vanfikry
vanfikry
coffee time
349 posts
Aku hanyalah seorang yang masih terus akan mencari jati diri sendiri
Don't wanna be here? Send us removal request.
vanfikry · 4 years ago
Text
“Akhirnya,, Ketenangan itu bukan datang dari manusia.”
6 notes · View notes
vanfikry · 4 years ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Marhaban Ya Ramadhan, Semoga kali ini kita bisa jauuh lebih baik.
Sedikit wallpaper buatmu untuk memulai hari yang baru. Semangat ya, kita berjuang sama-sama!
1K notes · View notes
vanfikry · 5 years ago
Text
Shalat itu bagian penting dalam hidup kita. Tapi, sepertinya kita tidak benar-benar menganggapnya penting(?)
Ceritanya lagi merasa malu.
Hari-hari dipenuhi jadwal pertemuan daring yang menunggu, tapi ketika ditanya kapan jadwal shalat, malah ragu dan menjawab dengan gagu.
Lucu bukan? Ketika jadwal pertemuan tersusun rapi dalam to do list harian yang padat, kita malah membiarkan aplikasi atau muadzin yang mengingatkan kalau sudah masuk waktunya shalat.
Bukannya itu harusnya jadi perhatian kita setiap harinya?
Dan makin lucunya lagi, sebagian kita tak benar-benar tersadarkan kala panggilan shalat dikumandangkan. Jangankan tergerak untuk menghentikan urusan, menjawab setiap panggilannya pun seperti tidak kita acuhkan.
Maka, apa sebenarnya yang paling penting dalam hidup kita ya? Ketika ternyata shalat pun masih luput mendapat perhatian kita sepenuhnya. Padahal, shalat lah yang menjadi momentum kita untuk mengadukan segala apa yang kita rasa.
Shalat adalah bagian ibadah yang menjadi bekal kita.
Semoga kita selalu mengingat, di dunia ini yang berharga adalah ibadah kita. Yang kita khawatirkan, yang kita perjuangkan, yang kita takutkan, dan segala apapun yang kita hadapi di dunia ini ada di dalam kuasaNya, 
dan ketika shalat, kita sedang menghadapNya.
458 notes · View notes
vanfikry · 5 years ago
Text
Tumblr media
Ini tentang apapun yang tiba-tiba muncul di pikiranmu begitu kamu membaca tulisan ini.
Waktu terbaik adalah waktu yang tepat. Bukan waktu yang terburu atau waktu yang terlambat.
Waktu yang tepat berarti kamu telah siap karena menyiapkan dan tidak menyesal karena gegabah dalam memutuskan.
Dan kamu tak akan pernah sampai pada waktu yang tepat mana kala kamu hanya menunggu tanpa bersiap apa-apa.
Karena waktu yang tepat adalah titik temu antara rencana yang terukur dan realitas yang mujur.
Apapun masalahmu dan apapun yang sedang kamu usahakan, semoga Allah memberkahimu. Semangat, ya!
© Taufik Aulia 2020
3K notes · View notes
vanfikry · 5 years ago
Text
Terampil Menghabiskan Uang
Ngaku deh, dikasih uang berapapun, pasti habis kan? Bedanya, ada yang habis untuk menyenangkan hati orang tua, habis untuk sedekah, habis menjadi lembar saham, habis menjadi ilmu, habis menjadi buku-yang-tak-dibaca, habis menjadi pakaian mode terbaru, atau malah habis untuk boba –yang ujung-ujungnya cuma dibuang ke toilet.
Betul, uang bukan segalanya, tapi ya gabisa tutup mata, hidup butuh uang.
Betul, uang pasti habis, tapi habisnya buat apa, kita kok yang menentukan. #preach wkwkwkw.
Ini perkara serius ternyata, banyak perceraian terjadi karena faktor ekonomi, entah manajemen keuangan atau manajemen syukurnya yang kurang bagus (naudzubillah).
Lalu coba tengok apa kata Dirjen Penyedia Perumahaan, ia bilang milenial sulit memiliki rumah. Faktornya banyak, salah satunya karena milenial konsumtif :’) gue walau ga setuju-setuju amat, sedikit banyak tetap ngangguk membenarkan, karena emang ada di antara generasiku yang gaya idupnya ga sesuai kantong.
Oke, milenial yang beneran tajir banyak, sayangnya yang maksain-diri lebih banyak lagi. Pada generasi ini, ada fenomena FOMO (fear of missing out) yang semakin menyulitkan untuk hidup on budget, alokasi pendanaan lebih banyak berorientasi pada want, bukan need, seremnya lagi ada aja yang bela-belain ngutang demi konten. Etapi ga semuanya gitu kok, sebab pada generasi ini juga ada fenomena sandwich generation di mana dia harus menanggung tak hanya anak istri tapi juga keluarga besarnya, moga Allah berkahi.
(Ini paragraph intermezzo, tetiba keinget di tengah proses nulis, agak panjang jadi mangga di-skip).
Ngemeng-ngemeng soal rumah, gue takjub melihat bagaimana Allah mampukan orang-orang untuk punya rumah. Setelah ku liat-liat, nampaknya ini bukan soal gede-gedean penghasilan, tapi emang soal ikhtiar pake cara yang Allah suka. Beneran deh.. Ustadz tahsinku suatu ketika pernah ngomong begini ke kami di sesi taujih “kalo ngandelin gaji, duh berapa sih gaji guru ngaji, tapi kita ga ngandelin gaji, kita andelin Allah. Dan alhamdulillah, kalo dipikir-pikir, saya juga ga nyangka bisa punya rumah” beuh… magis! :’)
Lalu ada lagi, seorang kakak (yeu, ngaku-ngaku aje lu yan), pengusaha Brand Fashion Arfa, Mbak Syifa namanya. Dia santai aja tuh pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain selama bertahun-tahun, ga maksakeun. Tahun lalu Mbak Syifa dan suami melaksanakan ibadah haji (ya udah pasti ONH plus lah yak biar antre-nya ga selelet reguler, dan sudah tentu berkali lipat biayanya dibanding haji reguler). Katanya, soalnya Allah ga memerintahkan kita ‘punya’ rumah, tapi kalo haji jelas-jelas jadi rukunnya islam. Takjub sih gue, sungguh ini mindset mahal cui, karena zuzur kalo gue di posisinya belom tentu sanggup memenangkan haji dibanding ego ingin-segera-punya-rumah wkwk. And guess what? Tahun ini Allah mampukan Mbak Syif beli rumah bekas, cash! mencoba menghindari riba katanya :’)
Berkah. Kita cari berkah. Saldo banyak kalo ga ada ridho Allah, ya bakal abis ga jelas juntrungannya. Receh, jika Allah berkahi, akan panjang manfaatnya.
Well, gue bukan pakar keuangan haha, makanya karena bodoh soal alokasi duit, gue cari tau lah pegimane idealnya manajemen keuangan. Ada banyak banget metodenya, macemnya juga banyak, ada yang buat single, pasutri, keluarga dengan anak, silakan digali sendiri, sebab hari ini ga mau ngomongin teknis (ga bisa juga sih wkwk ga kredibel).
Gue nemu ulasan singkat ini dari salah satu bukunya Ust. Salim Fillah yang (menurut gue sih) harus-banget dijadiin mindset perihal menghabiskan uang. Yok lihat contohnya langsung dari sosok yang harus kita cinta melebihi kecintaan pada diri sendiri, sosok yang telah Allah jadikan pada dirinya suri tauladan terbaik: Rasulullah Muhammad saw.
Sudah jadi rahasia umum kalo gaya hidup Rasulullah sederhana. Rumahnya sederhana, perkakas perabot di dalamnya juga sederhana –dan minimalis: kalo ga fungsional, ga akan ada di dalam rumah Rasul. Gaya hidup minimalis ala Marie Kondo sudah Rasulullah contohkan 1400 tahun lalu :’)
Apa-apa yang menempel di tubuhnya seperti pakaian dan sandal, sederhana jugak, jika sobek maka Rasulullah akan menjahitnya sendiri. Apakah penampilan Rasulullah terlihat seperti gembel? Oh tentu tidak, cek saja di berbagai riwayat shahih, Rasulullah ganteng, eh, maksudnya rapi. Tetap nikmat dipandang dalam kesederhanaannya. Also, he had a good taste, beliau suka memakai baju dari kain hibarah. Rasulullah pandai merawat dirinya, ia sering menyisir dan minta disisirkan oleh Aisyah. Salah, salah banget kalo ukhti-sistur mentang-mentang gamau tabarruj lantas asal berpakaian, apalagi kalo ditambah (maaf) bau. Baiknya nda begitu ya, sebab setiap kita adalah human representative-nya islam :’) kata umiku, berpenampilan baik itu salah satu cara kita menghormati diri sendiri. Santai, gak harus pake maxi dress Zara, outer Gucci, kerudung Dian Pelangi, lengkap dengan kets Nike –GAK WOY, GAK GITU WKWK ngausah menghamba pada merk.
Makanan, berkali-kali kita dengar Rasulullah hanya sahur dengan kurma dan air zam-zam. Rasulullah menyukai paha kambing, tapi jangan lupa juga bahwa Rasulullah jauh lebih sering memakan sya’ir yakni gandum dengan mutu rendah, tapi cukup gizi. See? Urusan perut, sederhanakan saja, yang penting gizinya terjaga. Ga perlu keju tiap hari, negeri kita kaya akan ikan teri Bung, sumber protein dan kalsium yang affordable.
Sekarang, mari cek fasilitas yang beliau gunakan untuk memudahkan ibadah (dalam hal ini dakwah dan jihadnya). Kendaraan, rasulullah punya unta putih yang tangkas, gesit, sehat! Kuda beliau juga merupakan yang tercepat, saking cepatnya, suatu ketika ada kegaduhan di pinggir kota, tim ronda hendak memeriksa namun Rasulullah sudah kembali dengan kudanya sambil berkata “tenanglah kalian, tidak ada apa-apa” ulala bole juga tu kuda. Pedang Rasulullah, jangan ragukan kualitas logamnya, ditempa sedemikian rupa, tajam bukan buatan, bahkan ada yang bilang beberapa kilogram emas dibutuhkan untuk melapisi dan menciptakan efek kilat saat tertimpa matahari (berguna untuk memberi kode dan aba-aba kepada pasukan di kejauhan). Apakah unta, kuda, sampai pedang Rasulullah tadi adalah sesuatu yang murah? Tentu tidak, Puan Muda.
Jadi, sudah bisa simpulkan bagaimana Rasulullah menghabiskan uangnya?
Beliau alihkan materi jadi fasilitas yang memudahkan ibadah, dakwah dan jihadnya. Beliau alihkan jadi hal yang menitikberatkan kualitas.
Aih, menjadi mukmin ternyata mahal ya? Hitung saja berapa biaya les renang, berkuda, dan memanah. Tambah lagi biaya sekolah sampai doktor, les Bahasa, privat mengemudi, seminar ini-itu, ikut course programing atau menjajal kemampuan desain (beli gadget spek bagus, beli aplikasi yang ori 😂), atau bahkan kursus jahit dan masak (bila memang ga ada SDM yang bisa, sedangkan kemampuan tersebut sudah diperlukan dakwah sampai tahap urgent, sikat lah, investasikan waktu dan uang untuk skill tersebut).
Benar ternyata, jadi mukmin harus kaya cui 😂 (mari saling doakan? wkwk), dan jangan sampai tertukar: letakkan dunia di tangan, sedang akhirat di hati.
557 notes · View notes
vanfikry · 5 years ago
Text
Pada akhirnya, sekalipun telah berusaha, menghindari berbagai macam kemungkinan buruk, memaksimalkan sesuatu supaya tak menjadi gagal, kita tetap tak akan pernah selamanya benar.
Tak ada yang mustahil bagi Allah, apalagi menjatuhkan kita yang begitu sombong dan lemah.
Kita adalah makhluk yang diciptakan oleh-Nya, bukan penguasa-Nya. Kecewa adalah hal yang lumrah terjadi pada manusia.
Maka, janganlah terlalu fokus kepada apa yang berada di luar kendali kita. Tak perlu berharap kesempurnaan dan meninggikan ekspektasi.
Cukuplah berusaha yang terbaik dan berharap bahwa hanya Allah sebagai penolong kita.
_____ Dalam rinai hujan yang tak kunjung reda
Malang, 3 Maret 2020. @shafiranoorlatifah
632 notes · View notes
vanfikry · 5 years ago
Text
Kadang orang tidak perlu tahu bahwa kita sedang hancur. Karena mereka tidak peduli.
83 notes · View notes
vanfikry · 5 years ago
Text
Uang itu adalah rizki, tapi rizki tidak hanya uang. Kesehatan, kesempatan berbuat baik, anak yang sholih dan sholihah itu pun juga rizki. Jadi orang mukmin tu selalu punya alasan buat bersyukur
Seperti dalam sebuah hadits riwayat muslim
عَجَباً لأمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لأِحَدٍ إِلاَّ للْمُؤْمِن: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خيْراً لَهُ
Bahwa setiap muslim selalu bersyukur jika mendapat kebaikan dan bersabar jika mendapat keburukan. Selalu mengingat akhirat dalam setiap langkahnya dan juga tidak lupa dengan bagian nya di dunia.
Tidak hanya beribadah terus menerus tapi juga berikhtiar mencari rizki di dunia nya. Juga tidak melulu mencaru rizki terus sampai melupakan akhiratnya. Seperti burung yang ketika pagi keluar mencari makan dan kembali sorenya dalam keadaan kenyang dan dapat membawakan untuk anaknya. Seperti itulah manusia. Tawakkal dan ikhtiar harus berimbang biar tidak fokus ke satu hal saja.
Notes from kajian ahad pagi
1 note · View note
vanfikry · 5 years ago
Text
Kita lari dari masalah bisa aja. Tp kita nggak akan semakin bertumbuh jika hanya lari. Hadapi!!! supaya kita tak lagi takut dengan masalah yang sama
48 notes · View notes
vanfikry · 5 years ago
Text
Dapet di wa, tanpa saya tau siapa penulisnya.
●Bolu Pisang dan Es Krim ●
"Ma, kakak ranking satu, mana janji mama mau beliin es krim," rengek Dika putra sulungku. Sejak pulang sekolah ia selalu saja menagih janjiku. Mana kutahu bila si sulung yang baru kelas dua SD akan meraih ranking satu, pikirku saat berjanji paling dia hanya akan masuk sepuluh besar saja seperti biasa.
"Sabar ya, Nak, tunggu ibu gajian tanggal satu," janjiku, padahal aku pun tahu tanggal satu nanti upah menjadi buruh cuci separuhnya akan habis menyicil hutang pengobatan ketika almarhum suami sakit dulu.
Dika cemberut. Aku tahu dia kecewa. Tak banyak pinta anak ini sebenarnya, hanya sebuah es krim ketika ia ranking satu. Tapi bagiku itu barang mahal.
Ah seandainya saja Dika ranking dua atau tak usahlah ranking sekalian, ia pasti tak sekecewa ini.
Keterpurukan hidupku bermulai ketika suami yang tiap hari bekerja sebagai buruh bangunan kecelakaan dan lumpuh. Tiap Minggu harus bolak balik kontrol ke rumah sakit, walau pakai BPJS namun kerepotan ini tetap membutuhkan biaya hingga hutang pun menumpuk.
Ketika suami akhirnya pergi selamanya, hutang-piutang pun berdatangan meminta haknya untuk dilunasi.
Aku pasrah. Memohon kepada si pemberi hutang agar memberi kelonggaran dengan mencicil.
Bukan tak mau bekerja lebih giat lagi, namun selain Dika, aku memiliki Anita putri bungsuku yang masih berusia dua tahun. Tak semua orang mau menerima pekerja rumah tangga yang membawa balita.
Sejak itu aku melakukan kerja apapun, mulai dari buruh cuci, hingga upahan membuat kue. Kebetulan kata orang-orang bolu pisang buatanku enak.
(Mbak, bisa buatin bolu pisang?) Sebuah pesan masuk.
Aku bersorak. Alhamdulillah tak sia-sia mengisi pulsa data beberapa hari yang lalu dan mengaktifkan WA ku. Ada pesanan masuk.
(Bisa Mbak, mau berapa loyang?)
(2 loyang, ngambilnya habis Zuhur bisa?)
(Bisa Mbak.) Aku menyanggupi.
(Tapi bolu pisangnya jangan pakai gula ya, biar manisnya ngambil dari pisangnya saja. Anakku alergi gula.)
(Siap, Mbak. Otw dibuat.)
(Berapa harganya?)
(50.000 Mbak.)
(40.000 saja ya, kan gak pakai gula.)
Aku menelan ludah. Ya Tuhan, padahal dalam tiap loyangnya aku hanya mengambil untung 20.000.
(Ya sudah karena Mbak ngambil dua, aku kasih.)
(Oke, tapi aku gak bisa ngambil ke rumah ya, Mbak. Aku mau pergi liburan, jadi jam 1 aku tunggu di depan SMP yang ada di simpang itu.)
(Oke siap.)
Aku segera gerak cepat menyiapkan semua bahan dan mulai bekerja. Baru jam sembilan berarti masih banyak waktu luang. Kebetulan ada pisang Ambon yang belum terpakai jadi gak perlu beli ke pasar.
Alhamdulillah aku bisa mendapat untung dua puluh ribu dari penjualan dua loyang bolu pisang.
Sepuluh ribunya bisa buat beli es krim harga lima ribu untuk si sulung dan bungsu dan sisanya untuk tambahan belanja besok.
Setelah sholat Zuhur, jam 12.30 aku segera berangkat menuju tempat yang dijanjikan. Si sulung mengekor langkahku dengan riang karena terbayang es krim yang bakal didapat. Si bungsu sedang tidur siang jadi kugendong saja.
Tempat janjian kami cukup jauh sekitar setengah kilometer dari rumah. Walau tengah hari dan terik matahari tengah garang menyerang, aku tetap semangat, demi 20.000.
Jam satu kurang lima menit kami telah tiba di tempat janjian. Mungkin sebentar lagi yang memesan akan datang.
Sepuluh menit, dua puluh menit hingga tiga puluh menit berlalu namun tak kunjung ada tanda bila si pemesan akan datang.
Beberapa pesan telah kukirim sejak tadi namun hanya terkirim dan belum dibaca.
Aku menelpon berkali-kali pun tak kunjung diangkat. Sudah hampir satu jam menanti.
Si sulung telah lelah dan merengek sementara si bungsu telah bangun dan ikut meraung karena kepanasan.
Ting! Sebuah pesan masuk. Hatiku bersorak, dari si pemesan kue.
(Ya Allah Mbak, maaf ya aku lupa. Ini suami berubah pikiran, awalnya dia bilang berangkat habis Zuhur eh tahunya jam sepuluh udah mau buru-buru. Jadi gak sempat kasih kabar. Mbak, jual bolunya sama orang lain saja ya, aku udah otw ke kampung.)
Aku langsung terduduk lemas. Ya Allah, ya Allah, ya Allah. Apalagi ini? Aku tak meminta banyak ya Allah, hanya es krim saja.
Peluhku yang sudah sejak tadi mengucur, kini bercampur dengan air mata.
Siapa yang ingin membeli bolu pisang tanpa gula dengan rasa manis yang alakadarnya?
Ya Allah, berkali aku menyeka air mata yang terus membasahi wajah.
Sulungku berhenti merengek, ia langsung diam melihat air mataku. Lama ia menatapku iba. Kedua netranya mulai berkaca. Tak tega hati ini melihatnya. Ia hanya ingin es krim seharga 5000 ya Allah.
"Dika gak akan minta es krim lagi Bu, tapi ibu jangan nangis." Dika kecilku berkata dengan suara yang bergetar. Sepertinya ia pun menahan tangis.
"Kita pulang, Nak," ucapku. Dika mengangguk, si bungsu pun tangisnya mulai mereda. Sepertinya ia mengerti akan kegundahan hati ini.
Ya Allah, beginilah rasanya. Sakit ya Allah, sakit, sakit, sepele bagi mereka namun begitu berat bagiku. Bahan-bahan bolu itu adalah modal terakhir dan kini seolah sia-sia.
Ya Allah, berkali aku menyebut nama-Nya. Berat, sungguh berat, belum lama suamiku pergi dan kini rasanya aku lemah.
Tak banyak ya Allah hanya ingin es krim saja, itu saja, untuk menyenangkan buah hatiku dan kini bukan untung yang kudapat malah kerugian yang telah nyata di depan mata.
Aku baru saja memasuki halaman rumah kontrakan ketika Bu Tia tetanggaku kulihat telah menunggu.
"Eh, ibunya Dika, dicariin, untung cepat pulang."
"Ada apa Bu?" tanyaku. Semoga saja wanita baik ini akan memberikanku perkerjaan. Apa saja boleh, bahkan yang terkasar sekalipun akan kuterima. Tapi gak mungkin, di rumah besarnya sudah ada dua pembantu yang siap sedia. Aku kembali membuang anganku.
"Gini, ibu jangan tersinggung ya." Bu Tia menatapku.
Aku mengangguk, ingin kukatakan bila rasa tersinggung itu sudah lama lenyap dalam kamus hidupku.
"Papanya anak-anak kan baru pulang jemput kakek neneknya dari bandara. Ya dasar laki-laki tahunya kan cuma nyenengin anak tapi gak tahu yang baik. "
Aku mengangguk walau belum paham kemana arah pembicaraan.
"Masa dia ngebeliian anak-anak es krim sampai lima buah. Padahal anakku kan masih batuk pilek parah. Jadi, daripada buat rusuh, mau ya Bu nerima es krim ini, untuk Dika dan adiknya." Bu Tia menyerahkan plastik putih berisi es krim padaku.
Aku terdiam tak sanggup berkata-kata.
"Asikkk." Dika bersorak, aku masih bergeming.
"Lo, yang ibu bawa itu apa?" tanya Bu Tia melirik kantong hitam berisi dua kotak bolu pisangku.
"Bolu pisang Bu, tapi gak manis, kebetulan yang mesan batal. "
"Wah kebetulan, neneknya di rumah itu diabetes jadi gak bisa makan manis. Saya beli ya untuk cemilan."
"Benar Bu?" Aku bertanya tak percaya.
"Iya, berapa harganya?"
"Berapa saja, Bu. Terserah, asal jadi uang."
"Ya sudah." Bu Tia menyerahkan dua lembar uang merah ke dalam genggamanku.
"Ya Allah Bu ini kebanyakan ," ucapku.
"Sudah, gak apa. Ambil saja, kalau mesan yang kayak gini emang mahal kok Bu." Bu Tia langsung mengambil kantong berisi bolu pisang dan bergegas pergi.
Aku masih diam dengan air mata yang mulai menetes lagi. Baru saja mengeluh akan pahitnya hidup dan kini semua telah terbayar lunas.
***
Bu Tia meletakkan bolu pisang yang baru ia beli di atas meja makan.
Ia duduk dan memandang dua kotak bolu pisang itu dengan tatapan berkaca.
Sungguh zolim sebagai tetangga, bahkan ada seorang janda yang kesusahan pun ia tak tahu. Sementara baru saja ia membeli tas branded seharga jutaan dan tak jauh dari rumahnya ada seorang anak yatim merengek pada ibunya hanya demi sebuah es krim.
Untung saja Fahri putranya bercerita, bila tidak pastilah kezoliman ini akan terus berlangsung.
"Ma, tadi yang juara 1 Dika, tetangga kita yang di ujung itu." lapor putra sulungnya.
"Bagus dong, les dimana dia?"
"Gak les kok, Ma. Orang dia miskin kok."
"Hey, gak boleh menghina orang lain." Bu Tia melotot pada putranya.
"Gak menghina kok. Kenyataan emang dia miskin. Kasihan deh Ma, masa kan ibunya janji mau beliin dia es krim kalau ranking satu eh pas dia ranking malah ibunya bilang tunggu ada uang. Kasihan banget Dika ya , Ma. Mana kalau di sekolah dia suka mandang jajanan temannya kayak ngeiler gitu tapi pas dikasih dia nolak. Malu mungkin ya, Ma." Fahri bercerita panjang lebar.
Bu Tia terdiam.
Ya Allah mengapa ia tak tahu? Selama ini, ia aktiv ikut kegiatan sosial, mengunjungi panti asuhan ini dan itu. Namun ia abai akan keadaan di sekitar.
"Ma, bolunya gak ada rasa, kurang enak," ucap Fachri membuyarkan lamunannya.
"Sengaja, makannya bukan gitu. Tapi kamu oles mentega dan taburi meses atau kamu oles selai buah."
"Ohhh, gitu ya. Tumben mama pesan bolu tawar."
"Lagi pengen aja."
Bu Tia menghela napas panjang. Tak akan terulang lagi, jangan sampai ada tangis anak yatim yang kelaparan di sekitarnya.
Anak yatim itu bukan tanggung jawab ibunya saja tapi keluarga dan orang sekitar.
***
Sepele bagi kita namun berarti bagi mereka.
Ada kala sisa nasi kemarin sore yang tak tersentuh di atas meja makan kita adalah mimpi dari anak-anak yang telah berhari-hari terpaksa hanya berteman dengan ubi rebus saja.
Jangan heran menatap binar seseorang yang begitu terharu ketika gaun pesta yang menurut kita sudah ketinggalan jaman itu kita berikan pada mereka.
Uang lima puluh ribu yang sangat mudah lenyap ketika dibawa ke mini market bertukar dengan kinderj*y dan beraneka jajanan yang habis dalam sekejap itu adalah setara dengan hasil kerja keras seorang buruh dari subuh hingga menjelang Magrib.
Bersedekah itu gak perlu banyak, sedikit saja dari yang kita punya. Memberi itu jangan menunggu kaya, saat kekurangan lah justru diri harus lebih bermurah hati.
Beruntunglah bila di sekitar begitu banyak ladang sedekah dimana kita dapat menukar rupiah menjadi pahala. Kaya itu bukan pada jumlah harta tapi bagaimana kita membelanjakannya. Akherat itu ada dan sudah kah kita menyiapkan hunian di sana?
1K notes · View notes
vanfikry · 5 years ago
Text
Memegang Kendali atas Diri
Tumblr media
Kosongkan sebagian ruang di dalam hatimu untuk diisi orang lain. Namun, jangan seluruhnya. Kamu perlu membuat seseorang merasa berarti, tetapi itu juga berarti memberinya kesempatan untuk membuatmu patah hati.
Berikan izin bagi orang lain untuk memberi saran atas pilihan hidupmu. Namun, pastikan kamu tetap memegang kendali atas diri. Benar bahwa manusia jauh lebih kuat ketika bersama, tetapi pada akhirnya setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan secara pribadi.
Berdoa dengan sungguh-sungguh. Bergaul dengan ciptaan-Nya sebaik-baiknya. Tetapi, jangan pernah lupa untuk berdialog dengan diri sendiri: berembuk, bertanya, menakar, menerka, atau sekadar berkompromi dan mencoba saling memaklumi.
Hidup di dunia cuma sementara, satu kesempatan kecil untuk memberi makna. Jangan sampai dihabiskan untuk meratapi sesal dan luka.
Yang Terjadi, Terjadilah … 2 Februari 2020
970 notes · View notes
vanfikry · 5 years ago
Text
Keputusan
Ada hal-hal dalam hidup yang mudah banget diperoleh. Tapi kalau serakah, bukannya punya banyak pencapaian, kamu justru terus ketambahan beban.
Contohnya, punya banyak pacar--yang mana satu aja ngga boleh, ya kan. Ngebagi perhatiannya bingung, beban biaya nambah, beban dosa apalagi. Atau punya banyak teman tapi ngga ada dari mereka yang mendukung mimpi dan cita-citamu. Sering loh, yang jadi booster kepercayaan diri justru orang lain, orang yang ngga deket, atau mungkin ngga kenal. Contoh lain lagi adalah kesempatan minum minuman manis: es teh, es jeruk, boba, kopi-kopian, dsb yang terjangkau banget dimana pun kamu berada. Tapi kalau tiap punya uang, nongkrong, tiap nongkrong, minum manis, lama-lama ngga cuma kantong yang kering tapi beban gula yang harus ditanggung badan tu... sedih.
Jadi, jangan mengejar sesuatu cuma karena dia mudah diperoleh. Mudah dimiliki bukan berarti kamu butuh.
Ada juga hal yang susah banget diraih, mungkin harus jatuh bangun, gagal berkali-kali dulu baru dapet, tapi dia memang sepantas itu untuk diperjuangin. Bahkan meskipun setelah gagal tetap ngga pernah berhasil meraihnya, kamu udah belajar banyak dan menjadi orang yang lebih baik karena sudah melewati prosesnya.
Misalnya, ketika melamar pekerjaan yang kamu impikan, beasiswa yang udah lama kamu kejar, kampus yang sejak dulu jadi cita-cita, dll. Meskipun gagal, kamu udah punya pengalaman bikin cv, portofolio, wawancara dengan professional, menambah relasi, dan hal-hal lain yang nggak akan kamu peroleh kalau nyoba aja enggak. Dan nggak cuma belajar, kamu bahkan dapet pahala karena berniat mencari pekerjaan untuk menafkahi keluarga, mencari beasiswa supaya meringankan orangtua, atau diterima di kampus bergengsi agar cakupan dakwahmu sebagai mahasiswa makin luas. Keren ya.
Berjuang itu ngga pernah rugi kalau bener niatnya.
Ada hal-hal yang mudah kita peroleh, namun harus dilepas. Ada pula hal-hal yang sulit diraih, namun pantas kita perjuangkan. Semoga kita nggak terpengaruh bias dalam mengambil keputusan. Semoga kita nggak pernah menyesal dengan keputusan yang kita ambil, kehidupan yang kita pilih sendiri jalannya beserta risiko-risiko yang perlu kita terima.
Sukoharjo, 25 Januari 2020
33 notes · View notes
vanfikry · 5 years ago
Text
“ternyata masih banyak sekali peer ya?”
tentang seorang anak umur dua puluh-an
yang belum terbiasa tahajud,
yang belum istiqomah muroja’ah,
yang belum terbiasa beribadah sunnah,
lalu,
yang belum terbiasa jama’ah shubuh,
yang belum terbiasa menjaga mulut,
yang belum terbiasa menutup aurat,
yang belum terbiasa makan minum dengan tangan kanan,
.
ah, Ya Allah
ternyata masih banyak sekali peer,
berilah petunjukMu,
berilah hidayahMu,
.
01012020
13 notes · View notes
vanfikry · 5 years ago
Text
Tak ada yang sempurna, tak apa jika masih terasa fana, namun jangan membuatnya sirna.
Tahun depan kita coba lagi, ya?
210 notes · View notes
vanfikry · 6 years ago
Text
Terima kasih telah berjuang sampai sejauh ini wahai diri. Terima kasih udah bisa ngelewatin momen demi momen yang kadang menyedihkan yang seringnya jadi down sampe hampir ngelakuin sesuatu yang ga sesuai norma yang ada. Tapi ya yang berlalu biar berlalu. yang dulu pernah ngisi hari" mu kini bersama orang lain, yang dulu menjelekkanmu kini jadi orang sukses. Ya hidup sawang sinawang si. Mungkin emang effort mereka besar buat hal itu. Jadi jangan nyerah ya. Yang dulu biar berlalu ga usah jadi patokan. Jalanin aja yang sekarang. Masi banyak hal yang harus dikejar sob.
0 notes
vanfikry · 6 years ago
Text
Allah ciptain kamu udah sepaket sama kemampuan buat bertahan dari segala macem cobaan. Allah udah kasih kamu hati, pikiran, badan, keluarga, teman, kesehatan, dan kesempatan. Sekarang tinggal kamu bisa makenya apa enggak. Karena biasanya, yang punya belum tentu tau cara makenya.
Taufik Aulia
2K notes · View notes
vanfikry · 6 years ago
Text
“Duhai Allah, maafkanlah aku yang sebenarnya tau sedang berjalan menuju kematian namun masih terus saja mengkhawatirkan tentang kehidupan keduniaan. Masih tenggelam dalam gemerlap kefanaan. Sibuk dengan kesia-siaan.”
Hingga terkadang aku luput mencemaskan amal perbuatan yang bahkan aku pun ragu untuk jadikan itu sebagai perbekalan.
Ya Rabb. Ampuni.
2K notes · View notes