toreh-asmara
toreh-asmara
Rayakan, Asmara
8 posts
Akan jadi kisah yang tragis bila aku tak pernah hidup seturut namaku dan rayakan diriku.
Don't wanna be here? Send us removal request.
toreh-asmara · 2 months ago
Text
Skenario Utama — Akhir Dari Cerita
Tumblr media
Asmara berdiri di ujung terowongan itu. Napasnya berat, tubuhnya terasa seperti karung basah yang dipaksakan untuk berdiri. Pakaian yang dikenakannya compang-camping, berlumur debu dan darah yang entah milik siapa. Tangannya menggenggam senjata tumpul seadanya—bukan karena pilihan, tapi karena itulah yang tersisa.
Dia tidak menangis. Tidak ada tenaga yang tersisa untuk itu.
Sudah lima hari sejak dunia seperti yang ia kenal berhenti berfungsi. Lima hari penuh keringat, ketakutan, dan langkah-langkah yang dipaksa terus maju. Dan sekarang—hari terakhir. Ia sudah berada di penghujung perjuangannya.
Boss terakhir menunggunya di dalam jantung stasiun.
Asmara membaca notifikasi yang muncul di depannya, tapi tak benar-benar mencerna. Hanya angka. Hanya simbol. Hanya sistem yang terlalu acuh pada siapa-siapa yang akan mati hari ini.
[Peringkat: B] [Kemungkinan Bertahan Hidup: 8.6%] [Buff Sementara: +1 ke Semua Atribut Fisik, +3 Kemauan (Durasi: 10 menit)] [Konstelasimu sedang mengamati…]
Ia ingin tertawa melihat ranking yang terpampang. Grade B. Lucu. Di dunia yang biasa, nilai B bahkan tidak cukup untuk bertahan. Di sini? Ia mungkin nyaris akan mati, tapi belum cukup luar biasa untuk dianggap ancaman. Hanya cukup untuk dijadikan pion.
Ia menghela napas dan memejamkan mata.
Semua strategi yang pernah ia susun dalam kepala saat memainkan game bertahan hidup—semua itu hancur tak berarti di sini. Pada game yang ia mainkan, ia bisa memilih ulang karakter. Menyusun ulang build. Memutar ulang waktu. Di sini, satu kesalahan bisa menjadi fatal. Nyawalah yang akan jadi taruhan.
Asmara menengok ke belakang. Tak banyak yang bisa ia lihat. Wajah-wajah baru dan lama, semua dengan sorot mata yang sama: lelah, tapi tetap berdiri. Entah karena harapan, atau karena belum sempat mati saja.
Ia menggigit bibirnya, lalu melangkah masuk ke lorong yang gelap itu. Kabut tipis menyambut di kakinya. Ada detakan. Bukan dari hatinya—dari tanah. Seolah dunia sedang bernapas. Atau monster itu sedang menunggu, memanggil mereka masuk satu per satu.
Dia tidak punya rencana. Tidak ada taktik. Tidak ada kartu As. Yang dia punya hanyalah tubuh yang sudah terbiasa jatuh, dan kemauan untuk bangkit sekali lagi. Dan entah mengapa, itu cukup.
Sebuah suara menggema pelan di dalam kepalanya—bukan suara sistem. Sesuatu yang lebih lembut, lebih tua. Mungkin suara dirinya sendiri. Mungkin suara seseorang yang pernah ia sayangi. Kau tidak harus menang, Asmara. Kau hanya perlu memilih untuk tidak menyerah.
Satu langkah lagi. Lalu satu lagi.
Dan meskipun dia tahu bukan pahlawan, meskipun dia bukan orang yang terkuat, atau tergesit, atau terpintar, Asmara tetap masuk ke kegelapan. Bukan untuk menang. Tapi untuk tidak menyerah sampai titik darah penghabisan. Dan setelah semua ini berakhir, ia akan rayakan hari-hari berat yang telah ia lewati─meskipun semua ini terasa bagaikan mimpi.
0 notes
toreh-asmara · 2 months ago
Text
“At any given point you have the power to say, this is not how the story is going to end.”
— Unknown
3K notes · View notes
toreh-asmara · 2 months ago
Text
Skill: Counterstep
Tumblr media Tumblr media
Type: Active / Passive Hybrid Category: Tactical Movement Level: 1 Slot: 1/5 Cooldown: 10 seconds (active trigger) Stamina Cost: Low (scales with consecutive use)
“Not all battles are won with power. Sometimes, survival is just one step ahead of danger.”
Counterstep is a reactive movement skill that activates instinctively or manually, allowing the user to anticipate and counter a close-range physical attack by disrupting the enemy’s momentum. It does not rely on brute force, but instead on precision, positioning, and timing.
Passive Effect:
Grants heightened perception of body movement within a 3-meter radius.
Subtly guides the user’s body to adjust position in anticipation of incoming attacks.
Reduces incoming melee damage by 10% when standing or moving defensively.
Active Effect:
When triggered at the right moment, the user can step into a critical spot to redirect or reverse the momentum of a close-range physical attacker.
Causes the attacker to lose balance, creating an opening for escape or follow-up action.
Lightly stuns basic enemies.
Reduces opponent’s accuracy for 3 seconds.
⚠️ Limitations:
Only works on physical, close-range attacks.
Requires line of sight and partial body orientation.
Less effective against multiple enemies attacking simultaneously.
Overuse without rest may cause fatigue or missteps.
0 notes
toreh-asmara · 2 months ago
Text
Day II,
The Storm Hasn’t Passed Yet
Tumblr media
Mereka menyuruhnya mencari tahu siapa dirinya. Lucu. Karena bahkan sebelum dunia ini hancur, Asmara tidak pernah benar-benar tahu siapa dirinya.
Ia menatap layar status yang masih menggantung di udara. Nilai-nilai yang tampak acak. Angka-angka kosong. Sebuah kata yang berkedip: Dormant. Dan satu pertanyaan: Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Ia menatap layar status yang masih menggantung di udara. Nilai-nilai yang tampak acak. Angka-angka kosong. Sebuah kata yang berkedip: Dormant. Dan satu pertanyaan: Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Orang-orang mulai membentuk kelompok. Beberapa langsung berdebat. Yang lain saling mengintimidasi—ada yang memamerkan skill pertama mereka, menunjukkan kekuatan aneh seperti menarik benda tanpa menyentuh atau membuat ilusi cahaya kecil.
Asmara hanya bisa berdiri di pinggir, memperhatikan. Sendiri.
Tangannya gemetar. Ia mencoba membuka layar kembali. Sama. Tidak ada yang berubah. Tidak ada skill. Hanya satu slot terbuka, kosong.
Tingkat Kesulitan: A. Sisa Waktu: 4:12:06
Foodcourt mall sudah jadi seperti bunker sementara. Orang-orang berlarian, meneriakkan angka-angka, status window, skill tree, bahkan ada yang mulai membuat kelompok. Semua terasa seperti RPG yang memaksa semua orang untuk tahu siapa dirinya sekarang juga.
Sementara itu Asmara... cuma duduk di lantai dingin.
Layar di hadapannya masih menampilkan status kosong.
[Trait Utama: Dormant] [Skill Terpasang: —] [Saldo Kredit: 100]
Ia menutup wajah dengan kedua tangan. "Aku bahkan gak tahu apa yang bisa kulakukan..."
Sampai seseorang menendang kaleng minuman ke arahnya.
Terdengar teriakan, "WOY, G*BL*K, ITU MILIK GUA!"
Dua orang beradu argumen tak jauh darinya. Gerakan mereka tiba-tiba—emosional, meledak-ledak, tidak terprediksi.
Asmara berdiri perlahan, tubuhnya masih terasa berat. Tapi matanya… tajam.
Ia memperhatikan keduanya. Posisi kaki. Bahu. Cara satu orang menarik napas sebelum melempar pukulan. Yang satunya terlalu terbuka di sisi kanan.
Instingnya terpicu. Dan sebelum pukulan itu mendarat, Asmara sudah di antara mereka. Ia tidak menahan dengan tangan, tapi memposisikan tubuhnya—sedikit memutar, sedikit menekan bahu si pemukul, dan...
Orang itu kehilangan keseimbangan. Bukan karena kekuatan. Tapi karena teknik.
[SKILL TERDETEKSI — “Counterstep (Level 1)”] Slot Skill: 1/5 (telah terisi) Tipe: Taktik Gerakan Efek: Mampu membaca dan menghindari serangan fisik jarak dekat secara naluriah, memprediksi gerakan lawan selanjutnya serta melakukan pembalikan momentum sederhana.
Asmara tertegun.
Dan pelan-pelan, ia ingat.
Waktu SMP, ia sempat ikut ekstrakurikuler taekwondo. Bukan karena passion, tentu saja. Ia tidak menyukai kegiatan yang membutuhkan banyak tenaga apalagi mengeluarkan banyak keringat. Tapi karena saat itu satu-satunya cara agar ia bisa pulang lebih malam dan merasa aman di jalan pulang. Ia bahkan tidak pernah ikut kejuaraan.
Hal yang berguna ketika dunia berubah menjadi permainan hidup dan mati.
Orang yang tadi mencoba memukulnya sekarang terduduk. Matanya melebar. “Kau… Apa yang baru saja kau lakukan?”
Asmara menatap tangannya sendiri. Masih gemetar, tapi kini ada sesuatu yang mengalir dalam nadinya: bukan rasa takut, tapi kontrol.
“...Nggak tahu. Badanku cuma bergerak sendiri.”
0 notes
toreh-asmara · 2 months ago
Text
Day I,
Time and Space Collisions
Dia tidak tahu kenapa hari itu terasa berat sejak pagi.
Langit Jakarta seperti digantung lebih rendah, abu-abu dan murung. Asmara hanya mengira dirinya terlalu lelah, seperti biasa. Ujian mendekat, laporan belum selesai, dan kantuk yang tak kunjung tuntas meski kopi kedua sudah diteguk saat matahari masih malas bersinar.
Stasiun Manggarai. Sore. Riuhnya nyaris menyentuh batas toleransi. Untungnya kereta yang ia tunggu segera datang. Sayangnya, penuh sesak seperti biasa. Ia naik, berdiri dekat pintu. Sudah hafal titik nyamannya.
Sampai semuanya berhenti.
Layar berkedip. Simbol-simbol asing. Lalu disusul dentuman keras. Jeritan para penumpang tumpang tindih. Anak-anak kecil mulai menangis. Saat ini juga kereta berhenti, tapi bukan di stasiun.
Dan kemudian munculnya—layar biru itu. Mengambang di udara, terlalu nyata untuk dianggap halusinasi.
Tumblr media
Asmara membeku. Kata ‘eliminasi’ menusuk seperti layaknya es yang dingin. Ia mencubit pipi—berharap ini hanya mimpi. Tapi tubuhnya membeku, lebih paham dari siapapun bahwa ini nyata.
Lalu suara itu datang. Dalam kepala. Tidak berasal dari telinga. Makhluk itu—apa pun itu—datang seperti mimpi buruk yang menyatu dengan kenyaan. Ia tertawa dan berbicara dengan bahasa aneh. Memberitahu mereka bahwa dunia tak lagi milik manusia. Skenario ini punya aturan sendiri.
Asmara ingin berteriak. Tapi tenggorokannya terkunci. Jari-jarinya menggigil. Ia hanya bisa mematung, terperangkap antara absurditas dan teror. Ia tidak tahu berapa lama ia berdiri di sana—dua menit? Lima? Tapi layar biru menunjukkan waktu terus bergerak. Dan dengan itu, rasa takutnya berubah menjadi gemuruh tak terkendali.
Ia harus keluar. Ia harus bergerak. Ia harus—bertahan hidup?
Pikirannya menolak menerima. Tapi tubuhnya bergerak sendiri. Ia ikut arus manusia yang mulai memaksa pintu terbuka, sebagian melompat keluar, sebagian menyeret kaki sambil menangis.
Jakarta di luar…bukan Jakarta yang ia kenal.
Langit seperti layar robek. Bangunan berkilau lalu menghilang. Beberapa jalan memanjang lebih dari seharusnya. Lampu-lampu berubah warna sesuka hati. Bayangan tak memiliki pemilik. Waktu mengejar dirinya lebih cepat dari biasanya.
Asmara gemetar. Ia tidak tahu ke mana harus pergi. Ia tidak tahu apa yang ia cari. Ia hanya tahu satu hal: jika ia diam, ia tidak akan selamat.
Ia berlari sampai napasnya terasa sesak. Tapi ia tidak bisa berhenti, ia tau bahwa terus berjalan bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Muka-muka asing melintas, beberapa panik, beberapa membisu seperti sudah menyerah. Waktu di layar menunjukkan: 02:18:42
Asmara hampir pingsan ketika melihat pantulan wajahnya di kaca mobil parkir—pucat, rambut berantakan, mata memerah. Tapi ia tetap berjalan. Tidak tahu ke mana. Tidak punya rencana.
Hingga langkah kakinya membawanya… ke The Park Pejaten.
Tanpa sadar ia melangkahkan kakinya untuk belok ke situ. Mungkin insting. Mungkin kenangan samar—tempat itu pernah membuatnya merasa nyaman, aman. Saat hujan, ia ingat pernah berlama-lama di foodcourt-nya. Pernah duduk lama menatap langit palsu di atrium. Tempat yang biasa, yang sekarang terasa seperti satu-satunya tempat aman yang tersisa di dunia yang kacau luar biasa ini.
Pintu geser terbuka.
Dan untuk pertama kalinya, layar biru itu berubah:
[Zona Aman – Terdeteksi] Status: Terlindungi selama 00:37:12
Asmara menjatuhkan dirinya di lantai marmer, punggung bersandar pada dinding dingin. Ia tidak tahu apakah ia harus tertawa atau menangis.
Ia tidak memilih tempat ini untuk selamat. Tempat ini yang memilihnya.
Napasnya masih sesak. Pikirannya kacau. Tapi ia masih hidup. Dan untuk sementara waktu—hanya untuk sementara—dunia memberinya celah untuk bernapas.
Seseorang pernah bertanya padanya, "Apa yang membuatmu tetap bertahan?" Dulu, ia tak punya jawabannya. Tapi malam ini, di tengah Jakarta yang berubah jadi panggung mimpi buruk, ia tahu:
Ia bertahan karena seseorang mungkin sedang menunggu di ujung layar lain. Karena seseorang pernah bertanya, “Apa rencanamu hari ini?” Karena ia ingin menjawab itu—esok.
Jika esok masih ada.
0 notes
toreh-asmara · 2 months ago
Text
“What’s your plan for today?”
Tumblr media Tumblr media
I used to hear that everyday.
My mother would ask it in the exact same tone—half teasing, half genuinely curious—while standing by the kitchen sink, her hair still in a messy bun, sleeves rolled up, the scent of fried shallots already wrapping around our small home. Sometimes I’d answer with something as simple as “class” or “library duty” or “nothing much” but she always listened like it was the most important news she’d ever heard.
She’s been gone for a while now. And with her, that question disappeared too.
Now, mornings arrive quietly. Just the usual hum of life: filtered light pouring through the curtains, soft chill on the tile floors, and that same silence pressing into the edges of my room. I stretch. I breathe. I check my phone—mostly out of habit.
No new messages. No one to ask, “What’s your plan for today?”
The day begins anyway. Obligations tick by like clock hands: classes, papers, small talk I nod through without really hearing. I make myself useful. I keep myself occupied. But in the quiet between tasks, I still catch myself looking for her shadow by the kitchen door, waiting to be asked the question again.
But lately, someone else has started asking.
Not every day. Not in the same familiar tone. But in the middle of late-night raids and cookie upgrades, the username XxGamerGantengxX sometimes sends a message that reads:
“Ray, got anything plan today?” or “What’s up with you lately? Tell me something exciting.”
It’s casual. Quick. Slipped between the game talks. But I feel it: the softness, a hint of care. Something that I’ve been secretly longing for.
And it startles me, how much it matters. How that simple question, dropped into the mess of my day, can stir something I thought I’d forgotten how to feel.
Today, I took the train to an old bookstore in Cikini. Bought a secondhand poetry collection with notes scribbled in the margins. Ate a matcha roll cake alone. Stared too long at the sky. I even walked past the river just because it reminds me of some memories. It wasn’t much. But it was mine.
And all day, a thought followed me:
Would he ask again today?
I hovered on the screen longer than I needed to. I watched his avatar idle in the city square. Should I message him first this time? Should I ask, “What’s your plan for today?” as if I’m just casually returning the question?
As if it doesn’t make my chest warm. As if it doesn’t remind me of the mother who used to ask it first.
Maybe that’s what it means to grow—learning to ask the questions we used to wait for. To become the warmth we used to long for.
So tonight, just before logging off, I type:
“Hey. What’s your plan for tomorrow?”
And this time, I wait.
Not just for the reply—but for that small, invisible thread between people to pull just a little tighter.
0 notes
toreh-asmara · 2 months ago
Text
0 notes
toreh-asmara · 2 months ago
Text
Toreh Penulis.
Karakter nirnyata yang diciptakan semata untuk kepentingan permainan peran di agensi tertutup RailtoSurvive. Si cantik meminjam rupa Firefly dari Honkai:Star Rail sebagai visualisasinya. Penulis terbuka untuk segala bentuk tawaran relasi, ide menulis bersama, ataupun sekedar berbincang santai, yang semuanya dapat dilakukan melalui pesan langsung.
0 notes