih sekali. Mereka semua langsung merampas uang yang ada di dalam tas ku, termasuk uang dari wanita muda yang aku temui di Sudirman tadi. Padahal, ia memberikan uang itu untuk biayaku sekolah, sepenuhnya untukku. Namun apa yang bisa kulakukan, segepok itu telah dirampas. Terenggut oleh tangan lain yang tidak bertanggung jawab. Aku berusaha untuk memberontak dan mengambil hak milikku kembali, namun aku kembali di banting. Lalu kuputuskan untuk duduk di samping mereka setengah terjatuh. Para seniorku  menemukan secarik kertas yang diberikan oleh wanita tadi kepadaku, “Hahahahaha! Apa-apaan ini? Jangan pernah putus asa dalam hidup, karena hidup ini bagai grafik yang terus menerus naik keatas, namun sesekali memiliki jurang yang terjal, ingat selalu bahwa grafik tersebut selalu naik ke atas. Tulisan gak penting apaan sih ini? Grafik grafik, emang loe kira gue ngerti ekonomi? Tau gak, karena ada orang-orang seperti mereka, yang tidak peduli terhadap orang-orang kayak kita, kita jadi kayak begini. Setiap hari harus berjualan koran, dan kita semua dienyahkan dari pandangan mereka, dianggap makhluk hina! Padahal sejak dulu hal-hal seperti itu dikatakan hak asasi manusia, dimana letaknya?! Kita semua disini juga lelah dengan keadaan ini kan? Jadi gak usah nulis-nulis kata-kata bego seperti itu!“ Segera setelah dihina sedemikian rupa, kertas dari wanita itu dibuang dan diinjak-injak oleh para seniorku. Mereka tidak mengerti, hanya aku yang mengerti. Aku mengerti diriku sendiri, dan mau dibawa kemana perjuanganku selama ini. Walau hinaan dan cercaan terus mengiringi hidupku, aku tidak apa-apa. Karena ada motivasi dari sang kakak cantik yang bisa berlaku bagi siapa saja dan dimana saja ia berada. Kertas itupun kupungut, dan kujadikan benda paling berharga yang kumiliki. Aku selalu membacanya saat aku patah semangat, dan kemudian pulih kembali. Sungguh sebuah dorongan untuk menjadi sesosok yang kuat.
                Setahun pun berlalu. Aku, Pahmi, seorang penjual koran, tetap berjualan koran seperti biasa. Hanya saja bedanya diriku dengan setahun yang lalu sangat tampak. Tahun lalu aku menjalaninya dengan penuh kesukaran, ketidakyakinan serta kesedihan, namun sekarang aku pun menjalani segalanya dengan penuh sukacita dan kebahagiaan. Bedanya lagi, aku kini pindah kepada Bos yang jauh lebih baik, dan peduli terhadap anak jalanan. Ia juga tidak segan-segan memberi uang lebih, kebersamaan ia junjung tinggi. Akupun menabung sedikit demi sedikit honor-honor yang diberikan oleh si Bos untuk biaya ku sekolah. Aku juga berjuang dalam sekolah agar dapat mempertahankan beasiswaku.
                Tiba-tiba ada sebuah sentuhan hangat menyapaku dari belakang. Aku mengenal sesosok ini. Seorang wanita muda yang dulu telah mengajakku minum kopi! Sungguh aku ingat setiap sekuel tubuhnya yang menampilkan kecantikan alaminya. Disebelah wanita itu telah berdiri seorang laki-laki yang tingginya kira-kira 10 cm di atasnya. Tubuhnya cukup besar dengan kulit sedikit kehitaman. Wajahnya tampan dengan potongan rambut pendeknya yang trendy. Kulihat jari manis kedua orang itu. Mereka telah menikah!
“Halo Pahmi! Bagaimana kabarmu nak?” Tanya wanita itu kepadaku, yang ternyata akrab disapa Elle.
“Baik kak! Aku sekarang sudah sekolah loh. Aku menabung honorku sedikit demi sedikit setiap bulannya. Aku sudah mendapat bos yang jauh lebih baik daripada dulu. Dan aku tetap menyimpan…”
“Tunggu-tunggu Mi, kamu masih ingat ini?” potongnya ditengah-tengah ceritaku. Ternyata kertas yang dulu aku tuliskan kepadanya disimpan dalam sebuah liontin cantik yang dikalunginya. Aku terharu, spontan aku menangis senang karena wanita itu masih mengingatku dengan begitu dalam.
“Aku juga menyimpannya kak! Lihat ini!“ aku menunjukkan yang milikku berada di dalam sebuah kalung yang kubuat sendiri. Kakak Elle pun senang melihatnya dan ikut-ikutan menangis
“Sebenarnya Pahmi, kakak sudah menikah dengan pria disebelah kakak ini, namanya Kak Rio. Sebenarnya aku ingin kamu jadi anak angkatku, apakah kamu mau?“  Aku senang sekali! Apakah ini artinya aku akan memiliki ibu lagi? Aku akan merasakan kehangatan sebuah keluarga!
“Aku mau kak, aku mau!“ sahutku girang. Aku pun langsung memeluknya, dan aku pun langsung ikut mereka berdua.
Si penjual koran menjadi seorang anak berbakti kepada orang tua serta peduli terhadap anak-anak jalanan. Kebahagiaan, senyuman, awalilah hari-harimu dengan hal-hal positif. Jangan pernah berhenti berjuang, karena hidup ini bagai sebuah keseimbangan antara senang dan sedih.
2 notes · View notes
thinkpinkblueconcept-blog · 14 years ago
Text
Draft Outline - Rumah Hati
Rumah Hati
Oleh: Frederika Cynthia Dewi
Bola, lebih tepatnya sebuah lingkaran, berputar dengan begitu kencangnya. Bunyi besi yang sehari-hari kudengar, bergesekan dan terkadang bising. Bertemu dengannya setiap hari, membuat hati bergemuruh dalam keseharian yang sunyi. Keramaian yang ada setiap hari, serta kesibukan setiap individu disana, semuanya terasa hampa dan kosong tanpa warna keceriaan. Suara Masjid yang menghiasi hari itu, tidak tampak warnanya tanpa senyuman. Hm... aku yang memang hanya seorang anak yang berada di tengah-tengah keramaian itu dan tidak mengerti apa-apa soal segala kerumitan duniawi mungkin tidak pantas menginterupsi kesibukan mereka. Mereka sukses, bahagia, mungkin. Jarang aku melihat ada senyuman pada wajah orang-orang yang lalu lalang di tempat itu. Keramaian yang kelabu, seringkali menghiasi suasana setiap harinya. Aku ingin memberikan kebahagiaan kepada mereka, namun bagaimana, bila kesadaran akan kehadiranku hanya sebatas itu? Kata kawanku, aku tak diberi nama oleh orangtuaku sejak lahir. Ayahku yang seorang pemabuk dan pecandu, pasti sudah tidak peduli lagi terhadapku. Semalam ia baru saja memukuliku dengan tangannya memakai kayu bekas bangunan di depan rumah. Entah mengapa aku merindukan sosok kasih sayang yang dulu kudapatkan dari ibuku. Ia kini tiada, dan aku pun harus berkelut dengan semua ini. Kekosongan nama diriku  akhirnya diisi oleh nama julukan yang cukup memotivasiku. Pahmi, si murah senyum.
                Pagi hari yang subuh, diawali dengan rapat koordinasi dengan si Bos, seperti biasa. Bos-ku yang tidak baik dan serakah, aku tak suka padanya. Ia hanya mementingkan keuntungannya sendiri, dan tidak pernah memikirkan kepentingan para anak buahnya. „Ok anak-anak, hari ini saya memang sengaja mengumpulkan kalian pagi-pagi, biar kalian bisa dengan cepat bekerja hahaha! Jangan lupa semua honor, seperti biasa, kumpulkan ke saya, dan nanti akan saya bagi rata kepada semuanya! Tidak ada yang menyelundupkan uang diam-diam, karena saya akan langsung mengetahuinya. Ingat ya, nanti kalian masing-masing akan mendapatkan satu batang rokok setiap mengumpulkan uang,“  semua anak-anak yang ada di sekitarku bertepuk tangan senang, tidak merasa tertipu oleh bujukan licik sang Bos. Aku yang sejak pagi tadi memandang kosong karena bergelut perasaan rindu akan kehangatan dan kasih sayang, tiba-tiba saja sudah berada di Stasiun Sudirman. Ah, aku meninggalkan posku! Tapi sudah terlambat, sekalinya berada pada satu stasiun, aku tak bisa kembali ke perkumpulan dengan tangan kosong. Karena tanpa uang di tanganku saat aku kembali, sama saja seperti membuang nasi bungkus yang masih utuh ke dalam tong sampah. Aku sudah dibekali, dan aku harus mempertanggung jawabkannya.
                „Koran! Koran! Seribu rupiah, seribu rupiah!“ tak satupun menanggapi. Mereka sibuk dengan Blackberry masing-masing. Urusan bisnis, tidak jauh dari matematika sepertinya. Aku diacuhkan, dan tak dipedulikan. Sepertinya dimata mereka, aku hanyalah seorang anak kecil yang sekedar ada sebagai “penghias” di stasiun yang tidak sepantasnya aku berada. Aku tidak patah semangat. Aku harus dapat honor agar ayahku tidak memukuliku lagi.
                “Koran pak, Koran bu! Koran pagi, kor….!” Bugh! Sraaaaakkk! Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak kantoran menabrakku karena sibuk menelepon dan sepertinya ia tidak melihatku berada disana. Kutatap matanya dengan mata setengah berani, namun takut pula. „KAMU PUNYA MATA ANAK KECIL? PERGUNAKANLAH MATA ITU SEMESTINYA! Saya ini seorang buisnessman, sedang sibuk, sedang buru-buru. Anak kecil sepertimu berada disini hanya sekedar menghalangi jalan saja, tolong minggir!“ Ia pun langsung pergi meninggalkanku dengan setumpuk koran berceceran di stasiun. Sungguh aku ingin menangis saat itu. Aku dihina, dicerca. Aku sedih.
                Tiba-tiba ada sebuah aroma parfum melati mencerahkan kesedihanku waktu itu. Bunga yang penuh cinta dan ketulusan, dapat kurasakan waktu itu. Seorang wanita datang kepadaku dan membantuku membereskan keberantakan koran-koran jualanku di situ. Ia masih muda. Wajahnya cantik dan rambutnya terurai panjang, berwarna kecoklatan. Ia menggunakan make up dengan cantiknya, dan ia memakai pakaian yang sungguh terlihat seperti peragawati professional. Di tangan kanannya terdapat berbagai tumpukan majalah fesyen, dan ia membawa tas cukup besar. Sepertinya berisi keperluan kerjanya. Meskipun bawaannya banyak, ia tetap membantuku membereskan koran-koran itu.
                „Kamu tidak apa-apa nak? Ada yang luka?“ tanya wanita itu kepadaku. “Aku gak papa kak, terima kasih ya sudah mau membantuku merapikan koran-koranku,” tuturku. “Hm, syukurlah kamu tak apa-apa, orang tadi memang terkenal selalu mau menang sendiri nak. Jangan pikirkan apa yang dikatakannya ya, sungguh dia selalu menggerutu, karena kesal dengan Bos-nya yang hampir setiap hari menyibukkan dia dengan berbagai kewajiban,“ kata wanita itu kepadaku. Ia terlihat biasa-biasa saja menceritakan hal tersebut kepadaku, tapi dapat kulihat dibalik matanya ada suatu kesedihan yang mendalam. Walau ditutupi oleh wajah secantik apapun, wajah sedih itu tetap ada. Aku pun bertanya penasaran kepadanya „ Kakak, apa kakak juga memiliki urusan pekerjaan seperti lelaki tadi? Yang membuat pusing tidak keruan seperti tadi?“ „Hm, tidak, kakak malah lagi sukses-suksesnya merintis majalah fesyen yang kakak pimpin,“ jawabnya dengan setengah senyuman. „Namun kenapa kakak terlihat sangat sedih? Walau wajah kakak secantik apapun saja tidak bisa membohongi perasaan kakak.” Tiba-tiba air mata terlintas dan membasahi pipinya. Aku telah membuat kakak ini menangis! “Kak! Maafkan aku, aku tidak sepantasnya menghakimi kakak seperti itu, aku bukan siapa-siapa. Maaf kak aku sudah merepotkan kakak, bagaimana caranya aku bisa meminta maaf?” Aku panik. Tak kusangka aku justru membuat seorang wanita cantik menangis tersedu-sedu. „Nak, tidak apa-apa. Kakak tidak apa-apa kok. Justu perkataanmu membuat kakak tersentak, karena memang sejak semalam ada yang kupikirkan,“ aku tak bisa berkata apa-apa, keadaan kakak yang cantik ini mirip denganku. „Bagaimana kalau begini saja nak. Kamu temani kakak minum kopi di sana, dan kamu mendengarkan cerita kakak sebagai bentuk permintaan maafmu terhadap kakak?“ aku sedikit berpikir sebentar, dan merasa tidak enak. Tapi sebelum aku sempat berkata, kakak cantik itu langsung menarikku ke sebuah kedai kopi dekat stasiun.
                „ Welcome to Starbucks! Mau pesan apa ya mbak?” “Saya minta satu frappucino caramel, no whip yang ukuran tall ya. Sama satu lagi… kamu mau pesan apa nak?” aku bingung, masuk kesini saja aku tak pernah, dan rasanya tempat ini tidak cocok untukku. Namun aku berusaha untuk tetap tenang saja “Aku pesan teh saja,” “Baiklah, satu frappucino caramel no whip ukuran tall dengan es teh-nya ya,” sahut penjaga kasir kedai kopi itu. Setelah pesanan kami datang, kami pun duduk di sebuah kursi di ujung kedai. Wanita itu pun memulai ceritanya. „Jadi masalah ku bermula dari sejak aku berpacaran dengan lelaki ini. Baru saja kemarin,ia mengajakku untuk bertunangan. Aku merasa belum siap, karena saat ini lingkungan kami berdua kurang mendukung. Ayah ibunya baru saja cerai, dan orangtua kakak masih kurang setuju kakak berpacaran dengan lelaki yang pernah tidak naik kelas sekali ini. Orang tuaku menuntut kakak untuk mendapat pria yang sempurna sesuai kriteria mereka, bukan kriteria kakak. Di satu sisi kakak mencintai lelaki ini, tapi di sisi yang lain kakak tidak ingin orang tua kakak kecewa terhadap kakak,“ air mata itupun kembali menetes ke pipi sang kakak. Ia sungguh memang cantik dan menawan, bahkan saat ia menangis sekalipun, wajah cantiknya tetap terlihat. Kakak itupun langsung meminta maaf karena lagi-lagi ia menangis di depanku. Aku merasa bahwa aku harus menceritakan pengalamanku sendiri bila berhadapan dengan dunia yang penuh dengan kesibukkan di stasiun. Sehari-hari aku merasa, kesibukkan yang ada di wajah setiap orang kantoran membuat hari-hari muram. Aku bahkan menceritakan bahwa aku bisa mengingat beberapa orang yang pergi dan pulang dengan kereta yang sama dan pada jam tertentu. Wajah mereka saat pulang kantor, lebih kusam dibandingkan saat berangkat. Padahal saat keberangkatan pun, wajah mereka tidak dihiasi senyuman. Aku heran, kenapa hidup ini begitu menyulitkan? Aku saja tidak bisa bersekolah, mendapat ayah pemabuk dan harus kerja diusia muda begini. Sedangkan orang-orang yang memiliki kerja hebat sekalipun, tetap saja bermuram durja setiap harinya. Rasanya hari tanpa senyuman bak karakter tanpa motivasi. Sosok wanita itu tertegun dengan  ucapanku.
                Jangan pernah putus asa dalam hidup, karena hidup ini bagai grafik yang terus menerus naik keatas, namun sesekali memiliki jurang yang terjal, ingat selalu bahwa grafik tersebut selalu naik ke atas.
                Ucapan itu dituliskan pada secarik kertas dan diberikannya kepadaku. „Ingat ya Pahmi, walau hidup ini sulit, jangan pernah menyangka bahwa semua orang merasakan hal yang sama. Bahkan orang yang dari luar terlihat lebih bahagia daripada kita karena material duniawi saja bisa mengalami yang pahit-pahit secara ekstrem. Tenang saja, kakak akan selalu mendorong Pahmi untuk terus maju,“  sang kakak pun berkata demikian segera setelah mengetahui namaku „Iya kak, aku akan terus berjuang dalam hidup, aku tidak akan melupakan kata-kata dari kakak! Semoga kakak sukses menempuh kebahagiaan di hidup kakak“ sahutku gembira. Aku pun menuliskan sebuah kata-kata untuknya pada secarik kertas
Kebahagiaan itu nomer satu.
Segera setelah ucapan terakhir tersebut, wanita itu lari mengejar taksi untuk langsung pergi ke tempat kerjanya. Ia memang seorang wanita kuat, tidak lari dari tanggung jawabnya sebagai editor. Aku pun harus seperti dirinya, aku akan terus berjuang berjualan sampai ufuk tiba.
                Aku pun kembali ke tempat perkumpulanku di Kampung Gunung dekat St Sudimara. Sesaat setelah keluar dari keretaku, tiba-tiba aku langsung disergap, bahkan tak segan-segan para seniorku langsung melemparku dan merampas tas selempanganku. Kepalaku berdarah karena terkena aspal di pinggiran stasiun, sungguh perih sekali. Mereka semua langsung merampas uang yang ada di dalam tas ku, termasuk uang dari wanita muda yang aku temui di Sudirman tadi. Padahal, ia memberikan uang itu untuk biayaku sekolah, sepenuhnya untukku. Namun apa yang bisa kulakukan, segepok itu telah dirampas. Terenggut oleh tangan lain yang tidak bertanggung jawab. Aku berusaha untuk memberontak dan mengambil hak milikku kembali, namun aku kembali di banting. Lalu kuputuskan untuk duduk di samping mereka setengah terjatuh. Para seniorku  menemukan secarik kertas yang diberikan oleh wanita tadi kepadaku „Hahahahaha! Apa-apaan ini? Jangan pernah putus asa dalam hidup, karena hidup ini bagai grafik yang terus menerus naik keatas, namun sesekali memiliki jurang yang terjal, ingat selalu bahwa grafik tersebut selalu naik ke atas. Tulisan gak penting apaan sih ini? Grafik grafik, emang loe kira gue ngerti ekonomi? Tau gak, karena ada orang-orang seperti mereka, yang tidak peduli terhadap orang-orang kayak kita, kita jadi kayak begini. Setiap hari harus berjualan koran, dan kita semua dienyahkan dari pandangan mereka, dianggap makhluk hina! Padahal sejak dulu hal-hal seperti itu dikatakan hak asasi manusia, dimana letaknya?! Kita semua disini juga lelah dengan keadaan ini kan? Jadi gak usah nulis-nulis kata-kata bego seperti itu!“ segera setelah dihina sedemikian rupa, kertas dari wanita itu dibuang dan diinjak-injak oleh para seniorku. Mereka tidak mengerti, hanya aku yang mengerti. Aku mengerti diriku sendiri, dan mau dibawa kemana perjuanganku selama ini. Walau hinaan dan cercaan terus mengiringi hidupku, aku tidak apa-apa. Karena ada motivasi dari sang kakak cantik yang bisa berlaku bagi siapa saja dan dimana saja ia berada. Kertas itupun kupungut, dan kujadikan benda paling berharga yang kumiliki. Aku selalu membacanya saat aku patah semangat, dan kemudian pulih kembali. Sungguh sebuah dorongan untuk menjadi sesosok yang kuat.
                Setahun pun berlalu. Aku, Pahmi, seorang penjual koran, tetap berjualan koran seperti biasa. Hanya saja bedanya diriku dengan setahun yang lalu sangat tampak. Tahun lalu aku menjalaninya dengan penuh kesukaran, ketidakyakinan serta kesedihan, namun sekarang aku pun menjalani segalanya dengan penuh sukacita dan kebahagiaan. Bedanya lagi, aku kini pindah kepada Bos yang jauh lebih baik, dan peduli terhadap anak jalanan. Ia juga tidak segan-segan memberi uang lebih, kebersamaan ia junjung tinggi. Akupun menabung sedikit demi sedikit honor-honor yang diberikan oleh si Bos untuk biaya ku sekolah. Aku juga berjuang dalam sekolah agar dapat mempertahankan beasiswaku.
                Tiba-tiba ada sebuah sentuhan hangat menyapaku dari belakang. Aku mengenal sesosok ini. Seorang wanita muda yang dulu telah mengajakku minum kopi! Sungguh aku ingat setiap sekuel tubuhnya yang menampilkan kecantikan alaminya. Disebelah wanita itu telah berdiri seorang laki-laki yang tingginya kira-kira 10 cm di atasnya. Tubuhnya cukup besar dengan kulit sedikit kehitaman. Wajahnya tampan dengan potongan rambut pendeknya yang trendy. Kulihat jari manis kedua orang itu. Mereka telah menikah! “Halo Pahmi! Bagaimana kabarmu nak?” Tanya wanita itu kepadaku, yang ternyata akrab disapa El. “Baik kak! Aku sekarang sudah sekolah loh. Aku menabung honorku sedikit demi sedikit setiap bulannya. Aku sudah mendapat bos yang jauh lebih baik daripada dulu. Dan aku tetap menyimpan…” “tunggu-tunggu Mi, kamu masih ingat ini?” potongnya ditengah-tengah ceritaku. Ternyata kertas yang dulu aku tuliskan kepadanya disimpan dalam sebuah liontin cantik yang dikalunginya. Aku terharu, spontan aku menangis senang karena wanita itu masih mengingatku dengan begitu dalam. „Aku juga menyimpannya kak! Lihat ini!“ aku menunjukkan yang milikku berada di dalam sebuah kalung yang kubuat sendiri. Kakak El pun senang melihatnya dan ikut-ikutan menangis „Sebenarnya Pahmi, kakak sudah menikah dengan pria disebelah kakak ini, namanya Kak Rio. Sebenarnya aku ingin kamu jadi anak angkatku, apakah kamu mau?“  Aku senang sekali! Apakah ini artinya aku akan memiliki ibu lagi? Aku akan merasakan kehangatan sebuah keluarga! „Aku mau kak, aku mau!“ sahutku girang. Aku pun langsung memeluknya, dan aku pun langsung ikut mereka berdua.
Si penjual Koran menjadi seorang anak berbakti kepada orang tua serta peduli terhadap anak-anak jalanan. Kebahagiaan, senyuman, awalilah hari-harimu dengan hal-hal positif. Jangan pernah berhenti berjuang, karena hidup ini bagai sebuah keseimbangan antara senang dan sedih.
0 notes
thinkpinkblueconcept-blog · 14 years ago
Text
About Think Pink Blue Concept
"Think Pink Blue Concept", mungkin akan terdengar seperti saya hanya mengambil suatu warna secara mengacak dan menempatkannya dalam Blog. Namun seseungguhnya, kedua warna ini memiliki makna tersendiri dalam diri saya.
Think Pink, atau bisa dibilang berpikir pink, hm... sebenarnya warna pink itu sendiri merepresentasi suatu karakter wanita yang kuat, smart, individualis, dan tidak melupakan kasih sayang. Pink merupakan warna cinta, dimana di dalamnya terdapat suatu integritas akan totalitas dalam berbuat dan bertindak.
Blue Concept, atau bila diterjemahkan akan menjadi "konsep biru". Hal ini berhubungan erat dengan kepercayaan saya terhadap warna biru itu sendiri sebagai warna damai dan penyemangat. Biru adalah sebuah warna yang everlasting bagi saya, karena warna ini merupakan warna langit. Langit adalah pencapaian yang tak terkatakan. Ia berada di atas sana, bahkan berada di atas awan. Setiap melihat ke langit yang berwarna biru muda, terlintas suatu semangat yang rasanya harus terus menerus dipertahankan dan tak boleh dibiarkan surut.
Jadi bilamana kedua warna ini digabungkan menjadi satu, akan menjadi sebuah suatu peleburan yang luar biasa, dimana warna pink akan menjadi "karakter" yang memimpin jalannya suatu sinapsis peta pikiran, sedangkan warna biru akan menjadi "pendamping" atau penyemangat pink. Kedua warna yang saling mendampingi ini akan mencapai kesuksesannya bila bersama. 
Begitulah, dan terciptalah nama blog ini :D
This blog, thinkpinkblueconcept.tumblr.com is a blog that i made first time. I've never try to make blogs before. Sometimes people said that blogs are important to express what we write to other people in the internet world. I feel very happy when I was asked to make a blog as a part of my school duties, and I appreciate for every single support that I've received from my parents, friends, teachers, and even other people of my life.
Think Pink stands out for a stong independent woman character, who won't be afraid of changes
Blue Concept stands out for motivation, support and to remind all of us that we, every single human in our lives, has someone that fully support us to grow.
That's all that I can say, 
hope you enjoy my blog! :D
Selamat membaca! :D
0 notes
thinkpinkblueconcept-blog · 14 years ago
Note
WHAT IS YOUR EARLIEST HUMAN MEMORY?
what? schools?
0 notes
thinkpinkblueconcept-blog · 14 years ago
Text
Outline - Creative Writting
Adegan I
1)      Suasana stasiun -> ramai, namun hampa dan kosong
2)      Pahmi terbayang-bayang ibunya yang baik, yang ada sekarang hanya ayahnya yang nganggur, pemabuk dan perokok berat. Ayahnya sering memukuli dia sebagai bentuk pelampiasan emosinya.
3)      Pahmi, si penjual Koran, dengan kehidupannya yang berat.
  Adegan II
1)      Pagi hari yang subuh, ada rapat koordinasi para penjual Koran dengan si Bos yang tidak baik dan serakah. Si bos selalu memperlakukan anak-anaknya dengan semena-mena dan tidak pernah memikirkan kesehatan mereka. Ia hanya mau uang mereka dari hasil penjualan Koran.
2)      Pahmi yang pikirannya kosong sejak semalam karena dipukuli ayahnya, mengawali perjalanan keretanya dengan pandangan kosong pula. Ia hanya mengikuti arus kereta api dan terdampar di Sudirman. Padahal ia bertugas untuk menjual Koran-koran tersebut di St Sudimara.
3)      Saat ia mulai berjualan Koran, semua orang sibuk dengan Blackberry masing-masing untuk mengurus bisnis. Pahmi diacuhkan, bahkan ada salah seorang bapak kantoran yang mencercanya karena menghalangi jalannya, Koran Pahmi pun berantakan dan bapak itu pun tidak membantunya.
4)      Seorang wanita muda berumur 20-an membuka kesunyiannya. Membantu membereskan Koran-koran dan mentraktirnya secangkir kopi di Starbucks Coffee
5)      Wanita itu putus cinta dan menceritakan kisahnya dengan tunangannya kepada Pahmi. Pahmi bisa memberikan suatu kalimat ampuh dan wanita itu menjadi semangat kembali. Wanita itu juga memotivasi Pahmi sebagai timbal balik atas semua kebaikan Pahmi mendengarkan keluh kesahnya
6)      Karena tanggung jawab wanita tersebut sebagai editor sebuah majalah fashion, akhirnya ia pun pamit. Wanita itu member Pahmi uang lumayan banyak serta karcis kereta untuk kembali pulang ke perkumpulannya.
Adegan III
1)      Pahmi kembali ke Sudimara. Ia langsung disergap oleh si Bos dan para seniornya yang langsung menyergap tas miliknya dan menemukan banyak uang di dalamnnya. Satu-satunya barang yang tidak hilang dari tas Pahmi adalah sebuah kertas yang diselipkan oleh wanita itu diantara uang. Kertas itu terjatuh dan dibaca keras-keras oleh para seniornya. Ia ditertawakan, dicerca, dan kertas itu pun diinjak. Kertas itu adalah sebuah motivasi yang diberikan oleh wanita itu kepada Pahmi.
2)      Pahmi yang ingat dengan pesan-pesan wanita itu tidak menganggap penyergapan tersebut sebagai sebuah kesialan. Ia tetap tersenyum meski ada banyak luka berbekas di mukanya karena memperjuangkan uang yang diberikan wanita tadi.
  Adegan IV
1)      Setahun telah berlalu, Pahmi tetap berjualan Koran dengan setia. Kini ia sudah pindah kepada Bos yang lebih baik dari Bos terdahulu. Bos yang ini peduli terhadap anak jalanan. Ia menabung honor sedikit-sedikit untuk biaya ia sekolah.
2)      Tiba-tiba ada sentuhan hangat menyapa dirinya dari belakang. Ia mengenal sosok ini. Seorang wanita muda yang setahun lalu mengajaknya minum kopi. Disebelah  wanita itu berdiri seorang laki-laki yang lebih tinggi sekitar 10 cm darinya. Mereka telah menikah, Pahmi pun menjadi anak angkat mereka
3)      Si penjual Koran menjadi seorang anak berbakti kepada orang tua serta peduli terhadap anak-anak jalanan. Ia tidak melupakan kawan-kawannya dan memotivasi mereka sepanjang hidupnya.
0 notes