Text
Sebut saja namanya Rio.
Rio bercerita, dia kabur dari rumah pertama kalinya ketika berumur 6 tahun.
"Kenapa? Ada apa?" tanyaku.
Rio nyengir.
"Aku waktu itu ingin membunuh Omku.."
Aku menaikkan alisku, membuka mulutku membentuk huruf O, sebelum akhirnya terbahak.
"Hah? Gimana?"
"Aku bahkan sudah menyusun rencana sempurna. Sangat sempurna. Hhhhh..."
Rio menghela napas. Lalu nyengir lebar. Seakan geli sendiri mengingat cara dia membanggakan diri di saat itu.
"Apa yang terjadiiii..?? Apa yan
Aku mengejar Rio untuk bercerita lebih.
"Yaah.. Omku mencubitku. Dan aku kesal. Aku bertekad akan membunuh Omku. Aku udah siapin tuh tembakan pistol bola. Lalu aku selipin jarum ke pistolnya. Rencanaku kayaknya udah sempurna banget deh.
Aku akan mendatangi Omku. Lalu aku tembakkan pistol berisi jarum ke Omku. Dan dia akan mati.
Tapi.. Waktu aku praktekin, ternyata.. Ternyata bolanya gak bisa ditembakin kalo ada jarumnya.. Hahahaha...
Lalu aku pulang, kebingungan di jalanan. Mempertanyakan diriku sendiri dan merutuk rencanaku yang sempurna itu.
Dan lalu aku dijemput ibuku pulang.."
Aku menyimak dengan tekun memandang mata Rio. Dan lalu terbahak keras.
"Gagal ya?"
"Iya. Gagal. Rencanaku yang sempurna itu gagal."
Dan kami berdua tertawa dengan geli.
0 notes
Text
Aku rindu menulis
Aku mendadak rindu menulis. Tapi menulis apa? Sementara itu hidup penuh dengan struggling di antara kecemasan akan kematian, kesepian hebat, kondisi kejernihan tubuh astral yang minim.
Tapi aku rindu menulis.
Aku rindu menulis, menuangkan segala kepenatan dalam kata-kata. Eh. Atau aku rindu atmosphere menjadi blogger di kala itu ya? Hahaha.
Yang aku ingat, kondisi pikiranku jauh lebih tertata dan lebih gembira ketika dulu rajin menulis. Padahal banyak cerita. Tapi kenapa ya, tidak tersampaikan dalam kata-kata? Atau... aku takut? Hahaha. Aku takut menuangkan kata-kata?
Kenapa ya? Apa yang aku takutkan? Mmm.. Banyak. Hahaha.
Pencitraan? HAHAHAHA. Sudahlah.
Tapi aku rindu menulis.
1 note
·
View note
Text
Thought via Path
Gak ada yg minat balik nulis ke facebook atau ke Google Plus gitu? – Read on Path.
0 notes
Text
Thought via Path
Lanjutan sebelumnya. ••• Lalu ketika bercerita tentang Ali dan Fayyaz ini ke #MasPsikolog, dia komentar begini. "Iya. Berjuang itu bukan bersaing. Mencapai tujuan, bukan kalahkan lawan." Ngngng. Maaf, kurang nangkap akunya, Mas. 😅 "Kompetisi bukan cuma sebuah kata. Kompetisi itu kan penggalan kata. Kompetisi ada di dalam kompeten. Kompetisi itu miliknya kompeten." Lalu katanya lagi, "Kalau menang dijadiin tujuan, berarti butuh tau apa kriteria dari menang. Kriteria MENANG kan gak harus 'ADA DI DEPAN SEMUA ORANG'. Kriteria menang kan gak harus 'SELESAI PALING CEPAT'. Kriteria menang bisa jadi 'SELESAI DALAM WAKTU SECEPAT YANG AKU BISA'. Kriteria menang bisa jadi 'MELAKUKAN SEBAIK YANG AKU BISA'. Jadi apa yang harus dikatakan ke anak ketika mereka berkompetisi? Tetap fokus di diri sendiri, tanpa peduli apa tujuan orang lain. Tetap berusaha mencapai tujuan, tanpa peduli apa yang orang lain lakukan utk mencapai tujuan mereka. Jadi menang itu apa? Menang kadang bukan tentang mengalahkan orang lain. Menang juga bisa tentang mengalahkan diri sendiri." Ouch. Tertampar. 😐 "Kalau mengalahkan anak lain dijadikan kriteria orangtua untuk menang, ya itu berarti orangtua pengen anaknya menyerahkan hidupnya pada orang lain. Berarti orangtua pengen anaknya cuma bergerak berdasarkan gerakan orang lain." "Jadi pertanyaannya, orangtua mau anaknya fokus pada hidupnya sendiri? Atau orangtua mau anaknya berkiblat pada hidupnya orang lain?" Ouch. Ouch. "Coba deh cari film berjudul Children of Heaven. Di film itu ada anak ikut lomba lari. Tujuannya si anak ikut lomba lari untuk bisa dapat hadiah lomba berupa sepatu. Kenapa dia pengen dapat hadiah sepatu? Karena dia ingin mengganti sepatu adiknya yang dia hilangkan. Hasilnya, si anak keluar sebagai juara 1. Semua orang memaknai dia sbg pemenang. Tapi dia menangis keras krn dia memaknai itu sbg gagal. Soalnya sepatu yang dia dambakan adalah hadiah utk juara 3, bukan utk juara 1." – Read on Path.
0 notes
Text
Thought via Path
Tanggal 7-9 Agustus lalu, daku berdua dengan Rana iseng ikut camping homeschooling, berjudul JANGKAR 2018. Dan di malam ke-2, ada acara api unggun, dan performance peserta tiap kelompok dusun. Mewakili dusun Giligili tempat tenda daku berdiri, daku bikin games utk anak-anak di malam performance. Gamesnya sederhana. Membuat kalimat dengan kata terakhir dari kalimat yg dibuat peserta sebelumnya. Misalnya, orang pertama bikin kalimat: "Aku pergi ke pasar." Lalu orang kedua harus bikin kalimat dengan kata terakhir dari orang pertama. "Pasar di dekat rumahku ramai sekali." Yg ikutan sekitar 19 anak. Seru banget, dan anak2nya jago-jago. Sampai akhirnya tersisa 2 anak. 2 anak ini, namanya Ali dan Fayyaz, bisa bikin kalimat SPOK dan perbendaharaan katanya emang luas banget. Jadilah mereka bersahut-sahutan membuat kalimat. Sampai akhirnya si Ali mentok dan menyerah. Fayyaz yg menang. Malam ini di grup camping, kami para ortu bernostalgia mengingat games malam itu. Dan si ibunya Ali berkomentar gini, "Iya Ali kalah karena dia fokusnya pengen menang. Dia kalah melawan dirinya sendiri. Kan yg paling susah itu emang melawan diri sendiri." UWAW. DALAM. 💗 Lalu, ada buibu lain di grup camping cerita juga soal anaknya yg ikut lomba. "Ooh pantes ya. Jadi inget anakku pas lomba renang pengen menang malah jd kalah, krn nengok ke belakang mulu 😊" Waaaa.. Perspektif! – Read on Path.
0 notes
Text
Thought via Path
Masih tentang cerita kemarin sore. Tentang mimpi Rana soal Mamanya meninggal. Lalu daku bertanya dan cari kamus ke #MasPsikolog. Dan dijawab begini: ••••••••••• Meninggal itu apa sih? Meninggal itu ketika waktu hidup selesai. Tapi hidupnya sendiri tidak hilang. (Bentar mikir dulu) --- Waktu hidup selesai, artinya, waktu untuk meminjam badan/jasad sudah selesai. Badannya sudah gak bisa dipinjam lagi. Badannya mati. --- Misalnya gini. Kalau kita ke rumah tetangga, lalu pinjam memakai ayunan yang ada di rumah dia. Kita boleh pakai, dan bisa pakai ayunan itu kan selama pemiliknya mau meminjamkan. Dan selama ayunannya masih ada di rumah itu. Nah, kita perlu stop memakai ayunan kalau sudah waktunya selesai (sesuai perjanjian dengan si pemilik ayunan). Atau kalau tiba-tiba si pemilik ayunan meminta mainannya dikembalikan, kita juga perlu stop bermain juga. Kita boleh nawar waktu bermain gak? Boleh. Tapi kan keputusannya terserah si pemilik ayunan. Kalau pemiliknya tetap gak mau memperpanjang waktu bermain kita gimana? Ya kita mau gak mau harus stop bermain ayunan, dan lalu pulang. Kalau kita gagal bikin pemilik ayunan setuju memperpanjang waktu bermain ayunan, kan berarti mau gak mau kita harus kembalikan ayunan itu. Ayunannya gimana? Ayunannya ya gak ikut kita pulang. Ayunan tetap ada di rumah tetangga kita. --- Terus kita pulang bawa sesuatu gak? Ada dong. Ada yang ikut kita pulang. Yaitu ingatan kita. Ingatan tentang apa? Ingatan tentang aktivitas/kejadian selama bermain ayunan. (Ayunannya kencang? Sempat jatuh? Nyoba ayunan sambil berdiri? Dengan siapa saja kita bermain ayunan? Pemiliknya bilang apa aja?) Ingatan tentang apalagi? Ingatan tentang rasa yang timbul selama bermain ayunan. (Senang? Kesal? Gembira? Sebal? Asyik?) Ingatan boleh dan bisa kita simpan. Ingatan boleh dan bisa kita bawa pulang. (Karena boleh belum tentu bisa. Dan bisa belum tentu boleh.) --- Begitu juga kalau ada orang meninggal. Kalau ada orang yang penting buat kita, meninggal. Kita boleh dan bisa simpan ingatan tentang orang itu, selama yang kita mau. Ingatan tentang apa? Tentang aktivitas kita selama bersama si orang itu. Tentang rasa yang timbul selama kita bersama si orang itu? Tentang siapa saja yg ikut terlibat bersama si orang itu selama hidup. --- Pertanyaannya, Tika mau diingat oleh Rana sebagai Mama yang seperti apa? Tika pengen Rana mengingat Mamanya dengan rasa seperti apa? Rasa gembira? Rasa sebal? Rasa tertekan? Rasa disayang? •••••••••• Glek. 😐 https://www.facebook.com/531462346/posts/10156387195322347/ – Read on Path.
0 notes
Text
Thought via Path
Lagi kepikiran, gimana cara bercerita ke anak yg pas, tentang bahwa orangtuanya akan meninggal suatu hari nanti ya? Latar belakangnya: Rana kemarin sore bangun tidur sambil nangis. Setelah Rana selesai nangis, daku tanya, Daku: "Aku boleh tau gak kenapa kamu sedih?" Rana: "Aku mimpi sedih." Aku: "Waa mimpi apa itu?" Rana: "Aku mimpi Mama meninggal." Terus kami ngobrol tentang detil mimpinya. Katanya Zora (yg skrg baru umur 19 bulan) umurnya udah 5 tahun di mimpi dia. Mukaku waktu meninggal ya agak tua dikit tapi gak tua-tua banget. Muka Bapaknya ya kayak sekarang ini. Ada Eyang Uti Bekasi di mimpi dia. Dll dsb dkk. Setelah mikir sesaat, pelan-pelan daku bilang gini ke Rana. "Iya sih, semua orang pasti akan meninggal. Suatu hari Mama akan meninggal. Papa akan meninggal. Rana dan Zora juga akan meninggal. Tapi kan sekarang kita semua masih hidup. Jadi mumpung kita masih hidup, kita bisa gembira-gembira. Kita bisa saling sayang-sayang. Kita bisa berbuat baik." Ini ngomongnya rada ndhredeg juga sih 😅 Rana nangis lagi abis itu. (Terus dipeluk2 Papanya dalam diam sampai sedihnya selesai). Kepikiran terus sampai pagi ini. 😐 Semoga aku udah pas menyampaikannya. with Rangga – Read on Path.
0 notes
Text
Thought via Path
Lanjutan. 05 --- ••• Materi OrangTua sebagai Fasilitas Belajar. Jadi tujuan ortu sebagai FasBel anak adalah membantu anak menjadi mandiri dan dewasa. Mandiri di sini, adalah sanggup berjuang untuk keinginannya. Materi ortu sebagai FasBel kalau menurut #MasPsikolog adalah kayak gini. umur 0 - 2 tahun membangun rutinitas. umur 1 - 3 tahun membangun keterampilan memilih (enak vs tidak enak, enak vs enak, tidak enak vs tidak enak). umur 2 - 4 tahun membangun keterampilan menawar (sebagai pembeli). umur 3 - 5 tahun membangun keterampilan menawar (sebagai penjual). umur 4 - 6 tahun membangun keterampilan berdagang (win-win transaction). umur 5 - 7 tahun membangun keterampilan memperjuangkan keinginan. umur 6 - 8 tahun membangun keterampilan menghadapi resiko (mengalami akibat). umur 7 - 9 tahun membangun keterampilan menghadapi resiko (mencoba solusi). umur 8 - 10 tahun membangun keterampilan menghadapi resiko (membangun solusi). umur 9 - 11 tahun membangun keterampilan menghadapi resiko (memeriksa solusi). umur 10 - 12 tahun membangun keterampilan menentukan prilaku (mengatur strategi). umur 11 - 13 tahun Program asuh didik tuntas, program pendampingan dimulai. Tentu saja soal umur ini lentur. 😂 LHA WONG AKU AJA MASIH HARUS BELAJAR SOAL PILIHAN TIDAK ENAK VS TIDAK ENAK. Aku aja yg udah punya 2 anak ini masih harus belajar menunaikan rasa kecewa dgn aman. (Mungkin karena sejak kecil sering dilarang kecewa) ••• Panjang bener ya tulisannya. Lalu apakah dengan bikin penjelasan begini lalu aku jadi ahli? Apakah dengan bikin tulisan panjang lebar ini lalu aku udah ngerti cara bikin anakku dewasa? YA GAK. 😂😂😂 Masih berdarah-darah ini. Daku sama sekali belum dewasa. Terima kasih pada Tuhan, aku dipertemukan dengan #MasPsikolog. 💗💗 Eniwei materi soal belajar jd dewasa ini daku rangkum dari seminar kecil kemarin Minggu. Ada juga di bukunya #MasPsikolog yg sedang proses cetak ulang. Judul bukunya: "SAATNYA MELATIH ANAKKU BERPIKIR" Kalau ada yg minat bukunya, colek me, nanti kuarahkan ke olshop yg jual. 🤗 – Read on Path.
1 note
·
View note
Text
Thought via Path
Lanjutan. 04 --- Sesuai dengan konsep Ki Hajar Dewantara di atas, ortu yg berproses utk Fasilitas Belajar (FasBel), polanya akan: • saat anak belum bisa, ortu di depan jadi teladan • saat anak mulai bisa, ortu di samping jadi teman. • saat anak udah bisa, tugas akhir ortu di belakang jadi konsultan/kamus. Konsultan itu kerjaannya ngapain? Konsultan itu kayak kamus. Kita kalau buka kamus itu kapan? Kalau butuh informasi. Kalau lagi gak butuh informasi dan ternyata bisa sendiri, kan kita gak buka kamus ya kan ya kan. Kalau ortu gagal jd teman, kesempatan ortu gagal jd kamus anakpun makin besar. Itu kenapa ada fenomena anak-anak remaja yg lebih senang bertanya ke teman, atau bertanya ke orang lain buat curhat persoalan pribadinya, ketimbang bertanya ke ortunya (yg notabene sudah melahirkan dan membesarkan dia dari kecil). Kenapa kok bisa begitu? Ya karena ortunya terlambat buat ING MADYO MANGUN KARSA. Telat jadi teman, telat pula jadi konsultan. Anak keburu menjauh karena merasa gak nyaman curhat dengan ortunya sendiri. Ya gimana mau nyaman. Tiap curhat, yg tadinya anak sekadar butuh ruang untuk didengar, yg ada bertabrakan dengan ortu yg berposisi sbg komandan. Tiap cari informasi, yg tadinya anak sekadar pengen buka kamus, yg ada bertabrakan dengan ortu yg berposisi sbg Tuhan. Kadang ada juga ortu yg memang gak mau berteman dengan anak, maka gagallah sudah kesempatan ortu tersebut dijadikan kamus oleh anak. Gagal jd teman, sehingga gagal pula jadi kamus andalan oleh anak. 😐 Balik lagi ke Fasilitas Belajar (FasBel) yaa. Ortu perlu hati-hati mengelola dirinya sebagai FasPel atau sebagai FasBel. Ortu harus bisa menelisik celah kapan harus jd FasPel, kapan harus jd FasBel, tanpa harus memaksakan diri/situasi. Peran FasPel-FasBel yg gak dilakukan konsisten dan gak lahir batin, bisa membuat anak gagal dewasa, dan bisa berakibat anak jadi berkubang dlm kemarahan. Ortu yang sedang belajar menjadi FasBel, dipesankan #MasPsikolog untuk pelan-pelan saja, tapi konsisten. Ketimbang memaksakan anak untuk belajar tiap saat, padahal situasi kadang tidak layak belajar, malah jadinya anak belajar memanfaatkan situasi. Situasi tidak layak belajar ini misalnya ketika ada anggota keluarga lain yg masih ngotot jadi FasPel (padahal ortu pengennya setiap saat jd FasBel). Kalau situasi lagi gak layak belajar gini, mending gratisin aja dari awal, biar anak tidak sempat berstrategi. ~~~ bersambung.. – Read on Path.
1 note
·
View note
Text
Thought via Path
Lanjutan. 03 --- Kriteria dewasa itu yg gimana sih? Dewasa itu: • sanggup berpikir (berkeputusan dgn menimbang resiko) • sanggup belajar terus-menerus • sanggup peduli Nah, kriteria dewasa ini yg daku kejar di Rana (ketimbang mengejar belajar keilmuan akademis di sekolah). Begitu konsultasi dengan #MasPsikolog soal cara mendewasakan Rana, ternyataaa daku ditanya balik. "Ortunya sendiri udah dewasa belum? Pengen anaknya jadi dewasa, ortunya udah bisa meneladani cara jadi dewasa belum?" GLEK. JLEB. AAAAAAAKKK HAHAHAHAHAHAHA SIALAN. #MasPsikolog bilang, "Rating jadi ortu itu emang buat yg dewasa sih. Ya gakpapa. Kalo sadar bahwa diri sendiri belum dewasa, bisa belajar dewasa bareng anaknya. Silajan remidi kedewasaan bareng-bareng Rana." Glek. Siap, Mas. Hahaha. Oleh karenanya lalu banyak tercipta obrolan2 dengan #MasPsikolog dalam bentuk thread di twitter. Tugas jadi ortu yg sudah dewasa ini berat, kata #MasPsikolog. (Fiuh..) Musti sanggup jadi teladan. Musti sanggup jadi teman. Musti sanggup jadi konsultan. Bukan jd komandan yg nyuruh-nyuruh anak mengikuti maunya ortu. Atau lebih parah, kadang ortu pengennya jadi Tuhan yang maunya nentuin nasib anak. Eh sebenernya rumusan peran ortu jd teladan, jd teman dan jd konsultan ini udah dituturkan Ki Hajar Dewantara hampir 100 tahun lalu. Ing Ngarso sung tulodho. (Di depan menjadi teladan) Ing Madyo mangun karso. (Di tengah bersama membangun karya) Tut wuri handayani. (Di belakang menjadi penggugah dan sumber acuan) ~~~ bersambung.. – Read on Path.
1 note
·
View note
Text
Thought via Path
Lanjutan. 02 ••• Fasilitas Belajar (FasBel) Utk jadi fasilitas belajar (FasBel) ini, rada melawan naluriah orangtua. Butuh energi besar, butuh konsisten. Jadi FasBel ini berat, karena kadang ya harus menekan segala rasa yg merupakan naluri orangtua. Jadi FasBel, sulit di awal. Tp makin anak gedhe, makin mudah rasanya. Makin anak berproses menjadi mandiri, bisa mengambil keputusannya sendiri dengan pertimbangan resiko, semakin orangtua bisa melepas anaknya. Menjadi FasBel utk anak, ortu harus siap liat anaknya bersusah payah. Menjadi Fasbel utk anak, ortu harus siap liat anaknya merasakan perasaan gak enak (dengan output si anak nangis, kesal, dll dsb), untuk melatih anaknya belajar kecewa Ortu harus siap gak ikut campur ketika anak-anaknya bertengkar (selama masih adil dan aman), untuk melatih anak merasakan sengketa. Nah soal belajar jadi dewasa, tujuan awal belajar ini adalah jadi TERBIASA. Bukan jadi BISA. Jadi untuk jd FasBel anak agar dewasa, ortu perlu KONSISTEN. Konsisten ini bukan tega. Kalau tega, berarti membiarkan anak celaka. Tantangan BELAJAR, adalah situasinya pasti gak enak. Karena situasinya gak enak, maka anak jadi gak nyaman. Kalau gak nyaman, maka anak akan memaknai sebagai GAK USAH DILAKUKAN aja. Kenapa kok gitu? Ya karena orientasi berpikir anak-anak adalah ENAK VS GAK ENAK. Sedangkan orang dewasa orientasinya adlh PERLU VS GAK PERLU. Ketika anak gak nyaman dlm proses belajar dewasa, bersiaplah disebelin sama anak. Ketika anak melakukan kesalahan, biarkan saja dia merasakan akibatnya, asal masih aman (tidak membuat celaka). Salah itu adalah HAK. Salah akibatnya GAK ENAK. Kalau gak enak maka GAK DIULANGI. Jadi KONSISTEN ini, artinya orangtua memberi kesempatan anak menanggung konsekuensi atas pilihan tindakannya. Juga konsisten memberikan kesempatan anak utk merasakan kecewa. Anak butuh belajar kecewa utk bisa mengekspresikan emosi dengan aman dan nyaman. Kriteria aman: - tidak merusak - tidak merugikan/melukai diri sendiri - tidak merugikan/melukai orang lain Anak belajar merasakan kecewa, bukan berarti anak nantinya bakal kebal dari rasa kecewa. Karena selama jadi manusia, pasti bakal ada kejadian yg bikin kecewa di hidupnya. Kalau ortu melarang anak untuk merasa kecewa, maka sama artinya ortu melarang anak menjadi manusia yg seutuhnya (yg punya emosi dan jiwa, gak cuma fisik semata). Kalau sejak dari anak-anak sudah dilarang jadi manusia yg seutuhnya, gimana bisa jadi manusia dewasa? Manusia dewasa yg bisa mengelola akal dan rasa? ~~~ bersambung.. – Read on Path.
1 note
·
View note
Text
Thought via Path
Rekap thread twitter. --- Mau cerita. Obrolan dengan #MasPsikolog lainnya. Peringatan, ini panjang bangeeeet hahahahha. Tentang orangtua sebagai FASILITAS PELINDUNG (FasPel) dan FASILITAS BELAJAR (FasBel) untuk anak. ••• Fasilitas Pelindung (FasPel). Menjadi Fasilitas Pelindung (Faspel) itu kodrat orangtua. Ortu gak perlu susah-susah belajar jd fasilitas pelindung karena memang secara naluriah pasti pengennya melindungi anaknya. Ortu dengan karakter Fasilitas Pelindung, biasanya gak mau anaknya susah. Gak mau anaknya repot. Juga gak mau dirinya sendiri repot. Gak mau liat anaknya kecewa. Gak mau dengar anaknya mengeluh. Gak pengen anaknya menerima resikonya sendiri. Jadi Fasilitas Pelindung (FasPel) ini mudah di awal hidup anak. Tapi makin lama, makin bertambah umur anak, makin susah pula ortu buat selalu melindungi anaknya. Yg terjadi biasanya, ortu yg berusaha selalu melindungi anaknya, suatu hari akan kelelahan, dan minta anaknya dewasa. Tapi karena anaknya ya gak ada yg memfasilitasi untuk belajar dewasa, jadilah si anak sbg orang gede aja. Orang gede dengan mental masih anak-anak. (Lalu biasanya orang gede ini punya anak lagi sebelum dirinya dewasa. Jadilah spiral generasi yg gak paham dewasa itu kayak apa) Semakin bertambah usia anak, ortu akan minta anak untuk menjadi dewasa. Ya tapi sulit, lha wong ortu yg FasPel ini tidak pernah melatih proses dewasanya. Kan gak ada ulat yg hari ini masih makan daun, mendadak besok udah terbang jadi kupu-kupu. (Eh ada gak sih?) Ortu biasanya terjebak pada peran sebagai FasPel, krn mereka ketinggalan jaman dari anaknya. Karena kehidupan anak sekarang udah beda banget dengan jaman ortu kecil dulu. Teknologi mempengaruhi perilaku. Ortu yg biasanya maunya terus2an jd Fasilitas Pelindung, biasanya punya pola: • di depan jd komandan • di tengah jd oposan/lawan • di belakang jd Tuhan. Saat anak belum bisa, ortu jd komandan. Saat anak mulai bisa, ortu jd oposan/lawan. Saat anak udah bisa, ortu jd Tuhan. Jadi komandan, pokoknya anak harus ikut kemauan ortu. Jadi oposan/lawan, pokoknya anak salah dan ortu yang benar. Jadi Tuhan, pokoknya jalan hidup anak ditentukan oleh ortu, bukan si anak sendiri. Tapi tentu saja tujuan dari semua tindakan ortu Fasilitas Pelindung adalah untuk melindungi anaknya dari hal-hal gak mengenakkan yg bisa terjadi pada anaknya. Nah tapi pertanyaannya, sampai kapan orangtua bisa melindungi anaknya? Anak suatu hari akan jadi besar dan harus mampu berdiri sendiri. Anak suatu hari harus jd dewasa. Menjadi orang gedhe yang harus bisa berpikir sendiri, memutuskan pilihan hidupnya sendiri, memikirkan solusi hidupnya sendiri, dan merasakan resiko dari keputusannya sendiri. Gimana caranya menuju ke situ? Cara agar orangtua bisa mengantar anak ke titik dewasa (dengan definisi dewasa seperti di atas) orangtua harus berupaya keras menjadi FASILITAS BELAJAR utk anaknya. ~~~ bersambung.. – Read on Path.
1 note
·
View note