Tumgik
Text
Penuh
Tumblr media
Padahal besok Sabtu, tapi entah kenapa tiba-tiba kerjaan jadi banyak. Mau ga mau ya tetep harus dikerjain, harus disyukuri juga. Sibuk kerja masih lebih enak daripada sibuk bingung merenungi hidup.
Tapi sebenernya yang bikin kerja malem ini jadi ga enak adalah karena gue lagi galau.
Kegalauan malem ini emang harus didokumentasikan sebab alasannya tidak biasa. Besok orang yang ada di foto di atas mau nikah.
Setelah gue renungkan, ada beberapa hal yang bikin gue galau:
Gue bener-bener udah ada di fase orang dewasa. Menikah kan kegiatan orang dewasa. Nah gue bakal menyaksikan langsung orang seumuran gue menikah. Artinya gue juga udah dewasa, ya dong? takut banget.
Orang ini bukan sembarang orang. Doi menyimpan semua cerita gue hampir separuh hidup sendiri. Cerita-cerita yang kayaknya gabakal gue bagiin ke orang lain deh. Bukan karena doi istimewa banget, tapi karena bisanya ke dia doang. Gue juga gatau kenapa, tiap bareng dia ceritanya udah kek Rucika; mengalir sampai jauh. Kalau ada kata yg lbh dr istimewa, nah itu lah dia.
Sebab alasan nomor 2, gue jadi berasa akan kehilangan belahan jiwa. Padahal waktu kakak gue nikah, gue ga segalau ini. Gue jadi bingung harus kemana cerita (yg lebih sering ga penting) ini harus disalurkan. Orang sial mana lagi yang mesti tahan dengerin ocehan gue kalau ga ada dia?
Sebenernya agak lebay sih karena kenyataannya dia ga kemana-mana alias masih bisa gue temuin. Waktu gue utarakan keresahan gue ini ke orangnya langsung, dia juga cuma bilang, 'aku ga kemana-mana, Fah. Aku tetep temenmu'.
Yaaaa iya sih, tapi gue belum sampai ke fase acceptance. Gue jadi berasa gatekeeping anak orang gini yak. Dan yang paling nyebelin adalah karena kegalauan brutal ini gue jadi kayak gak ikut seneng.
Padahal ya ga mungkin ga ikut seneng lah gue. Ngikutin cerita dua orang ini dari zaman baru kenalan sampe di tahap ini (which is itu adl periode yg panjang). Dari 'gue.gak.mau.sama.dia.titik' sampe 'saya terima...'.
LAH.
Asli, terlepas dari kegalauan ini gue bener-bener bahagia dia udah sampai di fase ini. Dia udah lebih dari siap untuk mengarungi ibadah terpanjang ini. Gue saksinya.
Pada akhirnya gue cuma bisa menghaturkan doa-doa baik untuk--apalah sebutannya--orang ini.
After this, mungkin frekuensi ketemu kita bakal berkurang drastis tis tis. Dia bakal diboyong suaminya ke luar kota. Gue juga gatau habis ini nyangkut di mana.
Setiap tempat yang pernah kita singgahi, entah buat ngobrol, tukar pikiran, atau berproses bareng, bakal menjelma jadi kenangan di sudut hati gue.
Gue gabisa ga bersyukur Allah kasih kita kenal. Makasih udah ada di setiap kondisi gue, ya. Makasih udah narik sayap gue kalau gue udah mulai merasa tinggi. Makasih udah meluk gue (metafora, krn gue gelian) kalau gue udh mulai kehilangan arah.
Song on repeat: Sheila on 7 - Sahabat Sejati
0 notes
untukhatiyangterluka · 2 months
Text
Teruntuk bapak ibuku,
Katamu suatu kali, 'jangan merasa salah jurusan.' Aku tidak ingat benar apa duduk persoalannya saat itu, tapi sejak itu, kalimatmu terus kubawa sampai hari ini.
Mungkin dengan atau tanpa sadar aku seringkali mengeluhkan kuliahku, berandai aku bisa memutar waktu dan masuk ke jurusan yang aku suka. Tapi setiap itu pula, kalimatmu terlintas.
Dan di sinilah aku saat ini, wahai bapak ibuku. Telah kutunaikan tanggung jawab belajarku. Mungkin aku bukan murid terpintar di kelas. Mungkin aku lulus tanpa pujian. Mungkin gelar ini tidak akan membawaku ke pekerjaan yang prestisius. Mungkin aku tidak akan jadi PNS besok, kelak, kapanpun. Mungkin banyak perilakuku yang tidak seperti inginmu. Tapi, setidaknya aku telah sampai di hari ini.
Hari ini boleh kukatakan, barangkali aku memang salah jurusan, tetapi aku tidak pernah salah menjalani takdir. Kehidupan empat tahun kebelakangku tidak selalu baik, wahai bapak ibuku. Tetapi toh kalian selalu ada menguatkanku. Aku bertemu banyak orang-orang baik, teman-teman seru, pengalaman-pengalaman magis.
Aku hanya ingin kalian tahu, meski banyak hal yang berjalan tak seperti rencana, pada akhirnya aku tetap bahagia menyusuri garis takdir ini. Aku bersyukur untuk apapun yang datang dan hilang dari hidupku. Aku beruntung karena tidak memilih menyerah dan keluar gelanggang.
Menolak untuk menyerah sudah/ Jajal kemungkinan-kemungkinan
0 notes
untukhatiyangterluka · 4 months
Text
Merayakan Akhir Pekan dengan Lima Belas Ribu
Ini hari, hari Ahad. Satu terakhir dari tujuh. Tidak begitu tiba-tiba sebenarnya, aku teringat pesan pakde-pakde yeni untuk 'rayakan akhir pekanmu'. Bertandanglah aku ke tempat yang sudah lama ingin aku kunjungi, tapi tidak kunjung sempat. Ah, tidak sempat atau tidak menyempatkan memang bedanya tipis sekali.
Tumblr media
Taman Buku & Majalah Alun-Alun Kraton Surakarta. Begitu tulisan di plang masuknya.
Namun cerita akan dimulai dari sesaat sebelumnya. Saat aku memutar alun-alun utara, aku berhenti di depan Pasar Keris, beli dawet. Aku pembeli satu-satunya, sembari menunggu aku bertanya tipis-tipis pada ibu penjualnya (aku lupa bertanya namanya huhu). Dari sana mengalirlah cerita-cerita dari tutur beliau.
Tentang Alun-Alun Utara yang akan direnovasi dan keresahannya sebagai pedagang kecil. "Saya khawatir bakal digusur lagi, mbak. Dulu sempat merasakan waktu (stadion) Manahan direnovasi, saya disuruh pindah," ucapnya dalam bahasa Jawa. Tentang sepak terjangnya sebagai penjual dawet yang sudah ia geluti 20 tahunan ini.
Tentang anak-anaknya yang ia sekolahkan tinggi-tinggi, tapi jadi pengusaha laundry (tidak ada yang salah, hanya beliau yang merasa resah). Tentang tingginya harga tanah hari-hari ini. Tentang mobil feeder BST yang baru dan sama-sama belum pernah kami coba. Tentang harapan-harapannya akan masa depan. Sampai tentang jodoh, "Njenengan kan punya pacar," walah soal itu saya kapiran, buk!
Lama berbincang, sepasang muda-mudi datang mengampiri gerobak dawet si ibu. Aku memilih undur diri, dengan menyerahkan selembar sepuluh ribu, si ibu menyerahkan kembalian selembar lima ribu. "Pareng, buk," pamitku. Si ibu tersenyum.
Aku melanjutkan perjalanan ke tujuan utama. Pasar buku bekas. Saat aku masuk, suasanya sepi. Hanya ada beberapa kios yang buka, termasuk kios kelontong di muka. Aku berjalan menyusuri lorong pasar. "Monggo," seorang ibu menyapaku, bertanya mencari apa. Karena aku memang tidak sedang mencari apa-apa, kujawab "Mau lihat-lihat aja, bu."
Beliau memperlihatkan dagangannya. Bertumpuk-tumpuk buku tersuguh di mataku. Dibawanya aku masuk lebih dalam. Dikeluarkannya koleksi-koleksinya dari lemari. "Lihat-lihat saja, monggo. Santai saja."
Tumblr media Tumblr media
Sembari melihat-lihat, kami berbicang. "Di sini total ada 20 kios, mba. Tapi, ada yang kadang-kadang aja bukanya." Pasar buku bekas tersebut, sekalipun dekat Alun-Alun Utara, tempatnya memang kurang strategis. Harus memutari Alun-Alun Utara dulu untuk pengendara bermotor karena jalannya satu arah--kecuali mau nakal langsung melipir. Hal ini menyebabkan pasar tersebut jarang-jarang dikunjungi pembeli. "Tapi ya mau gimana, saya sama pedagang lain sudah bersyukur diberi tempat di sini," tutur ibu yang kemudian kutahu bernama Bu Sri.
Bu Sri sudah berjualan sejak tahun 1980-an, dulu awalnya Bu Sri dan puluhan pedagang buku bekas lainnya berjualan di trotoar dekat pagar alun-alun, tanpa peneduh dan kerap kali tutup lebih awal karena guyuran hujan, baru tahun 2000 dipindahkan ke sini. "Dulu itu mba, waduh, saya pernah harus ngusung-ngusung buku padahal lagi hamil besar, mana anak yang masih kecil juga saya bawa," kenangnya mengingat zaman itu. Sekarang, meski menurut penuturannya, beliau sudah lupa bagaimana rasanya saat kios bukunya ramai, Bu Sri tetap menggiati toko itu.
Tumblr media
Aku menyodorkan satu eksemplar majalah Tempo yang menarik minatku. Edisi 30 Juni 2004, membahas tentang pemilihan presiden, hmm familiar bukan. "Kalau ini berapaan, bu?" Bu Sri membolak-balik majalah itu, "Sepuluh ribu." Kutaksir beliau menetapkan harga berdasarkan ilmu lihat-lihat. Dilihat dulu apakah buku tersebut ori atau bajakan (iya, sayangnya beliau menjual buku bajakan), kalau ori apakah kondisinya masih bagus atau tidak. Lain lagi penetapan harga majalah, apakah majalah tersebut termasuk edisi yang langka atau tidak ikut masuk hitungan.
Setelah menyelesaikan pembayaran, aku tidak kunjung pergi. Bu Sri masih memperbolehkanku memutari lapaknya. "Kalau itu kios buku juga, bu?" tanyaku menunjuk ke belakang kiosnya. "Bukan, itu (toko) batik, mba. Tapi, yang punya bukan orang sini. Punyanya orang Pekalongan."
Bu Sri melanjutkan ceritanya tentang pasar buku bekas. "Kapan-kapan kalau ada waktu, mampir ke rumah saya mba. Buku-bukunya ada banyak." tawarnya saat kubilang aku senang dengan buku. Aku mengangguk semangat menyambutnya.
Beliau juga bercerita tentang anak-anaknya, salah satunya sudah menyelesaikan S2 dan bekerja di sebuah kementrian yang bergengsi di negeri ini. Aku bisa merasakan kebanggaannya pada anaknya tersebut. Diselipinya pula nasihat-nasihat khas ibu. Tentang asam garam hidup yang sudah pernah ia lewati. Tentang kesederhanaan yang ia tanamkan pada anak-anaknya. Tentang tidak boleh takut mencoba saat kubilang sekarang sedang mencari pekerjaan. Tentang apapun tentang hidup ini.
"Maaf ya malah diajak cerita," ujarnya. Aku berkata tidak masalah dan merasa senang sudah berbagi cerita dengannya. Sesudah satu dua kata berikutnya, aku memilih pamit dan berkata akan mengunjunginya lagi kapan-kapan.
Aku terkesima dengan dua orang yang kutemui dalam waktu yang tidak terlalu lama itu. Di jalan pulang aku banyak tercenung dengan kisah-kisahnya. Dan sampai akhirnya bertemu suatu kecimpulan bahwa lima belas ribu yang keluar--yang sesungguhnya tidak terlalu banyak, tapi tetap ku eman-eman itu--tidak akan pernah kusesali sama sekali.
Kurasa, akhir pekanku ini kurayakan dengan amat baik. Besok hari senin!
0 notes
untukhatiyangterluka · 6 months
Text
Perihal Rindu
"Apa yang kamu lakukan kalau lagi kangen?"
: Dengerin lagu yang ngingetin sama zaman itu? bisa jadi, sih
: Ngeliatin galeri foto? bisa juga
: Kalau aku...
Beruntungnya jadi aku, aku rajin mencatat hal-hal yang terjadi di sekitarku. Catatan-catatan itu lah yang akhirnya menjadi sarana terampuhku untuk mengobati kangen. Membacanya seolah baru kemarin aku menuliskannya, padahal sudah 1, 2, 5, 10 tahun yang lalu. Mengingatnya seolah itu baru saja terjadi.
Ah, entahlah, ini jadinya mengobati atau malah memperparah ya? Kalau kata teh Melly Goeslaw sih, "kata orang rindu itu indah, tapi bagiku ini menyiksa."
Kangen itu gak bertuan, dia bisa hadir melalui siapa saja. Kangen itu gak mengenal waktu, dia bisa datang kapan saja. Kangen itu rumit. Sebab seberapa keras pun berusaha, hal-hal yang sudah lewat jelas tidak bisa hadir kembali. Pada akhirnya, kangen itu memang sialan.
Gara-gara itu, aku pernah kepikiran untuk lebih selektif dalam menjalani hidup. Berharap hanya hal-hal baik yang selalu kujalani sehingga nantinya berimplikasi pada hanya kenangan-kenangan baik saja yang kuingat.
Tapi, kan tidak semudah itu.
Namanya juga hidup hehe. Kadang begini, kalau gak ya begitu. Tapi, toh ujung-ujungnya ya hanya diketawain. Dikenang dengan dalih 'mengambil pelajaran.' Ya, semoga saja memang begitu.
Perihal rindu-merindu ini, aku jadi semakin yakin kalau dunia itu berputar. Sebabnya, akhir-akhir ini banyak hal dari masa laluku yang hadir kembali. Padahal katanya datang dan pergi itu biasa, tapi ternyata yang pergi lalu datang kembali itu tidak pernah bisa dianggap biasa.
Kalau kali ini kata mas Farid:
Kau dan aku Melintas cerita Semoga tak berubah Akan bersama selamanya Jangan berubah
Kawan, semua yang pernah hadir di hidupku sampai saat ini, cerita kita nyata. Yang kemarin kita jalani itu sudah mengkristal menjadi memori abadi di ingatanku. Segala baik-buruknya, aku telah berdamai, semoga kau (kalian) pun begitu.
Besok-besok, kita berbagi cerita lagi ya. Terakhir, semoga bahagia. Aku kangen.
1 note · View note
untukhatiyangterluka · 6 months
Text
Sudah tengah pekan. Tidak banyak yang kulakukan selain mencoba melawan sindrom aneh yang menyebabkan kekacauan berpikir pasca seminar hasil skripsi di awal bulan lalu. Niat hati ingin segera menyelesaikan revisi dan menampakkan muka kembali di hadapan pembimbing, tapi malah terdampar di kalut kawah pemikiran.
Baru tengah pekan. Pikiranku sudah berloncatan ke akhir pekan dan berusaha bersabar agar tidak terlalu tampak antusias pada agenda di Minggu malam besok. Seakan ingin menyingkirkan hari-hari yang berserakan tanpa rencana, walau kurasa aku sedang diintai deadline.
Setumpuk kertas hvs yang di sanalah tercetak draft skripsi berikut corat-coret tulisan tangan pengujiku, sejak lima hari lalu hanya kubolak-balik tanpa arti. makin berusaha kupahami apa mau sang dosen, makin kusadari kami tidak sejalan. Aku ingin segera menyelesaikannya meski banyak cacat sana-sini, sang dosen ingin tulisan ini paripurna, paling tidak, tidak menyesatkan.
Aku paham, meski pening. Ingin segera kuakhiri ini, meski sampai kini aku masih termangu di hadapan laptop. Tersesat, aku malah membuka Tumblr dan menulis omong kosong di sana. Menengok kanan-kiri, sepertinya orang-orang sangat paham apa yang tengah dikerjakannya. Kadangkala aku merasa iri.
Meski aku tahu, hari-hari penuh kebingungan ini akan kutertawakan pada suatu hari di masa depan nanti, entah mengapa tidak membuat kecemasanku mengendur. Barangkali karena itu pula aku ingin meniadakan hari-hari ini dan ingin langsung melompat ke the day. Hari dimana aku dinyatakan lulus, selesai.
Masih seperti biasa, fstvlst atau the jansen bergantian mengisi ruang dengarku. Omong-omong, beberapa hari yang lalu album fenomenal the jansen, banal semakin binal, berhasil mendapatkan penghargaan album rock terbaik AMI 2023. Aku turut bangga dan merasa sedikit angkuh karena aku sudah membeli albumnya lebh dulu. sorry, bukan kaum fomo wkwk.
Dan kalau omong-omong soal fstvlst. Mereka lah dibalik alasan pikiranku yang langsung berloncatan ke akhir pekan. fstvlst manggung! Mungkin tiga pekan yang lalu, seseorang berkata padaku, 'padahal pengen dengerin Opus dinyanyiin' membuatku berpikir, iya juga. Selama ini aku menganggap Opus adalah anthem. Boleh juga kalau anthem itu dinyanyikan dengan komando langsung dari mas Farid. Dan barangkali kesempatan besok lah jawabannya.
Sudah tengah hari dan aku masih tercenung tanpa melakukan sesuatu yang berarti. Ada baiknya kuakhiri omong kosong ini dan kembali menjalani kenyataan. Tenggelam dalam berkas revisi, lagi dan lagi.
0 notes
untukhatiyangterluka · 8 months
Text
Beberapa hari yang lalu, ada seorang teman yang bertanya:
Apa rutinitas kecil yang membentuk kamu sampai sekarang?
Sebelum menjawabnya, gue tercenung lama. Lama sekali. Seketika gue merasa krisis identitas. Rutinitas? Yang membentuk gue sekarang? Emang gue yang sekarang kayak gimana?
Lama gak gue jawab, akhirnya gue jawab asal; minum air putih dan cuci tangan. Menurut gue itu rutinitas yang gak semua orang aware untuk ngelakuinnya, padahal penting. Tapi, jawaban itu gak menjawab pertanyaan kedua, membentuk gue jadi apa?
Orang yang jarang sakit? Tapi, pas lagi ngetik itu posisi gue lagi demam. Jadi orang yang bersihan (addicted thdp kebersihan)? Perasaan gak juga, ucap batin gue setelah melihat sekeliling kamar.
Karena gak puas sama jawabannya, gue akhirnya mikir lagi. Kali ini muncul jawabann yang--sepertinya lebih serius. Gue mengetik balasan lanjutan,
Eh iya, aku juga suka nulis diary.
Gue gak punya data apapun kecuali pengamatan terhadap orang-orang di sekitar gue, bahwa jarang atau sama sekali tidak ada dari mereka yang memiliki buku diary dan rutin menuliskannya. Sebab gue punya buku diary dan rutin nulis curhatan gue di sana, gue pun merasa bangga.
Nulis di buku diary itu otentik, menurut gue. Feel-nya gak bisa digantikan dengan nulis status, twit, blog, atau sekarang sekalipun waktu gue nulis tumblr.
Nulis diary fisik dengan tulisan tangan bikin gue hanya punya sedikit kesempatan untuk menghapus tulisan yang udah terlanjur diungkapkan. Gue banyak belajar kejujuran dari sana. Soalnya, gue kadang merasa untuk jujur sama diri sendiri aja takut.
Tapi, gue selalu bersyukur kalau mendapati diri gue lagi nulis diary. Itu berarti, sesulit, serapuh, seempet apapun gue sama keadaan hidup, gue masih baik-baik saja. Karena, setelah gue inget-inget, hari-hari yang hilang dari buku diary gue adl hari-hari yang beratnya subhanallah sampe gue gak sanggup lagi buat numpahinnya.
Biasanya gue baru akan muncul lagi di hadapan buku diary kalau situasi terlihat bisa dikendalikan. Dan, itu hal yang biasa kayaknya ya. Soalnya kak Izzi juga begitu:
Tumblr media
Sejak yang gue sadari, gue rutin menulis buku diary dari kelas 2 SD. Tepatnya sejak mulai lancar menulis.
Dari nulis diary itu bikin gue jadi suka nulis apapun, cerpen, trivia, dsb. Gue bilang suka ya, jadi belum tentu tulisan gue bagus dan enak dibaca. Suka nulis ini juga mungkin dipicu karena gue suka membaca. Lagi-lagi membaca apapun, cerpen, berita, laman, blog, gue juga suka baca forum kaskus.
Kalau diliat dari posisi gue hari ini, kegiatan gue di masa-masa itu semacam kayak manifesting (kalau kata orang sekarang). Siapa yang nyangka gue beneran jadi content writer? Baca thread di kaskus kan rutinan gue zaman dulu, trus sekarang gue kerja bikin content semacam itu juga. Wow🤯
Kalau dipikir-pikir emejing juga jalan hidup gue, yak. Siapa yang sangka juga mungkin di kemudian hari gue bisa jadi wartawan beneran? Ngejar-ngejar narasumber, ngelakuin door stop, atau kegiatan yang jurnalis banget lainnya?
Yah, semoga saja.
Balik lagi ke kegiatan tulis-menulis bisa membentuk gue sekarang. Gue bersyukur atas apapun yang datang dan juga yang pergi dari gue karena gue menulis. Kesempatan-kesempatan yang muncul dan juga yang hilang. Semua yang membentuk gue jadi gue yang detik ini lagi nulis tumblr, terima kasih.
Manusia biasa yang bercita-cita bisa bermanfaat buat orang banyak ini cuma mau bilang; semoga keberadaan gue ini bermakna ya.
(Banda Neira nemenin gue nulis ini, katanya:
Dan hari ini, takkan kau menangkan
Bila kau tak berani mempertaruhkan)
0 notes
untukhatiyangterluka · 9 months
Text
Nasihat yang Tidak Populer
Untuk adik-adik di sini yang sedang memantau takdirnya akan menikah dengan siapa dengan perasaan cemas dan gelisah :
Seburuk-buruknya kamu menilai dirimu sendiri, teruslah berdoa untuk bisa mendapatkan pasangan yang terbaik - yang sebaik baiknya, nggak usah tanggung-tanggung mintanya, benar-benar yang sebaik-baiknya.  Dan aku turut mendoakan, agar jika doa itu terkabul, kamu tidak memiliki perasaan tidak layak. Kamu layak! @kurniawangunadi
2K notes · View notes
untukhatiyangterluka · 11 months
Text
Gue belum menemukan penjelasannya, tapi kurang lebih begini:
Memilih menjadi pendukung timnas Indonesia kurang lebih sama dengan memilih untuk menjadi pesakitan. Hanya tinggal menunggu hukuman--terjebolnya gawang sendiri--terjadi. Gue gak merasa jadi orang yang termarjinalkan sebab terlampau pesimis, gue banyak menemukannya di sekitar gue. Entah lah, justru malah dari rasa pesimis itu mengundang kita untuk lagi-lagi menyaksikan sebelas orang berseragam garuda memainkan laga.
Rasa pesimis yang di pertandingan tadi perlahan-lahan coba dikikis oleh Marcelino lewat gocekan mautnya; Asnawi dengan intersep berkelasnya, Ernando yang melenting cantik menepis bola, atau si ini dan itu dengan peran briliannya.
Namun demikian, sebagai pesakitan sejati, mengingat rekam jejak mendukung timnas Indonesia (yang seringnya berujung getir), gue betul-betul menunggu; di menit ke berapa Argentina akhirnya berhasil jebol gawang Ernando.
Karena di luar prediksi, Indonesia ternyata cukup kuat menahan serangan yang dilancarkan reserve team Argentina ini. Bahkan beberapa malah balik membahayakan gawang Emi Martinez.
Dan, pada akhirnya, di detik 'tendangan torpedo' Paredes mengoyak jaring Nando, gue langsung mengucap 'alhamdulillah'. Ucapan syukur yang keluar serta merta tanpa tedeng aling-aling. Satu hal yang gue rasakan, yaitu lega.
Sebagian diri gue yang lain--yang lebih waras--sih menyebut itu tandanya gue percaya proses. Gue menolak Indonesia tiba-tiba jago dan bisa mengandaskan tim kelas dunia kayak Argentina. Terlalu hil yang mustahal untuk dapat diterima di otak gue.
Jadilah malam ini sepertinya akan menjadi malam dimana timnas Indonesia kalah, tapi gue bahagia. Kalau begitu, terima kasih ya boys!
0 notes
Text
Entah gue harus menyesal berapa kali karena baru menyadari Verdure semagis itu. Ambiance yang dibangun Trees and Wild bikin gue kelimpungan mencerna ini semua. Saat Verdure dimainkan gue cuma mau diem dan berserah. Go waste your time with those heart. Trees and Wild gila! 
0 notes
Text
Arah Langkah
Menjelang akhir 2022 itu sama artinya dengan akhir masa baktiku yang kian jelang pula. Mencoba mengintip masa depan, hampir pasti tahun ini akan menjadi tahun terakhirku di LPM Kentingan setelah tiga tahun lebih merajut peristiwa di sana. Tahun depan, mungkin sisa doaku saja yang bisa membersamai awak-awak Kentingan. 
Ditemani lagu "Rumah" yang bergema di ruang dengarku, Fiersa Besari menghentakku dengan 'sejauh apapun kita, hatiku di sebelahmu'. Bersama tulisan ini, semoga dapat menjadi legitimasi bahwa hatiku tidak kemana-mana meski kelak ragaku sudah jauh melalang buana. Tulisan yang kuberi judul 'Arah Langkah' ini, kuharap dapat menjadi tulisan berharga untuk teman-teman yang masih berjibaku di gelanggang pers mahasiswa, khususnya Kentingan.
Bahwa ingin sekali kuberi tahu padamu, kawan. Siapapun dirimu yang dengan gagah menerima amanah sebagai kapten LPM Kentingan, aku hanyalah pendahulumu. Aku tidak lebih tahu darimu, pun aku tidak lebih paham lagi pandai darimu. Aku hanya lebih dahulu merasakan tampuk kepemimpinan itu. Jadi, semoga jangan sampai kamu dihantui oleh bayang-bayangku. Lembaga ini kedepannya akan melangkah sesuai dengan instruksi dan strategimu. Hanya satu hal yang kuingin untuk kamu ingat selalu, "nilai LPM Kentingan harus tetap sama, siapapun yang menggawanginya."
Sebelum melangkah semakin jauh. Saat nanti hari pertamamu tiba, harapku kamu tidak perlu bingung. Rasa berkecamuk mungkin hadir di benakmu, tapi sungguh yang perlu dirimu lakukan pertama kali hanyalah memastikan bahwa kamu sudah mencintai lembaga ini dengan penuh seluruh. Dan menggiring kawan-kawanmu untuk melakukan hal yang sama pula. Itu saja dulu. Demikianlah, kerja-kerja jurnalisme memang perlu dilakukan dengan dedikasi. 
Bekerja (dan bermain) di sebuah lembaga pers, lebih-lebih pers mahasiswa, tidak akan membawamu pada popularitas. Meski sama-sama membawa misi pergerakan dan pencerdasan, sungguh aku berani bertaruh, dirimu dan rekan tidak akan sementereng aktivis seberang jalan. Sudah tidak terkenal, tidak menguntungkan secara material pula. Lantas apa yang lebih tabah dari jalan takwa seorang pers mahasiswa? 
Tapi, dirimu tidak perlu khawatir. Langkah seorang jurnalis, mengimani perkataan Jarar Siahaan, adalah menjalankan fungsi kenabian; membidani sejarah, menyebarkan kebajikan, membela kebenaran, memperjuangkan keadilan, membongkar kejahatan, dan mencerahkan pikiran. MaashaAllah, tidak kalah mulia dari mereka yang selalu menyelipkan ‘hidup rakyat’ disetiap salamnya. Yakinlah.
Meski dalam perjalanannya mungkin dirimu akan lebih banyak bergumul dalam lorong-lorong gelap dan sepi, menekuri paragraf demi paragraf lebih lama dibanding menggenggam megafon, atau lebih sering menghabiskan gelas-gelas kopi di sela diskusi panjangmu. Tapi, toh hal-hal demikian tetap kudus. Pada waktunya, tetap akan membawa pada cita-cita kebermanfaatan untuk rakyat. Rakyat yang mana? tentu bukan rakyat yang mencari keuntungan dari jari-jari penguasa.
Kembali berbicara soal nilai, akan lebih bijak kalau kita berangkat dari akar sejarah lembaga ini. Kawan, kakak-kakak kita dahulu melahirkan LPM Kentingan disela lingkaran-lingkaran diskusi mereka yang memimpikan hidup lepas dari rezim otoritarian dan kemudian, bersama waktu, LPM Kentingan bertumbuh menjadi pers mahasiswa berfalsafah pergerakan. Dari dibredel sampai ditinggal awaknya, semua sudah pernah lembaga ini hadapi. Soal falsafah tersebut tetap kafah dipegang awak-awaknya atau tidak itu lain cerita, terpenting kan LPM Kentingan berhasil meningkahi zaman hingga tetap ada sampai hari ini. Dan (semoga) sampai selamalamanya. 
Alasan dirimu dan kawan-kawan berada di lembaga ini aku tidak tahu dan tidak mau tahu tersebab jawabannya pasti sangat spiritual. Namun, kelak langkah persma ini hanya kalian yang bisa tentukan arahnya. Pergerakan persma yang progresif akan menjadi hil yang mustahal apabila awaknya memilih gak dulu saat ditawari liputan.
Sebab aku membaca catatan Soe Hok Gie tertanggal 13 Januari 1966, “Jika mahasiswa mundur dalam pergulatan sekarang, maka akan kalah untuk selama-lamanya.” Catatan itu rasa-rasanya perlu kita ilhami betul-betul. Pergulatan yang dimaksudkan boleh jadi berbeda setiap zaman, tetapi seadaadanya makna ‘pergulatan’ itu akan terus ada sampai kapanpun. Sehingga itu sama artinya dengan gerakan mahasiswa yang harus tetap ada, pun di dalamnya termasuk pers mahasiswa.
Terakhir, banyak-banyaklah membaca buku. Tetapi, kehidupan tidak hanya dalam lembaran-lembaran kertas. Jadi, banyak-banyaklah juga membaca realitas. Sebab, lembaran-lembaran kertas bisa menjadi senjata kita untuk melawan lupa, sedangkan realitas akan selalu menampar kita untuk tidak lupa melawan. Tabik!
0 notes
Text
Lagu yang lagi sering berputar di kepala gue akhir-akhir ini adalah Lihatlah Lebih Dekat-nya Sherina. Mungkin karena Sherina dan Saddam bakal memulai petualangannya lagi, jadi lagu itu rame lagi. Well, sebenernya bukan filmnya yang mau gue bahas, tapi ya lagunya itu.
"Lihat segalanya lebih dekat, dan kau akan mengerti"
Ya, mungkin selama ini gue emang punya persepsi tertentu soal suatu hal. Persepsi yang terbangun karena gue mengonsumsi bahan tanpa gue kunyah (atau ngunyahnya asal-asalan). Persepsi yang bikin gue punya impresi dan jatohnya sentimen.
Hal-hal yang seharunya coba gue lihat lebih dekat!
Dengan melihat lebih dekat, mungkin gue bisa benar dan besar kemungkinan juga gue salah. Tapi, kata Sherina juga, dengan melihat lebih dekat, kita bisa lebih bijaksana.
Bijaksana, sebuah kata yang bijaksana. Bukan bijaksini atau bijaksitu. Sebuah kondisi yang gak serta merta mengharuskan gue satu muara (karena dari landasan berpikir saja mungkin sudah beda), tapi akhirnya gue jadi tahu. Gue paham. Dan pada titik tertentu gue jadi menghargai.
Senang untuk kesempatan melihat lebih dekatnya, orang-orang keren yang kemarin gue temui.
0 notes
Text
Gue cuma malu untuk nyebut diri gue adalah penyuka buku (lagi). Udah lama bgt gue ga memaksakan diri untuk tekun membaca. Kalau mau menyesal, ya sekarang ini waktunya. Tapi, gue bertekad, sesal itu tidak datang lagi di hari kemudian. Cukup sekarang gue merasa jauh tertinggal, dan mulai sekarang juga gue akan mulai untuk mengejar. Mengejar bayangan diri gue yang udah sampai duluan di depan sana.
0 notes
Text
Entah gimana, gue selalu luluh setiap dengerin mas nanda dan mba rara nyanyi. Berasa gue ga perlu orang lain lagi. Gue tau ini sombong. Tapi, di satu sisi gue berasa bisa memeluk diri gue sendiri dengan erat dan amat rekat, dan dengan begitu justru gue merasa bebas. Gue menyayangi diri gue, lagi dan lagi. Tambah dan terus bertambah. Bahkan waktu lagi nulis ini, lagu-lagu mereka lagi muter di ruang musik gue. Gue gatau ini nulis apaan, ngaco banget. Yang gue tau, gue mau bilang ke diri gue; kalau hari lu lagi buruk, jangan segan puter Banda Neira. Lu tau sendiri gimana efeknya.
0 notes
Text
Gue bukan orang yang mudah untuk insecure. Dulu, di SMA, gue seperti dibuatkan dunia sendiri dan membentengi gue dari yang namanya insecure. Gue selalu jadi andalan guru untuk beberapa bidang, terutama menulis. Gue emang show off kalo gue bisa nulis dan untungnya waktu itu gue masih bisa nulis. 
Barusan banget, gue lagi scroll instagram dan sekonyong-konyong gue nemu akun anak arsitektur 19. Dia suka nulis, udah menghasilkan beberapa buku. Waktu gue baca sekilas di caption postingannya, diri gue memberontak. Di situ gue sadar, gue insecure. Dia, mbak itu, tulisannya bukan main bagusnya. Sederhana, tipikal tulisan yang gue suka. Maksudnya jelas dan setiap katanya punya maksud. Bukan tulisan basa-basi. 
Tulisan gue, dulu, juga gitu. Gue bukan tipikal penulis yang bisa basa-basi dengan menumpahkan kata-kata yang minim arti. Kata orang, gue spesialis cerpen. Tapi, di suatu waktu gue pengen banget bisa nulis novel. Udah gue coba dan masih stuck sampai sekarang. Bisa jadi itu salah satu yang bikin gue ga bisa nulis lagi sekarang. Gue menulis udah bukan buat diri gue lagi, gue menulis by request. 
Nulis itu punya arti melegakan rasa buat gue. Menulis itu menyuarakan keresahan. Gue terbiasa nulis sejak kecil banget, awalnya ditembok terus dibelikan buku diary dan secara rutin gue selalu menuliskan hari-hari gue di sana. Kebiasaan itu berlanjut sampai gue besar, setiap tahun, paling tidak gue punya satu buku khusus untuk menumpahkan gelap terang dunia gue. 
Tapi sayang, gue sekarang udah ngerasa gabisa nulis lagi. Gue ngerasa hati gue udah keras untuk memaknai banyak hal di sekitar gue. Padahal ya dulu cerita gue ga jauh-jauh dari kehidupan sehari-hari. Menunjukkan seberapa pekanya gue terhadap sekitar, walau dengan diam saja. Sekarang, untuk bisa merasakan apa yang saat ini gue rasakan aja kacau balau. Kosa kata gue menurun drastis seiring gue udah jarang baca buku. Kadang, gue merasa jauh banget sama mimpi untuk menerbitkan buku, apalagi ngeliat sekitar gue yang ternyata jago-jago nulisnya. Gak kayak di SMA, dunia gue pas di SMA itu udah usang. Dunia yang gue menjadi porosnya itu udah kehilangan relevansinya sekarang. Gue ada di dunia baru dan celakanya gue gak terlalu siap untuk itu. Hingga akhirnya gue terjatuh dalam insecure. in. se. cu. re. perasaan gak aman. Gue gak aman karena ngerasa gue udah bukan poros utama. 
Apa yang harus gue lakukan? Gue juga masih bertanya-tanya. Kadang kepikiran untuk meninggalkan dunia tulis menulis ini. Membangun dunia gue yang lain. Menjadikannya sekadar saja tanpa harus membesar-besarkannya. Tapi, suatu kali gue pernah baca tulisan lama gue dan gue nangis. Gue hampir gak nyangka gue di masa lalu bisa nulis begitu. Tulisan-tulisan yang menjadi tanda berprosesnya gue, yang selalu gue syukuri keberadaannya. Tulisan-tulisan yang sayangnya udah gagap untuk gue rasakan dan gue ulang lagi.
Tapi, syukurlah perasaan insecure ini akhirnya menyadarkan gue untuk gak diam saja. Untuk mulai kembali berkarya dan mengabdikan diri gue pada orang banyak. Diri gue yang dulu gak peduli dengan narasi-narasi berbau psikologi dan mental, padahal itu cuma alibi buat egois dan hilang empati. Gue yang dulu selalu mendahulukan orang lain di atas diri gue sendiri, senang membantu dan mengasah perasaan. Diri gue yang seperti itu yang sebenar-benarnya diri gue. Sosok yang bahkan gue sendiri bingung hilangnya kemana. Diri gue yang seperti itu yang gue kenal dan gue senang dengan dia. Gue ga peduli dikata gak edgy karena gak sok paling desperate dengan pamer-pamer sok problematik, kayak kebanyakan orang jaman sekarang. Dikata nyebarin toxic positivity lah, gue ga peduli anjir. Gue bahagia dengan jadi orang yang lembut hatinya dan selalu berpikir positif. 
Mungkin sekarang waktunya buat gue mengembalikan dia. Gimana caranya? mungkin bisa diawali dengan mengembalikan kesadaran; gausah terlalu mengikuti apa yang orang lain sangkakan.  :)
0 notes
Text
Gue lahir dan besar di sebuah kabupaten kecil di selatan Jawa. Orang-orang mengenalnya dengan nama Banyumas. Salah satu daerah panginyongan yang khas dengan mendoannya. Tapi sebenarnya gue ga punya darah panginyongan sama sekali. Bisa dibilang, cinta gue untuk tanah ini bukan cinta turunan. Tapi, berkat menemukan. Well, cinta memang menemukan, kan?
Soal sepak bola, gue lebih dulu kenal dengan klub nun jauh di sana. Di ibukota yang megah, Jakarta. Jakarta itu kasih sayang, kata Sapardi. Maka gue rasa benar kalau gue menambatkan cinta di sana. Sejak yang tidak tahu persisnya, gue mencintai Persija. 
Semakin sini, gue makin sadar, cinta itu pilihan. Gue bisa terus mencintai Persija karena gue memilih untuk itu. Pun kalau andaikata gue ga cinta lagi sama Persija, percayalah itu seharusnya sebuah pilihan yang sadar. 
Tapi, soal Persibas Banyumas. Gue sama sekali gak terpapar oleh tim lokal Bayumas itu. Hingga pada akhirnya gue memilih melalang buana dan mendarat di Jakarta. Katanya, Jakarta milik semua, membuat gue percaya diri untuk ikut melantangkan ‘Jaya Raya’. 
Seperti pemuda labil pada umumnya, gue pun pernah mengalami fase krisis identitas. Gue bingung kemana sebenarnya hati gue harus ditambatkan. Beberapa kali gue terserang belenggu rasa bersalah karena tidak mendukung Persibas, tim lokal gue. Kemudian, darah gue yang dialiri dua daerah pembesar Jawa Tengah, Solo dan Semarang, membuat gue tergerak untuk mengulik Persis dan PSIS. Cerita lama dan sejarah panjang keduanya, bergantian masuk ke telinga melalui tuturan saudara dan para orang tua. Dan, gak sampai di situ, gue yang jatuh cinta pada pandang pertama terhadap Jogja membawa gue mengenal PSS Sleman. Gue jadi gamang
Gue sadar sama sekali bahwa mencinta itu pilihan. Celakanya, gue gak tahu harus memilih apa. 
Gue gak tahu sejak kapan persisnya sepak bola jadi hal serius untuk hidup gue. Bisa menjadi latar belakang dari tiap tindakan yang ingin gue lakukan. Menentukan tempat kuliah, misalkan. Atau topik skripsi. Ah, sebenarnya gue gak pintar-pintar amat berbicara sepak bola. Gue yang cintanya pada bola hanya berawal dari terbawa atmosfir dalam pertandingan, gak tahu harus bersikap apa waktu dihadapkan persoalan ini.
Yang gue tahu, semua klub itu memberikan atmosfir yang sama meriah dan megahnya di benak gue. Gue gabisa disuruh milih berdasarkan klub yang memiliki pemain termahal atau terbaik. Atau klub yang memiliki pelatih dengan formasi terjitu. 
Hmm well, mencintai itu pilihan
0 notes
Text
Baik
Sebaikbaiknya nasihat adalah kematian. itu betul.
21 tahun yang lalu, bapak-ibuku datang merantau ke kota ini hanya bermodalkan keyakinan pada Gusti Allah dan sebuah undangan pekerjaan dari seorang teman. 21 tahun kemudian, orang baik itu dipanggil Allah untuk menghadap-Nya. 
Banyak kata ‘baik’ yang bertebaran dari sebuah narasi sedih ini. Bukan berarti ini berita baik. Tapi, betul lah kata orang, kematian yang indah adalah yang meninggalkan kesan baik bagi yang ditinggalkan.
Semoga tenang, Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. 
0 notes
Text
Asing
Hari ini hari ke-6 gue di rumah karantina covid. Kirain di hari ke-6 ini gue udah biasa aja, ternyata malah makin kalut(?). Gue masih gabisa ngilangin perasaan asing pas ada di sini. Huhuhu gue kangen rumah berat. Gue gamau ada di sini)): gue pengen pulang.
Hahaha kayak kekanak-kanakan banget ya gue. ah bodo amat intinya gue pengen pulang. masih ada 4 hari lagi di sini, semoga seperti biasa, hari berjalan cepat :D
0 notes