umpan-balik
umpan-balik
Umpan Balik
26 posts
tenggelam dalam waktu yang hilang.
Don't wanna be here? Send us removal request.
umpan-balik · 5 years ago
Text
Merayakan 20 Tahun Peterpan: Bintang dari Surga Menyinari Musik Indonesia
Tumblr media
Bagi generasi yang tumbuh awal 2000-an selalu ada lagu Peterpan menemani. Deretan lagu mereka terdengar nyaring di sudut mana pun kita berada, menggema keras hingga ke lubuk hati yang terdalam. Peterpan banyak mengiringi perjalanan hidup, mengantar kita melewati momen-momen bahagia sekaligus paling berat untuk kita melangkah.
Selalu ada lagu Peterpan menemani saat dirimu mengalami patah hati silih-berganti, seseorang datang lalu memilih pergi. Ada lagu Peterpan saat seseorang menghadirkan kekecewan juga kesedihan mendalam, memberi luka yang tak sengaja tergurat dan bekasnya tidak pernah hilang. Tetapi tak selalu begitu, seperti seharusnya hidup mesti terus berjalan, akan ada lagu Peterpan membawamu berdamai dengan kekecewaan dan kemarahan lalu membiarkan waktu mengobati.
Sudah seharusnya kamu berterima kasih pada Peterpan! Sebuah band fenomenal, mereka dibangun dari bawah lalu terbang tinggi menyinari gemerlap musik tanah air.
Awal kemunculan Peterpan sendiri disaat musik Indonesia naik level menyayingi penjualan album band luar negeri, dengan ditandai naiknya penjualan album band lokal di segmen pasar domestik. Band-band lokal yang sedang tumbuh waktu itu mengusung musik pop alternatif.
“Menaikkan kelas musisi-musisi lokal yang sebelumnya identik dengan kelas bawah,” tulis Jeremy Wallach dalam tulisannya Exploring Class, Nation, and Xenocentrism in Indonesian Cassette Retail Outlets.
Fase awal kehadiran Peterpan di musik Indonesia saat di mana band lain sedang berkibar tinggi seperti Gigi, Dewa 19, Padi, dan Sheila On 7, sesuatu yang diakui sang vokalis, Ariel. Mereka menjadi percakapan banyak orang, karya mereka hampir diputar di semua radio. Lalu Peterpan hadir di sela-sela kejayan band-band tadi dengan modal satu lagu “Mimpi yang Sempurna”.
Ariel sebagai pencipta lagu, menyadari bahwa lagu yang diciptakannya tidak cukup memiliki kekuatan untuk bersaing dan akan sulit untuk diterima. Namun keraguan itu terjawab, karya ini menemui penikmatnya, mengundang banyak minat dengar, lagu “Mimpi yang Sempurna” mendapatkan respon positif, respon yang tidak terduga, saking populernya menjadi tembang andalan para pengamen di jalan.
“Dulu di kompleks rumah saya, di siang hari, masih sering pengamen mendatangi rumah demi rumah. Siang itu saya sedang beristirahat di rumah ketika seorang pengamen datang dan menyanyikan lagu “Mimpi yang Sempurna” di depan rumah saya. Saya mengintip dari dalam sambil senyum-senyum sendiri,” tulis Ariel dalam buku Kisah Lainnya (Catatan 2010-2019) buku yang ditulis bersama rekan ngeband nya Uki, Lukman, Reza dan David.
“Saya keluar memberikan uang untuk pengamen tersebut. Pengamen itu hanya bilang, “Nuhun, Sep,” lantas pergi meninggalkan saya yang masih-masih senyum-senyum sendiri.”
Masa-masa itu adalah masa-masa yang dirindukan Ariel, masa saat di mana sosoknya masih jauh dari lampu sorot. Lagunya dikenal, tapi personel yang membawakannya dulu orang mana peduli. “Mimpi yang Sempurna” memang mengubah segalanya, perlahan sinar terang mulai menyinari band mereka, lagu tersebut merupakan salah satu lagu pengisi album komplikasi Kisah 2002 Malam. Mereka mulai menyambangi banyak kota, sebelum-sebelumnya  hanya diputar sekitaran Bandung, kini terdengar nyaring di luar kota, mendapat banyak sambutan.
Mengisahkan jauh ke belekang, Peterpan awal mulanya adalah band kover, mereka membawakan lagu-lagu band luar negeri saat mendapatkan job manggung dari kafe ke kafe. Mereka banyak terinspirasi dari sana. Apa yang kemudian menjadi karya-karya mereka terinspirasi dari warna musik seperti Nirvana dan Oasis, Ariel sendiri menemukan sosok yang dicarinya pada diri Kurt Cobain, vokalis Nirvana, sementara Uki sahabat dekat Ariel sejak SMP yang mengisi posisi gitaris di tubuh Peterpan lebih senang pada Oasis.
“Satu per satu mulai melengkapi “puzzle” Nirvana di hati saya. Akhirnya saya bisa mengatakan bahwa saya pecinta musik grunge,” ungkap Ariel.
Ariel dan Uki memang sudah saling mengenal lama, mereka berada di dalam tubuh band yang sama saat masih duduk di bangku SMP jauh sebelum Peterpan terbentuk. Saban hari, Ariel sedang melatih vokalnya di warung tempat ia dan teman-temannya nongkrong sewaktu SMA, lalu Ariel mendapatkan tawaran untuk bergabung dengan salah satu band yang di dalamnya ada Lukman dan Andika, merasa ingin menambah jam terbang, Ariel kemudian menerima tawaran  tersebut. Demam panggung menjadi masalah tersendiri bagi Ariel untuk ditaklukkan demi terus mewujudkan impiannya.
Merasa formasi band ini, belum lengkap. Ariel merekomendasikan untuk menambah personel, ia menceritakan salah seorang sahabatnya yang jago main gitar kepada personel lain, yakni Uki untuk menambah posisi gitaris. Para rekan tak keberatan, Uki pun bergabung. Band ini kemudian diberi nama Topi. Mereka membawakan berbagai genre musik, kekompakan pun mulai tumbuh pada setiap personel.
Band Topi menjadi medium yang mempertemukan mereka satu per persatu, meski begitu band ini jarang tampil lalu bubar di tengah jalan. Ariel kemudian memilih untuk melanjutkan studinya setelah setahun menganggur ,melanjutkan keinginan orang tuanya. Panggilan untuk ngeband kembali datang setelah Andika membentuk band baru yang diberi nama Universe, sudah ada Uki dan Indra di dalamnya.
Di tengah jalan formasi ini dirasa belum lengkap, bongkar pasang personel kembali dilakukan, Lukman bergabung setelah Ariel mengajaknyanya masuk setelah lama tidak berjumpa, dan nama yang terakhir adalah Reza, masuk setelah beberapa kali personel melihat aksi drumnya dengan gaya yang unik. Sebelum Reza bergabung nama Universe telah berganti menjadi Peterpan, nama yang lahir setelah diusulkan oleh Andika.
Nama Peterpan memang lahir dari buah pemikiran sosok Andika, tapi kehadiran sosok Ariel di Peterpan tak bisa dipungkiri menjadi role model, lewat gumaman saat bernyanyi dan gaya rambutnya menjadi ciri khas tersendiri. Namun bukan itu yang utama, kemampuan Ariel menciptakan lagu puitis membuat band ini berada di sirkuit band papan atas. Ariel dan Peterpan menjadi entitas sulit tuk dipisahkan, Ariel terus mencoba membawa Peterpan terbang tinggi, meski nama Peterpan kini tak dipakai lagi setelah berganti menjadi Noah, karir Ariel di dunia musik tanah air sama sekali tidak meredup meski pernah tersandung kasus video pornografi pada 2010.
Tumblr media
Konser di Pandeglang (Dok. Peterpan)
“Ya band ini, kalau vokalisnya bukan Ariel lagi mending bubar saja,” kata Reza dalam film dokumenter perjalanan band mereka Awal Semula (2013).  
Sambil Peterpan jalan, Ariel dan rekan mengasah kemampuan mereka untuk menciptakan lagu, sebenaranya sudah ada beberapa lagu yang diciptakan Ariel meski cuma sepotong-potong, waktu SMA lagu-lagu itu sering dinyanyikan saat sedang nongkrong, Ariel menjadikan teman-teman SMA nya sebagai pendengar pertama sekaligus simulasi pasar. Buku Kahlil Gibran berjudul Cinta, Keindahan dan Kematian yang merupakan kumpulan puisi banyak membantunya menyusun kata untuk di masukkan ke lirik lagu.
“Saya melakukan kebodohan tetapi saya menyukainya. Hampir setiap hari saya membaca buku itu, berulangkali, bahkan dalam perjalanan ke sekolah.”
Bintang di Surga dan rekor itu
Peterpan sudah berada pada trek nya, apa yang dulu hanya menjadi sekadar mimpi bagi setiap personel akhirnya menjadi kenyataan, seperti single pertama mereka “Mimpi yang Sempurna”. Setelah hanya menjadi mengisi album komplikasi, Peterpan kemudian mengeluarkan Album sendiri berisi sepuluh lagu, album perdana Taman Langit (2003) meluncur ke pasaran dan diterima dengan baik, sebuah lompatan karir dirasakan oleh semua personel.
Di satu sisi, jalan menjadi musisi yang sedang diretas membuat mereka menanggalkan dunia lainnya, semua personel tidak bisa mendapatkannya sekaligus. Sukses di Peterpan membuat Ariel meninggalkan kuliahnya di jurusan arsitek, sama seperti  dialami Uki, begitupun dengan Reza yang sedikit lagi menyelesaikan studinya namun nasib berkata lain, menjadi musisi adalah cita-cita sejak awal.
Prestasi album kedua Bintang di Surga (2004) lebih mentereng dengan rekor penjualan album lebih dari 3 juta keping dan tercatat sebagai yang tertinggi di sejarah musik Indonesia, membuat Peterpan terbang tinggi dengan menubuhkan nama mereka sebagai band papan atas tanah air dengan single “Ada Apa Denganmu”, “Mungkin Nanti” dan “ Ku Katakan dengan Indah”. Album ini dikerjakan ekstra mereka rela melakukan karantina, menjauh dari kerumunan sejenak.
Majalah Rolling Stones misalnya tak tanggung-tangungg menempatkan album Bintang di Surga sebagai “The 150 Greatest Indonesian Albums of All Time", sementra lagu “Ku Katakan dengan Indah” menjadi salah satu lagu terbaik pilihan majalah musik tersebut ke dalam “150 Greatest Indonesian Songs of All Time”. Banjir penghargaan pun mengisi lemari studio mereka dan tawaran manggung begitu padat setelah album ini launching. Dan, satu lagi rekor muri mereka dapatkan setelah konser di enam kota dalam sehari.
Tumblr media
Album  Bintang di Surga membuat Peterpan terbang tinggi di belantika musik tidak hanya di dalam negeri.
Bukan hanya soal rekor dan penghargaan, Peterpan pun kemudian menjadi cetak biru yang banyak menginspirasi hadirnya band-band baru bermunculan dengan genre pop melayu. Sebuah musik yang mengandung banyak pengaruh pop barat namum memiliki unsur melayu di dalamnya.
Sukses di album perdana, lalu bersinar terang di album kedua, Peterpan mengeluarkan album ketiga pada tahun 2004 untuk soundtrack film Alexandria. Album ini merupakan album terakhir kebersamaan Peterpan dengan Andika dan Indra, di tengah mempersiapkan album keempat keretakan mulai terjadi, konflik internal tidak terselesaikan. Puncaknya adalah Peterpan nyaris bubar. Andika sebagai pengusung nama tersebut meminta nama Peterpan tidak dipakai lagi saat manggung, namun karena masih terikat kontrak dua tahun dengan Musico Studio’s, nama Peterpan masih tetap digunakan hingga ikatan kontrak putus.
Beranggotakan hanya empat orang dengan formasi ini Peterpan mengeluarkan dua album lainnya lagi Hari yang Cerah....(2007) dan mengakhiri kebersamaan mereka dengan nama panggung Peterpan dengan album Sebuah Nama Sebuah Cerita (2009). Dalam rentan waktu itu mereka juga menambah satu personel lagi yakni David untuk mengisi posisi keyboard untuk menggantikan Andika.
Noah; Separuh Peterpan
Pada Mei 2010 badai menghantam band ini di tengah persiapan album terbaru mereka, sang vokalis Ariel tersandung kasus. Menjadi ujian terberat untuk dilalui jauh lebih berat ketika mereka harus melewati masa-masa ditinggal personel dan harus mengganti nama yang nyaris membuat mereka bubar semua.
Mereka lalu vakum, tenggelam sementara dari belantika musik tanah air. Ariel menjalani masa tahanan, meski begitu keengganan personel lain untuk menggantikannya, mereka tetap bertahan menunggu Ariel kembali menghirup udara segar, usaha itu terus mereka rawat, belum lagi gelombang dukungan terus berdatangan dari basis fans mereka militan meminta agar personel terus berkarya.
Uki, Lukman, Reza dan David kemudian mengeluarkan album instrumental Suara Lainnya (2012) sebagai penanda mereka belum benar-benar habis, sementara Ariel mengeluarkan single “Dara”, lagu tersebut diciptakan saat mendekam dipenjara. Jelas, sebuah karya terbaik tetap menjadi tumpuan mereka di dunia musik tanpa menghiraukan dari mana suara itu keluar.
Ariel bebas, semua rencana yang terpaksa tertunda segera digarap, sebuah momentum titik balik datang setelah terhempas jatuh begitu dalam ke jurang terbawah. Mereka  selekas-lekasnya mencari nama band baru setelah nama Peterpan tidak boleh digunakan, ada tiga nama yang mencuat di ruang diskusi mereka perihal nama band baru ini yaitu, Master Plan, Raokin dan Noah.
Nama pertama tak diterima lantaran menurut David: “Master Plan terdengar kaya obat kuat,” katanya. Begitupun nama selanjutnya Raokin, nama band yang diusulkan Reza. “Kalau Raokin itu bagaimana ya. Kedengarannya kayak orang diapain gitu. Kayak orang dikerokin,” tolak David juga.
Dan nama terakhir akhirnya menjadi pilihan, nama Noah lahir dari usulan Ariel. Nama ini juga sempat tak diterima begitu saja, karena mirip-mirip nama nabi.
“Makna Noah, kan, luas bisa to comfort, membuat nyaman. Musik kita sendiri mengarah ke sana, membuat pendengar menjadi nyaman. Jadi tidak ada hubungannya dengan tokoh spiritual,” kata Ariel saat meyakinkan rekan-rekannya.
Bersama Noah para eks Peterpan ini tetap eksis di musik tanah air, lagu mereka hampir di dengar setiap generasi, meski sebagian dari mereka telah lama mengikuti, ada banyak perubahan dari komposisi musik namun begitulah seharusnya ketika nama Peterpan tak dipakai lagi, perubahan perlu dilakukan untuk terus menyesuaikan dengan selera musik kita hari ini, bahkan ada yang memuji: berbeda dengan Peterpan, Noah berada di atas satu level.
Peterpan memang tidak ada lagi, nama itu ada lembaran lama dari kisah perjalanan personel band Noah yang kini hanya beranggotakan Ariel, Lukman dan David. 
Tepat hari ini, 1 September Peterpan lahir, kita begitu akrab dengan lagu-lagu mereka bahkan masih teringat semua tentang kita di masa lampau. Kita masih mengingat-ngingat waktu masih sekolah dulu, menyanyikan lagu Peterpan saat menuju jalan pulang ke rumah. 
0 notes
umpan-balik · 5 years ago
Text
Happy Valentine Indonesia Tanpa Pacaran
Rasa-rasanya sulit untuk memisahkan urusan umat dengan relasi antara dua insan,ketika film-film yang bertemakan religius dan dibalut dengan pergolakan asmara semakin gencar dan meledak saat diproduksi. Belum lagi novel atau sebuah roman; cerita percintaan yang penuh romantisme lalu disuntikkan dengan nuansa islami tak hanti-hentinya dicetak ulang.
Misalnya, Ayat-ayat Cinta (Hanung Bramtyo, 2008) dan 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta (Benni Setiawan, 2010) pada mulanya ditayangkan di layar lebar lalu penayangannya sampai ke teve-teve swasta begitu laku dan kaya akan peminat, Lalu, ada dua novel yang hingga kini belum berhenti dicetak ulang, dua novel Buya Hamka Tenggelamnya Kapal van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah, yang begitu kental dengan tema-tema tersebut , menyiratkan bahwa teologi bertuhan dan cinta yang sesungguhnya memang tidak bisa lepas dengan kita.
Namun tak sedikit pula yang berada di pihak yang berseberangan jika argumentasi di atas menjadi pijakan bahwa sesungguhnya islam dan pacaran tidak pernah dibenarkan dalam urusan umat yang ada hanya istilah ta’aruf, lalu membikin sebuah antitesa yang menentang perihal berpacaran dsb.
Felix Siaw adalah salah satu motivator kekinian yang menentang ajaran itu, dalam salah satu acara Talk Show di teve nasional bertutur bahwa: “Lelaki yang tidak lulus ujian tanggung jawab dan komitmenlah yang akhirnya masuk dalam jurusan pacaran. Cinta disempitkan dalam arti pacaran. Terbatas pada rayuan palsu dan gandengan tangan. Padahal pendamping yang saleh tidak pernah didapatkan dari proses pacaran, karena kesalehan dan kebatilan jelas bertentangan.”
Pada argumentasinya pak ustadz Felix yang lebih senang di panggil motivator, kita dapat memetik dua biji poin dalam pertentangannya. Pertama, Lelaki yang tidak bisa berkomitemen mereduksi cinta menjadi pacaran dan yang kedua pacaran adalah hal yang batil, karena itu tidak mungkin kita mendapat pendamping soleh/soleha darinya.
Penyataan ustadz Felix bisa kita gunjingkan, apakah dengan berpacaran mengejawantahkan bahwa lelaki itu sebenarnya tidak memiliki jiwa komitmen dan lebih memilih untuk berpacaran? Kenapa pacaran adalah batil apakah tidak mungkin dua orang saleh berpacaran? Apakah  pacaran adalah aktivitas laki-laki yang tidak bisa berkomitmen, sementara perempuan atau orang yang berkomitmen tidak berpacaran? Bukankah pacaran adalah salah satu bentuk komitemen?
Tak hanya ustadz Felix sebuah gerakan yang sudah lama mengeksis yang dimotori oleh La Ode Munafar bernama  gerakan/seruan “Indonesia Tanpa Pacaran” yang juga menerbitkan judul buku yang sama berbusa-busa menentang perihal pacaran.
Gerakan yang tonggak awal pergerakannya menyasar pengguna media sosial generasi kiwari dari pesan broadcast, lewat akun Instagram, Facebook dan Line yang juga gencar mengkampanyekan bahwa pacaran dan kemaksiatan itu satu paket.
La Ode bertutur “Pacaran itu merusak dari sisi mana pun: dari masa depan, psikologi, kehormatan dan terlebih lagi dalam pandangan agama [..] Tidak ada yang menguatkan hubungan (dalam pacaran) baik ikatan agama ataupun hukum, sehingga jika sudah terlanjur melakukan hubungan (badan) yang laki-laki bisa saja meninggalkan perempuan dengan gampang”.
Nyaris sama, argumentasi La Ode ini juga cenderung menggeneralkan dan berpikir(an) sempit kalau berpacaran melulu akan menjurus ke hal-hal yang nganu. Selain itu, La Ode juga berpendapat bahwa pacaran akan selalu mengalihkan fokus belajar dan lingkungan , tanpa memikirkan bahwa ada pula yang berhasil dalam urusan prestasi dan cinta.
Ada kok, si ceweknya kuliah di universitas negeri ternama dengan jalur beasiswa, sementara sang lelaki melanjutkan kuliah di luar negeri dengan rute beasiswa prestasi.
Banyak yang tak mampu menyusun peta persoalan dan melancarkan argumen yang memukul rata serta memunggungi kenyataan, gerakan Indonesia Tanpa Pacaran yang oleh La Ode dan para pengikutnya dengan mudahnya mempersempit istilah pacaran, seharusnya jika memang gerakan-gerakan seperti ini yang memakai frame agama  dalam gerakannya harusnya menjadi “Gerakan Ayo Ta’aruf ” dimulai sejak dini.
Perubahan-perubahan sosial yang mereka kehandaki selalu melibatkan nilai, sikap-sikap sosial dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok masyarakat dengan militansi Nahi Munkar dan menganggap “khilfah” sebagai solusinya.
Jika digali lebih dalam yang menjadi visi dari gerakan ini boleh dibilang sebuah gerakan untuk menganjurkan pernikahan dini, tak berpikir visioner bahwa pernikahan bukan hanya soal rasa kesepian tapi juga kesiapan, pernikahan juga harus dibarengi mental yang matang. Ironis yang terjadi adalah pernikahan dini begitu rentan dengan perceraian.
Banyak pernikahan zaman sekarang masih teratur dalam banyak hal tradisional, pernikahan kerap kali menjadi tirani bagi perempuan muda dan tidak berlaku pada laki-laki muda. Dibeberapa lingkaran kelas menengah, gadis muda tidak dapat membiayai diri sendiri, ia hanya bisa tumbuh sebagai parasit. Bahkan saat sedikit beremansipasi, ia dituntut ke arah perkawinan dari pada ke arah karier karena keuntungan ekonomi yang digenggam oleh laki-laki.
La Ode atawa bahkan Felix Siaw sepertinya tidak menimbang-nimbang hal itu dan langsung mereduksi kata (ber)pacar(an).
Ketika gerakan-gerakan  seperti ini merasa lebih superior untuk melakukan perubahan maka hal-hal yang sebenarnya lebih genting masih akan jauh dari kata tuntas penyelesaiannya ketimbang mengurusi urusan pergolakan asmara manusia yang sedari dulu memang sudah purba.
0 notes
umpan-balik · 6 years ago
Text
Padamu Aku percaya Tuhan ada. Pada Tuhan, Aku berterima kasih telah menciptakanmu.
0 notes
umpan-balik · 6 years ago
Text
Alam “Idea” Joker
Tumblr media
Hitam dan putih, terasa pahit atau manis, ternoda atau paling suci. Begitulah lingkup potret kehidupan, padanya tidak ada yang benar-benar cerah dan tidak ada yang begitu buram sekali. Pada semua itu hidup, harus tetap dijalani.
Apa yang mengubah hidup Athur Fleck tokoh utama dalam film Joker yang diperankan adalah Joaquin Phoenix, suatu mahakarya yang disutradrai oleh Todd Philips benar-benar menyajikan kisah hidup yang sering dirasakan umat manusia, adalah ketidakpastian, berfluktuasi.
Orang yang baik sekali sekejap bisa teramat kejam, jika pilu terus mendera gejolak batinnya.  Seseorang yang begitu kejam bisa-bisa tergetar hatinya untuk melakukan secuil kebaikan saat melihat kedzoliman sedang merajalela.
Kala Arthur membukakan pintu keluar untuk sahabatnya Si Pendek Gary yang diperankan oleh Leigh Gill
“Pergilah Gary, hanya kau satunya-satunya yang baik kepadaku,” ucap Arthur lirih.
Gary histeris usai Arthur membunuh Randall (Gleenn Flesher) rekan kerja yang meminjamkannya pistol. Arthur menyudahi hidup Randall dengan cara yang beringis karena ingin melaporkannya atas pembunuhan di kereta api. Arthur menembaknya usai tiga pebisnis muda Wall Street tersebut mengusiknya.
Hunjaman pisau Arthur lepaskan ke kepala Randall lalu menusuknya beberapa kali sebelum pada akhirnya membentur-benturkan kepalanya ke dinding, nyawanya pun terenggut di tangan Arthur.
Pada scene itu hitam-putih kehidupan benar dipijarkan, saya menarik simpulan bahwa manusia tidak hanya tentang “diri” tapi juga proses “menjadi”.
Arthur yang hidup hanya bertumpu pada Ibu nya Penny Fleck yang diperankan oleh Frances Conroy sebagai tiang pengharapan agar hidup harus dilanjutkan. Pulang dari tempat kerja, adalah waktu longgar bagi Arthur, pada durasi itu ia merawat Penny Fleck. Hari demi hari!
Usai mengetahui bahwa Ia adalah anak dari hasil adoposi, dan tidak pernah sekalipun diceritakan mengenai hal-hal itu, seketika totalitas semuanya berubah, di tangan Arthur sendiri Ia menyudahi kehidupan Penny, sosok ibu yang mengadopsinya.
Arthur—mungkin—merasa bahwa hidup adalah panggung sandiwara, sehingga menjadi badut adalah bentuk pelarian. Menghibur banyak penonton, melempar tawa ceria kepada mereka. Meski rela membagikan senyum kepada banyak orang, hidupnya tidak secerah itu, awan mendung paling sering menghinggapi hidupnya dibandingkan kecerahan.
Tertindas, terusir hingga terabaikan, sederat gelombang yang ditemui dalam hidupnya, tidak sesekali, justru teramat datang sering sekali. Faktor ekstrinsik itu lalu mengubah pandangannya tentang menjalani hidup: menjadi buronan di Gotham dan memilih menjadi musuh Batman kelak.
Lalu kini, banyak jejak pendapat menganggap Joker adalah kita, seketika kita semua bisa men-joker-kan diri, orang baik yang tersakiti, pendeknya adalah faktor ektrinsik diluar diri membentuk seseorang.
Konsep “menjadi” dalam ranah filsafat telah jauh digunjinggkan pada masa silam, pada kejayaan pemikiran Yunani tentang “diri”, “saya” dan “semuanya”, pergolakan pemikiran mengenai itu, riuh dibicarakan.
Jauh sebelum Rene Descartes filsuf modernisme mengulas tentang “diri” yang bermuara pada konsep cogito: aku berpikir, atau subjek yang sedang berpikir. Plato murid Sokrates berfokus pada konsep “idea” yang membentuk manusia, jauh sekitar 427 SM.
Meski absurd dan orang-orang kadang menolaknya, konsep “idea” Plato selalu berkembang. Bermula idea yang dikemukakannya sebagai teori logika, kemudian meluas menjadi pandangan hidup, menjadi dasar umum bagi ilmu dan politik sosial dan kelak mencakup pandangan tentang keyakinan.
Dalam konsepsi “idea” Plato, berpikir dan mengalamai/pengalaman adalah jalan yang berbeda. Joker boleh saja mengira hidupnya tentang konsepsi menjadi badut yang menggembirakan lalu diundang ke acara realtiy show-nya Murray Franklin adalah puncak prestasi sebagai badut, sebab bahagia dalam ranah alam idea Plato menjadi salah satu konsep yang memang mengada dalam tubuh manusia.
Puncak “idea” menurut Plato adalah budi, kebaikan dan keindahan, namun untuk mencapai nirwana tersebut tidak hanya menyoal bahagia ditemui. Ada rasa gelisah, sedih dan pilu yang juga bisa masuk dalam konsep alam idea itu.
Begitu pula dalam tatanan sosial adil, sejaherta dan kurang sejahtera serta tidak adil telah terbentuk di alam idea.
Sebab, Plato membagi dua macam dunia. Menurut Plato ada dunia yang kelihatan dan bertubuh dan dunia yang tidak kelihatan dan tidak bertubuh (invisible). Dunia yang bertubuh adalah dunia yang lahir, terdiri daripada barang-barang yang dapat kita lihat dan alami, yang berubah senantiasa menurut benda dan waktu. Dunia yang tidak kelihatan dan tidak berubah adalah dunia daripada idea. Dunia imeteriil, tetap dan tidak berubah-ubah.  
Pada dunia yang bertubuh dan tidak bertubuh akan membentuk realitas, proses menjadi kunci dalam menentukan finalisasi karakter kemanusiaan, pendeknya hidup menjadi sebuah pilihan.
Sementara filsuf-filsuf abad 19 juga ikut mengunjinggkan tentang konsep “diri”, yang paling tersohor adalah Jaques Lacan salah satu penggagas post-modernisme datang dengan konsep “ ideal dan ego”, Lacan datang menyerang Descartes dan ide tentang diri yang tetap, subjek yang berpikir (atau cogito).  
Cetak menentukan ideal tidaknya sosok bergantung dari imej, dulu Arthur orang yang sangat baik sekarang, setelah mengganti namanya menjadi Joker semuanya berubah setelah segumpal penderitaan masuk kedalam hidupnya di mulai dari tertindas oleh orang-orang yang tidak menghargai profesi mulianya menjadi badut, orang-orang tidak memahami gangguan jiwanya dan beranggapan ia tidak normal, dikhianati rekan dan sahabatnya lalu ibu yang tidak berani berkata sebenarnya-benarnya bagaimana  awal semuanya bermula. Arthur pun teramat kecewa akan getirnya hidup.
Ini yang dimaksud Jaques Lacan imej dari fase cermin. Perasaan kita tentang diri terbentuk dari luar, seseorang yang kita ajak bertemu, bercakap dan berinteraksi menjadi faktor krusial penentu tentang diri.
Tuhan boleh saja bermain dadu, manusia dikatakan manusia ideal tetap menjadi sebuah tanya? Dan sosok Joker pada diri kita begitu dekat juga bisa terasa jauh sekali.  
0 notes
umpan-balik · 6 years ago
Text
Pagi Kuliah, Siang Aksi Lalu Pulang Rindu
Tumblr media
Membaca buku kian terasa pelik saat ini, banyak buku yang terbeli lalu hanya tersimpan rapi, bertumpuk dengan buku lainnya bercampur baur, dan bersama berdebu. Sebenarnya ada hasrat yang tertahankan untuk segera menyelesaikan mereka satu per satu untuk mengetahui ide-ide baru, sesuatu yang baru,bak menemui jarum dalam jerami.
Pasti asyik sekali membaca buku fiksi Sabda Armandio Alif yang berjudul “Dekat dan Nyaring” atau buku Henry Manampiring “Filosofi Teras” sambil menyereput rokok Relax di setiap batangnya menemani membuka halaman demi halaman, dua buku yang sangat ramai dibicarakan orang-orang pada review-review buku pada timeline linimasa. Pasti akan terasa menggembirakan membaca buku terbaru Petrik Metanasi “Negeri Para Jenderal” sambil ngopi saset.
Tapi situasi hari ini, membuat saya dan buku sementara berjarak. Ada perasaan hinggap yang membuat menahan-nahan untuk tidak terus larut dalam bacaan. Paling jika bersentuhan dengan buku itu masih bacaan yang lama sekitar bulan lalu dan jauh dari kata kelar untuk menyudahinya. Atau paling kalau membaca buku pun itu buku-buku tentang mata kuliah demi menyelesaikan tugas akhir, segera!
Prahara menyoal gelombang aksi mahasiswa membuat saya untuk masuk dalam pusara dan tidak hanya tinggal diam. Memang ada benarnya juga kata mendiang Wiji Tukul yang sebenarnya saya kurang sepakat di awal: “apa guna banyak baca buku, lalu mulut kau bungkam?”, begitu dalam menyentil.
Hari demi hari kondisi kita saat ini mendekati demokrasi tiang gantung yang hanya menunggu pisau guletin menyayatnya, bagaimana tidak, wakil rakyat kita dan Presiden Idol dengan label orang baik kok tiba-tiba terkena ejakulasi amat dini untuk mengesahkan RUU-RUU yang ngawur. Salah satunya adalah ingin mencampuri begitu dalam ruang persona kita, mencampuri urusan kita, kekasihku, saat bertemu, padahal menggaransi rindu saja tidak mampu.
Kedua lembaga dari istana dan senayan justru ketika datang protes, tidak tinggal diam, begitu responsif dan cekatan dalam menerima protes, tapi dengan tindak laku yang bukannya meredam amarah dari KAMI rakyat, mahasiswa, anak-anak STM, Persatuan Ojek Online, serikat buruh dan masyarakat sipil lainnya.
Gas air mata disemprotkan, pentungan begitu ringannya memukul pundak demonstran, hingga tidak tak tanggung melepas peluru tajam kepada mahasiswa, nyawa dianggap tidak berarti dengan dalih NKRI Harga Mati, mengingatkan kembali ungkapan: darah itu merah jendral, bagi kami generasi yang lahir pasca orde baru kini terasa dekat sekali. Orde Baru 2.0? Mungkin saja benar unggahnya, kini terasa sekali, di rumah kami Ibu Pertiwi.
Polisi pikiran terus membuntuti kita, seperti yang dirasakan oleh Winston lakon utama dalam buku fiksi termahsyur George Orwell, 1984 yang dikejar-kejar oleh Si Bung Besar. Negara kini dengan mudahnya memantau gerak-gerik kita dan siap menjebloskan siapa saja yang tidak sepaham, selurus duga mereka, kini hal itu begitu karib ditemui. Cuitan twitter berujung jeruji, menggalang donasi untuk kemanusiaan disalah kaprahi.
Maka semua tergetar, berteriak bersuara menolak. Kota-kota kini terbakar, bukan untuk merusak, mereka yakin hidup akan lebih baik ke depan dan jika semua penolakan tidak diindahkan mereka yakin hidup bakal hancur lebur. Masih ada harapan untuk mengubah, tinggal si Bung besar, semoga mau mendengar.
Amarah itu kian nyata, jika mereka berusaha untuk dihentikan, yang ada justru amukan, Para gerakan mahasiswa selalu yakin tidak ada perjuangan yang sia-sia, begitupun generasi 98’ yang langgas menumbangkan orde baru, gigih berjuang, betungkus lumus untuk menyalakan harapan untuk hidup yang lebih baik, Jadi mungkin sebaiknya tidak mengutuk atau mengkerdilkan gerakan dan berbicara di depan awak media, seolah menjeleterehkan bahwa gerakan ini murni ditunggangi.
Sebaiknya, sebaiknya tidak perlu frontal semacam itu, bukankah lebih baik mengirim pesan langsung kepada teman-teman mahasiswa yang kini tidak dipungkiri memilik akun media sosial pribadi, memberi wejangan dan dorongan penuh, tentang bagaimana gerakan diakomodir seperti seharusnya dilakukan pada hari ini. Duduklah dan saksikan saja, kami yakin kalian adalah orang tua yang maha asyik, dikenang pula.
Mari melihat generasi ini bekerja, berekrspresi sembari mengepalkan tangan, kami sedang bercakap wahai tuan dan puan dengan kepongahan, saya teringat sepenggal puisi Dea Anugrah ‘Tentang Percakapan’: kau memintaku berkisah tentang pergantian musim, protes-protes di jalan raya, kota-kota jauh yang bangkit melawan penguasa, namun tiada yang kumiliki selain kata-kata berbisik seperti akar bakau dan nada bicara seorang pengidap asma.
Generasi Z yang kerap dipandang sebelah mata disertai sinisme meninggi dalam paradaban, dicap generasi apatis, doyan hidup gaya hedonis, hanya tahu menahu soal fun, food serta fesyen. Generasi Z, sebuah kelompok demografi yang lahir di antara pertengahan 1990-an sampai 2010-an. Tumbuh berkembangnya mereka kerap disertai stigamtisasi bahwa mereka apatis, mudah cemas, tak berani ambil risiko serta pragmatis menyoal urusan duit.
Namun gelombang aksi di berbagai penjuru kota hari ini, memukul dan menyapu semua keraguan pada mereka, Generasi Z turun ke gelanggan aksi dan ikut membakar diri. Bahkan lebih asyik dalam mengekspresikan diri dibanding dengan generasi sebelumnya, yang kini duduk di gedung DPR dengan ruangan dingin ber-AC.
Generasi Z sudah membuktikan diri, alih-alih dicap sebagai tumbuh apatis, nyatanya mereka concern, up to date dan mengikuti perkembangan dunia apalagi tanah air mereka tentang permasalahan sosial-politik sekitar.
Bukan tanpa alasan, mereka Gen-Z tumbuh dipupuk dengan fasiltas mumpuni yang mungkin tidak dirasakan generasi sebelumnya. Mereka tumbuh saat hal-hal ajaib dan serba cepat dan lumer bermunculan, mereka tumbuh bersama internet, ponsel pintar hingga media sosial untuk mengekspresikan sikap.
Pada point pentingnya mereka yang juga sering disebut generasi kiwari ingin menyampaikan bahwa demokrasi itu penuh keceriaan, lepas dan tidak terlalu kaku seperti pada jaman orde keropos pak Harto.
Betul, mereka datang dengan aksi yang tidak kikuk membicarakan masalahnya, berbagai poster dibentangkan bukan bertulis, “NKRI Harga Mati”  atau “Penjajah di Negeri Sendiri” yang pada saat reformasi 98’ banyak dibentangkan. Atau berteriak memininta sang penguasa—Soerhato—untuk langsung saja turun dari tahta kepemimpinannya.
“NEGARA BENAR-BENAR DARURAT SAMPAI BUCIN IKUT DEMO”, “TIDAK PERLU GAS AIR MATA, NEGERI INI SUDAH NANGIS” atau salah satu yang terbaik versiku, “PATAH HATI TETAP IKUT AKSI”. Mereka berdemonstrasi berteriak lantang atas ketidakadilan, disungging pula selera humor yang tidak kering.
Syahdan, mereka bukan segerombolan anak-anak yang masih perlu lebih diasuh, mereka tahu kok mana kedzoliman, ketidakadilan, kebatilan. Walau sebenarnya persoalan kecemasan tak pernah selesai dari generasi ini, doyan melankonlia, mendayu-dayukan perasaan mereka.  
5 notes · View notes
umpan-balik · 6 years ago
Text
Kerja-kerja yang Dirayakan
Tumblr media
Membaca petualangan sang Pangeran Cilik mengunjungi berbagai planet kemudian melemparkan pertanyaan pada orang-orang penghuni di tiap-tiap planet, tentang berbagai fluktuasi alur hidup  yang sering dileweti umat manusia pada sebuah keadaan tentang kesombongan, keegoisan, ketamakan, keputusasaan hingga tanggung jawab.
Antonie De Saint-Exupery dalam novel Le Petiti Prince menyusun narasi-narasi yang membuat umat manusia sadar dan mahfum  dengan menampilkan lakon sang Pangeran Cilik sebagai tokoh utama. Untuk menyadarkan kita akan sesuatu yang kerap dilebih-lebihkan seseorang pada pencapaian hidupnya dari urusan asmara hingga pekerjaan.
Saya sepenuhnya sepakat bahwa sesuatu hal akan sangat berharga ketika kita memutuskan untuk  membuatnya berharga dan menjadikannya sebagai satunya-satunya yang kita miliki di dunia, dan patut dirayakan.
Seseorang pernah berkata pada saya pada umur 30 tahun kemapanan hidup harus dicapai, atau minimal 28 tahun lah, lebih cepat lebih baik,  semuanya sudah dipersiapkan dari urusan asmara, pekerjaan dan bahtera rumah tangga, semuanya telah terpenuhi. Intinya sukses harus dalam genggaman di tempo yang sesingkat-singkatnya. Memang tidak ada yang salah, pada usia 30 tahun mungkin adalah pertaruhan hidup sukses atawa berpisah.
Saya sudah 24 tahun, tapi masih merasa tujuhbelasan dan sama sekali tidak memikirkan perlu hijrah, masih jauh, saya masih merasa anak muda yang harum  dan cihuy .Di usia ini tentu saya sudah mekar, sesekali hancur lebur dan beberapa kali patah. Saya tentu bukan satu-satunya yang cemas karena semua pencapaian yang disebutkan tadi belum tercapai dan mengira naratif hidup yang telah saya lalui belum mencapai kesuksesan. Kita harus relaks, hari ini kita boleh saja patah dan layu, besok-besok mungkin tumbuh dan menelurkan karya, meski hanya seupil.
Pada saat ketika seseorang di kampung bertanya tentang pekerjaan saya di kota, saya hanya termangut, susah untuk menjelaskan, bagi mereka mempunyai pekerjaan adalah memiliki seragam resmi, walau tidak berganti-ganti di setiap musimnya seperti jersey sepak bola klub, juga bagi mereka anggap pekerjaan apabila berkantor dan memiliki ruangan terkotak, ya kalau bisa memiliki pendingin ruangan. Menjadi petani dan buruh upahan diluar ekspektasi mereka.
Saya jawab saja: "bantu-bantu teman di kantor mereka,” sambil mengganti topik pembicaraan menanyakan hasil panen mereka tahun ini, gagal atau untung banyak, cukuplah bisa untuk mengganti merk rokok untuk sementara.
Tak tepungkiri di zaman saat ini, ada-ada saja jenis pekerjaan dan mungkin sulit dipahami bagi kerabat atau teman-teman sejawat di kampung halaman, apalagi berkecimpung di dunia digital macam buzzer, copywriting, admin sosmed, hingga endorsement Ig adalah pekerjaan yang muncul saat sekarang ini.
Tapi di lingkungan yang serba membandingkan akan terasa sulit. Sebab masyarakat kita cenderiung sangat senang menelan cerita-cerita gelimang harta dan kesuksesan tiada tara, tanpa keduanya mereka akan menyebut kita menderita atau dianggap payah
Riset American Time Use Survey menyebutkan bahwa penghasilan yang lebih tinggi bukan jaminan untuk meraih kebahagiaan, sesorang berpenghasilan di atas US$100 ribu tidak lebih bahagia ketimbang mereka yang hanya berpenghasilan US$ 25 ribu bahkan ada yang lebih tinggi namun merasa lebih hampa.
Sementara orang-orang Weberian menggagap nomimal adalah hal belakangan kala sedang melakukan pekerjaan, sebab bekerja bagi mereka adalah perintah Tuhan sebagai eksistensi makhluk terpilih.
Atas dorongan itu kita boleh berkata seperti apa yang dikatakan Harper Lee dalam To Kill a Mockingbird: “Belum waktunya cemas.” Dan pada momen itu pula kita bisa percaya bahwa kesuksesan bukan harga mati, semua pekerjaan mesti harus dirayakan, dilaksanankan sebaik-baiknya. Meski pekerjaan itu setiap  harinya hanya mengikuti timeline instagram Indonesia Tanpa Pacaran atau akun Ngaji Filsafat, repost lalu membagikannya, lalu menunggu postingan terbaru dan melakukan hal yang sama di kemudian hari. Atau cinta mati pada sosok seperti dalam novel Nezami, Layla Majnun.
Saya selalu sinis pada orang-orang yang menghina pekerjaan seseorang, lalu tidak bisa menjanjikan sebuah pekerjaan, seperti sedang membuang tinja saja, sembarangan.
Tak peduli mereka sukses atau tidak, besar atau tidak, Saya patut berbangga atas hidupnya, mesti harus dirayakan. Atau jangan-jangan mereka tidak sukses tapi penuh kasih sayang.
0 notes
umpan-balik · 6 years ago
Text
Bone, Ayo Kita Berdansa Saja!
Tumblr media
Ada tiga New York kata E.B White saat menggambarkan hidup di sebuah tempat, dari mereka yang sejak awal tumbuh dan menjadi dewasa hingga pada mereka yang datang menetap. E.B White menjelasakan New York pertama adalah milik mereka yang bercokol di dalamnya sejak kanak-kanak. Kedua, untuk mereka yang datang bekerja dari kawasan-kawasan nan jauh dan New York terakhir milik mereka si Perantau.
Beberapa waktu lalu teman saya bertanya saat kami berada di sebuah rumah makan yang berlokasikan di jalan Jendral Ahmad Yani. “Kamu kuliah di Bone berapa tahun?” Pertanyaan semacam seperti itu bagi saya seperti hujan deras yang turun di tengah jalan saat mengendarai motor padahal cuaca cerah. Lantas, saya menjawab dengan ringan meski setelah akan timbul pertanyaan-pertanyaan selanjutnya, “enam tahun, lama?” jawabku dengan ringan.
Seketika dengan berani berkata benar atas pertanyaan seorang teman saya, dengan sekejap pula busur ingatan kembali tertarik jauh kebelakang. Waktu pertama saat akan menjenjalkan kaki di Bone, waktu masih penggunaaan Maps belum populer seperti saat ini, saat ketika saya masih sulit membedakan mana jalan Cokro dan mana jalan Yos Sudarso atau mana Patung Arung Palakka mana patung AndI Mappanyukki.
Memutuskan melanjutkan studi di Bone hingga benar-benar menikmati keriuhan di kota ini, bukanlah perkara gampangan. Dulu saya sangat termotivasi untuk melanjutkan kuliah di Makassar dengan mengambil jurusan Kimia, berharap bisa menjadi Jimmy Neutron versi 2.0, serial teve yang menjadi andalan waktu masih kecil. Tapi semua perencanaan di awal gagal total, kemudian saya rela berdamai dengan keadaan.
Belajar dan berproses menjadi dorongan sampai pada taraf saya dan kota ini mulai saling mengakrabi. Bekerja mungkin ada pada urutan sekian. Kemarin saya saling berbalas pesan dengan seseorang teman di Instagram yang pada akhirnya memutuskan untuk mengambil jurusan Public Relation di salah satu kampus ternama di Makassar. Saya dulunya berharap Ia akan mengambil Jurnalisitik, saya berpikir dia akan pas benget untuk menjadi presenter. Tapi,Ia punya alasan jelas. “ PR lebih banyak peluang kerjanya,” jawab pesannya setelah saya melayangkan pernyataan, kalau Ia lebih cocok jadi presenter, pesan tersebut tidak lama dibalas lagi, “Anak PR juga bisa jadi presenter kok hehehe,” balasnya.
Tiba-tiba, saya terhenyat sambil berpikir, saya tersadar selama ini saya terlalu menikmati proses yang sedikit lagi mencapai klimaks, tanpa berpikir setelah kuliah mau kemana. apakah saya selama ini salah langkah, hingga perasaan itu datang menghantui. Pasalnya setelah berbalas pesan Ia juga mengingatkan untuk menyusun puzzle-puzzle hidup dengan baik agar planning tercapai semua.
Saya sebenarnya memiliki planning, bagi saya kata ini tidaklah asing di dalam mata kuliah saya selama ini, kerena memang memilih jurusan ekonomi dan begitu senang membaca buku-buku Amartya Sen hingga buku-buku motivesyen Renald Khasali. Bedanya, perencanaan saya kadang melompat-lompat. Atau mungkin saya terlalu egois menganggap semua hal remeh-temeh dan bisa melakukan semua-muanya dengan seorang diri.
Mungkin dengan mengambil jurusan ekonomi seseorang berharap pada saya, kelak akan menjadi pebisinis handal dengan ramuan obat herbal ternama ataukah menjadi penasehat yang bisa memotivasi jutaan umat manusia yang sedang di koyak-koyak kegagalan, lalu membuat buku tandingan Martin Suryajaya 'Kiat Sukses Hancur Lembur'. Tidak, semua ekspektasi itu meleset.
Saya malah terjerembab ke dunia pergerakan mahasiswa walau mungkin tidak terlalu muncul kepermukaan. Anda pasti masih ingat dengan aksi mahasiswa menolak kenaikan tarif PDAM Wae’ Manurunge Bone, bentrokan yang terjadi antara mahasiswa dan petugas banyak diabadikan hingga di upload di media social. Hingga saat ini gambar wajah saya masih ada di akun Instagram Bone Terkini di belakang Iwan Taruna, nama ini pasti tidak akan asing terdengar. Saya sebenarnya malas membahas persoalan ini, apalagi jika Mama tahu apa yang saya lakukan selama menjalani kuliah di Bone, tapi saya selalu mengingatkan padanya untuk belum waktunya cemas.
Menjelang berakhirnya kuliah saya memutuskan banyak belajar di teman-teman pers mahasiswa, belajar mengelolah media dan tentunya bikin berita. Kegemaran saya membaca buku juga mengantarkan saya untuk belajar menulis. Orang-orang seperti Albert Camus, Ernest Hemingway, Gabriel Garcia Marquez, Pramoedya Ananta Toer dan Goenawan Mohammad hingga yang paling kugandurumi saat ini Dea Anugrah jauh sebelum menulis buku terjun ke dunia jurnalis. Barangkali akan ada nanti buku se-keren Saratus Tahun Kesenyapan karya Gabo yang penulisnya dari Tanah Bone Wanuakku.
Berkat pekerjaan itu saya menghelakan nafas panjang-panjang. Sepertinya belum waktunya untuk pergi, dan saya akan menetap jauh lebih lama lagi, entah. Saya sadar, saya adalah pendatang di kota ini meski tidak sebesar kota-kota besar lainnya macam Jakarta tapi keleluasaan finansial tetap dibutuhkan sembari menemukan harapan besar lainnya.
Terhitung sejak enam tahun lalu, sudah banyak berubah dari semenjak periode pertama Andi Fahsar Padjalangi, Puang Baso kondisi kota yang semakin kemari semakin mengikuti pola hidup metropolitan yang gemar konsumerisme, data BPS yang banyak mengalami pergeseran dari data kesehatan, pendidikan dan tingkat ekonomi masyarakat tercatat seperti roller coaster turun-naik-turun-naik. Hingga kondisi jalan yang dulunya mulus sekarang dilewati dengan berbagai tantangan.
Teman-teman sejawat juga kini banyak menjalani alur hidup yang baru, ada yang sudah mencapai cita-cita, ada yang sudah bekerja bersama pemilik modal dengan membangun relasi antara kelas pekerja dan pemilik modal. Bahkan ada yang telah menemukan jodoh mereka lalu memutuskan menikah, untuk teman-teman yang telah berada di fase ini saya berharap mereka selalu membaca ‘Rumah Tangga yang Bahagia’ karya Leo Tolstoy dan sebelum tidur membaca ‘Assikalaibineng (Kitab Persetubuhan Bugis)’ yang ditulis Muhlis Hadrawi.
Saya meneguk susu cap Beruang, dan menghela nafas-nafas panjang, memikirkan harapan untuk diri sendiri. Sudah enam tahun dan belum memikirkan untuk menerbitkan buku, sementara momen yang saya dapatkan pergi satu persatu. Hingga saya bertanya-tanya, apa sih susahnya mencari kebahagiaan.
Jika Dea Anugrah bertanya untuk kesediaan Jakarta untuk berdansa, saya ingin menawarkan diri langsung pada Bone untuk (segera) berdansa saja.
0 notes
umpan-balik · 6 years ago
Text
Menyoal Fakta dan Fiksi tentang Fakta dan Fiksi
Saya kemarin membaca tulisan Goenawan Mohammad yang beliau tulis di halaman fesbuknya beberapa waktu lalu berjudul “Fiksi” dengan menjadikan novel Gabriel Garcia Marquez, penulis asal Kolumbia dalam karyanya “Seribu Tahun Kesenyapan” sebagai alas pikir. Paragraf awal tulisan menimbulkan tanya di benak saya. Dari mana datangnya Fiksi?
Goenawan Mohammad berpendapat kalaulah datangnya fiksi berawal dari kisah Yunus, seperti kata Gabriel Garcia Marquez, “Fiksi dimulai di satu siang ketika Yunus pulang ke rumahnya dan meyakinkan istrinya bahwa ia terlambat (pulang) tiga hari karena ditelan ikan paus,”. Yunus yang dimaksud adalah bukan sosok asing dan sering kita temui dalam teks-teks Al-Kitab dan Quran: Seorang nabi dari kota kecil di perbatasan Israel purba. Ia diperintahkan Tuhan datang ke Niniwe, kota yang amat besar di kerajaan Assyria. Yunus diutus untuk mengajak pendudukuk negara asing itu bertaubat; kalau tidak Niniwe akan di binasakan.
Tetapi perintah tersebut ditolak, Yunus memilih menghindar lalu melarikan diri ke Yaffa dengan ikut mengendarai sebuah kapal. Di perjalanan laut itu, murka Tuhan tidak tertahankan lalu mendatangkan ombak mengganas. Kapal terancam tenggelam. Untuk menyelamatkan bahtera, nahkoda memutuskan agar Yunus diturunkan dari geladak. Laut menampungnya menjadi tenang, sementara Yunus di telan ikan besar. Hewan yang kemudian disebut “ikan paus” itu selama tiga malam. Yunus menyesali perbuatannya. Ia berdoa : “Kau lemparkan aku ke tempat yang dalam, ke pusat lautan…Terusir aku dari hadapan mata-Mu. Mungkinkah aku memandang lagi bait-Mu yang kudus?”
Karena kemurahan hati-Nya, doa Yunus didengar. Yunus dimaafkan lalu si Ikan Besar memuntahkannya ke daratan gersang.
Seperti Bualan? Bukan.  Kata Albert Camus “Fiksi adalah dusta lewat mana kita menceritakan kebenaran”. Seluruh karya fiksi menegaskan bagaimana kebenaran selalu ada, selalu hadir, sebagai proses dalam lanskap peristiwa. Tidak salah jika kebenaran disampaikan dengan tidak bertele-tele dibungkus dengan imajinasi, lebih hidup ketimbang laporan detail dalam laporan  sehari-hari semisal siaran berita dan catatan polisi. Maka jangan heran ketika pentas sebuah teater mencoba membongkar kasus kematian Marsinah melalui pentas teater karena hanya imajinasilah yang memungkinan seorang  lewat teater mengungkapkan secara visual  apa itu adil dan tidak adil .
Dalam sebuah ruangan perkuliahan, saya pernah bertutur kepada dosen pengajar, bagaimana jika sebuah karya tulis ilmiah semacam skripsi jurusan ekonomi agar bisa ditulis dalam bentuk karya sastra yang menarik sehingga tidak cenderung kaku.  Namun sial bagi saya, usulan tersebut ditolak mentah-mentah, bahkan yang tersial pada hari itu, saya nyaris diusir keluar ruangan perkuliahan.
Diakui, memang dalam kajiannya sejak lama, ilmu-ilmu sosial (atau ilmu pengetahuan pada umumnya) memang dianggap menyajikan fakta sedangkan dunia sastra dianggap dunia yang penuh fiksi. Fiksi kerap dianggap gagal mempresentasikan hal secara tidak utuh, tidak lengkap dan penuh imjinasi liar. Adalah aliran realisme tidak sepenuhnya sepakat dengan hal ini, membantah Roland Barthes yang pernah mengecam realisme sebagai ideologi, bagi mereka realisme yang terejawantahkan realisme a la George Lucas : karya sastra yang sejati haruslah merupakan reperesentasi dan cermin bagi totalitas keutuhan kenyataan sosial yang porak-poranda akibat merebaknya reitifikasi (pemberhalaan komoditas) oleh kapitalisme . Namun Lucas juga secara keras mengkritisi  sastra yang dipandanganya tidak mencerminkan totalitas, adalah seni yang bobrok.
Kecaman Barthes barangkali terlalu tajam, namun kecaman tersebut diwajarkan sebagai petunjuk dini terhadap adanya kecenderungan yang kita temukan saat ini. Menyangsikan “fakultas mimetik” dari bahasa. Kecenderungan ternyata tidak hanya berlaku dalam bahasa sastra. Bahasa sains yang mengklaim objektif dan emperis, dan bahasa filsafat yang rigorus pun tidak serta merta diterima sebagai cerminan alam. Garis demakarsi antara fakta dan fiksi antara ilmu/filsafat/laporan jurnalistik dan sastra yang tadinya ditarik secara tegas dan distingtif sekarang melumer. Batas-batas disiplin genre kian nisbi (Ahmad Sahal : 1998).
Penghargaan Nobel dalam bentuk karya sastra tahun 1950 yang diberikan pada Sir Bertrand Russel sempat menemui perdebatan seperti juga saat Bob Dylan diberikan penghargaan ini tahun 2017 di mana Dylan dikenal pemusik. Begitupun Russel seorang filsuf yang menerima penghargaan nobel bentuk sastra sekalipun dia tak menulis novel atau menerbitkan kumpulan sajak. Tentu susah sekali membayangkan serta menerima penghargaan diberikan pada seseorang yang bukan genrenya.  
Lalu bagaimana dengan karya-karya Kahlil Gibran, Friederich Nietzche serta George Orwell. Apakah buku-buku Kahlil Gibran dapat digolongkan : esai, prosa biasa, atau puisi? Sebenarnya siapa pula Friederich Nietzche karya filsafatnya yang dituangkan dalam The Spoken of Zarathustra, yang begitu membingungkan pembaca , apakah ia sedang membaca buku filsafat, tapi kok pembaca dibanjiri dengan gaya-gaya sastra dalam penulisannya. Berbeda pula dengan George Orwell yang menuangkan biografinya dalam bentuk sastra yang bisa kita temui di bukunya Terbit dan Tenggelam di Paris dan London. Baik autobiografi maupun dalam studinya tentang sejarah filsafat, tentulah tidak dapat dianggap sebagai sebuah karya fiksi semata.
Istilah fakta sebenarnya berasal dari bahasa Latin factum. Dalam bahasa Inggris ekuivalennya adalah : done sebagai bentuk past principle dari to do. Istilah factum (facta dalam bentuk jamak) tidak ada padanannya dalam bahasa Inggris yang kemudian mengubahnya menjadi fact. Bahasa Jerman mempunyai ekuivalennya sendiri untuk factum yaitu tatsache dengan arti yang persis sama yakni, hasil dari apa yang sudah dilakukan dengan suatu tindakan nyata. Berpikir misalnyajarang dinamakan fakta. Tetapi menempeleng orang adalah fakta. Sebab berpikir adalah tindakan yang sulit disaksikan sedangkan menempeleng lahiriah mudah diamati.
Pemikir positivisme dan behaviorisme seperti Aguste Comte, pengertian fiksi kemudian seakan-akan dikucilkan dari dunia nyata. Fiksi lalu berarti sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh indra. Fiktif berasal dari kata fictio berarti sesuatu yang dikontruksikan, ditemukan, dibuat atau dibuat-buat. Jadi kalaupun ada unsur khalayalan di sana tidak menekankan segi nonrealnya tetapi konstruktif, segi invetif, dan segi kreatifnya. Fiksi bukanlah khayalan melainkan diperkuat imajinasi.
Seperti kisah Yunus di atas, barangkali akan amat sulit diterima memakai rasio yang condong menggunakan pendekatan ala positivisme. Akan tetapi sastrawan H.B Jassin menyebutnya sebagai “kenyataan artistik” bukan “kenyataaan objektif” walau belum banyak memberikan perbedaan yang cukup tegas tentang keobjektifitasan sesuatu.
Sulit menerima apakah sesuatu memang objek yang sulit untuk difalsifikasi. Menurut Karl Popper, dalam ilmu pengetahuan objektif adalah sesuatu yang mustahil dicapai. Kemajuan ilmu pengetahuan tercapai bukan karena akumulasi pengetahuan objektif yang sudah diverifikasi kebenarannya tetapi karena lebih banyak tes yang dilakukan untuk mengecek kesalahan dari berbagai pendapat ilmiah yang ada.
Teori besar tidak canggung menggunakan metafor, kenapa tidak boleh fungsi naratif digantikan plot.
4 notes · View notes
umpan-balik · 7 years ago
Text
Lagu Cinta Melulu. Bosan!
Saat akan menemui salah seorang narasumber di pelataran Lapangan Merdeka, Dia bertanya tentang deretan rilis lagu terbaru Indonesia pada bulan Mei ini.
“Kamu sudah lihat update lagu terbaru Indonesia Spotify atau di Joox?” bertanya sambil sibuk sendiri meng-scroll layar hapenya.
“Ah paling sudah ada lagu-lagu religi atau lagu cinta-cintaan, bersaing dengan Via Vallen dan lagu Nella Kharisma jelang puasa” jawab saya dengan sok tahu seolah punya kedua platform musik tersebut.
Ia tanpa menggubris lebih jauh, dengan ketenangan intensionalnya keluar bunyi “Ccceh” dari mulutnya lalu berlalu menuju seberang jalan memesan dua gelas Es Milo.
Belum terlalu lama, tapi entah apakah kelak menjadi kebiasaan. Saya sudah tidak begitu terlalu menggandrumi lagu-lagu bertemakan cinta dengan melodi begitu mendayu-dayu. Rasanya-rasanya dalam kurun beberapa waktu belakangan ini ”minat dengar” bermusik tidak mengikuti irama pasar yang begitu dibanjiri dengan lagu-lagu bertemakan cinta bikin mendayu-dayu. Saya tidak akan lagi mendownload lagu-lagu Peterpan (kini Noah) satu set album secara langsung tanpa berpikir berkali-kali.
Nada-nada minor, elegi patah hati dan penuh dengan ode pengusik rindu adalah lirik lagu yang bisa kita dengar saat sedang menikmati lagu Efek Rumah Kaca (ERK) “Lagu Cinta Melulu”, saat mempertanyakan lagu-lagu pop Indonesia hari ini banyak bertemakan cinta melulu. Apakah karena kita benar-benar melayu yang sukanya irama mendayu-dayu?
Walau belum pernah sekalipun menyaksikan konser Efek Rumah Kaca dan terasa masih terlalu awam bergelut senda dengan lagu-lagu mereka, tapi lagu ERK bak menjadi sebuah oase yang meneguhkan kita saat musik-musik yang begitu tenggelam dalam selera pasar (baca : kapitalisme) mendominasi khalayak pendengar. Bukan berarti Efek Rumah Kaca menjadi “hipster” di antara maraknya sikap “mainstream”. Efek Rumah Kaca juga sering manggung dan tentu tak terhindarkan tiket konser harus Anda mengeluarkan duit untuk menyaksikan mereka manggung.
Pertanyaanya kemudian apakah Lagu-lagu Efek Rumah Kaca jauh dari tema cinta-cintaan? Tidak, mereka yang pingin galau-galau bisa mendengarkan “Desember” yang tentu sangat mungkin membuat seseorang menikmati kegalauannya "Seperti pelangi/Setia menunggu hujan redah" adalah lirik yang terdengar saat mendengarkan lagu Efek Rumah Kaca itu.
Band yang meniupkan badai besar di lingkaran musik indie. Efek Rumah Kaca menjadi sebuah band alternatif par exelence: tak sekadar beda dan mendobrak. Mereka juga pintar, sekaligus enak didengar. Kalaupun ada yang terasa amat mengganggu dari musik Efek Rumah Kaca, hal itu adalah kualitas rekaman mereka yang demikian tipis, dan sesekali terkesan keruh.
Lagu-lagu Efek Rumah Kaca terasa dekat dengan keseharian dan fenomena (ke)hidup(an) kita, porsi untuk lagu cinta-cintaan memang minim sebab lagu-lagu yang banyak ditelurkan banyak mengkritisi kehidupan keseharian kita mulai dari urusan sandang, pangan dan papan, kekerasan dan penyelewengan hak asasi manusia sampai mengkritis budaya pop kontemporer serta gaya hidup kita yang begitu rentan dengan konsumerisme.
Dalam Efek Rumah Kaca, lagunya yang berjudul “Pasar Bisa Diciptakan” dilanjutkan “Cipta Bisa Dipasarkan” dan “ Belanja Terus Sampai Mati” yang dengan lantang mengkritisi konsumerisme masyarakat saat ini yang begitu meninggi, segala fesyen dan gaya hidup modern dituruti. Sementara dalam “Lagu Cinta Melulu” yang diawal tulisan telah dikemukan dengan tidak rikuhnya mempertanyakan lagu-lagu pop berkutat tentang percintaan.
Ingatan perihal kejahatan kemanusiaan di republik ini yang semakin jauh dari kata tuntas bisa dirawat lewat-lewat lagu ERK, menginjeksi kesadaran kritis melalui musik, ERK dalam lagunya “Di Udara" untuk merespon ketidakpuasan terhadap pemerintah Indonesia , seperti kasus Munir yang hingga kini terlunta-lunta tanpa diketahui dalangnya, atau kasus penghilangan sejumlah aktivis pada Masa Orde Baru yang masih menggantung statusnya oleh para penegak hukum.
Sementara dalam “Sebelah Mata” yang Saya rasa sebagai bentuk kritikan ERK pada rezim yang pongoh, kerap diam, namun parahnya monalak untuk dikritik. Yang mencoba membatasi hak kebebasan berpikir dan berekspresi. Dengan menjadikan musik sebagai medium perlawanan dan mencoba membangun kesadaran untuk terus ditanam supaya tak gentar. Lalu melalui “Banyak Asap di Sana” menyoal kebakaran hutan dan “Mosi Tak Percaya” mengisahkan kebobrokan lembaga legislatif yang salah urus dan korban-korbannya.
Sampai di sini mungkin kita bisa berhenti, lalu bertanya (lagi). Apakah grup band ini semata-mata entertainment atau grup band politik semata. Diakui oleh anggota grup band ini saat di wawancarai tirto.id pada 2 Maret 2018 lalu bahwa : "Efek Rumah Kaca menggunakan lagunya sebagai suara perlawanan tindakan semena-mena penguasa. Tidak hanya suara perlawanan, lagu-lagu ERK juga memuat kritik terhadap fenome sehari-hari".
Tentang band politisi bisa menjadi persoalan kadung untuk sebutan mereka namun bagaimana pula kita menanyakan pada band-band sekaliber di cap papan atas yang kerap tidak bisa menolak tawaran untuk manggung di pesta kampanye presiden, kepala daerah atau caleg sekalipun. Mereka yang sekaliber Diva atau Ratu Dangdut dengan enaknya bergoyang di panggung-panggung kampanye.
Dalam esainya Zen RS yang berjudul, “Bergoyang sembari Mengepalkan Tangan” yang mencoba membayangkan akan begitu cairnya kesadaran kritis bagi pemuda Happines dan kaum Dandies jika seandainya seorang Afgan tiba-tiba menggung memakai kaos #SaveRembang yang lebih sedikit asyik daripada Iwan Fals yang sibuk mempromosikan “kopinya orang Indonesia”.
Salah satu yang membuat Efek Rumah Kaca tetap terbang tinggi adalah relevansi tetap dijaga dengan melalui karya-karyanya menyoal kehidupan sehari-hari kita, rilisan lagu terbaru “Seperti Rahim Ibu” mengisahkan bagaimana pentingnya kehidupan manusia untuk saling melebur satu sama lain, merekahkan harapan dan saling menepis kabut kelam, saat di mana kehidupan manusia kini didikte seluruhnya oleh teknologi, ruang gerak begitu bergantung semuanya pada alat ini. Ketika satu-satunya yang membedakan manusia dengan alat-alat teknologi adalah "perasaan" untuk bisa mencapai kemanusiaan menurut Milan Kundera dengan melebur secara langsung bukan melalui virtual.
0 notes
umpan-balik · 7 years ago
Text
Betapa Tidak Enaknya Dianggap Hidup Enak
Tumblr media
Adalah sebuah hal yang musykil ketika Anda hidup di sebuah negara yang penuh kecamuk pergolakan dan paling rentan terjadi perang. Ledakan begitu karib terdengar di telinga Anda, sebuah pandangan harus bisa beradaptasi dengan darah tertumpah di sudut-sudut jalan. Dan dipaksa harus bisa menyesuaikan diri dengan segala silang sengkarut semua yang telah tejadi. Anda sebagai warga negara tidak patah semangat, segala hal-hal horor ditanggapi dengan humor. Bukannya mendukung negara Anda yang kerap kali melancarkan serangan namun Anda berada di pihak yang berseberangan dan berbalik mendukung di pihak yang paling gencar terkena serangan. Anda terus menulis untuk perdamaian di negara timur tengah.
Namun sialnya tetap saja Anda disangka berada di pihak sekutu. Neraka pasti buat Anda!
Etgar Keret adalah seorang penulis asaI Israel, yang banyak menulis untuk perdamaian di Timur Tengah,  juga serangan yang dilancarkan Israel pada Palestina. Nama Keret begitu asing bagi saya “Seven Goods Years” adalah sebuah memoar yang ditulis Keret dari sekulumit hal yang mendera batinnya atas segala berbagai hal kontroversi yang dilakukan negaranya dan imbasnya pun tentu terkena pada setiap warga. Penuturan Keret dalam  bukunya ini satir, lucu dan kadang pula sedih mengharu biru.
Seven Goods Years dinilai dari judulnya tentu arah pemikiran adalah semua hal yang seluruhnya berbaur  dengan (ke)bahagia(an) dalam hidup, kisah-kisah di dalamnya adalah penuh gelak tawa, namun walau diberi judul Seven Good Years oleh Keret, cerita di dalamnya penuh dengan kedukaan (juga) bagi Keret yang karib ditemui baik dirinya dan seluruh anggota keluarganya, bagaimana cara orang luar menilai, Yahudi dan Israel adalah sebuah keberingisan, tidak kenal kasih sayang selalu melakukan penindasan. Bagi Keret sendiri sebagai orang Israel dan Yahudi tentu cap ini sudah melekat dalam dirinya. Sebutan adalah dianggap teroris begitu banter melekat, ketidaknyaman dalam bepergian menjadi hal begitu mengusik dalam benaknya.  Begitulah memoar Keret ini. Namun segala kisah dalam rentan masa tujuh tahun semenjak kelahiran anaknya, Lev, Keret membungkusnya dengan cara unik. Ia menjadikan humor bagi  setiap kritik bagi dirinya sendiri.
/
Di sebuah rumah sakit saat Keret menunggu kelahiran putranya, seorang pria berbaju kotak-kotak lalu menghampirinya, profesinya adalah seorang peliput berita, entah kebetulan atau tidak disaat Keret menunggu kehamilan istirnya serangan terjadi. Ini ledakan bom, pistol atau rudal semua ini termungkinkan di negara yang sedang koflik, tentu korban tak terhindarkan. Saat itu Ia bertanya tentang bagaimana sebenarnya ini  bisa terjadi dan mengetahui Keret adalah seorang penulis maka penuh harap peliput berita, Ia Keret mau menuturkan gagasannya. Namun Keret menolak sebab tujuan utamanya kesana di saat bersamaaan pula  ketika penyerangan terjadi adalah menunggu kehamilan istrinya. Pria dengan berbaju kotak-kotak pun menyimpan alat perekam dan pulpen ke dalam tasnya. Dengan rasa kecewa pastinya.
Media berita tidak bisa dielak juga, suka memproduksi berita penyerangan macam seperti ini secara global disebarluasakan. Tapi hasil dari olahan berita seperti ini bukan perdamaian yang menjadi bahan keluarannya, namun sebuah  seruan kebencian  menjadi hasil  dari olahannya.
Tak terhindarakan tentu adalah sebuanh sikap reaktif dan cenderung menggeneralisir bahwasanya Israel dan Yahudi dikarenakan penyerangan mereka intens dan menjadi biang penyulut api konflik maka : Semua orang Yahudi dan bangsa Israel Jahat. Orang yang berada dalam lingkaran ini begitu terusik disetiap langkah mereka. Saat Keret berada di Indonesia  untuk festival buku yang diadakan di Bali kala itu, saat negara yang menurut  ayah Keret adalah negara muslim yang tentu anti-Semit dan anti-Israel, namun Keret membujuk ayahnya, walau Keret yakin bahwa Bali yang berpendudukan banyak Hinduisme akan tenang menerimanya, namun tetap saja. Perasaan merasa termarjinalkan tidak bisa dihindarkan.
Penolakan di masa lalu  masih sering mereka dapatkan saat sekarang, misalnya masih ada bibit Nazi yang  membuat mereka sulit untuk bergerak, saat mereka bepergian ke negara-negara bagian Eropa.
Dalam Seven Good Years-nya Keret banyak menyinggung hal ini, adalah sebuah ketidaknyaman menjadi seseorang yang selalu diliputi perasaan curiga oleh orang-orang yang tidak senang dengan hadir Anda, di manapun Anda berada. Frustrasi tentu namun bukan penghalang Keret untuk terus percaya bahwa berdamai dengan diri sendiri niscaya adanya bisa dilakukan dan termungkinkan dunia akan ikut berdamai.
//
Yang menarik dari Seven Goods Years, Keret hampir di setiap bagian tulisannya selalu ada tentang Lev anaknya, entah karena Seven Goods Years , Ia ulik dalam masa-masa tujuh tahun yang dialami Keret setelah kelahiran anaknya, dan, adalah sebuah  bentuk persembahan untuk Si Anak. Tapi saya merasa tak terkotak pada persoalan itu. Ada hal yang lain bisa untuk digunjinggkan, seorang anak menjadi sebuah wadah untuk menyimpan harapan agar terciptanya perdamaian di masa mendatang. Dunia kelak tak melulu soal Qabil dan Habil.
Di antara semakin sesaknya sebuah rasa pesimisme bahwa dunia semakin kacau, dunia bukanlah tempat ideal untuk menaruh harapan dan gambaran-gambaran lain yang sengaja men(t)akuti dan sengaja meneror ibarat melekat  seperti sedang menanam racun di kepala kita. Jika dunia di masa mendatang penuh dengan kegelapan, kealpaan dan nestapa.
1 note · View note
umpan-balik · 8 years ago
Text
Disembedding On the Football
Tumblr media
Saya gila bola, meski saya payah dalam  memainkannya (prolog)
Salahkah jika menyebut, olahraga yang dimainkan 22 pemain, terbagi dalam dua kesebelasan di atas lapangan hijau, sekarang tak hanya kait-mengait dengan urusan yang ada di dalam olahraga itu, sekarang bukan hanya semata soal, kaki yang menendang bola untuk dijebloskan ke gawang. Sepak bola kini mengalami ketercerabutan (disembedding) dalam kajian yang tak lazim.
Sepak bola sebagai olahraga kelas wahid hampir di seluruh belahan dunia, kini tak terpungkiri lagi dan tanpa perlu meneliti secara terperinci, menarik minat begitu banyak orang untuk menggelutinya, memiliki penikmat/penonton jelas hampir tak terhitung lagi jumlahnya dengan rasa fanatisme teramat tinggi. Sepak bola makin dimari makin terasa bukan hanya sekadar olahraga semata, sekarang sudah banyak hal yang di luar sepak bola dihubung-hubungkan dengan sepak bola itu sendiri. Hal yang bahkan di luar urusan sepak-menyepak pun mampu disentuh tanpa terlewati satupun dengan sepak bola. Kajian tak lazim tentang Sosial-Politik Globalisasi yang salah satunya termaktub dalam Buku Franklin Foer “Expalins the World : The Unlikely Theory Globalization” yang akhirnya diterjemahkan Marjin Kiri. Begitu sarat akan kehadiran sepak bola yang mampu menyentuh segala sendi-sendi kehidupan  manusia dalam segala aspek kehidupan : Politik, Budaya, Globalisasi, Nasionalisme hingga Agama.
Literasi yang kait-mengait dengan sepak bola rasa-rasanya bukan hal yang asing lagi ditemui kini, berbagai referensi tentang sepak bola mulai dari kajian dalam lapangan semisal taktik, formasi, hingga gaya permainan nan melekat juga menjadi ciri khas dalam sebuah kesebelasan dikupas sedemikan rinci. Tidak hanya menyangkut urusan dalam lapangan, usai 90 menit, cerita dari dalam stadion pun di bawah hingga luar lapangan, masuk ke dalam ruang-ruang publik, menjadi hal yang tidak kikuk untuk dibicarakan, ngalor-ngidul membicarakan sepak bola dan mengaitkannya dengan sesuatu diluar sepak bola bukan sesuatu yang tabu lagi. Fenomena silang sengkarut antara budaya, politik sampai agama saling mengait dengan sepak bola menjadi bahan gunjingan.
Di Indonesia pun tak terpungkiri, literasi yang mengaitkan sepak bola dengan segala aspek-aspek kehidupan manusia suduh banyak terpampang di rak-rak toko buku, seperti, Sepak Bola. 2.0 terbitan Fandom, Sepak Bola Seribu Tafsir yang ditulis Eddward S Kennnedy  juga Simulakra Sepak Bola yang ditulis Zen RS penulis yang dari lahir dari tulisan-tulisan sepak bolanya. Tentu dengan harapan kian banjirnya kita di Indonesia dengan literasi-literasi sepak bola besar pula harapan kita kelak sepak bola Indonesia akan maju.
[2]
Bumi itu bundar terlepas dari perdebatan sampai hari ini apakah bumi, bundar atau datar? Tapi yang pasti bola itu pasti bundar dan kehidupan di bumi pun tak lepas dari sepak bola.
Kajian Franklin Foer tentang dunia dan sepak bola sulit untuk ditampik untuk mengatakan begitu enak untuk dibaca dan dibahas. Mulai dari sepak bola yang mampu mengubah aras politik, menanam korupsi lewat jalur sepak bola, kehidupan [ber]agama yang disisipi dengan sepak bola, rasa fanatisme yang berlebihan yang berujung pada brutalitas, masalah rasis, hinggan menakar masa depan agama (Islam) dengan sepak bola.
Dalam Kajian Foer “Sepak Bola dan Perang Gangster Serbia //…Holigan Sentimentil” yang mengkaji sepak bola dan aras politik , kajian yang menggunjingkan bagaimana gerakan-gerakan fanatisme yang dipegang oleh suporter Red Star Boegrad asal Serbia yang terorganisir dengan rapi dan akrab dengan para petinggi-tinggi klub, mampu menerima upah tetap dan sanggup mengintervensi hal-hal private klub mulai dari pemain hingga kebijakan transfer. Membawa urusan  politik dalam pertandingan, teriakan, Serbia bukan Yugaslovakia terus menggema dalam stadion hingga pinggir-pinggir jalan kala Red Star Boegrad bertanding, yang di komandoi Arkan. Nyaris setiap pertandingannya dibumbui konflik terlepas apapun hasil yang dicapai Red Star Boegrad, fanatisme Arkan penuh brutalitas.
Sikap sentimentil karib juga melekat pada sikap hooligan(isme), Chelsea klub asal London Barat yang memilik basis suporter yang selalu tak senang dan membenci suporter klub lain, selain sebagai lawan bertanding hooligan Chelsea menaruh sikap penuh sentimentil anti-semit pada rival, utamanya Pada supporter Tottenham Hotspur yang selalu dituding penuhi orang-orang Yahudi.
Suporter kesebelasan juga saling bersinggung soal agama bahkan gerakan-gerakan ini didukung pihak klub itu sendiri, lebih jauh sampai pemerintah masif dalam menyokong hal ini dalam sepak bola , Foer dalam “ Sepak Bola dan Komersialisasi Agama//…Kebencian Pada Yahudi//...Masa Depan Negara Islam” , kajian tak lazim Foer membawa pembaca bagaimana stadion menjadi tempat pemujaan bak tempat suci, menjadi tempat ibadah dan kesebelasan bak dewa yang dielu-elukan oleh ribuan suporter, Persaingan dua klub besar Skotlandia, Glasgow Celtic dan Glasgow Renger  adalah cermin nyata dalam hal ini persinggungan karena keyakinan di bawah ke dalam stadion. Pendukung Celtic yang menganut ajaran Katolik dan sang rival Rangers penganut Protestan. Bukan hanya  persinggungan suporter, kebijakan transfer kedua klub identik dengan pemilihan pemain dengan syarat keyakinan yang dianut pemain harus  sama sebelum didatangkan di jendela transfer.
Kebencian anti-semit pun juga menggarayangi sepak bola, diskriminasi pemain Yahudi juga terjadi di sebagian negara-negara yang menggandrungi permainan ini, Ajax Amsterdam adalah salah satu klub Belanda sering di sematkan sentimen seperti ini pada mereka  
Berbeda denga Iran, ditengah-tengah konflik negara yang menegangkan, perang yang terjadi, sepak bola menjadi media perlawanan, sepak bola juga menjadi peredah ketegangan. Tak hanya laki-laki, perempuan di Iran begitu menggilai sepak bola, bahkan mampu meretas paham-paham feodal dan ajaran-ajaran agama yang fundamental. Tak terpungkiri revolusi di Iran pernah terjadi di akibatkan sepak bola.  
Terlepas dari kajian Foer sepak bola yang mampu menyentuh sisi politik, dan agama. Sepak bola juga menjadi industri kian menarik untuk digeluti, arus globalisasi telah membawa permainan ini menjadi pangsa pasar yang menggiurkan untuk didalami, yang mampu menciptakan kelas-kelas oligarki baru dalam “ Sepak Bola dan Lahirnya Kelas Oligarki  Baru”. Foer menjadikan Agnelli dan Berlusconi sebagai reprentasi lahirnya oligarki baru dalam sepak bola, kedigdayaan Juventus dan AC Milan mampu menjadi brand ternama di Italia dan dunia tak lepas dari tangan licin kedua orang ini, di samping manajemen yang baik juga dibumbui dengan sikap yang diambil oleh Milan dan Juve dimana setiap pertandingannnya sebelum calciopoli 2006, mengintervensi kebijakan wasit dan pilah-pilih wasit sebelum pertandingan, hasilnya tentu mudah mengundang prestasi walau pada akhirnya terungkit, imbasnya menjadi bahan tertawaan pendukung Inter Milan.
Menyanyikan lagu nasional sebelum menjalani sebuah pertandingan adalah sebuah bentuk nasionalisme yang terpatron dalam jiwa pemain, sebagai bentuk rasa cinta pada tanah air. Nasionalisme terbawa ke dalam lapangan hijau. Seperti lagu-lagu Catalan yang selalu dinyanyikan dalam pertandingan FC Barcelona walau diantara penetrasi Madirid-nya Franco lagu bangsa Catalan tetap nyaring dan dengan gagah berkumandang di Stadion Camp Nou, bagi Barcelona dan suporternya tak ada batas di dalam stadion walau bahasa Catalan dan Lagu kebangsaan Catalan di cap anti-pemerintah oleh Spanyol. Sepak Bola menjadi media untuk mengekspresikan Nasionalisme yang di kaji Foer dalam “Sepak Bola dan Pesona Nasionalisme Borjouis”. Tak hanya itu sepak bola juga di nodai bentuk penodaan terhadap nasionalisme : Malpraktik-nasionalisme. Rasis juga mewabah dalam sepak bola, perbedaan warna kulit menjadi bahan eksploitasi bagi sebagian pemain dan suporter, Foer dalam kajiannya “Sepak Bola dan Kulit Hitam di Eropa Timur”, mengangkat karir pemain Nigeria Edward Anyamkyegh yang hijrah ke Ukraina untuk mengasah kemampuan olah bolanya, namun trauma Bangsa Ukaraina selepas 10 tahun pasca komunis berkuasa belum menghilang, sentimen ras dan curiga terhadap kelas yang dianggap rendahan pun terus menghantui bangsa Ukraina,sehingga talenta-talenta Afrika disana kerap kali terpinggirkan. Dalam ”Sepak Bola Perang dan Budaya Amerika” Foer mengkaji sepak bola dengan budaya yang ada di Amerika. Bagaimana persepsi orang tua anak di Amerika berubah dan tak menganggap lagi sepak bola sesatu yang tidak cocok dengan selera orang-orang Amerika.
Sebagai penutup Foer mengkaji bagaimana cara yang di tempuh negara untuk merebut piala dunia, lewat persaingan ideologi yang dianut, komunisme melawan fasisme, negara-negara dengan junta militer yang kuat melawan negara-negara industri sistem pemerintahan yang diemban suatu negara juga memiki andil mengantar sebuah timnas merebut piala Jules Rimet. Jangan pula terlalu berharap dengan negara-negara penghasil minyak terbesar di dunia bisa sukses menjuarai turnamen empat tahunan ini, Sulit pula negara yang pernah terjajah oleh negara lain untuk sukses menjuarai piala dunia, sang penjajah akan  bersaing dengan muda dengan negara yang pernah mereka ekspoitasi, misalnya Senegal akan sulit bersaing dengan Francis, Brazil dan Portugal juga demikan namun perkecualian Inggris walau pernah menjajah banyak negara, pada saat rezim koloni Inggris lebih banyak memperkenalkan olahraga kriket dan rugbi dan satu hal yang pasti turnamen sebesar piala dunia juga tak lepas dari eksepsi, terlepas dari sistem apapun yang digunakan negara itu, hukum besi sejarah sulit berpisah dengan satu negara ini : Brazil.
[3]
Segala kajian sosial-politik globalisasi dikaitkan sepak bola, banyak pula yang terjadi Indonesia, fenomena suporter fanatik yang tak kalah gila dengan Serbia maupun di Inggris, di Indonesia ada bonek pendukung Persebaya Surabaya, Viking pendukung Persib Bandung juga kesebelasan ibu kota Persija Jakatra yang memiliki Jack Mania. Turun ke jalan bukan hal yang tabu bagi mereka, tawuran antara suporter bukan sesuatu yang asing ditemui di persepakbolaan Indonesia. Persepakbolaan Indonesia pun tak lepas dari tikus-tikus got yang senang melakukan korupsi di persepakbolaan dan menjadi lumbung menambah kekayaan.
Hitam-putih memang terjadi dipersepakbolaan Indonesia, namun prestasi dan kejayaan belum tiba dan entah kapan datangnya, mulai dari animo gila hingga sepak bola dijadikan kepentingan elite pol[itik]us. Nihil prestasi dan kian tertinggal.
Sumber gambar : bukalapak
0 notes
umpan-balik · 8 years ago
Text
Jodoh Langit : Pergumulan Pada Setiap Tanya
Tumblr media
[1]
Pahamilah,merah darahku ialah keberanian untuk mencintaimu, dan embus napasku tak lebih dari penghidupan berkasih paling tulus memuliakanmu (halaman 64)
Humairah telah berdamai dengan sang waktu, ia telah akrab dengan riuh-rendah jalinan asmaranya dengan beberapa  cucu Adam yang  pernah hinggap di dalam hatinya.
Karakter Humairah dan Rahman telah banyak kita temui pada alur sebuah novel, bagaimana penantian pendamping hidup akan datang, dijalani dengan penuh kesabaran, segala tanya menyerbu di kepala kapan jodoh datang, kita yang menjemputnya ataukah kita yang memaksanya, lalu menariknya dari tangan tuhan, sebab hidup, mati dan jodoh akan selalu menjadi tanya(?)
[2]
Saya masih mengingat kali pertama saya membaca novel yang bertemakan  pergolakan asmara yang dicampur dengan nilai religius yang kental di dalamnya, saat saya membaca “Di Bawah Lindungan Kab’ah” buku Buya Hamka, buku yang entah sudah berapa kali di cetak ulang itu, namun saya termasuk generasi yang terlambat dalam membaca karya Hamka ini, selain buku termahsyurnya “Tenggelammnya Kapal van Der Wijk”.
Selain masuk dalam kategori terlambat membaca karya-karya Hamka saya juga terlambat mengetahui bahwa  novel “Di Bawah Lindungan  Kab’ah” telah pernah di filmkan. Hal semacam ini tak muskil lagi ditemui, novel yang kemudian dijadikan film sudah karib kita temui atau kebalikannya film-film yang kemudian di buku kan tak kalah tren.
Saya serba terlambat dalam mengenal Hamka juga dengan karya-karyanya, saya lebih banyal bergumul dengan novel-novel Albet Camus, George Orwell dan Paulo Coelho yang kadang tak mudah menemukan kedalam makna yang bisa dipetik dalam novel-novelnya namun tetap saja begitu asyik itu saya baca dan tak berat untuk mengulang kembali membuka lembaran-lembaran halaman novel Camus, Orwell dan Paulo.
Entah apa yang mendera saya lebih doyan membaca buku yang walau sudah di filimkan, yang tentu dikemas dalam bentuk yang lebih praktis, namaun rasa-rasanya ada sebuah jendela yang terbuka untuk bisa menyelinap kedalamannya kala kita lebih memilih membaca bukunya selain menonton langsung filmya, kita diajak untuk masuk ke dalam plot cerita dan mengenal karakter para tokoh yang terlibat di dalamnya.
Selain pergolakan asmara yang melibatkan tokoh utama Hamid dan Zainab , dalam “Di Bawah Lindunga Ka’bah” karya Hamka juga sarat akan nilai religius di dalamnya, bagaimana Hamid harus hijrah ke tanah suci setelah kegagalannya mendapatkan Zainab karena merasa anak kelas rendahan dan tak berani mengungkapkan gejolak perasaannya pada Zainab dan keadaan harus dengan lapang ia terima sebab Zainab  harus dipinang orang lain.
Garis takdir yang membawa Hamid dan Zainab tak terjadi pada Rahman dan Humairah  lakon utama dalam Jodoh Langit novel Nuriv K, dalam hijrahnya setelah beberapa kali terabaikan oleh siksaan batin atas cinta yang ia jalani dengan Ifan dan Fitrah yang tak dipertemukan oleh garis takdir, hingga pada akhirnya Humairah dipertemukan dengan sosok Rahman yang akan menjadi imamnya kelak.
[3]
Dalam Jodoh Langit yang ditulis Nuriv K, memang tak banyak menawarkan hal yang baru namun untuk pembaca pemula  Jodoh Langit akan menjadi bahan bacaan yang tidak rumit ditangkap maknanya serta bisa mudah dicerna, tuturan bahasa yang disampaikan penulis.  Sebab menulis memang kadang tak perlu mengandung bahasa-bahasa yang rumit namun tiap kata dalam tulisan mampu hidup dan membangkitkan gairah pembaca untuk terus membaca lembaran halaman hingga bacaan usai
Sebagai buku yang tidak tebal buku, ini bisa menjadi bahan bacaan yang bisa di bawah sewaktu-waktu, untuk para pejalan  yang keluar kota, pulang kampung, atau untuk pergi ke suatu tempat untuk tamasya Jodoh Langit bisa menjadi buku bacaan yang menemani dalam perjalanan, tak menutup kemungkinan Jodoh bisa temui pada suatu tempat yang kita datangi
Dan pastinya, Jodoh Langit akan mempunyai tempat di sudut rak buku saya.
1 note · View note
umpan-balik · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Iqro’
Pada sore itu di sebuah toko buku kecil yang teletak di pusat kota, saya berkunjung sambil melihat-lihat koleksi buku-buku yang ada disana, saya tertarik pada beberapa buku-buku di sana lalu saya berminat membelinya , ada beberapa buku yang saya beli, seingatku ada tujuh buah buku yang saya beli. Pada saat saya menjinjing buku itu ke kasir, lalu ada pula seseorang pengunjung perempuan yang juga membeli buku disana, lalu perempuan itu bertanya dengan wajah sumringah : “ kamu sedang meneliti ya ?”, duganya. Lalu aku menjawab dengan enteng : “Tidak”. Perempuan itu bertanya kemudian : Lalu “?. "Buku ini cuma mengisi waktu kok”, jawabku dengan dingin.
Setiap pertanyaan tentang buku, umpamanya : Buku untuk apa? Kamu membaca untuk apa? Atau yang ekstrem “Kamu kenapa membaca , Endonesah sudah punya banyak orang cerdas” ?. Saya lebih rentan menjawab nya cuma untuk “mengisi waktu”, saya lebih senang menggunakan frasa “mengisi waktu” dari pada bahasa-bahasa dengan frasa klise “Buku itu Jendela Dunia” atau “Jadikan Buku sebagai Teman Dudukmu”  ataukah “Membaca itu Gerbong Ilmu. Walau klise saya merasa terbebani jika mesti menjawab semacam itu.
Membaca buku bukan  ajang soksok-an atau ajang sotoy banyak misalnya buku yang saya baca kadang terasa hambar lalu lewat begitu saja, saya pun tak membebankan diri saya harus tahu (sepenuhnya) isi buku itu, sebab saya menempatkan diri saya sebagai "pembaca” bukan kritikus bukan pula seseorang yang mencari bahan untuk debat. Sebab para penulis membuat tulisan agar mereka dibaca, tergantung interpretasi pembaca nantinya.
Membaca untuk mengisi waktu di bulan ramadhan bukan hal tabuh, berbagai rekomendasi buku disarankan pada kita kebanyakan bernuansa religius, ataupun motivasi. Buku dengan judul “Mutiara di Samudra Al-Fatiha” salah seorang kenalan saya pernah menyaranrankan tapi rasa-rasanya bukunya terlalu banyak menceramahi dan menggurui , untuk buku seperti itu saya lebih tergugah untuk membaca buku yang “ekstrim” disamping judulnya “nyeleneh” juga bisa mengasah keimanan. Buku “Iblis Mengguggat Tuhan” yang ditulis Shawni bisa menjadi bacaan yang sedap dibaca. Ada banyak bacaan yang sedap di bulan ramadhan. Berangkali membagikan atau merekomendasikan buku yang sedap untuk dibaca bisa menambah akhlak, ada beberapa buku yang bisa dijadikan sebagai pengisi waktu menunggu bedug maghrib.
(Urutan buku dirunut berdasarkan gambar diatas, dari kiri ke kanan)
Salah Asuhan - Abdoel Moeis
Membaca novel bisa membuat anda keranjingan. Jika anda telah lelah pada cengkraman kehidupan dunia membaca novel salah satu rute yang bisa ditempuh guna rehat sejenak pada cengkraman realitas. Membaca novel bisa membuat imaji anda menari-menari.
Salah Asuhan merupakan sastra klasik yang ditulis Moeis bercerita tentang pergolakan asmara dari perkawinan silang dua budaya, ras dan bangsa yang berbeda Corrie de Bussie seorang berdarah Eropa dengan Hanafi seorang priboemi.
Muhammad, Marx dan Marhein : Akar Sosialisme Indonesia - Jenne Mitz
Noam Chomsky mengatakan agama itu seperti ideologi,anda boleh percaya boleh tidak. Itulah kenapa penting untuk membaca ideologi. Indonesia tak lepas ideologi, bahkan kita begitu banjir ideologi pra dan pasca kemerdekaan, Partai Komunis Indonesia adalah representatif Indonesia memperjuangkan kemerdekaan dengan menganut ideologi.
Partai ini, merupakan partai pertama yang menggunakana nama Indonesia dalam wadah mereka. Namun sayang nya sejarah menggiring mereka ke jurang terdalam. Tak bisa dinafikkan partai ini adalah anak kandung revolusi, namun naas setelah kemerdekaan telah berhasil diraih, partai ini menjadi anak tiri setelah orba kala itu berselingkuh dengan neokolim lalu di usir dari rumahnya sendiri, Indonesia.
Jeanne Mintz dalam buku ini juga meluruskan kalau sosialisme tak selamanya atheis, dengan adanya gerakan sosialisme religius yang theis.
Jalan Lain Ke Tulehu - Zen RS
Buku ini ditulis oleh si Kurang Piknik, Zen RS. Jika buku adalah jendela dunia memang benar kenyataannya, bagi anda yang kurang piknik buku ini bisa sebagai wadah untuk anda melepas kejenuhan. Anda bisa duduk denga tenang di tempat anda, tapi pikiran anda melalulalang hingga kesana kemari, begitulah yang ditawarkan buku ini.
Jalan lain ke Tulehu bercerita tentang seorang remaja bernama Gentur yang datang ke daerah konflik di Maluku, mau tidak mau Gentur masuk ke pusaran konflik antar- agama di Maluku. Walau konflik kian merebab masih ada harapan disana dan sepak bola menjadi media untuk sejenak melupakan konflik yang terjadi dengan ria gembira bermain bola sepak.
Leila Khaled (Kisah Pejuang Perempuan Palestina) - Sarah Irving
Konflik Palestina-Israel kebanyakan dipandang satu sisi, soal konflik agama, Islama dan Yahudi. Hal ini ini banyak di(salah)pahami. Konflik disana–sebenarnya–dimulai dari kesepakan Oslo yang ditolak oleh PFLP (Populer Front  for the Liberation of Palestine)
Leila Khaled adalah  seorang perempuan pejuang Palestiana dengan gerakan kiri, ia menggandrungi Che Guevara, Leila juga pernah melakukan pembajakan pesawat hal itu dilakukan sekitar dua kali.
Buku ini bisa menyadarkan bahwa perjuangan palestina juga dibumbui gerakan-gerakan kiri, komunisme. Melawan Isreal.
Mata Yang Enak Dipandang - Ahmad Tohari
  Membaca cerpen merupakan bacaan yang amat baik , bagi anda yang terbebani jika membaca buku yang teramat tebal, cerpen juga muda dipahami sebab alur cerita ringkas dan padat.
Buku Ahmad Tohari ini , kental dengan ciri khas Ahmad Tohari menulis yang mengkisahkan kehidupan orang-orang kecil yang penuh lika-liku yang menimbulkan empati dan simpati hingga dapat memperkaya batin para pembacanya.
==================
Anda boleh merekomendasikan juga buku yang sedap di baca sebagai pengisi waktu saat menikmati puasa kepada saya.
Ya Kamared !
0 notes
umpan-balik · 9 years ago
Text
Terbenam dan Tersingkir  di Paris dan London: Potret Fakir Kebebasan
Tumblr media
Awal pagi saya di awali dengan mengeluh. Ya mengeluh. Bagi seseorang yang menekuni sosialis tapi memiliki jam kerja lebih dari 10 jam bahkan terkadang lebih. Itu sungguh ngilu.
Judul aslinya sebelum diterjemahkan oleh Widya Mahardika Putra adalah Down and Out in Paris and London. Awalnya saya pikir membaca buku ini muatannya akan sangat berat bagi otak saya. Seberat kala saya membaca buku-buku Max Weber yang meski diduakalikan membacanya akan terasa sangat sulit untuk saya memahaminya. Jangankan setengah buku yang saya baca, baru seperempat buku saya tak bisa lanjut lalu segara menutupnya. Ini bukan pekerjaan mudah walau saya dalam posisi duduk kala membacanya rasanya seperti mendaki gunung Everest. Mendaki? Saya kan Bukan  Pejalan Jauh
Terbenam dan tersingkir di Paris dan London karya George Orwell merupakan novel Autobiografi yang menceritakan kehidupan yang dialami oleh seorang yang jauh dari negara asalnya, London. Kemudian tinggal menetap disebuah pusat perkotaan di Prancis (equiter) melakukan pekerjaan, yaitu plongeur yang dibayar tak seberapa hanya cukup memenuhi kebutuhan Mon Ami Roti, rokok dan bir.
Mon Ami terjerat dalam kemiskinan walau tak membuat semangatnya surut untuk menjalani “kehidupan” bekerja sebagai plongeur (pelayanan restoran) yang bekerja mulai pagi hingga seperempat malam.
Hanya memiliki hari libur pada hari minggu tapi (se)sering(kali) tetap masuk di hari libur kerjanya, jika restoran kekurangan pelayan. Mom Ami terpaksa masuk menggantikannya.
Demi dua ratus franc sehari, rela bekerja sampai 21 jam dan tidur hanya setengah jam selama sebulan namun biaya hidup terus bertambah hutang makin terlilit memaksa Mon Ami dan temannya bernama Boris memutuskan untuk mencari pekerjaan lain. Bekerja sebagai plongeur sudah Mon Ami rasakan. Bekerja di hotel mewah namun peraturan-peraturan manajer hotel yang merupakan orang paling berpengaruh dalam segala hal menyangkut hotel, temasuk jam kerja pelayan. Walau di hari libur pelayan kerap  masuk menjadi plongeur, yang memaksa Mon Ami, walau sulit namun menikmatinya.
Kemiskinan membebaskan mereka dari standar-standar perilaku lumrah, sebagaimana uang membebaskan orang dari kerja (halaman 8).
Ia mulai berkata bahwa tak ada gunanya mencari pekerjaan – satu-satunya pilihan adalah menjadi kriminal (halaman 39).
Bersama Boris, Mon Ami mencari pekerjaan lain keluar dari Hotel X, disamping Mon Ami menulis lalu artikelnya terbit di koran uang yang peroleh belum cukup mampu memenuhi kehidupan mereka berdua yang tinggal bersama di perumahan sewa. Setelah belum mampu melunasi sewa kontrak mereka terpaksa kabur tanpa meminta izin dari pemilik kontrakan, guna menghindari tagihan dari sang pemiliki.
Mon Ami dan Boris selepas keluar dari hotel X mencari pekerjaan di equiter Prancis, sebelum mereka mendapatkan pekerjaan biaya hidup mereka dapatkan dari hasil penggadaian koper dan baju mereka, yang hanya bisa memenuhi kebutuhan mendasar mereka : Roti,  sepotong roti, Roti basi, sepotong roti basi dan bir.
Mencari pekerjaan bukan hal yang gampang didapat bagi Boris dan Mon Ami, Boris yang memiliki kaki pincang yang orang-orang pikir merupakan kekurangan membuat mereka berdua berkali-kali ditolak lamarannya.
Hidup miskin tidak sederhana amat begitu rumit bagi mereka berdua. Membuat mereka terbenam. Sudah jatuh tertimpa tangga. Terdengar klise bukan.
Jika buku Orwell ini ibarat sebuah kue kita bisa membaginya menjadi dua irisan. Irisan pertama adahal perihal sesuatu yang membuat seseorang harus bisa menikmati himpit kehidupan yang sulit agar tetap dinikmati, yang Orwell sebut “Terbenam”. Si tokoh Mon Ami harus bisa menerima keadaannya sebagai plongeur, penulis lepas yang tak digaji seberapa dan memiliki sahabat bernama Boris yang memiliki kaki pincang dan membuat lamaran pekerjaan Mon Ami ditolak. Mon Ami bukan orang Prancis dia adalah imigran di Paris, Mon Ami dulunya tinggal di London.
Sekali lagi seumpama buku ini adalah sebuah kue yang dibagi menjadi dua irisan, setelah irisan pertama saya sebut dengan “Terbenam” maka irisan kedua saya sebut “Tersingkirkan”.
Setelah mempunyai uang yanga cukup, Mon Ami  pulang ke kota asalnya London, Mon Ami pun belum mempunyai pekerjaan yang layak di negara asalnya. Menjadi plongeur di Paris memang bukan pekerjaan yang disenangi oleh Mon Ami namun harus tetap ia terima. Bahkan berada di London pun malahan lebih parah Mon Ami menjadi gelandangan setelah tak diterima di London. Ia tersingkir di negara asalnya.
Sebagai gelandangan Ia tinggal di casual ward tempat para gelandanga di berkumpul memiliki ruangan yang ruangan berbeda, sebuah casual ward terkadang memiliki tempat tidur yang luas namun juga dihuni tikus dan kecoa yang lalu-lalang, disisi lain casual ward yang tak jorok namum memiliki ruangan kamar yang begitu sempit. Yang membuat seorang gelandangan dapat mencium aroma napas gelandangan lainnya saat tertidur. Sebuah casual yang memiliki ruangan sempit.
Ketakutan itu didasarkan pada ide bahwa ada perbedaan misterius dan fundamental antara si kaya dan si miskin, seolah-olah mereka itu berasal dari spesies berbeda…(halaman 154)
“Asal kau berniat, kau bisa menjalani hidup yang sama, tak peduli miskin atau kaya. Kau masih bisa berkutat dengan buku-bukumu dan pemikiranmu. Katakan saja kepada dirimu sendiri  ” Aku orang bebas di sini"– ia menujuk kepalanya–“dan kau baik-baik saja.” (halaman 210).
Gelandangan mendapatkan tempat yang berbeda di London dalam karya Orwell ini, Mon Ami dan temannya, Bozo dan Puddy orang-orang seperti mereka ini mendapatkan pengkotak-kotakan yang dibuat oleh masyarakat sendiri. Dimana gembel dianggap kelas rendahan yang tak pantas menerima bentuk kasihan, bentuk rasa kemanusiaan yang membuat mereka tak diterima.
Orwell menyusun plot yang tertata rapi dalam bukunya ini, bagaimana sebuah “tempat”  yang menjadi term utama dalam novel ini dapat dirangkai sedemikian rupa mulai dari kompleks perumahan, hotel, equiter dan pinggir jalan. Ini adalah fiktif yang didasari kenyataaan hidup seorang Orwell yang melepas jabatannya menjadi polisi imprealis kala bertugas di Burma. Menekuni pekerjaan yang harus memaksa ingkar pada nuraninya sebab sistem imprealis tidak sepakati. Orwell membuat dirinya larut “terbenam”. Seusai melepas jabatannya walau itu merupakan tugas negara hidup Orwell benar-benar “tersingkir”.
PostScript  : Kue potongan pertama rasanya kurang enak, jadi saya mencoba melahap kue yang kedua -- saya pikir enak -- tapi rasanya terlebih kurang enak lagi. Tapi tetap saya makan hambamu lapar Tuhan.
#resensi #OAK
1 note · View note
umpan-balik · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Bahagiakah Mersault ? Jika hidupnya bergejibun materi, dikelilingi wanita cantik aduhai, dan berjalan jauh sana-sini. Tidak kekurangan (sama sekali). Serba kelebihan. Adakah jaminan bahwa hidup seperti itu telah pasti membuat Mersault bahagia. Atau.... Masih bisa bahagiakah Mersault ? Jika hidupnya Selalu dikelilingi bau kemiskinan. Serba kekurangan. Bisakah kita membayang mersault masih bisa (merasa) bahagia jika hidup pedih-perih seperti ini. ...yang terpenting adalah keinginan untuk berbahagia, dan kau harus selalu sadar akan keinginanmu itu sisanya -- wanita, karya seni, keberhasilan duniawi -- hanyalah dalih untuk berbahagia (halaman 138), Albert Camus - Mati Bahagia
1 note · View note
umpan-balik · 9 years ago
Text
Susahnya Belajar Menjadi Filsuf Medioker
Kenapa dunia sempat melahirkan sosok filsuf hebat seperti Socrates, Plato atau Aristoteles ? Sebab dulu ketika mereka berbicara dengan pacar mereka, dengan senang hati diladeni, meski banyak bertanya dan mereka tidak pernah bilang : SAYANG KAMU KEPO DEH !
Rasanya-rasanya sudah banyak hal yang berubah dari zaman ke zaman. Seperti dulu, orang bilang : Malu bertanya sesat di jalan . Tapi sekarang kata bijak yang memotivasi itu nampaknya secara perlahan mengalami penyusutan makna semenjak ada kata “Kepo”, yang membuat sekarang terasa berbeda. Kalau dulu malu bertanya sesat di jalan, sekarang sering bertanya Anda (mungkin) akan dibilangin kepo. Saya tiada menitik beratkan dari salah satu kedua perbedaan itu, alangkah lebih tidak mengenakkan lagi jika dilarang bertanya sama sekali.
Terlepas dari itu sepertinya sangat sulit memisahkan manusia dengan bertanya. Jangankan dengan orang lain pada diri mereka sendiri saja, mereka serbu dengan sederet pertanyaan. Misalnya : Hari ini pergi kuliah atau tidak? Sepanjang pekan ini baca buku apa ? Baiknya nonton bola bareng teman  atau  sendiri di rumah saja ? Kira-kira pertanyaan seperti itu yang mereka lempar pada diri mereka sendiri lalu mereka pula yang menjawabnya.
Dalam buku What Would Socrates Say ? Karya Alexander George. Di bagian pendahuluan Alexander Gerorge berujar bahwa bertanya merupakan akar dari filsafat. Banyak yang tidak menyadari kehidupan manusia sulit dipisahkan dengan filsafat, sehingga menurut Alexander George  manusia bisa juga dikatakan sebagai homo philosopicus, meski pembelajaran tentang filsafat kadang dipinggirkan.
Paradoks memang terjadi pada filsafat. Filsafat ada dimana-dimana sekaligus tidak ada dimana-mana. Bertanya pada diri sendiri dengan cara bicara dalam hati hampir setiap hari dilakukan, karena memang bertanya itu ciri yang mendasari manusia sebagai homo philosophicus. Alasan mengapa fisafat itu ada dimana-dimana! Tapi sekaligus filsafat tidak dimana-mana, di sekolah misalnya kadang ditemui guru atau dosen yang membatasi pertanyaan, tak jarang pula ada yang melarang kita untuk bertanya. Kini yang tak kalah hebat, sesuatu yang disebut kepo itu juga seolah menghalangi kita untuk belajar filsafat  seperti saat ngobrol dengan seorang wanita baik secara langsung  maupun lewat sosmed yang kadang mengahalagi sebuah percakapan. Setidaknya menghambat kita  belajar menjadikan diri sebagai filsuf, walau masih dalam taraf medioker.
0 notes
umpan-balik · 9 years ago
Text
Sebuah Scene Jika Seandainya Adinda Tak Meninggal
Tiga kali, dua belas bulan jarum jam itu tak pernah memutar balik sekalipun ke kiri dan hanya menuju ke kanan. Tiga puluh enam bulan telah berlalu…..
Torehan tanda di lesung rumah Adinda setiap kali bulan baru tiba, seluruhnya telah diberi torehan sebagai tanda hari kepulangan Saijah dari Batavia. Seraya menunggu kehadiran Saijah dari rantauan, Adinda dengan suasana hati yang dihujani rasa rindu yang membuncah menjalankan aktivitas kesehariannya seperti kebanyakan gadis  desa Badur, ia memintal dan menenung sarung serta selendang dan baju batik dan sangat sibuk di sepanjang waktu, untuk meredam rindu yang merelakan diri untuk ditindas sepi.
Ingatan tentang saat-saat berada di tengah sawah, saat memandang wajah Saijah yang tersenyum sumeh, menunggangi kerbau peliharaannya, ingatan tentang suara kekanakan Saijah yang mampu memberikan semangat.
Ufuk menyingsing timur, hari ini Adinda lekas bangun, menyiapkan diri untuk pertemuannya dengan Saijah di tempat yang telah dijanjikan Saijah, di dekat hutang melati, di bawah pohon ketapang tempat Saijah memberinya melati sebelum ke Batavia untuk merantau, Saijah memutuskan untuk meninggalkankan Badur, guna mencari uang untuk membeli kerbau lagi setelah kerbau miliknya dirampas oleh rezim kolonial, kemiskinan yang membuat ayahnya terjerit hutang oleh tuan tanah hingga patah semangat lalu meninggal. Sementara Ibu Saijah meninggal karena patah hati. Kelak hasil rantauannya tidak hanya Saijah gunakan untuk membeli kerbau tapi juga kelak digunakan Saijah untuk melamar Adinda, ketika sudah cukup umur menikahi gadis yang sudah ia kenal sejak masih kanak-kanak. Janjinya pada Adinda sebelum meninggalkan Badur.
Sepanjang malam, sebelum esok bertemu dengan Saijah, Adinda tak bisa tidur nyenyak. Gelisah. Bukan kali ini saja saat-saat seperti ini menggagahinya. Di dekat pelita, ia bersandar pada dinding kamarnya, dalam lamunannya, Adinda khawatir jika esok pertemuannya dengan Saijah di dekat hutan melati akan berujung nestapa, dan penuh duka larah. Apakah esok dia akan bertemu dengan Saijah seorang diri disana, sosok yang selama tiga tahun ini membuat perasaannya amat gundah, raut wajah cerah Saijah diselingi dengan senyum yang sumeh yang begitu dirindukannya. Bagaimana jika Saijah datang tak seorang diri namun membawa gadis dari Batavia yang lebih berperawakan menarik dari pada dirinya yang telah membuat hati Saijah luluh dan melupakan janjinya pada Adinda, kemudian hanya datang untuk meminta maaf padanya. Ataukah Saijah takkan ada di hutan melati itu, sebab ia memilih untuk tetap tinggal di Batavia sebab Badur sudah menjadi tempat yang tak dirindukan lagi. Sepanjang malam dan bukan kali ini saja deretan pertanyaan seperti ini yang terus menghantui Adinda.
Adinda beranjak dari tempat tidurnya, menuju lesung dan kembali menghitung dengan jari yang penasaran untuk meyakinkan, bahwa benar-benar terdapat tiga puluh enam tanda yang terukir di situ saling bersisian. Dan khawatir jika dia bisa saja salah hitung dan mungkin salah satu dari tanda itu masih menunggu…..demikian lagi, dan lagi, dan berulang-ulang. Keraguan jika tiga kali dua belas bulan telah dilewati sejak terakhir dia melihat Saijah. Sunyi senyap malam ini ditambah rasa khawatir yang selalu menghampiri Adinda. Di balik jendela ia memandang keluar kamar.
“Lihatlah bagaimana kunang-kunang jantan terbang mencari sang betinanya, dia terbang, turun dengan cepat ke arah kiri dan kanan. Dia mengelilingi lampu-lampu jalan, terbang jauh. Kebahagian untukmu, kunang-kunangku, semoga kebahagianmu jatuh padaku ! Kau pasti menemukan sang betina yang kau cari…..namun aku duduk sendiri menanti sang jantan pujaan hatiku”. 
Adinda membatin kala melihat seekor kunang-kunang dari balik jendela kamarnya di malam itu. Lalu dari balik jendela Adinda melempar pandangan pada seekor kucing. Seraya dalam batinnya berkata :
“Lihatlah bagaima kucing itu berlari, melompat lalu berjalan perlahan mencari makanan. Turun dengan cepat memanjat pohon. Dia mengeliling kesana-kemari. Kebahagiaan untukmu, kucing, semoga kebahagiaanmu juga jatuh padaku ! Kau pasti menemukan dan  mendapatkan makanan yang kau buru…..namun aku duduk sendiri menanti buruan hatiku”.
Malam semakin larut, rasa harap cemas terus menghujam perasaan Adinda, benarkah jika esok telah tiba ia akan benar-benar bertemu dengan Saijah. Sepanjang  malam Adinda tak bisa tidur nyenyak, hingga matahari terbit perasaan yang sama masih terus mengganjal perasaan Adinda. Dalam batinnya berkata lagi :
“Lihatlah bagaimana matahari berkilau nun jauh di sana: tinggi, tinggi di atas bukit hutan melati ! Dia merasa begitu hangat. Kebahagiaan untukmu, Oh matahari, semoga kebahagiaanmu juga jatuh padaku ! Apa yang menghangatkanmu selama ini terus bersamamu…..tetapi aku disini duduk sendiri menanti peluk dari pujaan hatiku yang bisa menghangatkan tubuhku”.
Matahari kian meninggi, sebuah hari yang amat dinantikan Adinda telah tiba. Adinda dengan perlahan meninggalkan rumahnya menuju hutan melati, di bawah pohon ketapang tempat Saijah memberikannya melati. Tempat yang dijanjikan. Setapak demi setapak langkah Adinda meninggalkan rumahnya perlahan menuju tempat itu. Semakin jauh Adinda meninggalkan rumahnya semakin dalam pula rasa harap cemas yang mengganjal benaknya, mungkinkah Saijah ada disana atau Saijah tidak akan pulang ke Badur lagi. Deretan pertanyaan itu kembali menggagahinya.
Semakin jauh Adinda meninggalkan rumahnya, semakin dekat pula ia pada tempat itu, di dekat hutan melati, di bawah pohon ketapang, tempat Saijah memberinya melati sebelum merantau ke Batavia. Adinda memiliki bayangan yang indah pada sosok Saijah dalam hatinya. Dia memandang bentuk awan-awan. Dia menggenggam udara yang ada disekitarnya seakan berharap untuk merengkuh bentuk yang akan menantinya di bawah pohon itu. Dia membayangkan wajah Saijah, kepalanya, bahunya…dia melihat mata yang besar, berkilau dalam pantulan gelap..,dia membayangkan raut wajah ceria, suara yang mampu memberikan semangat dan garis senyum dari sosok yang begitu dirindukan : Saijah.
Langkah demi langkah menggiring kaki Adinda ke tempat itu. Tempat yang dijanjikan. Perasaan harap cemas serta perasaan rindu yang selama selama ini tak tersalurkan saling bersisian, saling memunggungi jelang pertemuan ini. Benar saja, sosok Saijah yang selama tiga tahun meninggalkan Badur pulang dari tanah rantauan. Saijah benar-benar ada di dekat pohon melati, di bawah  pohon ketapang, tempat ia memberi Adinda melati. Tatapan nanar saling menyoroti kedua mata mereka. Terasa gugup bibir mereka harus mulai dari mana berkata. Hembusan angin membuat rerumputan bergoyang, di bawah pohon ketapang itu. Belum ada seucap kata pun yang terdengar dari bibir mereka. Hanya hembusan angin yang menjadi perantara tentang perasaan mereka selama tiga kali dua belas bulan tak pernah bertemu dan tak ada kabar, tak ada sepucuk surat pun.
“Bagaimana kabarmu Adinda, aku kira kau tak akan hadir di tempat ini,  kukira ayahmu telah menjodohkanmu dengan yang lain ?” dengan mulut terbatah-batah Saijah memberanikan diri untuk mulai bicara.
Seraya air mata tertumpah di pipih Adinda menjawab “kabarku baik-baik saja Saijah, selaras dengan apa yang kau pikirkan selama ini, ayahku sempat ingin menjodohkanku dengan seorang anak Residen, namun tak kuindahkan, kuberanikan diri untuk menolak meski aku belum mendapat kepastian tentang kapan kedatanganmu.”
“Bagaimana dengan secarik kain biru yang kita jadikan ikrar saat sebelum kau pergi, masihkah kau menyimpannya Saijah ?” giliran Adinda yang bertanya sambil mengepalkan tangan memperlihatkan secarik kain biru yang selama ini dia rawat dengan baik.“
Sejenak Saijah terdiam, lalu menjawab “perihal tentang secarik kain biru itu Adinda, sudah sejak lama aku tidak menyimpannya.”
“Kenapa Saijah, apakah kau sudah melupakan janjimu itu, apakah kau datang hanya untuk berpamitan sebab di sana kau telah menjalin dengan yang lainnya.” keluh Saijah dengan suara datar.
“Tidak Adinda…..secarik kain itu hilang saat aku menunggangi kuda tuan ku di Batavia sana. Kau tak perlu penuh curiga seperi itu.” bela Saijah.
“Secarik kain biru itu, kini aku ganti dengan sebuah kalung, yang akan aku jadikan ikrar kita, sebab sedari awal tujuanku hanya kau…Adinda.
Seketika suasana hening.
=============
Post-script : Kisah Saijah dan Adinda adalah kisah roman yang termaktub dalan Max Havelaar karya Multatuli. Sebuah kisah yang harus berakhir pilu, direnggut oleh masa kolonial.
1 note · View note