Text
Kehidupan setelah wisuda terjadi sangat padat. Aku seperti tidak diberi waktu untuk rehat sejenak. Memproses sekeping cerita pun tak sempat. Semua bergulir begitu saja; terkadang tanpa makna. Kepalaku penuh riuh akan rentetan mimpi yang harus kuraih. Hingga aku lupa rasanya benar-benar hadir pada setiap waktu yang tercurah.
Tidak lagi bertumbuh linear dengan sekitar. Rasa asing lalu hadir di tengah-tengah kita. Menyapa malu-malu. Memudarkan ikatan. Lalu sepenuhnya menghilang. Menguap di langit-langit penuh asa.
(Jkt, 2024); Hotel kapsul, pulang dari Bandung.
0 notes
Text
Apa Kabar?
Hai. Hehe.. canggung sekali rasanya kembali menyapa di sini. Sekarang sudah di penghujung tahun 2023, tahun yang dipenuhi dengan bayangan 'skripsi' kemana pun aku pergi. Bagaimana tidak? Aku baru benar-benar selesai mengerjakan skripsi di pertengahan bulan Oktober! Bayangkan saja! Aku melakukan seminar proposal di bulan September 2022 dan baru menyelesaikan apa yang kumulai satu tahun lebih satu bulan setelahnya! Betapa menyiksanya itu.. hahaha walaupun kerap diselingi air mata tapi proses merampungkan skripsi merupakan proses yang memiliki banyak hikmah di baliknya! Aku jadi belajar untuk bertanggung jawab menyelesaikan apa yang sudah aku mulai meski hasilnya tidak sempurna. Aku belajar untuk meregulasi emosiku sendiri dan ternyata cara yang paling manjur untuk menyembuhkan perasaan jelek yang aku rasa adalah dengan mencari validasi dari luar! seperti membaca buku, menonton film, atau berbincang dengan orang tentang perasaanku.
Beberapa minggu setelah melakukan sidang skripsi, aku merasa rinduuuu sekali dengan Mbak Ica. Dulu kalau mau berbincang dengan Mbak Ica, aku tinggal mengajaknya melakukan bimbingan skripsiku. Namun sekarang, aku tidak lagi memiliki alasan yang bisa kugunakan untuk sekadar bertukar cerita dengan beliau :( huhu. Mbak Ica, terima kasih banyak sudah membuatku jatuh cinta pada antropologi dan isu pengungsi! Terima kasih banyak juga sudah sabar dan tidak pernah menyerah membimbingku yang bebal ini! Aku tidak akan pernah bisa lupa jasa-mu yang mengubah hidupku! Sehat selalu Mbak Ica! hehe <3
Selain skripsi, bulan ini menjadi bulan ke tujuh aku menyandang status memiliki kekasih. Banyak emosi yang kurasa. Kembali belajar menjadi manusia yang kini didampingi manusia lainnya. Banyak persamaan, banyak perbedaan. Banyak tawa, banyak air mata. Banyak kata "terima kasih", banyak kata "maaf". Semuanya terasa semakin menantang selepas aku menyelesaikan skripsi dan menyandang gelar sarjana. Aku akhirnya bergabung dengan kekasihku dan teman-temanku ke dalam fase-fase tak tentu selepas masa kuliah. Bahu terasa semakin berat. Emosi terasa semakin gonjang-ganjing. Semua ini dilalui dengan banyak keringat dan air mata berjatuhan. Meski begitu, aku tetap optimis dengan apapun yang akan hidup tawarkan padaku ke depannya. Justru, aku tidak sabar tahun ini berakhir (karena jujur, tahun ini rasanya membosankan sekali. Sepuluh bulannya kuhabiskan hanya untuk mengerjakan skripsi. Meski di sela-sela itu aku masih mengerjakan projek lain tapi tetap saja rasanya sangat jenuh). Maaf Desember 2023, kamu baru saja 5 hari bertamu tapi aku malah ingin kamu cepat-cepat pergi. Aku harap kamu menawarkan pengalaman yang sangat berkesan di penghujun tahun ini agar aku tidak mudah melupakan Desember 2023.
0 notes
Text
Menjadi manusia yang juga memanusiakan orang lain dan memanusiakan diri sendiri agaknya tidak semudah yang dibayangkan. Tidak jarang, harapan dan ekspektasi justru menjadi pisau bermata dua. Terkadang ia menjadi bahan bakar untuk terus menjalani hidup, terkadang ia menjadi sumber atas dehumanisasi yang kita lakukan secara tidak sadar. Harapan dan ekspektasi tidak wajar yang terkadang disematkan kepada seseorang berubah menjadi tuntutan yang secara mutlak harus dilakukan. Ini sangat berbahaya. Alih-alih melihat seseorang menjadi dirinya sendiri di dunia nyata, malah melihat seseorang menjadi konsep atau ide yang hanya bernyawa di kepala. Ilusi secara tidak sadar dilahirkan oleh otak sendiri. Ia menjalani hidupnya di kepala, bukan di depan mata.
0 notes
Text
Just don't

I'll see you later when we both already sattled with our own mind and mental state
1 note
·
View note
Text
When Do I Feel Loved The Most
Me and Hedi always talked about what makes us feel loved most of the time. Those meaningful conversation had inspired me to write this essay so i could just open this if only someone asked me how to make me feel loved. These point might be changed or increase along the way🌻
When you put your phone away while we hang out together
When you laugh so hard (genuinely) over my stupid jokes
When you ask my extra time because you don't want me to go
When you ask me a tons of reflective questions
When you comfortable being vulnerable around me
When you treat me yummy foods
When you ask about how my friend doing
When you pick me up
When you hug me so tight until i run out of breath
When you understand my detacthment era
When we talked about nothing yet everything for couple of hours
When you give me your latest life update
When you like my cooking
When you show/tell me something you afraid to show/tell anyone else
When you push my potential to the limit
When you yell at me because i'm stubborn
When you tell me that i'm funny and smart
When you believe in me that i can achieve all of my wildest dreams
When you know what to do when my period cramp kicks in
When you know how to calm my anxiety down
When you motivate me to get done with something i started
When you still reading this essay because you want to know how to me make feel loved
0 notes
Text
No one ever told me that growing up is a lonely journey. Sometimes i wanna share how my day went, how i keep stand still along the stormy way, how my mind consume me alive. But also sometimes i just wanne be gone, detaching, creating a big big space from anyone/anything. Is this me acting selfish? Is this me being on hard on my self? Is this me protecting my self from the pain of being abandoned by someone? Or is this just how grow up supposed to be?
0 notes
Text
Detachment
Yet you still wondering why I put my dearest friends on the top of my priority list. I always think that I don't need any lover as long as I have my craziest yet dearest friends tight in my hand. But we all know that friends always end up living separately due to several reasons like pursuing our own dreams, married to a guy overseas, or any personal reasons. That is a part of growing up that made me cry for a week or made me awake overnight for a month. I hate saying goodbye and I believe that we all do. But I guess without experiencing detaching phase in our life, we could never really grow up. We could never know how to appreciate something or even worse, we could never really know ourselves.
0 notes
Text
Di Pelukan Rembulan
"....... but sleeplessness does not feel heavy when there are so many corners of my world I can touch with my mind when it’s dark" (Dantzer, 2023)
Deru mesin laptop memenuhi kamarku yang mungil. Disahuti oleh suara air perlahan berjatuhan di atap sana. Imbauan untuk sahur tidak ingin ketinggalan menemaniku di jam larut ini. Sudah dua hari aku selalu terjaga hingga pukul 3 dini hari, kemudian tidur dan bangun lagi satu jam setelahnya. Lalu bangun untuk sahur dan terus terjaga hingga subuh memanggil. Kemudian kembali terlelap lalu hariku baru dimulai ketika matahari sudah melewati atas kepala. Dua tahun lalu, aku juga melewati Bulan Ramadhan dengan cara yang sama. Baru memulai hari di antara jam 1 dan 3 siang. Malamnya terjaga sempurna sampai matahari menyapa.
Di pelukan rembulan, aku menemui si Biru Gelap. Bersamanya memasuki dunia yang tidak bisa ku-jamah selagi mentari unjuk gigi. Berjalan perlahan ke dalam. Membersihkan ruang-ruang yang telah usang. Bertemu dengan ratusan tanda tanya yang sedang berterbangan. Menunggu giliran untuk diajak berbincang. Sebenarnya, jumlah mereka sudah berkurang signifikan. Namun nyatanya, mereka berkembang biak jauh lebih cepat. Aku senang merawat tanda tanya hingga ia bercabang banyak, tapi agaknya Biru Gelap berkacak pinggang di seberang sana. Menggelengkan kepala. Namun tak apa, malam akan selalu siap merentangkan kedua tangannya lebar-lebar menyambutku tenggelam di pelukan rembulan.
0 notes
Text
Selepas Badai di Bulan Pertama
Dedaunan di depanku terlihat lebih segar selepas diguyur hujan lebat tadi siang. Udara terasa jauh lebih ringan untuk dihirup dalam-dalam. Rintik sisa badai tadi masih berjatuhan perlahan. Tak rela ia meninggalkan bumi cepat-cepat. Kini tinggal aku sendiri, di meja dan kursi tinggi yang ternyata cukup nyaman untuk diduduki berjam-jam. Aku mencari satu lagu di laman pencarian, sebenarnya aku cukup payah mengoperasikan segala hal yang ada di internet. Tapi untuk lagu ini, aku berhasil menemukan satu kata kunci. "A Man Called Otto ost", begitu aku mengetiknya. Dapat! Aku langsung mendapatkan yang kucari! "Til You're Home - Acoustic Mix" oleh David Hodges secara sopan menguasai tiap sudut di dalam telingaku. Mengisi ruang-ruang kosong dalam tubuhku yang padat. Magis. Aku masih ingat betul ketika lagu ini memenuhi seisi studio, diiringi visual yang sungguh dramatis. Bunyi-bunyian yang dihasilkan lagu ini sukses membawaku pergi. Jauh. Ke dalam diriku sendiri. Bukan kah aku pernah bilang kepadamu kalau lagu-lagu dengan suara kebapakan tak pernah gagal menarikku ke dimensi-dimensi angan? Ternyata hal itu masih terjadi hingga saat ini. Aku pun mengira itu sudah tidak berlaku lagi setelah tahun kemarin aku benar-benar banyak berpergian dari dataran tinggi yang pemandangannya membuat nafasmu tercekat hingga ke sebuah pulau kecil di ujung timur yang tak terlihat wujudnya di peta. Aku kira aku banyak berubah, ternyata tidak juga.
Sudah lama sekali aku tidak menulis di akun ini. Rasanya seperti kembali bercerita dengan teman lama, mungkin lebih tepatnya, dengan diriku yang lama. Acap kali aku menulis di sini, aku membayangkan sedang berbincang dengan Unge umur belasan. Unge yang bergetar bila disuruh maju ke depan dengan kepalanya yang dipenuhi mimpi ketinggian. Ada satu mimpi yang kurawat baik-baik selama belasan tahun, tidak peduli berapa kali babak belur dihantam kegagalan, untuk mimpi satu ini, aku rela menjelma kepala batu. Mungkin memang ini tiket yang harus kubayar untuk sampai di sana, menyicipi rasa-rasa yang kadang hanya membuat pening kepala. Belum, aku belum sampai pada mimpi itu. I'm still working on it. Tapi dari seluruh kejadian di luar nalar yang terjadi tahun kemarin, satu hal yang kusorot dan merupakan salah satu kepuusan terbaik yang pernah kubuat adalah meminta Mbak Ica menjadi dosen pembimbing skripsiku.
Pernahkah kamu bertemu orang yang memiliki kesan sungguh hangat dan rasanya seperti kamu ingin menceritakan seluruh kisah hidupmu kepada orang tersebut? Itulah yang kurasakan ketika pertama kali mengambil kelas Mbak Ica. Pipi yang cukup berisi, tidak banyak tersenyum ketika diam, kacamata yang terkadang melorot ke hidung, anggukan kepala yang tegas, pemikiran yang kritis dan terbuka, menjadi kesan pertamaku melihat Mbak Ica. Satu hal yang kutangkap dibalik kesan galaknya ialah beliau orang yang penyayang dan pendengar yang sangat baik! Terbukti ketika minggu lalu, aku melakukan bimbingan jarak jauh dengan beliau. Di mana aku melakukan banyak kesalahan, aku menyadari kesalahan yang kubuat. Pada sesi tersebut juga aku tidak banyak berbicara. Alih-alih menyalahkanku, Mbak Ica justru melakukan sebaliknya. Memelukku dengan kata-katanya yang hangat sekaligus menenangkan. Membalut rasa bersalahku dengan sikapnya yang sangat keibuan. Membantuku berdiri, kembali mengajariku berjalan dengan kecepatanku sendiri.
Bagiku, Mbak Ica merupakan perpanjangan tangan Tuhan untuk membantuku melahirkan mimpi yang kurawat dari belasan tahun lalu. Anggapanku, Tuhan mendukungku penuh menjadi kepala batu untuk mimpi yang satu ini. Seperti yang kubilang, penolakan-penolakan yang kuterima menjelma tiket untuk menggapainya. Lagu "Til You're Home - Acoustic Mix" justru mengajakku memutar memori tentang dosen pembimbing. Aneh. Padahal liriknya cukup kuat akan nuansa romantis bersama pasangan hidup tapi malah dosen pembimbing yang berlarian di kepalaku. Keren. Aku selalu percaya bahwa Tuhan ialah seniman Maha Keren yang dengan mudah 'menyentil' hamba-Nya dengan cara-cara tak terduga. Mungkin, ini salah satu cara Tuhan berkomunikasi denganku yang bebal.
0 notes
Text
Form of Love

One of my bestest friends said that to me many years ago and it still stuck in my head until now. Aku belajar banyak mengenai bab cinta dan kasih sayang dari teman-temanku yang sungguh unik. Pada tulisan itu aku masih menjadi manusia yang sangat ceroboh, bodoh, dan hidupku hanyalah dipenuhi dengan senang-senang (yha sekarang juga sih.. tp agak mendingan xixi). Aku melakukan apapun yang aku mau. Saat itu, berantem dengan ibu dan saling diem-dieman merupakan hal yang lumrah terjadi. Aku berangkat sekolah semauku, dipanggil BK dan tidak memenuhi panggilan itu hingga BK menyerah padaku, sengaja telat datang sekolah agar mendapat hukuman menyanyi, bolos pelajaran untuk bermain di Timezone dengan teman-teman, tidak mengikuti upacara 17-an lalu besoknya dihukum hormat tiang bendera, tidur di uks, hingga puncaknya aku pernah disuruh berbaris tepat di samping kepala sekolah ketika upacara agar aku tidak berulah. Aku tidak peduli dengan semuanya. Aku hanya ingin menjalani hidup dengan caraku sendiri. Terdapat satu golongan warga sekolah yang menjadi musuh utamaku, yaitu bapak satpam. Berlari-larian mengejar gerbang sekolah sebelum ditutup baik saat pagi hari atau malam hari ketika sekolah hendak digembok. Semua kulalui dengan penuh kejahilan dan kerap berhasil.
Sejak dulu, jarang sekali ada orang yang benar-benar berkata secara langsung mengenai apresiasi mereka terhadapku. "Males ah muji unge ntar kepalanya besar", kalimat itu yang sering kudengar. Karena ya memang sih kalau dipuji, aku pasti akan meninggikan diri hahaha. Tapi saat kalimat "gue juga seneng kalo lu seneng" terucap, aku tidak mampu merespon seperti biasanya. Timbul perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Perasaan yang unik cenderung mengharukan. Really? You happy that i'm happy? Dari sini aku mulai memaknai rasa kasih sayang lebih dalam. Aku benar-benar dapat merasakan hadirnya yang jauh, peluknya yang gengsi itu, aku benar-benar merasa dihargai sebagai manusia.
Hingga aku berpikir bahwa semua orang sama seperti itu. Semua orang akan senang jika melihat orang lain senang. Aku bahagia melihat kabar teman-temanku yang baik. Aku mengabari temanku ketika aku sedang bersuka-ria dengan harapan ia juga akan turut senang! Namun ternyata aku keliru. Hidup tidak semagis yang aku bayangkan. Tidak semua orang akan turut bahagia ketika melihat orang lain bahagia. Sungguh otakku tidak sampai untuk memahami hal itu. Entah mungkin orang lain memang terlahir jahat/kejam/no empath atau ia memiliki masa lalu yang sangat kelam hingga bisa seperti itu.
Aku mulai menyadari bahwa cinta atau kasih sayang sesungguhnya tidak lah menuntut. Aku pernah berkata seperti ini kepada seorang teman:

Dan temanku merespon bahwa ia merasa aneh dengan pernyataanku. Dari sini aku sadar bahwa ternyata tidak semua orang memiliki stok cinta yang banyak dan besar. Mungkin karena aku tumbuh di lingkungan yang banyak cinta sehingga aku mampu dengan berani dan brutal menjadi diriku sendiri tanpa takut penolakan?(pada saat itu) Dan justru itu aku malah bertemu dengan teman-teman yang juga penuh akan kasih sayang yang tak terbatas. Menerima diriku sepenuhnya dan terus mendorong untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Mungkin cinta dan kasih sayang adalah pondasi dari semua ini? Menjadikan sebuah kausalitas yang terus berantai. Dikelilingi oleh kasih yang tumpah-ruah menjadi salah satu berkah yang tidak henti-hentinya aku syukuri setiap hari.
1 note
·
View note
Text

Take me back when everything was so naive. But no. Don't take me too long. Let me go. Let me grow.
0 notes
Text
Secarik Surat Tersesat
Dari: Biji Bunga Matahari
Untuk: Akar Jahe
Sejujurnya beberapa hari terakhir aku merasa seperti mencari sesuatu yang hilang terselip di antah berantah. Seperti ada sesuatu yang seharusnya aku merasakan kehadirannya namun entah bagaimana sesuatu itu tidak ada di sini, saat ini. Terkadang di sore hari aku merasa penuh tapi sesampainya di ruang mungil ini kembali merasa sesuatu ada yang kosong, ada yang merenggut, dicabut paksa. Banyak pertanyaan berlarian ke sana ke mari menggedor-gedor kepalaku tapi toh aku juga tidak ingin mengetahui jawabannya. Biarlah ia tetap berlari. Membuat riuh ruang yang sesekali sepi.
Hey kamu tuh apa kabar? Kenapa surat terakhirku tidak dibalas? Kuharap kamu dapat melalui apapun-yang-tidak-kamu-ceritakan-itu dengan hati yang besar. Dengar-dengar kamu baru saja mengecat seluruh jarimu dengan warna yang kau damba-dambakan sejak lama? Bagaimana rasanya? Apakah sesuai dengan apa yang kamu harapkan? Oiya, selamat tahun baru ya! Hehe maaf telat hampir 3 bulan, habisnya aku sibuk betul ini mengurus pindahan yang tidak kunjung usai!
Malam tahun baru kemarin kuhabiskan dengan seru loh! Aku bersama 5 teman lainnya menginap di rumah salah satu teman. Kami sama sekali tidak menyisakan malam dengan sia-sia! Bayangkan saja kami semua baru tidur ketika adzan subuh berkumandangan! Diawali dengan membuat Tacos, kemudian makan bakso, bakar jagung, sosis, fishball, dilanjut bermain 'Get to know me questions', hingga sesi curhat berlinangan air mata yang sungguh membekas di titik personal kami masing-masing. Kamu tahu mengapa malam tahun baru kemarin menjadi perayaan yang sungguh mendewasakanku secara sembunyi-sembunyi? Karena kami (tidak semua) menelanjangi luka yang selama ini kami tutup rapat-rapat. Aku jadi sadar satu hal bahwa ternyata it takes courage to be honest about ourself, loh! Bagiku sesi curhat dini hari itu benar-benar menegangkan!! Hahahaha. Aku yang tidak biasa cerita tentang diriku sendiri jadi degdegan takut terkena giliran. Tapi ternyata lega juga ya untuk membagi apa-apa yang memang sepatutnya dibagi. Membuka kebusukan dirimu sendiri ke orang yang kamu percayai ternyata sepenting itu!
Esok harinya, 4 dari kami melakukan karaoke di ruang tamu. Sungguh pengalaman gila yang menyenangkan! Bernyanyi sekeras-kerasnya menggunakan mic dangdut tanpa khawatir tetangga akan marah benar-benar pengalaman yang selalu kunantikan. Menjelang sore tersisa 3 orang termasuk aku dan kami bingung hendak menghabiskan hari pertama di tahun baru dengan cara apa. Akhirnya kami memutuskan untuk berkeliling kota dengan mobil yang memiliki audio terbagus yang pernah kudengar!! Kamu juga harus merasakannya! Audio mobil baru miliknya sungguh sangat jernih dan jelas! Terasa seperti menggunakan headset jutaan rupiah (walau sebenarnya aku blm pernah)! Sebagus itu! Kami singgah di salah satu rumah makan terkenal untuk numpang ibadah maghrib. Hingga pukul setengah sembilan kami kembali melaju dari ujung kota menuju rumah. Sepanjang jalan kami tidak banyak berbicara, kami bertiga sama-sama menyukai suasana late-night driving. Aku sebagai pj pemutar lagu bertanggung jawab atas lagu-lagu yang diputar selama perjalanan. Dengan penerangan yang minim, jalan yang sepi, audio yang sangat jernih dan cukup keras, aspal yang basah selepas hujan, hawa ac mobil yang terasa pas, kami bertiga bernyanyi pelan terhanyut oleh suasana yang memeluk kami erat. Hangat. "Aku tidak ingin ini berakhir", ucapku begitu saja. Mereka tidak merespon. Mereka tetap bernyanyi mengikuti alunan yang syahdu.
Kamu tahu apa yang terjadi selanjutnya? Aku dimarahi ibukku karna pulang larut malam! Hahahaha. Saat itu aku kesal karna baru saja 5 menit lalu aku tidak ingin momen itu berakhir, eh pulang-pulang disambut oleh wajah marah ibu yang sangat menyebalkan. Hfft memang selalu ada saja yang membuat momen tidak berjalan mulus!
Apakah kamu tidak lapar membaca surat ini? Sepertinya masih akan panjang. Kusarankan kamu untuk mengambil camilan terlebih dahulu. Gih!
Januari menjadi awal tahun yang sangat mengesankan! Bulan itu berlalu cukup cepat dengan rentetan kegiatan yang padat sekaligus membuat bahagia. Untuk pertama kalinya, Hedi menginap di kosku dan aku ngintil dia bekerja. Pengalaman yang baru bagiku melihat secara langsung model photoshoot melakukan aksinya. Ternyata aku menikmati melihat model-model berpose dengan sangat lihai dan percaya diri. Keren pol!
Beberapa hari setelahnya, rombongan teman dari Jkt datang! Yha sebenarnya salah satu dari mereka ini lebih dari sekadar hanya 'teman dari Jkt' sih. Bisa kubilang, dia ini teman dekat pertama seumur hidupku. Kami berteman karena kami sama-sama aneh! Hahaha. Lima hari bersama mereka benar-benar mengobati rinduku akan bercandaan khas jkt yang betawi abiezt! Kami berantem, berebut, saling mengejek, saling berteriak tapi saat kami berpisah di bandara, kami sama-sama tahu kalau kami saling menangis diam-diam. Keesokan harinya, aku turut kembali ke Mgl tanpa rencana. Aku tidak bisa menguatkan diri sendiri dalam kondisi seperti ini. Aku butuh seseorang. Aku butuh mengalihkan rasa sedih ini.
Relasi pertemanan menempatkan posisi teratas dalam kamusku. Bahkan terkadang melebihi relasi ikatan darah. Aku menjunjung tinggi keintiman dan rasa saling memiliki. Tidak jarang, justru seorang teman lah yang menimbulkan perasaan itu alih-alih kerabat dalam ikatan darah yang relasinya hanya di permukaan dan terasa sangat hambar. Pemahaman ini yang membuat semua masuk akal mengapa aku kerap kali menjadikan teman sebagai prioritas. Kalau kamu bagaimana? Apa kabar temanmu yang dulu sering kau ceritakan itu? Katanya dia mau sekolah ke luar negri ya? Waahh kalau dia jadi atau tidak jadi ke luar negri, kabari aku pokoknya!! Kutunggu!
Masih banyak yang ingin kuceritakan padamu tapi sejujurnya aku lebih senang bercerita langsung secara tatap muka. Aku ingin melihat bahasa tubuh, mimik wajah, serta mendengar intonasimu yang tak dapat kutebak itu. Hft padahal aku jagonya menebak reaksi orang tapi mengapa aku selalu meleset menebakmu?? Dasar menyebalkan. Sehat selalu ya si paling nyebelin! Tapi kalo sakit ya kabarin dong! Kalo lagi sumpek juga kabarin! Tapi kalo lagi ga punya uang jangan ngabarin soalnya aku juga ga punya :p Aku gengsi bilang kangen tapi aku kangen. Dah.
0 notes
Text
Telat. Kau sudah terpenjara di angkasa penuh tanya. Bertaburan rasa-rasa yang sebenarnya kau tahu itu apa. Kau terlambat hingga 900 hari, sayang. Terbuai oleh ilusi-ilusi maya. Seolah aku selalu ada di sudut sana. Menunggumu pulang dan menumpahkan cerita.
Temui aku di tepi biru. Jika aku masih berdiri, tarik aku ke dadamu yang bidang itu. Biar kuhirup dalam-dalam wangi tubuhmu seperti cerutu yang bertengger di sela bibir tebalmu. (Jog, 2022)
0 notes
Text
Aku ingin kamu menjadi kepala batu. Katakan pada semua, kamu hanya mau aku. Genggam jemariku begitu erat. Simpan aku di saku jaketmu yang sesak. Sertakan aku jelajahi dunia gelap.
Aku ingin kau menjadi egois. Tarik lenganku lingkari tubuh dinginmu. Pecahkan tangis itu selagi bersamaku. Curi saja seluruh waktu yang aku punya. Teriakkan dengan lantang, kamu tidak ingin aku pulang (bahwa dirimu, juga menyimpan rasa yang teramat).
(Mgl, 2021)
0 notes
Text

I would cry like a baby if i tell you the whole story about our friendship.

Updated: 22.18 i do cry when they leave
0 notes
Text
Secuil Surat Terbuka
Dari: Yang selalu dituntut berpikiran terbuka
Untuk: Pencerita Segala
------------------------------------------------------
Mulai besok siapapun yang ngomongin seks di depan w (baik rumor kekerasan seksual, aktivitas seksual, atau apalah macamnya) ga bakal gue waro.
Udeh gila orang-orang. Sorry but i cannot normalize this sex things. I have my own beliefs. I'll respect you if you respect mine.
Di kondisi seperti ini, susah sekali untuk tidak mencampuri perihal prinsip dan kepercayaan pribadi. Apa lagi embel-embel 'mahasiswi antropologi' yang tersemat sangat kuat di tubuhku, rasanya sangat sulit untuk tidak memasukkan hal semacam ini ke ruang personal.
Sungguh sulit.
Aku merasa dituntut untuk tidak pernah menghakimi semua orang. Aku merasa dipaksa untuk menerima semua cerita-cerita brengsek tanpa respon yang menyudutkan. Aku merasa ditekan untuk selalu berpikiran terbuka.
Kamu tahu apa yang mungkin kau lupa? Bahwa aku juga manusia.
Aku juga punya kerberpihakan, jancuk. Dengan tidak menujukkan ekspresi, bukan berarti aku mati suri. Kamu itu lagi cerita sama manusia berumur 20 tahun yang selama ini (diam-diam) merasa dipaksa untuk selalu menerima baik semua cerita-cerita brengsek.
"Lantas mengapa kamu tidak menunjukkan ekspresi ketidaksetujuan selama mendengar cerita yang berseberangan dengan prinsipmu, Nge?"
Karena untuk apa? Toh, sebenarnya kamu sudah tahu kan kalau ceritamu itu sungguh melenceng dari nilai dan norma masyarakat. Apakah aku hanya sekadar alat validasi bagimu?
0 notes
Text
Merekam Oktober
"Tiga tahun terakhir, November tuh selalu jadi bulan paling berat. Tahun ini juga. Ini jadi pengingatku aja sih, harus siap tiap November dateng", katanya dengan tempo bicara yang sangat lamban, tatapan yang teduh dan dalam. Aku mengangguk kecil, berusaha memahami kondisinya yang sedang payah. Kalau dia punya November, berarti aku punya Oktober. Bulan di mana aku kerap tidak mampu merasakan diriku sendiri. Seolah bulan ini melesat secepat kedipan mata. Aku tidak diberi ruang untuk merasa. Pernah suatu kala di SMA, aku berpikir sangat keras untuk mengingat hal-hal apa saja yang telah kulakukan di bulan Oktober. Rasanya seperti pingsan satu bulan penuh. Sulit sekali mengulik rasa pada bulan Hallowen itu.
2021
Oktober tahun ini kulalui dengan sangat sibuk. Pengumuman lolos PIMNAS yang jauh di luar dugaan menjadi sorotan utamanya. Seminggu pertama kujalani dengan makan seluruh makanan yang kusuka sebagai amunisi menjalani bulan yang berat ini. Memasuki minggu kedua dan seterusnya, hidupku hanya seputar revisi dan revisi. Perombakan artikel ilmiah yang dinilai tidak koheren, penggunaan diksi yang tidak membumi, PPT yang sulit dipahami, serta ratusan revisi lainnya yang sungguh menguras energi, hati, dan pikiran. Tekanan demi tekanan menumpuk pada pundakku yang semakin loyo. Aku menjalani hari demi hari tanpa melibatkan banyak emosi, perasaanku sungguh tidak penting kali ini. Aku kerap mendefinisikan momen semacam ini sebagai 'autopilot' dimana aku hanya menjanalani hidup layaknya robot. Bangun tidur, mengerjakan revisi, makan, istirahat, revisi lagi, tidur larut malam. Begitu seterusnya. Aku tidak punya banyak waktu, untuk sakit pun tidak sempat. Namun ada satu momen yang dapat kukenang baik di bulan yang hectic ini, aku mendapat beberapa teman baru yang sungguh baik dan asik!
2020
Satu tahun lalu, Divisi Humas HMJ-ku sedang berada pada kondisi yang tidak jauh berberda. Sibuk adalah kata yang akan banyak kau temui di tulisan kali ini. Seperti yang sudah kubilang, aku tidak mampu mengingat momen di bulan Oktober. Rasanya berlalu seperti ya sudah berlalu saja. Tidak banyak yang berkesan. Satu yang paling kuingat adalah aku beberapa kali ke rumah Hedi untuk menumpang print proposal proker Humas. See? Bahkan yang mampu kuingat hanya lah proposal. Masih menjadi misteri mengapa bulan Oktober selalu menjadi bulan paling sibuk untukku.
2019
Hahahahaha. Rasanya selalu ingin tertawa jika mengingat semester pertama kuliah. Oktober pertama sebagai mahasiswa, kulalui dengan latihan teater. Tentu, tidak kalah sibuknya dengan Oktober 2020 dan 2021. Aku ditempatkan sebagai tokoh utama kedua. Sebagai orang dengan latar belakang bermain teater yang nihil, aku harus mengejar seluruh ketertinggalan dalam bermain peran dan berusaha menyeimbangkan kemampuanku dengan tokoh utama pertama. Proses bermain teater merupakan dinamika yang sungguh tidak ingin kuingat. Atmosfer yang dibangun oleh komunitas tersebut sungguh beracun dan tidak sehat. Hanya sumpah-sarapah yang mampu keluar dari mulutku jika diminta bercerita tentang fase ini. Atau lebih baik, memang tidak usah diperbincangkan saja.
2018
Aku tidak mampu mengingat jelas. Sepertinya sedang UTS? Atau sedang sibuk les?
2017
Yak. Oktober 2017 adalah yang tadi kuucap bahwa ada suatu masa di SMA dimana aku berpikir sangat keras untuk mengingat momennya. Pada saat itu, aku sedang menjadi panitia orientasi ekskul jurnalis di sekolahku. Peranku adalah menjadi komisi disiplin (komdis) yang tugasnya marah dan membentak atas nama pembentukan mental. Ew. Rasanya ingin muntah jika mengingat itu. Tidak banyak yang kuingat, lagi-lagi aku sangat sibuk di bulan ini. Mengurus segala perintilan ekskul yang cukup melelahkan tapi tetap seru untuk dikenang.
Aku tidak lagi mampu menguras lebih jauh ingatanku yang payah. Kalau tidak salah, Oktober 2016 aku sedang pusing menjadi ketua acara lomba tingkat sekolah. Benang merah kesibukan di bulan Oktober nyatanya memiliki pola tahunan. Aku baru saja menyadari pembentukan pola saat menulis tulisan ini. Aku tidak menyangka bahwa sejak SMA kurva bulan Oktober selalu berada pada keadaan sibuk hampir maksimal. Sama seperti temanku, sepertinya untuk tahun-tahun mendatang aku harus mengemas amunisi tambahan untuk menyambut bulan yang paling berat. Agar tetap hidup, agar tetap merasa.
0 notes