umarhabib13
umarhabib13
Umar Habib
168 posts
berbagi dan saling mengisi | https://instagram.com/habib_umar13?igshid=ZDdkNTZiNTM=
Don't wanna be here? Send us removal request.
umarhabib13 · 15 days ago
Text
Mengakui, Bukan Menahan
Ini bukan tentang validasi eksternal. Karena itu cuma kado, bukan fondasi. Ini tentang validasi internal. Validasi yang datangnya dari diri sendiri. Self-validation. Fondasi yang bikin kita nggak gampang goyah waktu dihantam dunia. Yang bikin kita bisa berdiri tegak meskipun dunia bilang, “Kamu nggak layak.”
Self-validation diperlukan di saat-saat tertentu, seperti sehabis disakiti, gagal, goyah, merasa dihakimi, takut, dan merasa nggak cukup. Itu adalah momen-momen penting dan kita memang perlu pause buat self-validate. Buat bilang ke diri sendiri, “Aku boleh kok merasa (sedih, gagal, kecewa, dll).”
Kalau kamu belum tahu, self-validation itu bukan cuma “keren-kerenan” di quotes Instagram. Itu tuh semacam perisai psikologis, terutama di momen-momen rentan. Biar kita nggak gampang kebawa omongan orang, biar kita bisa stabilkan diri dulu, sebelum melangkah lagi.
Tapi kelihatannya, di luar sana, banyak sekali orang-orang yang denial. Mereka sering kali bersembunyi di balik kalimat-kalimat yang di dalamnya penuh perasaan yang belum sempat diakui, seperti:
“Aku harus kuat, aku harus kuat.” “Nggak apa-apa kok, aku udah biasa.” “Udah lah, santai aja, nggak usah lebay.” “Gue gapapa, kok. Gue nggak butuh apa-apa.” “Ah, udah ah, jangan drama.” “Gue udah kebal sama sakit kayak gini.”
Mereka mengira kalau mereka “keras” pada perasaan sendiri, itu artinya mereka kuat. Padahal, justru itulah yang bikin mereka lebih rapuh—karena denial bukan kekuatan, tapi ilusi belaka.
Alasan kenapa mereka denial, banyak. Mungkin... Takut kelihatan lemah karena budaya tinggalnya bilang, “Kalau kamu ngakuin kamu sakit hati, berarti kamu kalah.” Mungkin mereka nggak mengerti caranya ngakuin perasaan, karena tumbuh tanpa diajarkan bagaimana caranya bilang ke diri sendiri, “Aku lagi sedih, dan itu wajar.” Mungkin mereka takut “terjebak” di rasa sakit, karena mengira, “Kalau aku buka luka ini, nanti nggak selesai-selesai.”
Padahal yang terjadi malah sebaliknya. Luka yang diabaikan justru semakin dalam. Perasaan yang diabaikan nggak pernah hilang; cuma mengumpet. Semakin lama, semakin menumpuk. Sampai akhirnya… meledak seperti bom waktu.
Mereka mengira kalau pintu rumah dikunci rapat, berarti rumahnya aman. Padahal, yang nggak mereka sadar adalah: rumahnya gelap, pengap, dan lama-lama bikin dia sesak napas sendiri. Atau seperti menyimpan sampah di kolong kasur—nggak keliatan, tapi baunya tetep ada. Dan ya, sooner or later, sampah itu bakal busuk.
Pun perasaan, kalau diabaikan, tubuh dan hati kita yang bakal ngerasain akibatnya. Entah muncul dalam bentuk cemas, amarah, atau tiba-tiba nangis padahal nggak ngerti kenapa.
Makanya, yang denial itu sebenernya bukan hebat—mereka cuma nunda. Nunda apa yang seharusnya mereka akui, biar lega. Sayangnya kelegaan itu nggak datang dari lari, tapi dari menghadapi. Dari keberanian buat akui dan bilang, “Ya, aku merasakan ini dan ini valid. Dan aku siap buat hadapi.”
Jadi yah teman-teman, jangan terlalu keras sama diri sendiri. Karena di dunia yang sering mengajari kita untuk ‘jadi kuat’ dengan menahan semua, yang sesungguhnya bikin kita tetap utuh itu bukan menahan, tapi mengakui.
20 notes · View notes
umarhabib13 · 24 days ago
Text
Hujan yang Menenangkan
Malam...
Hujan...
Mendung lagi...
Berharap mendapatkan tempat untuk berteduh.
Aku khawatir jika ini akan menjadi deras dan tak terhenti untuk waktu yg lama.
Aku takut jika ini sampai membasahi ku, membuat ku menggigil dan sakit dalam jangka yg panjang, seperti yg telah terjadi beberapa tahun kemarin.
Jika saja ini adalah keberkahan dari Nya dan Ia meridhainya maka pastilah aku ingin itu terjadi, karna setelah nya adalah kebahagiaan yg hakiki.
Namun jika tidak tolonglah aku untuk bersembunyi agar tak dapat aku tengok kembali.
Mencintai yang baik tidak lantas berarti aku adalah orang baik, tidak seketika juga mengubahku jadi orang baik. Meluaskan fikiran dan mendalamkan perasaan, semua di dunia ini memiliki peraturan; datang dan pergi.
Dari semua itu, kita hanya bisa saling melapangkan; hati, pikiran, serta perasaan. Dan kadang kesedihan dan kesakitan sering kita rasakan hanya untuk penerimaam.
Sometimes Allah doesn't change your situations, because He wants to change your heart.
4 notes · View notes
umarhabib13 · 26 days ago
Text
Rasa Tak Nyaman
Sudah hampir 3 tahun berlalu ketakutan itu tak kunjung hilang, sesak di dada yang dulu sempat begitu menyesakan dada hari ini terasa kembali, ketika ada kabar mengenai dirinya, seharusnya itu sebuah kabar bahagia atas sebuah pencapaiannya, namun entah kenapa terasa masih begitu membuat sesak ketika tahu mengenai dirinya. Mungkin rasa ikhlas yang seharusnya kumunculkan sejak dulu tak kunjung ada. Rasa ikhlas demi kebahagiaannya akan pilihan terbaiknya. Perpisahan yang selalu berkahir buruk, entah apa doa mu terhadapku sekarang yang jelas akan kucoba lagi berjuang menghilang rasa tak nyaman ini dan kucoba doakan yang terbaik untuk mu.
0 notes
umarhabib13 · 26 days ago
Text
Pengen jadi orang yang suksesnya ga dimanfaatin gagalnya ga diketawain. Aibnya ga dicari-cari. Amalnya ga dipuji-puji. Enak dan Ga malu makan dipinggir jalan, pakai baju, kendaraan untuk dimanfaatin fungsinya bukan untuk dipamerin bagus /mereknya. Kalo post cari rejeki, bagi inspirasi bukan pamer kehidupan pribadi.
Ga keras lagi pada diri sendiri, ga berambisi pada mimpi, ga ada rasa ingin membuktikan ke orang lain yang meremehkan, ga pengen menunjukkan bahwa aku ada dan layak diperhatikan.
Ingin jadi orang biasa
Yang bahagianya tak terusik orang yang sirik. Yang dukanya tak jadi sorotan dan bahan gunjingan.
Yang tenang dan benar-benar menikmati hidup, bila ada gak kelihatan,bila ga ada ga dicari. Bila perlu biar Orang lupa nama atau lupa wajah. Namun manfaat dan karyanya dirasakan sebanyak-banyaknya, ga peduli walau ga dihargai. Masa bodoh dengan harga diri, harga diri itu hanya Allah yang layak memberi dan menghargai.
325 notes · View notes
umarhabib13 · 2 months ago
Text
Agar Kamu Tidak Bersedih
Ternyata di Qur'an tuh banyak banget kalimat-kalimat yang "aneh" dalam artian, "pasti ada maksudnya nih, ini mah bukan buatan manusia."
Jadi tadi aku notice potongan ayat, bagus banget.
"— karena itu Allah menimpakan kepadamu kesedihan demi kesedihan, agar kamu tidak bersedih hati (lagi) terhadap apa yang luput dari kamu dan terhadap apa yang menimpamu—"
Respons pertama saat baca kalimatnya adalah: Hah? 😧 Bentar.. nggak salah nih? Kesedihan demi kesedihan supaya nggak sedih? Hah? Gimana ceritanya? Memang istilah bahasa Arab yang dipakainya apa?
Tumblr media
Ternyata untuk kesedihan demi kesedihan diksinya tuh "غَمًّا بِۢغَمٍّ" , sementara untuk bersedih hati pakai diksi "تَحْزَنُوْا". Berarti ada kesedihan yang berbeda kan?
Apa perbedaan antara: الحزن (al-huzn), الغمّ (al-ghamm), dan الهمّ (al-hamm)?
Huzn (الحزن) berkaitan dengan hal-hal yang telah berlalu (masa lalu).
Ghamm (الغمّ) berkaitan dengan hal-hal yang sedang terjadi (masa kini).
Hamm (الهمّ) berkaitan dengan hal-hal yang akan datang (masa depan).
Secara literal, "غَمّ" berarti menutupi, menyelubungi, atau menekan. Dalam konteks emosional, "ghamm" menggambarkan perasaan yang menutupi hati seseorang dengan beban berat.
Di ayat lain, "غَمّ" juga berarti awan/kabut yang meliputi. Cukup masuk akal, ketika di dalamnya kita jadi tidak dapat melihat ke depan maupun ke belakang. Di ayat lainnya lagi, bentuknya "غُمَّةً" artinya dirahasiakan. Masuk akal juga, karena ketika kita mengalaminya, kita nggak pengen dunia tau apa yang terjadi pada kita. Kita akan merahasiakannya serapat mungkin and act like everything is fine.
Tumblr media
Aku menemukan bahwa "غَمّ" digunakan di 4 cerita di dalam Qur'an:
Nabi Musa setelah membunuh seseorang secara tidak sengaja dan menyadari dampak serius dari tindakannya yaitu menjadi buronan dan menghadapi risiko yang besar serta konsekuensi yang mungkin timbul.
Nabi Yunus setelah menyadari bahwa meninggalkan misi dakwah dan melarikan diri dari tanggung jawabnya telah menyebabkan dirinya berada dalam situasi yang sangat sulit, yaitu dalam perut ikan. Perasaannya mencekam dan tertekan akibat kesadaran atas kelalaian dan dampaknya terhadap tugas yang diberikan Allah.
Pasukan pemanah Uhud yang meninggalkan posisi mereka di medan perang Uhud menyadari bahwa ketidakdisiplinan mereka menyebabkan kekalahan yang fatal bagi seluruh pasukan dan mereka cemas terhadap hasil dari tindakan mereka.
Penghuni neraka yang merasakan cambuk dari besi dan berusaha keluar dari siksaan neraka.
Ada pola menarik dalam penggunaan ghamm di 4 cerita itu:
Semua terjadi karena kesalahan manusia itu sendiri (baik disengaja atau tidak). Jadi ghamm datang sebagai wake-up call dari Allah setelah tindakan yang membawa konsekuensi nyata. Kayak.. membangkitkan rasa fatal.
Gham muncul saat sadar akan akibatnya. Ghamm lebih dari sedih atau takut biasa, yang muncul karena "aku melakukan sesuatu, dan sekarang aku harus menanggungnya". Berarti ghamm hanya dapat terjadi pada orang yang taklif dan memahami konsekuensi atau hukum sebab-akibat.
Gham membuka jalan untuk reframing, taubat, dan perubahan (kecuali yang di neraka). Musa dan Yunus segera memohon ampun dan berdoa. Pasukan Uhud menerima koreksi dan pelajaran keras dari Allah. Bahkan penghuni neraka ingin keluar, tapi sudah terlambat.
Gham adalah kemurahan Allah sebelum hukuman akhir. Allah izinkan ghamm menimpa seseorang agar ia tidak terus terbuai, agar hatinya mencicipi "penyempitan" sebelum terlambat. Tapi jika tidak direspons dengan sadar dan taubat, barulah ia bisa berujung pada hukuman.
Jadi bayangin, ghamm itu kayak, "damn moment" yang rembetan konsekuensinya gede dan fatal.
"Gue udah ngelakuin ini, dan sekarang semuanya runtuh."
"Gue sadar banget salahnya, tapi gue juga belum tau harus gimana."
"Ini bukan sekadar sedih. Ini dada gue sempit, kalut, gelap, dan berat."
"Gue menyesal, tapi ga ada waktu untuk menyesal di tengah-tengah himpitan ini."
Dia beda dari Huzn (sedih karena masa lalu) yang lebih lembut, reflektif. Dan beda juga dari Hamm (cemas akan masa depan) yang lebih ngawang, belum terjadi. Tapi dia bisa jadi adalah gabungan dari Huzn dan Hamm 🤯
Terus gimana ceritanya ghamm dapat mencegah huzn?
Jawabannya satu kalimat: luka lama dilampaui oleh luka kini. Sejujurnya meringis sih pas ngetiknya, kayak.. tega banget 😅 tapi dipikir-pikir cukup masuk akal.
Allah menggantikan luka yang membeku dengan luka yang bergerak. Huzn membuat kita stuck, menyesal, menoleh ke belakang, dan menyalahkan diri, sementara Gham membuat kita sadar, bangkit, bergerak, bertahan, dan berserah. Allah lebih memilih menimpakan kesedihan yang "aktif" agar kita selamat dari kesedihan yang "membeku."
Menariknya, Menurut Lazarus & Folkman, coping dibagi dua:
Problem-focused coping: usaha menyelesaikan masalah.
Emotion-focused coping: usaha mengelola perasaan.
Kalau huzn mungkin fokusnya di emosi dan masih punya keluangan mental dan waktu untuk mendalami rasa sesal. Kalau ghamm benar-benar harus switch ke problem focused coping. Jadi, kesedihan baru (ghamm) yang mengharuskan seseorang bergerak, ternyata bisa mengaktifkan mekanisme coping yang sebelumnya tidak muncul saat larut dalam huzn.
Selain itu, dalam psikologi kognitif, ada konsep Cognitive Load Theory yang menyatakan bahwa otak manusia hanya mampu memproses sejumlah informasi atau emosi secara bersamaan. Dalam tekanan yang aktual dan mendesak (ghamm), otak akan secara otomatis mengalihkan sumber daya mentalnya ke situasi itu. Alhasil, grief (huzn) yang tadinya mendominasi bakal terdorong ke latar belakang karena otak sedang sibuk survive di "sekarang". Kayak.. untuk bersedih pun tidak sempat.
Tapi, karena Allah Maha Mengetahui cara jiwa bekerja lebih dari siapa pun, maka penempaan jiwa melalui penimpaan ghamm itu hakikatnya adalah penyelamatan. Allah mungkin nggak serta merta hapus luka dalam waktu cepat secara ajaib. Allah lebih pilih menempa kita, saking bangga dan percayanya Dia, bahwa kita bisa lebih kuat. Dan akan ada saatnya "ketenangan" Dia turunkan sebagai imbalan, di kondisi kita yang semakin pantas untuk menerima ketenangan itu.
— Giza, masih terus mencoba melakukan pendekatan lewat jalur apapun. Mungkin pendekatannya selama ini ada aja yang keliru, tapi bisa dianulir seiring bertambahnya iman dan ilmu.
589 notes · View notes
umarhabib13 · 2 months ago
Text
Aku mengagumi bagaimana caramu mengeja namaku—tidak seperti mengucap, lebih menyerupai menggali. Seolah namaku bukan ditanam di lidahmu, tapi tumbuh perlahan dari ingatan yang tak kau sadari pernah menyentuhku.
Aku mengagumi senyummu yang tidak lahir dari alasan, hanya muncul—seperti embun yang tidak meminta pagi, tapi tetap ada. Lengkung yang pelan, tidak mengajak, tidak juga menolak; hanya singgah sebentar lalu sembunyi di sela detik. Dan dalam sembunyi itulah aku sering menemukanku sendiri.
Aku mengagumi caramu mendekat tanpa menyusutkan ruang. Tapakmu tidak membawa bunyi, tapi entah bagaimana kehadiranmu membuat sepi berubah tekstur. Seolah jarak adalah sesuatu yang kau lipat, bukan kau lewati.
Aku mengagumi caramu membalas pesan—huruf-hurufmu tidak bicara, tapi mereka menyisakan gema. Terkadang satu titik darimu lebih riuh dari kalimat orang lain yang penuh seru.
Aku mengagumi caramu bercerita. Ada siasat dalam caramu menaruh napas, seperti sedang menyusun hujan agar jatuhnya tidak menyakiti genting. Kalimatmu tidak selesai di telinga—mereka menetap, mencari-cari tempat tinggal di pikiranku.
Dan aku mengagumi caramu diam. Diam yang bukan berarti tak ada, tapi terlalu penuh untuk diberi suara. Diam yang terasa seperti pintu yang tidak dibuka, tapi selalu mengundang.
Pun barangkali begini memang bentuknya: dua garis yang nyaris bersinggungan, tapi ditarik pelan ke arah masing-masing sebelum sempat saling tinggal. Kau adalah cahaya yang datang dari sisi yang terlalu akrab, terlalu aku. Dan aku tetap di sini, menjadi pengagum yang belajar mengucap lewat kosong, mencintai dari jarak yang tak pernah benar-benar bisa dijangkau. Bukan karena tak pernah bisa lebih dekat, tapi karena takdir tahu: ada celah yang memang tidak selayaknya untuk terus dijelajahi, walau terlalu begitu ingin.
Aku mengagumimu | Yogyakarta, April 2025
25 notes · View notes
umarhabib13 · 3 months ago
Text
5.0
Kalo memang rezeki kita bukan nikah cepet, InsyaAllah rezeki kita "nikah matang". Aamiin.
Dengan begitu, fokus kita adalah ibadah. Dan orientasi kita adalah bagaimana membangun peradaban di entitas keluarga.
Coba persangkaannya kita diarahkan ke yang baik, kalo Allah lagi nyiapin diri kita sematang mungkin untuk menuju proses dan ujian yang lebih berat.
Settingannya dunia era sekarang itu emang menggempur peradaban. Manusia didesain berkehidupan materialistis dan jauh dari nilai-nilai humanis.
Jadi, tantangan membangun keluarga itu berat. Berat banget. Butuh landasan yang kokoh. Jangan sampai ada hal yang membuat kita menyegerakan menikah (karena tuntutan lingkungan sekitar) tapi dengan person yang desainnya beda. Selama tujuannya sama meski cara tempuhnya beda, nggak masalah. Yang penting masih dalam koridor syar'i. Perbedaan pandangan dalam keluarga itu keniscayaan. Dan itu salah satu ujian berumah tangga.
Persoalan internal keluarga itu harus bisa disikapi dengan penerimaan dan lapang dada.
Itu loh, di dunia luar ada ujian lebih besar, yaitu dunia yang makin nggak terkendali. Katahanan keluarga itulah yang perlu kita upayakan.
117 notes · View notes
umarhabib13 · 3 months ago
Text
Dering panggilan telepon dan detak jantungku
Bulan ramadhan tahun ini rasanya penuh dengan kekhawatiran. Aku yang masih diperatauan harus kuat dan tegar dengan segala berita keadaan keluarga di rumah. Aku yang terkadang lalai jarang menelpon lebih dulu menanyai kabar mereka, terkadang ketika dapet telpon selalu dalam fikiran "semoga gak ada berita yang buruk atau apa", apalagi jika memang benar ada salah satu keluarga yang sakit sampai di rawat di RS, rasanya ya Allah aku ingin pulang ke rumah, jagain dan lakuin apa saja asal keluargaku pada sehat dan baik baik saja. Dering telpon pun rasanya membuat dada semakin sesak akan berita yang tak ingin aku dengar. Hanya bisa berdoa berharap yang terbaik untuk keluargaku.
4 notes · View notes
umarhabib13 · 3 months ago
Text
Ada sebuah nasihat dari Imam Syafi'i;
"Ketika engkau menginginkan sesuatu, maka bayangkan jika saat itu juga engkau kehilangannya. Jika engkau merasa tidak apa-apa kehilangannya, itulah tanda bahwa aman bagimu memilikinya."
Alangkah dalam hikmah yang terkandung dari nasihat itu. Bahwa penting sekali bagi kita meneliti apa yang mendasari keinginan kita untuk memiliki. Sebab tanda jika keinginan untuk memiliki didominasi oleh hawa nafsu adalah muncul rasa kepemilikan sebelum dan setelah terkaruniai sesuatu yang diinginkan itu.
Rasa memiliki seringkali menjadi sebab kelalaian (kemaksiatan).
Coba perhatikan, bukankah orang yang merasa memiliki kuasa membuat ia jadi semena-mena pada yang dianggap berada di bawah kuasanya?.
Bukankah orang yang merasa memiliki harta bisa menjadikan ia sombong dan menganggap semua bisa dibeli dengan hartanya?.
Begitu pula ketika kita merasa memiliki seseorang (baik itu pasangan, anak, saudara, atau pun orang tua), bisa menjadikan kita tak rela ketika kehilangan (entah karena ia memutuskan pergi dari hidup kita atau karena Allah yang mengambilnya kembali dari sisi kita).
Padahal sejatinya, semua yang terkarunia hanyalah titipan dari-Nya. Kita tidak pernah benar-benar memiliki, kita hanya (saling) dititipi.
Oleh karena itu, saat kita menginginkan sesuatu, kata Imam Syafi'i, tolak ukurnya adalah dengan membayangkan seberapa lapang hati kita jika kehilangannya.
Kalau sebelum Allah karuniakan saja sudah ada rasa tak rela atau jadi takut sekali kehilangannya, berarti nafsulah yang mendominasi.
Maka, segera batalkan/tinggalkan. Karena yang seperti itu, jika tetap dipaksakan berpotensi menjadikan kita punya rasa kepemilikan yang akan melalaikan dan menjerumuskan ke dalam kemaksiatan.
Ingatlah, kebaikan itu selalu menenangkan. Yang sejatinya baik, tak akan membuatmu jadi khawatir berlebihan atau takut sekali kehilangan.
Wallahu a'lam bishawab.
@rizqan-kareema.
194 notes · View notes
umarhabib13 · 4 months ago
Text
Bila begitu banyak orang mengecewakan, mari jadi orang baik seperti apa yang kita mau. Memberi kebahagiaan kepada orang lain, menghargai segala upaya, tak usah menilai orang semena-mena, belajar menjadi pendengar yang baik, belajar menahan dari berkata yang tidak-tidak.
Mari belajar jadi orang hangat yang memberikan rasa aman kepada orang lain. Belajar menjadi orang yang tak memberi kekhawatiran kepada orang lain. Belajar menjadi orang yang tak dianggap bahaya oleh orang lain.
@terusberanjak
224 notes · View notes
umarhabib13 · 5 months ago
Text
Amor Fati
Kepada luka, aku bentangkan tangan bukan untuk mengusirnya, tapi membiarkannya duduk di sisiku. Kan kusesap kepahitan yang membersamainya, seperti teh yang dingin perlahan.
Kepada kehilangan, aku tidak bertanya, mengapa ia datang tanpa pertanda. Aku biarkan ia mengemasi sendiri, apa pun yang dia mau, apapun yang ingin dibawanya dariku. Takkan kucegat ia di ambang pintu.
Kepada waktu, aku tidak merayu, agar lebih lama menemaniku. Aku berjalan bersamanya, tanpa menuntut arah yang pasti untuk kutuju.
Aku mencintai yang datang dan yang pergi, seperti sungai mencintai muara, seperti daun mencintai angin yang menerbangkannya.
Sebab hidup adalah perjamuan, dan aku diundang untuk menikmati segalanya— manis dan getir, terang dan kabut, tanpa mengingkari satu pun.
———
Penderitaan dan kebahagiaan adalah bagian dari siklus kehidupan yang datang sepaket. Kita tidak bisa sepenuhnya menghargai kebahagiaan tanpa mengenal penderitaan, dan sering kali justru penderitaanlah yang membuka jalan menuju kebahagiaan yang lebih dalam. Hidup adalah keseimbangan keduanya. Tugas kita bukan memilih salah satunya, melainkan menerima keduanya sebagai bagian dari perjalanan.
Kita semua bisa mengatakan itu. Tapi kenyataannya, bisakah kita benar-benar menerima dan menjalani hidup seperti itu? Tidak hanya menerima kebahagiaan, tapi juga kepedihan—tidak terjebak dalam perlawanan terhadap kenyataan hidup, tidak menyesali masa lalu, tidak mengkhawatirkan masa depan, dan tidak berusaha mengubah hal-hal yang terjadi di luar kendali kita.
Amor Fati. Seni mencintai nasib dan menerima apapun yang terjadi, katanya. Apapun, bahkan jika itu pahit. Mencintai kehilangan, keterpurukan, luka. Mencintai hal-hal yang dalam skenario lain, mungkin selalu ingin kita hindari.
Bagi orang sepertiku, itu tidak mudah. Bukan karena aku tidak cukup memahami konsepnya, tapi karena menerima sesuatu sebagaimana adanya tanpa perlawanan bukanlah sifat dasar manusia. Bukan sifat dasarku. Aku selalu ingin memahami, menganalisis, mencari celah kemungkinan lain.
Bagaimana bisa mencintai sesuatu yang terasa tak adil? Seperti ketika kehilangan datang tanpa aba-aba, merenggut sesuatu yang kusebut rumah. Seperti ketika aku telah berusaha sebaik mungkin, tetapi semesta tetap memilih jalan yang berbeda. Haruskah aku mencintai itu juga?
Bagaimana bisa merangkul nasib itu tanpa hasrat untuk mengubahnya?
Keinginan untuk melawan terus berkelindan di dadaku, sampai akhirnya... aku kelelahan. Aku melihat ke belakang dan menyadari bahwa perlawanan ini tidak membawaku ke mana-mana, selain kembali ke lingkaran kecemasan yang sama. Menyesali, mengkhawatirkan, menganalisis, mencari celah—tetapi dunia tetap berjalan dengan ritmenya sendiri, tak peduli seberapa keras aku mencoba mengubahnya.
Lalu aku mulai bertanya: Jika hasilnya tetap tidak berubah, dan menolak pun hanya akan membuatnya semakin menyakitkan, apa yang tersisa selain menerimanya dengan cinta?
Perlahan, amor fati yang dulu kusanggah menyusup ke dalam kesadaranku. Bahwa untuk merasa lapang, aku harus mengosongkan lebih banyak ruang. Dan pada banyak kesempatan, kelapangan itu tidak datang dari kendali atau kerasnya aku menahan, melainkan dari melepaskan.
Tetapi itu bukan berarti aku harus berhenti berpikir, berhenti merasa, atau berpasrah tanpa usaha. Aku—kita—hanya perlu berhenti berperang melawan hal-hal yang tak bisa diubah.
Meski hidup memberi kita tantangan di luar kendali, kita selalu punya kuasa atas bagaimana kita bereaksi dan meresponsnya.
Sebab hidup adalah perjamuan, dan kita diundang untuk menikmati segalanya— manis dan getir, terang dan kabut, tanpa mengingkari satu pun.
75 notes · View notes
umarhabib13 · 5 months ago
Text
Dan di halaman selanjutnya rasanya perlu butuh banyak penghapus, karena begitu banyak keraguan, sebab begitu banyak asa yang dirajut pada halaman sebelumnya yang berujung pada sebuah jurang yang begitu dalam sampai entah kapan akan bisa beranjak kembali,
Di halaman selanjutnya akan kepastian tak ada lagi coretan-coretan yang tak perlu, agar tak akan lagi terjerebak pada lakon cerita yang sama lagi, akan kubuat sebuah cerita yang akan selalu happy ending insyaallah heheh
Beberapa cerita berhenti di halaman yang tak selesai, bukan karena kita kehabisan gagasan;
—tapi karena kita tahu tak semua cerita harus dilanjutkan.
347 notes · View notes
umarhabib13 · 6 months ago
Text
Yang namanya bismillah dan bismirabbika itu bukan lagi sekadar melibatkan, tapi bergeraknya sudah atas nama.
Kita tidak membawa kehendak diri lalu kemudian meminta Allah turun tangan untuk memudahkan, tetapi kita (dengan bangga dan bertanggung jawab) memposisikan diri sebagai petugas, perpanjangan kehendak-Nya untuk melakukan hal-hal yang Dia ridhai.
Artinya kita menggunakan resource dan tools di dalam dan luar diri sebagai fasilitas dalam ketugasan tersebut.
"Ya Allah, hari ini aku pinjam ya mata dan telinganya untuk mengambil input yang dibutuhkan. Ya Allah, hatinya izin kupakai untuk memproses inputan itu ya. Ya Allah, tubuh, lisan, dan tangan ini, izin kupakai untuk bergerak dan berbicara menyebarkan cahaya-Mu ya!"
Betapa tenangnya bergerak "atas nama" sebab Dia akan menanggungjawabi hasil akhirnya. Kita hanya perlu menjalankan tugas sebaik mungkin (ahsanu amala), dengan sepenuh hati (wholeheartedly) dan segenap kemampuan (istitho'ah), tanpa terbebani oleh kegagalan atau kesempurnaan menurut ukuran dunia.
Ketika bergerak atas nama-Nya, kita tidak lagi terjebak pada ketakutan akan kekurangan diri, sebab yang bertindak bukan hanya kita, melainkan Dia melalui kita. Kita hanyalah sarana, alat dalam orkestrasi besar yang sudah diatur-Nya dengan presisi.
Diterima atau tidaknya usaha kita, itu urusan Dia. Apakah hasilnya sesuai harapan atau tidak, itu kehendak-Nya. Yang terpenting adalah willingness dan effort kita, sejauh mana kita menyerahkan diri pada misi yang Dia titipkan.
Bukankah di situ letak indahnya tawakal? Menjadi hamba yang yakin bahwa ketika kita berjalan menempuh ikhtiar dengan membawa gagasan-gagasan langit, Dia pula yang akan membuka jalur-jalur langit sebagai pertolongan berlapis-lapis. Karena itu, kita tidak perlu ragu, tidak perlu takut salah, sebab tugas kita hanya satu: menjadi sebaik-baiknya pelaksana, seikhlas-ikhlasnya hamba, dengan sepenuh-penuhnya keyakinan.
— Giza, pada akhirnya, semua kembali kepada-Nya, sebab kita memang hanyalah milik-Nya.
388 notes · View notes
umarhabib13 · 6 months ago
Text
Belajarlah menerima nasehat sekali pun kata-katanya terasa tidak menyenangkan. Terdengar toxic, negatif, atau semacamnya. It's fine.
Bisa jadi mereka salah,
Bisa jadi juga mereka benar, dan kita yang salah.
Kembalikanlah pada Allah. Allah lebih tahu banyak tentang diri kita dari pada pengetahuan kita tentang diri kita sendiri. Allah lebih mengenal kita daripada kita mengenal diri kita sendiri.
Bagaimana jika nasehat yang kita benci itu justru datang dari lisan malaikat yang sedang menyamar yang sengaja Allah utus hanya untuk memperingatkan kita?
Tapi kita malah mengabaikannya dan lebih memilih nasihat dari setan yang bermulut manis, hanya karena kata-katanya terasa menyenangkan di hati?
Bahkan Nabi Daud pun pernah berdoa:
"Selidikilah aku, Ya Allah, dan kenalilah hatiku. Ujilah aku dan kenalilah pikiranku. Dan lihatlah apakah jalanku celaka? Dan tuntunlah jalanku menuju akhirat." (Kitab Zabur 139: 23-24)
Ketika kita menyerahkan hati kita untuk diperbaiki psikolog, mereka mungkin akan melabeli kita 'depresi', 'anxiety', 'post trauma', dan semacamnya.
Tapi ketika kita menyerahkan hati kita kepada Allah, maka Allah akan menunjukkan di mana letak kerusakan hati kita, yang mungkin kita akan merasakannya sebagai sesuatu yang kurang menyenangkan. (namanya juga rusak, bukan sesuatu yang menyenangkan)
38 notes · View notes
umarhabib13 · 6 months ago
Text
Tumblr media
Dan setiap hari kita menyusuri takdir kita, ada banyak hal yang terjadi, semula kita tidak paham, mengapa harus begini atau begitu.
Lalu seiring waktu, maksud-Nya pun mengetuk pintu hati kita, hikmah-hikmah bertaburan di sepanjang perjalanan.
Ternyata, ada yang digagalkan untuk digantikan dengan sesuatu yang lebih baik; ada yang dipisahkan agar dipertemukan dengan sesuatu yang lebih menarik; pun ada yang ditunda agar lebih siap menghadapi hal baik.
Kita memang tidak pernah bisa memaksa apa yang bukan takdir kita, pun kita pun takkan pernah bisa menghindari apa yang sudah menjadi takdir kita; kita yang mengejar takdir itu atau takdir itu yang mengejar kita.
Hidup ini, memang kehendak kita menginginkan atau mengharapkan sesuatu, tetapi jangan sampai lupa diri, bahwa yang menjadikan nyata segala kehendak kita adalah hak Allah, kita cuma manusia yang menjalani. Semoga selalu di tutun-Nya untuk berjalan lurus dan dilapangkan hati menjalani segalanya. Aamiin...
Paska SKB, 15 Desember 2024 08.45
195 notes · View notes
umarhabib13 · 6 months ago
Text
Puncak ketenangan hati manusia adalah saat ia ridha dengan apa pun yang ditetapkan oleh Rabb-nya. Tidaklah ia melihat segala yang terjadi di hidupnya, kecuali dari sudut pandang yang penuh dengan prasangka baik. Fokusnya cuma satu; ridha Allah semata.
Rizqan Kareema
304 notes · View notes
umarhabib13 · 6 months ago
Text
Dimana hari-hari menahan amarah dan membuat sabar makin tak tersisa, dan hari yang isinya terus menghela nafas begitu dalam, cuman bisa banyakin istighfar semakin semrawut nya hidup, gak sadar begitu luar biasanya Al-Quran jadi pentujuk hamba mu ini ya Allah
Surrender Nggak Selalu Tentang Kalah
Kadang kita suka ngerasa hidup itu penuh banget. Penuh deadline, penuh ekspektasi, penuh tuntutan. Rasanya kayak semua tanggung jawab numpuk di punggung kita, bikin sesak sampai nggak tau harus mulai dari mana. Dan parahnya, di tengah semua kekacauan itu, kita malah nyari solusi di tempat-tempat yang makin bikin bingung. Scrolling medsos hoping ada motivasi random, cari quotes yang relatable, atau sekadar nge-vent sama temen—yang kadang malah nggak paham kita lagi ngomong apa.
Padahal, deep down, kita tahu jawaban itu nggak jauh-jauh dari ayat yang satu ini: “Wa ufawwidu amri ilallah.” Aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Nggak gampang, memang. Tapi trust me, ini titik yang paling tinggi sekaligus paling peaceful dalam hidup. Titik di mana kita nyerahin semua yang bikin kita pusing—semua usaha, semua doa—dan bilang ke Allah, “Udah, aku coba jalanin, sekarang terserah Engkau aja yang atur.” Sounds simple, tapi rasanya… profound banget.
Kita ini manusia, kan? Kadang ngerasa bisa ngatur semuanya, ngejar semuanya, handle semuanya sendirian. Tapi kenyataannya? Ada momen-momen kita harus humble, harus sadar kalau kita ini kecil. Karena apa yang ada di depan, apa yang kita khawatirin, itu semua udah diatur sama yang Maha Baik dan Maha Adil. Kita tinggal ikutin alurnya.
Ada hari di mana kita ngerasa stuck. Rencana nggak jalan, mimpi kayak jauh banget, doa yang kita ucapin di sepertiga malam kok nggak ada tanda-tanda dikabulin. Tapi justru di situ, kita diajak buat percaya sama proses. It’s not about the timing we want, but the timing we need. Tuhan tahu mana yang baik buat kita, bahkan saat kita nggak ngerti kenapa sesuatu terjadi sekarang.
Kita mungkin lagi mikir, “Kenapa hidupku gini?” atau, “Kenapa semua orang kayaknya jalan lebih cepat daripada kita?” But listen, ada fase di mana kita cuma perlu berusaha sebaik mungkin, lalu berserah. Karena pasrah ke Allah itu bukan tanda kita nyerah—itu tanda kita paham ada tangan yang jauh lebih kuat daripada kita. Dan di situ, di titik pasrah itulah, ketenangan datang.
Sebenernya kita semua senasib. Sama-sama punya hari di mana rasanya pengen rebahan seharian karena capek sama dunia. Tapi ingat, kita juga punya pegangan. Kita punya Dia yang nggak pernah ninggalin kita. Bahkan pas kita diem-diem nangis, ngerasa helpless, atau lagi mikir mau ngomong apa di doa terakhir malam itu, Dia udah denger semuanya. He knows what we need even before we ask for it.
Jadi, yuk, kita bareng-bareng belajar buat sampai ke fase ini. Fase di mana kita bisa bilang, “Ya Allah, aku serahin semuanya sama Engkau. Yang terbaik, tolong mudahkan.” Karena di tangan-Nya, semua jadi lebih tenang. Dan nggak ada yang lebih melegakan daripada tahu kita nggak sendirian dalam perjalanan ini.
Tumblr media
52 notes · View notes